BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat esensial adalah obat terpilih yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya (Depkes RI, 2006). Agar sistem pelayanan kesehatan berfungsi dengan baik, obat esensial harus selalu tersedia dalam jenis dan jumlah yang memadai, bentuk sediaan yang tepat, mutu terjamin, informasi yang memadai, dan dengan harga yang terjangkau. Penerapan konsep obat esensial dilakukan melalui DOEN, pedoman pengobatan, formularium rumah sakit, daftar obat terbatas lain dan informatorium obat nasional Indonesia yang merupakan komponen saling terkait untuk mencapai peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan penggunaan obat. Salah satu obat esensial yang merupakan kelompok narkotika yang digunakan untuk medis adalah analgetika narkotika (Kemenkes RI, 2013). Narkotika
lebih
dikenal
oleh
masyarakat
karena
masalah
penyalahgunaannya. Yang kadang terlupakan, sebagian narkotika sangat diperlukan untuk pelayanan medis. Menurut Undang-undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan narkotika golongan tertentu dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Obat analgetika opioid meliputi morfin, petidin, dan fentanil justru termasuk dalam obat esensial, yang harus dijamin ketersediaannya (Kemenkes RI,2013). Menurut data International Narcotics Control Board (INCB) tahun 2010 menunjukkan tingkat tertinggi konsumsi analgesik opioid adalah di Amerika Utara, Oceania dan Eropa, sedangkan di Afrika dan Asia masih kurang. Di Asia Timur dan Tenggara, konsumsi analgetik opioid didominasi oleh Korea Selatan dan Jepang, sedangkan di negara-negara lain termasuk Indonesia tingkat konsumsi
1
2
analgesik opioid masih minim. Tidak ada konsumsi analgesik opioid dilaporkan
Timor leste
Myanmar
Laos
Kamboja
Indonesia
Filipina
Vietnam
Korea Utara
Mongolia
Thailand
Cina
Brunei Darussalam
Malaysia
Macao
Singapura
Hongkong
Jepang
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Korea Selatan
S‐DDD per million inhabitans per day
oleh Timor Leste (Gambar 1).
Gambar 1. Konsumsi Rata-rata Analgesik Opioid di Asia Timur dan Tenggara Tahun 2007-2009 (INCB,2010) Secara global situasi terkini penggunaan analgesik opioid untuk medis dapat dilihat pada Gambar 2. Konsumsi obat-obatan narkotika untuk menghilangkan nyeri terkonsentrasi di sejumlah negara. Akses terhadap obat ini terus menjadi tidak merata dengan konsumsi terkonsentrasi terutama di negaranegara di Amerika Utara, Eropa Barat dan Oseania, sedangkan negara-negara lain termasuk Indonesia konsumsinya masih rendah. Ketidakseimbangan ini sangat bermasalah karena data terbaru yang tersedia menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen kematian akibat kanker terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tanpa tindakan berkelanjutan, kejadian kanker diproyeksikan meningkat sebesar 70 persen di negara-negara berpenghasilan menengah dan 82 persen di negara-negara berpenghasilan rendah pada tahun 2030 (INCB,2014). Selama analgesik opioid tetap tidak dapat diakses oleh sebagian besar orang di seluruh dunia, pasien tidak akan dapat memperoleh manfaat kesehatan yang merupakan hak mereka seperti tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sedangkan di negara-negara lain overprescribing dan ketersediaan analgesik opioid dalam jumlah yang lebih besar dari yang dibutuhkan untuk
3
perawatan medis dapat menyebabkan peredaran gelap dan penyalahgunaan dengan konsekuensi negatif seperti overdosis dan kecanduan (INCB,2014).
