BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam rentang perkembangan remaja yang berkisar antara usia 18-21 tahun (Steinberg, 1993). Masa remaja dikatakan sebagai peralihan masa perkembangan yang melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Secara fisik, remaja mengalami tandatanda kematangan seksual yang dilihat dari munculnya karakteristik seks primer dan sekunder (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Perubahan fisik yang dramatis ini memiliki efek psikologis yang membuat remaja lebih peduli dengan penampilan mereka dibandingkan dengan aspek lain dalam diri. Rosenblum dan Lewis (1999) dalam Papalia (2009) menjelaskan bahwa remaja perempuan cenderung lebih tidak bahagia dengan penampilan mereka sehingga diantaranya mengalami gangguan makan seperti bulimia atau anoreksia untuk mencapai cermin diri yang ideal. Selain perubahan fisik, fungsi kognitif remaja juga mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dramatis struktur otak yang berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi perilaku, dan kontrol diri. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Baird, Gruber, et al (1999), diketahui bahwa remaja awal usia 11-13 tahun cenderung menggunakan amigdala (bagian otak dalam lobus temporal) yang berperan besar dalam reaksi emosional dan instingtual, sedangkan remaja akhir di awal usia 20 tahunan cenderung menggunakan
1
2
lobus frontalis yang memungkinkan penilaian lebih akurat dan beralasan. Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja awal dapat membuat perasaan atau afeksi mengalahkan akal sehat. Hal ini seringkali menyebabkan remaja membuat pilihan yang tidak bijaksana seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, atau perilaku seksual berisiko. Aspek lain yang juga mengalami perkembangan dalam fase remaja ini ialah aspek psikososial. Erikson (1968) mengemukakan bahwa masa remaja adalah masa menghadapi ”krisis” dari fase ’pencarian identitas vs kebingungan identitas’. Erikson (1968) dalam Kroger (1993) melihat indikasi bahaya yang mungkin muncul dalam fase ini. Apabila tahap pencarian identitas ini tidak terpenuhi, maka hal tersebut menghambat tercapainya kedewasaan secara psikologis. Hal tersebut seringkali membuat remaja mundur ke sifat kekanak-kanakan untuk menghindari penyelesaian konflik dan melakukan segala sesuatu dengan impulsif (Erikson, 1982). Penjabaran mengenai perkembangan aspek fisik, kognitif, dan psikososial di atas sekaligus mengungkap berbagai resiko yang dapat muncul selama periode perkembangan remaja berlangsung. Dapat diartikan, remaja pada fase perkembangan ini menunjukkan kerentanan di berbagai aspek kehidupannya. Namun, bukan berarti kerentanan tersebut tidak dapat dikendalikan. Jalaludin (2007) mengemukakan bahwa beberapa penelitian terdahulu telah mencoba mengaitkan aspek religiusitas dengan proses pembentukan sikap dan perilaku. Penelitian tersebut membuktikan bahwa religiusitas yang dimiliki oleh seorang individu berpengaruh dalam penentuan sikap dan perilaku individu. Hal ini disebabkan oleh proses
3
internalisasi dari nilai-nilai agama yang diyakini individu dan menjadi pedoman dalam menentukan sikap dan perilaku. Secara garis besar, religiusitas dan agama ialah dua konsep yang berbeda, namun berkaitan. English dan English (1958) mendefinisikan agama sebagai sistem perilaku, kebiasaan, ritual, upacara yang berisi rangkaian nilai-nilai dan diyakini oleh masingmasing individu atau kelompok dalam membangun hubungan dengan Tuhan. Sedangkan, James (1958) dalam Paloutzian dan Park (2005) mendefinisikan religiusitas sebagai perasaan, tindakan, dan refleksi akan pengalaman individual dalam usaha menghayati hubungan dengan sesuatu yang diyakininya. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama mengarah pada suatu sistem yang bersifat institusional, sedangkan religiusitas lebih mengarah pada keyakinan dan kepercayaan seorang individu kepada Tuhan yang bersifat internal. Jalaludin (2002) mengungkapkan bahwa setiap individu memiliki dorongan untuk dicintai, tunduk dan mendekatkan diri pada suatu kekuatan yang ada di luar dirinya sejak dilahirkan. Para peneliti lainnya juga memiliki spekulasi yang merujuk pada anggapan bahwa manusia adalah makhluk homo religious, yakni bahwa setiap manusia memiliki satu atau lebih insting religius yang dirancang untuk menghasilkan keyakinan dalam mencapai berbagai tujuan. Berdasarkan pernyataan tersebut – baik secara eksplisit maupun implisit – observasi sebagai langkah untuk mengambil pola universal dari waktu dan budaya yang berbeda, menghasilkan bukti bahwa “God module” atau konsep mengenai Tuhan telah ada di dalam otak manusia. Insting religius ini memberikan ketahanan
4
bagi individu untuk menghadapi ketakutan akan kematian, mengurangi berbagai bentuk kecemasan dan konflik dari solidaritas sosial (Paloutzian dan Park, 2005). Terkait dengan hal tersebut, masa remaja merupakan tahap yang penting dalam perkembangan religiusitas (Crapps, 1994). Hal ini juga dinyatakan oleh Hall (dalam Nelson, 2009) yang mengakui bahwa masa kanak-kanak hingga remaja merupakan periode penting dalam perkembangan religiusitas seorang individu karena masa ini dilihat sebagai prediksi akan kehidupan masa dewasa yang akan datang. Goldman (1964) menguraikan kemampuan yang berkembang dalam membentuk konsep-konsep religius. Pada usia 6-11 tahun, cara berpikir anak terbatas pada situasi, perbuatan dan data konkret. Tetapi setelah usia 11 atau 12 tahun, cara berpikir logis dalam lambang dan gagasan abstrak mulai nampak dan berfungsi, meskipun penggunaannya yang efektif baru berkembang pada usia 17-18 tahun. Sejalan dengan itu, Loomba (1944) dalam Crapps (1994) meyakini bahwa perkembangan kognitif yang bertahap tersebut turut memungkinkan terjadinya perpindahan atau transisi dari agama lahiriah ke agama batiniah. Meskipun konsep mengenai Tuhan telah ada dalam otak manusia, namun transisi konsep religius tidak berlangsung dengan sendirinya (Jalaludin, 2010). Kehidupan religius anak memiliki karakteristik yang unik dan inilah peran keluarga untuk mengembangkannya (Pendleton, Benore, Jonas, Norwood, dan Herrmann, 2004). Meskipun pendidikan agama di sekolah ataupun pergaulan dengan teman sebaya juga merupakan faktor penting dalam proses transisi religiusitas anak, namun parental religiousity
5
terhadap anak memiliki efek terkuat dalam kehidupan religius anak (Regnerus dalam Nelson, 2009). Beberapa penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa persepsi anak mengenai kehidupan religius orangtua mereka memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kehidupan religius anak (Bao, Whitbeck, Hoyt, dan Conger, 1999; Okagaki dan Bevis, 1999). Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Kirkpatrick (1999) dan Kirkpatrick (2005) turut meyakini bahwa bentuk spesifik dari keyakinan religius muncul melalui proses pengelolaan informasi yang diterima individu dari hubungan interpersonal – kelekatan (attachment) keluarga, persahabatan, koalisi, dan lain sebagainya – yang ditunjukkan melalui keyakinan spesifik dan menjadi pedoman individu dalam berperilaku. Granqvist (2003) juga menyatakan bahwa beberapa aspek dalam perkembangan religiusitas individu di masa remaja dan dewasa dapat diprediksi melalui pola kelekatan yang diterima individu pada masa kanak-kanak. Bowlby (1988) dalam Santrock (2002) menyatakan bahwa konsep kelekatan mengacu pada suatu relasi antara dua orang, yakni bayi dan orangtua (infant-parent) yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi tersebut. Erikson (1968) menyebutkan bahwa tahun
pertama
kehidupan
merupakan
tahap
kunci
dalam
pembentukan kelekatan karena pada tahap tersebut, anak mulai membentuk kepercayaan atau ketidakpercayaan. Rasa percaya memerlukan suatu perasaan akan adanya kenyamanan fisik dan sejumlah kecil rasa khawatir serta pemahaman akan masa depan.
