BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kampanye politik merupakan prolog pesta demokrasi di Indonesia, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Menjelang Pemilu 2014, partai-partai politik yang kini menjadi peserta terus berjibaku untuk mengkomunikasikan visi dan misi mereka kepada massa pemilih lewat kampanye politik. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari beriklan di beragam media konvensional, hingga pelaksanaan acara-acara tatap muka yang menarik perhatian media massa. Harapannya jelas, yaitu suara yang melimpah setelah Pemilu dilaksanakan. Bergulirnya kampanye politik beriringan dengan gegap gempita massa pemilih, mulai dari sekedar pemerhati hingga simpatisan partai politik. Pembicaraan soal partai serta tokoh politik ramai memenuhi media-media sosial, dari yang sifatnya substansial hingga emosional. Pada pelaksanaan kampanye terbuka tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014, konvoi-konvoi, orasi terbuka, serta selingan hiburan konser juga kian ramai dibanjiri massa. Media massa pun tak mau ketinggalan. Seiring berjalannya kampanye, ribuan berita soal partai politik dan tokoh-tokoh kunci Pemilu 2014 membanjiri media massa. Berita positif, negatif, maupun netral berselang-seling menghiasi media televisi, radio, surat kabar, hingga media online. Topiknya pun beragam, mulai dari substansi kebijakan hingga hal-hal terkait kampanye politik. Media massa merupakan salah satu institusi paling penting dalam perjalanan kampanye politik. Alasannya sederhana, yakni di era dimana pemilihan umum (universal suffrage) dijalankan, lingkup yang mesti dijangkau partai politik sangatlah luas. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya perantara pesan yang mampu menjangkau massa pemilih di saentero negara. Fungsi ini dipenuhi media massa, sebagai elemen diseminasi ide-ide yang berskala besar atau massal (McQuail, 2010). Selain itu, hal 1
ini berkaitan dengan peran ideal media massa sebagai penyedia analisis mengenai isuisu yang menyangkut kepentingan publik. Di masa kampanye, para kandidat mengemukakan visi dan misi mereka menyangkut isu-isu tersebut. Tugas media, adalah menjelaskan keterkaitan antara masalah menyangkut isu-isu dalam kaitannya visi serta misi kandidat, agar pemilih memiliki landasan ketika memilih (Seib, 1994: 41). Dalam perannya yang demikian, media massa memegang peran kunci dalam proses kampanye politik. Fungsi media massa bagi kampanye politik menjadi krusial jika menilik tujuan kampanye politik: menggiring opini publik ke arah yang diharapkan partai politik (Holbrook, 1996 dalam Burton & Shea, 2010: 7). Ini tidak lepas dari kemampuan media massa, yang hingga kini, masih menjadi alat paling ampuh untuk menumbuhkan afeksi pemilih pada partai politik atau kandidat (Mujani, Liddle, dan Ambardi, 2012). Dalam hal ini, peneliti tidak berniat mendaulat media massa sematamata sebagai corong partai politik. Melainkan, pada suatu waktu, kepentingan kedua pihak (pemilih dan kandidat) pasti bertemu: publik membutuhkan media massa sebagai sumber informasi politik, dan kandidat membutuhkan media massa sebagai saluran
komunikasi
politik.
Pada
kondisi
inilah
media
massa
berperan
mengakomodasi keduanya. Momentum dimana media massa memegang perannya yang demikian, menjadi arena persaingan paling nyata bagi partai-partai peserta Pemilu. Tugas partai atau kandidat, dengan demikian, adalah menyusun perencanaan kampanye sedemikian rupa sehingga visi dan misi serta image, dapat menjadi pendorong opini positif publik terhadap mereka. Perencanaan ini kemudian diejewantahkan menjadi beragam praktek kampanye politik. Peneliti melihat transformasi susunan perencanaan menjadi praktek kampanye politik, salah satunya, pada kampanye terbuka Pemilu 2014. Kampanye terbuka ini dilaksanakan di seluruh Indonesia pada tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014. Kegiatan ini kebanyakan berupa konvoi, yang dilanjutkan dengan orasi terbuka dan beragam kegiatan lain dimana massa pemilih 2
dan kandidat bertatap muka. Momentum kampanye terbuka merupakan saat paling jelas dimana kandidat menyampaikan substansi kebijakan secara langsung. Di sinilah peran jurnalis sebagai penangkap dan penyalur visi dan misi kandidat kepada pemilih, terutama yang sedang tidak hadir pada saat orasi, mendapatkan tempatnya. Pada saat yang demikian, arena persaingan antara para kandidat dan partai politik terbuka lebar. Namun, agar persaingan dapat berlangsung secara sehat, ada satu syarat yang mesti dipenuhi: wartawan media massa bekerja secara profesional, dengan mendasarkan diri pada kepentingan publik. Wartawan mesti memaparkan fakta secara akurat, berusaha sebisa mungkin independen dan objektif. Dengan demikian kampanye terbuka yang dilaksanakan oleh semua partai memiliki kans untuk diliput, entah bagian baik atau buruknya, secara adil. Jika yang terjadi seperti itu, maka arena kompetisi akan berlangsung adil. Kebutuhan publik akan informasi politik akhirnya terpenuhi, dan publik mengetahui pula apa saja yang terjadi selama kampanye terbuka. Akan tetapi, masalah menjadi lain ketika kerja wartawan tidak profesional. Dalam hal ini, wartawan tidak lagi mendasarkan diri pada kepentingan publik, melainkan ada kepentingan ekonomi-politik tertentu. Jika demikian, fungsi media massa akan berjalan timpang. Jika fungsinya sudah timpang, maka arena tidak lagi layak. Akibatnya, sebaik apapun substansi kebijakan yang disusun serta model kampanye yang dilaksanakan partai politik lain—yang mana kepentingannya berlawanan—akan dihadapi dengan mata buta. Akibat terburuknya, informasi politik yang diterima publik tidak lagi komplit, seiring adanya kans bagi substansi visi-misi partai politik lain yang tidak terkover. Berdasarkan
kekhawatiran
ini,
peneliti
ingin
mempelajari
netralitas
pemberitaan oleh media massa di Indonesia ketika memberitakan kampanye terbuka menjelang Pemilu 2014. Peneliti membagi media yang dianalisis menjadi dua, yakni media milik politikus dan milik non-politikus. Media milik politikus yang dipilih peneliti adalah okezone.com, sebuah portal berita yang berada di bawah naungan Global Mediacomm milik Hary Tanoesoedibjo, dan viva.co.id, portal berita di bawah 3
naungan Visi Media Asia di bawah naungan Bakrie & Brothers (Aburizal Bakrie). Hary Tanoesoedibyo kini adalah petinggi Partai Hanura sekaligus calon kandidat wakil presiden pasangan Wiranto. Sedangkan Aburizal Bakrie adalah politikus yang sudah beriklan untuk sebagai (bakal) calon presiden dari Partai Golkar. Sedangkan media milik non-politikus yang dipilih di sini adalah kompas.com dan tempo.co.
B. Rumusan Masalah “Bagaimana netralitas pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita online milik politikus (okezone.com dan viva.co.id) dan non-politikus (tempo.co dan kompas.com) pada 23 Maret sampai 5 April 2014?”
C. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan netralitas pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita online milik politikus dan non-politikus. 2. Membandingkan pemberitaan kampanye terbuka oleh portal berita online milik politikus dan non-politikus. D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap akan diperoleh manfaat: 1. Teoretis: mampu memperkaya kajian komunikasi politik, khususnya yang berhubungan dengan kampanye politik dan pemberitaan politik. 2. Praktis: memberikan gambaran mengenai kecenderungan perilaku media massa yang dikuasai oleh kandidat politik. Peneliti berharap gambaran yang diperoleh dari penelitian ini bisa berguna bagi partai politik serta konsultan komunikasi politik, khususnya yang terlibat dalam kampanye, sebagai salah satu referensi ketika menyusun strategi yang melibatkan media massa.
4
E. Kerangka Pemikiran Peneliti meletakkan fokus pada interaksi antara media dengan partai politik. Dalam konteks penelitian ini, institusi media direpresentasikan oleh pers online, sedangkan institusi partai politik direpresentasikan oleh pseudo-event yang berhubungan dengan kampanye politik. Keduanya, sebagaimana dijelaskan di latar belakang, menemukan titik temu, salah satunya, di momentum kampanye terbuka. Pada momentum kampanye terbuka ini, hak untuk bersaing meraih suara adalah setara bagi semua partai politik. Namun, arena tersebut bisa rusak jika media, yang mana menjadi wahana diseminasi informasi politik, tidak netral. Studi ini bertujuan mempelajari netralitas pada media berita yang terlibat dalam diseminasi berita soal kampanye terbuka (McQuail, 2010). Sub bab kerangka pemikiran ini akan menjabarkan studi literatur peneliti sehubungan masalah-masalah di atas.
E.1. Peran Politik Pers Sebagai Institusi Demokrasi Pers merupakan salah satu institusi penting yang, jika bukan turut terombangambing, menjadi pendorong dalam proses demokratisasi. Sebagaimana diungkapkan Grugel (2002) dan Merkel (1998), pers merupakan institusi yang tidak berhubungan langsung dengan proses pengambilan keputusan pada pemerintahan, namun memiliki peran yang signifikan. Pers mampu mempengaruhi kualitas institusi demokrasi pada pemerintahan yang berjalan, dan oleh karenanya, menjadi salah satu pilar yang penting bagi tegaknya demokrasi (dalam Voltmer, 2006). Pentingnya pers sebagai keran bagi diseminasi informasi, berpotensi membangkitkan kesadaran politik warga (McQuail, 2010). Kovach dan Rosentiel (2010) melihat kaitan antara pers dan demokrasi dari sudut pandang lain. Menurut mereka, berkembangnya pers berjalan sedikit lebih dahulu daripada demokrasi modern. Jurnalisme mengemuka segera setelah adanya pemahaman tentang istilah “fakta”—atau, “sesuatu yang benar-benar terjadi atau kejadian sebenarnya; karena itu kebenaran tertentu diketahui lewat pengamatan sejati
5
atau kesaksian yang sahih, sebagai lawan dari sekadar dugaan.”1 Munculnya istilah tersebut merupakan buah dari pergolakan pengetahuan yang terjadi saat itu, dimana sebelum Gutenberg menemukan mesin cetak, pengetahuan dikuasai sepenuhnya oleh otoritas mapan (gereja dan pemerintahan). Diakuinya pengamatan “sejati” lewat indera dan akal atas beragam fenomena di tengah-tengah masyarakat, membuat pengetahuan tidak lagi satu sumber. Seabad setelah penemuan mesin cetak oleh Gutenberg—sebagai penanda terbukanya keran literasi di kalangan masyarakat Eropa—“buku-berita” (news book) pertama muncul. Segeralah setelah itu, tepatnya pada tahun 1604, koran-koran pertama muncul di Jerman, Perancis, dan Inggris. Meskipun mengalami penyensoran, pelarangan, dan pemenjaraan para pegiatnya, bibit media massa tetap tumbuh. Persebaran informasi menjadikan orang-orang berani bertanya, menentang, atau bahkan mematahkan informasi yang disodorkan otoritas mapan. Proses literasi yang mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat di tiga negara tersebut saat itu, menjadikan warga semakin “terdidik”, yang akhirnya berperan dalam mengatur tata argumen mereka. Literasi lewat proses jurnalisme saat itu memancing keluar istilah yang sangat penting bagi demokrasi, namun absen sejak jaman Yunani dan Romawi, yakni: opini publik. John Locke pada saat itu menggunakan istilah tersebut pada pidato parlemen dan esai-esai politik. Ini menandakan bahwa, apa yang selama berabad-abad merupakan pendapat kasar yang tidak dianggap, mulai mendapat posisi terhormat. Melalui jurnalisme, muncul konsep yang lebih kokoh, yakni: ide bahwa orang bisa mengatur diri sendiri. Inilah yang menjadi pangkal dari demokrasi. Ini menunjukkan bahwa, buah terbesar peradaban Barat—yakni demokrasi—tidak lain adalah “saudara yang hampir seumuran” dengan jurnalisme. Demokrasi dan
1
Kovach dan Rosentiel (2010) menjelaskan asal kata fakta atau fact dalam bahasa Inggris berdasarkan Oxford English Dictionary. Menurut kamus tersebut, istilah “fakta” baru muncul di Inggris pada abad 16, atau 100 tahun sejak penemuan mesin cetak Gutenberg.
