BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Persebaran norma Hak Asasi Manusia pasca Perang Dunia II telah membawa
perubahan penting dalam sistem politik internasional. Setelah perang usai, kampanye anti-perbudakan, hak-hak buruh, hak-hak wanita dan anak begitu marak hingga mendorong perubahan sosial dan politik di berbagai belahan dunia. Fenomena ini membangkitkan kesadaran akan pentingnya melindungi hak-hak individual dan secara perlahan memperoleh legitimasi internasional. 1 Beberapa hak individu telah diakomodasi dan difasilitasi oleh lembaga HAM, organisasi internasional, lembaga non-pemerintah dan bahkan aktor-aktor individual. Di antara aktor-aktor yang memfasilitasi perlindungan hak individu, Perserikatan BangsaBangsa (PBB) berperan sebagai tulang punggung bagi rezim HAM internasional. PBB menjalankan fungsi untuk menyusun dan melegitimasi norma-norma HAM dan menuangkannya ke dalam bentuk perjanjian internasional. Salah satu instrumen HAM internasional yang telah disahkan PBB yaitu United Nations Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak. Konvensi yang disahkan PBB pada 20 November 1989 ini secara khusus mengatur tentang hak-hak anak, dengan pandangan bahwa anak-anak, dalam konteks tumbuh kembangnya, membutuhkan perlakuan khusus. KHA merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak, serta menetapkan hak-hak sosial, kesehatan, ekonomi, politik, dan budaya bagi anak-anak. Hingga saat ini, KHA telah diratifikasi
1
C. M. Wotipka, K. Tsutsui, Global Human Rights and State Sovereignty: State Ratification of Internastional Human Rights Treaties, 1965-2001, Sociological Forum, Vol.23, No.24, 2008, hal. 725.
1
oleh 191 dari 194 negara di dunia, menjadikannya sebagai instrumen HAM internasional yang paling banyak diratifikasi sepanjang sejarah. 2 Selang beberapa bulan setelah KHA disahkan oleh PBB, Indonesia memutuskan untuk menandatanganinya pada tanggal 26 Januari 1990 dan meratifikasinya pada tanggal 25 Agustus 1990.3 Pernyataan persetujuan Indonesia melalui penandatanganan dan ratifikasi merupakan langkah awal dari proses transformasi norma hukum HAM internasional yang telah terkodifikasi dalam KHA ke dalam level domestik. Dengan
meratifikasi
KHA,
Indonesia
memiliki
kewajiban
mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi. Artinya, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi, memenuhi, menghargai dan mendorong hak-hak anak sesuai dengan isi Konvensi. Demi mencapai tujuan-tujuan tersebut, Indonesia wajib mengambil langkah-langkah legislatif dan administratif untuk memastikan bahwa hak-hak anak terealisasi dengan baik. Meskipun Indonesia telah meratifikasi KHA lebih dari dua dekade silam, tingkat kepatuhan atau compliance Pemerintah Indonesia terhadap isi perjanjian masih patut untuk dipertanyakan. Kepatuhan Indonesia terhadap isi KHA penting untuk dibahas karena hingga saat tulisan ini dibuat, kondisi pemenuhan hak anak di Indonesia masih memprihatinkan.4 Pelanggaran hak anak kian terjadi, bahkan telah mencapai bentukbentuk pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi oleh akal sehat manusia (intolerable forms), seperti eksploitasi anak secara ekonomi dan seksual komersial, penelantaran
2
UNICEF, Protecting the World‟s Children: Impact of the Convention on the Rights of the Child in Diverse Legal System, Cambridge University Press, New York, 2007, hal. 76 3
Kabupaten/Kota Layak Anak, Laporan Indonesia Pelaksanaan KHA (online),
, diakses 28 Desember 2012. 4
Child Rights International Network, Convention on the Rights of Child (online), , diakses 28 Desember 2012.
