BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Industri jasa penerbangan merupakan salah satu komponen distribusi
transportasi yang rentan terhadap krisis. Wujud krisis dapat bermacam-macam tergantung pada faktor penyebabnya seperti alam, terorisme, keuangan ataupun kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, pada tahun 2012 Kingfisher Airlines di India mengalami kerugian sekitar 1,5 miliar dolar sehingga menyebabkan pegawai mogok kerja dan terpaksa mengurangi operasi armadanya (voaindonesia.com, 2012). Krisis keuangan yang serupa juga dialami oleh British Airways dan United Airlines (kompas.com, 2008 dan viva.co.id, 2010). Sementara itu, Garuda Indonesia penerbangan 206 mengalami insiden pembajakan pesawat pada tanggal 28 Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein yang mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam ekstremis „Komando Jihad‟ (tempo.co, 2015). International Air Transport Association (IATA) menyatakan dalam sebuah laporan keamanan tahunan bahwa terdapat 12 kecelakaan fatal penerbangan dengan 641 kematian selama tahun 2014. Angka ini lebih rendah dari periode lima tahun 2009-2013 yang mencapai 19 kecelakaan fatal dengan 517 kematian per tahun (IATA, 2014). Walaupun tingkat lost control in-flight menurun menjadi 6 kecelakaan pada tahun 2014, angka ini patut dipertimbangkan. Tiga penyebab utama kecelakaan pesawat menurut Airplane Crash Statistic 2016 adalah pillot error (53%), mechanical failure (20%) dan weather (12%) (Statistic Brain Research Institute, 2016). Fakta tersebut setidaknya menjadi pertimbangan organisasi untuk mempersiapkan manajemen krisis sejak dini. AirAsia dan Malaysia Airlines adalah dua maskapai penerbangan Malaysia yang mengalami krisis pada tahun 2014. AirAsia adalah maskapai yang berstatus swasta sedangkan Malaysia Airlines adalah maskapai resmi nasional pemerintah Malaysia. Pesawat yang mengalami kecelakaan adalah AirAsia dengan kode penerbangan QZ8501 dalam perjalanannya dari Surabaya menuju Singapura dan Malaysia Airlines dengan kode penerbangan MH370 dalam perjalanannya dari Kuala Lumpur menuju Beijing. Kedua maskapai mengalami 1
kecelakaan dalam penerbangan internasional dan telah menewaskan seluruh penumpang yang dibawanya. Berdasarkan hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 tipe Airbus 320 tidak disebabkan oleh faktor cuaca, tetapi karena gangguan pada sistem di pesawat terbang yang terjadi sebanyak empat kali. Gangguan keempat mengakibatkan Flight Augmentation Computer (FAC 1 dan FAC 2) serta auto pilot dan auto thrust tidak aktif sehingga sistem kendali pesawat berubah dari normal law ke alternate law (tempo.co, 2015). Dalam kondisi ini proteksi airbus tidak aktif sehingga pesawat berguling 6 derajat per detik, lalu jatuh relatif datar dengan membawa penumpang sejumlah 162 orang. Beberapa korban dan bangkai pesawat berhasil ditemukan 2 minggu setelah kecelakaan di selat Karimata, Kalimantan Tengah. Di lain pihak, Malaysia Airlines MH370 dinyatakan hilang kontak pada dini hari dalam waktu kurang dari satu jam setelah tinggal landas dari Kuala Lumpur. Pesawat yang membawa penumpang sejumlah 239 orang tersebut tibatiba berhenti mengirim sinyal dan berbelok tajam ke kiri yang kemudian bergerak ke arah selatan, tepatnya di Samudera Hindia. Pejabat Malaysia, Australia dan China yang bekerja sama dalam investigasi tidak mampu menemukan tanda-tanda bangkai pesawat. Banyak teori dan spekulasi yang muncul terkait penyebab kecelakaan dan wilayah jatuhnya pesawat. Pencarian yang memakan waktu lebih dari 17 bulan itu akhirnya sedikit menemukan titik terang bahwa puing-puing MH370 ditemukan terdampar di Pulau Reunion yang terletak di bagian barat Samudera Hindia (tempo.co, 2016). Penemuan ini pun masih dalam proses penyelidikan oleh pihak terkait untuk dibuktikan kebenarannya. Isu kecelakaan AirAsia dan Malaysia Airlines mendapat sorotan tajam media-media dunia baik yang berskala lokal ataupun internasional selama dua tahun terakhir. Berita Wall Street Journal mempertanyakan pihak AirAsia tentang hasil investigasi petugas terkait perihal QZ8501 mengudara tanpa izin (Watts, 2015). Bahkan dalam sebuah ulasan berita, hilangnya Malaysia Airlines MH370 dianggap sebagai misteri terbesar dalam sejarah penerbangan dunia (CNN Indonesia, 2015). Beberapa media pun tertarik untuk membandingkan kedua 2
kasus kecelakaan karena nilai kedekatan yang dimilikinya baik dari segi waktu ataupun jenis kecelakaan. Kasus AirAsia dan Malaysia Airlines yang sepintas terlihat identik ternyata memiliki perbedaaan dalam hal penyebab kecelakaan dan reaksi masyarakat umum yang ditimbulkan (Cbsnews.com, 2014). Artikel prdaily.com pun menyatakan bahwa AirAsia dengan CEO-nya Tonny Fernandes lebih cepat tanggap dalam merespon krisis dibandingkan dengan Malaysia Airlines (Allen, 2015). Perbedaan reaksi publik inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana AirAsia sebagai organisasi swasta dan Malaysia Airlines sebagai organisasi pemerintah melakukan strategi komunikasi krisisnya pasca mengalami kecelakaan pesawat. Pemberitaan media dalam situasi krisis mampu mempengaruhi pandangan stakeholder terhadap reputasi AirAsia dan Malaysia Airlines. Bagaimanapun juga, stakeholder berinteraksi dengan media dalam kehidupan mereka sehari-hari dan setiap media berhak menentukan informasi apapun yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Maka dari itu penting bagi kedua organisasi untuk berkomunikasi kepada media tentang sikap organisasi dan langkah-kangkah komunikasi krisis yang sedang atau telah dilakukan. Menurut Iriantara (2005:32), media relations merupakan aktivitas PR eksternal yang membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa sebagai sarana komunikasi antara organisasi dan publiknya untuk mencapai tujuan organisasi. News release ataupun press release merupakan salah satu dari beberapa taktik media relations yang dapat digunakan organisasi ketika menghadapi krisis (Fearn-Banks, 2010:3). Sumber informasi internal lainnya seperti pernyataan pemilik organisasi, dokumen internal, fact sheets biasanya juga muncul dalam website sebagai data pendukung. Peneliti ingin melihat bagaimana strategi komunikasi krisis yang dilakukan AirAsia dan Malaysia Airlines melalui taktik penggunaan press release. Informasi ini merupakan sumber berita bagi media dalam mengkonstruksikan berita. Press release merupakan salah satu produk public relations yang sangat khas dan lumrah digunakan. Taylor dan Perry (2005) mengungkapkan bahwa lebih dari 80% organisasi yang mengalami krisis mengunggah news release sebagai sumber informasi melalui website resmi mereka. Persentase yang tinggi 3
ini menunjukkan bahwa press release masih menjadi pilihan taktik komunikasi yang digemari oleh organisasi. Press release yang diunggah melalui situs resmi AirAsia dan Malaysia Airlines merupakan informasi yang peneliti anggap paling representatif terhadap komunikasi krisis organisasi. Pembuat pesan press release adalah aktor penting yang ditunjuk untuk mewakili sebuah organisasi dalam melakukan komunikasi krisis seperti public relations officer dan chief executive officer. Atas pertimbangan tersebut, objek yang digunakan dalam penelitian ini berupa press release yang berasal dari organisasi bukan dari berita yang biasanya dibuat oleh institusi lain di luar organisasi.
B.
Rumusan Masalah Bagaimana perbandingan strategi komunikasi krisis yang digunakan
AirAsia dan Malaysia Airlines pasca kecelakaan pesawat melalui press release dalam situs airasia.com dan malaysiaairlines.com periode 28 Desember 2014 – 4 Maret 2015 dan 8 Maret 2014 – 6 Agustus 2015?
C.
Tujuan Penelitian Membandingkan strategi komunikasi krisis yang digunakan oleh AirAsia
dan Malaysia Airlines pasca kecelakaan pesawat melalui press release dalam situs airasia.com dan malaysiaairlines.com periode 28 Desember 2014 – 4 Maret 2015 dan 8 Maret 2014 – 6 Agustus 2015
D.
Manfaat Penelitian 1. Memberikan kontribusi pengetahuan mengenai analisis isi strategi komunikasi krisis organisasi dalam press release 2. Menjadi referensi perbandingan bagi praktisi public relations organisasi lain tentang strategi komunikasi krisis yang digunakan ketika menghadapi krisis serupa
4
E.