6
jurnalisme, tak lain adalah buah dari produk evolusi komunikasi (Kovach & Rosentiel, 2010). Proses kesejarahan pers dalam hubungannya dengan demokratisasi di Eropa, agaknya menjalin hubungan metaforistis dengan demokratisasi Indonesia. Proses demokratisasi selama kurang lebih 25 tahun menjelang akhir abad dua puluh, juga ditandai oleh jatuh bangun pers: pembatasan, pembredelan, pemenjaraan pegiat, dan sebagainya. Memang pada dasarnya bukan pers yang menjadi penyebab utama tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, namun perannya sebagai katup wawasan yang membuka pikiran para “pejuang reformasi” sedikit demi sedikit, menjadikannya institusi yang tidak bisa diremehkan (Sen & Hill, 2002). Biar demikian, lebih penting kiranya memahami adalah apa yang terjadi setelah itu. Tumbangnya Orde Baru mengemukakan kembali konsep-konsep penting demokrasi yang sempat mati, seperti halnya di Eropa pada abad 17: opini publik dan kepengaturan atas diri sendiri. Pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, sebagaimana dinyatakan oleh Abraham Lincoln, kembali naik ke permukaan. Penerapan demokrasi, dengan demikian, memerlukan pengawal yang konsisten dalam memahami basis ontologisnya. Pers-lah yang berfungsi sebagai “pengawal” tersebut. Dengan demikian, pers merupakan institusi krusial bagi penerapan demokrasi di Indonesia. Untuk mengenali demokrasi lebih dalam, diperlukan adanya pemahaman soal konsep yang lebih tinggi, yakni: politik. Ada banyak definisi mengenai politik, namun satu hal yang pasti melekat dalam politik adalah “distribusi sumber daya.” Denton dan Woodward (1990) mendefinisikan politik sebagai “alokasi sumber daya publik, otoritas resmi (yang diberi mandat untuk membuat keputusan eksekutif dan legislatif secara legal), dan sanksi resmi (apa yang dihukum maupun diapresiasi oleh negara)” (dalam McNair, 2003). Demokrasi adalah salah satu pengejewantahan politik. Dalam demokrasi, masing-masing fungsi yang berada di dalam politik, yakni eksekutif, legislatif (otoritas pengambil keputusan), dan yudikatif (pemberlaku sanksi) memiliki asal 7
yang sama, yakni: rakyat. Demokrasi adalah salah satu model penerapan politik berdasarkan aktor, dimana yang memiliki kuasa paling tinggi atas pemerintahan adalah rakyat. Media massa seringkali disebut sebagai institusi yang memiliki fungsi setara dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun fungsinya itu seperti apa, masih diperdebatkan hingga kini. Biar demikian, sejak awal mula perkembangan pemikiran pada awal abad 18, para filsuf menyadari bahwa peran debat publik serta kebebasan berpendapat sangat krusial dalam demokrasi. Inilah yang kemudian meluas ke kebutuhan akan adanya pers bebas, yang merupakan dasar laku media massa (Keane, 1991). Bagaimana peran politik pers (yang sudah) bebas itu melakukan tugasnya, adalah pertanyaan yang mengisi perdebatan kaum intelektual hingga kini. Voltmer (2006) menjelaskan secara apik perdebatan terkait peran politik pers bebas dari waktu ke waktu. Ia menjelaskan beberapa keyakinan yang melingkupi pemaknaan atas pers bebas. Pandangan tersebut terdiri dari tiga versi: pasar bebas ide, penyedia informasi, dan pengawas atau “anjing penjaga”.
E.1.1. Pasar Bebas Ide (Free Marketplace of Ideas) Pandangan ini meyakini bahwa pers bebas merupakan akomodator dari “pasar bebas ide” (free marketplace of ideas). Pasar bebas ide adalah kondisi dimana kontradiksi antara suara-suara yang saling berkompetisi di tengah-tengah warga terjadi tanpa adanya campur tangan negara.2 Istilah pasar bebas ide, secara praktis, merunut pada kepercayaan liberal bahwa tidak ada satupun agen yang memiliki pernyataan terakhir soal apa yang benar dalam politik. Lebih jauh, “kebenaran” adalah hal yang akan muncul setelah tabrakan antara argumen dan kontra-argumen secara terus menerus (Mill, 1859, dalam Voltmer, 2006). Tugas media massa, dalam hal ini, adalah menjadi “arena” bagi kompetisi tersebut. Ini menempatkan media 2
Metafora “pasar” (marketplace) tidak mesti mengimplikasikan struktur pasar kepemilikan privat media. Dalam konteks peran demokratis media, makna “pasar” mengarah pada istilah “pasar sebagai ruang publik di dalam sebuah komunitas”, seperti agora di dalam demokrasi Athena. (Selengkapnya lihat Voltmer, 2006: 3-5).
8
dalam perannya yang pasif, yakni hanya sekadar melayani sebagai “forum” dimana bermacam-macam kelompok dan individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengekspresikan pandangan mereka. Biarpun sekilas tampak ideal, pandangan tentang “pasar bebas ide” tetap tak luput dari kritik. Kritik yang paling dalam adalah munculnya pertanyaan: apakah konfrontasi perbedaan pandangan secara terus menerus pada akhirnya akan benarbenar membuat “kebenaran” mengemuka? Kritik ini menghujam jauh ke dalam posisi filosofis pendirian pasar bebas ide. Lebih jauh, efek konfrontasi antar-pandangan justru membawa kemungkinan lain: kebingungan dan (pada akhirnya) mempertajam (aggravate) konflik—dalam hal ini, mendorong konflik ke arahnya yang manifes. Selain kritik tersebut, kritik lainnya adalah bahwa jangan-jangan, yang membedakan argumen satu dan argumen lain dalam kompetisi bukanlah bagus atau tidaknya substansi argumen itu, melainkan seberapa efektif aktor menyatakan argumennya (Gutmann and Thomson 1996, dalam Voltmer, 2006). Perdebatan seperti ini sebenarnya sudah pernah mengemuka jauh sebelum masa demokrasi modern. Kejayaan retorika pada masa Yunani Kuno, melahirkan pertentangan antara Plato dan para Sofis (pengajar pidato). Plato memandang bahwa “kebenaran” adalah nilai paling tinggi yang mendasari retorika. Sedangkan para sofis memandang bahwa nilai tertinggi dari retorika adalah persuasi (Perloff, 2003: 20-22). Ketika demokrasi telah mendapatkan tempatnya di masa modern, seperti halnya demokrasi pada jaman Yunani Kuno, perdebatan ini kembali mengemuka: jika pada masa Yunani Kuno mediumnya adalah panggung-panggung pidato, pada masa modern mediumnya adalah media massa. Kritik lain yang menyerang pasar bebas ide adalah adanya ketidakjelasan, sampai sejauh mana media massa berkontribusi dalam mengakomodasi sudut pandang tertentu. Dengan kata lain, apakah media partisan itu sah dalam “pasar bebas ide”, atau apakah peran mereka adalah sebagai penyalur netral atas pandanganpandangan yang saling bertentangan? Kritik ini melahirkan dua definisi atas posisi pers di tengah-tengah masyarakat demokratis (McQuail 1986; Napoli 1999; Voltmer 9
2000, dalam Voltmer, 2006). Pertama, horisontal, dimana mereka ada sejajar dan berjalan beriringan dengan aktor-aktor yang memiliki pandangan berbeda. Dalam hal ini, setiap media massa yang ada mewakili aktor dengan pandangan tertentu, dan oleh karenanya, informasi yang dihadirkannya sejak awal bias. Kedua, vertikal, dimana media bersikap netral, menjadi akomodator murni atas pandangan-pandangan yang bertentangan. Meskipun tampak ideal, posisi yang kedua ini justru mengakomodasi kritik sebelumnya, yakni pada akhirnya pandangan yang dihargai bukanlah yang paling benar, melainkan yang disampaikan dengan cara yang apik. Beragam kritik atas tersebut tidak semata-mata menjadikan “pasar bebas ide” tidak relevan, melainkan mendorong evaluasi atas konsep tersebut dari waktu ke waktu. Dengan demikian, pasar bebas ide adalah hal yang tetap dibutuhkan oleh masyarakat demokratis. Dengan catatan, pendefinisian atasnya direvisi dari waktu ke waktu, sesuai konteks dimana ia berlaku.
E.1.2. Penyedia Informasi (Information Provider) Penanda paling pangkal dari penerapan sistem demokrasi adalah adanya keterlibatan warga pada penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu contoh penyelenggaraan demokrasi, dalam operasionalisasinya yang paling dasar, adalah penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum, warga menghadapi sebuah pilihan mengenai siapa yang akan mewakili mereka. Inilah yang, sebagaimana diungkapkan Dahl (1989), menjadi tempat bagi sebuah masalah. Proses memilih, dimana ketika hal yang mesti dilakukan awalnya dianggap sangat mudah (tinggal “mencoblos” kalau di Indonesia) ternyata tidak bisa dilakukan secara serampangan (dalam Voltmer, 2006). Tanpa adanya kemampuan warga untuk melakukan pemilihan dengan alasan rasional, akan membuat pemilihan umum menjadi tidak berarti bagi demokrasi. Di sinilah letak pers bebas: ia adalah penyedia informasi yang objektif bagi masyarakat pemilih. Dalam hal ini, pers bertanggung jawab untuk menyampaikan segala bentuk informasi yang dapat mendukung keputusan memilih. Apa yang disampaikan oleh 10
para politikus (lewat beragam bentuk kampanye politik) tidak secara otomatis menjadi informasi yang benar ketika sampai kepada pemilih. Dibutuhkan adanya penyaring serta penyedia beragam pertimbangan substansial yang mampu mendorong serta menjernihkan pandangan pemilih ketika memasuki bilik suara. Konseptualisasi pers bebas sebagai penyedia informasi, sangat lekat dengan istilah kualitas informasi. Informasi yang berkualitas merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi pemilih. Akan tetapi, pendefinisian kualitas informasi adalah hal yang hampir mustahil, mengingat kemampuan (dalam mencerna informasi) dan kebutuhan (akan informasi) berbeda pada setiap individu. Salah satu standar kualitas informasi adalah komprehensivitas, namun, seiring semakin kompleksnya dunia politik saat ini, penyederhanaan juga diperlukan agar semua kalangan pemilih mampu memahami informasi yang disediakan. Lemert (1989, dalam Voltmer, 2006) merangkum fungsi tersebut dalam apa yang disebutnya sebagai “informasi penggerak” (mobilizing information), dimana informasi yang disajikan memiliki potensi untuk memperjelas identitas politik pemilih (melalui beragam pertimbangan rasional) dan mendorong partisipasi politik (Voltmer, 2006). Dalam demokrasi yang baru bergerak, kualitas informasi dan kebutuhan akan orientasi politik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam proses politik. Namun demikian, pendefinisian atas “informasi yang berkualitas” harus terus direvisi dari waktu ke waktu, agar tidak meleset dari konteks dimana ia disebarkan. Studi-studi lokal dibutuhkan untuk meredefinisi konsep ini, agar pers bebas sebagai penyedia informasi, memiliki acuan yang benar-benar tepat.
E.1.3. Pengawas atau “Anjing Penjaga” (Watchdog) Pandangan ini memaknai pers bebas sebagai “anjing penjaga” (watchdog) yang menjaga agar otoritas politik tetap akuntabel dengan memonitor aktivitas mereka serta menginvestigasi kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan (Curran, 1991 dalam Voltmer, 2006). Perumpamaan “anjing penjaga” rupanya memang tidak tergantikan dalam menggambarkan pers bebas. Pers bebas harus 11
memiliki naluri layaknya anjing penjaga, dimana ia langsung bereaksi ketika mengendus adanya ketidakberesan. Dalam menjadi pengawas, ia mesti langsung bereaksi layaknya binatang ketika melihat adanya kesalahan—tidak seperti manusia (watchman) yang mesti pikir-pikir dulu sebelum bereaksi. Istilah watchman dirasa peneliti tepat untuk menjadi penggambaran institusi yudikatif. Perbedaan media massa (watchdog) dan institusi yudikatif (watchman) dalam hal ini adalah pada posisi mereka. Yang satu berada di luar lingkar pemerintahan, sedangkan yang satu masih termasuk dalam lingkaran formal pemerintahan. Kemungkinan adanya “penyalahgunaan kolektif” (oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif) atas kekuasaan, bisa ditekan dengan adanya pengawas di luar institusi pemerintahan. Akan tetapi, relasi yang terjadi tidak sesederhana itu. Arah pers bebas sebagai anjing penjaga bisa menghadapi dilema ketika ada masalah-masalah yang tidak bisa diatasi hanya sekadar melalui pengawasan. Misalnya, pada negara yang baru menganut demokrasi secara sempurna, umumnya pemerintahannya masih “baru”, dan oleh karena itu, masih rapuh. Di saat yang sama, tanggung jawab mereka adalah emansipasi atas setiap warga negara. Sekalipun memaksakan diri untuk bekerja sebaik-baiknya, ada kalanya pemerintahan yang baru itu masih belum mampu mengatasi beragam masalah yang menumpuk, misalnya ekonomi dan keamanan, dengan segera. Jika demikian, pers bebas sebagai pendorong kepercayaan publik pada pemerintahan lebih dibutuhkan daripada sebagai pengawas yang mencari-cari kesalahan. Di sisi lain, media-media yang juga baru bangkit seiring demokratisasi juga tidak dengan sendirinya mampu membiayai produksinya sendiri—dan oleh karena itu, membutuhkan subsidi dari pemerintah. Secara paradoksal, kemampuan media untuk menjaga akuntabilitas kadang-kadang terbentur oleh hal-hal teknis, seperti struktur dan prosedur yang telah disetujui bersama (Morris & Waisbord; Price et al. 2002, dalam Voltmer, 2006).