2
terhadap anak dan bentuk pelanggaran hak anak lainnya yang dari segi kuantitas dan kualitas terus meningkat. Data sensus BPS Tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 237,641 juta penduduk Indonesia, sekitar 34,26 persen atau 81,4 juta jiwa adalah anak berusia 0-17 tahun. Di antara mereka masih banyak anak yang hidup di bawah garis kemiskinan, tinggal di daerah terpencil dan tidak memperoleh akses untuk memperoleh makanan, air bersih dan pelayanan kesehatan. Akibatnya, anak-anak kerap menderita gizi buruk dan berbagai penyakit bahkan UNICEF mencatat bahwa angka kematian balita di Indonesia mencapai 40 persen.5 Selain itu, setiap tahunnya ribuan anak menjadi korban penyiksaan seksual, fisik dan psikologis. Di Indonesia, pekerja anak dapat dengan mudah ditemukan di jalanan, di rumah-rumah, hingga ke pelosok negeri. Angka pernikahan di bawah umur mencatat bahwa 20 persen anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Persoalan terus berlanjut hingga pada pemenuhan hak yang paling mendasar yaitu hak untuk memperoleh identitas. Hak memperoleh identitas masih menjadi persoalan bagi anakanak Indonesia karena pembuatan akte kelahiran yang tidak gratis, sehingga orang tua yang berpenghasilan rendah tidak sanggup untuk membiayai pembuatan akte kelahiran bagi anaknya. 6 Data-data di atas
hanyalah puncak dari gunung es yang menggambarkan
persoalan anak-anak Indonesia. Oleh karena itulah penulis merasakan pentingnya untuk melakukan penelitian mengenai langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah Indonesia untuk memenuhi dan melindungi hak-hak anak, bagaimana tingkat kepatuhan Indonesia sebagai peratifikasi KHA, serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Indonesia terhadap instrumen HAM internasional tersebut.
5
Children‟s Rights Portal, Realizing Children‟s Rights , diakses 15 Januari 2013. 6 Ibid.
3
in
Indonesia
(online),
B.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, penulis merasakan pentingnya untuk melakukan
penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat kepatuhan Indonesia terhadap KHA sebagai sebuah rezim internasional? 2. Apa saja faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Indonesia terhadap KHA?
C.
KERANGKA TEORI Di tengah dinamika politik internasional, organisasi internasional memiliki
pengaruh penting dalam hal pembentukan prosedur, peraturan, dan pengaturan kelembagaan yang bertujuan untuk mendukung norma-norma internasional tertentu dan membimbing perilaku anggotanya. Menurut Karent Mingst, organisasi internasional memiliki fungsi untuk mengatur kerjasama, membantu menyelesaikan konflik, memfasilitasi pembentukan jaringan antarpemerintah, sebagai arena perundingan internasional, dan untuk menciptakan rezim internasional. 7 Salah satu fungsi organisasi internasional yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah fungsi untuk mencipakan rezim internasional. Menurut Stephen D. Krasner, yang dimaksud dengan rezim adalah “principle, norms, rules, and decisión-making procedures around which actor‟s expectation converge in a given issue area”. Krasner mendefinisikan rezim internasional sebagai serangkaian prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan yang menyatukankan ekspektasi dari aktor-aktor terhadap isu tertentu dalam hubungan internasional. Ekspektasi dan kepentingan negara yang berbeda-beda disatukan dalam sebuah rezim melalui proses negosiasi. Sebuah rezim dapat dilembagakan menjadi perjanjian internasional yang berperan sebagai subyek sekaligus sumber hukum internasional yang bersifat legally 7
K. Mingst, ”Essentials Of International Relations”,W.W Norton & Company, New York, 1998, hal. 259
4
