BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Banjir sebagai bencana alam yang dapat berpotensi merusak dan merugikan kehidupan bahkan korban manusia. Smith (1996) menyatakan bahwa banjir menjadi permasalahan bila sudah mengganggu aktivitas kehidupan dan penghidupan manusia bahkan mengancam keselamatan dirinya. Gupta (2009) mencatat kejadian banjir dan lokasi geografisnya seperti kejadian banjir besar di utara dan timur laut Australia (Wohl, 1992); kemudian banjir bagian tenggara dan timur Asia misal di Myanmar, Kamboja, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan China Selatan bahkan di India (Kale et al., 1994; Rajaguru et al., 1995; Gupta et al., 1999); banjir besar di Madagascar dan pantai timur Afrika; serta Kepulauan Karabia, pantai Meksiko, Amerika Utara (Gupta, 1975; Ahmad et al., 1993; Larsen et al., 2001a,b); dan banjir pada pulau-pulau yang berada di Samudera Hindia dan Pasifik seperti di Mauritius, dan Fiji. Pada minggu ke-2 dan ke-3 Bulan Juli hingga Agustus 2011 banjir melanda kota-kota besar di Korea Selatan, Jepang, dan Filipina bahkan banjir dapat melumpuhkan kehidupan dan aksebilitas di Kota Bangkok, Thailand dengan korban meninggal lebih dari 500 jiwa sedangkan banjir di Kota Genoa, Italia menewaskan 10 jiwa pada Bulan November 2011 (Detiknews, 2011). Bencana banjir di China pada akhir Juni hingga awal Juli 2013 ini mengakibatkan 60.000 rumah hancur, dan 157 jiwa meninggal (Kompas, 2013). Di Indonesia, banjir dan permasalahannya belum dapat diselesaikan secara tuntas, bahkan masalah tersebut justru mengindikasikan semakin meningkat, baik intensitas, frekuensi maupun persebaran keruangannya. Kementerian Pekerjaan Umum dalam Rosalina (2011) menunjukkan hingga Januari 2011 ada 11 provinsi yang berpotensi tinggi mengalami banjir. Pada Bulan November 2011 banjir juga dialami Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Pada Bulan Desember 2011 ancaman banjir akan dihadapi oleh Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Barat. Pada Bulan Januari 2011, wilayah yang perlu
1
diwaspadai dalam menghadapi banjir besar yaitu Kalimantan Barat, dan semua provinsi di Jawa yang tersebar di 99 kabupaten. Pada tahun 2002 hingga 2008 di Indonesia, ada 1603 kejadian banjir dengan korban manusia yang meninggal 1.202 jiwa. Kejadian banjir tahun 2002-2008 dikategorikan sebagai bencana alam yang paling banyak korban meninggal bila dibandingkan dengan bencana lainnya, seperti longsor, dan letusan gunungapi. Data kejadian banjir dan korban manusia yang meninggal sebagai berikut: kejadian banjir terbesar (335 banjir) tahun 2007, sedangkan korban meninggal terbanyak (483 jiwa) tahun 2003. Kejadian banjir terkecil (51 banjir) pada tahun 2002; dan meninggal 68 jiwa (tahun 2005, dan 2008). Selama 4 tahun (2002 – 2006), rerata ada 200 kejadian banjir dengan 100 jiwa yang meninggal, dan ada kecenderungan peningkatan kejadian banjir dan korban manusia kecuali tahun 2004, 2005, dan 2008 (Tabel 1.1). Tabel 1.1. Kejadian banjir dan korban manusia di Indonesia No
Total
Tahun
Kejadian Banjir
Korban Manusia (jiwa)
1
2002
51
238
2
2003
159
483
3
2004
285
100
4
2005
248
68
5
2006
328
99
6
2007
335
146
7
2008
197
68
2002-2008
1603
1202
Sumber: Kementerian PU, 2008
Indonesia mempunyai 5.590 sungai induk dimana ada 600 sungai atau 10,7 % berpotensi banjir bahkan banjir dengan luas daerah banjir dapat mencapai 1,4 juta hektar. Pada Bulan Oktober 2001 hingga Februari 2002 terdapat 92 bencana banjir besar yang merendam permukiman 54.482 hektar atau 3,89 % dari total luas daerah banjirnya (JICA, 2001; Departemen PU, 2002b). Sejalan dengan pergantian waktu, dinamika pembangunan di DKI Jakarta berkembang sangat cepat dan penduduk yang padat hingga sangat padat, penataan ruang kota yang kurang mengindahkan lingkungan, mempunyai intensitas curah