12
E.2. Pemberitaan Politik: Kegiatan Pers dalam Memenuhi Peran Sebagai Free Marketplace of Ideas dan Information Provider Berdasarkan penjelasan mengenai peran politik pers sebagai institusi demokrasi di atas, peneliti menarik dua saja untuk menjadi patokan penelitian ini, yakni: pasar bebas ide (free marketplace of ideas) dan penyedia informasi (information provider). Pasar bebas ide, dalam hal ini, menjadi akomodator bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam percaturan politik. Secara khusus, sebagaimana ditetapkan dalam penelitian ini, pihak tersebut adalah partai politik. Sedangkan untuk peran penyedia informasi, menjadi akomodator bagi kebutuhan publik akan informasi politik. Kedua peran tersebut bertemu pada satu momentum dimana partai politik membutuhkan saluran penyebarluasan visi-misi, dan publik membutuhkan informasi politik, yakni masa kampanye politik. Dan oleh pers, peran tersebut dilaksanakan dalam bentuk pemberitaan politik. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dikemukakan di sini definisi kampanye politik. Seringkali pemilih melihat pemberitaan maupun iklan beberapa tokoh di media massa jauh sebelum Pemilu (di Indonesia, misalnya, Hary Tanoesoedibjo, Prabowo, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh). Apakah iklan atau pemberitaan seperti itu masuk ke dalam kampanye politik? Mana yang termasuk kampanye dan mana yang bukan? Definisi kampanye politik sendiri sangatlah luas. Oleh karena itu, seringkali istilah “kampanye” menjadi sukar untuk dijelaskan. Biar demikian, beberapa ahli mencoba mendefinisikan kampanye politik, meskipun, hanya berlaku untuk konteks tertentu. Dalam hal ini, peneliti memilih definisi dengan melihat kondisi institusional dan kuasi-institusional yang memungkinkan adanya kampanye. Brady, Johnston, & Sides (2006) melihat suatu kegiatan dapat disebut sebagai kampanye politik, ketika menemui beberapa kondisi: 1. Tanggal Pemilu sudah diketahui. 2. Identitas kandidat sudah diketahui.
13
3. Kandidat bersedia menyisihkan semua waktunya secara virtual demi dipilih (atau dipilih kembali). 4. Kegiatan-kegiatan tertentu yang semula biasanya tidak masuk ke dalam regulasi, menjadi masuk regulasi—misalnya, sumbangan kepada Kepala Desa di luar masa kampanye diperbolehkan, namun pada masa kampanye tidak boleh karena merupakan bentuk money politics. Segala bentuk penyampaian pesan atau gagasan akan menjadi kampanye politik ketika semua kondisi tersebut berlaku. Jadi, menjawab pertanyaan sebelumnya, sebuah iklan tokoh atau opini tokoh soal penanggulangan suatu masalah dalam pemberitaan isu tertentu tidak bisa disebut sebagai kampanye politik ketika informasi masih samar. Dengan kata lain, ketika empat kondisi tersebut belum terpenuhi. Sebaliknya, begitu ada satu iklan saja yang menyebutkan bahwa seorang tokoh itu calon presiden atau calon wakil presiden, maka segala bentuk iklan atau koverasi media menjadi kampanye politik. Untuk menyederhanakan definisi, bisa ditilik pula pengertian sebagaimana tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia No. 1 2014. Menurut peraturan tersebut, “kampanye adalah kegiatan peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta Pemilu”. Kampanye politik bisa dilakukan dengan berbagai alat (yang dipasang di ruang-ruang atau media tersedia) dan bahan (yang disebar kepada pemilih), serta pelaksanaan acara-acara dimana kandidat memiliki ruang untuk menyampaikan pesan politik kepada pemilih (PP Bawaslu RI No. 1 2014: 4). Dengan dua definisi ini (kondisi-kondisi dan Peraturan Bawaslu RI) peneliti menyimpulkan kampanye politik sebagai segala bentuk penyampaian pesan politik ketika sudah terdapat kejelasan mengenai identitas kandidat dan informasi Pemilu. Di sini, kata kunci yang bisa dipegang untuk membayangkan interaksi antara partai politik dengan media massa adalah pesan politik. Pesan politiklah yang disampaikan dalam pemberitaan politik, dan pesan politik pula yang menjadi inti dari kampanye politik.
14
Dalam hubungannya dengan media massa, peneliti membagi penyampaian pesan melalui kampanye politik ke dalam dua bentuk besar, yakni: political advertising (dalam bentuk iklan) dan political public relations (dalam bentuk kegiatan kehumasan) (McNair: 2003: 95). Political advertising menggunakan metode-metode yang digunakan dalam kegiatan periklanan. Misalnya, menyiapkan biaya, menyusun materi iklan, kemudian menyewa spot siaran atau halaman media massa untuk pemasangannya. Sedangkan, political public relation menggunakan metode-metode dalam kehumasan. Misalnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan (events) seperti orasi, bakti sosial, dan sebagainya, yang kemudian memancing perhatian media massa. (Burton & Shea, 2010; McNair, 2003) Dalam konteks penelitian ini, secara khusus peneliti menaruh perhatian pada political public relations. Dalam pandangan peneliti, political public relation merupakan metode yang memiliki keterikatan lebih erat dengan media massa dibandingkan dengan political advertising. Alasannya sederhana, yakni adanya fungsi publisitas atau free media yang dibawa political public relations (kebalikan dari political advertising, yang berbayar). Istilah free media sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai kondisi dimana partai politik atau kandidat mendapatkan saluran penyampaian pesan secara cuma-cuma dari media massa. Peristiwa dimana partai politik mendapatkan free media dari media massa disebut pseudo-event. Boorstin (1962) menelurkan istilah pseudo-event sebagai reaksinya terhadap kenaikan kecenderungan media berita untuk meliput kejadiankejadian yang “tidak nyata” atau tidak otentik. Sederhananya, pseudo-event bisa disebut peristiwa buatan yang dianggap media bernilai berita (Boorstin, 1962: 14). Cara penyampaian pesan politik melalui pseudo-event merupakan salah satu kunci political public relations. Dalam hal ini, fungsi media massa sebagai sumber berita berimpitan dengan kepentingan partai atau kandidat dalam menyampaikan pesan politik. Audiens akan menganggap informasi bermuatan politik yang dicernanya sebagai lebih “hidup” dan lebih “asli”, karena informasi yang mereka peroleh hasil dari peliputan langsung. Oleh karena itu, informasi akan masuk secara 15
lebih halus, atau, secara tidak sadar. Ini bertentangan dengan political advertising, dimana, “mereka (pemilih) sadar bahwa ini (iklan politik) adalah informasi bermuatan politik…(dan oleh karenanya) efektivitas iklan sebagai media persuasi menjadi terbatas…mengetahui bahwa pesannya “sengaja”, pemilih akan menjaga jarak darinya” (McNair, 2003: 130). Ada pembelaan maupun kritik terhadap maraknya peliputan pseudo-event. Di satu sisi, ada yang memandang bahwa peliputan pseudo-event sebagai bentuk tindakan pengiklanan dengan “kualitas berita”. Ini mengindikasikan posisi wartawan sebagai agen kehumasan partai politik, sebab dikendalikan oleh kepentingan selain publik (Jamieson, 1992 dalam Blumler & Gurevitch, 2001). Namun di sisi lain, ada yang memandang bahwa pembuatan pseudo-event dan peliputannya merupakan bagian dari kebebasan berpendapat (freedom of speech). Sebagaimana dikemukakan Boorstin (1962):
“Dalam masyarakat demokratis…pembuatan pseudo-event merupakan bagian dari kebebasan pers dan penyiaran. Politisi, wartawan/jurnalis dan media massa yang berkompetisi, menemukan (arena) kontestasinya pada pseudoevent. Mereka berlomba satu sama lain untuk menawarkan pesan atraktif dan informatif, serta gambaran mengenai dunia. Mereka bebas untuk berspekulasi atas fakta, membawa fakta baru ke kenyataan, untuk menagih jawaban atas segala pertanyaan yang mereka simpan. “Pasar bebas ide (free market of ideas)” kita adalah tempat dimana kubu-kubu diperlawankan melalui kompetisi pseudo-event, dan diperbolehkan untuk menghakiminya. Ketika kita membicarakan tentang “memberi informasi” kepada warga, inilah yang kita maksud.” (Boorstin, 1962: 35).
Peneliti menyimpulkan, dua pertentangan tersebut sama-sama mungkin terjadi jika melihat fakta yang ada. Di satu sisi, jika pada dasarnya peliputan pseudo-event dikendalikan kepentingan ekonomi-politik tertentu, hal tersebut tampak dalam bentuk 16
bias pemberitaan. Sebaliknya, ketika dikendalikan oleh kepentingan publik, media akan bersikap adil dalam pemberitaan. Masalahnya bukan terletak pada pseudo-event itu sendiri, melainkan pada bagaimana dan atas dasar apa pseudo-event itu diperlakukan. Pseudo-event diluncurkan ke dalam arena kontestasi, dimana semua mendapat perhatian, semua mungkin tampak baik dan semua mungkin tampak buruk sesuai keadaan di lapangan. Artinya, persaingan terjadi secara adil. Inilah posisi yang dipegang peneliti sebagai dasar penelitian ini. Dengan demikian, posisi pers sebagai pasar bebas ide dan penyedia informasi mampu terlaksana dengan maksimal. Kampanye Terbuka menjelang Pemilu Legislatif 2014, merupakan salah satu bentuk pseudo-event kampanye politik. Kampanye ini dilaksanakan pada tanggal 16 Maret sampai dengan 5 April 2014. Pada masa ini, seluruh partai politik menerapkan segala bentuk strategi kampanye tatap muka yang telah dirancang dalam sekali tarik. Free media merebak, dan partai akan kebanjiran publisitas, baik dalam hal yang mendukung maupun memojokkan. Keuntungan yang diperoleh pun dobel, satu dari tatap muka langsung dengan massa pemilih, dan satu lagi lewat media massa. Akan tetapi, ada masalah. Peta penguasaan media-media di Indonesia berkutat di sekitar petinggi partai politik, dan tidak ada yang bisa menebak pola pemberitaannya seperti apa. Penelitian yang dilakukan soal pengaruh kepemilikan media terhadap pemberitaan, pada tahun-tahun yang lalu, ternyata menunjukkan hasil yang kurang memuaskan.
E.3. Konsentrasi Kepemilikan Media: Studi Mengenai Terhalangnya Peran Ideal Pers Posisi ideal pers menemukan momentumnya yang paling penting saat masamasa kampanye. Pada saat yang demikian, pers tidak akan bisa melepaskan diri dari kandidat dan pemilih, dan oleh karena itu, harus menjalankan kerjanya seideal mungkin. Dari sini muncul pertanyaan: apa kira-kira yang menjadi dasar kerja ideal wartawan? Tim Russert, Jody Wilgoren, dan Howard Fineman dalam Kovach (2001) menyarankan jurnalis yang berkecimpung dalam pemberitaan politik untuk bertanya 17
kepada diri sendiri: siapa saya? Dimana sekarang posisi saya seharusnya? Apa saja yang telah dan akan saya kerjakan dalam lingkaran politik? Apa sikap politik saya terhadap setiap suatu peristiwa atau figur kandidat? Jawaban yang harus selalu keluar adalah:
“Kita adalah para profesional tanpa peran partisan. Kita netral terhadap semua partai politik, faksi, kandidat. Kita ada di sisi publik. Kita menyuplai beritaberita vital, konteks untuk memahaminya, analisis dan interpretasi ketika dibutuhkan” (Kovach, 2001 dalam Masduki, 2004).
Apakah massa pemilih di Indonesia kini bisa mengalami kerja jurnalis yang benar-benar ideal seperti jawaban di atas? Jawaban peneliti: tampaknya belum. Argumen ini, salah satunya, didasari oleh satu kenyataan, yakni bahwa kerja jurnalis di Indonesia memang “menumpul” pada waktu Pemilu. Gejala tersebut salah satunya terbukti pada Pemilu 2004. Berdasarkan hasil riset, Masduki (2004) mengemukakan bahwa, “ide tentang jurnalisme politik yang independen gagal berjalan selama Pemilu 2004 di Indonesia. Daripada menjaga jarak dari kepentingan kapitalis dan borjuis, beberapa jurnalis justru dengan bangga melayani mereka.” Kecenderungan watak media massa pada Pemilu 2004 memperlihatkan kontradiksi dengan cita-cita reformasi. Pascareformasi, kepentingan media massa justru terarah melangkahi kepentingan publik; dari penguasa (oleh represi), langsung ke pemodal (oleh uang). Kepentingan ini terwujud dalam bentuk sikap skeptis media massa: Pemilu 2004 justru dijadikan media sebagai momentum untuk menyajikan berita bisnis dan hiburan (yang berorientasi pasar) sebagai trade-mark, dan kontroversi tidak tampak sama sekali. Beberapa pengelola media bahkan secara jelas menjadi tim sukses kandidat presiden dan wakil presiden. Kebutuhan publik atas informasi politik yang komplit saat itu tidak terlayani dengan baik (Masduki, 2004).
18
Selain bukti di atas, riset yang lebih baru juga menunjukkan gejala yang sejalan. Nugroho dkk. (2012) mengemukakan bahwa “sebagai alat untuk kekuasaan, media menanggung bias yang tidak dapat dihindari karena adanya intervensi pemilik media, yang juga diharuskan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan korporasi ketika menciptakan konten (terutama konten berita), serta mendistribusikannya kepada pemirsa.” Pemilik media, dalam hal ini, membuat media menjadi sebuah komoditas dimana pemirsa hanya dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara yang sah. Hasilnya, warga negara hanya terpapar informasi secara terbatas, karena kebanyakan isu-isu seperti sosial, ekonomi, dan politik disampaikan secara selektif (Nugroho, Putri, & Laksmi, 2012). Apabila kecenderungannya masih sama, gejala yang mungkin dihadapi pada Pemilu 2014 jauh lebih mengkhawatirkan. Beberapa pemilik korporasi besar induk media massa kini bahkan sudah resmi mengampanyekan diri sebagai calon presiden—seperti Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacomm/MNC), Aburizal Bakrie (Visi Media Asia), dan Surya Paloh (Media Group). Bahkan, media yang seharusnya melayani kepentingan publik bisa beralih jadi media propaganda. Mengutip Chomsky (1992), media propaganda ada untuk memenuhi fungsi, “’Model Propaganda’ oleh elit yang menguasai media dan menggunaan bentuk-bentuk ‘celaan’ (censure) untuk menjaga agar ide-ide yang tidak diinginkan (oleh elit) tetap berada di luar kesadaran publik.” Dalam jurnalisme propaganda, media tidak berniat memberikan pendidikan politik yang sehat, melainkan membiarkan diri menjadi political public relations para kandidat (Herman & Chomsky, 1988). Semua hal tersebut bisa terjadi dengan latar satu hal: media yang kian tidak netral.
