BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Film merupakan salah satu media yang sering menjadi perhatian publik. Keunggulannya daripada jenis media lain dalam hal ekspresivitas dan interpretasi sering menimbulkan konsekuensi ganda. Di satu sisi, film mampu menjembatani kepentingan pembuatnya untuk bebas berekspresi dan berkarya, sekaligus memuaskan keinginan penonton akan sajian yang menghibur, informatif, dan artistik. Di sisi lain, film bisa mengekspos material-material tertentu kepada penonton yang belum layak mengonsumsinya, yaitu anak-anak/remaja. Di sinilah pemangku jabatan publik mengemuka untuk menangani masalah tersebut. Mereka umumnya menerapkan kebijakan regulasi film melalui sistem rating. Dalam skala nasional, wewenang ini dipegang oleh lembaga rating film. Ia berisi orang-orang dengan kualifikasi tertentu yang bertugas untuk memberikan info kepada para orangtua tentang material-material tertentu dalam sebuah film yang pantas atau tidak pantas ditonton oleh anak-anaknya.1 Maka, setiap lembaga rating memiliki standar tertentu untuk mengkategorikan film-film yang beredar. Mereka
yang
tidak
sesuai
dengan
standar
tersebut
akan
menerima
konsekuensinya, misalnya berupa larangan peredaran (ban), pemotongan adegan (cut), atau pemberian rating yang membatasi distribusi ke pasar (restrictive rating).2 Proses politik biasanya terjadi pada tahap ini, yaitu antara lembaga rating dengan pembuat film yang tidak puas dengan rating yang diperolehnya. Dua negara yang menarik untuk diperbandingkan dalam hal sistem rating adalah Amerika Serikat (AS) dan Perancis. Kesamaan dari dua negara ini adalah
1
The Classification and Rating Administration (CARA). Classification and Rating Rules, hlm. 12. http://www.filmratings.com/downloads/rating_rules.pdf (diakses pada 22 Februari 2014) 2 Central Board of Film Certification (CBFC). A Comparative Study of Rating Systems, hlm. 1. http://cbfcindia.gov.in/cbfcweb/fckeditor/editor/images/uploadedfiles/file/publications/rating_stud y.pdf (diakses pada 25 November 2014)
1
bahwa keduanya memiliki industri film yang maju, baik secara kualitas maupun kuantitas. Di kedua negara ini, industri film merupakan kekuatan ekonomi bernilai milyaran dolar, sehingga memberi kontribusi yang besar pada perekonomian nasional. Terlebih, lembaga rating film di kedua negara sama-sama tidak memiliki otoritas untuk melakukan cut—indikasi praktek censorship.3 Adapun perbedaan dari keduanya adalah bahwa lembaga rating film di AS berbasis swasta, sementara lembaga rating film di Perancis berbasis pemerintah. Latar belakang sejarah dan ideologi politik yang berbeda pada kedua negara diyakini mempengaruhi proses politik yang terjadi di dalam masing-masing lembaga. Di AS, rating film dilaksanakan oleh Classification and Rating Administration (CARA), bagian dari oleh Motion Picture Association of America (MPAA).4 MPAA merupakan representasi dari 6 studio besar Hollywood.5 Bersama National Association of Theater Owners (NATO), mereka sepakat untuk merating film secara sukarela, guna mencegah censorship oleh negara.6 Sementara itu, rating film di Perancis dilaksanakan oleh Commission de classification des œuvres cinématographiques (CCC), bagian dari Centre National du Cinéma et de l’Image Animée (CNC), sebuah organisasi administratif di bawah Kementerian Kebudayaan dan Komunikasi Perancis.7 Landasan legal dan operasional CNC adalah berbagai UU dan instrumen hukum lainnya yang berisi tentang regulasi industri film Perancis.8 Jadi, rating film di sana bersifat wajib. Tujuan dari perbandingan mekanisme rating film ini adalah untuk mencari solusi regulasi konten film yang sesuai dengan ideologi politik nasional di masing-masing negara tanpa harus menciderai hak dan kebebasan warganegara. 3