2
hujan tinggi, dialiri oleh 14 sungai, lahan untuk resapan air hujan semakin sempit, dan lahan pertanian banyak dialih fungsikan penggunaannya menjadi lahan terbangun, berupa lahan permukiman dan fasilitasnya, tentu mempengaruhi persebaran keragaman spasial dan temporal pada berbagai karakteristik banjir dan daerah sasaran banjir di DKI Jakarta. Faktor alami lain seperti bentuklahannya yang mempengaruhi kerawan banjir di DKI Jakarta adalah terdapat hambatan aliran air permukaan di bagian utara oleh beting gisik ke Teluk Jakarta. Sebenarnya pada beting gisik itupun terdapat cekungan antar beting yang dapat berfungsi sebagai penampung air, namun itupun sudah terbangun. Demikian juga sebagian besar rawa dan situ-situ yang berfungsi sebagai penampung dan pengendali air hujan lokal itupun sudah menjadi permukiman. Banjir di DKI Jakarta pada tahun 1996, 2002, 2007, dan 2013 dapat dikategorikan sebagai bencana banjir berskala nasional bahkan regional karena banjir tersebut terluas persebarannya, dan jumlah korban meninggal lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Periode banjir utamanya terjadi pada Bulan Februari kecuali pada tahun 2013 (17-20 Januari) karena pada bulan Februari ini letak garis ekuator termal atau daerah konvergensi antar tropiknya tepat berada di atas permukaan daratan dan perairan Jakarta dimana mempunyai suhu tertinggi dengan penguapan air besar. Kondisi ini yang memicu hujan dengan intensitas tinggi dan waktu hujan lama diduga sebagai penyebab hujan deras di dataran rendah DKI Jakarta. Banjir di DKI Jakarta banyak melanda permukiman. Hujan deras yang jatuh pada permukaan tanah yang diperkeras sebagai fasilitas permukiman dan terletak di agak terjal (hulu), landai (tengah) hingga datar (hilir) berpotensi sebagai aliran limpasan (overland flow) dan aliran air permukaan (run off) penyumbang terjadinya banjir. Permukiman dan fasilitasnya sebagai salah satu penyebab arah dan besaran pergerakan aliran air permukaan terhalang atau terhambat untuk menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga pada saat hujan dengan intensitas tinggi dan lama terjadi akumulasi aliran air yang besar. Dalam perjalanan aliran air permukaan ke sungai sewaktu hujan lebat dan lama menyebabkan air limpasan permukaan mengumpul dan merendam di bagian yang
3
lebih rendah seperti ledokan (rawa dan situ), dan ke sungai hingga ke Laut Jawa (Teluk Jakarta) yang secara alamiah beting gisik, dataran aluvial pantai dan dataran aluvial menjadi sasaran banjir. Banjir yang setiap tahun melanda DKI Jakarta tidak lepas dari pengaruh sungai-sungai yang melintasinya. DKI Jakarta dilalui oleh 14 sungai besar dan sungai-sungai kecil (Gambar 1.1). Sungai-sungai besar berhulu di bagian selatan DKI Jakarta yaitu daerah Bogor yang mempunyai ketinggian lebih dari 200 m dpl., dan curah hujan tinggi, sehingga DKI Jakarta secara alamiah menjadi daerah tempat berakumulasi air dari hulu sungainya. Bila kapasitas saluran sungai tidak mampu menampung debit aliran sungai maka banjir terjadi. Berdasarkan data lapangan daerah yang menjadi daerah sasaran banjir dominan di Jakarta adalah di bagian utara. Penjelasan mengapa sasaran banjir di DKI Jakarta yang dominan di bagian utara menjadi salah satu sasaran dari penelitian ini.
CENGKARENG DRAIN BANJIR KANAL BARAT
Pintu Air Cakung CAKUNG DRAIN
Pintu Air Cengkareng Mookervat Angke
Cakung
Pintu Air Karet
Pintu Air Manggarai
Pesanggrahan
Jatikramat Buaran Sunter
Grogol Cipinang Krukut
Kalibaru Timur
Kalibaru Barat
Pintu Air. Katulampa Ciliwung
Gambar 1.1 Peta sket sungai yang mengaliri di DKI Jakarta (tanpa skala dan koordinat). Sumber: Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Departemen PU, 2007.