19
Tabel 1.1. Kelompok media utama Indonesia Per-2011 (Nugroho, dkk., 2012).
E.4. Media yang Diteliti: Portal Berita Online Milik Politikus dan Non-Politikus Seiring berkembangnya media internet, media massa konvensional turut serta memperluas jalur diseminasi informasi mereka, yang kini mengambil wujud sebagai portal berita online. Adanya fenomena ini menggeser dugaan awal mengenai fungsi internet, yakni sebagai wahana informasi alternatif serta tempat bagi suara-suara kaum marginal dan tertindas (Krasnoboka & Brants, 2002, dalam Voltmer (ed.), 2006). Meskipun yang terakhir ini pada akhirnya juga berjalan, namun media-media yang sudah berkuasa sejak sebelumnya tetap dominan. Berbagai studi menunjukkan, internet pada akhirnya hanya menjadi alat lain yang mendukung semakin tertancapnya kuasa golongan-golongan dominan (Voltmer, 2006). Nugroho (2012) membahasakan portal berita online ini sebagai “konten lama dengan wajah baru.” (Nugroho dkk., 2012: 87). Akan tetapi, gejalanya tidak mesti demikian. Di Ukraina, studi Krasnoboka dan Brants (2002) menunjukkan bahwa portal berita online lebih banyak mengemas 20
berita secara netral dibandingkan dengan media konvensional. Dalam posisi yang demikian, meskipun tetap merambah menjadi media jurnalistik, portal berita online memenuhi fungsinya sebagai “penyedia sudut pandang alternatif” (mengingat media lain condong kepada pemerintahan). Biar demikian, inti masalah belum tersentuh. Kesan yang diperoleh dahulu mengenai informasi di internet, yakni “baca koran ya baca koran, baca internet ya baca internet” (Nugroho, 2012: 89), luruh seiring perpanjangan tangan media konvensional dalam menggunakan internet sebagai media berita. Kini, seiring merebaknya portal berita online, “koran” semakin ada di manamana. Dalam kondisi seperti ini, solusi yang mestinya dijalankan adalah penerapan kaidah-kaidah jurnalistik ideal pada portal berita online. Ketika media jurnalistik bercampur baur dengan media-media diskusi di internet, seharusnya media jurnalistik tersebut mampu menjadi referensi yang handal bagi diskusi yang berjalan. Artinya, berita yang ditawarkan mesti objektif. Selain itu, media tersebut seharusnya mampu merekam lebih banyak kegelisahan-kegelisahan yang tumpah dalam diskusi masyarakat dalam jaringan. Dengan demikian, fungsi yang keberadaan portal berita online justru menjadi dapur pacu pemberdayaan kaum marginal. Ukraina sudah pernah mengalami itu, dan terbukti, media online mampu jadi penyedia informasi politik yang lebih baik (Voltmer, 2006). Akan tetapi, pembaca portal berita online di Indonesia tampaknya mesti lebih dahulu gelisah jika memikirkan ini. Studi Masduki (2004) dan Nugroho (2012), sebagaimana dijelaskan sebelumnya, telah lebih dahulu menunjukkan gejala yang membikin pesimis. Kepemilikan media konvensional, turut mengendalikan kualitas berita yang disebar. Dan sebagian besar pemilik media konvensional itulah, yang kini memperpanjang jangkauannya lewat portal berita online. Studi ini ingin membandingkan bagaimana pemberitaan yang tampil pada portal berita online, yang merupakan perpanjangan tangan media konvensional tersebut. Portal yang dipilih peneliti adalah okezone.com, yang berada di bawah naungan Global Mediacomm milik Hary Tanoesoedibyo, dan viva.co.id, di bawah 21
naungan Bakrie & Brothers milik Aburizal Bakrie. Selain itu, peneliti juga akan menganalisis pemberitaan portal berita lain yang tidak dimiliki politikus, yakni tempo.co dan kompas.com pada periode yang sama, untuk melihat bagaimana perbedaannya. Secara implisit peneliti mempertanyakan, apakah jalur diseminasi yang berbeda melahirkan pemberitaan yang berbeda pula—artinya menjadi lebih “ramah khalayak”—atau sama saja—sebagai perpanjangan tangan bagi “propaganda” si pemilik. Oleh karena itu, peneliti ingin membandingkan netralitas pemberitaan keempat berita online tersebut.
E.5. Kerangka Konsep Penelitian ini dilakukan dengan analisis per satuan berita. Konsep utama yang digunakan untuk analisis tersebut adalah netralitas. Namun demikian, untuk melihat kecenderungan pemberitaan di luar satuan berita, peneliti menggunakan unit-unit pendukung di luar konsep netralitas. Harapannya, analisis yang akan dihasilkan menjadi lebih kaya, dan bisa memberi gambaran-gambaran baru tanpa harus terikat satuan unit berita. Bagian kerangka konsep ini berisi penjelasan mengenai konsep netralitas, yang kemudian diikuti dengan pembahasan mengenai informasi umum berita.
E.5.1. Memahami Netralitas sebagai Salah Satu Ukuran Laku Ideal Pers Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pers memegang peran politik yang krusial sebagai di masa kampanye. Peran tersebut adalah pasar bebas ide (free marketplace of ideas) dan penyedia informasi (information provider). Pasar bebas ide, dalam hal ini, tertuang dalam bagaimana institusi media memperlakukan aktoraktor yang bergulat dalam percaturan politik. Kemudian sebagai penyedia informasi, tertuang dalam bagaimana informasi yang disediakan mampu menjadi informasi yang benar bagi publik. Dalam hal ini, peneliti mengangkat satu konsep yang dirasa peneliti mampu merangkum dua peran tersebut, yakni: netralitas.
22
Netralitas dapat dikatakan sebagai konsep paling ujung dalam “genealogi” profesionalisme wartawan (Iggers, 1999). Netralitas merupakan turunan dari objektivitas, sebuah konsep besar yang terus dipertahankan sebagai basis epistemologi jurnalisme. Pada pembahasan ini, peneliti akan mengawali diskusi dengan membahas objektivitas sebagai konsep induk dari netralitas. Melalui diskusi ini, peneliti menyajikan gambaran mengenai muasal konsep netralitas. Baru setelah itu, peneliti akan menginjak netralitas.
E.5.1.1. Objektivitas: Arketipe Jurnalisme Sebelum mendalami konsep netralitas, peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu tentang konsep “induk”-nya, yakni objektivitas. Objektivitas merupakan konsep arketipal dalam jurnalistik, yang disebut-sebut sebagai standar (McQuail, 2010), etika sentral, maupun doktrin epistemologis (Iggers, 1999). Objektivitas dapat dikatakan merupakan “sifat dasar” dari jurnalisme itu sendiri (Klaidman & Beauchamp, 1987). Konsep objektivitas mulai mengemuka di Barat pada 1920-an, ketika kerjakerja jurnalistik mengalami krisis kredibilitas (Iggers, 1999). Pada saat itu, sebagaimana umum terjadi, wartawan banyak didaulat tidak untuk menjadi pengabar peristiwa, melainkan mengarahkan opini publik. Elit negara pada saat itu membutuhkan dukungan bagi perang, dan oleh karenanya, pers digunakan untuk propaganda. Di Indonesia sendiri, pers mengalami gejala yang sama. Seiring perjalanan sejarah, pers Indonesia terus mengalami redefinisi. Di masa penjajahan, pers didaulat menjadi “alat perjuangan”. Pada pemerintahan Sukarno pers didaulat menjadi “alat revolusi”.
Pada
masa
Orde
Baru,
pers
diperbolehkan
“bebas”
namun
“bertanggungjawab” (dua konsep yang mulanya baik, namun menjadi ambigu ketika digabungkan), dan merupakan “pendukung pembangunan” (Sen & Hill, 2007). Sekilas, jika melihat konteksnya, pers sebagai alat propaganda di masa lalu memang menghasilkan banyak manfaat bagi negara-negara yang baru lepas dari 23
penjajahan. Hal yang sama juga berlaku bagi negara yang sudah lama berdiri, yakni ketika negara tersebut membutuhkan “nasionalisme” agar tetap bersatu. Akan tetapi, para intelektual maupun filsuf menyadari bahwa “pers sebagai alat penguasa” tidak boleh terus dibiarkan. Meskipun pada saat itu sangat membantu, pers propaganda lambat laun akan membuat jurnalisme mengalami krisis ontologis. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Daya pers yang sangat kuat saat itu telah disadari, dan jika dimanfaatkan oleh segelintir elit, suatu saat justru akan mendesak publik. Oleh karena itu, para intelektual berpikir bahwa pers mesti “memisahkan diri”. Ia harus bisa berdiri sendiri, agar publik senantiasa memiliki ruang untuk mengetahui apa yang betul-betul “benar”. Menanggapi ini, Lipmann (1920) mengemukakan bahwa jurnalisme harus membangun tubuh profesionalnya, atau dengan kata lain mesti mengambil metodenya dari sains, dan membangun budaya organisasinya dari profesionalisme. Sebagai profesi, ia digadang-gadang mampu menjawab klaim tentang bangunan keahlian (body of expertise) dan tanggung jawab khusus kepada publik (special responsibility to the public). Oleh karena itu, pers membutuhkan
sebuah
bangunan
filosofis
yang
mampu
menjadi
patokan
konsistensinya. Inilah yang kemudian mendasari lahirnya konsep objektivitas. Meskipun sudah menemukan bentuk, diskusi soal objektivitas selalu mengalami masalah. Sekurang-kurangnya ada dua pandangan mengenai definisi objektivitas. Pertama, jurnalisme yang objektif adalah jurnalisme yang, dalam menyatakan fakta, atau secara lebih luas dalam menggambarkan realitas, benar-benar mewakili fakta apa adanya. Kedua, jurnalisme yang objektif adalah yang, dalam proses kerjanya, mematuhi seperangkat prosedur yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk yang objektif. Pada prakteknya, banyak jurnalis yang mematuhi prosedur namun tanpa disertai komitmen epistemologis. George Lardner Jr., seorang wartawan Washington Post, mengodifikasi prosedur-prosedur yang menentukan objektivitas, antara lain:
24
1. Reporter hanya boleh menceritakan apa yang bisa diobservasi dan pada sebuah peristiwa yang jelas—apa yang bisa dilihat dan diverifikasinya. 2. Reporter mesti menceritakan hal kontroversial dengan menyatakan pandangan masing-masing
pihak
yang
bertentangan.
Aturan
ini
biasanya
merepresentasikan usaha reporter untuk menjelaskan unsur “mengapa”, ketika kerjanya dibatasi oleh aturan pertama (hanya peristiwa yang bisa diobservasi dan diverifikasi). Pertentangan pandangan akan memberikan pertimbanganpertimbangan soal “mengapa” dalam peristiwa. 3. Reporter, dalam mengumpulkan fakta observatif dan menuliskan pandangan dari pihak-pihak yang bertentangan, harus imparsial. Ia tidak boleh membiarkan keyakinan, prinsip, kehendak, bahkan pengetahuannya mewarnai fakta mentah yang diobservasinya atau pernyataan (dalam berita) yang mengovernya (sebagaimana dikutip Lou (1977); dalam Iggers, 1997). Berdasarkan paparan di atas, pertanyaan akan objektivitas sebuah berita dapat diwakili oleh dua pertanyaan: (1) “apakah berita benar-benar mewakili fakta apa adanya?” atau (2) “apakah berita dibuat berdasarkan prosedur (etis) yang berlaku?” Biar demikian, sebagian besar intelektual yang mempertahankan objektivitas sebagai bangunan yang melekat dalam jurnalisme, memegang keyakinan bahwa dalam prakteknya, objektivitas sejati tidak akan bisa dicapai. Dalam hal ini, tugas jurnalisme adalah mendekati kebenaran objektif sedekat mungkin. Westertahl (1983) mencoba merangkum prosedur-prosedur yang menjadi standar objektivitas menjadi konsep-konsep baru. Menurutnya, konsep besar objektivitas terdiri dari dua kriteria, yakni faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas adalah keharusan sebuah kerja atau produk jurnalistik untuk faktual, atau; pertama, dapat dicek kebenarannya (truth), kedua, informasi yang dikumpulkan atau peristiwa yang ditulis relevan (relevance), dan ketiga, berisi muatan
yang layak
(informativeness). Sedangkan imparsialitas adalah keharusan sebuah kerja atau produk jurnalistik untuk memperlihatkan ketidakberpihakan, atau; pertama,
25
berimbang (atau, proporsional dalam hal ruang, waktu, dan penekanan), dan kedua, menunjukkan netralitas (tidak bias dalam proses penggambaran fakta, atau menggambarkan fakta apa adanya).