Central Board of Film Certification (CBFC), op. cit., hlm 6-19. The Classification and Rating Administration (CARA), op. cit. 5 Motion Picture Association of America (MPAA). Our Story. http://www.mpaa.org/our-story/ (diakses pada 25 November 2014) 6 Motion Picture Association of America (MPAA). Preserving Free Speech. http://www.mpaa.org/preserving-free-speech/ (diakses pada 25 November 2014) 7 Centre National du Cinéma et de l’Image Animée (CNC). Missions. http://www.cnc.fr/web/fr/missions (diakses pada 20 Desember 2014) 8 Centre National du Cinéma et de l’Image Animée (CNC). Historique du CNC. http://www.cnc.fr/web/fr/historique-du-cnc/ (diakses pada 20 Desember 2014) 4
2
Diharapkan kajian ini mampu menjadi referensi bagi negara-negara lain untuk menentukan sistem mana yang cocok dijadikan sebagai model bagi situasi perfilman nasional mereka. Perbandingan ini cukup unik karena sering ditemui kasus di mana kebijakan rating film di Perancis (yang dijalankan oleh lembaga pemerintah) justru relatif lebih longgar daripada kebijakan rating film di AS (yang dijalankan oleh lembaga swasta) atas beberapa judul film yang sama. Perbedaan standar ini menimbulkan keingintahuan mengenai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem, termasuk kompleksitas proses politik di dalamnya.
B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana perbandingan antara mekanisme rating film di AS yang diregulasi oleh lembaga swasta dengan mekanisme rating film di Perancis yang diregulasi oleh lembaga pemerintah?
C. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Kebijakan Publik Mengingat bahwa rating film dilakukan atas nama kepentingan publik, maka perlu mengkaji topik ini berdasarkan perspektif kebijakan publik. Dalam rumusan masalah di atas, terdapat dua poin yang perlu ditekankan, yaitu mekanisme penerapan dan aktor kebijakan. Maka, diperlukan pembahasan dengan pendekatan proses dan pendekatan kelembagaan. 1.1 Pendekatan Proses Menurut James Anderson, kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud, yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor, dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.9 Konsep ini memusatkan perhatian pada langkah-langkah apa yang dilakukan sepanjang proses kebijakan.
9
James Anderson (1969). Public Policy Making: Second Edition. New York: Holt, Renehart and Winston, hlm. 4.
3
Metodenya adalah dengan mengidentifikasi tahap-tahap kebijakan, kemudian menganalisis determinan-determinannya. Adapun tahap-tahap kebijakan publik Menurut William Dunn meliputi : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan, adaptasi kebijakan, suksesi kebijakan dan terminasi kebijakan.10 Setiap tahap kebijakan berpotensi menimbulkan proses politik di antara para aktor, terutama mulai dari tahap penyusunan agenda hingga implementasi kebijakan. Richard Chapman menambahkan : kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan dalam sektor publik, yang dipilih dari beberapa alternatif yang dipengaruhi oleh latar belakang ideologis dan politis (kepentingan), serta dijalankan oleh pihak yang berwenang.11 Artinya, di sini Chapman melengkapi teori Dunn dengan memaparkan bahwa kondisi ideologis dan politis berpengaruh terhadap determinan pada tahap-tahap kebijakan. 1.2 Pendekatan Kelembagaan Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.12 Definisi ini menerangkan bahwa aktor kebijakan bukan hanya pemerintah, melainkan juga kelompok (swasta) dan individu. Maka, penting untuk membahas topik ini dengan pendekatan kelembagaan, mengingat bahwa kedua aktor yang diperbandingkan di sini berwujud lembaga; MPAA merupakan lembaga swasta, sementara CNC merupakan lembaga pemerintah. Perbedaan karakteristik antara dua lembaga ini tentunya tidak lepas dari perbedaan kondisi politik dan struktur pemerintahan masing-masing negara. Pendekatan kelembagaan memandang bahwa kebijakan publik dan lembaga publik mempunyai hubungan yang erat, karena pada dasarnya kebijakan 10
William Dunn (2004). Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Pearson Prentice Hall, hlm. 45. 11 Richard Chapman (1997). The Treasury in Public Policy Making. New York: Routledge, hlm. 1. 12 Budi Winarno (2008). Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo, hlm. 17.