4
Melihat gambar 1.1 ini faktanya bahwa Pemerintah Pusat (Kementerian Pekerjaan Umum) dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah banyak berusaha untuk mengendalikan banjir, namun kenyataannya belum terselesaikan dengan tuntas. Usaha pengendalian banjir yang telah dilakukan di DKI Jakarta antara lain pembangunan kanal banjir, dan normalisasi sungai dan saluran. Pengendalian banjir dengan Kanal Banjir Barat (KBB), yakni Cengkareng drain yang menampung air dari Sungai Angke, Sungai Mookervart, Sungai Pesanggrahan, dan Angke drain yang menampung air dari Sungai Grogol dan Sungai Sekretaris melalui sodetannya. Sistem pengendalian banjir lainnya yaitu Polder Pluit, Kanal Banjir Barat, dan Sunter Barat Drain. Kanal banjir barat memotong aliran Sungai Krukut, Sungai Cideng, Kalibaru Barat, dan Sungai Ciliwung. Pada bagian aliran sungai yang terpotong oleh KBB mengalir ke Waduk Pluit dan selanjutnya dipompa dan dialirkan ke Teluk Jakarta. Pengendalian banjir di bagian timur DKI Jakarta, berupa Kanal Banjir Timur (KBT). KBT ini difungsikan untuk menampung air dari Sungai Cipinang, Sungai Sunter, Sungai Buaran, Sungai Jatikramat, Sungai Cakung, dan Sungai Cakung Timur. Aliran sungai yang terpotong oleh banjir kanal timur ditampung di Sunter Timur Drain dan Cakung Drain yang selanjutnya ke Teluk Jakarta (Departemen Pekerjaan Umum, 2007; dan Sakethi, 2010). Namun bila hujan dengan intensitas tinggi di daerah-daerah yang dilalui oleh KBB dan KBT sebagai daerah sasaran banjir. Bencana banjir tahun 1996, 2002, dan 2007 di DKI Jakarta merupakan bencana alam besar yang mencakup semua karakteristik banjir baik luasan, lama, kedalaman, dan korban manusia. Misal, bencana banjir di DKI Jakarta 4 Februari tahun 2007 mengakibatkan kerusakan fasilitas umum (sekolah dan pasar), fasilitas sosial (masjid, dan gereja), dan berdampak pada kegiatan ekonomi dan jasa dengan nilai kerugian sebesar 8,78 triliyun rupiah, dan penduduk yang mengungsi 450 ribu jiwa di kantor-kantor pemerintahan, dan sekolah (Bappenas,2007). Menurut catatan UNDP Indonesia (2007), terakhir kali bencana banjir besar di DKI Jakarta terjadi pada akhir Bulan Januari hingga 4 Februari 2007. Bencana banjir ini menyebabkan 57 orang meninggal, mengungsi ke tempat aman 422.300
5
orang, rumah rusak 1500 bangunan, dan kerugian kota Jakarta akibat banjir mencapai USD 695 juta Dampak banjir dapat dirasakan oleh masyarakat DKI Jakarta, terutama pada tiga aspek kehidupan masyarakat kotanya, yaitu 1) aspek sosial dimana aktivitas masyarakat menjadi terganggu; 2) aspek ekonomi yang dapat menghambat jalur distribusi barang dan pergerakan atau mobilitas masyarakat kotanya yang memerlukan ketepatan waktu dan biaya transportasi; 3) aspek lingkungan yang dapat merusak infrastruktur, sanitasi dan menimbulkan berbagai penyakit bagi masyarakat yang terkena banjir seperti penyakit kulit, dan penyakit perut yang berkaitan dengan kualitas air kotornya.