Gambar 2. Peta Ketersediaan Analgesik Opioid untuk Manajemen Nyeri Tahun 2010-2012 (INCB,2014) Pemerintah menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dengan penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika, meliputi upaya memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan (Pemerintah RI,2009). Menurut data Dewan Pengawas Narkotika Internasional atau INCB tahun 2008, menunjukkan bahwa penggunaan morfin sangat tinggi di beberapa Eropa dan Amerika Utara,
sedangkan di negara-negara lain termasuk Indonesia,
penggunaannya sangat rendah. Morfin bahkan tak tersedia di 70 negara dan teritori. Penyebabnya bisa karena kurang akuratnya penghitungan kebutuhan, kurang digunakan atau karena kebocoran distribusi. Di lain pihak, ketidakakuratan
4
penghitungan juga bisa menyebabkan surplus persediaan yang bisa menyebabkan kebocoran distribusi dan dapat mengarah ke penyalahgunaan (Suryawati, 2011). Data INCB tahun 2013 menunjukkan konsumsi narkotika untuk medis di Indonesia dalam 5 tahun terakhir (2008-2012) menunjukkan penggunaan tertinggi pada kodein, terjadi peningkatan konsumsi pada metadon, petidin mengalami fluktuasi, dan tidak terjadi peningkatan konsumsi pada bufrenorfin dan morfin selama periode Tahun 2008 sampai 2012 (Gambar 3). 1200 1000 800
BUFRENORFIN
kg
CODEIN 600
MORFIN METADON
400
PETIDIN 200 0 2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 3. Konsumsi Narkotika untuk Medis di Indonesia Tahun 2008-2012 (INCB,2013) Ada beberapa kondisi klinis yang membutuhkan analgesik narkotika seperti perawatan paliatif HIV / AIDS , kanker , ortopedi pembedahan. Morfin dan petidin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa nyeri. Tujuan Penatalaksanaan nyeri adalah mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri, menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten, mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri, meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri, meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Pemilihan obat penatalaksanaan nyeri tergantung pada intensitas nyeri dan mempertimbangkan kontraindikasi. Contoh obat golongan analgetik narkotika yang digunakan untuk penatalaksanaan nyeri
5
adalah morfin, petidin, fentanil. Morfin HCl digunakan untuk mengatasi nyeri kanker yang tidak respon terhadap analgetik non narkotik atau nyeri pada serangan jantung (Kemenkes, 2013a). Untuk perawatan nyeri akut dan paliatif, morfin lebih direkomendasikan berbentuk tablet, sehingga dapat dibawa pasien. Sedangkan petidin harus diberikan di rumah sakit. Berdasarkan survei INCB tahun 2007, hambatan ketersediaan analgesik opioid untuk penggunaan medis diantaranya adalah kekhawatiran akan ketergantungan, keraguan untuk meresepkan atau efek dari dampak hukum, kurangnya pelatihan perawatan kesehatan professional, adanya aturan yang membatasi produksi, distribusi, dan peresepan, beban persyaratan administrasi, kurangnya sarana dan tenaga profesional yang mendukung, dan minimnya pedoman atau kebijakan nasional terkait penggunaan narkotika untuk medis (Suryawati, 2011). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarbaru berlokasi di wilayah kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan, merupakan rumah sakit tipe C, memiliki 137 buah tempat tidur dengan cakupan pelayanan spesialis meliputi penyakit dalam, anak, obgin, bedah, anestesi, radiologi, patologi klinik, mata, neurologi, kulit dan kelamin, orthopedi, jantung, poliklinik kesehatan gigi dan mulut,dan poliklinik paru. Ketersediaan narkotika di Instalasi Farmasi meliputi fentanil injeksi, petidin injeksi, dan kodein tablet 10 mg, sedangkan morfin tidak tersedia. Pada studi awal di RSUD Banjarbaru diketahui bahwa penggunaan analgetika opioid dari laporan rutin
menunjukkan bahwa obat-obat tersebut jarang
digunakan, bahkan morfin tidak pernah digunakan (Tabel 1). Tabel 1. Penggunaan Analgetika Narkotika di RSUD Banjarbaru Tahun 2011-2013 Tahun
Morfin tablet
2011
Petidin injeksi (ampul) 25
0
Fentanil injeksi (ampul) 0
2012
47
0
0
2013
27
0
20
Sumber data : Instalasi Farmasi RSUD Banjarbaru
6
Dari studi awal di RSUD Banjarbaru diketahui bahwa banyak kasus penyakit yang dalam pengobatan semestinya
menggunakan analgetik opioid,
seperti infark miokard, dan stroke hemoragik (Ganiswara, 2014). Pada unit ICU ditemukan bahwa dari data 10 (sepuluh) penyakit terbanyak di rungan ICU tahun 2013 didominasi oleh stroke haemoragik dan infark miokard, sedangkan pada poliklinik neurologi banyak kasus stroke haemoragik. Melihat adanya permasalahan penggunaan analgetika narkotika tersebut, maka sangat menarik untuk diteliti apakah penyebab minimnya penggunaan itu karena kasusnya yang tidak ada atau ada sebab-sebab lain dari pihak prescriber. Dan sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang penggunaan analgetik opioid di RSUD Banjarbaru. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pola penggunaan analgetika opioid dalam 5 (lima) tahun terakhir di RSUD Banjarbaru? 2. Apakah tingkat penggunaan analgetika opioid dalam 5 (lima) tahun terakhir sesuai dengan pola kesakitan di RSUD Banjarbaru? 3. Apakah faktor yang menyebabkan prescriber kurang meresepkan analgetika opioid ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penggunaan analgetika opioid di RSUD Banjarbaru 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pola penggunaan analgetika opioid pada RSUD Banjarbaru dan kesesuaian penggunaannya dengan pola kesakitan. b. Mengetahui faktor - faktor yang menyebabkan prescriber kurang meresepkan analgetika opioid.