binding. Kehadirannya dapat membentuk perilaku negara-negara yang telah terikat di dalamnya melalui aksesi, penandatanganan dan atau peratifikasian. Proses negosiasi dalam suatu rezim dijelaskan oleh William Zartman sebagai berikut: “Regime building is ongoing negotiation. Getting it done-the process describing how regime goals are achieved. Activities have another important attribute in common: they are all negotiation process, negotiations that occur on the domestic as well as the international level. Getting it done, includes all of the activities required to implement cooperative regime, be those regimes, designed to monitor world trade, promote european security protect the ozone layer, protect human rights, or notify other states in the ivent of the nuclear accidents. Our focus is not only in the instutional structure, substantvie goals, and achievements of the regimes discussed in this book but also on how the regimes get their work done.”8 Dari pernyataan Zartman di atas, sebuah rezim terbentuk dari proses negosiasi yang berlangsung secara terus menerus. Proses negosiasi ini berlangsung di level internasional dan di level domestik. Di level internasional, negosiasi dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan akhir dari suatu rezim. Sedangkan di level domestik, negosiasi dilakukan oleh masing-masing negara anggota untuk mengimplementasikan norma dan peraturan yang terdapat dalam rezim tersebut. Dengan demikian, pembentukan rezim tidak hanya berfokus pada struktur internasional yang bertujuan agar rezim berjalan efektif, namun juga mengenai compliance atau kepatuhan negara anggota terhadap suatu rezim. Dalam konteks HAM, Johan Galtung menyatakan bahwa HAM harus dilihat sebagai kontruksi kompleks yang mengkombinasikan elemen hukum nasional dan hukum internasional. HAM diimplementasikan sebagai tindakan yang mengikat Negara.9 Terkait dengan pernyataan tersebut, kepatuhan atau compliance merupakan elemen yang paling penting dalam rezim HAM internasional. Meskipun demikian, 8
W. Zartman, B. I. Spector, Post Agreement Negotiation and International Regime, Cambridge University Press, 1997. 9 N. Mardiniah, et. al., Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan, Jakarta, LP3ES, 2005
5
konsep compliance sendiri masih menjadi konsep yang masih sulit diverifikasi secara empiris.10 Namun secara umum, teori compliance menjelaskan adanya penyesuaian antara tingkah laku aktor dan aturan yang telah terspesifikasi dalam rezim.11 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes dalam On Compliance mengartikan kepatuhan atau compliance ketika negara yang terlibat dalam sebuah rezim internasional mampu mengontrol tindakannya untuk berusaha mematuhi kesepakatan yang telah disepakati dalam rezim tersebut.12 Beth Simmons mengutip argumen Oran Young yang menyatakan bahwa kepatuhan atau compliance dapat dilihat ketika subyek sebuah perjanjian atau rezim melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati. Sedangkan ketidakpatuhan atau non-compliance diindikasikan ketika negara anggota tidak mencerminkan tingkah laku yang sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian internasional. 13 Dalam perkembangannya, teori compliance sering dikaitkan dengan dua konsep utama rezim, yaitu implementasi dan efektivitas.14 Implementasi dapat dilihat dari langkah-langkah pemerintah yang dimulai dari peletakkan dasar-dasar komitmen rezim internasional di level domestik, pembentukan institusi dan enforcement terhadap norma dan peraturan rezim. Meskipun impelementasi adalah salah satu bentuk kepatuhan, level compliance yang tinggi tidak ditunjukan melalui implementasinya, melainkan melalui efektivitas yang lebih mengimprovisasi obyektivitas kebijakan suatu negara dalam mencapai tujuan mereka.15 Menurut Chayes, perilaku non-compliance cenderung muncul sebagai dampak dari ambiguitas norma, keterbatasan kapasitas negara, dan dimensi temporal. 10
A. Chayes, A.H. Chayes, On Compliance, International. Organization, vol. 47, no.2, 1993 p. 176 R. Fisher, Improving Compliance with International Law. New York, The University Press of Virginia, 1981 p.20 12 Chayes (1993) p. 190 13 B. A. Simmons, 'Compliance with Intemational Agreements', Annual Review of Political Science, vol. 1., 1998, pp. 79-94 Reviews. pp. 75-94. 14 Victory et al (1998) 15 . K. Keohane, Robert 0., 'International Relations and International Law: Two Optics', Harvard Journal of International Law, vol. 38, no.2, p.7 11
6
