BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP) merupakan salah satu film drama berfokus utama tenaga kerja wanita (TKW). Hal ini bukan tema film mainstream di Indonesia. Berdasarkan pengamatan pada indeks film tahun 1998-2014 situs filmindonesia. or. id, sineas Indonesia berhasil memproduksi 1.005 film. Namun, hanya enam film diantaranya yang menyinggung tenaga kerja wanita. Fakta ini membuat salah satu dari enam film bertema pekerja wanita di luar negeri, Minggu Pagi di Victoria Park, tentu menarik jika diteliti. Film MPdVP menceritakan seorang gadis desa di Jawa Timur bernama Mayang (Lola Amaria). Mayang diminta ayahnya menyusul Sekar (Titi Rajo Bintang) ke Hong Kong. Sekar adalah adik Mayang. Sekar menjadi tenaga kerja wanita sejak dua tahun lalu. Namun, beberapa bulan terakhir ia tidak memberi kabar kepada keluarga di desa. Situasi ini membuat kedua orang tua khawatir. Apalagi, kondisi ekonomi keluarga menurun sejak Sekar menghilang. Ayah mendaftarkan Mayang menjadi tenaga kerja wanita di Hong Kong sebelum ia tidak memiliki uang. Mayang diberi tugas mencari Sekar disana. Ketika Mayang bekerja di Hong Kong, ia mendapat fakta bahwa Sekar terlilit hutang di Lembaga Super Credit. Ia menghilang sejak kesulitan membayar uang dan bunga pinjaman. Lembaga ini juga menjerat banyak tenaga kerja wanita lain yang membutuhkan dana cepat untuk kebutuhan keluarga di desa. Secara tidak langsung, MPdVP mengajak penonton melihat dan merasakan kehidupan tenaga kerja di dalam dan luar negeri. Kehidupan di dalam negeri terkelompok dalam dua sisi, yaitu kegiatan tenaga kerja di desa tempat tinggal dan kegiatan pelatihan tenaga kerja oleh pihak Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Kegiatan sehari-hari tenaga kerja di Hong Kong menjadi sisi kehidupan di luar negeri. Berbagai sisi kehidupan ini membuat film Minggu Pagi di Victoria 1
Park menyajikan informasi tenaga kerja wanita secara lebih lengkap dibanding media massa lain. Informasi motif ekonomi sebagai alasan kepergian TKW legal dan TKW ilegal tergambar jelas di dalam film. Film menceritakan maksud tenaga kerja wanita bekerja hingga ke luar negeri. Mereka mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga di kampung halaman. Apalagi, kebanyakan pihak keluarga menggantungkan kondisi perekonomian ke pihak tenaga kerja. Pembahasan motif kepergian tenaga kerja ke luar negeri jarang dibahas oleh media massa. Hal ini membuat film Minggu Pagi di Victoria Park memberi pengetahuan berbeda kepada para penonton. Dari segi pemain, pemeran utama MPdVP (Lola Amaria) memiliki karir sukses di dunia peran. Ia telah membintangi beberapa film, seperti Tabir (2000), Merdeka 17805 (2001), Beth (2002), Ca Bau Kan (2003), Novel Tanpa Huruf „R‟ (2003). Bahkan, bakat akting Lola diakui dunia perfilman Taiwan. Ia mendapat peran utama dalam film Detour to Paradise (2007) produksi Avatar Films & Zoom Hunt International Pictures, Taiwan. Ia memerankan 80 scene dari 100 scene film sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal. Pengalaman di film Detour to Paradise menjadi bakal ide Lola membuat film bertema tenaga kerja wanita, Minggu Pagi di Victoria Park . Jadi, Lola Amaria tidak hanya berperan sebagai aktris utama MPdVP. Ia merangkap jabatan sebagai sutradara film tersebut. Minggu Pagi di Victoria Park menjadi pengalaman kedua Lola. Ia merilis Betina sebagai karya film perdana di tahun 2006. Walaupun bukan karya pertama, MPdVP adalah cikal bakal Lola Amaria dikenal sebagai salah satu sutradara perempuan berbakat di Indonesia. Ia menunjukkan keseriusan pada profesi sutradara film. Jika ditotal dari tahun 2006 sampai tahun 2015, Lola telah membuat empat film. Keempat film karya Lola Amaria adalah Betina (2006), Minggu di Victoria Park (2010), Sanubari Jakarta (2012) dan Negeri tanpa Telinga (2014). Tiga dari empat film Lola mengambil sudut pandang pemeran utama wanita (kecuali Negeri tanpa Telinga, 2014). Ia juga lebih banyak bekerja
2
sama dengan produser/ sutradara/ penulis skenario perempuan dalam proses produksi film. Khusus film Minggu Pagi di Victoria Park, meskipun posisi produser ditempati Sabrang Mowo Damar Panuluh tapi ia berkolaborasi dengan Dewi Umaya Rahman diposisi tersebut. Sementara itu, posisi lain (sutradara, penulis skenario dan pemeran utama) MPdVP dikerjakan oleh perempuan. Sutradara dilakukan oleh Lola Amaria, lalu naskah skenario ditulis Titien Wattimena, kemudian pemeran utama adalah Lola Amaria dan Titi Rajo Bintang. Fakta ini memperlihatkan keunikan film Minggu Pagi di Victoria Park. MPdVP sarat akan sudut pandang perempuan. Penempatan wanita dalam berbagai posisi utama juga jarang terjadi dalam tim produksi film Indonesia. Posisi wanita dalam tim produksi film mulai meningkat sejak tahun 1998. Peningkatan kontribusi wanita membuat banyak penelitian film tentang perempuan oleh sutradara perempuan muncul pasca orde baru (Paramadhita, 2007; Imanjaya, 2009; Kurnia, 2009; Iswahyuningtyas, 2010; Dayanti, 2011; Tatyzo, 2011; Imanjaya dan Citra, 2013). Secara garis besar, penelitian-penelitian membahas segi produksi film dan media film. Penelitian dari segi produksi film melihat penempatan diri sutradara