Kerangka Pemikiran Penelitian tentang strategi komunikasi krisis muncul dengan berbagai
variasi yang ada. Variasi ini biasanya terletak pada jenis kasus yang diangkat dan metode yang digunakan. Analisis isi komparatif strategi komunikasi krisis British Petroleum (BP) dan Tokyo Electric Power Company (TEPCO) yang dilakukan Abramenka (2013) menjadi salah satu acuan dalam penelitian ini. Penelitian ini berusaha untuk membandingkan strategi komunikasi krisis yang digunakan kedua organisasi melalui press release dan informasi facebook dan twitter. Dua teori utama yang digunakan untuk membedah kasus tersebut adalah tema pesan krisis (trust, collaboration, commitment dan interactivity) dan strategi respon krisis Situational Crisis Communication Theory (denial, diminish, rebuild dan bolstering). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BP secara dominan menekankan komitmennya untuk mengatasi krisis yang terjadi sedangkan TEPCO lebih sering menggunakan kombinasi pesan commitment dan collaboration. Selain itu dapat diketahui pula bahwa sebagian press release yang dikeluarkan kedua organisasi berisi strategi pesan permintaan maaf (apology) dan komitmen untuk meminimalisir dampak krisis secepat mungkin. Analisis isi strategi komunikasi krisis juga pernah dilakukan terhadap krisis keuangan General Motors (GM) dengan SCCT dari Coombs sebagai kerangka dasar teorinya. Sesuai dengan cara kerja metode analisis isi, Cooley dan Cooley (2011) melakukan koding terhadap pernyataan resmi GM yang berupa press release, press conference, blog CEO, pidato CEO, halaman Youtube dan pidato presidensial dari General Motors. Temuan penelitian ini adalah GM paling sering menggunakan strategi diminish dan sesuai dengan rekomendasi strategi komunikasi krisis dijelaskan dalam teori SCCT. Pada bidang krisis industri penerbangan, Cowden dan Sellnow (2002) tertarik untuk meneliti iklan Northwest Airlines (NWA) sebagai media komunikasi krisisnya. Secara spesifik, penelitian ini menganalisis penggunaan image restoration strategies (Benoit, 1995) dalam iklan yang dibuat Northwest Airlines selama menghadapi kasus pemberhentian pilot tahun 1998. Penelitian menemukan bahwa iklan dimanfaatkan NWA sebagai usaha proaktif terhadap 5
pemberhentian pilot namun sayangnya gagal memelihara kepercayaan diri para investor dan tidak mempertimbangkan sejarah hubungan dengan karyawan. Hal penting lainnya adalah bahwa sebenarnya kampanye iklan dapat mengintegrasikan image restoration strategies sebagai bagian dari rencana manajemen krisis organisasi dan menyediakan informasi penting bagi stakeholder internal ataupun eksternal. Komunikasi krisis tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas informasi yang dihadapi publik. Pada saat yang bersamaan organisasi yang mengalami krisis dapat memanfaatkan kondisi tersebut untuk menciptakan interpretasi informasi yang paling menguntungkan pihaknya. Atas pertimbangan tersebut, Ulmer dan Sellnow (2000) melihat adanya urgensi untuk meneliti nilai etis penggunaan strategic ambiguity oleh Jack in The Box dalam kasus bakteri e.coli yang terdapat dalam makanannya. Peneliti menggunakan metode studi kasus dan dua teori penting yaitu teori stakeholder dan strategic ambiguity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi krisis yang dilakukan oleh Jack in The Box secara etis dipertanyakan karena menguntungkan pihak organisasi semata dan mengurangi kemampuan publik untuk mempertimbangkan penyebab krisis serta hal-hal lainnya di luar interpretasi yang diklaim oleh Jack in The Box. 1.
Komunikasi Krisis Banyak ahli mendefinisikan krisis sebagai kejadian yang cenderung
destruktif. Menurut Fearn-Banks (2001:480) krisis merupakan kejadian besar yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap organisasi, produk, jasa, publik ataupun nama baik serta mampu mengganggu transaksi bisnis normal dan pada level yang paling parah mengancam eksistensi organisasi. Definisi serupa juga dinyatakan oleh Barton (1993:2) bahwa krisis adalah peristiwa besar yang tidak diduga sebelumnya yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perusahaan ataupun publik. Perspektif lain yang lebih optimis memandang bahwa sebuah krisis memiliki ancaman dan peluang yang sama besarnya. Krisis bagi Fink di satu sisi mendatangkan situasi buruk yang tidak diinginkan oleh organisasi, namun di sisi 6
lain juga bisa berakibat pada hal-hal yang positif (Fink, 1986:15). Sebagai kritik terhadap teori Situational Crisis Communication yang menekankan pada krisis yang mengancam reputasi organisasi, Discourse of Renewal melihat ada peluang di balik krisis yang dapat dimanfaatkan untuk merespon situasi. Karakteristik respon dalam teori Discourse of Renewal dinilai lebih efektif karena mampu mensinergikan bantuan dari stakeholder untuk bersama-sama mengatasi krisis yang terjadi (Ulmer, Sellnow dan Seeger, 2010). Karakteristik inilah yang menjadikannya berbeda dengan teori komunikasi krisis lainnya. Coombs (2005) mendefinisikan krisis secara lebih holistik dari perspektif organisasi yaitu sebagai suatu kejadian tidak terduga yang dapat mengancam kerja organisasi, industri atau stakeholder sehingga diperlukan manajemen krisis. Tujuan dari manajemen krisis tiada lain adalah untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh krisis baik yang bersifat fisik ataupun ekonomi. Sebuah krisis menempatkan organisasi dalam penilaian publik dan biasanya disertai dengan permintaan respon yang segera terkait kasus yang sedang dihadapi. Ketidaksiapan sebuah organisasi dalam menghadapi krisis biasanya terletak pada komunikasi. Spekulasi, penyebaran informasi yang ambigu, berbohong merupakan beberapa contoh kesalahan komunikasi dalam penanganan krisis. Komunikasi yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan dalam kondisis krisis sebagai
upaya
untuk
mengurangi
ketidakpastian
(uncertainty),
konflik
kepentingan (conflict of interest), kompleksitas dan keterlibatan emosional yang ditimbulkan (Stubbart, 1987:89). Jika krisis tidak diimbangi dengan ketersediaan informasi, reputasi organisasi biasanya akan dipertanyakan. Faktor komunikasi selayaknya mendapat perhatian dalam upaya penyelesaian krisis. Namun, bukan berarti dalam kondisi sebelum krisis dan setelah krisis, komunikasi tidak penting. Komunikasi krisis dimaknai secara sederhana sebagai komunikasi antara organisasi dan publiknya sebelum, selama dan sesudah krisis (Fearn-Banks, 1996). Dari berbagai literatur tentang komunikasi krisis, perencanaan komunikasi krisis setidaknya mempertimbangkan publik organisasi, tujuan kegiatan komunikasi bagi setiap publik, strategi pesan
7
yang digunakan, sumber dalam komunikasi krisis dan dukungan pihak luar yang membantu organisasi dalam situasi krisis. Sumber komunikasi krisis juga menjadi persoalan yang tidak kalah pentingnya dari pesan krisis. Kredibilitas juru bicara mempengaruhi persepsi khalayak terhadap kebenaran sebuah informasi. Idealnya juru bicara organisasi menjadi sumber pemberian informasi dan komunikasi manajemen reputasi sehingga dapat menimbulkan kesan positif dan membuktikan terdapat partisipasi aktif manajemen terhadap krisis organisasi (Holladay, 2009). Syarat yang biasanya dipertimbangan dalam memilih juru bicara yaitu kedudukannya dalam organisasi, kepandaian berbicara, kekuasaan dalam pengambilan keputusan dan menarik untuk dilihat. Misalnya seorang public relations dan kepala produksi yang mewakili organisasi dalam sebuah press conference tentang kasus keracunan minuman susu kemasan dapat dijadikan sumber yang terpercaya dalam komunikasi krisis. Pemanfaatan pihak ketiga yang secara langsung tidak memiliki kaitan dengan krisis juga penting untuk membantu organisasi. Misalnya departemen kehumasan meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk mengetes kualitas produk minuman kaleng yang dicurigai masyarakat mengandung zat pewarna sintetis. 1.1
Situational Crisis Communication Theory Situational Crisis Communication Theory (SCCT) memberi landasan kerja
bagi manajer krisis untuk menyesuaikan strategi komunikasi krisis dengan level tanggung jawab krisis dan ancaman reputasi yang ditimbulkan sebuah krisis. Dampak buruk krisis terhadap reputasi menggiring manajemen pada pemilihan strategi komunikasi untuk merespon krisis (Coombs, 2006:243). Ancaman reputasi didefinisikan sebagai seberapa banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh krisis apabila organisasi tidak mengambil tindakan untuk merespon krisis. Ancaman reputasi dapat disebabkan oleh initial crisis responsibility, crisis history dan reputasi sebelum terjadi krisis. SCCT telah mengembangkan sistem penilaian terhadap krisis yang terdiri dari dua tahap yaitu penilaian terhadap tipe krisis dan ancaman krisis terhadap 8
reputasi (Coombs, 2007). Tipe krisis dibagi ke dalam 3 kluster yaitu: (1) victim, yaitu tipe krisis dimana organisasi menjadi korban krisis misalnya natural disaster, rumors, worksplace violence, malevolence toward the organization; (2) accidental, yaitu organisasi meminimalkan tanggung jawab karena krisis bersifat kecelakaan atau tidak sengaja seperti challenges, technical error, technical error product harm; (3) preventable crisis, yaitu krisis yang membuat stakeholder percaya sepenuhnya bahwa organisasi harus bertanggungjawab seperti human error, human error product harm, organizational misdeed with no injuries, organizational misdeed management misconduct, organizational misdeed with injuries (Coombs, 2007:168). Challenges dalam hal ini berarti stakeholders mengklaim bahwa organisasi melakukan pekerjaannya dengan cara yang tidak tepat (Coombs, 2007b). Tahap kedua adalah ancaman terhadap reputasi organisasi dinilai dari dua faktor penting yang menyangkut persepsi stakeholder terhadap krisis yaitu sejarah krisis organisasi dan reputasi negatif yang pernah dimiliki sebelumnya (Coombs, 2007). Tingginya nilai kedua faktor ini mengindikasikan bahwa organisasi memikul tanggung jawab yang besar terhadap krisis. Hasil dari dua tahap penilaian sebelumnya akan membantu organisasi untuk memilih strategi komunikasi yang tepat untuk merespon krisis. Menurut Coombs (2007) strategi komunikasi krisis memiliki tiga tujuan terkait perlindungan reputasi yaitu (1) membentuk atribut krisis, (2) mengubah persepsi organisasi tentang krisis dan (3) mengurangi efek negatif yang ditimbulkan krisis. SCCT menawarkan strategi komunikasi yang terdiri dari empat kelompok yang kemudian digolongkan ke dalam dua kategori yaitu strategi komunikasi primer dan sekunder. Strategi sekunder berfungsi untuk melengkapi 3 strategi primer dan sangat strategis jika digunakan oleh organisasi yang memiliki reputasi baik di masa lalu (Coombs, 2010).