6
Relasi
yang
menanamkan
kepercayaan
tersebut
kemudian
menimbulkan rasa aman pada diri anak. Lebih lanjut, Bowlby (1988) dalam Holmes (1993) menyatakan bahwa kelekatan dan ketergantungan anak terhadap orangtua sebagai figur lekat akan terus aktif sepanjang rentang kehidupan anak. Pada masa kanak-kanak, kelekatan anak dan figur lekat dapat dilihat dari perilaku anak dalam ’situasi terpisah’ dari figur lekatnya. Situasi terpisah dianggap sebagai ancaman bagi anak sehingga anak menangis, memberontak, dan mencari figur lekat. Semakin anak menunjukkan protes terhadap situasi terpisah dengan figur lekat, maka semakin anak tersebut merasa aman dengan figur lekat dan mencari kedekatan dengan figur lekat tersebut (Ainsworth, 1982). Pola kelekatan yang terjalin di masa kanak-kanak itu berkembang hingga masa remaja. Bowlby (1988) dalam Holmes (1993) menyatakan bahwa pada masa remaja, kelekatan yang terjalin dalam relasinya dengan orangtua akan mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam. Meskipun pada masa remaja, figur lekat remaja dapat berpindah ke figur lekat yang lain seperti teman sebaya, namun kelekatan yang dimiliki remaja dengan orangtua di tahun-tahun pertama kehidupannya membuat remaja tetap mencari orangtua sebagai figur lekat pertama yang dibutuhkan. Hal ini turut diperkuat dengan pernyataan Freud (1926) dalam Holmes (1993) yang menerangkan bahwa pada situasi sulit
7
yang mengancam, remaja akan mencari kehadiran orangtua – khususnya ibu – karena remaja tersebut telah memiliki pengalaman kepuasan yang diperolehnya di masa bayi hingga kanak-kanak seperti pemenuhan kebutuhan tanpa penundaan, perlindungan dari bahaya, dan pemberian pertolongan saat dibutuhkan. Hal ini membuatnya merasa aman berada dekat dengan figur lekatnya. Prinsip pokok dari pola kelekatan yang aman (secure) direfleksikan dalam perilaku secure-base antara anak dan orangtua (Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, dan Cassidy, 1985). Bowlby (1982) menyatakan bahwa perilaku securebase sekaligus mengindikasikan level keamanan (security) yang dimiliki individu dari proses kelekatan di sepanjang rentang perkembangannya. Esensi dari prinsip dasar secure-base ialah peningkatan kemampuan eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat dianggap dapat diakses, melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika bahaya datang mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika ancaman telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk kembali mengeksplorasi dunianya dan anak yakin bahwa figur lekat tetap dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982). Secara spesifik, perilaku secure-base dapat dilihat melalui munculnya perilaku secure-base use dan secure-base support. Secure-base use adalah perilaku anak yang menunjukkan rasa aman terhadap figur lekat karena menganggap figur lekat dapat diakses saat dibutuhkan, sedangkan secure-base support adalah perilaku orangtua yang menunjukkan pemberian rasa aman terhadap anak
8
dengan menjadi figur yang dapat diakses ketika dibutuhkan. (Ainsworth, 1982). Sama halnya dengan kelekatan yang mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja, perilaku securebase juga mengalami transisi. Allen dan Land (1999) menganggap bahwa masa remaja merupakan periode transisi utama dalam perkembangan proses kelekatan yang terlihat melalui perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua. Selama periode ini berlangsung, remaja mulai menginginkan kapasitas otonomi yang lebih dari figur lekatnya (orangtua). Dykas (2003) menyatakan bahwa para ahli yang meneliti tentang kelekatan menemukan bahwa struktur kelekatan mulai berubah sejalan dengan berubah bentuknya securebase pada masa remaja. Perubahan tersebut terjadi sebagai bentuk representasi dari perilaku secure-base yang terjadi pada masa kanak-kanak. Ziv, Feeney, dan Cassidy (2001) dalam Dykas (2003) turut menemukan perubahan struktur kelekatan di masa remaja dan mengembangkan beberapa komponen yang muncul dalam perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua, yakni mencakup penghargaan relasi, diskusi yang terbuka tentang masa depan remaja, rasa aman secara menyeluruh, dukungan terhadap otonomi remaja, dan kepekaan terhadap pemberian perhatian kepada remaja. Remaja yang merasa aman memiliki keyakinan bahwa figur lekat merupakan figur yang mudah diakses, tersedia, dan responsif ketika dibutuhkan. Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi religius seorang individu yang dapat diprediksi melalui rasa aman yang
9
muncul dari relasi seorang individu dengan orangtua. Kirkpatrick (1992) menyatakan bahwa konsep Tuhan yang diyakini dalam setiap agama dianggap sebagai figur lekat yang responsif. Figur tersebut dianggap dapat memenuhi kebutuhannya, memberikan rasa aman dan dapat dipercaya sehingga individu berdoa kepada figur tersebut. Individu yang religius terus mengarahkan diri kepada Tuhan dalam bentuk doa karena figur ini dianggap dapat menolong di saat krisis kehidupan. Sejalan dengan itu, figur orangtua yang mencintai dan melindungi ternyata memberikan kontribusi akan terbentuknya figur Tuhan yang mencintai dan dapat dipercaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Granqvist dan Hagekull (2000), motivasi dalam mengembangkan insting religius dalam masa remaja memiliki hubungan positif dengan pola kelekatan yang secure dan hubungan negatif dengan pola kelekatan yang insecure. Lebih lanjut, Kirkpatrick dan Shaven (1990) menemukan bahwa rasa aman yang diberikan oleh orangtua yang religius akan menghasilkan anak yang lebih religius dibandingkan dengan anak yang mendapatkan rasa aman dari orangtua yang tidak religius. Pentingnya rasa aman yang diberikan orangtua untuk mengembangkan religiusitas anak ini menjadi potensi masalah ketika kedua orangtua menjalani pernikahan beda agama. Handrianto (dalam Djajasinga, 2004) mengartikan pernikahan beda agama sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang
masing-masing
berbeda
agamanya
namun
tetap
mempertahankan perbedaan itu sebagai suami dan istri. Bossard dan Boll (1957) menyebutkan bahwa anak dalam keluarga beda
10
agama memiliki potensi masalah, yakni ketika lahir, penentuan agama anak kerap kali diperebutkan oleh keluarga besar. Beranjak usia,
anak
yang
telah
menjadi
remaja
dapat
mengalami
kebingungan dalam menentukan agamanya. Apabila kedua orangtua adalah figur yang sama baik di mata anak, maka anak akan cenderung menarik diri dari hal-hal yang bersifat keagamaan karena merasa takut menyakiti hati salah satu orangtuanya (Viemilawati, 2002). Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti dengan tiga orang narasumber remaja akhir yang merupakan anak dari orangtua yang menjalani pernikahan beda agama, dua di antaranya memiliki orangtua dengan agama Islam-Kristen, dan satu di antaranya ialah anak dari orangtua yang beragama Islam-Katolik. Wawancara tersebut menunjukkan hasil bahwa remaja cenderung mengalihkan topik yang berkenaan dengan hal keagamaan jika sedang diperhadapkan dengan kedua orangtua. Remaja berpikir bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan tidak perlu diperbincangkan sebagai bentuk toleransi terhadap orangtua yang berlainan keyakinan, sehingga mereka lebih nyaman mendiskusikan hal di luar keagamaan, seperti pendidikan, pergaulan, dan masa depan. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, remaja dan orangtua juga jarang sekali menunjukkan simbol-simbol keagamaan dalam melakukan kegiatan bersama. Dapat dilihat, hasil dari penelitian terhadap keluarga beda agama menunjukkan data yang berbanding terbalik dengan penelitian mengenai prinsip perilaku secure-base dan kaitannya dengan perkembangan religiusitas anak di masa yang akan datang.