perempuan ketika menyutradarai film tentang sesamanya, perempuan (pola pemikiran, sikap dan penggambaran tokoh film). Sementara itu, penelitian dari segi media film membahas karya film sutradara perempuan merepresentasikan atau mewacanakan isu-isu seputar perempuan. Contoh isu-isu perempuan adalah gender, poligami, kekerasan terhadap perempuan, dan lain-lain. Kedua pembahasan ini mendominasi penelitian film tentang perempuan oleh sutradara perempuan di Indonesia. Padahal, Lisbet Van Zoonen dalam Littlejohn dan Foss (2009) mengatakan bahwa penelitian media tentang perempuan mulai membahas segi penonton. Pembahasan dilakukan untuk menjawab pertanyaan pembentukan dan penyamaan makna pesan media oleh penonton. Dominasi pembahasan segi produksi film dan media film menunjukkan jumlah penelitian film tentang perempuan karya sutradara perempuan dari segi penonton film masih sedikit. Jumlah sedikit membuat penulis tertarik mengangkat
3
penelitian dari segi penonton fim. Apalagi, film Minggu Pagi di Victoria Park memang menunjukkan posisi kuat perempuan (produser, sutradara, penulis dan pemain utama) di dalam tim produksi film. Penelitian film dari segi penonton menganalisis cara penonton memahami pesan film. Setiap individu penonton memiliki cara berbeda. Penelitian penonton MPdVP cenderung memiliki pemahaman homogen. Asumsi sifat homogen didasari fakta-fakta terkait film Minggu Pagi di Victoria Park. Pertama, MPdVP tidak mengambil tema mainstream industri film. Bahkan, tema tenaga kerja wanita hanya berjumlah enam di Indonesia. Kedua, MPdVP membahas kehidupan tenaga kerja wanita secara lengkap. Kehidupan tenaga kerja wanita di dalam negeri (desa dan PJTKI) dan di luar negeri (Hong Kong). Pembahasan lengkap dapat mendistorsi pemahaman penonton dari media massa lain. Ketiga, MPdVP memberi informasi motif ekonomi sebagai alasan kepergian tenaga kerja wanita. Spesifikasi informasi ini belum tentu serupa dengan spesifikasi informasi lain tentang tenaga kerja wanita. Pemahaman homogen penonton akan menjadi hipotesis awal penelitian Mengenal Tenaga Kerja lewat Film (Analisa Resepsi Penonton terhadap Motif Ekonomi Tenaga Kerja Wanita di dalam Film ‘Minggu Pagi di Victoria Park karya Lola Amaria). Pemahaman penonton akan diteliti menggunakan metode analisis resepsi. Analisis resepsi menjelaskan proses pemahaman pesan suatu media dipengaruhi oleh pengalaman penonton. Penelitian penonton Minggu Pagi di Victoria Park ingin melihat proses resepsi penonton terhadap pesan film berdasarkan pengalaman lingkungan sosial & budaya dan pengalaman media informan. Penonton dianggap aktif dan kritis, sehingga ia dapat mengambil posisi saat diterpa pesan media film MPdVP. Pada akhirnya, penelitian penonton MPdVP diharapkan menjadi tambahan referensi bagi studi penelitian yang khusus membahas kajian film, resepsi, penonton, motif ekonomi, tenaga kerja wanita dan sutradara perempuan.
4
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “ Bagaimana Resepsi Penonton Terhadap Motif Ekonomi Tenaga Kerja Wanita di dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park karya Lola Amaria? ”
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi mendalam mengenai resepsi penonton film Minggu Pagi di Victoria Park terhadap motif ekonomi tenaga kerja wanita. Informasi mendalam menyangkut berbagai aspek, sebagai berikut: 1.
Pengalaman menonton informan dari diri sendiri atau orang lain,
2.
Interpretasi makna tenaga kerja wanita,
3.
Interpretasi makna motif ekonomi tenaga kerja wanita,
4.
Interpretasi penggambaran TKW oleh sutradara perempuan,
5.
Pengaruh film terhadap pemahaman motif ekonomi dan tenaga kerja wanita di dalam kehidupan sehari-hari penonton.
D.
Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah: 1.
Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi. Apalagi, pengetahuan dan wawasan mengenai studi penonton film tentang perempuan karya sutradara perempuan bermetode analisis resepsi.
5
2.
Secara akademis, penelitian diharapkan memperkaya kajian penelitian ilmu komunikasi
yang
berfokus
pada
analisis
resepsi.
Analisis
resepsi
menunjukkan pengaruh interpretasi makna pada pesan film terhadap pemahaman motif ekonomi dan tenaga kerja wanita di dalam kehidupan sehari-hari penonton. Film buatan sutradara perempuan mengangkat tema perempuan (tenaga kerja wanita) dilihat dari resepsi pekerja perempuan dan laki-laki akan menjadi ciri khas penelitian. Ciri khas dimaksudkan agar penelitian memberi kontribusi berbeda dari penelitian resepsi film lain. Kontribusi berbeda menjadi sumbangan pemikiran baru bagi pembacanya. 3.
Secara praktis, penelitian diharapkan memberi masukan, yaitu saran atau kritik kepada tim produksi film dan penonton film. Tim produksi dapat lebih optimal menyampaikan pesan melalui adegan-adegan film di setiap scenenya. Selain itu, penelitian dapat menjadi acuan berpikir kritis penonton dalam menanggapi pesan-pesan media film.
E.
Kerangka Pemikiran
Penelitian resepsi penonton film Minggu Pagi di Victoria Park membahas empat sub bab poin di kerangka pemikiran. Empat sub bab poin adalah penonton film, studi penonton: analisis resepsi, motif ekonomi dan sutradara perempuan di Indonesia.