Bagan 1.1. Objektivitas dan turunan-turunannya (Westertahl, 1983, dalam McQuail, 2010).
Faktualitas, dalam hal ini, kurang lebih sesuai dengan prosedur pertama, yakni apa yang diceritakan haruslah memungkinkan untuk diverifikasi. Sedangkan imparsialitas sesuai dengan prosedur kedua dan ketiga, dimana wartawan mesti merangkum semua sisi (berimbang), di samping itu juga tidak memasukkan nilai-nilai subjektif ke dalam berita (netral).
E.5.1.2. Turunan Netralitas Berdasarkan penjelasan soal objektivitas di atas, dapat dilihat dimana posisi netralitas. Netralitas sendiri, dalam konteks studi ini, merupakan konsep yang digunakan untuk melihat kinerja media melalui berita yang dihasilkannya. Netralitas
26
sejatinya merupakan konsep yang sederhana, namun bersifat fleksibel sehingga mungkin untuk diterapkan dalam segala bentuk objek. Netralitas adalah seberapa netral berita disampaikan kepada pembaca. Eriyanto (2011) mendefinisikan berita netral sebagai berita yang menyampaikan peristiwa dan fakta apa adanya, tidak memihak kepada sisi-sisi peristiwa. Secara lebih detail, berita yang netral dapat dikatakan sebagai berita yang tidak mengandung evaluasi (penilaian/penghakiman), dan tidak mengandung dramatisasi atas fakta (Eriyanto, 2011: 184). McQuail (2010) juga mengajukan definisi soal berita yang netral. Menurutnya, berita yang netral adalah berita yang memisahkan fakta dan opini, menghindari pendapat yang sarat nilai, atau penggunaan bahasa dan gambar yang sifatnya mengandung penilaian emosional (McQuail, 2010). Senada dengan hal ini, telah ada bukti bahwa pemilihan kata-kata merefleksikan dan mengindikasikan masuknya penilaian (atau perlakuan khusus) dalam pemberitaan. Sebagaimana dikemukakan Eriyanto (2011), pengukuran netralitas melibatkan dua indikator, yakni evaluatif/non-evaluatif, serta sensasional/non-sensasional. Selanjutnya, Definisi McQuail (2010) menyebutkan bahwa berita yang netral memisahkan fakta dan opini. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti membagi indikator netralitas menjadi dua, yakni: 1. Evaluasi. 2. Sensasi. Pertama, evaluatif/non-evaluatif merupakan ukuran yang mewakili netralitas dari penggunaan kata-kata, kalimat, dan gambar. Secara sederhana, evaluatif/nonevaluatif merupakan ada atau tidaknya penilaian yang masuk ke dalam sebuah berita. Hal ini diwakili oleh kecenderungan pemilihan kata-kata atau kalimat di luar kutipan yang digunakan, apakah mengandung konotasi mendukung atau memojokkan pihak yang diberitakan.
27
Untuk secara lebih ketat mendefinisikan evaluasi, peneliti menggunakan definisi Thomson (2008) tentang netralitas. Menurutnya, berita yang netral adalah berita yang mengurangi opini kepengarangan (authorial opinion) dan sudut pandang (point of view), dan menggambarkan fakta apa adanya. Penggunaan kata-kata keterangan tanpa dasar dalam berita, merupakan contoh opini kepengarangan. Untuk identifikasi atas ada atau tidaknya evaluasi, peneliti menggunakan teori penilaian (appraisal theory). Identifikasi atas ada atau tidaknya sudut pandang kepengarangan di sini didasarkan pada teori penilaian (appraisal theory). Teori penilaian berisi tipologi reaksi berdasarkan sikap atas suatu peristiwa (lihat Martin 2000, White 2000a, dan Martin & White 2005 untuk contoh). Teori ini merupakan teori yang dikembangkan untuk mengidentifikasi kata-kata seperti apa yang memungkinkan untuk dimuati nilai, baik itu positif maupun negatif, dan oleh karena itu, merupakan evaluasi (Thomson, 2008). Dalam pendefinisiannya, peneliti menyesuaikan tipe reaksi dalam konteks analisis teks berita. Berikut tipe-tipe reaksi: 1. Afeksi (affection): reaksi atas sesuatu berdasarkan kondisi emosi tertentu, dan dengan demikian, teks yang ditulis mengandung nilai emosional— “marah”, “senang”, “sedih”, “takut”, dan sebagainya—tanpa adanya pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang digambarkan; 2. Penghakiman (judgment): reaksi atas perilaku pihak yang diberitakan berdasarkan penilaian normatif berdasarkan kerangka referensi atas normanorma yang berlaku—misalnya berupa etis/tidak etis, jujur/tidak jujur, pemberani/penakut,
mampu/tidak
mampu,
normal/abnormal,
dan
sebagainya—tanpa adanya pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang digambarkan. 3. Apresiasi (appreciation): masuknya nilai sosial pada artefak, teks, objek, pernyataan, dan sebagainya, berdasarkan estetika dan penilaian lain sesuai
28
referensi wartawan—penggunaan kata keterangan “rapi”, “tampan”, “baik”, penggunaan kata ganti “penyelamat”, dan sebagainya—tanpa adanya pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak lain, yang menunjukkan atribusi pada pihak yang digambarkan. Tiga reaksi atas sikap di atas, dapat dimuati nilai, entah dalam bentuknya yang positif maupun negatif. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat pula bagaimana nada yang ditunjukkan pada setiap evaluasi yang muncul. Adanya kecenderungan nada pemberitaan tertentu pada evaluasi, akan menunjukkan arah ketidaknetralan berita. Ketiga jenis reaksi-atas-sikap di atas merupakan indikator peneliti untuk melihat ada atau tidaknya evaluasi. Ketiga poin tersebut, dalam penelitian ini, diperlakukan secara setara oleh peneliti semata-mata sebagai indikator. Tidak ada ukuran soal mana yang lebih evaluatif, apakah afeksi, penghakiman, atau apresiasi. Selama di antara ketiga reaksi tersebut pada berita, maka berita akan dilihat sebagai evaluatif, dan dengan demikian, tidak netral. Fungsi berita, pada dasarnya adalah menyampaikan rekaman wartawan atas suatu peristiwa. Biasanya hal ini berbentuk kutipan-kutipan tidak langsung, kutipan langsung, atau deskripsi wartawan atas peristiwa yang dilihat secara langsung. Akan tetapi, kadang-kadang wartawan memasukkan nilai kepada kata-kata yang digunakannya. Masuknya berapa reaksi tersebut pada berita akan digolongkan pula oleh peneliti, namun semata-mata untuk tujuan deskriptif. Pengukuran evaluasi akan dilakukan menurut bagian-bagian struktur berita. Adanya evaluasi akan dilihat secara mendetail pada berita. Struktur berita terdiri dari headline (judul), lead (awalan), body (tubuh), dan leg (penutup). Masing-masing bagian struktur merupakan tempat-tempat yang cukup krusial bagi penempatan kata atau kalimat-kalimat evaluatif dan sensasional. Melalui pengukuran pada masingmasing bagian struktur, peneliti ingin melihat bagaimana kecenderungan awak media
29
dalam memberitakan peristiwa, apakah keseluruhan berita itu evaluatif dan/atau sensasional, atau pada bagian-bagian tertentu saja. Kedua, sensasional/non-sensasional. Secara esensial, sensasional/ nonsensasional ditandai dengan personalisasi cerita, permainan emosi audiens, melalui penggunaan bahasa yang dramatis, atau tidak pada tempatnya (Gunter, 1997). Sensasi tampak pada, pertama, penggambaran peristiwa yang semula biasa saja, namun dibuat menjadi penting, luar biasa, atau di luar kewajaran (dalam konteks jurnalistik). Kedua, berita yang pada dasarnya mengandung keseriusan atau menyangkut topiktopik serius, namun dikemas secara “bercanda” atau menjadi bahan hiburan. Ciri-ciri seperti ini biasanya muncul pada berita yang mengusung nama infotainment. Namun dalam hal ini peneliti menerapkan pengukuran pada berita jurnalistik.
E.5.2. Informasi Umum Berita Informasi umum berita merupakan informasi terkait berita selain yang diambil untuk
pengukuran
netralitas.
Selain
variabel-variabel
yang
diukur
untuk
mengidentifikasi nertal atau tidaknya sebuah berita, ada konsep lain yang juga tidak bisa lepas dari analisis. Untuk informasi umum berita, peneliti mengambil tiga konsep, yakni nada berita, subjek pemberitaan, dan porsi pemberitaan.
F. Definisi Operasional Agar bisa melakukan pengukuran dengan tepat, konsep-konsep yang sudah dijelaskan di kerangka pemikiran perlu didefinisikan secara lebih sederhana. Pada bagian ini, peneliti akan menjelaskan definisi serta pecahan masing-masing konsep untuk operasionalisasi. Peneliti membagi data yang dikumpulkan menjadi dua bagian, yakni netralitas dan informasi umum berita. Netralitas dalam hal ini termasuk aspekaspek untuk melihat netral atau tidaknya sebuah berita. Sedangkan informasi umum berita merupakan pendukung analisis.
30
F.1. Netralitas Setelah melihat beragam definisi netralitas (sebagaimana dijelaskan peneliti di bagian kerangka pemikiran) peneliti menyimpulkan satu definisi netralitas untuk penelitian ini, yakni: seberapa besar kesempatan diberikan oleh ruang-ruang redaksi bagi masuknya unsur-unsur subjektif dalam berita. Semakin netral sebuah media, maka ruang yang diberikan semakin kecil. Sebaliknya, semakin tidak netral sebuah media, maka ruang bagi unsur-unsur subjektif semakin besar. Lantas apa yang dimaksud dengan unsur subjektif? Peneliti mendefinisikan unsur subjektif sebagai adanya kehendak yang diejewantahkan ke dalam perlakuan tertentu terhadap fakta. Misalnya, jika awak redaksi berusaha sebisa mungkin untuk memaparkan fakta apa adanya, maka berita tersebut semakin jauh dari “kehendak” atas peristiwa, dan dengan demikian semakin netral. Netralitas, atau seberapa jauh masuknya unsur subjektif/kehendak atas fakta, memiliki dua indikator: evaluasi dan sensasi.
F.1.1. Indikator-Indikator F.1.1.1. Evaluasi Evaluasi merupakan seberapa besar porsi yang diberikan bagi masuknya unsur-unsur subjektif pada berita. Secara operasional, evaluasi ditandai oleh ada atau tidaknya penilaian dalam bentuk kata-kata atau kalimat tak berdasar yang masuk ke dalam berita. Berita pada dasarnya merupakan salah satu piranti untuk menggambarkan peristiwa. Adanya evaluasi merupakan adanya penilaian dari awak redaksi yang tidak mengikuti alur pengutipan dan tidak memberi bukti kesaksian, dan dengan demikian, tidak memiliki dasar. Akan tetapi, tidak semua pernyataan tanpa dasar bisa disebut sebagai evaluasi. Kadang-kadang ada pernyataan tanpa dasar, namun sebenarnya bukan merupakan evaluasi, melainkan sekadar penggambaran/deskripsi wartawan atas apa yang dilihat dan didengarnya lokasi. Yang terakhir ini sah dalam pemberitaan. Wartawan memiliki hak untuk mendeskripsikan, misalnya, lokasi dan suasana, jika narasumber 31
yang dapat dijumpai minim. Adapun identifikasi atas ada atau tidaknya evaluasi akan didasarkan pada tiga kategori berdasarkan teori penilaian (appraisal theory) (Thomson, 2008). Tiga kategori tersebut adalah afeksi (affect), penghakiman (judgment), dan apresiasi (appreciation). Berikut ini penjelasan masing-masing kategori identifikasi:
Indikator Netralitas Evaluasi
Kategori Afeksi
Penjelasan
Ciri-ciri
Terdapat pemilihan
Penggunaan kata-
kata-kata
kata yang
berdasarkan
menyangkut emosi,
kondisi emosi
seperti
tertentu, dan
“kemarahan”,
dengan demikian,
“senang”, “sedih”,
teks yang ditulis
“takut”, dan
mengandung nilai
sebagainya.
emosional; tanpa adanya pemaparan kutipan langsung, baik wawancara maupun kata-kata dari pihak lain, yang membuktikan kebenaran atribusi tersebut pada objek yang digambarkan. Penghakiman
Adanya kata-kata
Penggunaan kata-
yang merupakan
kata yang
32
atribut atas
mengindikasikan
perilaku pihak
gagasan etis/tidak
yang diberitakan,
etis, jujur/tidak
yang berdasarkan
jujur,
penilaian normatif;
pemberani/penakut,
tanpa adanya
mampu/tidak
pemaparan kutipan
mampu,
langsung, baik
normal/abnormal,
wawancara
dan sebagainya.
maupun kata-kata dari pihak lain, yang mengatakan atribusi tersebut pada pihak yang digambarkan. Apresiasi
Masuknya nilai
Penggunaan kata-
sosial pada
kata penilaian yang
artefak, teks,
mengandung
objek,
gagasan estetis atau
pernyataan, dan
baik/buruk dalam
sebagainya,
konteks sosial,
berdasarkan
seperti keterangan
estetika dan
“rapi”, “tampan”,
penilaian sosial
“tersenyum
sesuai referensi
berwibawa”,
wartawan; tanpa
“tersenyum sinis”,
adanya pemaparan
dan “pernyataan
kutipan langsung,
optimis”,
33
baik wawancara
sebagainya.
maupun kata-kata dari pihak lain, yang membuktikan kebenaran atribusi tersebut pada pihak yang digambarkan. Tabel 1.2. Definisi operasional evaluasi dan ciri-cirinya.