4
publik hanya bisa ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga publik. Lebih jauh lagi, ia memandang bahwa lembaga publik memberi 3 karakteristik pada kebijakan publik : legitimasi, universalitas, dan koersi.13 Konsep legitimasi memandang kebijakan publik sebagai kewajiban yang sah dan menuntut loyalitas dari sasaran/pihak yang dikenai kebijakan tersebut. Lembaga pemerintah umumnya mengeluarkan kebijakan publik melalui UU atau instrumen legal lainnya, sehingga sifatnya lebih mengikat daripada kebijakan lembaga swasta. Universalitas mencerminkan jangkauan kebijakan, yaitu kemampuan lembaga publik membuat kebijakan yang dipatuhi seluas mungkin. Lembaga pemerintah memiliki kebijakan yang mampu mencakup seluruh kalangan, sehingga mempunyai universalitas yang lebih tinggi. Sementara itu, koersi memungkinkan lembaga publik memonopoli penggunaan kekuatan dan paksaan agar pihak-pihak yang dikenai kebijakannya tunduk, termasuk dengan menghukum mereka yang melanggar. Pendekatan ini akan berguna untuk memahami aspek legal dan teknis dalam MPAA dan CNC, sekaligus untuk menilai efektivitas dan efisiensi dari masing-masing sistem.
2. Ideologi Politik Dari pendapat Richard Chapman di atas, dapat dipahami bahwa proses politik yang terjadi pada tahap-tahap kebijakan publik turut ditentukan oleh ideologi politik masing-masing negara. Dalam kebijakan rating film, ideologi politik tidak hanya dianut oleh lembaga rating sebagai aktor kebijakan, tetapi juga oleh pembuat film sebagai sasaran kebijakan. Lembaga rating sendiri, misalnya, mengakui bahwa tugas mereka adalah untuk merefleksikan apa yang mereka yakini sebagai pandangan umum orangtua di negara yang bersangkutan. 14 Sementara pembuat film bisa mempunyai posisi yang pro atau kontra terhadap cara pandang lembaga rating. Maka, perlu dikaji ideologi politik AS dan ideologi politik Perancis secara tersendiri. 13 14
Ibid., hlm. 52-53. The Classification and Rating Administration (CARA), op. cit., hlm. 6.
5
2.1 Ideologi Politik AS AS diasosiasikan dengan negara yang kental dengan paham kebebasan atau liberalisme. Liberalisme di AS tergolong khas karena sejarah negaranya yang unik, yaitu sejak awal berbentuk republik tanpa sebelumnya berbentuk monarki— tidak seperti yang terjadi di negara-negara Eropa. Secara garis besar, ada 2 aliran liberalisme yang berkembang di AS : 1) liberalisme klasik, yang lebih populer dengan sebutan konservatisme; 2) liberalisme modern, yang lebih sering disebut sebagai liberalisme saja. Paham konservatisme AS berusaha menjaga dan melestarikan nilai-nilai dari para founding fathers yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Adam Smith (spontaneous order), Charles Montesquieu (pemisahan kekuasaan), dan John Locke (natural rights).15 Secara rinci, nilai-nilai ini meliputi penghormatan terhadap rule of law, penegakan social order sesuai tradisi masyarakat Barat dan agama Kristen, skeptisisme terhadap kekuasaan negara, dukungan terhadap sistem ekonomi pasar bebas, serta penghargaan terhadap individual liberty.16 Nilai-nilai tersebut sebangun dengan konsep limited government ala James Madison. Dalam bidang politik-administratif, konsep ini melahirkan federalisme, trias politika, dan praktik judicial review.17 Dalam konteks ekonomi-industri, ia menentang intervensi pemerintah dalam hal regulasi (direktif) dan redistribusi kesejahteraan.18 Dengan demikian, ia selaras dengan asas laissez-faire yang ingin mewujudkan lingkungan perekonomian yang bebas dari hambatan pemerintah, dengan hanya sedikit regulasi untuk melindungi hak kepemilikan properti.19 Pengaruh asas ini tampak dalam Konstitusi AS, tepatnya pada pasal 1 bagian 8. 15
Mark R. Levin (2009). Liberty and Tyranny: A Conservative Manifesto. New York: Threshold Editions, hlm. 2. 16 Gregory L. Schneider (2009). The Conservative Century; From Reaction to Revolution. Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., hlm. xi-xiii. 17 Roger Pilon. “Madison’s Constitutional Vision: The Legacy of Enumerated Powers” dalam John Samples (ed.) (2002). James Madison and the Future of Limited Government. Washington D.C.: Cato Institute, hlm. 29. 18 Tom Lansford (2007). Political Systems for the World. Marvell Cavendish, hlm. 31-32. 19 Toufic K. Gaspard (2004). A Political Economy of Lebanon, 1948-2002: The Limits of LaissezFaire. Leiden: Brill, hlm. 5.