9
Tabel 1.1 SCCT Crisis Response Strategies Primary Crisis Response Strategies 1. Denial Posture Attack the accuser: organisasi menyerang pihak-pihak yang mengklaim krisis terjadi Denial: organisasi menegaskan tidak terjadi krisis Scapegoating: organisasi menyalahkan sekelompok orang atau grup di luar organisasi atas terjadinya krisis 2. Diminish Posture Excuse: organisasi meminimalkan tanggung jawab terhadap krisis dengan alasan tidak ada niat buruk maupun disengaja atau di luar batas kemampuan organisasi Justification: organisasi mencoba untuk meminimalkan kerusakan akibat krisis yang dirasakannya secara personal 3. Rebuild Posture Compensation: organisasi memberi uang atau buah tangan lain kepada korban krisis Apology: organisasi bertanggungjawab sepenuhnya terhadap krisis dan meminta maaf kepada stakeholders Secondary Crisis Response Strategies 4. Bolstering Posture Reminder: organisasi memberitahu stakeholder tentang perbuatan baik organisasi dahulu Ingratiation: organisasi berterima kasih kepada stakeholder atas bantuan mereka Victimage: organisasi mengingatkan stakeholder bahwa organisasi juga menjadi korban krisis Tabel diadaptasi dari Coombs (2007:140)
Berikut ini adalah tabel yang akan menjelaskan bagaimana sebaiknya manajer krisis menyelaraskan tipe krisis yang dihadapinya dengan strategi komunikasi yang akan digunakannya dengan mempertimbangkan sejarah krisis 10
organisasi. Kemudian dapat dilihat pula bahwa setiap krisis menimbulkan level tanggung jawab yang berbeda-beda bagi organisasi. Subtipe krisis yang berbeda dalam tipe krisis yang sama bisa melahirkan rekomendasi strrategi yang berbeda. Tabel 1.2 SCCT Response Strategy Recommendations Tipe krisis Victim cluster (low responsibility)
Subtipe krisis
Sejarah krisis organisasi
Rekomendasi Strategi
Ada krisis serupa dan memiliki reputasi buruk
Strategi diminish
Rumor Tidak ada krisis serupa dan tidak memiliki reputasi buruk
Strategi denial Strategi diminish
Strategi rebuild Ada krisis serupa dan memiliki reputasi buruk
Accident cluster (moderate responsibility)
Strategi denial Challenge dirasa tidak pantas Challenge Stakeholder menganggap organisasi pantas menerima challenge
Preventable cluster (high responsibility)
Strategi rebuild kemudian corrective action Strategi rebuild
Tabel diadaptasi dari Coombs (2010:103-104)
Sebagai rekomendasi secara umum, Coombs (2010) menyarankan strategi reinforcing atau secondary crisis strategies digunakan untuk menunjang strategi lain. Strategi ini hanya digunakan jika organisasi memiliki pencapaian baik di masa lalu. Strategi victimage bisa digunakan hanya jika organisasi mengalami tipe krisis victim cluster. Penggunaan kombinasi strategi denial dengan strategi
11
diminish atau rebuild tidak dianjurkan. Akan tetapi, strategi diminish dan rebuild dapat dikombinasikan satu sama lain. SCCT juga menawarkan tujuh kategori strategi komunikasi krisis yang kemudian diurutkan dari yang bersifat defensif menuju akomodatif (Coombs, 2010:159). Ketujuh strategi komunikasi pernah digunakan sebagai pondasi teoritis dalam penelitian studi komparatif pesan di media cetak berkaitan dengan krisis komunikasi makanan yang dialami Korea Selatan dan Amerika Serikat (Wertz dan Kim, 2010). Hanya saja ketujuh strategi ini lebih digunakan untuk melihat persepsi publik terhadap strategi komunikasi yang digunakan organisasi. Ketujuh strategi komunikasi krisis tersebut adalah: (1) attack the accuser (menyerang pihak-pihak yang mengatakan krisis terjadi termasuk ancaman seperti pengadilan);
(2)
denial
(mengklaim
tidak
terjadi
krisis);
(3)
excuse
(meminimalkan tanggung jawab organisasi terhadap krisis karena alasan ketidaksengajaan dan di luar batas kemampuan organisasi); (4) justification (meminimalkan kerusakan akibat krisis yang dirasakan organisasi secara personal); (5) ingratiation (mengingatkan stakeholder tentang perbuatan baik organisasi pada masa lampau); (6) corrective action (memperbaiki kerusakan akibat krisis, atau bahkan mencegah terulangnya krisis); (7) full apology (bertanggungjawab sepenuhnya terhadap krisis dan meminta maaf kepada stakeholders termasuk pemberian kompensasi). Kelebihan dari teori SCCT adalah kita dapat melihat dinamika antara strategi komunikasi krisis organisasi dan bagaimana publik mempersepsikan strategi tersebut. Sistem penilaian dua fase yang ditawarkan mampu memandu usaha organisasi dalam pemilihan strategi komunikasi krisis yang efektif. Pemetaan terhadap komunikasi krisis dalam kaitannya dengan sejarah krisis suatu organisasi memberi perspektif yang lebih komprehensif dalam pemahaman situasi krisis. 1.2
Pemberian Informasi Sturges Kebutuhan utama stakeholder dalam situasi krisis adalah informasi tentang
apa yang harus mereka ketahui dan lakukan untuk merespon keadaan. Organisasi 12
yang gagal menyediakan informasi saat krisis akan membuat stakeholder semakin menderita. Permasalahan yang timbul bukan hanya tentang krisis itu sendiri namun juga anggapan ketidakpedulian organisasi terhadap korbannya. Menurut Sturges (1994:308) terdapat 3 kategori informasi yang dibutuhkan oleh stakeholder dalam situasi krisis yaitu, 1. Instructing information, yakni informasi yang pada dasarnya berisi petunjuk atau pedoman apa yang harus dilakukan oleh publik ketika ada dalam sebuah krisis. Informasi jenis ini penting karena pada saat krisis, publik menginginkan pedoman yang pasti bagi langkah mereka selanjutnya. Misalnya pemberitahuan evakuasi korban bencana. 2. Adjusting information adalah informasi yang menjelaskan siapa, apa, dimana, kapan terjadinya krisis, membantu publik secara psikologis dalam menghadapi krisis dan menjelaskan langkah pencegahan (corrective action) agar krisis tidak terulang lagi (Coombs, 2011). 3. Internalizing informations adalah informasi tentang manajemen reputasi yang akan diserap khalayak yang pada akhirnya akan membentuk penilaian publik terhadap sebuah organisasi dalam jangka panjang. Misalnya food recall atau penarikan produk-produk makanan yang telah menewaskan orang-orang yang telah mengonsumsinya. Instructing dan adjusting information mengurangi tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan meyakinkan ulang stakeholder (Coombs, 2007). Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan stakeholder dan memahami serta menguasai situasi krisis dengan cara terlibat secara aktif dalam manajemen krisis. Sedangkan internalizing memiliki esensi yang sama seperti strategi komunikasi krisis SCCT yang berfungsi untuk memulihkan reputasi organisasi. Menurut Coombs dan Holladay (2011) strategi komunikasi krisis terdiri dari instructing, adjusting information dan empat kelompok strategi pemulihan reputasi SCCT. SCCT memiliki argumen bahwa strategi komunikasi krisis diawali dengan dua tindakan pemberian informasi yaitu instructing dan adjusting information (Coombs, 2011). Jika stakeholder sudah mendapatkan kedua informasi ini, maka upaya selanjutnya yang harus dilakukan organisasi adalah melakukan strategi pemulihan reputasi. 13
1.3
Strategic Ambiguity Organisasi harus mampu melihat kondisi yang paling menguntungkan
