BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang “Pencarian bocah perempuan di Bali, Angeline, yang dinyatakan hilang sejak Sabtu, 16 Mei 2015, berakhir pilu. Dia ditemukan tak bernyawa, Rabu, 10 Juni 2015, sekitar pukul 11.30 WITA. Kasus ini menjadi sorotan publik secara nasional. Tubuhnya dikubur di belakang rumah di Jalan Sedap Malam, Denpasar, rumah orangtua angkat Angeline, Margareth Magawe. Kondisinya mengenaskan. Jasad bocah kelas 3 SD itu sudah membusuk. Berdasarkan hasil autopsi tim forensik RSUP Sanglah, di tubuh gadis cilik itu terdapat banyak luka. Di antaranya memar di paha kanan samping luar, memar di bokong kanan, pinggang kanan dan perut kanan bawah. Luka memar juga terdapat pada tungkai kaki kanan samping luar, tungkai bawah kaki kanan, punggung kaki kanan, paha kiri samping dalam, punggung kaki kiri samping, dada samping kanan. Selain itu, terdapat luka di leher samping kanan, dahi samping kanan, pelipis kanan, dahi samping kiri, batang hidung, pipi kiri atas, pipi kiri bawah telinga, leher samping kanan dan leher kanan atas bahu. Pada lengan tangan kanan terdapat bekas luka lecet, punggung kanan luka bakar berbentuk bulat, punggung kanan bawah bahu terdapat luka bakar akibat disundut rokok dan pada bagian depan bawah lutut kanan terdapat luka lecet” (Harian Jurnal Asia, 2015). Kutipan paragraf dari sebuah harian berita online tersebut di atas, semakin menyadarkan setiap kalangan bahwa kian hari, anak kian rentan dengan berbagai ancaman tindakan kekerasan. Satu dari sekian banyak kenyataan menunjukkan, anak sebagai objek kekerasan baik fisik, psikis dan seksual yang dilakukan orang dewasa. Jika yang dialami Angeline dikategorikan dalam tindak kekerasan dan oleh pihak berwajib menetapkan sang ibu dengan tuduhan awal atas tindakan penelantaran anak, lantas bagaimana dengan fenomena berbeda yang melibatkan anak-anak pula namun dalam bentuk yang lebih unik karena dilatarbelakangi atas dalil sejarah, budaya maupun alasan lain.
1
2
Salah satu fenomena yang melibatkan anak di dalamnya adalah “jual anak” atau “jual perawan” yang marak di masyarakat desa Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tradisi unik dalam sistem kehidupan masyarakat tersebut, dipercayai telah berjalan sejak lama dan mengandung sejarah yang mendahului. Selain kental dengan aturan keagamaan, tidak dipungkiri bahwa tradisi turuntemurun tetap kokoh terpelihara. Dengan demikian walaupun keduanya mengandung makna dan esensi berbeda namun seolah tampak berjalan beriringan membentuk pola hidup masyarakatnya sehari-hari. Praktik menjual keperawanan anak “nona” dilakukan oleh orangtua kandung terutama sang ibu (mama) kepada para tamu yang datang berkunjung ke daerah tersebut. Keunikan budaya tersebutlah yang menarik perhatian peneliti untuk menggalinya lebih dalam. Fenomena menjual keperawanan anak nona bukan merupakan hal asing bagi masyarakat sekitar, namun tidak mudah terlihat secara langsung karena mekanisme prosesnya secara rahasia dan tersembunyi. Penduduk setempat mengistilahkannya dengan nili taka nili bua yang berarti “tersembunyi dari batu dan kayu” (data wawancara 4/10/2012). Sebutan anak “nona” bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur diperuntukkan bagi anak perempuan atau gadis belia dan yang belum menikah. Sebutan tersebut lazim terdengar luas di masyarakat setiap daerah yang digunakan baik sebagai sapaan umum bagi perempuan atau berupa “panggilan sayang” orangtua kepada anaknya dalam keluarga, atau pasangan muda laki-laki terhadap pasangan perempuannya.