Ambiguitas dan kerancuan kalimat seringkali ditemukan dalam perjanjian dan peraturan hukum. Kalimat yang digunakan dalam isi perjanjian sering kali tidak menyediakan jawaban yang jelas atas pertanyaan secara spesifik. 16 Penyusun butir perjanjian tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Padahal seiring berjalannya waktu, kondisi ekonomi, teknologi, sains dan bahkan politik mengalami perubahan. Ambiguitas dan ketidakpastian ini menyebabkan persepsi negara menjadi kabur, sehingga negara sulit membedakan mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. 17 Dalam contoh ekstrim, negara bisa saja mencari celah untuk membatasi kewajibannya terhadap isi perjanjian. Sebagaimana Justice Oliver Wendell Holmes pernah mengatakan “The very meaning of a line in the law is that you intentionally may come as close to it as you can if you do not pass it.”18 Selain ambiguitas, perilaku non-compliance juga muncul karena keterbatasan kapasitas negara untuk melaksanakan isi perjanjian. Isu kapasitas dapat muncul ketika terdapat kewajiban afirmatif dalam perjanjian.19 Ketika negara mengambil kebijakan untuk
meratifikasi
sebuah
perjanjian
internasional,
konsekuensinya
adalah
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Langkah-langkah afirmatif yang dilakukan oleh negara tentunya memerlukan dukungan sumber daya yang seringkali melampaui batasan kemampuan negara. Negara bisa saja terlihat “patuh” ketika telah mengambil langkah-langkah formal legislatif dan administratif. Bagaimanapun, terlepas dari faktor political will, membangun aparat peraturan yang efektif di level domestik bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pertimbangan teknis dan ilmiah, kapasitas birokratis dan sumber dana untuk mengembangkan enforcement system di level domestik. Faktor ketiga adalah dimensi temporal. Perjanjian internasional disusun untuk mengelola permasalahan global dari waktu ke waktu, sedangkan perubahan di level domestik belum tentu dapat dicapai dalam waktu singkat. Beberapa perjanjian 16
A. Chayes. A. H. Chayes, “Living Under a Treaty Regime: Compliance, Interpretation and Adaptation, Washinton D. C., Pergamon-Basey, 1989 17 Chayes 1993 p. 189 18 Ibid p. 190-191 19 Ibid p. 193
7
menyiasatinya dengan menyediakan jangka waktu hingga para anggotanya mampu mematuhi isi perjanjian, salah satunya melalui strategi convention-protocol. Strategi ini dimulai dengan merumuskan konvensi yang berisi ketentuan-ketentuan lowobligational, kemudian selang beberapa tahun, tingkat regulasi ditingkatkan dengan menyusun protokol lanjutan.
D.
ARGUMEN UTAMA Sebagai sebuah organisasi internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memiliki peran untuk menciptakan rezim internasional yang berfungsi untuk membimbing perilaku negara anggotanya sesuai norma-norma internasional. Rezim ini melahirkan beberapa perjanjian internasional yang bersifat legally binding, salah satunya adalah KHA yang diadopsi PBB pada tahun 1989. Hingga saat ini, KHA telah diratifikasi oleh 191 dari 194 negara di dunia dan menjadi instrumen HAM internasional dengan jumlah partisipan terbesar yang pernah ada. Indonesia turut meratifikasi KHA pada tahun 1990 sehingga sampai saat tulisan ini dibuat, Indonesia telah meratifikasi KHA selama 23 tahun. Tingkat compliance Indonesia dilihat dari sejauh mana langkah-langkah yang diambil Pemerintah Indonesia sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam KHA dan seberapa efektif langkah-langkah tersebut diimplementasikan di level domestik. Namun sayangnya, langkah-langkah tersebut tidak disertai dengan kelanjutan implementasi yang efektif. Langkah-langkah prosedural memang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagai prasyarat dari isi Konvensi, namun hingga saat tulisan ini dibuat, kondisi pemenuhan hak-hak anak di Indonesia masih jauh dari optimal. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat compliance Indonesia terhadap KHA tergolong rendah. Dengan menggunakan teori compliance Chayes, penulis menganalisis faktorfaktor yang menyebabkan rendahnya tingkat compliance Indonesia terhadap KHA, yaitu faktor ambiguitas, kapasitas, dan dimensi temporal. Dari ketiga faktor di atas, penulis menarik asumsi sementara bahwa factor dominan yang menyebabkan rendahnya tingkat
8
compliance Indonesia adalah faktor ambiguitas dalam substansi perjanjian dan factor keterbatasan kapasitas negara dalam melaksanakan butir-butir perjanjian. Faktor ambiguitas dan keterbatasan kapasitas tersebut berimplikasi terhadap implementasi KHA di Indonesia berjalan tidak efektif.