E. 1.
Penonton Film
Bentuk media massa pertama yang berhasil menyatukan masyarakat untuk berkumpul di satu tempat adalah film. Askurifai (2003) menyatakan film adalah suatu karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran, melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau
6
proses lainnya dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan atau lainnya. Film tidak dapat berinteraksi langsung dengan penonton seperti pertunjukan teater. Namun, film membuat semua indera penonton fokus pada satu layar besar. Penonton tetap mendapat pesan film. Pertunjukan juga terasa nyata bagi mereka. Kajian media dan cultural studies mengungkapkan istilah khalayak digunakan sebagaimana pengertian sehari-hari, yaitu merujuk pada orang-orang yang menghadiri pertunjukan tertentu atau menonton sebuah film atau program di televisi. Namun, dalam pengertian luas khalayak diartikan sebagai orang-orang yang diterpa oleh, atau yang menanggapi, kebudayaan media (Stokes, 2006). Dari definisi di atas, penulis menemukan kesamaan antara istilah ‘khalayak’ dan ‘penonton’. Agar lebih sesuai dengan garis besar penelitian, penulis mengganti istilah khalayak menjadi penonton film. Dalam proses komunikasi, penonton menempati posisi sebagai penerima pesan dari pihak komunikator. Penonton adalah salah satu aktor komunikasi. Penonton dapat berupa individu, kelompok dan masyarakat. Mereka berkumpul di suatu ruang publik untuk menikmati film. Lumiere bersaudara, Ausguste Lumiere dan Louis Lumiere adalah dua orang pertama yang memperkenalkan seni pertunjukan `gambar hidup` tersebut. Pada tanggal 28 Desember 1895, Lumiere bersaudara memperlihatkan sebuah rekaman sederhana tentang kedatangan kereta di ruang bawah tanah Grand Cafe daerah Boulevard de Capucines No.14, Perancis. Banyak penonton terkejut karena mengira kereta datang ke hadapan mereka di ruangan tersebut. Lumiere bersaudara adalah penonton setia kinetoskop. Hobi kinetoskop melahirkan inovasi baru. Mereka menciptakan alat bernama sinematografis. Sinematografis mengkombinasikan kamera (alat memproses film) dan proyektor menjadi satu. Penemuan Lumiere berhasil membuat banyak orang penasaran. Hal ini terbukti dari banyaknya penonton yang berkumpul di ruang bawah tanah Grand Cafe. Padahal, pertunjukan pertama Lumiere tidak diperlihatkan secara gratis.
7
Film tidak langsung diakui sebagai karya seni pada awal kemunculannya. Film dianggap sebagai tiruan mekanis dari kenyataan atau paling-paling sebagai sarana untuk memproduksi karya-karya seni yang telah ada sebelumnya, seperti teater (Sumarno, 1996). Akan tetapi, semakin lama pertunjukan film semakin menarik banyak penonton. Hal ini membuat para ilmuwan mencoba mengembangkan teknologi baru untuk menunjang proses pembuatan film. Seiring perkembangan teknologi pembuat film, pertunjukan gambar bergerak ini mulai muncul di berbagai negara lain. Misbach Jusa Biran mengungkapkan bahwa pertunjukan film pertama produksi Indonesia adalah Lutung Kasarung (Iskandar, 1987). Lutung Kasarung mengangkat tema putri raja, pangeran dan turunan dewa dari kahyangan. Film ini dibuat oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers. Lutung Kasarung termasuk film bisu. Ia mengungkapkan isi cerita secara detail tanpa audio, walaupun begitu penonton tetap menikmati pertunjukan ini. Hal ini terbukti dari jadwal penayangan Lutung Kasarung. Film ditayangkan selama 7 hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 (PaEni, 2010). Serupa dengan film Lumiere bersaudara, film Lutung Kasarung mendapat antusias besar penonton. Film produksi Indonesia mulai bermunculan di industri hiburan dalam negeri. Pemberlakuan tiket bagi penonton film menunjukkan bahwa film masuk ke industri hiburan bisnis sejak awal. Pertunjukkan di ruang cafe oleh Lumiere bersaudara menempatkan penonton sebagai subjek dari film. Selain subjek dari film, penonton juga menjadi subjek pengusaha bioskop. Pada awal kemunculan, pengusaha menghitung akumulasi penonton di setiap film sepanjang waktu. Hal ini dimaksudkan untuk menghitung pendapatan. Selain itu, jumlah penonton juga menjadi bahan pertimbangan standar dasar penetapan harga tiket masuk pertunjukkan film tersebut. Tempat pertunjukan film mengalami banyak perubahan dari ruang cafe menjadi ruang gelap besar dengan semua kursi menghadap ke layar putih. Selain itu, terjadi perubahan dari hanya ruangan di bangunan cafe menjadi ruangan di bangunan bioskop. Bangunan bioskop menjadi tempat khusus menonton film bagi masyarakat saat ini. Tidak hanya bangunan bioskop, penonton juga dapat
8
menikmati film di berbagai waktu dan tempat. Kemajuan teknologi menghasilkan cara pengganti pembayaran tiket karcis bioskop. Penonton dapat menyewa atau membeli vcd atau dvd film, melihat di situs online, atau menonton dari televisi kabel yang memutar saluran film. Pembayaran tunggal membuat film dapat disaksikan berkali-kali di televisi rumah. Hal ini diluar dugaan banyak dilakukan oleh pecinta film. Beberapa temuan fakta menarik tentang penonton dan film membuat suatu bidang penelitian baru dalam pengembangan media. Jowett dan Linton (1980) mengatakan the first social scientific concept of the audience emerged after one other significant step in media development had been taken – the invention of film and the cinema form of distribution. Konsep ilmu sosial pertama mengenai penonton muncul setelah satu langkah penting dalam pengembangan media diambil - penemuan film dan bentuk distribusi bioskop. Konsep ini berkembang menjadi banyak bentuk kajian penelitian, salah satunya penelitian resepsi penonton film. Penonton merupakan penerima pesan film. Sebagai penerima pesan, penonton dapat bersifat pasif dan aktif. Penonton dikatakan pasif, apabila ia hanya menerima isi pesan film tanpa memproses pesan tersebut. Ia menerima keseluruhan fakta-fakta yang ditampilkan di dalam film. Sementara itu, penonton aktif cenderung mempertanyakan isi pesan. Ia menyesuaikan pesan film dengan fakta dari pengalaman lingkungan sosial dan budaya. Penyesuaian penonton membuat pesan film dapat diserap sebagian atau ditolak keseluruhan. Oleh karena itu, tanggapan isi pesan film berbeda antara penonton satu dengan penonton lainnya. Menurut Hiebert, Ungurait, dan Bohn (2007), penonton memiliki 5 karakter dasar: Pertama, penonton cenderung berisi individu-individu yang berbagi
pengalaman
dan
dipengaruhi
oleh
kesamaan
hubungan
sosial
interpersonal. Individu-individu tersebut memilih produk media film yang mereka gunakan berdasarkan seleksi kesadaran atau pilihan kebiasaan. Kedua, penonton cenderung besar. Besar dalam arti tersebar di waktu pendek dan di berbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa.