6
Ayat 3 pada bagian tersebut menyebutkan bahwa wewenang pemerintah dalam bidang ekonomi adalah menetapkan regulasi “sebatas” pada perdagangan dengan negara asing, antarbeberapa negara bagian, dan dengan suku Indian.20 Tampak jelas bahwa konsep-konsep di atas menjadi spirit bagi pendirian dan pengoperasian MPAA : menihilkan peran pemerintah melalui penetapan lembaga swasta. Dalam perpolitikan, golongan konservatif-kapitalis ini umumnya terwakili oleh Partai Republik. Maka, dipercayai bukanlah sebuah kebetulan jika MPPDA (embrio dari MPPA) didirikan pada tahun 1921, yaitu pada masa pemerintahan presiden Warren G. Harding yang berasal dari Partai Republik. Pada ranah sosial, umumnya kaum konservatif menjadikan agama sebagai sumber moral dengan menjunjung ajaran-ajaran gereja Kristen dan Katholik. Mereka percaya akan pentingnya melestarikan social order berdasarkan norma dan institusi tersebut.21 Maka wajar jika banyak pemimpin agama yang terlibat dalam politik praktis atau memegang jabatan publik/institusional, termasuk dalam lembaga rating film seperti MPAA. Geliat aktivisme kaum relijius ini juga didukung oleh jaminan kebebasan beragama dan asas sekulerisme AS. Amandemen I Konstitusi AS menjamin kebebasan berekspresi dan pers, serta melarang negara turut campur dalam kehidupan beragama masyarakat.22 Pendek kata, meskipun kaum konservatif bersikap resistan terhadap kontrol dalam bidang ekonomi (oleh pemerintah), mereka cenderung terbuka terhadap kontrol dalam bidang sosial (oleh otoritas agama). Ideologi politik yang tidak kalah populer di AS adalah liberalisme modern, atau sering disebut dengan liberalisme saja. Pemikiran yang berkembang mulai abad ke-20 ini berkaitan erat dengan progresivisme23 dan sering diasosiasikan 20
United States Government Printing Office (GPO). The Consitution of the United States of America, hlm 10. http://www.gpo.gov/fdsys/pkg/CDOC-110hdoc50/pdf/CDOC-110hdoc50.pdf (diakses pada 7 Maret 2014) 21 Donald T. Critchlow (2007). The Conservative Ascendancy: How the GOP Right Made Political History. Cambridge: Harvard University Press, hlm. 115. 22 United States Government Printing Office (GPO), ibid., hlm 13. 23 Reina Eisenstark dan Laura Friedenthal (2010). Key Concepts in American History: Progressivism. New York: DWJ Books LLC, hlm. 2.