3
Berawal dari penelitian Bailao, (2008) yang mengungkap tradisi penjualan keperawanan anak nona di daerah dimaksud yang kian marak kira-kira tahun 1999, semakin hari kian menyimpan banyak kisah unik. Teringat akan penuturan singkat seorang (pemuda) kepada teman peneliti yang tanpa ragu menceritakan penjualan kedua adik nonanya kepada “tamu” yang dilakukan oleh Ibu kandungnya, beberapa hari setelah sepeninggal ayahnya, “mama itu waktu, bapatua baru meninggal tiga hari, mama langsung jual saya pung adik perempuan yang pertama pung perawan dengan harga tiga juta. Abis lai, setelah bapa pung empat puluh hari ju begitu, ada tamu yang datang, mama jual lagi saya pung adik nona yang satu dengan harga yang sama juga, tiga juta. Itu uang mama yang terima uang semua”. Ibu yang menjual perawan anak nona pertamanya kepada tamu seharga tiga juta rupiah, tiga hari setelah sepeninggal ayahnya. Empat puluh hari kemudian kembali menjual perawan anak nona keduanya dengan harga yang sama. Semua uang hasil penjualan diterima oleh ibu. Berdasarkan wawancara awal, penuturan singkat tersebut di atas dibenarkan oleh seorang staf Dinas Pariwisata Kabupaten setempat, bahwa ketika ada kematian atau perayaan empat puluh hari setelah kematian seseorang, merupakan ajang penting bagi para ibu untuk melirik tamu yang datang dan berujung pada negosiasi untuk menjual perawan anak nonanya (25/9/2012). Lebih lanjut Bailao dalam penelitiannya mengutarakan bahwa tamu yang datang diketahui berasal dari ibukota kabupaten dan sekitarnya, baik yang berprofesi sebagai pengusaha lokal (beretnis Tionghoa) yang oleh masyarakat setempat lasim dengan sebutan “bos cina”, pejabat pemerintahan setempat atau para pekerja biasa. Adapula yang datang dari Ibukota Provinsi yang umumnya
4
adalah juga para pengusaha, kontraktor dan konsultan yang sedang mengerjakan proyek di kabupaten tersebut, atau bahkan penduduk luar yang singgah untuk sekadar memuaskan hasrat seksualnya. Seorang staf Dinas Pariwisata dan pamong adat setempat menambahkan, uniknya dahulu pejabat atau pegawai pemerintahan yang sering berkunjung kerap menggunakan kendaraan dinas sehingga mudah dikenali. Kemudian, ukuran status sosial dan prestise akan naik dengan sendirinya yang dipandang berdasar pada frekuensi datangnya tamu dan siapa yang datang (data wawancara 25/9/2012). Berdasar pada hasil penelitian tersebut di atas, ditemukan bahwa segala keputusan untuk menyerahkan anak nona ada di tangan orangtua. Selain itu, jelas terlihat bahwa peran instigator yang tidak lain adalah orangtua atau orang lain/anak lain yang pernah dijual keperawanannya atau mucikari dan aparatnya yang bekerja sebagai pembujuk dan perekrut korban. Hal inilah yang mengakibatkan keputusan orangtua ikut mempengaruhi semakin maraknya perdagangan anak nona. Orangtua dengan kekuasaan dan otoritasnya bertindak penuh mengendalikan segala hal yang berhubungan dengan anak. Lebih jauh, yang menarik adalah sama sekali tidak ditemui adanya peran ayah dalam proses penjualan, walaupun salah satu karakteristik pemilihan subjek dalam penelitian Bailao adalah memiliki orangtua/wali. Mengutip wawancara awal dengan pamong adat, diungkapkan bahwa lazimnya ayah hanya akan berdiam diri dan berpura-pura tidak paham ketika tamu datang. Demikian halnya dengan anak laki-laki yang terkadang bertindak sebagai penjaga kendaraan di luar rumah pada saat proses penjualan tengah berlangsung.