9
Ketiga, penonton cenderung heterogen daripada homogen. Penonton merupakan individu yang merepresentasikan keanekaragaman kategori sosial. Beberapa media film tertentu mempunyai sasaran penonton. Walaupun begitu, grup ini akan tetap mengarah ke heterogen daripada homogen. Keempat, penonton relatif anonim, yaitu tidak begitu mengenal satu sama lain. Kelima, penonton secara fisik terpisah dari komunikator. Film diproduksi berbulan-bulan sebelum dilihat oleh penonton. Penonton
merupakan
individu
atau kelompok. Mereka memiliki
kepentingan dan kebutuhan berbeda. Hal ini membuat Nightingale dalam McQuail (2011) membagi penonton berdasarkan perbedaan jenis-jenis cirri yang muncul seiring dengan perubahan media dan waktu. Berikut 4 jenis ciri penonton tersebut: Pertama, penonton sebagai ‘kumpulan orang-orang’. Utamanya, kumpulan ini diukur ketika menaruh perhatian pada tampilan media atau produk tertentu di waktu yang ditentukan. Inilah yang dikenal sebagai penonton. Kedua, penonton sebagai ‘orang-orang yang ditujukan’. Orang-orang yang ditujukan merujuk pada kelompok orang yang dibayangkan oleh komunikator, serta kepada siapa konten dibuat. Hal ini juga disebut sebagai penonton yang ‘terlibat’ atau ‘terinterpelasi’. Ketiga, penonton sebagai ‘yang berlangsung’. Pengalaman penerimaan pesan secara sendiri atau dengan orang lain sebagai peristiwa interaktif dalam kehidupan sehari-hari, berlangsung dalam konteks tempat atau fitur lain. Keempat, penonton sebagai ‘pendengar’ atau ‘audisi’. Utamanya merujuk pada pengalaman penonton yang berpartisipasi ketika penonton ditempelkan di dalam sebuah pertunjukkan atau diperbolehkan untuk berpartisipasi melalui alat yang jauh atau memberikan respons di saat bersamaan.
E. 2.
Studi Penonton: Analisis Resepsi
Tradisi studi penonton telah dimulai sejak tahun 1930 melalui penelitian efek isi media massa pada sikap publik (Hadi, n. d). Pada awal penelitian, proses hubungan komunikasi ini dianggap berputar satu arah. Penonton dianggap pasif
10
karena menerima keseluruhan pesan yang didapat dari media. Posisi media berada di atas penonton. Namun, seiring kemunculan teori uses and gratification, penonton dianggap mempunyai kekuasaan untuk memilih media mana yang akan dikonsumsi sesuai kebutuhannya. Kesetaraan posisi di antara kedua unsur komunikasi tersebut mulai terlihat. Bahkan, tempat penonton akan media semakin menguat pada era setelah teori uses and gratification. Penelitian-penelitian mulai difokuskan pada pemaknaan dan rutinitas penonton ketika memakai media komunikasi, seperti penelitian resepsi media dan etnografi media. Penonton dianggap aktif. Mereka dapat menjadi konsumen yang mereduksi pesan-pesan media ke beberapa potongan yang dapat ditolak atau diterima oleh dirinya. Jensen dan Rongeren (2009) membagi penelitian penonton menjadi lima tradisi, yaitu effect, uses and gratification, literary critism, cultural studies, and reception analysis. Kelima tradisi disederhanakan ke dalam tiga pendekatan utama, yaitu structural, behavioral, sociocultural (McQuail, 1997). Dalam pendekatan structural, hasil dari penelitian akan bersifat kuantitatif . Hasil ini membuat pendekatan structural memakai metode survei atau analisis statistik. Pendekatan ini kerap digunakan industri media untuk menghitung penonton. Ia juga membantu memperlihatkan hubungan antara sistem media dan penggunaan media secara individu. Contoh tradisi yang memakai pendekatan structural adalah tradisi effect. Tradisi uses and gratification termasuk pendekatan behavioral. Ia menjelaskan dan memprediksi pilihan, reaksi dan efek penonton terhadap media. Sementara itu, penelitian pendekatan cultural mengkombinasikan dua bidang ilmu, yaitu ilmu sosial dan ilmu budaya. Ia menekankan kegunaan media sebagai refleksi fakta-fakta konteks sosio-kultural dan sebagai proses pemberian makna untuk produk budaya dan pengalaman. Pendekatan ini dianalisa menggunakan metode kualitatif atau etnografi. Ia juga dimulai sejak tradisi literary critism, cultural studies dan reception analysis. Jensen (1991) menjelaskan bahwa kajian analisis resepsi diperkenalkan pada tahun 1980. Kajian analisis resepsi memakai teori dari bidang ilmu sastra. Ilmu sastra berkontribusi terhadap konsep pendukung komunikasi massa sebagai
11
praktek produksi budaya dan penyebaran makna dalam konteks sosial. Untuk metodologi, analisis resepsi menggunakan bidang ilmu sosial. Resepsi mengadopsi penggunaan model tertentu di metodologi ilmu sosial dari penyelidikan empiris ke dalam proses interaksi antara pesan media massa dan penontonnya. Analisis resepsi mencoba memberi sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik dan internet) dengan memahami karakter teks media dibaca oleh penonton. Individu yang menganalisis media melalui kajian reception memfokuskan diri pada pengalaman dan pemirsaan penonton, serta bagaimana makna diciptakan melalui pengalaman tersebut (Hadi, n. d). Menurut Jensen, teori penonton baru tidak hanya bertujuan mengartikan pengalaman bermedia, tetapi juga makna yang disampaikan dari konten media sangat bergantung dari persepsi, pengalaman dan lokasi sosial kehidupan penonton tersebut (McQuail, 1997). Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui pemaknaan penonton film film Minggu Pagi di Victoria Park terhadap motif ekonomi tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri. Penonton yang telah menonton film Minggu Pagi di Victoria Park dan pernah melihat berita tentang tenaga kerja dari media lain (cetak, elektronik atau online) diminta meresepsi adegan-adegan di dalam film MPdVP. Adegan-adegan berisi pesan film mengalami interpretasi makna oleh penonton. Interpretasi dapat berbeda-beda tergantung dari pengalaman lingkungan sosial dan budaya penonton. Penelitian ini memakai kategorisasi encoding/decoding Stuart Hall. Menurut Hall (1986), pesan dari pemroduksi media dan resepsi individu tidak sama atau identik, tapi saling terhubung. Pesan saat dibedakan berada dalam totalitas yang dibentuk oleh hubungan sosial proses komunikatif secara utuh. Secara tidak langsung, Minggu Pagi di Victoria Park membawa pesan dari tim pemroduksi film (encoding). Sementara itu, resepsi terhadap pesan akan bergantung pada latar belakang budaya dan pengalaman hidup individu (decoding). Proses encoding dan decoding dipengaruhi 3 hal, yaitu frameworks of knowledge, relations of production dan technical structures. Ketiga pengaruh menentukan posisi informan terhadap pesan film. Hall (1986) membagi posisi menjadi tiga kategori: Pertama, dominant or hegemonic position. Penonton
12
sepenuhnya berbagi kode teks, menerima, dan mereproduksi film (sebuah pembacaan yang tidak dimaksud sengaja oleh pengirim pesan). Penonton film sebagai komunikan memiliki pemahaman sama dengan pesan tim produksi film Minggu Pagi di Victoria Park (komunikator). Oleh karena itu, komunikan bersikap menerima pesan dari pihak komunikator. Kedua, negotiated position. Penonton berbagi sebagian kode teks dan secara luas menerima film. Namun, ada kecenderungan untuk menentang dan mengubah pendapatnya. Penentangan dan pengubahan ini mencerminkan posisi penonton berdasarkan pengalaman lingkungan sosial dan budaya. Ketiga, oppositional position. Penonton membaca kode atau pesan tim produksi film secara berlawanan. Ia memahami film tersebut, namun memiliki pemahaman berbeda. Oleh sebab itu, penonton menolak kode atau pesan di dalam film. Bahkan, penonton cenderung mengajukan alternatif pandangan baru dan beda dari pembahasan film.