B. Perumusan Masalah Fakta menunjukkan bahwa daerah banjir di DKI Jakarta cenderung meningkat dari waktu ke waktu baik luas, frekuensi, kedalaman, dan lama genangan banjirnya. Penyebab banjir di DKI Jakarta telah banyak dilakukan penelitian dan telah teridentifikasi bahwa banjir Jakarta antara lain disebabkan oleh faktor sebagai berikut. 1. DKI Jakarta mempunyai daerah datar dan rendah 50% dan permukiman lebih dari 50% dari total luasan daratannya (Sakethi,2010). Akibat dari penggunaan lahan permukiman seluas lebih dari 50% tersebut bila hujan lebat dan lama yang terus menerus maka air hujan tidak dapat terserap ke dalam tanah (infiltrasi), sehingga daratannya dapat terjadi banjir. 2. Perubahan penggunaan lahan pertanian dan ruang terbuka menjadi permukiman dan prasarana relatif cepat. Bappeda (2009) mencatat bahwa pembangunan di DKI Jakarta telah mengubah penggunaan lahan pertanian dan ruang terbuka menjadi permukiman, pertokoan serta prasarana dan sarana umum lainnya. Peningkatan luasan dan persebaran jenis lahan terbangun mencapai luas 61.075,2 hektar, dan permukiman mencapai 45.662,6 hektar atau 69,86 % dari luasan lahan terbangun yang ekivalen dengan 65,27 %. Bahkan pada alur-alur sungai sebagai ruang terbuka ini pula terjadi
6
penyempitan dan pendangkalan dikarenakan penggunaan lahan permukiman dan fasilitasnya. Kondisi ini sebagai penyebab banjir di DKI Jakarta. 3. Curah hujan tinggi di hulu; curah hujan di daerah Bogor yang merupakan hulu dari sungai-sungai yang melintasi DKI Jakarta berkisar antara 2000 mm hingga 4000 mm/tahun. Hujan lebat di hulu biasanya terjadi pada bulan Desember hingga Maret setiap tahun dan puncaknya pada Bulan Februari. Hujan lebat di hulu sungai-sungai ini merupakan pemicu banjir di DKI Jakarta. 4. Penurunan muka tanah DKI Jakarta (1974-2010) mencakup bagian daerah di utara 4,1 m., timur laut 1,4 m., selatan 0,25 m., tengah atau pusat 0,7 m., dan barat laut 2,1 m dikarenakan kompaksi alamiah (proses mencapai kestabilan, penggunaan air tanah yang berlebihan, beban struktur bangunan, dan aktivitas tektonik (Abidin dalam Isworo dan Laksmi, 2013). 5. Kondisi geologi, dan geomorfologi di DKI Jakarta berpengaruh terhadap kejadian daerah banjir. Secara geologis DKI Jakarta terdiri dari 1) Formasi Serpong, 2) endapan kipas aluvial, dan 3) endapan aluvial (aluvium). Formasi Serpong terbentuk pada kala Pliosen Akhir yang terbentuk oleh endapan vulkanik. Endapan kipas aluvial (koluvium) berasal dari kegiatan vulkanik gunungapi di selatan Jakarta seperti Gunungapi Pangrango, Gedeh, dan Salak. Aluvium terbentuk pada kala Holosen Akhir, letaknya di endapan pantai (beting gisik dan dataran aluvial pantai), sungai, dan rawa di dataran aluvial. Persebaran aluvium, terletak di sebelah utara Tanah Abang dan Cakung (Verstappen, 1953; Turkandi, 1992). Bentuklahan di bagian selatan berupa bentukan kipas fluvial-vulkanik dari material letusan Gunungapi Gedeh, Pangrango, dan Salak. Endapan ini yang mengisi lapisan bentuklahan dataran aluvial dan kipas aluvial. Sifat endapan aluvial adalah bertekstur lempung dan liat yang mempunyai daya serap kecil terhadap air hujan, sehingga aliran hujan sebagian besar dilimpaskan ke permukaan tanah ke sungai. Bila air sungai meluap dan melewati tanggulnya dan mengalir ke bagian daratan yang lebih rendah maka akan terjadi banjir.
