BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemasaran merupakan faktor kunci untuk menjawab tantangan pasar yang semakin dinamis dan kompetitif. Aktivitas penjualan, akunting, distribusi, dan berbagai fungsi bisnis lain tidak akan berarti tanpa adanya permintaan (demand) yang memadai atas suatu produk atau jasa sehingga dapat menghasilkan profit. Oleh karena itu, kesuksesan sebuah brand sangat bergantung pada kemampuan pemasarannya 1. Pemasaran yang berkedudukan sebagai perantara antara produsen dan konsumen sangat bergantung pada proses komunikasi yang terjalin di antara keduanya. Melalui komunikasi pemasaran, perusahaan atau organisasi dapat menyebarkan informasi, mempengaruhi, dan mengingatkan pasar sasaran atas suatu brand atau produk agar bersedia menerima, membeli, dan setia kepada produk yang ditawarkan. Pada umumnya, brand yang telah mapan memiliki kemampuan pemasaran yang baik. Namun hal ini dapat menjadi tidak berlaku pada marketplace global. Brand yang dipasarkan di berbagai negara akan menghadapi tantangan dan masalah baru sehingga strategi gobal yang digunakan menjadi kurang relevan. Pada saat seperti ini, brand memiliki pilihan untuk menciptakan perubahan dalam strategi pemasaran atau bahkan menciptakan strategi yang sama sekali baru. Salah satu contoh kasus yang dapat diamati adalah pada komunikasi pemasaran Wal-Mart di Jerman. Setelah berhasil mengembangkan ekspansinya di Meksiko, Kanada dan Amerika Latin, Walmart mulai memasuki pasar Eropa melalui Jerman. Antara Jerman dan AS terdapat banyak perbedaan, mulai dari budaya masyarakatnya, peraturan hukum, keadaan ekonomi dan juga kondisi politiknya. Komunikasi pemasaran yang dilakukan Wal-Mart di Jerman kurang memperhatikan faktor-faktor tersebut sehingga tidak berjalan efektif2. 1 2
Marion Maguire. 2002. Brand Marketing Image: The Key to Success. Munich: GRIN Verlag. Hal 8. Alain Verbeke. 2013. International Business Strategy. Cambridge University Press. Hal 152.
1
Di Jerman misalnya, masyarakat tidak menyukai jika orang asing mencampuri mereka dalam urusan belanja, sehingga strategi Walmart yang disebut “Ten-Foot Rules” dimana pegawai akan mendatangi pelanggan untuk menawarkan bantuan tidak dapat diterapkan di Jerman. Orang Jerman juga terkesan cuek, sehingga menugaskan pegawai di pintu untuk mengucapkan salam justru akan membuat pelanggan merasa tidak nyaman. Di Indonesia sendiri semakin banyak brand asing yang menjajal peruntungannya, salah satunya adalah Snickers. Brand ini sudah cukup lama terjun ke marketplace Indonesia dalam kategori chocolate bar. Snickers adalah salah satu brand yang berada di bawah umbrella brand Mars. Snickers memiliki market share yang cukup tinggi di pasar Internasional. Pada tahun 2012, Snickers memiliki 1,8% market share global dengan angka penjualan 3.752 juta USD.3 Sebagai sebuah brand yang sudah sangat mapan di pasar internasional, Snickers memiliki beberapa masalah yang cukup krusial. Yang pertama adalah mengenai penyusunan ide komunikasi pemasaran pada pasar di negara tertentu. Dalam pemasarannya, Snickers memiliki sebuah brand idea global yang diterapkan di 40 pasar di negara yang berbeda. Mereka berusaha untuk mengangkat isu yang universal sehingga dapat diterima secara luas oleh masyarakat dunia4. Mereka menghadapi situasi yang sulit mengingat isu-isu ekonomi, politik, sosial, dan budaya di negara-negara tersebut berbeda satu sama lain. Ditambah lagi, dalam pasar sebuah negara tertentu, terdapat brand lokal yang telah mapan dan memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas komunikasi pemasaran dengan nuansa yang lebih lokal dan cekatan. Kebanyakan aktivitas komunikasi pemasaran akan memiliki tingkat kesuksesan yang lebih besar dengan mengadaptasi kondisi dan suasana lokal pada marketplace. Dengan kata lain, tidaklah ideal jika hanya sekedar menerapkan strategi komunikasi pemasaran global yang murni tanpa mempertimbangkan isu-isu lokal. Marketer perlu memahami bagaimana sebuah 3
Snickers Vs MnM. 2012. Diakses dari http://www.rappler.com/business/12897-snickers-vs-mamp-m-top-global-candy-bar-is pada tanggal 20 Juli 2014. 4 Philip Kotler. 2009. Marketing Management – European Edition. Hal 467.