5
Ibulah yang bertindak sebagai penerima tamu, bahkan telah dahulu bernegosiasi dengan sang calo dan kemudian bertindak mengantar anak menemui sang tamu atau langsung menerima tamu di rumahnya. Sistem pembayaran berjalan fleksibel baik melalui sang calo maupun langsung ke ibu yang menunggu di luar kamar (data wawancara 25/9/2012). Hal ini mengakibatkan munculnya pertanyaan baru, mengapa ibu yang berperan penuh dalam praktik fenomena tersebut. Berdasar pada wawancara dan observasi awal, ayah atau bapak dalam kegiatannya sehari-hari lebih sering berada di luar rumah entah untuk berkebun atau memanen, melaut, mengerjakan proyek bangunan, ngojek, mengantri bensin di kota untuk dibawa pulang dan dijual kembali atau sekadar bermain di rumah keluarga atau tetangga. Sedangkan ibu lebih sering berada di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga. Beberapa sambil berjualan bahan kebutuhan pokok atau jajanan yang di rumah sendiri. Demikian dengan yang dikatakan oleh seorang warga desa. Hal tersebut memungkinkan akses dan intensitas pertemuan ibu dengan calo/aindalan semakin mudah dan sering. Kemudian keputusan dan proses bujukan terjadi tanpa adanya ayah. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan seorang staf Dinas Pariwisata kabupaten setempat (25/9/2012), petuah adat desa yang menghuni di perkampungan yang dimaksud di atas (26/9/2012), pamong adat desa yang akan diteliti (4/10/2012), dan Penelitian Bailao, (2008) bahwa selain fenomena praktik penjualan keperawanan anak nona yang telah mengakar sejak jaman kerajaan Lidak tersebut, umumnya usia anak nona yang dijual berkisar antara 8-17 tahun. Selain itu, beberapa anak merupakan hasil hubungan antara ibunya yang dahulu
6
berprofesi sama ataupun sebagai istri simpanan para tamu. Para ibu kebanyakan hanyalah ibu rumah tangga yang sehari-hari bekerja di rumah. Semua penghasilan bergantung pada hasil kerja suami baik sebagai nelayan, tukang kayu/batu, supir/tukang ojek. Istilah penjualan sebenarnya telah lazim bagi masyarakat setempat. Namun terdapat kalimat yang lebih akrab di telinga masyarakat karena mengandung unsur eufemisme dan dengan sendirinya akan dipahami oleh setiap tamu atau siapapun. Contoh ajakan terhadap para tamu seperti, ”bapa dong sudah bisa singgah. Di sini sudah mulai dibuka atau sudah dibuka dari kemarin atau sudah dibuka dari bulan lalu”. Kata “sudah dibuka” mengandung arti, anak gadis yang dimiliki (dalam rumah tersebut) telah siap menjual keperawanannya. Berbicara mengenai ibu atau mama, jelas menyinggung tentang perempuan istri atau ibu dalam rumah tangga yang memiliki fungsi beragam. Kartono, (1981) menyatakan bahwa seorang perempuan ketika menikah dengan sendirinya akan menjalani peran ganda baik sebagai istri maupun ibu. Berperan sebagai ibu dari anak-anak, mengasuh, mendidik dan mengatur rumah tangga dengan bijaksana, penuh kasih sayang, kehangatan dan kesabaran adalah sosok ideal. Namun, terdengar ironis ketika ibu justru berperan penting dalam menjual perawan anak kandungnya baik sewaktu suami (ayah anak nona) masih hidup maupun telah meninggal. Berdasar pada wawancara awal, ditemui bahwa proses penjualan keperawanan anak nona banyak melibatkan peranan orangtua terutama sang ibu dan ‘tanta’ (saudara perempuan ibu/tante/bibi atau perempuan lain berusia 30
7
tahun atau lebih dan telah menikah). Fakta tersebut telah lebih dahulu ditunjukkan dalam hasil penelitian Bailao. Melalui wawancara dengan beberapa subjek penelitiannya. Diantaranya beberapa yang mengutarakan ketidaktahuannya yang kemudian dibawa oleh tanta dan mamanya untuk menemui bos, “Pertama-tama tu sa sonde tau, terus tanta dong yang bawa saya. Dong bilang ada bos yang cari anak nona, terus tanta deng mama dong bawa datang sini” (Bailao, 2008:73). Adapula kisah lain yang juga menarik. Pemaksaan oleh ibu karena telah terlebih dahulu bernegosiasi dengan tamu yang sedang mencari anak perawan, “Itu saat ada yang datang cari anak nona yang masih perawan. Dia datang langsung ko tanya di sa pung mama. Dia bilang dia bos besar, nanti dia bayar 6 juta. Itu kan uang banyak. Terus waktu dia pulang sa pung mama panggel saya ko kastau suruh sa jual sa pung perawan su. Terus sa bilang di sa pung mama, sa belum mau te sa masih talalu kecil. Sa pung susu sa belom tumbuh, sa pung dada ni masih rata sa orang bilang. Sa ju takut, sa belom tau apa-apa. Tunggu sa besar dolo. Mama bilang sa harus mau. Jang malawan. Sekarang ni uang su di tangan, jang tolak lai” (Bailao, 2008:73).