7
Meskipun sudah banyak penelitian penyebab banjir di DKI Jakarta dan telah banyak dilakukan usaha pengendalian ternyata banjir masih tetap terjadi dan bahkan cenderung meningkat. Kajian banjir dan pengendalian itu dapat dilakukan atau dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu antara lain bidang hidrologi, geologi, klimatologi, geografi, dan geomorfologi. Kajian daerah sasaran banjir yang akan dilakukan ini ditinjau dari sudut pandang geografi (Ward,1978) dan lebih khusus geomorfologi. Ruang lingkup kajian geografi adalah geosfer yang tersusun atas atmosfer, litosfer, hidrosfer, biosfer, dan antroposfer (Sutikno, 2005). Kajian geografi memfokuskan pada perbedaan dan persamaan fenomena geosfera; kajian geografi dicirikan oleh obyek material dan obyek formalnya. Obyek material dalam geografi adalah unsur geosfera, dalam penelitian ini yang dikaji adalah sebagian dari aspek geosfer yaitu daerah sasaran banjir. Obyek formal dalam geografi adalah pendekatannya, yang menurut Haggett (1972) dan Bintarto (2004) pendekatan geografi ada tiga yaitu keruangan, kelingkungan, dan kompleks wilayah. Berdasarkan latarbelakang di atas daerah banjir di DKI Jakarta bervariasi secara spasial dan temporal, dengan demikian daerah sasaran banjir sesuai jika dikaji dari sudut pandang ilmu geografi. Geografi sebagai ilmu pengetahuan secara garis besar dapat dibedakan menjadi geografi fisik dan geografi manusia (Bintarto, 2004). Kajian ini lebih ditekankan pada geografi fisik, lebih khusus pada geomorfologi. Obyek utama dalam geomorfologi adalah bentuklahan dan setiap bentuklahan dicirikan oleh kondisi relief, material penyusun (batuan, dan tanah), dan proses geomorfik. Penciri dari bentuklahan tersebut langsung maupun tidak langsung terkait dengan kondisi tata air termasuk kondisi banjir. Banjir yang terjadi dimanapun sebenarnya terletak pada bentuklahan tertentu. Dengan demikian maka bentuklahan dapat dijadikan dasar untuk menentukan daerah yang menjadi sasaran banjir. Banjir yang terjadi pada bentuklahan termasuk banjir potensial karena secara alamiah setiap bentuklahan mempunyai kerawanan terhadap banjir. Menurut kenyataan di lapang ternyata tidak semua bentuklahan yang ada di DKI Jakarta atau di tempat lain tidak seluruhnya terlanda banjir dalam waktu bersamaan. Banjir yang terjadi
8
pada suatu saat itu disebut banjir aktual yaitu banjir yang riil terjadi. Daerah sasaran banjir potensial belum tentu terlanda banjir. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan daerah banjir di DKI Jakarta, perumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) dimanakah terdapat daerah sasaran banjir potensial dan aktual? 2) bagaimanakah karakteristik banjir? 3) bagaimanakah pola persebaran spasial dan temporal daerah sasaran banjir aktual?
C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai banjir sudah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dan para ahli banjir, baik peneliti dari ilmu geografi, lingkungan, teknik sipil, hidrologi dan atau disiplin ilmu lainnya. Peneliti-peneliti yang obyek penelitiannya terkait dengan banjir adalah sebagai berikut, dan rangkuman tercantum pada Tabel 1.2. Masahiko O., dan Haruyama S. (1987), melakukan penelitian mengenai banjir dan urbanisasi di dataran rendah Tokyo dan sekitarnya. Tujuan penelitiannya untuk mengetahui perbedaan kenampakan pada wilayah banjir pada wilayah perkotaan dan sekitarnya di lembah Sungai Naka. Metode penelitian yang digunakan, meliputi (1) diskripsi kajian geomorfologi pada lembah Sungai Naka, dan (2) survei lapang di lokasi bencana banjir pada dataran rendah dan sekitarnya pada saat kejadian topan Katerine 1947, topan Sungai Kano 1958, dan banjir pada tahun 1974-1985. Kesimpulannya, (1) lembah Sungai Naka tersusun oleh dua unit bentuklahan, yakni berupa tanggul alam dan delta, yang masing-masing memiliki perbedaan karakteristik banjir. (2) secara umum banjir
mengikuti topografi
lembahnya; dan (3) tipe banjirnya berbeda pula dan mengikuti pola penggunaan lahan perkotaan di bentuklahan aluvial. Asriningrum (1998), topik penelitiannya tentang analisis daerah rentan banjir
Jakarta
dan
sekitarnya
berdasarkan
klasifikasi
bentuklahan
dan
penutup/penggunaan lahan dari citra JERS-1. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bentuklahan dan penggunaan lahan
9
berdasarkan interpretasi citra Radar. Metode penelitiannya berupa metode pengolahan citra cara digital yakni maximum likelihood untuk klasifikasi penutup/penggunaan lahan. Dengan interpretasi secara visual dihasilkan klasifikasi bentuklahan sedangkan metode analisis citra adalah metode SCS untuk klasifikasi penutup/penggunaan lahan, dan metode Voskuil digunakan untuk klasifikasi bentuklahan. Kesimpulannya sebagai berikut: 1. Data Radar JERS-1 dapat digunakan untuk analisis banjir melalui klasifikasi bentuklahan, dan penutup/penggunaan lahan; 2. Identifikasi bentuklahan pada topografi kasar dan lembab. Hasil klasifikasi bentuklahan terdiri dari rawa, delta, lagun, dataran aluvial atas, bukit denudasional, lereng vulkanis bawah, lereng vulkanis atas, dan kerucut vulkan. Bentuklahan yang rentan akan banjir yaitu rawa, delta, lagun, dan dataran aluvial; dan 3. Identifikasi penutup/penggunaan lahan berupa klasifikasi permukiman padat dan jalan, laut, lagun, delta, padang rumput, rawa, pohon, permukiman