2
brand dapat memenuhi kebutuhan konsumen sehingga aktivitas komunikasi pemasaran yang mereka lakukan dapat berhasil5. Menengok ke belakang, sejak beberapa tahun lalu komunikasi pemasaran yang dilakukan cenderung hanya mengaplikasikan ide global Snickers, seperti dapat dilihat dalam iklan televisi yang menerjemahkan iklan versi luar negeri. Hal seperti ini terkadang beresiko untuk dilakukan, pasalnya, terkadang kultur ataupun peraturan undang-undang periklanan yang berlaku di suatu negara berbeda dengan yang lain. Dampaknya, pada bulan Maret lalu, iklan Snickers versi sepak bola dilarang penayangannya oleh Badan Pengawas Periklanan karena telah melanggar dua hal, yaitu (1) transformasi gender dan (2) penggambaran produk snickers sebagai energy bar yang sejenis dengan dopping. Permasalahan yang kedua, Meski sudah memasarkan produknya sejak 2008 lalu, Snickers sampai saat ini masih belum mampu menembus pangsa pasar Indonesia dengan efektif. Menurut data Top Brand Index, kategori coklat batang hingga tahun 2014 masih didominasi berturut-turut oleh SilverQueen, Cadburry, Delfi, dan Toblerone selaku kompetitor.6 Hal ini tentunya sangat kontras dengan posisi Snickers sebagai market leader di pasar internasional. Snickers sebenarnya memiliki keunggulan dari segi positioning. Mereka merupakan produk chocolate bar pertama dan satu-satunya di Indonesia yang ditujukan untuk mengatasi rasa lapar. Sayangnya, kesadaran masyarakat akan positioning tersebut belum begitu kuat sehingga mereka masih belum dapat membedakan karakteristik Snickers dengan produk chocolate bar yang lain, inilah yang kemudian memunculkan permasalahan yang ketiga. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman tersebut, kini Snickers berusaha menggunakan kampanye pemasaran yang baru guna meningkatkan awareness target konsumen sekaligus meningkatkan sales dengan cara mengadopsi nilainilai dan budaya di Indonesia. Permasalahan inilah yang kemudian akan ditinjau lebih dalam oleh divisi planner di BBDO Indonesia untuk mengembangkan
5
Dumitrescu Luigi & Vinerean Simona. 2010. The Glocal Strategy of Global Brands. Hal 3. http://topbrand-award.com/top-brand-survey/survey-result/top_brand_index_2014. Diakses pada 20 Juli 2014. 6
3
strategi komunikasi pemasaran sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali brand Snickers di pasar Indonesia. Dalam menjalankan fungsinya, agensi periklanan pada umumnya membagi pekerjaannya ke dalam beberapa divisi. Pertama divisi account, yaitu divisi yang mengatur segala bentuk komunikasi terhadap klien, input dari klien inilah yang selanjutnya diteruskan kepada divisi lain untuk kemudian ditindaklanjuti. Selanjutnya adalah divisi kreatif, mereka bertugas untuk merancang dan menciptakan ide-ide kreatif yang berguna sebagai alat penyampai pesan (how to say) kepada calon konsumen. Kemudian saat ini muncul divisi baru yang disebut divisi planning, kedudukan mereka terdapat di antara divisi account dan kreatif. Di Indonesia sendiri divisi ini baru muncul pada tahun 2000-an dan masih belum diterapkan pada semua agensi periklanan. Selain divisi-divisi tersebut, terdapat juga supporting team seperti traffic dan finance. Divisi planning merupakan bagian dari agensi periklanan yang paling dekat dengan konsumen. Divisi ini terdiri dari Strategic Planner yang mencari cara untuk menentukan inti pesan pemasaran (what to say) yang kemudian akan dikemas lebih lanjut oleh divisi kreatif. Mereka juga bertanggungjawab untuk merumuskan strategi pemasaran yang efektif dan efisien. Pada agensi yang tidak memiliki divisi planning, fungsi tersebut digabungkan dalam divisi kreatif, sehingga kedua fungsi yang pada hakikatnya berbeda tersebut tidak bisa dijalankan secara efektif. Peneliti tertarik untuk membahas proses strategic planning pada agensi BBDO Indonesia dalam mengembangkan aktivitas komunikasi pemasaran untuk kampanye baru Snickers. Dimana brand ini bisa dikatakan sangat populer di pasar global namun tidak demikian halnya di Indonesia. Penulis merasa tertantang untuk mengetahui langkah-langkah apa saja yang ditempuh oleh BBDO Indonesia untuk mengomunikasikan positioning Snickers terhadap target konsumen. Di samping itu, penelitian mengenai strategic planning dalam bidang periklanan masih sangat terbatas. Penulis berharap bahwa penelitian ini mampu sedikit berkontribusi dalam menjawab kegelisahan para akademisi terkait dunia kerja profesional, khususnya pada bidang pemasaran dan periklanan.
4
B. Rumusan Masalah Saat ini penelitian di ranah periklanan cenderung hanya membahas mengenai proses kreatif, padahal di samping itu, dalam aktivitas komunikasi pemasaran terdapat proses lain yang fundamental dan signifikan, yaitu proses perancanaan strategis. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mendalami objek baru bidang periklanan, yaitu: Bagaimana proses strategic planning pada agensi periklanan BBDO Indonesia dalam mengembangkan strategi komunikasi pemasaran dalam upaya rebranding produk Snickers chocolate bar?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses strategic planning pada agensi periklanan BBDO Indonesia dalam pengembangan strategi komunikasi pemasaran sebagai upaya rebranding produk Snickers chocolate bar.
D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
ilmu
pengetahuan di bidang ilmu komunikasi terutama mengenai komunikasi pemasaran dan periklanan. 2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai peran dan sistem kerja Strategic planner pada agensi periklanan, khususnya bagi mahasiswa ilmu komunikasi.
E. Objek Penelitian Penelitian di ranah ilmu komunikasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu penelitian yang membahas mengenai audiens, pesan, serta pembuatan pesan. Penelitian ini akan membahas mengenai proses pembuatan pesan dan berfokus pada tataran perencanaan strategis di bidang periklanan. Objek dalam penelitian ini adalah aktivitas strategic planning dalam upaya memperkenalkan kembali
5
produk Snickers Chocolate Bar yang dilakukan oleh agensi periklanan BBDO Indonesia. Rebranding pada brand Snickers chocolate bar memerlukan proses strategic planning agar objektif yang ditentukan dapat tercapai. Aktivitas strategic planning terdiri dari beberapa tahap yang harus dilalui. Proses, catatan, dan output dari tahap-tahap tersebut menjadi sumber data yang akan digunakan untuk membantu menjelaskan cara yang ditempuh Snickers untuk melakukan rebranding di pasar Indonesia. Praktik strategic planning pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk menentukan usaha apa yang nantinya akan ditempuh agar objektif atau permintaan klien dapat terwujud. Strategic planning berfokus untuk menentukan isi pesan pemasaran (what to say) yang selanjutnya akan dikembangkan dan dieksekusi oleh tim kreatif. Dalam melakukan tugasnya, strategic planner selalu berhubungan dan bekerja bersama dengan klien, divisi account, dan divisi kreatif, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat menjadi begitu variatif dan kompleks.
F. Kerangka Pemikiran 1. Branding Brand adalah nama, istilah, tanda atau lambang dan kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari penjualnya serta membedakannya dari produk saingan. Kotler dan Keller mendefinisikan brand sebagai produk atau jasa yang dimensinya membedakan dengan produk atau jasa lainnya yang didesain untuk memenuhi kebutuhan yang sama; perbedaan tersebut bisa berupa fungsional, rasional, atau tangible yang berhubungan dengan performa produk atas brand; perbedaan tersebut juga dapat berupa simbolis, emosional, atau intangible yang berkaitan dengan representasi brand7.