Kisah berbeda misalnya, atas kemauan anak nona sendiri namun merasa takut dan meminta ditemani oleh ibu ke rumah tanta yang dianggap sebagai tempat yang lebih aman “Sa mau sendiri, sa itu hari kan masih takut to. Sa minta sa pung mama temani pi tanta O dong pung rumah” (Bailao, 2008:74). Sebagian besar anak nona menjalani pengalaman pertama melayani tamu di luar rumah. Tetapi ketika keperawanan telah terbeli, maka kegiatan menerima dan melayani tamu baru akan dilayani di rumah sendiri dengan sepengetahuan orangtua terutama ibu. Kemudian bicara soal harga, tarif seorang anak perawan berbeda-beda tergantung pada patokan harga aindalan (calo/mucikari) dan ibu. Kisaran harga
8
seorang perawan dimulai dari satu hinga tiga juta rupiah. Harga tersebut lamakelamaan akan berkurang jika perawannya telah terbeli atau beberapa kali menerima tamu. Penemuan Bailao membuktikan bahwa uang hasil penjualan tersebut tidak digunakan guna keperluan perut semata tetapi banyak juga untuk memenuhi kelengkapan perabot rumah tangga dan materi lainnya, membeli tanah, merenovasi rumah, membeli perhiasan atau membagi kepada saudara atau anggota keluarga lainnya. Anak nona yang telah mengalami penjualan kerap akan dinilai berbeda oleh lingkungan sekitar karena secara fisik dan penampilan yang berubah, diantaranya terlihat lebih sering merias diri. Dampak lain bahwa saat-saat tertentu, anak nona akan sering digoda atan menjadi bahan candaan para pemuda atau keluarga dekat saat tengah duduk bercengkrama (data wawancara 25/9/2012 dan 4/10/2012). Perilaku dalam sebuah budaya tak jarang berdiri kokoh atas latar belakang sejarah yang mendahului. Pamong adat setempat menuturkan, konon jaman dahulu berdiri kerajaan yang mana para raja dan prajuritnya gemar melakukan patroli di kampung-kampung pada malam minggu. Patroli dilakukan ke rumahrumah penduduk untuk mencari anak nona yang dimiliki warga untuk dijadikan selir bagi raja. Orangtua dengan senang hati akan memberikan anak nonanya kepada raja dengan harapan mendapat imbalan balik, baik materi ataupun sekadar meningkatkan status sosial (data wawancara 25/9/2012). Saat itu, anak perempuan dipandang sangat berbeda dan merupakan aset menguntungkan bagi orangtua namun tidak lebih dari seorang selir bagi kerajaan.
9
Kenyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan beberapa daerah tertentu di Jawa Tengah dan Timur). Koentjoro (1988) menjelaskan, anak perempuan seringkali menjadi pembeda dalam keluarga, diistimewakan dan menjadi penyambung kebutuhan hidup sehari-hari. Secara tidak langsung masyarakat menghidupkan semacam pameo bahwa seorang anak perempuan diibaratkan sebagai sawah, semakin cantik maka semakin luas sawah yang dimiliki. Sama halnya dengan fenomena “Bao Ernai” dikehidupan masyarakat China kontemporer yang terkenal dengan “pengambilan selir” atau yang kini di kenal sebagai “istri kedua”. Perempuan yang dipilih berasal dari keluarga miskin, tidak berpendidikan, karena yang dibutuhkan adalah mampu melayani demi menghasilkan kepuasan bagi laki-laki yang kebanyakan merupakan kaum politisi dan pengusaha. Kala itu perempuan dipandang tidak lebih dari mainan dan hanya akan mendapat status resmi ketika istri sah meninggal dunia (Onnis, 2012). Desa yang akan menjadi lokasi penelitian berjarak ± 20 km dari ibukota kabupaten dan merupakan daerah pesisir pantai yang memiliki luas 50.80 km2. Daerah yang menjadi penghubung antar Indonesia dengan salah satu distrik dari negara Timor Leste tersebut, adalah perkampungan biasa yang dipadati oleh rumah-rumah penduduk dan masih terlihat banyak lahan kosong yang pada musimnya digunakan sebagai tempat bercocok tanam untuk mencari nafkah. Alasan menarik memilih desa dimaksud sebagai lokasi penelitian adalah pertama, wilayah tersebut telah lama diketahui dengan perilaku menjual perawan anak nona. Kedua, bahwa wilayah tersebut dikenal bukan sebagai tempat atau daerah lokalisasi resmi bagi kabupaten dimaksud. Sekadar diinformasikan bahwa
10