dan
pekarangan,
lahan
terbuka,
dan
lain-lain
dimana
penutup/penggunaan lahan rentan banjir yaitu permukiman. Dibyosaputro S (1998), menuliskan tentang konsep survei dan pemetaan kerentanan, dan bahaya banjir. Tujuan penelitiannya untuk mengetahui konsep banjir di daerah sasaran banjir. Metode penelitian melalui pendekatan hidrogeomorfologi. Kesimpulannya, keragaman ruang unit-unit bentuklahan fluvial di daratan rendah mencerminkan efek dari proses geomorfologi dan hidrologis masa lampau, sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi kerentanan banjir saat sekarang baik dalam luas, kedalaman, dan lama genangan, serta frekuensi dan sumber penyebab banjir; dan tingkat bahaya banjir unit-unit bentuklahan yang masing-masing mempunyai kerentanan banjir berbeda. Yusuf (1999) telah melakukan penelitian tentang banjir rob di Kota Semarang. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pola agihan banjir rob, daerah sasaran banjir, dan karakteristik banjir. Metode penelitian berupa pendekatan interpretasi foto udara, geomorfologi, dan hidrologi. Kesimpulannya atau hasilnya berupa peta-peta bentuklahan, daerah rentan banjir, dan agihan banjir.
10
Kusratmoko (2001), melakukan penelitian tentang curah hujan dan karakteristik penggunaan lahan di DAS Ciliwung. Tujuan penelitiannya untuk mengetahui intensitas curah hujan harian pada saat hujan konvektif dan aliran limpasan permukaan pada penggunaan lahan berbeda di DAS. Metode penelitian yang digunakan metode tumpang susun peta penggunaan lahan dengan peta hujan; dan debit sungai. Kesimpulannya, distribusi hujan musim timur sampai dengan pancaroba akhir (Juni-Nopember), didominasi tipe hujan konvektif yang mempengaruhi perbedaan karakteristik aliran tahunan Ci Liwung. Distribusi hujan pada musim barat (Desember-Maret) kurang mempunyai peranan yang berarti, menyebabkan pembentukan aliran langsung yang besar ke Ci Liwung. Asriningrum (2002), melakukan penelitian banjir di Jakarta pada periode 1996 dan 2002. Tujuan penelitiannya untuk membandingkan luas daerah genangan antara banjir lokal dan banjir kiriman. Metode penelitiannya menggunakan interpretasi citra penginderaan jauh, hidrologi, penggunaan lahan, dan pendekatan bentuklahan. Kesimpulannya ternyata daerah banjir lokal adalah lebih luas daripada banjir kiriman. Kondisi ini berarti, pada tahun 1996 infrastrukstur Jakarta sebenarnya sudah tak mampu menampung hujan lokal. Keadaan itu makin terbukti dengan banjir tahun 2002 ini. Daerah yang termasuk tinggi permukaan tanahnya seperti Cibubur, ternyata terkena banjir juga. Padahal, kondisi Sungai Ciliwung di Depok, sebenarnya masih dapat menampung banjir. Selain itu bahwa penataan infrastruktur di Jakarta yang buruk adalah sebagai penyebab banjir yang utama. Haryani (2002), meneliti tentang tingkat kerentanan banjir di Cilacap, Jawa Tengah. Tujuan penelitiannya untuk mengetahui tingkat kerentanan banjir. Data yang digunakan dalam kegiatan ini, yaitu 1). Citra Landsat tahun 1999; 2). Peta geologi, peta tanah, peta Daerah Pengaliran Sungai (DAS); dan 3). data curah hujan dari BMKG. Metode penelitian untuk penentuan tingkat kerentanan banjir dilakukan dengan pembobotan indikator banjir yang berfungsi sebagai variabel banjir, yakni intensitas curah hujan, penutup lahan, tekstur tanah, dan relief/kemiringan lereng. Kesimpulannya bahwa tingkat kerentanan banjir di bentuklahan aluvial Cilacap dipengaruhi oleh besarnya intensitas curah hujan
11
yang turun di daerah hulu maupun hilir, penggunaan lahan, tekstur tanah, dan relief/kemiringan lereng. Huang, et al., (2003), topik penelitiannya mengenai daratan pantai tenggelam akibat kenaikkan air laut di Delta Pearl River, China. Tujuan penelitiannya untuk mengetahui peningkatan potensial resiko pasang tertinggi. Permasalahannya yaitu dimana peningkatan potensial risiko pasang tertinggi di bentuklahan fluvial marin? Metode penelitiannya yaitu survai lapang; mendiskripsikan (1) peta dasar skala 1:10.000 yakni peta Topografi tahun 1980, dan (2) data pasang tertinggi yang terekam pada alat ukur tidal gauge, dan overlay peta. Kesimpulannya, tingkat kenaikkan air laut 30 cm sebagai pemicu bencana banjir. Tambunan (2005), melakukan penelitian tentang dampak perkembangan fisik kota terhadap pola tata air ekosistem di dataran rendah Jakarta. Tujuan penelitiannya 1. mengetahui pengaruh perubahan jumlah dan kepadatan penduduk
tahun 1970 – 2000 terhadap perluasan kawasan terbangun; 2.