7
dengan golongan sayap kiri karena menekankan adanya regulasi pemerintah federal/pusat terhadap bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial.24 Liberalisme AS banyak dipengaruhi oleh pemikiran presiden-presiden dari Partai Demokrat dan mirip dengan social democracy Eropa. Liberalisme menjunjung individual liberty, namun dengan tafsiran yang lebih jauh daripada konservatisme. Thomas Nagel menyebut liberalisme AS sebagai liberalisme egalitarian, yaitu menekankan bukan hanya pada hak-hak individu, tapi juga pada bentuk keadilan distributif untuk memberantas kemiskinan dan ketidak setaraan.25 Norberto Bobbio menambahkan, perbedaan utama antara golongan kanan dan kiri adalah sikapnya terhadap egalitarianisme. 26 Di sini, liberalisme bertentangan dengan konservatisme yang, akibat ekonomi pasar bebas, dianggap menafikan atau bahkan menentang kesetaraan sosial. Liberalisme berkembang luas pada pemerintahan FD Roosevelt melalui rezim politik New Deal. Pada masa ini mulai populerlah nilai-nilai liberalisme yang lain, yaitu pluralisme dan penghargaan terhadap hak-hak minoritas. Ini tampak dalam koalisi Partai Demokrat saat itu yang juga terdiri dari warga kulit hitam, kaum Yahudi, kaum feminis, dan kaum sosialis.27 Menurut McGowan, liberalisme memang menekankan pada “pemikiran yang luas dan terbuka” serta “tidak terikat pada otoritarianisme, ortodoksi, atau nilai-nilai tradisional.”28 Nilai pluralisme kaum liberal ini berlawanan dengan dominansi tradisi agama Kristen dan dogmatisme agama Katholik yang diusung oleh kaum konservatif. Alih-alih menonjolkan agama, golongan liberal-progresif mengandalkan sains dan pemikiran rasional-ilmiah untuk menjawab masalah sosial. Ini memicu berkembangnya bidang ilmu baru, misalnya psikologi dan sosiologi. Mereka mengedepankan pendidikan, dan sekolah umum dianggap sebagai sarana bagi 24
Garrett Ward Sheldon (2001). Encyclopedia of Political Thought. New York: Facts On File, Inc., hlm. 185-186. 25 John McGowan (2007). American Liberalism: An Interpretation of Our Time. The University of North Carolina Press, hlm. 8. 26 Norberto Bobbio (1996). Left and Right. Chicago: University of Chicago Press, hlm. 69. 27 Garrett Ward Sheldon, op. cit, hlm. 186. 28 McGowan, op. cit., hlm. 79.
8
perubahan sosial dan perbaikan moral.29 Sikap liberal lainnya adalah intellectually humble (tidak terburu-buru mengutuk hal-hal yang sifatnya asing, baru, atau berbeda).30 Gerakan liberal pada bidang agama, pendidikan, serta seni dan hiburan (termasuk film) juga banyak disebut sebagai “gerakan progresif”.31 Liberalisme mempunyai hubungan korelatif (namun belum tentu kausatif) dengan film dan regulasinya, karena keduanya berkembang pada masa yang sama. Pertarungan yang cukup sengit antara liberalisme dan konservartisme dalam dunia perfilman AS akan tampak jika kita mengikuti sejarah regulasi film di sana serta dinamika MPAA sebagai lembaga nasionalnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan mendalam pada bab II. 2.2 Ideologi Politik Perancis Ideologi politik Perancis dinyatakan secara gamblang dalam konstitusinya yang terbaru (1958). Kalimat pertama dalam pasal I menyebutkan32 : “France shall be an indivisible, secular, democratic and social Republic.” Poin pertama yang dapat dipahami adalah bahwa Perancis berbentuk republik-kesatuan. Artinya, ia sudah meninggalkan bentuk negara monarki dan tidak menganut bentuk pemerintahan federal. Ini menandakan bahwa pemerintah (pusat) memiliki kekuasaan yang besar namun tidak absolut, sehingga tidak akan menciderai hak dan kebebasan warganegara. Poin kedua adalah mengenai sekulerisme yang di sana dikenal sebagai asas laïcité dan diatur secara khusus melalui UU tahun 1905.33 Berbeda dengan di AS, sekulerisme Perancis diterapkan agar agama tidak terlibat dalam urusan publik/pemerintahan. Asas ini turut
29
John Whiteclay Chambers II (2000). The Tyranny of Change: America in the Progressive Era, 1890-1920. New York: St. Martin’s Press, hlm. 102. 30 McGowan, op. cit., hlm. 41. 31 Garrett Ward Sheldon, op. cit. 32 Conseil Constitutionnel (Majelis Konstitusi Perancis). Constitution of October 4, 1958, hlm. 4. http://www.conseil-constitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/root/bank_mm/anglais/constiution_anglais_juillet2008.pdf (diakses pada 8 Maret 2014) 33 Marcel Gauchet (1998). La religion dans la démocratie : Parcours de la laïcité. Paris: Éditions Gallimard, hlm. 9-42.