7
Philip Kotler. 2009. Marketing Management – European Edition. Harlow: Pearson Prentice Hall Publishing. Hal 276.
6
Dalam kondisi pasar yang semakin kompetitif, makna sebuah brand menjadi sangat penting. Brand dapat menciptakan sebuah identitas dan pembeda di antara produk sejenis. Brand memiliki kemampuan untuk mempengaruhi cara pandang orang terhadap produk tertentu. Konsumen tidak semata-mata melihat produknya, namun juga bersamaan dengan melihat brand. Akitbatnya, persepsi mereka terhadap suatu produk dibentuk oleh brand. Brand yang memiliki makna psikologis dan simbolis yang istimewa dimata konsumen juga berpotensi untuk dipilih dibandingkan kompetitornya. Brand yang kuat lahir dari persepsi konsumen atas produk yang mempunyai keunggulan fungsi (functional brand), menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen (image brand). Persepsi konsumen ini akan tercipta melalui proses branding. Branding berlaku untuk segala jenis produk (barang, jasa, pengecer, bisnis online, orang, organisasi, tempat, dan gagasan) dengan menyertakan makna atau arti khusus menyangkut apa yang membedakannya dari produk-produk pesaing. Persepsi tersebut dapat dibentuk melalui pengalaman yang dirasakan oleh pelanggan atau melalui komunikasi pemasaran atau informasi yang lain.8 Pada dasarnya branding adalah penciptaan nilai tambah atas suatu produk. Nilai tambah baik yang berupa keunggulan fungsional maupun citra dan makna simbolis pada prinsipnya diciptakan dengan mengasosiasikan suatu produk dengan hal-hal yang dianggap paling menarik dan relevan bagi konsumen sasaran. Untuk membangun merek yang kuat, terdapat tiga elemen pokok yang harus dikelola dengan baik yaitu brand elements, program pemasaran, dan leveraging secondary association9. Brand elements terdiri dari nama, logo, simbol, slogan, karakter, kemasan, dan jingle. Indikator untuk mengevaluasi brand elements adalah kemudahan untuk diingat, mempunyai arti, mudah ditransfer ke produk kategori atau daerah yang berbeda, tidak mudah usang, dan dapat diproteksi secara legal. 8 9
Sofyan Assauri. 1999. Manajemen Produksi dan Operasi.Jakarta: LPFE:UI. Hal 17. David A. Aaker. 2000. How to Build Strong Brand. New York: Free Press. Hal 131.
7
Elemen kedua yaitu program pemasaran yang meliputi choosing the value, providing the value, dan communicating the value. Elemen ini dapat dicapai perusahaan setelah melakukan proses segmenting, targeting, dan positioning. Perusahaan menentukan pasar kemudian menentukan value apa yang ingin dikomunikasikan kepada pasar tersebut. Sedangkan elemen terakhir adalah bagaimana secondary association dapat mudah digunakan untuk melipatgandakan (leverage) merek agar lebih mudah diingat dan dimengerti oleh target pasarnya. Secondary association yang dapat digunakan adalah nama perusahaan atau parent brand, asal negara, saluran distribusi, merek lain, endorser atau event tertentu. Brand Elements Name Logo Slogan Jingle Packaging Character
memorability meaningfulness transferability adaptability protecability
Marketing Programs Choosing the value - Segmenting, targeting, positioning Providing the value - Product, price, distribution Communication the value - Promotion mix
Leveraging Secondary Association Company Country of Origin Other Brands Endorser Event Channel of Distribution
Brand Awareness -recall -recognition -purchase -consumption
Brand Associatiom -Strong: relevance & consistency -Favorable: desirable & deliverable -Unique: point-of-parity & point-ofdifference
memorability meaningfulness transferbility
Bagan 1.1. Brand elements
Inti dari aktivitas branding adalah pemberian karakter dari suatu brand. Untuk menciptakan karakter ini diperlukan adanya positioning. Positioning akan membantu brand dan konsumen untuk menciptakan nilai-nilai asosiatif sebagai jembatan yang nantinya mampu menghubungkan keduanya. Tujuan
8
dari rebranding adalah membentuk positioning tersebut, baik itu menciptakan dari awal ataupun melakukan pengubahan dari positioning telah ada. Menurut Kotler, positioning adalah suatu tindakan atau langkah-langkah dari produsen untuk mendesain citra perusahaan dan penawaran nilai dimana konsumen didalam suatu segmen tertentu mengerti dan menghargai apa yang dilakukan suatu segmen tertentu, mengerti dan menghargai apa yang dilakukan suatu perusahaan, dibandingkan dengan pesaingnya 10. Sedangkan menurut Craven, keputusan pemilihan target pasar merupakan titik vokal dari strategi pemasaran itu sendiri dan menjadi dasar dalam menentukan tujuan dan pengembangan strategi positioning11. Menurut Hermawan Kertajaya, adalah salah satu bagian dari elemen strategi pemasaran agar target pasar (konsumen) mempunyai persepsi yang dapat membedakan suatu produk dari produk para pesaing. Tanpa adanya perbedaan yang jelas, maka produk perusahaan akan dianggap sama dengan produk pesaing. Sedangkan definisi Positioning menurut Ries & Trout, “Positioning is the first body of thought to come to grips with the problems of communicating in on overcommunicated society”12. Positioning merupakan sesuatu yang Anda lakukan terhadap pikiran calon konsumen, yakni menempatkan produk itu pada pikiran calon konsumen melalui komunikasi. Positioning merupakan awal dari lahirnya suatu produk (reason for being), sehingga aktivitas positioning harus dilakukan pada tahapan awal sebelum suatu produk diluncurkan. Apabila suatu produk telah lahir, kemudian baru menetapkan positioning maka ruang lingkup dari positioning menjadi sangat terbatas. Mempertimbangkan pentingnya peran positioning pada keberhasilan suatu produk, maka terdapat tiga langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan positioning: 10
Philip Kotler. 1997. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control. Hal 262. 11 David W Craven. 1996. Pemasaran Strategis. Hal 255. 12 Al Ries dan Jack Trout. 2001. Positioning: The Batle of Your Mind. Hal 3.