dalam krisis karena jika dapat ditangani dengan cerdas, krisis terkadang justru dapat menguntungkan organisasi. Permintaan informasi yang begitu tinggi selama krisis yang dihadapkan pada ketidakpastian informasi menantang organisasi untuk berkomunikasi secara akurat kepada stakeholder. Ambiguity yang melekat pada sebuah krisis akan mengurangi kapabilitas organisasi untuk menciptakan informasi seperti yang terjadi pada AirAsia dan Malaysia Airlines beberapa saat setelah kecelakaan pesawat terjadi. Seringkali ambiguity menciptakan ketidakpastian informasi terhadap organisasi. Ambiguity menurut Weick merupakan suatu arus yang mendukung terbentuknya interpretasi yang bermacam-macam terhadap suatu hal dalam waktu bersamaan (1995:91-92). Selama krisis, masyarakat sering tidak mampu memutuskan strategi komunikasi sehingga pilihan terakhir adalah mengambil aksi tertentu kemudian melihat apa yang terjadi (Weick, 1998:306). Pada kondisi ini, organisasi akan dinilai ambigu atau tidak jelas dalam usaha-usaha komunikasi krisis yang dilakukannya. Pandangan lain menyatakan bahwa ambiguity dapat membentuk keanekaragaman pendapat yang pada saat yang sama dapat dirasa sebagai sebuah persetujuan final. Dalam pembahasan sistem, kita mengenal sebuah paradoks bahwa sistem memiliki konsensus yang diakui bersama namun tetap memelihara kebebasan setiap individu untuk berkreativitas dan menyuarakan pendapat. Pada saat inilah strategic ambiguity dianggap dapat memenuhi kedua syarat tersebut. Strategi ini membantu organisasi untuk menciptakan persetujuan abstrak tanpa menjadi terbatas pada interpretasi tertentu. Menurut Eisenberg dan Goodall (1997:24), strategic ambiguity memiliki empat fungsi yaitu; (1) mempromosikan keanekaragaman dalam satu tujuan, (2) memberikan posisi yang menguntungkan, (3) bisa disangkal, (4) memfasilitasi perubahan organisasi. Nilai etis menjadi parameter yang penting untuk mengukur kualitas dan kepantasan praktek komunikasi krisis dalam hubungannya dengan kemanusiaan. 14
Strategic ambiguity dinilai etis jika dalam pelaksanaannya organisasi melibatkan penyediaan informasi yang lengkap dan tidak bias kepada stakeholder baik internal ataupun eksternal. Strategi dianggap tidak etis jika organisasi tidak mementingkan kemampuan berpikir (sense making) stakeholder dengan menggunakan informasi yang bias dan tidak lengkap (Ulmer and Sellnow, 1997). Perbuatan seperti ini juga digolongkan sebagai manipulasi publik. Dalam penelitian Ulmer dan Sellnow (1997) tentang strategic ambiguity yang digunakan oleh industri tembakau, mereka mengajukan tiga pertanyaan dengan lokus berbeda dalam rangka mendeskripsikan sejauh mana nilai etis dijunjung oleh organisasi. Pertanyaan tersebut adalah questions of evidence, questions of intent dan questions of locus. Questions of evidence melingkupi bukti-bukti permasalahan yang kemudian dapat memunculkan dua atau lebih interpretasi publik yang memancing perdebatan pada bukti-bukti tersebut. Questions of intent mencakup legitimasi organisasi yang terancam oleh keberadaan krisis. Legitimasi organisasi merupakan keselarasan antara nilai-nilai tindakan organisasi dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Questions of locus membahas cara organisasi meminimalisir tanggungjawabnya terhadap krisis dengan mengaitkan tanggung jawab pihak lain.
2. Karakteristik Organisasi Setiap organisasi memiliki ciri khas ketika menjalankan pekerjaannya termasuk di dalamnya penanganan krisis yang dilakukan oleh AirAsia dan Malaysia Airlines. Dasar pengambilan keputusan kerja dalam sebuah organisasi seperti yang dijelaskan oleh Baskin, Aronoff dan Lattimore (1997) adalah pemahaman terhadap tiga komponen yaitu organisasi profit, organisasi nonprofit dan pemerintah. Sebuah organisasi bergerak berdasarkan visi, misi, tujuan, sudut pandang, ideologi yang disepakatinya sehingga mempengaruhi kinerja seorang public relations yang dipekerjakannya. Bagaimanapun juga public relations adalah perwakilan dari organisasi yang berkomunikasi terhadap publiknya. Seperti yang dijelaskan oleh Cutlip, Center & Broom (2006:6) dan Grunig & Hunt (1992:6) bahwa public relations memliki fungsi manajemen dan fungsi 15
komunikasi dalam memelihara hubungan yang baik antara organisasi dan publiknya. Persamaan dari ketiga jenis organisasi antara lain adalah setiap orang yang bekerja dalam organisasi itu dibagi menurut ketrampilan dan kewenangannya, dan tanggung jawab masing-masing diatur oleh peraturan perundang-undangan. Berikut ini akan dijelaskan perbedaan karakteristik organisasi. a.
Organisasi Profit Organisasi profit pada umumnya memiliki orientasi penting yaitu untuk
meraih keuntungan. Organisasi menyediakan produk atau jasa dan pembeli akan mengonsumsinya atau menggunakannya sesuai dengan harga yang telah ditetapkan. Pada dasarnya sumber keuangannya berasal dari sektor swasta dan tidak banyak bergantung pada peraturan yang dikeluarkan pemerintah (Salusu, 2005:17). Dalam sektor bisnis, organisasi profit dapat dimiliki oleh individu atau berupa kerjasama antara orang dengan organisasi dan aktivitas bisnis dimaknai sebagai pendapatan personal (McNamara, 2007). Menurut Kusumastuti (2001:41), PR dalam organisasi profit tidak dapat dilepaskan dari prinsip ekonomi, sebab memiliki orientasi pada keuntungan. Implementasi PR dalam ruang lingkup bisnis dapat berupa MPR (Marketing Public Relations), hubungan dengan media, pemerintah, karyawan, komunitas dan pemegang saham. Dalam struktur organisasi, PR dapat bertanggungjawab kepada CEO, bagian marketing ataupun personalia. Organisasi profit biasanya memiliki struktur organisasi formal yang hirarkis dan rigid untuk mencapai tujuannya. Seorang presiden atau CEO memantau jalannya bisnis dengan cara mengimplementasikan tujuan strategis jangka panjang dan pendek; bekerjasama dengan top management di pemerintahan; mendukung kelancaran operasionalisasi; memantau proses design, pemasaran, promosi, delivery dan kualitas produk atau jasa; mengatur sumber daya; menunjukkan image komunitas yang kuat; merekrut investor (McNamara, 2007). Sebagai contohnya, AirAsia termasuk ke dalam organisasi profit swasta yang berada di bawah manajemen Tony Fernandes. Sebagai seorang CEO (Chief Executive Officer) group AirAsia Berhad, Tony memainkan peranan utama bagi 16
kelangsungan
hidup
perusahaan
secara
keseluruhan
melalui
keputusan
strategisnya. b.
Organisasi Nonprofit Organisasi non profit ialah organisasi atau badan yang tidak menjadikan
keuntungan sebagai motif utamanya dalam melayani masyarakat. Organisasi ini tidak membagikan keuntungannya sedikitpun kepada para anggota, karyawan serta eksekutifnya. Oleh sebab itu, organisasi ini biasa dijuluki sebagai non-stock corporation yang merefleksikan ide bahwa tidak ada pembagian laba pada para pemegang sahamnya (Salusu, 2005:9). Direktur eksekutif dan trustees mengiring organisasi agar mencapai tujuan normatifnya yaitu mampu meraih dan menjalankan misi sosial. Hal lain yang menjadi ciri khas organisasi ini adalah bahwa dalam pekerjaannya sangat bergantung pada staff dan volunteers karena mengalami apa yang disebut dengan devolution. Devolution merupakan pengurangan kucuran dana dari pemerintah kepada organisasi nonprofit sehingga meminimalkan pemberian jasa kepada clients dan sebagai hasilnya sumber dana eksternal lainnya, inovasi karyawan dan sukarelawan menjadi lebih penting bagi organisasi (McNamara, 2007). Contoh dari organisasi nonprofit adalah asosiasi perdagangan, organisasi politik, keagamaan dan organisasi di bidang ilmu pengetahuan (sekolah swasta, perguruan tinggi swasta, lembaga penelitian). c.