mengetahui pengaruh perluasan kawasan terbangun terhadap water ratio (perbandingan luas lahan basah dengan luas keseluruhan) dan luas lahan pertanian; 3. mengetahui dampak perubahan penggunaan lahan tersebut terhadap banjir dan genangan air serta pencemaran badan air; dan 4. mengetahui strategi konservasi air dan penanganan banjir pada masa yang akan datang. Metoda analisis yang digunakan mencakup analisis tabulasi silang, dan
analisis
superimposed. Kesimpulan: 1. ada peningkatan penduduk tahun 1970 sebesar 4.423.593 jiwa menjadi 8.205.296 jiwa tahun
2000 (periode 5 tahunan); 2.
korelasi penambahan jumlah penduduk dengan penambahan luas kawasan terbangun
sangat lemah, 3. implikasi perluasan kawasan terbangun terhadap
besaran “water ratio” adalah menurunannya water ratio ekosistem dataran rendah ini dari 29,91% menjadi 1,49%. Dampak lanjutan penurunan besaran “water ratio” adalah meningkatnya frekwensi banjir dan makin luasnya lokasi-lokasi genangan air pada musim hujan, dan 4. selain pengaruh perluasan kawasan terbangun di dalam bentuklahan aluvial DKI Jakarta, pengaruh penggunaan lahan regional di dalam 14 DAS.
12
Haruyuma, dan Satoshi Mizuno (2007), menjelaskan berbagai kejadian banjir pada 2004 di bentuklahan aluvial Kota Fukui. Tujuan penelitiannya untuk mengetahui kejadian banjir di wilayah kota Fukui. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bentuklahan. Kesimpulannya (1) bentuklahan sebagai daerah sasaran banjir di Asuwa River Basin; (2) hubungan antara urbanisasi dalam periode 40 tahun terakhir dengan penggunaan lahannya; dan (3) kerentanan banjir dan mitigasinya. Penelitian ini berbeda dengan peneliti terdahulu dalam hal tema penelitian, permasalahan, tujuan dan pendekatan yang digunakan. Perbedaan dengan penelitian Tambunan (2005) yang juga mengadakan penelitian di DKI Jakarta adalah pada pendekatan yang digunakan yakni lingkungan, sedangkan peneliti memakai pendekatan keruangan pada bentuklahan dalam menentukan sasaran banjirnya. Perbedaan dengan penelitian Asriningrum (2002) yang meneliti juga di Jakarta dan sekitar adalah pada metode analisa pengeinderaan jauh yang digunakan dalam penelitiannya, sedangkan peneliti menggunakan survei daerah banjir. Peneliti melakukan penelitian dengan tema “Pola Spasial dan Temporal Daerah Sasaran Banjir di DKI Jakarta”. Penelitian yang dilakukan ini lebih menekan pada aspek geomorfologi dengan pendekatan pragmatik. Secara teoritik daerah yang menjadi sasaran banjir terletak pada bentuklahan asal fluvial, fluviomarin dan marin (Oya, 2001; Verstappen, 1983). Atas dasar bentuklahan asal maka daratan DKI Jakarta terdiri dari kipas aluvial, dataran aluvial, dataran aluvial pantai, dan beting gisik. Semua bentuklahan tersebut berpotensi banjir dan bahkan kerap banjir. Dalam penelitian ini, peneliti mengamati bahwa bentuklahan di daratan DKI Jakarta mempunyai keragaman, demikian juga pola spasial dan temporal karakteristik banjir aktual dan potensialnya. Bentuklahan di daratan Jakarta sebagian besar telah digunakan untuk lahan terbangun/permukiman dan fasilitasnya, sehingga mempengaruhi pola sebaran daerah sasaran banjirnya. Peneliti memastikan bahwa untuk saat ini belum ada peneliti lain yang melakukan dengan penelitian topik yang sama di DKI Jakarta. Pendekatan keruangan di bentuklahan dengan pendekatan survai pragmatik. Pendekatan survai pragmatik