9
mempengaruhi iklim politik nasional hingga parpol-parpol yang populer pada dewasa ini adalah mereka yang menganut liberal-konservatisme (UPM) atau sosialisme (PS)34, alih-alih mereka yang menganut sentrisme-relijius (NC).35 Poin ‘sosial’ dan ‘demokratis’ membuat Perancis mirip dengan negaranegara Eropa lainnya yang menganut social democracy. Ideologi tersebut bertujuan untuk menetapkan sosialisme demokratis melalui cara-cara reformis dan gradual (nonrevolusioner).36 Ditekankan bahwa satu-satunya wujud pemerintahan yang dapat diterima secara konstitusional adalah melalui demokrasi representatif di bawah rule of law.37 Ia juga mendukung sebuah sistem ekonomi campuran, alias menolak sistem pasar bebas ala AS maupun sistem totaliter ala Uni Soviet.38 Berkenaan dengan itu, di Perancis ada istilah dirigisme. Dirigisme adalah sistem ekonomi di mana pemerintah memiliki kontrol yang kuat dalam bidang ekonomi, walaupun tetap menyasar pasar yang cenderung liberal-kapitalistis39— mirip dengan state-capitalism ala RRC. Keterlibatan pemerintah yang besar dan direktif membuatnya sangat berbeda dari sistem kapitalisme ala AS. Konsep yang berkembang sejak masa pascaPerang Dunia II ini pun diyakini berpengaruh pada keputusan pemerintah untuk mendirikan CNC pada tahun 1946. Perpolitikan di Perancis terbilang intens karena presiden merupakan jabatan yang spesial. Kuasanya antara lain menunjuk perdana menteri (yang akan memimpin seluruh kementerian, termasuk Kementerian Kebudayaan di mana CNC bernaung) dan membubarkan National Assembly.40 Salah satu presiden yang terkemuka adalah Charles de Gaulle karena mewariskan pemikiran ideologis yang 34
Parties and Elections in Europe. France. http://www.parties-and-elections.eu/france.html (diakses pada 20 November 2014) 35 New Center (Nouveau Centre/NC). Nos Valeurs (Our Values). http://www.nouveaucentre.fr/page/nos-valeurs (diakses pada 20 November 2014) 36 Donald F. Busky (2000). Democratic Socialism: A Global Survey. Westport: Greenwood Publishing Group, Inc., hlm. 8. 37 Thomas Meyer (2007). The Theory of Social Democracy. Cambridge: Polity Press, hlm. 91. 38 Ira C. Colby, Catherine N. Dulmus, dan Karen M. Sowers (2012). Connecting Social Welfare Policy to Fields of Practice. John Wiley & Sons, hlm. 29. 39 Matthew Richard Golder (1997). The Changing Nature of French Dirigisme. A Case Study of Air France. St. Edmund Hall: University of Oxford, hlm. 4-5. 40 Conseil Constitutionnel (Majelis Konstitusi Perancis), op. cit., hlm. 7-8.
10
disebut Gaullisme. Dalam spektrum politik Perancis, partai Gaullist besar seperti UMP berada di posisi tengah-kanan. Melihat adanya konsep dirigisme pada bidang ekonomi, serta popularitas Gaullisme UMP dan sosialisme Partai Sosialis (PS) pada bidang politik, dapat dikatakan bahwa Perancis secara dominan cenderung sosialis, sehingga cukup kontras dengan AS. Perbedaan ideologi nasional ini menyebabkan pemerintah di kedua negara memiliki fungsi dan kekuasaan yang berbeda dalam regulasi film, serta mempengaruhi perbedaan standar pada lembaga rating masing-masing.