E. 3.
Motif Ekonomi
Beberapa perempuan Indonesia memiliki motivasi masing-masing yang membuat mereka memutuskan menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Mereka berkorban meninggalkan anak, suami, ibu, ayah, saudara dan lingkungan sekitar untuk mencapai motif tersebut. Bekerja untuk hidup dan memenuhi kebutuhan merupakan dasar dari motif ekonomi (Gilarso, 2004). Motivasi utama seseorang pindah dari daerah asalnya pun adalah motif ekonomi (Todaro, 1979). Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa keputusan kuat perempuan Indonesia rela bekerja di luar negeri hingga meninggalkan keluarga di Indonesia dilandasi oleh motif ekonomi. Menurut Deliarnov (2007), motif ekonomi adalah suatu daya atau kekuatan yang mampu mendorong atau menggerakkan orang untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan ekonomi. Pendapat lain dari Saraswati dan Widaningsih (2008) mendefinisikan motif ekonomi sebagai segala sesuatu yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan ekonomi dalam upaya memenuhi
13
kebutuhan hidupnya. Motif ekonomi dapat datang dari dalam diri individu (intrinsik) dan orang atau pihak lain (ekstrinsik). Sebagai contoh pembeda motif ekonomi intrinsik dan ekstrinsik adalah Ani ingin menjadi wiraswasta sehingga ia membuka butik khusus batik (intrinsik), sedangkan ayah dan ibu Ani meminta Ani memasukkan lamaran kerja di perusahaan besar agar ia mendapat penghasilan yang tetap (ekstrinsik). Kardiman, Mulyadi, dan Kusriadi (2006) menjabarkan bahwa motif ekonomi dapat dibedakan menjadi lima macam. Pertama, motif memenuhi kebutuhan sendiri. Motif ini merupakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari diri sendiri. Sebagai contoh, Pak Andi bekerja dan berusaha karena didorong untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Kedua, motif memperoleh keuntungan. Motif memperoleh keuntungan adalah dorongan yang muncul dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Contoh dari motif adalah Andi berhasil memenuhi kebutuhan dan mampu mengumpulkan modal usaha berkat sikap tekunnya. Ia membuka usaha toko sepatu dan menyajikan barang dagangan dengan sebaik-baiknya. Andi juga memberi pelayanan toko secara maksimal. Tujuan dari semua hal tersebut agar sepatu cepat laku terjual sehingga Andi memperoleh keuntungan. Ketiga, motif memperoleh penghargaan. Motif ini didasari keinginan manusia untuk lebih dihargai dan dihormati. Sebagai contoh, Andi telah berhasil memperoleh keuntungan dan kemakmuran. Meskipun begitu, ia tetap bekerja keras dan disiplin sehingga hasil usaha tersebut tidak sekedar untuk memperoleh keuntungan. Hasil usaha Andi juga bertujuan membantu pemerintah (membayar pajak) dan masyarakat (membuka lapangan kerja). Ia memiliki motivasi mendapat penghargaan dari pemerintah. Selain itu, ia ingin lebih dihormati di masyarakat. Keempat, motif memperoleh kekuasaan. Motif ini merupakan keinginan menambah kekuasaan di bidang ekonomi. Contoh motif memperoleh kekuasaan, yaitu Andi menjadi pengusaha sukses dengan anak cabang perusahaan tersebar di berbagai daerah. Namun, ia tetap bekerja giat dan cermat. Ia melakukan ini agar konsumen
tetap
menggunakan
hasil
produk
perusahaannya.
Ia
juga
mempengaruhi penjualan perusahaan-perusahaan pesaing. Andi memiliki tujuan
14
akhir menguasai pasar dengan nama perusahannya. Jika tujuan ini berhasil, ia memperoleh pengaruh dan kekuasaan perekonomian. Kelima, motif sosial. Motif sosial adalah keinginan untuk kepentingan umum atau orang lain. Sebagai contoh, keuntungan perusahaan Andi tidak hanya digunakan untuk kemakmuran sendiri. Ia mencoba menolong sesama manusia yang kekurangan dan menderita. Pak Andi memberikan sumbangan atau bantuan kepada fakir miskin, panti asuhan dan korban bencana alam. Salah satu penelitian mengenai tenaga kerja wanita dilakukan di kabupaten Ponorogo, Jawa Timur (Pitoyo, 2005). Penelitian menjabarkan alasan para wanita pergi dari daerah tersebut. Para wanita mengatakan berbagai aspek ekonomi sebagai alasan utama. Dari total responden sebanyak 172 orang, motif ekonomi menjadi jawaban 152 responden atau 88,37%, sedangkan motif non ekonomi menjadi jawaban 20 responden atau 11,63%. Motif ekonomi dijabarkan ke beberapa alasan spesifik, yaitu mencari kerja, mencari uang, agar dapat mandiri, ingin meringankan beban orang tua, nekat mencari penghasilan, ekonomi lemah, ingin membeli barang-barang, ingin punya rumah dan untuk biaya anak. Data tersebut diperkuat hasil observasi lapangan dan focus group discussion yang dilakukan Pitoyo kepada pengurus jaringan, kelompok dan mantan tenaga kerja asal kabupaten tersebut. Pitoyo (2005) menemukan empat aspek alasan seseorang menjadi TKW, yaitu kelemahan potensi di daerah asal yang mendorong terjadinya imigrasi, potensi di negara tujuan yang menarik perhatian calon migran untuk berpindah, faktor yang terkait dengan diri migran dan akses yang tersedia, seperti keberadaan calo, sponsor, informasi dan transportasi antara daerah asal dengan negara tujuan. Empat aspek ini menjadi aspek tambahan penguat motif ekonomi sebagai alasan kepergian tenaga kerja wanita. Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa motif ekonomi menjadi alasan dominan keputusan wanita di kabupaten Ponorogo untuk bekerja sebagai TKW di luar negeri.