11
Jika dilihat, perilaku secure-base yang di dalamnya mengandung unsur cinta kasih, rasa aman dan nyaman dari kedua orangtua terbukti dapat memotivasi anak dalam mengembangkan insting religiusnya di masa remaja. Sedangkan dalam keluarga beda agama, kebaikan orangtua yang seimbang di mata anak justru membuat anak
merasa
takut
dan
cenderung
menarik
diri
untuk
mengembangkan insting religiusnya. Fenomena tersebut membuat peneliti bertanya: Apakah dalam pernikahan beda agama, perilaku secure-base use remaja dan perilaku secure-base support orangtua memiliki hubungan dengan religiusitas remaja akhir? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti melakukan penelitian terhadap keluarga beda agama, yakni keluarga yang orangtuanya menganut agama Islam dan Kristiani. Pemilihan sampel ini didasarkan pada data empiris yang menunjukkan bahwa dari sekian banyak kasus pernikahan beda agama yang dilangsungkan, persentase tertinggi pasangan yang melaksanakan pernikahan beda agama ialah pasangan yang beragama Islam dan Kristiani (Aini, 2003). Melalui paparan latar belakang di atas, maka dengan penelitian ini peneliti akan mengukur perilaku secure-base use remaja
dan
secure-base
support
orangtua
serta
melihat
hubungannya dengan religiusitas remaja akhir dari pernikahan beda agama (Islam-Kristiani).
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), apakah perilaku secure-base use remaja memiliki hubungan positif dengan religiusitas remaja? 2. Pada pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), apakah perilaku secure-base support orangtua memiliki hubungan positif dengan religiusitas remaja?
C. Tujuan Penelitian Menyadari fungsi fundamental religiusitas pada kehidupan remaja, yakni sebagai penentu sikap dan perilaku di kehidupan personal maupun bermasyarakat, serta melihat adanya keterkaitan antara perilaku secure-base anak-orangtua dengan religiusitas anak di masa remaja akhir, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua dalam keluarga beda agama (Islam-Kristiani) dan hubungannya dengan religiusitas anak di masa remaja akhir.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini akan memperkaya ilmu pengetahuan Psikologi, khususnya kajian Psikologi Perkembangan terkait dengan perilaku secure-base use remaja dan secure-
13
base support orangtua serta kaitannya dengan religiusitas remaja akhir dari pernikahan Islam-Kristiani. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan kajian dalam Psikologi Agama tentang religiusitas remaja akhir yang dibesarkan dari pernikahan Islam-Kristiani. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi atau referensi
bagi
para peneliti
selanjutnya
yang ingin
mengembangkan penelitian terkait dengan perilaku securebase use remaja dan secure-base support orangtua serta religiusitas remaja dari pernikahan Islam-Kristiani. b) Bagi Remaja Akhir Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman bagi remaja akhir mengenai pentingnya menjaga relasi yang lekat dengan orangtua dan juga memberikan pengetahuan bahwa religiusitas memiliki peran yang penting dalam menjaga sikap dan perilaku dalam kehidupan personal maupun kehidupan bermasyarakat. c) Bagi Orangtua 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan pemahaman bagi orangtua akan pentingnya membina kerjasama dalam mengajarkan dan membimbing remaja yang menganut agama sama dengan orangtua sehingga remaja dapat menjadikan figur orangtua sebagai panutan dalam menjalankan ritual atau praktek keagamaan.
14
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi orangtua agar lebih mempertahankan dan memelihara relasi yang lekat dengan remaja sehingga remaja merasa aman dan nyaman berada di dekat kedua orangtua.