Organisasi Pemerintah Organisasi pemerintah memiliki tujuan utama untuk melayani warga
negara sebagai publiknya. Sumber pendapatannya adalah pajak karena hanya pemerintah yang memiliki hak untuk mengenakan pajak terhadap pelayanan yang disediakannya. Pengembangan dan pelaksanaan srategi organisasi merupakan tugas kepemimpinan yang penting bagi CEO dan board of directors dalam organisasi profit, trustees dan direktur eksekutif dalam organisasi nonprofit serta legislator, chief executive, political appointee dan career official dalam organisasi pemerintah (Andrews, 1971; Moore, 1995; Young, 1986). Terdapat 3 konsep saling berhubungan yang menjadi model strategis untuk memandu para manajer di sektor publik yang dikenal dengan sebutan the strategic triangle yaitu value, legitimacy and support dan operational capacity (Moore, 2000:197-199). Value 17
membantu manajer untuk menemukan tujuan dan nilai yang ingin dibangun organisasi. Legitimacy and support menyangkut pertanyaan siapa yang akan membantu organisasi dalam mencapai tujuan dan nilai. Operational capacity fokus pada pertanyaan tentang bagaimana kapabilitas organisasi dalam operasionalisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Contoh organisasi pemerintah dalam kasus ini adalah Malaysia Airlines.
3. Press Release sebagai Media Public Relations Press release memiliki banyak sebutan seperti media release, news release, dan lain sebagainya. Menurut Smith (2003:442) istilah news release (lebih tepat dibandingkan dengan press release) merupakan format lumrah yang digunakan organisasi untuk menyediakan informasi kepada media berita. Berdasarkan model public relations, press release termasuk ke dalam kategori public information yang bersifat satu arah (Grunig dan Hunt, 1984:22). Sesuai dengan kategorinya, press release menitikberatkan pada penyebaran informasi kepada publik. Dalam dunia public relations, praktisi yang menerapkan model ini mendapat julukan “journalist in residence” atau wartawan yang berkantor di perusahaan yaitu praktisi yang sering menggunakan press release dalam membangun hubungan dengan media. Organisasi yang menggunakan press release sudah mempertimbangkan pentingnya kebenaran informasi yang akan disampaikannya, tidak seperti pada model press agentry yang hanya mementingkan publisitas yang menguntungkan organisasi. Kemunculan internet memudahkan praktisi humas untuk menjalin sekaligus memelihara komunikasi dengan publik internal dan eksternalnya. Schultz dan Barnes (1999:242) menjelaskan bahwa praktisi PR dapat memanfaatkan internet sebagai media untuk menyebarkan press release kepada publik dan siapapun dapat mengakses press release tersebut. Publik akan sangat tergantung kepada PR sebagai sumber informasi berita yang tidak tersaji di surat kabar dan media massa lainnya. Apalagi dalam konteks krisis, publik mengalami apa yang disebut dengan kesenjangan informasi sehingga perlu pertukaran informasi yang cepat. 18
Kecepatan respon organisasi penting untuk mengimbangi jurnalis media yang sangat aktif mencari informasi tentang krisis yang bahkan sulit dikontrol organisasi. Perry et al. (2003) telah mengembangkan suatu metode untuk menilai informasi krisis dalam website perusahaan dalam waktu 24 jam pertama setelah berita muncul. Bentuk informasi berbasis internet yang dikoding berupa media tradisional seperti news release dan transkrip tentang konferensi pers. Periode 24 jam dipilih karena rentang waktu ini berdasarkan waktu yang biasanya digunakan oleh jurnalis berita untuk mengunjungi website resmi perusahaan yang terlibat dalam krisis dalam rangka mengumpulkan informasi (Perry dan Taylor, 2005). Ada juga yang mengatakan bahwa periode 48 jam pertama setelah kecelakaan terjadi merupakan masa-masa paling kritis bagi organisasi karena rentang waktu itulah yang kelak menentukan persepsi stakeholder tentang krisis (Torossian, 2015). Ini berarti bahwa selama periode tersebut organisasi harus aktif dalam memberikan informasi kepada publik dalam rangka mengontrol kebenaran informasi. Jika dikombinasikan dengan periode 24 jam pertama, pendapat kedua ini dapat diterapkan dalam kasus kecelakaan pesawat AirAsia dan Malaysia Airlines. Hal ini disebabkan oleh pemberitaan krisis pertama muncul pada hari ketika kecelakaan terjadi yaitu pada tanggal 8 Maret dan 28 Desember 2014 sehingga 24 jam setelah pemberitaan krisis tercakup dalam 48 jam setelah kecelakaan terjadi. Kecepatan reaksi organisasi terhadap krisis dapat juga dilihat dari intensitas respon yg dikeluarkan oleh organisasi melalui website. Jurnalis media menjadi sangat aktif mencari informasi tentang krisis yang bahkan sulit dikontrol organisasi (Troester, 1991:531). Kenyataan ini mendorong praktisi humas untuk menggunakan model komunikasi satu arah seperti press release karena organisasi dapat mengontrol informasi di dalamnya. Akan tetapi, usaha praktisi humas agar tulisannya dimuat di media masa terhambat karena beberapa alasan seperti tingkat kemenarikan berita (newsworthiness) rendah dan informasi yang berat sebelah. Masalah ini setidaknya dapat dikurangi dengan pemahaman praktisi humas terhadap karakteristik berita jurnalistik. Menurut
19
Aronoff (1975) jurnalis dan praktisi humas sama-sama menempatkan “akurasi” dan “kemenarikan berita” sebagai dua nilai terpenting dalam sebuah tulisan. Press release menggunakan gaya penulisan berita dan memperhatikan nilai-nilai berita seperti netralitas, akurasi, newsworthiness dan objektivitas (Smith, 2003:123-129). Penulisan press release mengikuti pola piramida terbalik dimana informasi paling penting disampaikan di awal tulisan atau lead. Selanjutnya, diikuti oleh badan berita yang berisi informasi pendukung. Pola ini memudahkan editor media masa untuk menemukan pokok-pokok informasi yang terkandung dalam press release. Sedangkan dari segi konten, press release dapat dilihat dari kelengkapan lead, pemilihan narasumber, penggunaan kutipan langsung, penggunaan fact sheet, pencantuman tanggal rilis, dan pencantuman contact person. Menurut Smith (2003:152-156) ada 2 tipe press release yakni sebagai berikut, 1.
Announcement releases merupakan rilis yang memuat tentang acara yang
sudah direncanakan. Rilis jenis ini digolongkan lagi menjadi beberapa jenis yaitu; (1) event releases menyajikan informasi tentang suatu kejadian atau acara menarik yang akan terjadi dalam waktu dekat; (2) personnel releases menyangkut tentang promosi dan pergantian pekerja terutama pada level manajemen; (3) progress releases fokus pada informasi perkembangan internal organisasi yang biasanya diterbitkan secara periodik; (4) program releases menyajikan informasi tentang jenis pelayanan baru kepada publik; (5) product releases fokus pada informasi produk atau fasilitas baru atau yang sudah ada; (6) bad-news releases fokus pada informasi yang berkaitan dengan kejadian buruk yang menimpa organisasi seperti product recalls dan pengambilalihan perusahaan; (7) crisis releases biasanya digunakan untuk merespon secara langsung dan akurat krisis yang bersifat tidak terduga dan berdampak buruk bagi perusahaan. 2.
Follow-up releases merupakan rilis yang berguna untuk merespon
kejadian ataupun laporan sebelumnya. Rilis ini terdiri dari; (1) new-information releases menyajikan informasi lanjutan tentang acara sebelumnya dan biasanya beberapa informasi ditulis ulang karena banyak pembaca yang tidak familiar 20
dengan rilis pertama; (2) comment releases berisi respon organisasi terhadap kejadian atau berita media yang melibatkan organisasi tersebut (3) position releases berisi tentang opini resmi dari orang tertentu menyangkut isu publik tertentu yang berhubungan dengan organisasinya; (4) public-interest tie-in releases biasanya berisi pernyataan organisasi tentang suatu kejadian yang sebenarnya tidak melibatkan organisasi bersangkutan secara langsung namun dapat mempengaruhinya; (5) speech releases merupakan laporan tertulis atau transkrip tentang apa yang telah disampaikan oleh perwakilan organisasi terhadap isu tertentu. Seorang public relations dapat memilih untuk menulis press release dengan gaya straight news atau feature news. Walaupun feature news bukanlah yang dicari oleh seorang editor media masa, namun pesan dapat disajikan lebih mendalam dan menarik interest pembaca (Smith, 2003:207). Menurut Kusumaningrat (2006:99-156) news release merupakan rilis berbentuk straight news yang sekedar menyampaikan pokok-pokok informasi yang penting, terikat pada waktu (menuntut aktualitas dan cepat basi) dan biasanya mempunyai ukuran yang lebih pendek, sedangkan feature release tidak terlalu tergantung kepada aktualitas, menyangkut hal-hal yang bersifat human interest atau menarik, dan mempunyai ukuran yang lebih panjang. Dari segi ukuran atau banyaknya paragraf, menurut Kriyantono (2008:142-148) press release dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu paragraf pendek (terdiri dari 1-7 paragraf), paragraf sedang (terdiri dari 8-12 paragraf), paragraf panjang (terdiri dari 13-17 paragraf). Semakin banyak jumlah paragraf menandakan bahwa baik organisasi ataupun media mengagendakan peristiwa tersebut sebagai berita yang disajikan dengan penguraian yang lengkap dan mendalam. Press release dapat juga dinilai dari elemen substansial yang menyusunnya. Berikut adalah substansi yang terkandung di dalam sebuah rilis. 1.