15
E. 4.
Sutradara Perempuan di Indonesia
Ratna Asmara adalah sutradara wanita pertama di Indonesia. Ia memproduksi film Sedap Malam yang dirilis pada tahun 1950. Karya film dari Ratna Asmara membuka harapan perempuan untuk menyutradarai film di antara dominasi sutradara laki-laki di Indonesia. Menurut hasil penelitian Novi Kurnia, terdapat enam sutradara wanita sebelum tahun 1998. Keenam sutradara adalah Ratna Asmara, Roostijati, Chitra Dewi, Ida Farida dan Rima Melati. Pada masa itu, rata-rata sosok sutradara perempuan ditunjang oleh hubungan kerabat dengan aktor, artis, produser atau suami berprofesi sutradara. Dari keenam sutradara perempuan, hanya Ida Farida yang karir sutradara tidak dimulai dari kedekatan dunia keartisan. Ida memulai profesi sutradara dari posisi sebagai asisten sutradara (Rap, 2014a). Sedikitnya sutradara perempuan sebelum tahun 1998 berdampak pada representasi wanita di dalam film. Perempuan digambarkan dari perspektif lakilaki. Hal ini membuat penggambaran tidak begitu menunjukkan peran keperempuanan. Penggambaran perspektif ini didukung oleh budaya Indonesia. Budaya menempatkan wanita berada di posisi kedua dalam hubungan rumah tangga. Sosok wanita harus patuh dan menurut pada suami. Penciptaan sosok wanita di dalam film juga dipengaruhi pemerintah. Pemerintahan orde baru menggunakan ideologi gender dan seksualitas untuk mengontrol sosial masyarakat dan menciptakan identitas nasional. Pemerintah menyebarkan
ideologi
azas
kekeluargaan
dan
mendirikan
Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK). Politik partriaki sangat didukung oleh pemerintah, apalagi setelah PKK mengeluarkan Panca Dharma Wanita yang menjabarkan lima tugas pokok wanita. Kelima tugas pokok wanita, yaitu menjadi istri, berdiri bersama suaminya, manajer dalam rumah tangga, melahirkan, mendidik anak-anaknya dan menjadi warga negara Indonesia (Oey-Gardiner and Bianpoen dalam Imanjaya dan Citra, n. d). Orde baru mempengaruhi interpretasi masyarakat bahwa di dalam hidupnya wanita hanya memiliki tugas menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
16
Kebijakan-kebijakan pemerintah dipermudah oleh pengontrolan media. Media menyampaikan pesan ke publik setelah mendapat persetujuan pemerintah. Jika melanggar keputusan pemerintah, maka media akan mendapat sanksi. Hal ini berlaku pada semua bentuk media massa di Indonesia, termasuk media film. Sebelum shooting, skenario film harus diperiksa terlebih dahulu oleh pemerintah. Begitu pula ketika telah siap edar, film harus melewati badan sensor pemerintah. Film baru boleh dirilis di bioskop dan dikonsumsi masyarakat setelah mendapat persetujuan dari badan sensor. Ketatnya kontrol media semakin memarginalkan peran wanita di Indonesia. Rilisnya film Kuldesak di era pergantian pemerintahan tahun 1998 membawa perubahan besar bagi industri film Indonesia. Film berubah dari segi sistem pembuatan dan sistem pemasaran. Pembuatan dan pemasaran film menjadi lebih independen. Selain itu, juga ada kesetaraan gender dalam pemuatannya (Rap, 2014b). Kuldesak disutradarai oleh 2 orang laki-laki (Rizal Mantovani dan Riri Riza) dan 2 orang perempuan (Nan T. Achnas dan Mira Lesmana) menjadi awal dari lonjakan wanita berposisi sebagai sutradara di dalam film. Sasono, dkk (2011) menyatakan bahwa ada 184 sutradara produktif di tahun 1998-2009. Dari 184 sutradara, 19 orang atau 10% adalah sutradara perempuan. Daftar sutradara perempuan Indonesia era tahun 1998-2011, yaitu Nia Dinata, Marianne Rumantir, Sekar Ayu Amara, Upi, Nucke Rachma, Lasja Fauzia, Sammaria Simanjuntak, Ratna Sarumpaet, Dian W. Sasmita, Viva Westi, Lola Amaria, Nan T. Achnas, Djenar Maesa Ayu, Mouly Surya, Rayya Makarim, Wendy Windasari, Cassandra Massardi, Rima Melati, Kamila Andini, Arie Aziz (tim rumah film dalam Sasono, dkk, 2011). Selain sebagai sutradara, peningkatan peran wanita juga terjadi dalam posisi tim produksi film. Posisi laki-laki dalam tim produksi film mulai tergeser dengan perempuan yang dapat menempati berbagai posisi (cameraman, editor, penulis skenario, sutradara bahkan produser). Banyaknya keterlibatan perempuan dan film yang muncul ke publik disebabkan oleh kemudahan dalam perizinan pembuatan film, keleluasaan dalam menyalurkan pendapat, kemajuan teknologi, peningkatan workshop dan sekolah-sekolah kelas perfilman, serta perluasan
17
networking komunitas film (Rap, 2014b). Selain itu, beberapa dari perempuan tersebut memang memiliki latar belakang pendidikan strata-1 film lulusan universitas di dalam atau luar negeri. Secara tidak langsung, runtuhnya orde baru dan peningkatan profesi wanita sebagai tim produksi film ikut meningkatkan perspektif wanita di dalam film. Peran perempuan tidak lagi digambarkan berdasarkan ciri budaya patriarki. Perempuan lebih independen dan bebas berekspresi. Tim produksi perempuan membawa pemikiran perempuan. Hal ini membuat representasi kehidupan wanita lebih mendekati realitas dibanding penggambaran wanita oleh laki-laki. Dengan menjadi pengarang film, perempuan berkesempatan mengendalikan isi film termasuk juga merefleksikan pemikiran dan ideologinya. Kelebihan lain jika dibanding dengan laki-laki, umumnya perempuan lebih halus, lebih sensitif dan detail dalam membuat film (Iswahyuningtyas, 2010).