13
adalah pendekatan survai yang memadukan data survai analitik dan data survai sintetik. Bentuklahan sebagai hasil dari survai analitik dipadukan dengan data penggunaan lahan sebagai hasil survai sintetik untuk mengkaji daerah sasaran banjir di DKI Jakarta. Daerah sasaran banjir dari sudut pandang geomorfologi terletak pada bentuklahan asal fluvial, fluvial - marin, dan marin (Verstappen,1983; Sutikno,1995; Oya,2001) masing-masing bentuklahan asal genetik tersebut dapat dipilah lebih rinci atas dasar konfigurasi relief, material penyusun dan proses geomorfik yang terjadi, yang masing-masing memiliki karakteristik banjir tertentu. Rincian dari bentuklahan asal fluvial dalam penelitian ini adalah dataran aluvial dan kipas aluvial, sedangkan bentuklahan asal marin yang menjadi sasaran banjir adalah ledok antara beting gisik dan dataran aluvial pantai merupakan bentuklahan fluvio-marin dimana materi penyusunnya berasal dari proses fluvial dan proses marin juga sebagai daerah sasaran banjir. Kerangka pikir yang dibangun dalam penelitian di DKI Jakarta atas dasar konsep iklim yakni curah hujan (tebal, intensitas dan persebaran),
konsep
bentuklahan, konsep daerah banjir, dan konsep penggunaan lahan. Iklim yang diwakili berupa curah hujan di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya pada bulan Februari 1996, 2002 dan 2007. Ada variasi curah hujan baik intensitas hujan dan tebal hujan harian, dasarian, bulanan dan tahunan, dan persebaran hujan yang jatuh dan mengguyur di bentuklahannya. Bentuklahan. asal (genetik)nya berupa fluvial, fluvial-marin dan marin. Bahwa ada klasifikasi bentuklahan yang menjadi daerah sasaran banjir beserta karakteristiknya (luasan, kedalaman dan lama) dan penggunaan lahan beserta karakteristiknya (jenis, luasan dan persebaran). Berdasarkan hujan, klasifikasi bentuklahan dan penggunaan lahan tersebut, dan didukung oleh data banjir aktual seri waktu dapat ditentukan pola spasial dan temporal daerah sasaran banjir di DKI Jakarta. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang di sajikan pada Tabel 1.2.
14
Tabel 1.2. Perbedaan Penelitian terdahulu dengan Penelitian sekarang Peneliti dan Tahun
Judul penelitian
Daerah penelitian
Tujuan penelitian
Data utama
Sumber data
Metode analisa
Hasil Penelitian
Oya., dan Shigeko Haruyama (1987)
Banjir dan Urbanisasi
Dataran rendah Tokyo dan sekitarnya
Curah hujan Fluvial Penggunaan lahan Penduduk
Primer Sekunder
Diskripsi kajian geomorfologi
Perbedaan karakteristik banjir mengikuti topografi; dan mengikuti pola penggunaan lahan perkotaan
Wikanti Asriningrum (1998)
Analisis Daerah Rentan Banjir
Jakarta dan Sekitarnya
Mengetahui perbedaan kenampakan banjir pada wilayah perkotaan dan sekitarnya di lembah sungai Naka Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bentuklahan dan penutup/penggunaa n lahan
Citra JERS-1 Topografi Geologi Distribusi Banjir
Primer Sekunder
Pengolahan citra digital berupa Maximum likelihood Interpretasi visual Metode SCS Metode Voskuil
Data radar JERS-1 dapat digunakan untuk analisis banjir; Bentuklahan rentan banjir yaitu rawa, delta, lagun, dataran aluvium bawah, dan dataran aluvium atas; Penutup/penggunaa n lahan rentan banjir yaitu permukiman
Lihat lanjutan Tabel 1.2. Perbedaan Penelitian terdahulu dengan Penelitian sekarang
15