Adapun identifikasi akan ada atau tidaknya penilaian pada sebuah keterangan dalam berita, dapat dilihat contohnya pada tabel berikut:
Indikator Evaluatif
Kategori Afeksi
Contoh Viva.co.id, Sabtu, 5 April 2014. (“Masa Orde Baru Memang Ada Kekurangannya, tapi…”) “….muncul kerinduan masyarakat pada situasi seperti di masa Orde Baru. Di masa itu, situasi aman dan damai, kebutuhan pokok terjangkau harganya, swasembada pangan, dan sebagainya.”
tidak ada
pengutipan sumber atau hal lain di dalam berita yang menjadi dasar pernyataan ini,
34
sehingga merupakan pernyataan pribadi awak redaksi. Penghakiman
Okezone.com, Sabtu, 5 April 2014 (“Terbukti Bersih, Rakyat Sambut Hanura dengan Tangan Terbuka”). “Terbukti Bersih, Rakyat Sambut Hanura dengan Tangan Terbuka”
tidak ada
pengutipan sumber atau hal lain di dalam berita yang menjadi dasar pernyataan ini, sehingga merupakan pernyataan pribadi awak redaksi. Apresiasi
Okezone.com, Sabtu, 5 April 2014 (“Kemenangan Hanura, Kemenangan Hati dan Nurani Rakyat”). “Kemenangan Hanura, Kemenangan Rakyat & Hati Nurani”
tidak ada
pengutipan sumber atau hal lain di dalam berita yang menjadi dasar pernyataan ini, sehingga merupakan pernyataan pribadi awak
35
redaksi. Non-evaluatif
Tempo.co, Kamis, 3 April 2014. (1) “Prabowo: Saya Tidak Malu Jadi Tukang Mimpi” ada penyebutan nama yang menunjukkan bahwa pernyataan tersebut dikutip dari seseorang pada peristiwa yang diliput. Selain itu, diperjelas pula pada bagian dalam berita bahwa si subjek memang mengatakan hal tersebut. (2) “Prabowo menegaskan bahwa mimpi yang ingin ia capai adalah menjadikan bangsa Indonesia kaya dan makmur. ‘Saya bermimpi tak ada lagi orang miskin di Indonesia,’ kata Prabowo.” ada kata-kata penerang yang jelas bahwa awak redaksi mengutip ujaran subjek. Dalam hal ini, si penulis dan editor berita memperjelas posisi mereka, bahwa mereka benar-benar menggambarkan
36
apa yang ada di lapangan. Tabel 1.3. Contoh evaluasi berdasarkan masing-masing indikator.
Setiap sudut berita merupakan “tempat” dimana awak media menempatkan konten yang sifatnya evaluatif. Oleh karena itu, peneliti memecah struktur berita agar pengukuran evaluasi mudah dilakukan. Dengan memecah struktur berita, peneliti ingin melihat kecenderungan pemberitaan. Struktur berita terdiri dari headline (judul), lead (awalan), body (tubuh) dan leg (penutup). Berikut ini tabel dan penjelasan untuk masing-masing unit analisis:
Struktur Berita Headline
Penjelasan
Contoh
Merupakan judul berita,
“Kemenangan Hanura,
biasanya dicantumkan
Kemenangan Rakyat &
dengan cetak tebal dan
Hati Nurani”
ukuran huruf paling besar.
(okezone.com, Sabtu, 5 April 2014).
Lead
Merupakan awalan berita.
JAKARTA - Dalam 10
Di berita online, biasanya
Tahun Indonesia maju,
merupakan paragraf
Mungkinkah? Itulah yang
pembuka dimana inti
sedang dijelaskan dan
berita disampaikan
dijawab Partai Hanura
(berdasarkan prinsip
dalam orasi kampanye
“piramida terbalik”).
akbar yang digelar secara meriah di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (5/4/2014).
Body
Merupakan bagian tengah
Di hadapan ratusan ribu
pada berita. Biasanya
simpatisan yang memadati
37
berisi penjelasan lanjutan
gelora kebanggaan
dari paragraf awal, yang
Indonesia ini, Partai
sifatnya lebih khusus,
Hanura tampil dengan
menjelaskan detail
pasangan capres
peristiwa.
cawapresnya, WirantoHary Tanoesoedibjo (WinHT). "Hati nurani adalah kompas yang mengarahkan kita pada kebenaran, karena itu, Partai Hati Nurani tidak hanya sekadar partai politik, namun juga sebuah gerakan moral yang merindukan perubahan Indonesia," ujar Wiranto membuka orasi yang langsung disambut tepuk tangan gemuruh…dst. (okezone.com, Sabtu, 5 April 2014).
Leg
Merupakan bagian
HT optimistis, Indonesia
penutup berita. Bagian ini
bisa maju dalam waktu
terletak pada paragraf
tidak kurang 10 tahun,
terakhir.
untuk itu kata dia, Partai Hanura dan WinHT mengusung visi misi ini,
38
tujuannya lanjut HT agar masyarakat bisa sejahtera dan Indonesia menjadi bangsa bermartabat yang dihargai negara-negara lain. (okezone.com, Sabtu, 5 April 2014) Tabel 1.4. Struktur berita.
Berikut ini contoh berita evaluatif (bagian bergaris bawah merupakan bagian yang mengandung evaluasi):
ARB dan Dua Putri Soeharto Kampanye Pamungkas di Surabaya Tidak kurang dari 10 ribu orang, kader dan simpatisan berkumpul. Sabtu, 5 April 2014, 16:37 Beno Junianto
VIVAnews - Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, berkampanye terakhir alias pamungkas di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu, 5 April 2014. Kampanye yang dihadiri 10 ribu massa simpatisan Partai Golkar itu dipusatkan di gedung Jatim Expo.
Dua putri mendiang mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto dan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, turut mendampingi ARB (panggilan akrab Aburizal Bakrie). Keduanya kompak mengenakan busana serba warna kuning.
Tutut Soeharto mengawali orasinya denga menyapa massa simpatisan Golkar dengan dua bahasa utama masyarakat di Jawa Timur, yakni bahasa Jawa dan Madura: "De remmah kabere(bagaimana kabarnya)?" "Yo opo kabare Suroboyo (bagaimana kabar Surabaya??"
39
"Kita semua berada di sini karena kita sayang Golkar. Kita berjuang bersama Partai Golkar," kata Tutut.
"Sayang sama Golkar, kan?" tanya Tutut kepada massa. Hadirin yang memenuhi gedung expo itu pun kompak menjawab: "Sayang..." Tutut membalas dengan berujar: "Pak Harto (Soeharto) juga sayang sama rakyat Indonesia.
Sedangkan Titiek Soeharto langsung mengutip ungkapan populer yang seolah diucapkan Soeharto: "Enak zamanku, toh? (enak di zamanku, kan?)" Ia mengaku sudah berkeliling daerah di seluruh penjuru Tanah Air. Masyarakat, katanya, memiliki keluhan yang sama, yaitu masa Orde Baru lebih baik daripada masa sekarang.
"Keluhannya sama: penak zaman mbiyen (lebih enak zaman dulu di masa Orde Baru). Kita sudah lelah melihat bangsa ini yang setiap hari ada korupsi," ujarnya.
ARB tak mau kalah. Ia pun memulai orasinya dengan menyapa warga Surabaya dengan berbahasa Jawa. "Dulur-dulurku kabeh arek-arek Suroboyo (saudara-saudaraku warga Surabaya), warga Jawa Timur yang ada di sini, yak opo kabare, rek (bagaimana kabarnya semua)?
Ia mengaku bangga sekaligus bahagia berada di tengah-tengah masyarakat Surabaya, warga Jawa Timur, yang semangat kepahlawanannya tak pernah padam, tetap berkobar hingga saat ini.
"Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita, ketika Bung Tomo, Pahlawan Nasional, berpidato dengan berapi-api memekikkan takbir Allahu Akbar, yang mampu membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo dalam mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia," katanya.
"Mari kita pekikkan bersama Takbir: Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…!"
Kuningkan Surabaya
Tidak kurang dari 10 ribu orang, kader dan simpatisan Partai Golkar siang ini menguningkan JX
40
Internasional di Jalan Ahmad Yani, Surabaya.
Priyo Ketua DPP Golkar Budi Santoso mengatakan, dengan kemenangan Partai Golkar, cita-cita pendiri bangsa terwujud, menuju masyarakat adil dan makmur.
Ketua DPD PG Jatim, Zainuddin Amali juga sama, diawali dengan alunan ayat Al Qur'an, dia mengingatkan agar 9 April 2014 nanti memilih Golkar untuk mewujudkan kesejahteraan.
Dengan telekonferensi itu, ARB dari Surabaya juga melakukan kontak bicara dengan Akbar Tandjung, Luhut Panjaitan dan sejumlah petinggi Golkar Sumatera Utara. (adi)
Harapan Berantas Koruptor Ada di Pundak Win-HT Sabtu, 5 April 2014 - 13:07 wib | Marieska Harya Virdhani – Okezone
JAKARTA- Ribuan kader Partai Hanura terus mengalir memenuhi Gelora Bung Karno (GBK). Para kader di dalam GBK terlihat menyibukan diri untuk bersuka cita dengan membunyikan alat musik dari galon air mineral.
Salah satu kader dari Pondok Rangon, Tommy, mengaku sudah datang sejak pukul 10.00 dengan naik bus.
Tommy meyakini bahwa Partai Hanura akan mengimplementasikan jargonnya yakni Bersih, Peduli, Tegas. "Bagus, visi misinya lebih jelas daripada partai yang lain," katanya kepada Okezone, Sabtu (05/04/2014).
Dia meyakini bahwa Win-HT sosok yang tepat untuk memimpin Indonesia. Salah satunya dengan slogan bersih, Win-HT dapat memberantas korupsi. "Saya yakin Pak Win-HT bisa berantas para koruptor, Sudah kebanyakan koruptornya," tukasnya.
Tabel 1.5. Contoh berita evaluatif.
41
F.1.1.2. Sensasi Setelah evaluasi, ada satu indikator lagi bagi pengukuran netralitas, yakni sensasi. Pada bagian kerangka pemikiran telah dijelaskan definisi sensasi (Gunter, 1997). Definisi sensasi, dalam konteks penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut:
Indikator Netralitas Sensasi
Penjelasan
Contoh
(1) Pemilihan sisi peristiwa
(1) (okezone.com, Sabtu, 5 April
yang paling tidak relevan,
2014, “Tiba di GBK, Hary
yang mengandung permainan
Tanoesoedibjo Salami Penderita
emosi. Menjadikan sisi-sisi dari
Difabel”) “Dengan
peristiwa yang sebetulnya tidak
menggunakan kursi roda, pria
bernilai berita sebagai berita.
yang terbilang berusia lanjut itu
Pada sebuah peristiwa, ada
mengejar mobil WIN-HT.
beragam sisi yang bisa diliput.
Hingga akhirnya, Hary
Berita yang sensasional adalah
menghentikan laju kendaraannya
berita yang meliput bagian
sejenak untuk menyalami pria
paling tidak relevan dari
yang mengaku bernama
peristiwa. Misalnya, alih-alih
Darmawan Nasution. Dalam
memberitakan pro-kontra dari
percakapan keduanya, tampak
kedatangan seorang politikus
Darmawan menggagumi
dalam rangka kampanye, awak
pasangan WIN-HT.”
redaksi menyorot bagaimana keluarga si politikus selalu
(2) (Viva.co.id, Sabtu, 5 April
menemani, bagaimana mereka
2014: “Usai Kampanye
bercengkrama dengan rukun,
Terakhir, ARB dan Wartawan
dan sebagainya. Gunter (1997)
Buat Kenangan;
menyebut ini sebagai
Ia berterima kasih kepada
42
“permainan emosi”. Ini seperti
wartawan yang meliputnya
berita infotainment yang diberi
selama kampanye”)
label berita politik.
Usai kampanye terbuka pemilu
(2) Penggunaan bahasa secara
legisatif terakhir hari ini, 5 April
tidak wajar. Ada penggunaan
2014, Ketua Umum DPP Partai
perumpamaan atau label,
Golkar Aburizal Bakrie (ARB)
penggunaan bahasa yang tidak
melakukan kegiatan santai
pada tempatnya, atau bahasa
bersama tim dan wartawan.
tidak baku, dalam rangka
Berbagai kegiatan santai
membuat lebih menarik bagi
dilakukan setelah melalui
pembaca. Berita-berita yang
kampanye yang melelahkan
sebenarnya menampilkan
siang harinya…Saat itu, tiba-tiba
kontroversi serius diselubungi
Ketua DPP Partai Golkar Fuad
dengan bahasa-bahasa candaan,
Hasan Masyhur melontarkan
dan kesannya menjadi lebih
sebuah pernyataan yang
menarik sebagai hiburan.
membuat para wartawan
(3) Judul tidak sesuai isi. Judul
bersorak. ‘Kalau kita menang
merupakan bagian yang pertama
nomor satu, semua wartawan
kali dilihat ketika membuka
umroh,’ kata Fuad yang juga
berita portal, dan oleh karena itu, pemilik biro haji dan umroh segala macam praduga bisa
Maktour ini.
muncul seketika setelah melihat
‘Beneran ya Pak, catet ya,’ ujar
judul. Akan tetapi, kadang-
para wartawan.”
kadang dalam rangka membuat berita lebih menarik, judul dibuat bombastis, namun isinya sama sekali tidak menggambarkan apa yang
43
disebutkan pada judul. Tabel 1.6. Definisi dan contoh sensasi
Berikut ini contoh berita sensasional:
Usai Kampanye Terakhir, ARB dan Wartawan Buat Kenangan Ia berterima kasih kepada wartawan yang meliputnya selama kampanye. Sabtu, 5 April 2014, 22:19 Maya Sofia
VIVAnews - Usai kampanye terbuka pemilu legisatif terakhir hari ini, 5 April 2014, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) melakukan kegiatan santai bersama tim dan wartawan. Berbagai kegiatan santai dilakukan setelah melalui kampanye yang melelahkan siang harinya.