9
a. Mengidentifikasi keunggulan–keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan. Untuk mendapatkan keunggulan bersaing (competitive advantage) maka perusahaan harus melakukan kegiatan diferensiasi atas penawaran
kepada konsumen yang berbeda dibandingkan dengan
penawaran dari pesaing. Diferensiasi dapat dilakukan melalui inovasi pada bauran pemasaran (marketing mix) seperti atribut produk, harga, saluran distribusi, dan juga aktivitas komunikasi pemasaran. b. Memilih salah satu atau lebih keunggulan kompetitif yang dimiliki untuk dikomunikasikan dan diposisikan dalam benak konsumen. Adapun persyaratan suatu keunggulan untuk dapat dipilih dan dikomunikasikan adalah: sesuatu yang penting bagi konsumen, sesuatu yang khas dan unik,
bernilai
superior,
mudah
dikomunikasikan,
sesuatu
yang
baru/pioner, terjangkau (daya beli), dapat memberikan keuntungan. c. Menciptakan diferensiasi yang relevan terhadap kompetitor. Konsumen harus menganggap brand yang ditawarkan sebagai sesuatu yang unik dan bermakna. Faktor pembeda tersebut dapat berasal fungsi dan kegunaan dari barang/jasa itu sendiri atau dari saluran, citra, atau filosofi. Beberapa persyaratan tersebut diatas perlu diperhatikan dalam usaha untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam positioining seperti berikut13: a. Under Positioning Suatu kondisi dimana konsumen tidak dapat menangkap ide yang hendak disampaikan oleh pemasar atas kelebihan atau keunikan dari brand atau produk. b. Over Positioning Suatu kondisi dimana konsumen memiliki persepsi yang terlalu sempit untuk atas citra atau nilai suatu brand. c. Confused Positioning
13
Amstrong dan Kotler. 2003. Dasar-dasar Manjemen Pemasaran. Edisi Sembilan. Jilid 1.Penerbit PT.Indeks. Jakarta. Hal: 81.
10
Suatu kondisi dimana konsumen bingung akan citra yang hendak diposisikan oleh suatu brand. Hal ini terjadi akibat perusahaan tidak konsisten dalam mengangkat suatu nilai untuk diposisikan atau karena perusahaan selalu berganti–ganti nilai yang diposisikan atas suatu brand. d. Doubtful Positioning Suatu kondisi dimana konsumen ragu atau tidak percaya dengan positioning dari sebuah brand. Hal ini terjadi karena kinerja dari merek yang kurang standar atau ”over promise under delivered”. Komunikasi pemasaran yang mengobral janji berlebihan tanpa adanya dukungan kinerja merek yang sesuai dengan apa yang telah dijanjikan. e. Memilih strategi positioning yang tepat melalui brand value proposition. Pengomunikasian
positioning suatu brand kepada konsumen jika
dilakukan dengan baik akan membawanya kepada sebuah hasil yang disebut brand awareness. Brand awareness dapat diartikan sebagai kesadaran konsumen terhadap keberadaan sebuah brand. Meskipun brand awareness dapat dikatakan hanya berada di tahapan menyadari keberadaan sebuah brnad, namun hal ini menjadi sangat penting karena brand awareness merupakan titik awal yang harus dicapai untuk mencapai tujuan akhir yaitu menciptakan hubungan yang baik antara brand dengan konsumen. Jika brand awareness tidak tercapai, maka brand tersebut akan mengalami kesulitan untuk hidup dalam benak dan hati konsumen.
11
Bagan 1.2. Brand Knowledge Pyramid Aaker menjelaskan bahwa brand awareness sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu brand merupakan bagian dari kategori produk tertentu14. Kemampuan tersebut dapat diciptakan dengan cara meningkatkan keakraban konsumen terhadap brand dengan memberikan terpaan secara berulang-ulang kepada konsumen agar brand tersebut disadari dan diakui konsumen di dalam pikiran mereka serta dengan menciptakan asosiasi yang kuat antara brand dengan kategori produk dan situasi penggunaan produk yang sesuai dengan brand tersebut. Menurut Aaker, setelah mencapai brand, tahap selanjutnya yang harus dicapai adalah brand image. Brand image didefinisikan sebagai persepsi konsumen mengenai suatu brand serta bagaimana mereka membentuk asosiasi-asosiasi terkait dengan brand tersebut di pikiran mereka. Asosiasi tersebut menjadi sumber informasi dalam ingatan dan mengandung makna brand bagi konsumen.
2. Rebranding Rebranding berasal dari kata re- dan branding. Re- berarti kembali dan branding berarti penciptaan brand image yang menghubungkan hati dan benak pelanggannnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa rebranding merupakan suatu upaya atau usaha yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga untuk mengubah total atau memperbarui sebuah brand yang telah ada agar menjadi lebih baik, dengan tidak mengabaikan tujuan awal perusahaan yang berorientasi profit. Dengan kata lain maka yang berubah adalah nilai – nilai dalam brand itu sendiri15. Rebranding sering juga diartikan sebagai reposisi, revitalisasi, atau meremajakan brand. Dalam beberapa kasus, bahkan sebuah brand benarbenar lahir kembali. Pada tahun 2003, Laurent Muzellec, melalui risetnya
14 15
Aaker, David A. 1991. Managing Brand Identity. London: Free Press. Hal 114. American Marketing Association, Dictionary; Resource Library http://j.mp/SVIWpp.