3. Sistem Rating Film Secara umum, sistem rating adalah mekanisme untuk mengkategorikan film-film ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan usia penonton, agar penonton bisa menyesuaikan dengan material-material tertentu dalam film tersebut.41 Sistem rating tidak dimaksudkan untuk menilai kualitas film atau mendikte cara orang menonton film.42 Ia hanya menyediakan informasi tentang jenis konten dari film yang beredar, sehingga para orangtua bisa menentukan film mana yang cocok ditonton oleh anak-anak mereka.43 Secara tidak langsung, ia membantu orangtua melindungi anak-anaknya dari material-material yang terlarang. Di beberapa negara, material-material tersebut adalah mereka yang mengandung muatan seksual (obscenity), kekerasan, kalimat tak sopan (profanity),
perilaku
menyimpang
penyalahgunaan narkoba.
44
(impudence/aberrant
behavior),
dan
Secara garis besar, muatan yang menjadi perhatian
utama di AS dan Perancis adalah obscenity dan kekerasan.
41
Central Board of Film Certification (CBFC), op. cit., hlm. 1. CARA. The Movie Rating System: Its History, How It Works and Its Enduring Value, hlm. 5. http://filmratings.com/downloads/cara_about_voluntary_movie_rating.pdf (diakses pada 7 Mei 2014) 43 The Film Rating System (CARA). What is the purpose of the rating system? http://www.filmratings.com/what.html (diakses pada 5 Maret 2014) 44 Central Board of Film Certification (CBFC), op. cit., hlm. 1-21. 42
11
3.1 Obscenity Secara harfiah, obscenity berarti kecabulan, asusila, atau ketidak senonohan. Menurut Kamus Merriam-Wesbter, obscenity adalah pernyataan atau tindakan yang dengan tegas menyalahi prinsip etika dan moralitas umum.45 Dalam film, obscenity sering terwujud melalui muatan seksual yang eksplisit (sexually explicit materials). Bagaimanapun, definisi yang legal dan komprehensif secara universal sulit diformulasikan karena konsep obscenity berevolusi mengikuti standar moral masyarakat yang dinamis dan beragam oleh berbagai latar belakang, misalnya perbedaan geografis dan budaya. Oleh karena itu, topik ini sering diperdebatkan, bahkan hingga dikasuskan di pengadilan tingkat tinggi. Dalam prakteknya, lembaga rating pun masih sering tampak kesulitan dalam membedakan antara mana material yang obscene dan mana yang tidak. Kerancuan standar pada isu ini merupakan masalah bagi pembuat film. Film yang (terindikasi) memuat obscenity lebih beresiko, karena pembuat film dan produser dapat didakwa secara langsung oleh hukum setempat; tidak seperti film yang memuat kekerasan, karena sebuah film tentunya tidak mungkin melakukan tindak kekerasan secara independen. 3.2 Kekerasan Sementara itu, kekerasan adalah penggunaan kekuatan atau kekuasaan fisik secara sengaja, dalam keadaan aktual atau terancam, yang berakibat atau berkemungkinan besar mengakibatkan luka, kematian, kerusakan psikologis, gangguan pertumbuhan, atau kehilangan/kecacatan. Menurut pelakunya, ia meliputi kekerasan pribadi, interpersonal (antarpribadi), dan kolektif. Sementara menurut sifat dasarnya, ia meliputi kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan perampasan hak atau penelantaran.46
45
Merriam-Webster. “Obscene.” http://www.merriam-webster.com/dictionary/obscene (diakses pada 5 Maret 2014) 46 World Health Organization (WHO). World Report on Violence and Health: Summary, hlm. 5. http://www.who.int/violence_injury_prevention/violence/world_report/en/summary_en.pdf (diakses pada 6 Maret 2014)
12
Adegan kekerasan dalam film umumnya mendapat perhatian yang tinggi karena dikhawatirkan memberi pengaruh buruk kepada penonton anakanak/remaja untuk menirunya di dunia nyata. Namun, sama seperti pada isu obscenity yang sulit ditentukan skala kevulgarannya, antara lembaga rating satu dan lembaga rating lainnya bisa memberi perlakuan yang berbeda terhadap film yang sama. Isu mengenai konten seperti ini umumnya membuat pembuat film mempertanyakan kualitas rating dari lembaga terkait di negara masing-masing.