ARB bersama pengurus partai, tim, dan para wartawan makan siang di sebuah hotel di dekat lokasi kampanye. Musisi Maluku Zeth Lekatompessy tampak menghibur dengan beberapa buah lagu diiringi piano.
Safar "KDI" yang selama ini jadi penyanyi di kampanye Golkar pun ikut unjuk kebolehan menghibur dengan bermain piano. Maria, wartawan Metro TV tak mau kalah. Dia tampil menghibur dengan bernyanyi diiringi piano Safar.
ARB dan rombongan tampak menikmati hiburan dari wartawan yang biasanya meliput dia. Setelah Maria selesai bernyanyi dan rombongan akan kembali ke Jakarta, ARB dan wartawan ingin membuat kenangan.
Kemudian ARB dan para wartawan yang selama ini meliput kampanye dan roadshow-nya berfoto bersama. "Ayo kita berfoto untuk kenang-kenangan," kata ARB.
44
Selesai berfoto, ARB mengucapkan terima kasih pada wartawan yang selama ini ikut berkeliling dan memberitakan kegiatanroadshow dan kampanyenya.
Saat itu, tiba-tiba Ketua DPP Partai Golkar Fuad Hasan Masyhur melontarkan sebuah pernyataan yang membuat para wartawan bersorak. "Kalau kita menang nomor satu, semua wartawan umroh," kata Fuad yang juga pemilik biro haji dan umroh Maktour ini.
"Beneran ya Pak, catet ya," ujar para wartawan.
Setelah itu, ARB dan para wartawan pun bergegas menuju Bandara Juanda untuk kembali ke Jakarta. Laporan: Dian Widiyanarko
Tiba di GBK, Hary Tanoesoedibjo Salami Penderita Difabel Sabtu, 5 April 2014 - 14:25 wib | Arief Setyadi – Okezone
JAKARTA – Calon presiden dan calon wakil presiden dari Partai Hanura, Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, akhirnya tiba di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu (5/4/2014), untuk mengikuti Kenduri Partai Hanura yang bertajuk Gebyar Hanura Merakyat.
Saat tiba sekira pukul 14.00 WIB, pasangan dari partai bernomor urut 10 itu tampak kompak berada dalam satu mobil Toyota Camry warna hitam bernomor polisi B 1251 SAH.
Dengan mengenakan kemeja putih berlogo Partai Hanura, keduanya sempat menebar senyum ke sejumlah masyarakat yang telah menanti di GBK.
Di sela-sela kedatangannya, Hary sempat menyalami salah seorang warga penderita difabel. Dengan menggunakan kursi roda, pria yang terbilang berusia lanjut itu mengejar mobil WINHT.
45
Hingga akhirnya, Hary menghentikan laju kendaraannya sejenak untuk menyalami pria yang mengaku bernama Darmawan Nasution. Dalam percakapan keduanya, tampak Darmawan menggagumi pasangan WIN-HT.
"Doakan kami ya, Pak," ujar Hary kepada Darmawan.
Sementara itu, Darmawan mengaku sengaja datang ke acara Kenduri Hanura karena memang mengagumi pasangan WIN-HT.
"Saya dari Jakarta Timur, mau ikut kampanye Hanura," pungkasnya.
Tabel 1.7. Contoh berita sensasional.
F.2. Informasi Umum Berita Meskipun unit analisis serta tatacara pengukuran sudah ditetapkan pada kerangka konsep, namun peneliti masih membutuhkan informasi di luar konsep untuk menjadi acuan. Informasi ini berperan krusial bagi analisis, namun pada dasarnya memang tidak memiliki fungsi pengukuran netralitas. Informasi umum ini antara lain nada pemberitaan, subjek pemberitaan, dan porsi pemberitaan.
F.2.1. Nada Pemberitaan Thomson (2008) mengemukakan bahwa masing-masing turunan dari appraisal theory (afeksi, penghakiman, dan apresiasi) merupakan reaksi atas sikap yang pasti dimuati nilai—yakni positif dan negatif. Nilai ini tentu saja juga akan diperhitungkan dalam melihat netralitas. Sebetulnya, nilai ini melekat bersamaan dengan identifikasi ada atau tidaknya evaluasi. Namun, untuk penelitian ini peneliti menerapkan cara yang berbeda. Ada satu hal yang didapati peneliti pada pengamatan awal. Muatan nilai, baik positif maupun negatif, tidak selalu dikandung oleh berita yang mengandung evaluasi
46
dan sensasi. Pada berita yang netral pun bisa muncul muatan positif dan negatif. Dan sebaliknya, meskipun berita memuat kata-kata evaluatif yang mengandung nilai positif atau negatif, tidak selalu berpengaruh signifikan terhadap nada keseluruhan berita. Selain itu, untuk melihat secara langsung kelekatan nilai pada kata-kata evaluatif, akan melibatkan analisis yang sangat rumit. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati nada pemberitaan secara terpisah, dengan melihat berita sebagai kesatuan unit, apakah secara keseluruhan mendukung (positif) atau memojokkan (negatif) subjek yang diberitakan. Dengan kata lain, yang diperhitungkan tidak hanya ada atau tidaknya komentar tak berdasar awak redaksi yang sifatnya positif atau negatif, melainkan juga berbagai pernyataan narasumber yang diikuti sebagai bagian dari penggambaran fakta. Berdasarkan alasan ini, untuk pengamatan atas nada atau muatan nilai pada berita, berita yang netral pun tidak luput dari analisis. Adapun definisi operasional nada pemberitaan bisa dilihat pada tabel berikut:
Unit Analisis Nada Pemberitaan.
Ukuran Positif
Penjelasan Berita mengandung hal-hal positif (bersifat mendukung/menguntungkan) seperti sanjungan, pujian, dukungan, dan lain-lain. Bisa berasal dari komentar wartawan dan kutipan pernyataan narasumber. Komentar dan pernyataan tersebut akan dilihat secara keseluruhan pada berita, apakah segala kata-kata yang ada pada berita tersebut bisa membuat kesan yang ditimbulkan positif.
Negatif
Berita mengandung hal-hal negatif
47
(bersifat merugikan/memojokkan) seperti hinaan, cercaan, tudingan, dan lain-lain. Bisa berasal dari komentar wartawan dan kutipan pernyataan narasumber. Komentar dan pernyataan tersebut akan dilihat secara keseluruhan pada berita, apakah segala kata-kata yang ada pada berita tersebut bisa membuat kesan yang ditimbulkan positif. Tabel 1.8. Definisi operasional nada berita.
Kemudian, penjelasan soal bagaimana nada pemberitaan dalam kaitannya dengan berita yang netral (tidak mengandung evaluasi dan sensasi) maupun tidak netral (mengandung evaluasi dan sensasi) bisa dilihat pada tabel berikut:
Netralitas Netral
Nada/Nilai/Sikap Positif/Negatif
Penjelasan dan Contoh Berita tidak mengandung evaluasi maupun sensasi. Munculnya nilai positif atau negatif pada berita disebabkan semata-mata oleh komentar narasumber. Jika komentar narasumber yang dikutip sifatnya positif bagi subjek yang diberitakan, dan komentar tersebut memenuhi berita, maka berita menjadi positif. Contoh: “….Prabowo menegaskan bahwa
48
mimpi yang ingin ia capai adalah menjadikan bangsa Indonesia kaya dan makmur. ‘Saya bermimpi tak ada lagi orang miskin di Indonesia,’ kata Prabowo” (“Prabowo: Saya Tidak Malu Jadi Tukang Mimpi,” Tempo.co, Kamis, 3 April 2014). Sebagaimana diamati peneliti, pada berita tersebut awak redaksi hanya semata-mata mengikuti apa yang dikatakan narasumber. Pada berita tersebut, Prabowo tergambar positif. Dan karena seluruh komentar positif tersebut menjadi penentu alur berita, maka dengan sendirinya berita menjadi sepenuhnya positif, meskipun tidak ada evaluasi dan tidak sensasional. Hal yang sama juga berlaku pada berita yang mengandung nada negatif. Tidak Netral
Positif/Negatif
Berita yang disusun sudah mengandung komentar-komentar tak berdasar (evaluatif) dan pemilihan sisi peristiwa yang bersifat “gosip” atau
49
mengandung dramatisasi (sensasional). Keduanya memang pada dasarnya ditujukan untuk menguntungkan/mendukung (positif) maupun merugikan/memojokkan (negatif) subjek pemberitaan. Contoh: “…Setelah itu, untuk meningkatkan rasa solidaritas, hadir di atas panggung enam pemuka agama. Mereka menyampaikan doa agar Hanura meraih kemenangan pada Pemilu 2014. Selain itu, para kader dan simpatisan juga terlihat ikut berdoa bersama enam pemuka agama. Doa para pemuka agama juga berisi agar tak hanya menang dalam Pemilu Legislatif, tetapi capres dan cawapres Hanura yakni Win HT juga berhasil merebut kursi RI 1 dan 2” (“WIN-HT Ajak Simpatisan Doakan Para Pahlawan”, di okezone.com, Sabtu, 5 maret 2014). Pada berita tersebut jelas terlihat
50
bahwa ada unsur evaluatif, yang juga sensasional, dan mengandung sikap mendukung subjek yang diberitakan. Hal yang sama juga berlaku pada pemberitaan negatif. Tabel 1.9. Nada pemberitaan pada berita yang netral dan tidak netral.
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk mengidentifikasi muatan nilai pada berita yang tidak netral, peneliti akan menyilangkan (crosstab) hasil identifikasi netralitas dengan analisis nada pemberitaan. Dengan cara ini, peneliti bisa menghasilkan dua keuntungan: pertama, melihat secara keseluruhan nada pemberitaan masing-masing media terhadap partai politik, dan kedua, mengetahui mana berita netral yang mengandung nilai positif/negatif dan mana berita tidak tidak netral yang mengandung nilai positif/negatif. Melalui ukuran ini, peneliti berharap analisis yang disajikan menjadi lebih menyeluruh.
F.2.2. Subjek Pemberitaan Dalam penelitian ini, netralitas berita akan dikaitkan dengan siapa yang diberitakan. Hal ini merupakan perwujudan dari niat awal peneliti, yakni melihat apakah terdapat perbedaan perlakuan oleh media terhadap setiap partai. Niat peneliti didasari oleh riset-riset sebelumnya yang menyebutkan bahwa kepemilikan media berhubungan dengan performa pemberitaan. Penelitian ini bukan ditujukan untuk melihat kembali hubungan tersebut, melainkan hanya mendeskripsikan, apakah bukti yang diperoleh peneliti menunjukkan gejala yang sejalan. Pihak yang diberitakan, dalam penelitian ini, didefinisikan sebagai partai mana yang menjadi sasaran pemberitaan. Karena topik yang dipilih adalah pemberitaan kampanye terbuka, maka peristiwa yang diberitakan bersumber dari
51
kampanye terbuka salah satu partai. Oleh sebab itu, peneliti merangkum semua pihak dan peristiwa yang diliput terkait kampanye terbuka. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin melihat bagaimana netralitas pemberitaan mengenai kampanye terbuka di media-media yang dipilih. Oleh karena itu, peneliti membagi “siapa” yang diberitakan berdasarkan semua peserta yang mengikuti Pemilu 2014, yakni: Partai Hanura, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
F.2.3. Porsi Pemberitaan Porsi pemberitaan dalam hal ini merupakan jumlah berita, dalam kategori apapun. Peneliti akan mengawali analisis dari melihat jumlah berita kampanye terbuka masing-masing portal, untuk kemudian memetakan kecenderungan masingmasing portal. Porsi pemberitaan merupakan informasi yang sangat penting dalam penelitian ini, sebagai salah satu patokan analisis.