untuk tiba di desa dimaksud, akan melewati sebuah perkampungan kecil yang ramai dikunjungi. Berjarak sekitar 100 meter dari keramaian jalan raya, terdiri dari lima atau enam rumah sederhana dan satu tenda untuk permainanan bola guling (popular dengan sebutan BG) dan biliard. Tempat tersebutlah yang lebih dikenal luas sebagai lokalisasi resmi karena merupakan tempat berkunjungnya para “tamu” untuk memuaskan hasrat seksualnya dengan para wanita yang paginya datang “bekerja” dan akan pulang ke rumah pada malam harinya atau tinggal menginap karena berasal dari luar daerah (data wawancara dan observasi 27/9/2012). Berdasar pada fenomena tersebut, jika mengacu pada definisi istilah perdagangan atau trafficking dari Protokol Palermo maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), praktik menjual perawan anak nona dapat dikategorikan merupakan salah satu dari sekian banyak tindakan perdagangan manusia yang terjadi diranah keluarga dan masyarakat namun dalam bentuk yang berbeda. Bentuk-bentuk tindakan perdagangan manusia tidak sesempit apa yang diberitakan. Wujud nyata lain dari tindakan human trafficking belum sepenuhnya disadari karena telah lama terjadi sehingga wajar jika dinyatakan sebagai sebuah budaya atau kebiasaan. Layaknya fenomena gunung es, human trafficking pun belum banyak menguak praktik lain yang serupa. Sagala (2010) menegaskan, kunci memahami suatu tindakan dikategorikan dalam human trafficking adalah dengan mengenali tiga unsur yang saling terkait dan
secara
kumulatif
telah
mengandung proses,
cara,
tujuan
dengan
mengorbankan anak di bawah umur. Lasimnya bahwa melalui proses dan cara
11
yang terjadi kerap akan mengarah pada tujuan eksploitasi. Berbagai kebijakan baik internasional, nasional dan peraturan daerah gencar disusun dan disahkan sebagai tatanan hukum yang terdengar keras. Protokol Palermo telah diberlakukan sejak tahun 2003, UU PTPPO tahun 2007 dan berbagai peraturan daerah ditiap wilayah tidak ketinggalan, namun belum mengurangi apa yang disebut dengan tindakan kejahatan terorganisir tersebut. Provinsi Nusa Tenggara Timur sendiri telah dikenal melalui banyaknya kasus trafficking. Kasus terbaru diberitakan (Alwi, 2015) bahwa Satuan Tugas Pemberantasan Human Trafficking Polda NTT menangkap seorang wanita warga desa Oeleu, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang menjual anak perempuan berusia enam tahun kepada seorang warga Kota Kupang seharga 20 juta rupiah. Korban diketahui tidak lain adalah warga sekampung yang memiliki hubungan darah dan kebutuhan untuk membangun rumah menjadi pemicu dilakukannya tindakan penjualan. Selain itu, kabupaten Belu sendiri menguak salah satu kasus yang tidak kalah menarik. Oknum Kepolisian diduga terlibat dalam proses perdagangan dua anak nona di bawah umur. Seo, (2014) dalam laporannya memberitakan sebanyak 119 tenaga kerja wanita asal NTT berhasil diselamatkan dari tempat penampungan di Jakarta sebelum dikirim ke Malaysia secara illegal. Jelas bahwa 119 tersebut adalah korban trafficking yang mana 22 diantaranya adalah anak di bawah umur. Berikutnya kasus di Medan, Sumatera Utara yang tidak lain berasal dari NTT.
12
Beberapa laporan di media online terkait kasus serupa (Agustina, 2014; Kartila, 2014; Pratama, 2014) dengan jelas memberitakan, terdapat 61 kasus human trafficking yang kian hari kian menuntut untuk segera ditangani dengan serius. Semakin miris ketika bekingan terkuat di dalamnya adalah oknum-oknum yang disinyalir berasal dari instansi pemerintahan maupun swasta. Sedangkan daerah-daerah yang banyak menjadi mangsa tindakan tersebut adalah daratan Timor yaitu Kabupaten Sumba, Alor dan Flores. Jika mengkaji pada lingkup yang lebih luas, ranah trafficking sebagai muara dari persoalan prostitusi. Seperti dilaporkan UNICEF dan ECPAT (End Child Prostitution in Asian Tourism), 30 juta orang di Asia yang berada dalam ranah prostitusi telah menjadi korban eksploitasi seksual dalam perdagangan anak dan perempuan. Laporan UNICEF, (1998) jumlah anak tereksploitasi seksual di Indonesia diperkirakan telah mencapai 40 hingga 70 ribu yang telah tersebar di 75.106 tempat di seluruh Indonesia (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2011). Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Malaysia, hampir 62.5 persen pekerja seks komersial (PSK) adalah warga Indonesia dan 80 peresn diantaranya adalah anak-anak. ECPAT dan ECTWT (Ecumenical Council on Third World Tourism) sejak akhir tahun 1990-an banyak menyuarakan tentang wisata seks, prostitusi dan perdagangan anak. Seperti yang diungkapkan Murray, 2006 (dalam Montgomery, 2009) bahwa prostitusi anak yang marak dikenal sebagai penjual seks telah menjadi sebuah bentuk pekerjaan yang sangat terkait