12
menyatakan bahwa praktik membangun ulang nama yang mewakili diferensiasi posisi dalam benak stakeholder dan membangun identitas spesifik dari kompetitor16. Jadi secara umum, rebranding menampilkan perubahan citra dari sebuah brand dalam benak stakeholders. Lebih lanjut Laurent Muzellec menyatakan bahwa rebranding dalam sebuah organisasi dapat berlangsung pada tingkat perusahaan, tingkat unit bisnis, dan tingkat produk, yang paling penting di antaranya adalah tingkat perusahaan yang mewakili identitas perusahaan secara keseluruhan. Rebranding telah menjadi perhatian baik bagi praktisi dan peneliti dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun peningkatan popularitas isu rebranding, Sylvie LaForet & John Saunders menyatakan bahwa tidak ada strategi branding yang seragam untuk digunakan oleh semua perusahaan untuk semua produk (barang dan jasa) karena perusahaan yang berbeda memiliki struktur yang berbeda dan tujuan17. Rebranding memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Jika tidak cermat, maka perusahaan akan cenderung mengalami kerugian besar sebagai akibat gagal melakukan rebranding. Perubahan brand akan menimbulkan ancaman seperti; kehilangan pilihan, pelanggan setia dan pangsa pasar. Namun strategi ini masih dipraktikkan secara luas oleh perusahaanperusahaan untuk memodifikasi sebuah brand dan semakin banyak contoh perusahaan yang meraih keuntungan setelah melakukan rebranding. Perusahaan melakukan rebranding karena terjadinya perubahan dari pihak ekternaldan/atau internal. Pada umumnya perusahaan memiliki siklus rebranding untuk bertahan dan mempersiapkan diri terhadap persaingan pasar. Perusahaan juga memanfaatkan rebranding sebagai alat pemasaran yang efektif untuk menyembunyikan malpraktik yang pernah terjadi. Dengan demikian menghilangkan konotasi negatif dapat berpotensi mempengaruhi keuntungan. 16
Laurent Muzellec & Mary Lambkin. 2003. Corporate Rebranding: Destroying, Transferring or Creating Brand Equity? 17 Sylvie LaForet & John Saunders. 1994. Managing Brand Portfolios: How the Leaders Do It. Journal of Advertising Research. Hal. 64-76
13
Muzellec menyatakan, “Corporate rebranding aims to modify the image (the perceive-self) and/or to reflect a change in the identity (the core-self) of a company”. Rebranding perusahaan memiliki tujuan melakukan perubahan citra dan/atau mengkomunikasikan perubahan identitas sebuah perusahaan18. Mereka kemudian memaparkan empat faktor yang menjadi penyebab adanya rebranding, antara lain: a. Perubahan struktur kepemilikan; Perubahan ini biasanya terjadi karena adanya merger dan akuisisi dari beberapa perusahaan menjadi satu perusahaan, dari kepemilikan pribadi menjadi publik. b. Perubahan strategi perusahaan; Adanya diversifikasi dan divestasi, serta internasionalisasi dan lokalisasi. c. Perubahan posisi kompetisi pasar; adanya citra perusahaan atau produk yang sudah kadaluarsa, erosi pada posisi pasar, dan masalah reputasi perusahaan/produk d. Perubahan lingkungan eksternal; Regulasi hukum, krisis atau bencana alam Perubahan struktur kepemilikan merupakan faktor yang paling sering muncul sebagai penyebab sebuah perusahan melakukan rebranding. Perubahan struktur kepemilikan ini seringkali diikuti dengan penciptaan identititas yang baru, dimana pemilik ingin memberikan penegasan pada halhal baru dalam suatu perusahaan atau organisasi. Perubahan strategi perusahaan berimplikasi pada aktivitas pemasaran yang nantinya akan dijalankan. Perubahan tersebut dapat terjadi dalam struktur hierarki sebuah brand ataupun pada nilai-nilai intrinsik sebuah brand. Misalnya dengan menciptakan suatu varian produk baru sebagai brand extension ataupun membentuk citra baru terhadap brand. Faktor pendorong rebranding yang ketiga adalah perubahan posisi kompetisi pasar. Perubahan ini dilakukan berdasarkan situasi yang dialami sebuah brand terkait dengan marketplace, meliputi brand lifecycle, brand 18
Laurent Muzellec, Manus Doogan, & Mary Lambkin. 2003. Corporate Rebranding: An Exploratory Review, Irish Marketing Review, 16 (2). Hal. 31-40.
14
awareness, dan brand. Berdasarkan situasi inilah akan dicari sebuah solusi yang mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Perubahan lingkungan eksternal berkaitan erat dengan kepentingan stakeholder eksternal seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok investor, liscensing partner dan lain sebagainya. Melalui rebranding, perusahaan dapat menyesuaikan brand dalam suatu lingkungan tertentu sehingga tidak mengalami konflik dengan pihak-pihak luar tersebut. Lomax dan Mador menjelaskan empat pilihan strategi rebranding yang dapat dilakukan terhadap sebuah brand19. Alternatif tersebut dibedakan berdasarkan perubahan nama serta atribut dan brand value, seperti dijelaskan dalam tabel berikut: Brand Name
Existing
Brand Value
New
Existing
New
Re-iterating:
Re-defining:
nama dan nilai brand
nilai (value) atau atribut
tidak diubah, karena
diubah menyesuaikan
masih sesuai dan
dengan kondisi
relevan terhadap
lingkungan internal
kebutuhan pelanggan.
ataupun eksternal.
Re-structuring:
Re-starting:
nilai fundamental
mengubah nilai dan
tidak berubah namun
nama dengan tujuan
nama baru diperlukan
untuk mengatasi
untuk
masalah yang
mengkomunikasikan
fundamental.
perubahan struktur kepemilikan atau mengubah persepsi 19
Lomax dan Mador. Brand Management Vol. 14, Nos. 1/2, 82–95 September – November 2006. Hal 90.
15
eksternal. Tabel 1.1. Rebranding model Agar dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai, terkadang brand tidak terpaku ke dalam empat kuadran tersebut. Ketika perusahaan pada awalnya memilih satu pilihan, perubahan mungkin terjadi seiring proses yang berjalan
3. Strategic planning Strategic planning adalah sebuah aktivitas yang digunakan suatu perusahaan atau organisasi untuk membantu memusatkan sumber daya yang dimiliki, meyakinkan anggota organisasi bahwa mereka bekerja untuk tujuan yang sama, untuk menerka dan menyesuaikan arah organisasi sebagai bentuk respon terhadap lingkungan yang sebuah berubah. Secara sederhana, strategic planning merupakan usaha yang terencana untuk menghasilkan keputusan dan kegiatan yang akan memandu organisasi dalam menjalankan sebuah tujuan.20 Proses
tersebut
berada
pada
tataran
strategis
yang mencakup
perencanaaan dalam merespon keadaan dan situasi yang dihadapi organisasi. Stragis berarti memperjelas sebuah tujuan, menyadari sumber daya yang dimiliki, serta mengintegrasikan keduanya untuk mampu bertahan di lingkungan yang dinamis.