Kelengkapan lead menurut Kriyantono (2002, 142-148) dapat digolongkan
menjadi dua jenis yaitu lead lengkap (teras formal) dan lead tidak lengkap (teras
21
informal). Lead digolongkan lengkap jika mengandung unsur 5W+1H sedangkan yang tidak lengkap hanya memenuhi 2 hingga 5 unsur 5W+1H. 2.
Narasumber dalam kaitannya dengan krisis dapat berasal dari dua arah
yaitu internal organisasi seperti public relations, direktur eksekutif, kepala departemen, karyawan dan lain-lain) dan eksternal organisasi seperti pejabat pemerintah, tokoh politik, tokoh sosial, mitra kerjasama, masyarakat dan akademisi (McNamara, 1996:4 dan Coombs, 2010:397). Cara paling umum untuk mengutip pernyataan orang adalah dengan menggunakan kata kerja dalam konteks lampau baik melalui kutipan langsung ataupun parafrasa (Smith, 2003:125-126). Idealnya narasumber juga diperjelas identitasnya dengan membubuhkan gelar beserta nama yang bersangkutan. 3.
Penggunaan kutipan merupakan pernyataan yang dikatakan langsung oleh
narasumber terkait dan berfungsi untuk menambah kredibilitas informasi serta memudahkan editor untuk membuat berita (Kriyantono, 2008:142-148). Pernyataan dalam kutipan langsung dapat diidentifikasi dari penggunaan tanda kutip (“). 4.
Penggunaan fact sheet tulisan yang biasanya menyertai rilis dan bersifat
melengkapi informasi yang tidak tersampaikan lewat press release karena keterbatasan ruang (Prayudi, 2007:43-47) 5.
Pencantuman tanggal rilis menurut Kriyantono (2008:142-143) memuat
tanggal, bulan dan tahun yang dapat mengidentifikasi waktu pembuatan rilis. 6.
Pencantuman contact person menurut Prayudi (2007:43-47) terdiri dari
nama, email, alamat, nomor telepon yang menjadi identitas pembuat rilis
F.
Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya berikut
ini adalah kerangka konsep yang telah dipilih menjadi pondasi penelitian.
22
Gambar 1.1 Kerangka Konsep1
Pendekatan yang digunakan penelitian ini berdasarkan asumsi bahwa krisis merupakan ancaman bagi reputasi perusahaan, sehingga dibutuhkan strategi komunikasi yang tepat untuk menangani krisis. Pondasi teoritis penelitian ini merujuk pada definisi krisis Coombs (2005) yang melihat krisis secara lebih holistik dari perspektif organisasi yaitu sebagai suatu kejadian tidak terduga yang
1
Bagan konsep dibuat oleh peneliti berdasarkan teori dan konsep yang sudah dipilih. Garis putusputus menandakan konsep yang tidak dibedah menjadi unit analisis namun penting untuk menjelaskan fenomena penelitian secara lebih komprehensif.
23
dapat mengancam kerja organisasi, industri atau stakeholder sehingga diperlukan manajemen krisis. Sebagai usaha untuk menjelaskan tipe krisis dan hubungannya terhadap level tanggung jawab yang dipikul organisasi, peneliti juga menggunakan sistem penilaian dua tahap SCCT (Coombs, 2010). Konsep tentang karakteristik organisasi juga akan digunakan untuk melihat bagaimana ciri khas organisasi Malaysia Airlines sebagai organisasi pemerintah dan AirAsia sebagai organisasi swasta mempengaruhi cara mereka dalam merespon krisis (McNamara, 2007; Moore, 2000). Peneliti akan menilai aspek press release sebagai media untuk menyampaikan komunikasi krisis. Press release dinilai dari dua kategori yaitu penampilan fisik dan substansi. Beberapa aspek penampilan fisik press release yang akan diteliti telah dipilih dan sesuaikan dengan topik penelitian, yakni sebagai berikut 1. Tipe press release terdiri dari (1) event releases menyajikan informasi tentang suatu kejadian atau acara menarik yang akan terjadi dalam waktu dekat; (2) progress releases fokus pada informasi perkembangan internal organisasi yang biasanya diterbitkan secara periodik; (3) bad-news releases fokus pada informasi yang berkaitan dengan kejadian buruk yang menimpa organisasi seperti product recalls dan pengambilalihan perusahaan; (4) crisis releases biasanya digunakan untuk merespon secara langsung dan akurat krisis yang bersifat tidak terduga dan berdampak buruk bagi perusahaan; (5) new-information releases menyajikan informasi lanjutan tentang acara sebelumnya dan biasanya beberapa informasi ditulis ulang karena banyak pembaca yang tidak familiar dengan rilis pertama; (6) comment releases berisi respon organisasi terhadap kejadian atau berita media yang melibatkan organisasi tersebut; (7) position releases berisi tentang opini resmi dari orang tertentu menyangkut isu publik tertentu yang berhubungan dengan organisasinya; (8) public-interest tie-in releases biasanya berisi pernyataan organisasi tentang suatu kejadian yang sebenarnya tidak melibatkan
organisasi
bersangkutan
secara
langsung
namun
dapat
mempengaruhinya; (9) speech releases merupakan laporan tertulis atau transkrip
24
tentang apa yang telah disampaikan oleh perwakilan organisasi terhadap isu tertentu (Smith, 2003:152-156). 2.
Format press release terdiri dari 2 jenis yaitu (1) news releases merupakan
rilis berbentuk straight news yang sekedar menyampaikan pokok-pokok informasi yang penting, terikat pada waktu (menuntut aktualitas dan cepat basi) dan biasanya mempunyai ukuran yang lebih pendek; (2) feature releases tidak terlalu tergantung kepada aktualitas, menyangkut hal-hal yang bersifat human interest atau menarik, dan mempunyai ukuran yang lebih panjang (Kusumaningrat, 2006:99-156). 3.
Ukuran press release mengkategorikan rilis menjadi 3 kelompok yaitu
paragraf pendek (terdiri dari 1-7 paragraf), paragraf sedang (terdiri dari 8-12 paragraf) dan paragraf panjang (terdiri dari 13-17 paragraf) (Kriyantono, 2008:142-148). Dalam penulisan online lumrah ditemukan paragraf pendek yang hanya terdiri dari 2 bahkan 1 kalimat. Satu paragraf dengan paragraf lainnya biasanya dibatasi oleh spasi. Beberapa bentuk tulisan seperti press release, artikel situs berita dan website organisasi banyak ditemukan hal seperti ini. Misalnya dalam “Why India's Mars mission is so cheap - and thrilling” dalam bbc.com dan “Five years in Bali jail possible for NZ man” dalam stuff.co.nz. Sedangkan untuk kategori substansi press release, peneliti meggunakan konsep-konsep sebagai berikut, 1.
Kelengkapan lead dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu lead lengkap
(teras formal) yang mengandung semua unsur 5W+1H dan lead tidak lengkap (teras informal) yang hanya memenuhi 2 hingga 5 unsur 5W+1H (Kriyantono, 2002:142-148) 2.
Narasumber dalam kaitannya dengan krisis dapat berasal dari dua arah
yaitu internal organisasi seperti public relations, direktur eksekutif, kepala departemen, karyawan dan lain-lain) dan eksternal organisasi seperti pejabat pemerintah, tokoh politik, tokoh sosial, mitra kerjasama, masyarakat dan akademisi (Macnamara, 1996:4 dan Coombs, 2010:397)
25
3.
Penggunaan kutipan merupakan pernyataan yang dikatakan langsung oleh
narasumber terkait dan berfungsi untuk menambah kredibilitas informasi serta memudahkan editor untuk membuat berita (Kriyantono, 2008:142-148) 4.