F.
Metodologi Penelitian
Secara umum, metodologi didefinisikan sebagai a body of methods and rules followed in science or discipline (Gumilar, 2005). Metodologi merupakan tubuh dari sebuah metode penelitian. Metodologi berisi tata cara penelitian yang akan dilakukan penulis. Sesuai penjabaran di sub bab latar belakang, maka metodologi penelitan ini difokuskan pada analisis resepsi penonton film Minggu Pagi di Victoria Park karya Lola Amaria.
F. 1.
Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Qualitative research is a means for exploring and understanding the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem. The process of research involves emerging questions and procedures, data typically collected in the participant‟s setting, data analysis inductively building from particulars to general themes, and the
18
researcher making interpretations of the meaning of the data. The final written report has a flexible structure. Those who engage in this form of inquiry support a way of looking at research that honors an inductive style, a focus on individual meaning, and the importance of rendering the complexity of a situation (Cresswell, 2007, 2009). Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi wajar melalui pengamatan terhadap orang lain dan lingkungan hidupnya. Peneliti turun ke lapangan, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitar, mengadakan pengamatan dan penjelajahan (Rahmat, n. d). Riset meneliti realitas sosial yang terjadi secara natural dari dalam diri individu atau kelompok. Riset kualitatif berasal dari filsafat postpositivisme atau paradigma interpretif dan konstruktif yang memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, komplek, dinamis, penuh makna dan hubungan gejala bersifat interaktif (Sugiyono, 2012). Hasil data lebih banyak bersifat deskriptif, yaitu ucapan, tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Rumusan masalah dan teori juga dapat berubah-ubah seiring interpretasi data hasil penelitian temuan peneliti di lapangan. Hal ini karena penelitian kualitatif cenderung menggunakan analisis induktif. Metode berpikir dimulai dari hal khusus (kenyataan) ke hal umum (teori). Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris, seperti studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, riwayat hidup, wawancara,
pengamatan,
teks
sejarah,
interaksional
dan
visual:
yang
menggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif (Denzin dan Lincoln dalam Rahmat, n. d). Oleh sebab itu, pendekatan kualitatif dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena sosial di dalam masyarakat secara lebih lengkap dan menyeluruh.
F. 2.
Jenis Penelitian
Analisis kualitatif penonton menawarkan dua metode penelitian, yaitu etnografi dan resepsi. Penelitian ini memakai jenis penelitian analisis resepsi.
19
Jenis dan pendekatan ini sesuai dengan rumusan masalah penelitian. Rumusan masalah ingin menjawab praktek interpretasi makna menjadi pemahaman penonton film Minggu Pagi di Victoria Park terhadap motif ekonomi tenaga kerja wanita di dalam film karya Lola Amaria tersebut. Berdasarkan pengamatan McQuail terhadap penelitian-penelitian analisis resepsi penonton (Morley, 1992: Seiter, Bochers, Kreutzner, dan Warth, 1989). McQuail (1997) menyimpulkan.... reception analysis is effectively the audience research arm of modern cultural studies, rather than an independent tradition. It strongly telah emphasizes the role of the “reader” in the “decoding” of media texts. It has generally had a consciously “critical” edge, in the terms discussed above, claiming for the audience power to resist and subvert the dominantor hegemonic meanings offered by the mass media. It is characterized by the use of qualitative and etnographics methods. Analisis resepsi membandingkan analisis tekstual dari wacana media dan wacana penonton. Kemudian, hasil perbandingan diinterpretasikan ke dalam berbagai konteks, seperti sisi pengalaman latar belakang budaya dan konteks lain dari konten media. Dalam penelitian ini, analisis resepsi menekankan peran penonton dalam menguraikan pesan-pesan teks media di film MPdVP. Penonton memiliki kekuatan untuk menerima seluruh, sebagian atau menolak pesan tersebut. Pesan dan penonton film adalah satu elemen. Mereka saling melengkapi. Oleh karena itu, resepsi berasumsi bahwa tidak ada suatu efek tanpa makna, yang timbul di pemikiran penonton ketika menyaksikan tayangan audio-visual film.
F. 3.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dipilih penulis dengan beberapa pertimbangan, sebagai berikut: Pertama, Minggu Pagi di Victoria Park merupakan film komersil yang ditayangkan di bioskop dan televisi swasta di Indonesia. Kedua, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki masyarakat dari berbagai ras, suku, dan bangsa. Ketiga, karakter masyarakat multikultural mendukung pemakaian metode analisis resepsi. Oleh karena itu, penonton berpikir untuk memaksimalkan metode analisis
20
resepsi dengan cara mendapatkan penonton dari berbagai daerah di Indonesia (tidak fokus pada satu lokasi). Penonton berbagai daerah akan menghasilkan keberagamanan pengalaman dan pemahaman dari lingkungan sosial budaya.
F. 4.
Sumber Data
Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh penulis secara langsung (dari tangan pertama). Tangan pertama adalah individu yang bersedia dan memenuhi syarat menjadi seorang informan penelitian. Informan terpilih melakukan wawancara mendalam dengan peneliti. Hasil wawancara digunakan sebagai acuan utama menjawab rumusan masalah penelitian. Bahan pengolahan data penelitian diperoleh dari wawancara tersebut. Sementara itu, sumber data sekunder diperoleh peneliti dari berbagai publikasi. Publikasi dapat berasal dari media cetak, elektronik atau online. Sumber ini menjadi penunjang awal penelitian dan pembantu sumber data primer (wawancara).