D. ARGUMEN UTAMA Dari segi proses, kebijakan rating film di AS dan Perancis memiliki tahaptahap kebijakan yang sama, namun determinannya berbeda. Sistem rating AS diciptakan untuk mencegah campur tangan pemerintah terhadap dunia ekonomiindustri dan media. Konservatisme merupakan ideologi politik yang berpengaruh kuat dalam MPAA, mulai dari tahap penyusunan agenda hingga implementasi kebijakan. Sementara sistem rating Perancis sejak awal diatur secara terpusat, sehingga pemerintah memiliki andil penuh pada setiap tahap kebijakan. Sepak terjang CNC dipengaruhi oleh iklim politik Perancis yang cenderung sosialis. Secara kelembagaan, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. MPAA memiliki kekurangan pada aspek legal, namun mampu mengoptimalkan aspek teknisnya dengan memegang kendali pada jalur distribusi/pasar, sehingga dapat memberi ancaman ekonomis/komersial kepada mereka yang tidak mengikuti sistemnya. Dengan kata lain, sistem rating AS lemah pada segi legitimasi dan universalitas, namun tetap kuat pada segi koersi. Sementara CNC merupakan institusi legal-formal yang mengatur seluruh urusan perfilman Perancis, sehingga tidak ada celah bagi pihak lain untuk turut campur dalam penerapan kebijakan. Artinya, legitimasi, universalitas, dan koersi CNC tidak perlu diragukan lagi. Uraian di atas mengarah pada calon kesimpulan bahwa sistem rating di masing-masing negara memiliki efektivitas yang sama, namun dengan efisiensi 13
yang berbeda. Sistem rating MPAA bersifat sukarela dan standarnya relatif ketat. Sementara sistem rating CNC bersifat wajib dan standarnya relatif longgar. Akibat perbedaan ini, proses politik dalam kebijakan rating film di AS cenderung lebih pelik daripada di Perancis. Di antara MPAA dan pembuat film AS lebih sering terjadi konflik perspektif, terutama dalam isu seksualitas/obscenity.
E. METODE PENELITIAN Penelitian untuk skripsi berjudul “Perbandingan Mekanisme Rating Film oleh Swasta dan Pemerintah, Studi Kasus : Amerika Serikat dan Perancis” ini dilakukan dengan metode kualitatif. Penulis menggunakan data primer dan data sekunder dengan referensi dari UU dan dokumen resmi, buku, jurnal ilmiah, ensiklopedia, film dokumenter dan video presentasi, serta situs internet. Penelitian ini berfokus pada sistem rating untuk film-film yang dipasarkan melalui bioskop. Pada kasus Perancis, ia juga melibatkan jalur distribusi lain, yaitu televisi. Namun, karena hubungan antara industri film dan industri televisi di AS tidak sedependen di Perancis, maka jalur ini hanya akan dianggap sebagai karakteristik ekstra bagi sistem rating Perancis dan tidak akan diperbandingkan dengan jalur serupa di AS. Di kedua negara juga ada jalur home entertainment, namun karena di Perancis jalur ini tidak sepenuhnya diatur oleh CNC, maka ia juga tidak akan diperbandingkan.
F. ORGANISASI PENULISAN Skripsi ini akan dibagi dalam 5 bab. Sebagai pendahuluan, bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, metode penelitian, dan organisasi penulisan. Bab II akan berisi pembahasan tentang mekanisme rating film di AS, sementara bab III akan berisi pembahasan tentang topik yang sama di Perancis. Selanjutnya, bab IV akan berisi perbandingan dan analisis atas mekanisme rating film kedua negara. Dan terakhir, bab V akan berisi kesimpulan yang ditarik dari 4 bab sebelumnya. 14