Strategic planning dapat dilanjutkan
dengan
membentuk rencana taktis yang berfokus pada objektif-objektif yang lebih sempit, sesuai dengan big picture yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam sebuah agensi periklanan, strategic planner mengeksekusi riset dan menginterpretasikan hasilnya untuk senantiasa bersentuhan dengan pasar dan mengerti apa yang diinginkan oleh konsumen. Divisi planning seringkali memiliki data-data demografis dan sosial serta dapat mengakses konsumen secara langsung melalui riset kuantitatif maupun kualitatif. Riset kuantitatif berkaitan erat dengan data numerik, misalnya menanyai konsumen dalam jumlah besar mengenai suatu produk. Dengan cara ini, agensi dapat 20
John M. Bryson. 2011. Strategic Planning in Public and Nonprofit Organizations. Hal 245.
16
memetakan pandangan konsumen secara objektif dan memberikan indikasi statistik mengenai peluang kesuksesan atau kegagalan produk di masa depan. Sementara kualitatif riset berada pada level yang lebih sempit namun lebih mendalam, misalnya berdiskusi dengan beberapa orang konsumen mengenai konsep baru yang dimiliki sebuah brand untuk dapat menangkap insight yang mereka miliki. Menurut Percy (2008), aktivitas strategic planning dalam komunikasi pemasara terpadu meliputi lima tahap21: a. Me-review rencana pemasaran. b. Mengidentifikasi dan memilih target audiens yang tepat. c. Menentukan bagaimana target audiens menetapkan keputusan produk dan brand. d. Menentukan bagaimana brand tersebut akan diposisikan melalui komunikasi pemasaran dan memanfaatkan peluang yang dapat mendukung positioning tersebut. e. Mengatur tujuan komunikasi. f. Mengidentifikasi pilihan media yang sejalan dengan tujuan komunikasi untuk mengoptimalkan pemrosesan dan penyampaian pesan. Strategic planner memulai dengan menimbang keuntungan dan kerugian dari banyak pilihan promosi dan periklanan untuk mencapai tujuan komunikasi. Periklanan dan promosi tertentu memiliki kekuatannya masingmasing, inilah yang harus disesuaikan dengan langkah-langkah komunikasi pemasaran yang akan ditempuh. Pada proses strategic planning, segala hal akan dipertimbangkan sehingga akan dapat ditentukan pilihan terbaik yang sesuai dengan budget dan tujuan.
G. Kerangka Konsep Snickers merupakan sebuah brand yang terbilang sukses di pasar internasional. Namun, di Indonesia, Snickers mengalami persaingan yang berat 21
Larry Percy. 2008. Strategic Integrated Marketing Communication. Burlington: Elsevier Inc. Hal 26.
17
dengan kompetitior yang lebih mapan dan sudah menempati pasar selama bertahun-tahun. Snickers sebenarnya memiliki positioning yang membedakannya dengan produk-produk sejenis lainnya, yaitu sebagai chocolate bar yang mampu mengatasi rasa lapar. Sayangnya, target konsumen yang disasar kurang mampu mengidentifikasi positioning tersebut. Melihat hal ini, Snickers berusaha untuk memperkenalkan kembali brand mereka (re-introduction) melalui aktivitas rebranding. Aktivitas rebranding ini akan berpengaruh pada positioning yang telah ada sebelumnya, artinya Snickers akan memiliki positioning yang benarbenar baru atau mengubah atau menguatkan positioning yang telah ada sebelumnya. Positioning tersebut kemudian akan disampaikan kepada target konsumen melalui aktivitas komunikasi pemasaran yang akan menggunakan iklan sebagai media touchpoint utama. Aktivitas komunikasi pemasaran diawali dengan kegiatan perencanaan strategis yang dilakukan oleh strategic planner. Strategic planning diperlukan untuk menjamin agar target atau permintaan client terkait komunikasi pemasaran dapat tercapai. Dalam penelitian ini, praktik strategic planning akan dipaparkan dengan pokok-pokok sebagai berikut: market review, riset konsumen, perumusan big idea, serta pemilihan media periklanan. Praktik strategic planning dalam upaya rebranding yang dilakukan Snickers untuk mengkomunikasikan kembali positioning produk dapat dikatakan cukup kompleks, sehingga dalam memaparkan proses tersebut secara komprehensif, perlu digunakan sebuah konsep yang menunjang. Salah satu model komunikasi yang dipilih oleh Penulis untuk menganalisis praktik strategic planning di BBDO Indonesia adalah Barbara Stern Model on Advertising Communication Process. Communications scholar Barbara Stern tidak melihat advertising sebagai bentuk informal speech, melainkan sebagai composed commercial text. Stern mengungkapkan bahwa dalam advertising, elemen
18
source, sender dan receiver masing-masing mempunyai berbagai dimensi baik secara nyata maupun virtual22. Barbara Stern memandang proses periklanan sebagai sebuah bentuk komunikasi yang terstruktur dibanding spontan. Model yang dibuatnya merupakan model komunikasi yang lebih maju dan secara spesifik teraplikasi dalam proses periklanan. Model ini dapat diterapkan dalam proses strategic planning mengingat proses komunikasi yang terjadi paling kompleks dan intens dibandingkan proses-proses lain dalam periklanan. Di samping itu, karakteristik periklanan sebagai proses komunikasi yang terstruktur terlihat paling jelas dalam strategic planning, dibandingkan dengan proses account handling atau kreatif yang dilakukan oleh divisinya masing-masing. Sehingga dari berbagai macam proses dalam bidang periklanan, model Barbara Stern paling relevan jika digunakan untuk menjelaskan praktik strategic planning.
Bagan 1.3 Barbara Stern Model on Advertising Communication Process
22
William F. Arens, Michael F. Weigold dan Christian Arens. Contemporary Advertising. New York: McGraw-Hill. Hal 10.