Pencantuman tanggal rilis memuat tanggal, bulan dan tahun yang dapat
mengidentifikasi waktu pembuatan rilis (Kriyantono, 2008:142-143) Konsep strategi komunikasi krisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah konsep SCCT crisis response strategies (Coombs, 2007b:140) yang terdiri dari empat kelompok yaitu (1) denial posture, (2) diminish posture, (3) rebuild posture (ketiganya digolongkan ke dalam strategi primer) dan (4) bolstering posture (strategi sekunder). Denial terdiri dari attack the accuser (menyerang pihak-pihak yang mengklaim krisis terjadi), denial (organisasi menegaskan tidak terjadi krisis), dan scapegoating (menyalahkan sekelompok orang atau grup di luar organisasi). Diminish terdiri dari excuse (meminimalkan tanggung jawab terhadap krisis dengan alasan tidak ada niat buruk maupun disengaja atau di luar batas kemampuan organisasi) dan justification (meminimalkan kerusakan akibat krisis yang dirasakan organisasi secara personal). Rebuild terdiri dari compensation (organisasi memberi uang atau buah tangan lain kepada korban krisis) dan apology (bertanggungjawab sepenuhnya terhadap krisis dan meminta maaf kepada stakeholders). Bolstering terdiri dari reminder (memberitahu stakeholder tentang perbuatan baik organisasi dahulu), ingratiation (menyenangkan stakeholder atau mengingatkan kembali kebaikan organisasi) dan victimage (mengingatkan stakeholder bahwa organisasi juga menjadi korban krisis). Peneliti juga akan menambahkan dua konsep pemberian informasi (information giving) yang ditawarkan Sturges (1994:308) yaitu instructing information dan adjusting information untuk melihat jenis informasi yang diberikan organisasi saat krisis. a. Instructing information berarti memberitahu publik bagaimana mereka harus bereaksi terhadap krisis secara fisik ataupun finansial termasuk penjelasan tentang apa yang organisasi lakukan untuk menjalankan sistem operasinya (Sturges, 1994; Barton, 2001; Coombs, 2007). 26
b. Adjusting information berarti menjelaskan siapa, apa, dimana, kapan terjadinya krisis, membantu publik secara psikologis dalam menghadapi krisis, menjelaskan langkah pencegahan agar krisis tidak terulang lagi (Coombs, 2011). c. Instructing-Adjusting Information berarti menjelaskan dua hal sekaligus yaitu pedoman tentang bagaimana publik harus bereaksi dan membantu publik secara psikologis dalam menghadapi krisis (Coombs dan Holladay, 2011). Berdasarkan kerangka konsep yang sudah dijelaskan sebelumnya, unit analisis dan kategorisasi yang digunakan adalah sebagai berikut Tabel 1.3 Unit Analisis dan Kategorisasi No
Unit Analisis
1.
Penampilan fisik press release
Tipe press release
Format press release
Ukuran press release
2.
Kategori
Event release = 1
Progress release = 2
Bad-news release = 3
Crisis release = 4
New Information releases = 5
Comment release = 6
Position release = 7
Public-interest tie-in releases = 8
Speech releases = 9
News release= 1
Feature release= 2
Paragraf pendek (1-7 paragraf)= 1
Paragraf sedang (8-12 paragraf)= 2
Paragraf panjang (13-17 paragraf)= 3
What = 1
Substansi press release Kelengkapan lead
27
Pencantuman tanggal rilis
Who = 2
When = 3
Where = 4
Why = 5
How = 6
Ada = 1
Tidak ada = 0
Internal (CEO, Public Relations, dll) = 1
Pejabat pemerintah = 2
Tokoh politik = 3
Tokoh sosial = 4
Masyarakat = 5
Mitra kerjasama = 6
Penggunaan kutipan
Ada = 1
langsung
Tidak ada = 0
Narasumber
3.
Strategi komunikasi krisis SCCT: Attack the
accuser = a
Denial Posture = 1
Denial = b Scapegoat = c
Primary Crisis Response Strategies
Diminish Posture = 2
Secondary Crisis
Response Strategies 28
Excuse = a
Justification = b
Rebuild Posture = 3
Compensation =a
Apology = b
Bolstering
Reminder = a
Posture = 4
Ingratiation =
b 4.
G.
Victimage = c
Pemberian Informasi
Instructing Information = 1
(Information Giving)
Adjusting Information = 2
Instructing-Adjusting Information = 3
Definisi Operasional Berdasarkan unit analisis yang telah dipaparkan pada kerangka konsep,
berikut adalah definisi operasional masing-masing unit analisis. 1.
Penampilan fisik press release a. Tipe press release terdiri dari 9 jenis yaitu (1) Event releases menyajikan informasi tentang suatu kejadian atau acara menarik yang akan terjadi dalam waktu dekat (2) Progress releases fokus pada informasi perkembangan internal organisasi yang biasanya diterbitkan secara periodik (3) Bad-news releases fokus pada informasi yang berkaitan dengan kejadian buruk yang menimpa organisasi seperti product recalls dan pengambilalihan perusahaan (4) Crisis releases biasanya digunakan untuk merespon secara langsung dan akurat krisis yang bersifat tidak terduga dan berdampak buruk bagi perusahaan (5) New-information releases menyajikan informasi lanjutan tentang acara sebelumnya dan biasanya beberapa informasi ditulis ulang karena banyak pembaca yang tidak familiar dengan rilis pertama (6) Comment releases berisi respon organisasi terhadap kejadian atau berita media yang melibatkan organisasi tersebut (7) Position releases berisi tentang opini resmi dari orang tertentu menyangkut isu publik tertentu yang berhubungan dengan organisasinya 29
(8) Public-interest tie-in releases biasanya berisi pernyataan organisasi tentang suatu kejadian yang sebenarnya tidak melibatkan organisasi
bersangkutan
secara
langsung
namun
dapat
mempengaruhinya (9) Speech releases merupakan laporan tertulis atau transkrip tentang apa yang telah disampaikan oleh perwakilan organisasi terhadap isu tertentu. b.
Format press release terdiri dari 2 jenis yaitu (1) news releases meru
pakan rilis berbentuk straight news yang sekedar menyampaikan pokokpokok informasi yang penting, terikat pada waktu (menuntut aktualitas dan cepat basi) dan biasanya mempunyai ukuran yang lebih pendek; (2) feature releases tidak terlalu tergantung kepada aktualitas, menyangkut hal-hal yang bersifat human interest atau menarik, dan mempunyai ukuran yang lebih panjang c.
Ukuran press release mengkategorikan rilis menjadi 3 kelompok
yaitu paragraf pendek (terdiri dari 1-7 paragraf), paragraf sedang (terdiri dari 8-12 paragraf) dan paragraf panjang (terdiri dari 13-17 paragraf). Setiap paragraf dalam press release online biasanya terdiri dari 1 hingga 3 kalimat saja. 2.
Substansi press release a.
Kelengkapan lead dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu lead
lengkap (teras formal) yang mengandung semua unsur 5W+1H dan lead tidak lengkap (teras informal) yang hanya memenuhi 2 hingga 5 unsur 5W+1H b.
Narasumber dalam kaitannya dengan krisis dapat berasal dari dua
arah yaitu internal organisasi seperti public relations, direktur eksekutif, kepala departemen, karyawan dan lain-lain) dan eksternal organisasi seperti pejabat pemerintah, tokoh politik, tokoh sosial, mitra kerjasama, masyarakat dan akademisi
30
c.
Penggunaan kutipan merupakan pernyataan yang dikatakan
langsung oleh narasumber terkait dan berfungsi untuk menambah kredibilitas informasi serta memudahkan editor untuk membuat berita d.
Pencantuman tanggal rilis memuat tanggal, bulan dan tahun yang
dapat mengidentifikasi waktu pembuatan rilis 3.
Strategi komunikasi krisis a. Primary Crisis Response Strategies a) Denial Posture 1. Attack the accuser, digambarkan dengan kalimat organisasi menyerang
pihak-pihak
yang
mengklaim
terjadinya
krisis,
termasuk juga ancaman ke pengadilan. Misalnya, Perdana Menteri Malaysia menuntut pihak bbc.com yang telah melaporkan berita kecelakaan MH370 2. Denial, diwakili dengan kalimat organisasi menolak terjadi krisis atau tidak terlibat sama sekali, termasuk penjelasan mengapa tidak terjadi krisis. Misalnya Tony Fernandes sangat yakin bahwa QZ8501 telah mendarat dengan selamat sampai tujuan. 3. Scapegoating, misalnya organisasi menyalahkan sekelompok orang atau grup di luar organisasi atas terjadinya krisis. Misalnya, Malaysia Airlines menyalahkan operator ATC yang mengizinkan pilot untuk naik ketinggian menjadi 40.000 kaki sebelum akhirnya pesawat jatuh. b) Diminish Posture 1. Excuse, misalnya organisasi meminimalkan tanggung jawab terhadap krisis dengan alasan tidak ada niat buruk maupun disengaja atau di luar batas kemampuan organisasi. Misalnya, Tony Fernandes mengatakan bahwa pesawatnya telah lolos uji kelayakan terbang dan kecelakaan QZ8501 berada di luar kontrol pihak AirAsia.