F. 5.
Subjek Penelitian
Kelas pekerja dari berbagai daerah di Indonesia menjadi subjek penelitian ini. Subjek penelitian diambil secara non probabilitas, purposive or judgemental sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono, 2012). Jenis sampel ini memungkinkan penulis untuk mencari dan memilih sendiri individu yang akan dijadikan informan penelitian. Apalagi, peneliti menetapkan beberapa syarat untuk menjadi informan. Tidak semua orang dapat memenuhi kriteria tersebut. Maka, pengambilan informan dengan cara purposive sampling diharap tepat untuk mendukung proses penelitian. Untuk menjadi informan dalam penelitian penonton film Minggu Pagi di Victoria Park, subjek harus memenuhi beberapa syarat berikut: Pertama, informan bekerja di dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini memberi kesamaan status
21
antara penonton dan tenaga kerja wanita. Mereka berstatus sebagai seorang pekerja. Kedua, informan merupakan pekerja berpendapatan sekitar upah minimum regional (UMR) sesuai daerah tempat tinggal. Kisaran pendapatan diharapkan memberi kepekaan terhadap motif ekonomi di dalam film MPdVP. Ketiga, pekerja berpendidikan maksimal SMA. BNP2TKI (2015) mencatat tenaga kerja luar negeri Indonesia lebih banyak berasal dari masyarakat berpendidikan SD-SMP-SMA. Lulusan SD-SMP-SMA berjumlah 269.426 dari total 275.736 tenaga kerja Indonesia di tahun 2015. Selain kesamaan status sebagai seorang pekerja, penonton diposisikan memiliki kesamaan latar belakang pendidikan dengan tema MPdVP. Keempat, pekerja berjenis kelamin pria dan wanita berusia lebih dari 17 tahun. Kategori usia diperlukan untuk memastikan informan secara sadar mengerti dan bertanggung jawab atas informasi yang diberikan. Kelima, pekerja menonton film Minggu Pagi di Victoria Park dan memiliki pengetahuan mengenai tenaga kerja wanita. Pengetahuan bisa didapat melalui media cetak, media elektronik atau media online. Pengetahuan dari media lain diperlukan sebagai dasar pengetahuan mengenai tenaga kerja wanita. Kelima, pekerja memiliki waktu luang. Ia juga bersedia memberikan pernyataan yang diperlukan peneliti untuk proses penelitian.
F. 6.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian resepsi penonton film akan menggunakan sumber data primer dari wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2008). Wawancara ini termasuk wawancara tidak terstruktur sehingga daftar pertanyaan dan kata-kata di dalamnya dapat berubah sesuai situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Walaupun begitu,
22
perubahan pertanyaan tetap harus fokus pada tujuan menjawab rumusan permasalahan penelitian. Informan kunci yang diwawancarai adalah pekerja, baik berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Kedua jenis kelamin dilibatkan agar terjadi variasi dan keseimbangan perspektif pemikiran dalam penelitian penonton film Minggu Pagi di Victoria Park. Selain itu, informan penelitian juga harus memenuhi beberapa kriteria lain sesuai standar ketetapan dari peneliti. Kriteria-kriteria telah disebutkan dalam sub bab metodologi penelitian poin subjek penelitian (hal. 21 dan 22). Data sekunder diperoleh peneliti dari berbagai studi pustaka. Studi pustaka diambil dari beberapa media, yaitu media cetak, media elektronik dan media online. Data-data penelitian terdiri dari: film Minggu Pagi di Victoria Park, buku, jurnal ilmiah, majalah, artikel, publikasi internet atau publikasi lainnya. Data sekunder dipakai untuk memperkuat konsep-konsep pemikiran dari awal hingga akhir penelitian.
F. 7.
Teknik Analisis Data
Analisa dan interpretasi data kualitatif didefinisikan secara berurutan oleh Spiggle dalam Lindlof dan Taylor (2002) adalah ... the process of labeling and breaking down (or decontextualizing) raw data and reconstituting them into patterns, themes, concepts, and propositions. Researchers use analytic tools and procedures to manipulate data so that they will be more useful for the more into interpretation. Interpretation is the process of “[making] a construal”. Analisa data kualitatif dimulai sebelum peneliti terjun ke lapangan hingga penulisan hasil penelitian selesai. Sebelum ke lapangan, peneliti telah mengumpulkan berbagai data pendukung terwujudnya penelitian resepsi penonton film Minggu Pagi di Victoria Park, seperti film MPdVP, berita terkait film, berita terkait tenaga kerja Indonesia dan lain-lain yang dipakai untuk merumuskan masalah dalam proposal penelitian. Kemudian, peneliti melakukan wawancara dan observasi lapangan. Setelah selesai, hasil data lapangan dianalisa oleh peneliti. Penelitian ini
23
menggunakan tahapan analisis resepsi. Menurut Jensen (1991) tahapan ini dibagi menjadi 3 elemen utama. First, the collection or generation of data centers on the audience side. Second, the analysis of interviews and other audience discourse draws on techniques and models from linguistics and literary criticism. Third, reception studies make no absolute distinction between the analysis and interpretation of audience experience of media. Analisis resepsi membahas secara mendalam proses aktual ketika wacana media film Minggu Pagi di Victoria Park berasimilasi dengan wacana dan praktek budaya dari penonton film tersebut. Tahap pertama dimulai dengan mengumpulkan data primer dari sisi subjek penelitian. Peneliti akan memulai observasi lapangan untuk menentukan informan pertama yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Setelah mendapatkan informan pertama, peneliti akan memulai wawancara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam rumusan masalah penelitian. Saat wawancara berlangsung, peneliti juga melakukan observasi terhadap informan. Observasi dapat dilakukan melalui pengamatan langsung dan pertanyaan mengenai kondisi latar belakang lingkungan sekitar informan. Wawancara in depth interview memungkinkan peneliti untuk melakukan wawancara kembali terhadap informan sesuai waktu dan tempat yang telah disepakati bersama. Proses serupa dilakukan saat wawancara dengan informan lain. Informan kunci penelitian ini berjumlah enam orang. Tahap kedua adalah menganalisa hasil wawancara. Transkrip rekaman wawancara akan diubah dari data audio ke data teks. Wacana dari data teks kemudian diteliti menggunakan teknik & model linguistik dan kritik sastra. Hasil wacana menunjukkan pemaknaan penonton terhadap pesan film Minggu Pagi di Victoria Park berdasarkan latar belakang budaya dan pengalaman hidup informan tersebut. Teori dan model penerimaan pesan Stuart Hall akan dipakai untuk menganalisis hasil wawancara. Analisis resepsi tidak membedakan secara tegas antara analisis dan interpretasi pengalaman bermedia penonton. Oleh karena itu, peneliti akan mencocokkan analisis data sebelumnya dengan fakta-fakta yang di dapat lapangan (observasi selama penelitian). Selanjutnya, triangulasi teknik
24
pengumpulan data, baik dari wawancara, observasi dan dokumen pendukung akan dicek persamaan atau perbedaannya untuk menguji kredibilitas hasil penelitian.
25