13
erat dengan wisata seks. Pria Barat yang gemar membeli seks dari anak-anak (di Asia) menjadi aktivitas yang marak dan semakin sulit dicegah. Di Thailand, banyak gadis muda tertipu dan meninggalkan rumah atau bahkan dijual oleh orangtua miskin untuk menjadi pelacur. Kasus lain ketika anak telah dijual dan pada saat bersamaan orangtua memiliki hutang, maka anak-anak akan semakin terikat dengan rumah bordil dan tidak diperbolehkan pergi hingga hutang orangtuanya lunas terbayarkan. Sama halnya dengan di Baan-Nua (Thailand), masyarakatnya sangat bergantung pada pendapatan yang dihasilkan oleh anak-anak. Anak dengan sukarela bekerja sebagai pelacur atau penjual seks bagi pria asing/Barat yang datang berkunjung sebagai bentuk rasa berbakti dan patuh terhadap orangtua. Ironisnya, anak-anak tersebut memandang prostitusi yang dijalani sebagai bentuk pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan moral bagi keluarga, bukan sebuah bentuk pelecehan (Montgomery, 2009). Berbeda pula dengan di India Selatan yang hingga kini masih melangsungkan praktik sistem devadasi hingga kini. Dikenal sebagai ”prostitusi kuil”, sistem tersebut berjalan dengan mengatasnamakan agama dan penyembahan terhadap Tuhan. Tradisi bermula dari didedikasikannya anak perempuan (masa akil balik) oleh orangtua sebagai dewi untuk menikah dengan dewa kemudian akan menjalankan tugas-tugas tradisional baik sebagai penari dan pelayan seks bagi para imam dan pelanggan kuil (Sathyanarayana dan Babu, 2012). Di Indonesia sendiri, sejarah prostitusi diawali dari kepemilikan selir pada jaman kerajaan Jawa dan Mataram. Bahkan terdapat beberapa daerah khusus sebagai pemasok selir bagi kerajaan. Koentjoro, (1988) menyebutkan daerah-
14
daerah tersebut antara lain Indramayu, Karawang, Kuningan, Pati, Jepara, Grobogan, Wonogiri, Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan. Lebih lanjut, dikatakan bahwa kecamatan Gabus Wetan di Kabupaten Indramayu menjadi sumber utama pelacuran karena tingginya aspirasi material yang dimiliki. Kemudian pada jaman kolonial, industri seks lebih terorganisasi dan berkembang pesat. Semakin tingginya kebutuhan dan permintaan pelayanan seks maka sistem perbudakan tradisional dan perseliran kian dijalankan. Sehingga pada saat tersebut telah terjadi penjualan anak perempuan oleh kaum pribumi dengan alasan untuk mendapatkan imbalan materi. Bahkan pada tahun 1852, dikeluarkannya peraturan tentang disetujuinya komersialisasi industri seks (Hull, 1997 dalam Bangbuday, 2012). Pada abad ke-19 aktivitas prostitusi meningkat, berbagai pembangunan mulai didirikan, kawasan perkebunan dan industri pabrik dibangun, akses dan sarana transportasi diperluas, dan terjadi peningkatan arus imigrasi dengan mayoritas tenaga kerjanya adalah para lelaki bujang. Sehingga berakibat pada semakin meningkatnya pelayanan dan aktivitas pelacuran. Berbagai tempattempat penginapan dan fasilitas lain yang mendukung mulai tampak sejalan dengan semakin berkembangnya prostitusi (Bangbuday, 2012). Dengan demikian, fakta telah menunjukkan bahwa prostitusi sendiri telah menjadi bagian dalam sejarah kehidupan manusia namun dengan pemaknaan yang beragam oleh masing-masing budaya. Semakin maraknya praktik prostitusi yang kian hari tidak mudah dihindari, sadar atau tidak telah masuk dalam tindakan memperdagangkan atau menjual manusia lainnya dengan jalan mendapatkan
15
imbalan untuk kepentingan tertentu. Inilah awal muara semakin tidak dapat dibatasinya tindakan human trafficking diseluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia. Menyoroti kenyataan dari kasus Angeline dan fenomena menjual anak, jelas bertolak belakang dengan aturan dak kebijakan. Sedikit melirik pada UndangUndang RI No. 4 Tahun 1979 pasal dua (2) tentang kesejahteraan anak atas haknya dipelihara dan dilindungi dan pasal sembilan (9) bahwa orangtua yang pertama bertanggung jawab atas kesejahteraan anak tersebut (UU RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak) maka jelas bahwa anak berhak untuk dipelihara dan dilindungi dari lingkungan yang membahayakan dan tanggung jawab orangtua sebagai yang utama memenuhinya. Tidak berbeda jauh dengan UU No 39 tahun 1999 pasal 52 (1) dan pasal 58 (1 dan 2) yang secara singkat menyatakan hak anak atas pelindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual. Terlebih UU Perlindungan Anak pasal 23 yang secara khusus menargetkan perdagangan anak dan hukumannya. Semakin menjadi persoalan kompleks ketika fenomena di atas yang konon mengandung sejarah dan menjadi budaya dan kini menjadi urusan hukum dan adat istiadat. Terlebih orangtua atau ibu menjadi andil penting di dalamnya. Anak merupakan harta bernilai bagi orangtua, keluarga besar dan masyarakat. Bukan perkara mudah dan berimbang pula ketika seorang anak perempuan berusia akil balik ‘tidur’ dan melakukan aktivitas seksual dengan tamu layaknya sesama orang dewasa. Jika kemudian kondisi tersebut berpengaruh pada