F.3. Skor Netralitas Meskipun sifatnya deskriptif, namun penelitian ini juga memiliki tujuan pembandingan—yakni antara keluaran berita dari portal berita online milik politikus dan non-politikus. Jika pembandingan yang dilakukan hanya tergantung pada netral atau tidaknya berita, analisis menjadi kurang bermakna. Oleh karena itu, diperlukan adanya ukuran lain yang mampu memperkaya gambaran perbedaan masing-masing media. Untuk perbandingan tersebut, peneliti menetapkan satu instrumen, yakni skor netralitas. Untuk pengukuran skor netralitas bagi masing-masing media, peneliti memadukan ada atau tidaknya evaluasi (yang diterapkan identifikasinya pada struktur berita) dan sensasional atau tidaknya berita. Peneliti menetapkan skor dari 1 sampai 52
10, dengan melihat kemungkinan adanya evaluasi dan sensasi pada berita yang dianalisis. Penjelasan soal pengukuran ini bisa dilihat pada tabel berikut:
Skor
Ukuran
Penjelasan Berita seperti ini sangat netral, karena tidak
Tidak ada satupun evaluasi tampak 1
pada masing-masing bagian (atau struktur) berita, dan berita tidak sensasional.
menampakkan evaluasi maupun sensasi sama sekali. Skor 1`adalah skor terbaik bagi berita yang dianalisis, atau dengan kata lain, berita netral. Berita ini dapat disebut
Ada evaluasi pada satu bagian berita 2
(headline, lead, body, atau leg) namun berita tidak sensasional.
tidak netral, namun tidak terlalu, mengingat ketidaknetralan hanya mengisi sebagian kecil berita. Berita mulai diisi
3
Ada evaluasi pada dua bagian berita, namun berita tidak sensasional.
separuhnya oleh evaluasi, namun masih tidak sensasional. Oleh karena itu, belum akut. Tiga perempat berita diisi
4
Ada evaluasi pada tiga bagian berita, namun berita tidak sensasional.
oleh evaluasi, namun berita tidak sensasional. Evaluasi dominan dalam berita.
53
Berita sudah dipenuhi oleh afeksi, penghakiman, Ada evaluasi pada seluruh bagian 5
berita (headline, lead, body, dan leg), namun berita tidak sensasional.
maupun apresiasi tanpa dasar, namun masih relevan dalam hal pemilihan sisi peristiwa (tidak sensasional). Dalam penelitian ini, adanya evaluasi pada keseluruhan berita masih lebih netral daripada jika beritanya sensasional. Alasannya, jika evaluasi masih menyangkut cara penyampaian, sensasi
Tidak ada evaluasi pada masing6
masing bagian berita, namun berita sensasional.
sudah menyangkut pemilihan peristiwa. Dalam hal ini, kadangkadang dalam pemberitaan awak redaksi sama sekali tidak melibatkan opini pribadi dalam peliputan (komentarnya selalu diikuti fakta), namun peristiwa yang dipilihnya itu sendiri yang bermasalah.
7
Satu bagian dari berita evaluatif, dan
54
Mulai ada evaluasi pada
berita sensasional.
penulisan berita yang sifatnya sensasional.
Dua bagian dari berita evaluatif, dan
8
berita sensasional.
dirasuki oleh evaluasi.
Tiga bagian dari berita evaluatif, dan
9
Separuh berita sensasional
berita sensasional.
Evaluasi dominan dalam berita, dan sensasional. Berita tidak netral akut. Berita seluruhnya mengandung evaluasi, dan
Seluruh bagian dari berita evaluatif,
10
dan berita sensasional.
mengandung dramatisasi fakta, atau sensasional. Berita dengan kecenderungan seperti ini adalah yang paling jauh jaraknya dari netral.
Tabel 1.10. Skor beserta penjelasan untuk mengukur netralitas.
Berdasarkan pengukuran dengan aturan di atas, peneliti akan melihat netralitas
dari
media
yang
menjadi
objek
analisis.
Media
yang
netral
direpresentasikan oleh skor 1, dan ketika skor lebih dari satu, meskipun sedikit, media sudah bisa disebut tidak netral. Skor yang dilihat peneliti adalah seberapa banyak media menjauhi skor 1; semakin jauh, maka ketidaknetralan semakin akut. Untuk melihat skor media yang dianalisis, peneliti akan menerapkan hasil rata-rata (mean) keseluruhan berita, dengan pembagian berdasarkan portal berita yang memuatnya.
55
G. Objek Penelitian: Pemberitaan Kampanye Terbuka di Portal Berita Online Milik Kandidat pada 22 Maret sampai 5 April 2014 Sebagaimana dijelaskan di awal kerangka pemikiran, peneliti meletakkan fokus pada interaksi antara media massa dan partai politik. Interaksi ini tampak pada pseudo-event, terutama yang berhubungan dengan kampanye politik. Peneliti memilih portal berita online sebagai objek, karena selain bentuknya yang baru sebagai media jurnalistik, kini ia semakin mudah dijangkau—seiring berkembangnya jumlah pengguna internet. Namun, disebabkan pandangan peneliti bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara portal berita online dengan jenis media massa lain, peneliti membatasi populasi pada semua pemberitaan politik terkait Pemilu 2014 di portal berita online saja. Peneliti berharap setidaknya penelitian ini dapat menjadi gambaran kecenderungan sekaligus pendorong untuk penelitian jenis-jenis media lainnya. Objek yang dipilih adalah pemberitaan kampanye terbuka di viva.co.id dan okezone.com (milik Aburizal Bakrie dan Hary Tanoesoedibjo) serta tempo.co, dan kompas.com (Yayasan Tempo dan Jakob Oetama). Karena keterbatasan kemampuan, peneliti hanya memilih waktu 14 hari dari keseluruhan 21 hari jadwal kampanye terbuka, yakni tanggal 23 Maret sampai 5 April 2014. Namun demikian, 14 hari tersebut dirasa peneliti sudah cukup representatif.
H. Metode Penelitian Riset ini memilih analisis isi kuantitatif sebagai metode utama. Adapun tujuan pemilihan metode ini adalah untuk menjawab poin “what”, “to whom”, dan “how” dari suatu proses komunikasi (Holsti, 1969, dalam Eriyanto, 2011). Secara khusus, pemilihan metode ini sejalan dengan salah satu motif yang dikemukakan McQuail (2010), yaitu “mendeskripsikan dan membandingkan keluaran (output) media massa.” Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin membandingkan keluaran media dalam bentuk berita, dengan dasar subjek yang diberitakan. Ada beberapa definisi yang menjadi dasar pengertian analisis isi kuantitatif. Menurut Krippendorff (2006), analisis isi merupakan teknik penelitian untuk 56
membuat inferensi-inferensi yang dapat direplikasi sehingga menghasilkan data yang sahih. Sebagai sebuah metode, ia menambahkan, analisis isi mampu menambah pemahaman peneliti mengenai fenomena serta tindakan-tindakan, dimana semuanya termaktub dalam bentuk pesan. Definisi ini menjadi lambang atas perkembangan objek kajian akademis, dimana kini suatu gejala tidak hanya dapat disimpulkan dari analisis atas reaksi nyata, melainkan juga pada pesan-pesan buatan manusia. Dan kini, seiring perkembangan media pesan (dalam bentuknya yang bermacam-macam), tidak bisa dibantah lagi bahwa analisis isi menemukan relevansinya, atau dengan kata lain, telah menjadi baku. Meskipun memadai, peneliti membutuhkan definisi yang lebih praktis daripada gagasan Krippendorff di atas. Selain itu, peneliti memandang bahwa definisi tersebut belum sepenuhnya mewakili metode yang digunakan untuk penelitian ini, yakni analisis isi kuantitatif. Untuk itu, peneliti mengutip satu definisi analisis isi kuantitatif sebagaimana dirumuskan Neuendorf (2002). Analisis isi, menurut Neuendorf, adalah metode yang sistematis dan objektif untuk melihat kuantitas karakteristik pesan. Sistematis dan objektif adalah dua kata yang mewakili penjelasan awal bagian metode ini. Dengan metode ini, peneliti memperlakukan fenomena secara objektif, melalui kategorisasi berdasarkan variabel-variabel yang diturunkan dari teori, untuk kemudian menyusunnya secara sistematis.
H.1. Unit Analisis Unit analisis untuk penelitian ini mencakup tiga hal (Krippendorf, 2004). Pertama adalah unit sampel, atau objek penelitian yang akan didalami. Unit sampel merupakan hasil dari proses penjaringan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang sifatnya objektif. Biasanya unit sampel dipilih dengan motif mewakili suatu lingkup, populasi, atau topik. Kedua, unit pencatatan, yang merupakan aspek isi yang menjadi dasar pengumpulan data dan analisis. Isi yang dimaksud di sini adalah elemenelemen, unsur-unsur, atau bagian-bagian yang beragam dari pesan-pesan yang dijadikan objek. Karena keberagaman tersebut, harus ada pendefinisian unit 57
pencatatan terlebih dahulu (Eriyanto, 2010). Terakhir, unit konteks, merupakan usaha peneliti untuk memberi konteks, yang mana memberi warna atau makna khusus, terhadap hasil analisis. Konteks di sini bisa dalam rupa sosial, politik, psikologisosial, atau konteks-konteks lain, sesuai dengan disiplin yang mendasari penelitian.
H.1.1. Unit Sampel Sampel untuk penelitian ini ditetapkan secara purposif. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peneliti menetapkan semua pemberitaan pseudo-event politik di media massa milik politisi sebagai populasi. Dengan dasar ini, peneliti menjadikan pemberitaan kampanye terbuka di okezone.com sebagai sampel. Okezone.com adalah portal berita online di bawah naungan Global Mediacomm/MNC, milik Hary Tanoesoedibjo—kini calon wakil presiden pasangan Wiranto dari Partai Hanura. Waktu yang dipilih disesuaikan dengan masa pelaksanaan kampanye terbuka Pemilu 2014, yakni pada 16 Maret sampai 5 April 2014. Pemberitaan kampanye terbuka sendiri, adalah semua semua berita pada media dan tanggal tersebut yang mengandung kata “kampanye terbuka”.
H.1.2. Unit Pencatatan Unit pencatatan mencakup bagian-bagian atau aspek-aspek sumber pesan. Sumber pesan dalam penelitian ini adalah sebagaimana dijelaskan di unit sampel, yakni artikel di portal berita okezone.com bertemakan “kampanye terbuka” pada tanggal 16 Maret sampai 5 April 2014. Unit-unit pencatatan pesan terdiri dari aspek fisik, aspek sintaktis, aspek kategorial, aspek proposisional, dan aspek tematik. Unitunit pencatatan untuk penelitian ini antara lain unit fisik, sintaktis dan unit kategorial. Pertama, unit fisik. Unit fisik adalah perhitungan ukuran aitem, waktu, dan ruang suatu konten. Dalam penelitian ini, unit fisik berguna ketika pengukuran variabel keberimbangan, dan mungkin sebagian variabel nada pemberitaan. Pada variabel keberimbangan unit fisik berlaku ketika menghitung jumlah narasumber. (Riffe, Lacy, & Fico, 2005). 58
Kedua, unit sintaksis. Unit ini berkaitan dengan posisi sebuah kata, kalimat, dan sebagainya berdasarkan maknanya (Eriyanto, 2011). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada variabel nada pemberitaan yang dilihat adalah maknanya, apakah positif atau negatif. Unit fisik berlaku dalam pengukuran variabel ini. Ketiga, unit referensial. Unit referensial merupakan unit pencatatan dimana penggunaan nama, benda, tempat, atau lain-lainnya digunakan untuk mewakili pihak yang diberitakan (Riffe, Lacy, & Fico, 2005). Unit referensial akan berlaku ketika mengidentifikasi siapa yang sedang diberitakan. Unit ini juga berlaku untuk mengidentifikasi nada konotasi yang digunakan.
H.1.3. Unit Konteks Sebagaimana dijelaskan Krippendorff, analisis isi perlu menjadikan konteks analisis yang mereka pilih eksplisit. Dengan demikian hasil analisis mereka akan jelas bagi orang-orang yang memerlukannya (Krippendorff, 2004: 34). Konteks adalah “lingkungan konseptual bagi teks”, atau dalam hal ini, merupakan latar yang menjelaskan apa yang dilakukan oleh peneliti menyangkut karya yang dikerjakan. Konteks adalah penjelas hubungan antara bidang dimana teks bisa ditarik hubungannya dengan pertanyaan penelitian (Krippendorff, 2004). Konteks yang menurut peneliti berlaku di dalam penelitian ini adalah komunikasi politik (political communication). Konteks tersebut menurut peneliti merupakan “wadah” bagi saling-silang interaksi antara media massa dan partai politik. Konteks tersebut ditarik peneliti dari pemilihan teori serta fenomena yang dianalisis, dimana literatur-literatur yang menjadi rujukan berasal dari studi tersebut.
H.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Untuk menjamin keandalan alat ukur, perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Berikut ini penjelasan masing-masing pengujian alat ukur penelitian ini.
59
H.2.1. Uji Validitas Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas muka. Sebagaimana dikemukakan Eriyanto (2011), validitas muka adalah validitas paling sederhana. Intinya, sebagaimana dikemukakan Neuendorf (2002), “what you see is what you get.” Peneliti mempelajari beberapa literatur, melihat contoh-contoh, dan melihat penelitian yang mengukur hal serupa. Setelah itu, peneliti mengadopsinya untuk penelitian ini.
H.2.2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas yang digunakan untuk penelitian ini adalah prosentase persetujuan.
Reliabilitas
dihitung
dengan
membagikan
jumlah
persetujuan
(agreement) dengan jumlah sampel kasus yang dihitung. Rumus uji reliabilitas model prosentase persetujuan adalah sebagai berikut:
Dimana A adalah jumlah persetujuan antara dua orang koder sampel kasus, dan N adalah jumlah sampel kasus. Angka reliabilitas bergerak dari angka 0 sampai 1, dimana 0 menunjukkan reliabilitas rendah, dan 1 menunjukkan reliabilitas tinggi.
H.3. Teknik Analisis Analisis pada penelitian ini menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Sciences). Karena sifatnya deskriptif, peneliti hanya perlu menjabarkan temuan berdasarkan statistik deskriptif. Untuk penyusunan statistik deskriptif tersebut, peneliti menggunakan tabulasi silang (cross tabulation) sebagai piranti utama.
60