19
Dalam dunia advertising, source disini dibagi menjadi tiga dimensi yaitu sponsor, author dan persona. Sponsor disini ialah pihak yang bertanggung jawab terhadap komunikasi dan memiliki pesan yang ingin dikomunikasikan pada konsumen aktual. Tetapi sponsor biasanya tidak memproduksi pesan tersebut, melainkan advertising agency atau spesialis lainnya. Author disini antara lain copywriter, art director, maupun bagian dari tim kreatif dalam suatu agency. Author biasanya tidak diketahui oleh masyarakat umum. Dalam waktu bersamaan, persona ialah real atau imaginary spokesperson yang meminjamkan suara atau nada ke dalam iklan. Persona mewakili sponsor, tetapi dibuat hanya untuk kepentingan iklan oleh author. Pesan yang dikomunikasikan dalam kegiatan advertising juga dapat berupa tiga dimensi, antara lain autobiographical (“I” tell a story about myself to “you‟), narrative (third-person persona tells a story about others) dan drama (characters act out events directly). Hal yang harus diperhatikan dalam menentukan bagaimana pesan akan disampaikan ialah emosi, sikap dan motif yang mendorong customer tertentu yang ingin ditargetkan. Kata dan visual disesuaikan dengan medium yang dipilih untuk menyampaikan pesan. Pembahasan mengenai pesan akan menggunakan sebagai konsep tambahan. Narrative Paradigm
Narrative Paradigm
adalah sebuah riset yang
dicetuskan oleh Walter Fisher. Teori ini mempromosikan ide bahwa manusia ialah pencerita sejati (storytellers). Manusia sangat senang bercerita dan mendengarkan cerita, bahkan sangat mudah dipengaruhi oleh sesuatu dengan alur cerita yang menyenangkan. Fisher seperti yang dikutip oleh West & Turner mengatakan adanya perubahan paradigma mengenai bagaimana seseorang memahami dunia sekitarnya dan memberikan makna23. Narrative logic, or the logic of good reasons, suggests that people judge the credibility of the speakers by whether their stories hang together (have coherence) and ring true (have fidelity)
23
Richard West dan Lynn H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory, 4th ed. New York: McGraw Hill. Hal 328.
20
Berdasarkan penjelasan di atas, Narrative Paradigm membantu kita untuk memahami bagaimana sesorang dapat mempengaruhi orang lain dengan menyusun narasi yang baik. Suatu narasi dapat dikatakan baik, rasional serta lebih mudahg dipercaya apabila keseluruhan narasi tersebut memiliki unsur rationality, coherency, dan logic for good reason. Rationality berarti sebuah pesan dapat diterima dengan akal sehat. Coherency merupakan kesinambungan dan keterkaitan dalam pesan atau antara pesan dengan penerima pesan. Sedangkan logic for good reason berarti suatu narasi memiliki kredibilitas sehingga dapat lebih dipercaya. Receiver iklan juga terbagi menjadi beberapa dimensi antara lain implied (ditujukan oleh persona, tidak nyata, diimajinasikan oleh author untuk menjadi konsumen ideal, sebagai bagian dari drama suatu iklan), sponsorial (decision maker dalam organisasi sponsor yang memutuskan apakah suatu iklan layak tayang atau tidak) dan actual consumers (penerima dalam komunikasi oral, target audience suatu iklan). Konsumen aktual tidak selalu berpikir atau bertindak seperti implied consumer atau sponsorial consumer. Feedback melengkap siklus komunikasi dimana pesan dapat dipastikan diterima oleh target yang ingin dituju. Dalam advertising, feedback dapat 16 berupa banyak hal seperti penukaran kupon, kunjungan situs resmi, pertanyaan lewat telepon, kunjungan ke toko, peningkatan penjualan, respon terhadap survey, dan lain lain. Di jaman modern seperti ini bahkan audiens bersifat aktif dan mampu memilih informasi apa yang mereka terima akan suatu produk tertentu.
21
H. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah jenis penelitian terhadap suatu gambaran yang mendetail mengenai latar belakang serta sifat-sifat khas dari suatu kasus ataupun peristiwa. Sedangkan, kasus atau peristiwa yang menjadi objek penelitian menurut Yin merupakan fenomena kontemporer di kehidupan nyata, dimana peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki24. Yin juga memberikan ciri – ciri studi kasus yang dapat membedakan dengan metode yang lain. Sebuah studi kasus merupakan sebuah fenomena empiris yang: 1. Menyelidiki fenomena kontemporer yang muncul pada kehidupan nyata 2. Batasan – batasan antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas 3. Berbagai
macam
sumber
bukti
digunakan,
seperti
dokumen,
artefak,wawancara, observasi langsung maupun partisipan, dan rekaman tertulis. Hal ini merupakan kekuatan unik yang dimiliki oleh studi kasus. Pemilihan metode studi kasus dirasa tepat dalam penelitian ini karena masalah yang dihadapi oleh brand Snickers merupakan fenomena kontemporer yang saat ini tengah berlangsung. Snickers merupakan brand yang saat ini sedang berusaha untuk bangkit kembali setelah selama beberapa tahun gagal mencapai puncak kesuksesan. Dalam dunia pemasaran sendiri kasus mereka tergolong unik, di mana terdapat ketimpangan yang cukup mencolok antara hasil penjualan dalam skala global dan lokal. Terlebih lagi mereka sebenarnya memiliki positioning yang potensial untuk dikomunikasikan ke target konsumen. Selain itu praktik strategic planning merupakan aktivitas yang kompleks dan melalui beberapa tahapan sehingga sumber yang digunakan akan terdiri dari berbagai macam data. Objek yang menjadi fokus penelitian ini adalah strategi komunikasi pemasaran Snickers oleh BBDO Indonesia sebagai bentuk upaya untuk re24
Rober K. Yin. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persanda. Hal 46.