31
2. Justification, misalnya organisasi meminimalkan kerusakan akibat krisis yang dirasakannya secara persnal, termasuk juga klaim bahwa kerusakan bersifat minor atau merasa bahwa korban wajar ditimpa masalah. Misalnya, Tony Fernandes berpendapat bahwa setiap pesawat pasti pernah mengalami gangguan teknis dan berdasarkan hasil rekaman pilot kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti prosedur penanganan yang legal. c) Rebuild Posture 1. Compensation, misalnya organisasi memberi uang, kompensasi atau buah tangan lain kepada korban krisis. Contohnya, AirAsia memastikan bahwa semua keluarga korban pesawat QZ8501 akan menerima dukungan dana dan asuransi termasuk juga akomodasi dan biaya transportasi. 2. Apology, misalnya organisasi bertanggungjawab sepenuhnya terhadap krisis dan meminta maaf kepada stakeholders. Contohnya, Sunu Widyatmoko, CEO AirAsia Indonesia mengatakan, “Kami sangat terkejut dan sedih atas terjadinya insiden ini. Kami sedang bekerja sama dengan pemerintah terkait untuk menemukan penyebab kecelakaan pesawat. Sementara itu, prioritas utama adalah selalu memberikan informasi terbaru kepada keluarga korban.”
b. Secondary Crisis Response Strategies d) Bolstering Posture 1. Reminder, misalnya organisasi mengingatkan kembali tentang perbuatan atau pencapaian baik organisasi dahulu. Contohnya, performa AirAsia telah meningkat secara signifikan hingga dinobatkan sebagai Maskapai Berbiaya Hemat Terbaik Dunia dan Maskapai Berbiaya Hemat Terbaik Asia selama tujuh tahun berturut-turut dari Skytrax.
32
2. Ingratiation, misalnya organisasi memuji, mengagungkan atau berterima kasih kepada stakeholder atas kerjasamanya selama krisis. Contoh, AirAsia berterima kasih kepada pihak keluarga korban karena mau bekerja sama selama krisis walaupun dalam situasi berduka 3. Victimage, misalnya organisasi mengingatkan stakeholder bahwa organisasi juga menjadi korban krisis. Contohnya, Malaysia Airlines merasa tidak berdaya dan hanya menjadi korban dalam kecelakaan pesawat tersebut.
4.
Pemberian informasi (information giving) a. Instructing information, berarti organisasi memberi pedoman atau petunjuk bagaimana publik harus bereaksi terhadap krisis secara fisik ataupun finansial termasuk juga menjelaskan keberlanjutan operasional (business continuity) pasca krisis. Misalnya, himbauan untuk menghubungi nomor darurat terkait krisis, atau agar media tidak memberitakan hal-hal yang tidak menghormati perasaan korban. b. Adjusting information, berarti menjelaskan siapa, apa, dimana, kapan terjadinya
krisis,
membantu
publik
secara
psikologis
dalam
menghadapi krisis, menjelaskan langkah pencegahan agar krisis tidak terulang lagi dan termasuk juga ekspresi simpati organisasi terhadap korban krisis. Misalnya, memberikan layanan konseling gratis kepada keluarga korban, memberitahu secara rinci siapa, apa dan dimana hilangnya pesawat MH370, langkah yang diambil organisasi untuk menangani efek krisis, ekspresi simpati seperti doa Malaysia Airlines selalu menyertai korban penumpang MH370 dan termasuk juga tindakan korektif yang ditempuh agar krisis yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang. c. Instructing-adjusting information, berarti organisasi memberi petunjuk bagaimana publik harus bereaksi dan juga membantu publik secara psikologis dalam menghadapi krisis. 33
H.
Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis isi (content
analysis) untuk membandingkan, mengklasifikasikan dan mendeskripsikan strategi komunikasi krisis. Analisis isi oleh Kerlinger yang dikutip oleh Wimmer dan Dominick (1991:137) didefinisikan
sebagai
sebuah
metode
untuk
mempelajari dan menganalisis komunikasi dengan cara yang sistematis, objektif dan kuantitatif dalam rangka mengukur variabel. Metode ini dianggap paling tepat karena keunggulannya dan relevansinya terhadap analisis pesan media. Kelebihan dari analisis isi selain spesialisasinya terhadap konten adalah standar pengukurannya yang jelas (objektif dan akuntabel), mudah direplikasi, dan sistem coding memungkinkan untuk kerja masal.
2. Objek Penelitian Objek yang dipilih dalam penelitian ini adalah press release dalam situs resmi airasia.com dan malaysiaairlines.com. Peneliti hanya akan mencatat apa yang tertulis dalam teks press release tanpa melakukan pembedahan teks secara lebih mendalam. Penelitian dilakukan dengan teknik sensus yaitu meneliti seluruh populasi berdasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, keseluruhan populasi berarti memungkinkan peneliti untuk tetap menjaga diversitas pesan yang dimuat sesuai dengan aslinya. Kedua, jumlah teks yang diteliti periode waktu yang digunakan berdasarkan waktu pertama kali dan terakhir kali diterbitkannya press release pada masing-masing situs resmi kedua maskapai. Total jumlah press release yang dijadikan objek penelitian sebanyak 135 teks yang terdiri dari 74 teks dalam situs malaysiaairlines.com dan 61 teks dalam situs airasia.com. Press release AirAsia yang diteliti berada dalam periode waktu 28 Desember 2014 sampai dengan 4 Maret 2015. Sedangkan press release Malaysia Airlines yang diteliti ada dalam rentang waktu 8 Maret 2014 hingga 6 Agustus 2015.
34
3. Teknik Pengumpulan Data Sebagai langkah pertama, peneliti mencari teks press release yang diterbitkan oleh kedua maskapai pada situs airasia.com dan malaysiaairlines.com. Pada situs malaysiaairlines.com, menu “press room” pada tab corporate info memuat semua press release yang diterbitkan oleh pihak Malaysia Airlines. Peneliti kemudian memilih “MH370: Media Statement” untuk mengumpulkan semua press release yang hanya berkaitan dengan kasus MH370. Sedangkan pihak
AirAsia
membuat
situs
resmi
khusus
yaitu
http://qz8501.airasia.com/index.html untuk mengunggah seluruh press release yang berkaitan dengan kecelakaan QZ8501. Situs ini terhubung dengan situs resmi airasia.com/my yang dioperasikan langsung oleh AirAsia Berhad yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Proses pengkodingan menggunakan lembar kode (coding sheet) yang didalamnya berisi kolom-kolom guna merekam variabel yang ingin diteliti. Pengkodingan dalam penelitian ini dilakukan 2 koder yaitu peneliti sendiri dan satu asisten peneliti yang merupakan mahasiswa S2 Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret. Oleh peneliti utama, koder kedua dilatih untuk memahami buku kode sebagai acuan kegiatan penelitian analisis isi termasuk juga mempelajari masingmasing klasifikasi dan kategori yang telah ditetapkan.
4. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deksriptif yaitu distribusi frekuensi dan krostabulasi. Statistika deskriptif (descriptive statistic) berkaitan dengan penerapan metode statistik untuk mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menganalisis data kuantitatif secara deskriptif. Analisis distribusi frekuensi digunakan untuk mendapatkan angka-angka yang merupakan respon dari unit-unit analisis yang berbeda dan dituangkan dalam bentuk persentase. Krostabulasi adalah sebuah teknik visual yang memungkinkan peneliti menguji relasi antarunit analisis. Teknik ini akan memperlihatkan porsi masing-masing unit analisis strategi komunikasi krisis di masing-masing situs. 35
5. Uji Reliabilitas dan Validitas Reliabilitas adalah pengukuran terhadap konsep-konsep penelitian untuk mengetahui sejauh mana konsistensi hasil yang diberikannya jika diuji berkalikali terhadap objek yang sama sedangkan validitas merujuk pada sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Penelitian analisis isi setidaknya menggunakan 2 koder untuk menguji reliabilitas dan validitas antar koder. Reliabilitas dapat diperoleh dari rumus kappa reliabilitas Cohen (Prajarto, 2010:65-66) yaitu,
Rumus Reliabilitas Cohen CR = 2M : N1+N2
Keterangan: CR
= koefisien reliabilitas
M
= Jumlah pernyataan yang disetujui kedua pengode
N1 dan N2
= Jumlah pernyataan yang dikode oleh koder pertama dan kedua
Kemudian dicocokkan dengan Tabel Makna Besaran Kappa berikut:
Tabel 1.4 Makna Besaran Kappa Kappa Statistik
Kekuatan Persetujuan
< 0.00
Sangat Kecil
0.00 – 0.20
Kecil
0.21 – 0.40
Cukup
0.41 – 0.60
Besar
0.61 – 0.80
Sangat Besar
0.81 – 1.00
Nyaris Sempurna
36
Dari tabel tersebut, apabila hasilnya sudah mencapai kategori cukup, maka secara otomatis reliabiltas dan validitas dari penelitian ini bisa dikatakan tidak meragukan dan coding dalam penelitian ini bisa dipertanggungjawabkan. Berikut ini adalah hasil uji reliabilitas2 yang peneliti dapatkan dengan menggunakan rumus reliabilitas Cohen Tabel 1.5 Hasil Uji Reliabilitas No
Unit Analisis
CR
1.
Penampilan fisik press release
0.88
2.
Substansi press release
0.88
3.
Strategi komunikasi krisis
0.91
4.
Pemberian informasi
0.82
Rata-rata CR
0.87
Berdasarkan data tabel tersebut maka instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini reliabel atau dapat dipertanggungjawabkan.
2
Telah diujikan kepada 2 koder terhadap 67 teks press release yang diambil secara acak. Jumlah tersebut merupakan sample untuk uji reliabilitas yang masing-masing berjumlah 30 teks (50%) dari AirAsia dan 37 teks (50%) dari Malaysia Airlines. Perhitungan matematis yang lebih detail dapat dilihat pada halaman lampiran.
37