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan penggunaan analgetika opioid di RSUD Banjarbaru. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan masukan ke rumah sakit mengenai penyebab minimnya penggunaan analgetika opioid sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi perbaikan pelayanan di masa mendatang. b. Memberikan informasi kepada para tenaga medis dan praktisi kesehatan lainnya sebagai dasar untuk meningkatkan penggunaan analgetika opioid di rumah sakit. E. Keaslian Penelitian 1. Guswita (2007), Evaluasi Penggunaan Analgesik Opioid pada Penanganan Nyeri Kanker Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta selama September-November 2006, dengan tujuan mengetahui profil penggunaan analgesik opioid serta mengevaluasi penggunaan analgesik opioid meliputi ketepatan tahapan pengobatan dan ketepatan dosis dengan standar terapi yang ada, efektifitas, serta efek samping. Penelitian ini bersifat observasi prospektif. Berdasarkan standar terapi yang dikeluarkan WHO dan Depkes RI, sebanyak 27,08% tahapan pengobatan tidak tepat, sebanyak 6,24% dosis yang digunakan tidak sesuai, kejadian efek samping obat sebanyak 47,92% pasien mengalami konstipasi. 2. Beaudoin et al., (2014), Prescriber Opioid Misuse among Emergency Department Patient Discharged with Opioids, dengan tujuan penelitian menentukan prevalensi penyalahgunaan peresepan opioid pada pasien gawat darurat yang menerima resep opioid dan meneliti faktor-faktor prediktif penyalahgunaan, menggunakan metode observasional prospektif dengan subyek pasien gawat darurat berusia 18-55 tahun yang dipulangkan dengan resep opioid. Hasil penelitian yaitu penyalahgunaan resep opioid lazim dikalangan kelompok pasien gawat darurat, dan faktor perilaku heterogen diprediksi sebagai faktor penyalahgunaan resep opioid.
8
3. Schubert et al., (2013), Increase in Opiate Prescriber in Germany Between 2000 and 2010, dengan tujuan penelitian untuk mengevaluasi kualitas perawatan dan penilaian penggunaan yang sedikit dan
penyalahgunaan
opioid. Data yang dianalisis dalam penelitian ini berasal dari sampel asuransi kesehatan tahun 2000-2010. Hasil penelitian bahwa persentase resep opioid meningkat dari 3,31% pada tahun 2000 menjadi 4,53% pada tahun 2010. Opioid kebanyakan diresepkan untuk pasien dengan nyeri non kanker. 4. Lewis ET et al., (2010), Reasons for Under-use of Prescriber Opioid Medications by patients in pain. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi prevalensi alasan dan implikasi penggunaan obat opioid yang kurang. Hasil penelitian adalah penggunaan opioid yang sedikit (20%) adalah lebih umum daripada penggunaan yang berlebih (9%), konsisten dengan penelitian tentang kepatuhan pengobatan. Peningkatan komunikasi antara pasien dan penyedia dan pengambilan keputusan bersama mengenai resep opioid dapat meningkatkan manajemen nyeri dan meminimalkan masalah yang terkait dengan resep over-opioid (misalnya, pengalihan). 5. Tamayo et al., (2004), Variability in Emergency Physician Decision Making about Prescriber Opioid Analgesics, dengan tujuan penelitian mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dokter gawat darurat untuk meresepkan analgesik opioid pada 3 kondisi nyeri umum. Survei 650 dokter yang dipilih secara acak dari American College of Emergency Physicians. Ada respon sebanyak 398 (63%) dari 634 dokter yang memenuhi syarat. Hasil penelitian menunjukkan keputusan dokter untuk meresepkan opioid sangat bervariasi ketika dihadapkan pada kondisi nyeri yang sama.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Analgetika Opioid dalam Penatalaksanaan Nyeri dan Paliatif Analgetika narkotika atau analgesik opioid yang digunakan dalam istilah farmakologi merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun morfin, digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan
rasa
nyeri
(Ganiswara,1995).
Menurut
International
Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan baik potensial maupun aktual atau diduga ada kerusakan jaringan (WHO,2012). World Health Organization telah menerapkan strategi penatalaksanaan nyeri secara farmakologis , yang dikenal dengan “WHO three-step analgesic ladder”. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO, meliputi 1) Penderita dengan nyeri ringan sampai sedang diobati dengan analgesik non opioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-obat tambahan jika ada indikasi, 2) Bila nyeri meningkat atau terjadi nyeri persisten ditambahkan dengan analgetika opioid yang digunakan untuk nyeri ringan dan nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, oksikodon profoksifen. Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa diberikan bersama-sama dengan analgesik ajuvan, 3) Bila nyeri meningkat taau terjadi nyeri persisten setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima analgetika opioid yang digunakan untuk nyeri sedang sampai berat (opioid kuat). Yang termasuk obat-obatan ini ialah morfin, oksikodon, hidromorfon, metadon, levofanol, fentanil (WHO,1996) Istilah “palliative” berasal dari bahasa Latin yaitu “pallium” yang artinya adalah menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi atau menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan kenyamanan ketika pengobatan yang ditujukan untuk menyembuhkan tidak mungkin (Muckaden et al., 2011). 9