E.
JANGKAUAN PENELITIAN Fokus penelitian dalam skripsi ini mencakup bahasan tentang perilaku dari
partisipan perjanjian internasional yakni Indonesia dalam KHA. Skripsi ini akan membahas langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak anak. Dengan meneliti berbagai upaya yang ditempuh Pemerintah Indonesia dan melihat situasi hak anak Indonesia, dapat diperoleh penjelasan mengenai tingkat kepatuhan atau compliance Indonesia dalam mengimplementasikan KHA sebagai sebuah instrumen HAM internasional. Setelah memperoleh penjelasan mengenai tingkat kepatuhan Indonesia, skripsi ini akan mengaplikasikan teori-teori untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Indonesia terhadap isi KHA.
F.
METODE PENELITIAN Ekspektasi yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hasil implementasi dan perkembangan terkini mengenai kondisi hak anak di Indonesia. Untuk memperoleh gambaran aktual, penulis melakukan metode field research. Kemudian penulis menggunakan metode explanatory research untuk menganalisis permasalahan dan menjelaskan korelasi beberapa variabel untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara atau in-depth interview dengan beberapa narasumber
9
kompeten yang menggeluti permasalahan hak anak, yakni Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Bapak Samsul Ridwan, Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ibu Maria Ulfah Anshor, Wakil Direktur Hak-Hak Kelompok Rentan, Direktorat HAM Kementerian Luar Negeri Ibu Grata Werdaningtyas, dan data-data dari UNICEF Jakarta. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui metode tinjauan pustaka dari berbagai sumber seperti buku, jurnal cetak, jurnal elektronik, laporan-laporan, serta surat kabar cetak dan elektronik. Untuk menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif jenis illustrative method, yaitu dengan mengaplikasikan teori terhadap kondisi aktual yang diperoleh penulis. 20 Dengan menggunakan metode analisis illustrative method, penulis menilai apakah hasil data yang diperoleh mendukung atau justru menyangkal teori yang digunakan dalam penelitian.
G.
SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab. Bab I berisi pendahuluan yang
mencakup latar belakang permasalahan yang akan diteliti. Selain itu, bab pertama juga akan menjelaskan kerangka berpikir penulis dalam menjelaskan rumusan masalah, kerangka teori, argumen utama, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi penjelasan secara deskriptif mengenai KHA, mulai dari latar belakang lahirnya Konvensi, isi Konvensi, prinsip-prinsip Konvensi, kewajiban negara, hingga mekanisme pelaporan dan mekanisme pemantauan. Bab III menganalisis tingkat kepatuhan Indonesia dalam melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam KHA. Bab ini juga menjelaskan situasi hak anak setelah Indonesia meratifikasi KHA, langkah-langkah apa saja yang telah ditempuh oleh
20
L. Wolfer, Real Research: Conducting and Evaluating Research in the Social Sciences, Pearson Education Inc, Boston, 2007, p. 489
10
Pemerintah Indonesia, serta seberapa efektif langkah-langkah tersebut dalam menjamin perlindungan hak anak di Indonesia. Bab IV berisi analisis yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Indonesia terhadap isi KHA berdasarkan teori compliance Chayes, yakni faktor ambiguitas, kapasitas, dan dimensi temporal. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah disampaikan pada keempat bab sebelumnya sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan di bagian awal penulisan.
11