16
masalah HIV/AIDS maka tidak mengejutkan bahwa propinsi NTT kian mengalami peningkatan di setiap tahun. Melirik pada Laporan Seo (2012) bahwa jumlah penderita HIV/AIDS hingga akhir Juli 2012, terbanyak di provinsi NTT berada di kabupaten Belu yang telah mencapai 422 penderita dan 117 korban meninggal. Lebih mengejutkan dengan yang dilaporkan Kistyarini, (2012) Kabupaten Belu telah sampai pada 654 penderita HIV/AIDS dengan 119 korban meninggal. Data tersebut menunjukkan risiko besar dari setiap tindakan dan aktivitas seksual. Jika mengkaji dari sisi agama, seksualitas adalah mulia dilakukan oleh pasangan di bawah ikatan pernikahan. Secara khusus, penganut Kristiani diperintahkan untuk menjauhkan diri dari percabulan karena tubuh adalah Bait Roh Kudus, sehingga tubuh untuk Tuhan dan Tuhan untuk tubuh (1 Kor 6:12-20). Namun berdasar pada kenyataan bahwa agama tetaplah agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama, adat tetaplah adat yang berjalan sebagai patokan hidup dalam sistem kemasyarakatan, dan hukum tetaplah hukum yang mengatur tata perilaku seseorang. Setiap individu memiliki cara berbeda untuk survive dalam mempertahankan kehidupan. Dengan demikian, ibu (mama) telah menunjukkan caranya. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan yang tidak sekadar untuk dijawab namun apa yang seharusnya mampu dicegah.
B. Pertanyaan Penelitian Ketika banyak publik mempertanyakan dimana dan bagaimana pengasuhan terhadap Angeline, maka yang sebaliknya terjadi pada praktik penjualan
17
keperawanan anak nona. Kenyataan bahwa masih terdapat ayah di dalam keluarga, namun peran ayah dalam hal mencegah terjadinya penjualan sangat kecil. Ayah sebagai pihak yang tidak mengetahui perihal penjualan atau bahkan mengetahui namun akan mundur dengan sendirinya. Kemudian ibu sebagai figur dominan yang bertindak menawarkan perawan anaknya, menetapkan harga bahkan mengantar dan menemani selama proses berlangsung. Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, maka muncul pertanyaan mengapa ibu yang seyogyanya melindungi namun bertindak sebaliknya sebagai motor penggerak penjualan keperawanan anak kandung sendiri. Terkait dengan kondisi serupa, menarik menyoroti kisah prostitusi di Pati, seorang pelacur yang dengan tegas menyatakan bahwa tidak ingin anak perempuan semata wayangnya mengetahui profesi ibunya dan kelak tidak menghendaki anaknya menjalankan profesi serupa. Sebuah kontradiksi yang mengandung esensi berbeda. Kepemilikan anak perempuan sebagai yang bernilai sehingga dijaga dan dilindungi kehormatannya. Kemudian dalam kenyataan berbeda, harapan akan kepemilikan anak perempuan merujuk pada harapan yang untuk memenuhi kebutuhan orangtua atau keluarga. Maka hal ini menjadi menarik untuk diteliti. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan
dalam
penelitian
ini
adalah
faktor-faktor
apa
yang
melatarbelakangi seorang ibu bertindak melakukan penjualan keperawanan anak nona di masyarakat desa Nusa Tenggara Timur?
18
Berdasar pada rumusan permasalahan di atas maka penelitian ini diberi judul: Peran Ibu dalam Penjualan Keperawanan Anak Nona di Masyarakat Desa Nusa Tenggara Timur.
C. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan untuk mengeksplorasi dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi tindakan ibu menjual perawan anak nona agar dapat digunakan untuk mencegah semakin meluasnya tindakan praktik penjualan di masyarakat desa Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian, diharapkan mampu memberikan masukan kepada pihak-pihak berkepentingan, dalam hal ini Lembaga Perlindungan Anak, Kementrian Sosial, ataupun pihak terkait lainnya guna dilakukan pencegahan dan penanganan jangka pendek maupun jangka panjang.