22
introducing produk. Dalam penelitian ini peneliti akan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari divisi Planning BBDO Indonesia. Kemudian setelah data dikumpulkan, selanjutnya peneliti akan menyusun dan menganalisis data-data tersebut 1. Jenis dan sumber data Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer digunakan sebagai fokus utama penelitian ini, sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung Untuk memahami masalah yang akan diteliti. Adapun sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu: a. data primer Data primer dalam penelitian ini meliputi pemikiran dan tindakan yang diambil oleh BBDO Indonesia. Data primer yang akan diperoleh penelitian ini mencakup data-data tentang gambaran proses perencanaan strategi komunikasi pemasaran, pesan yang ingin disampaikan, pembinaan relasi dengan pihak pendukung, dokumen hasil evaluasi, dan lain-lain. b. data sekunder Data sekunder dalam penlitian ini meliputi teori-teori dan konsep yang diperoleh melalui literature-literatur seperti pemikiran beberapa ahli, pakar komunikasi, jurnal, kajian ilmiah, artikel di media cetak maupun elektronik serta arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian. Data ini mencakup bahanbahan tentang komunikasi pemasaran, riset pemasaran dan periklanan, serta perencanaan strategi periklanan. Penelitian ini sebagian besar menggunakan dan fokus pada data primer. Data sekunder dalam penelitian ini akan digunakan Untuk memperkuat datadata yang disajikan dalam data primer. 2. Lokasi dan waktu penelitian Lokasi : BBDO Indonesia Hero Building 3rd Floor, Gatot Subroto 177A, Kav 64, Jakarta Waktu : Juli-September 2014
23
Waktu penelitian disesuaikan dengan jadwal kerja yang dimiliki oleh BBDO Indonesia. Dalam kampanye ”you’re not you when you’re hungry”, praktik strategic planning dilakukan secara intensif pada periode Juni hingga Agustus 2014. Peneliti sendiri terlibat dalam praktik strategic planning tersebut sebagai staff magang pada periode Februari-April 2014. 3. Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode, antara lain: a. observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh data mengenai tindakan yang akan digunakan sebagai sumber data sekunder penelitian yang berasal dari aktivitas yang dijalankan oleh divisi Planning BBDO Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan observasi partisipan sebagai strategic planner yang ikut terlibat langsung dalam praktik strategic planning. b. wawancara mendalam Wawancara merupakan sumber informasi yang esensial bagi penelitian deskriptif. Wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai opini yang digunakan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini. Opini berasal dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses perancangan strategi komunikasi brand Snickers. Peneliti akan menggunakan bentuk wawancara open-ended yaitu dengan cara bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mereka tentang peristiwa yang ada. Selain itu, wawancara
akan
diselingi
dengan
percakapan
non-formal
untuk
memperoleh informasi baru yang mungkin tidak diprediksi oleh peneliti. Wawancara secara mendalam (indepth interview) dan tertutup dengan interview guide sebagai dasar permohonan data dan informasi yang dibutuhkan penulis terhadap perusahaan. Untuk mendapatka data primer, peneliti akan mengumpulkan fakta dan opini dari wawancara mendalam dengan responden yang berperan sebagai informan, yakni strategic planner
24
BBDO
Indonesia,
serta
pihak-pihak
lain
yang
terkait
yang
direkomendasikan oleh informan sebelumnya (snowball sampling). Fakta dan opini yang akan dikumpulkan mengenai tataran strategic planning untuk kegiatan kampanye pemasaran brand Snckers, yang meliputi proses pengambilan data yang digunakan untuk melakukan analisis pasar dan konsumen, strategi promosi yang pernah dijalankan sebelumnya, dan cara mengukur keberhasilan program. c. studi dokumen Pengumpulan dokumen bertujuan untuk memperoleh data primer dan sekunder yang berkaitan dengan penelitian. Sumber jenis ini untuk memperoleh data primer yang mencakup agenda, laporan-laporan peristiwa tertulis, dokumen administratif, dokumen internal, dan dokumen hasil evaluasi. Sedangkan untuk memperoleh data sekunder akan dikumpulkan di antaranya berupa dokumen dari referensi yang berkenaan dengan teori-teori, pemikiran para ahli dan pakar komunikasi, kajian ilmiah, arsip, dokumen, artikel (media cetak dan internet) tentang strategic planning, komunikasi pemasaran,
dan
topik
lainnya
yang berkaitan
baik
yang sudah
dipublikasikan maupun yang belum. 4. Teknik analisis data Analisis data dilakukan dengan mengamati, mengkategorikan, menyusun, dan menggabungkan data – data yang telah dikumpulkan. Strategi umum pertama adalah berdasar pada proposisi teoritis yang akan menuntun studi kasus, yang direfleksikan melalui sejumlah pertanyaan riset, tinjauan pustaka dan pemahaman baru. Proposisi ini akan membentuk rencana pengumpulan data, sehingga memberikan prioritas pada strategi analisis yang berkaitan. Selain itu proposisi ini akan membantu keseluruhan studi kasus dengan mendefinisikan penjelasan yang diamati. Strategi khusus dalam
25
teknik analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan model Miles dan Huberman25. Teknik analisis tipe ini terdiri dari komponen berikut, yaitu: a. reduksi data Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan,dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan –catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bagian dari analisis data yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan – kesimpulan finalnya dapat ditarik. Reduksi data meliputi meringkas data, mengkode, menelusuri tema, dan membuat gugus – gugus. Cara reduksi data sendiri adalah menyeleksi data dengan ketat, ringkasan dan uraian singkat dari data dan menggolongkan data ke dalam pola yang lebih luas. Mengenai reduksi data yang dilakukan peneliti untuk penelitian strategic produk Snickers chocolate bar pada mulanya peneliti menuliskan segala data yang diperoleh dari studi dokumen dan wawancara mendalam dengan para informan yang telah ditentukan. Karena peneliti menggunakan studi dokumen dan wawancara mendalam, maka data yang dikumpulkan cukup banyak dan beragam. Untuk itu langkah selanjutnya yang akan dilakukan peneliti adalah dengan mereduksi data-data tersebut yaitu dengan meringkas seluruh data-data dari hasil studi dokumen dan wawancara tersebut, mengorganisasikannya dan membuang yang tidak perlu. Sehingga terbentuk suatu pola data penelitian yang terarah dan sesuai dengan teori yang memang digunakan dalam penelitian ini seperti teori strategic planning serta rebranding. Dari sini peneliti dapat merancang kesimpulan untuk final penelitian. b. penyajian data
25
Mathew B. Miles & Michael Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis: A. Sourcebook of New Method. Hal 29.
26
Penyajian data adalah alur penting kedua dari kegiatan analisis. Penyaian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk yang disederhanakan atau terseleksi yang mudah dipahami. Bentuk penyajian data kualitatif adalah:
Teks naratif yang berupa cerita lapangan
Matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih sehingga memudahkan melihat apa yang sedang terjadi apakah kesimpulan sudah tepat atau perlu mengadakan analisis kembali.
c. penarikan kesimpulan Setelah data – data dari observasi dan wawancara dengan para informan dari strategic planner BBDO Indonesia telah direduksi dan membentuk suatu data penelitian yang terarah, berpola, serta sesuai dengan teori yang dipakai maka selanjutnya menyajikan data tersebut secara terpadu dan mudah dibaca serta mudah dimengerti mengenai praktik strategic planning untuk produk Snickers chocolate bar. Setelah itu baru dilakukan evaluasi terhadap kesimpulan yang telah ditarik pada tahap reduksi data dengan cara menganalisisnya kembali.
27