D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan informasi dan pengetahuan bagi perkembangan ilmu Psikologi Sosial, terutama dalam bidang keluarga, sosial dan budaya. Secara praktis, bermanfaat dalam memberikan penjelasan bagi para orangtua untuk dapat memfungsikan kembali keluarga sebagai pusat pendidikan dan tempat bertumbuh bersama, nilai moral dan agama yang kuat serta menghasilkan pemahaman yang utuh akan bahaya fisik dan psikis yang timbul dari praktik penjualan keperawanan anak nona. Selain itu, sekiranya dapat menyumbang masukan positif bagi pemerintah dan lembaga keagamaaan dan para
19
stakeholder setempat untuk kian berupaya menanggulangi praktik dimaksud baik yang mengatasnamakan budaya maupun alasan lain.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Koentjoro (1988) tentang Perbedaan Tingkat Aspirasi Remaja dan Nilai Anak bagi Orangtua dan Hubungan antara Tingkat Aspirasi Remaja dengan Nilai Anak bagi orangtua pada Beberapa Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Penghasil Pelacur di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui perbedaan aspirasi remaja, nilai anak pada daerah miskin penghasil pelacur dan bukan penghasil pelacur, serta hubungan antara nilai anak dengan aspirasi remaja pada kedua daerah tersebut. Dengan demikian, diperoleh hasil bahwa, ada perbedaan aspirasi remaja di daerah miskin penghasil pelacur (denan aspirasi lebih tinggi) dibanding dengan di daerah miskin bukan penghasil pelacur. Selanjutnya, ditemukan pula ada perbedaan nilai anak pada orangtua di daerah miskin penghasil pelacur (lebih tinggi) dibanding dengan di daerah miskin bukan penghasil pelacur. Sedangkan antara nilai anak dengan aspirasi remaja di daerah miskin penghasil pelacur, ditemukan ada hubungan. Namun untuk daerah miskin bukan penghasil pelacur, tidak ditemukan hubungan antara keduanya. Pada urutan kelahiran pun, baik untuk sendiri maupun bersama-sama, tidak terdapatnya pengaruh. Demikian halnya dengan jenis kelamin orangtua dengan nilai anak. Penelitian mengenai Peran Ibu dalam Penjualan Keperawanan Anak Nona di Masyarakat Desa Nusa Tenggara Timur, berbeda dengan yang pernah diteliti
20
Bailao, (2008) mengenai Tradisi Penjualan Keperawanan Sebagai Sebuah Proses Human Trafficking dan Inisiasi Untuk Menjadi Pelacur pada Masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Penelitian tersebut bertujuan mengungkap bagaimana proses penjualan keperawanan anak nona hingga menjadi pelacur, motif yang melatarbelakangi praktek tersebut dan pemaknaan anak terkait dengan praktik dimaksud. Selain itu, penelitian Bailao lebih mengkaji pada sisi anak nona sebagai korban trafficking sedangkan dalam penelitian yang dimaskud akan lebih difokuskan pada peran ibu sebagai penggerak utama praktik tradisi penjualan keperawanan. Penelitian Montgomery, (2009) tentang are child prostitutes child workers? Sebuah studi kasus yang memfokuskan pada hubungan anak-anak dalam keluarga, yang mana setiap anak dalam keluarga bekerja sebagai pelacur untuk menghasilkan uang dan menghidupi keluarganya. Penelitian tersebut menemukan bahwa anak-anak sebuah komuntas kecil di Thailand, memandang bahwa prostitusi bukanlah sebagai bentuk pelecehan namun sebaliknya sebagai cara untuk dapat memenuhi kewajiban sosial dan moral bagi keluarganya. Bekerja sebagai pelacur adalah bentuk kepatuhan dan berbakti pada orangtua untuk mempertahankan keutuhan keluarga dalam masyarakat. Penelitian Dalla, (2000) mengenai Exposing the “Pretty Woman” Mith: A Qualitative Examination of the Lives of Female Streetwalking prostitutes, yang melibatkan 43 wanita sebagai responden dengan memfokuskan pada bagaimana perkembangan diawal kehidupan, bagaimana kehidupan dalam “permainan” dan bagaimana meninggalkan jalanan (prostitusi). Penelitian yang bertujuan mengulas
21
kehidupan wanita dalam menjalani prostitusi dari awal hingga meninggalkan prostitusi tersebut mengungkap bahwa 41% seseorang masuk dalam dunia prostitusi karena kebutuhan ekonomi. Sisanya dikarenakan trauma kekerasan fisik dan seksual sewaktu kecil, dan bentuk pencarian untuk memenuhi kebutuhan dalam penggunaan obat-obatan.