1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hubungan sosial antar laki-laki dan perempuan mempunyai banyak perspektif. Pandangan yang berbeda dalam melihat relasi-sosial kedua identitas gender tadi, terkadang melahirkan “konflik”. Dalam dunia akademik, konflik itu bisa memunculkan berbagai pandangan baru, yang akan malahirkan teori-teori gender1, hal ini telah lebih dahulu diwacanakan oleh feminisme dalam konteks masa tertentu. Inilah yang menjadi perhatian para ilmuan, mereka tidak pernah berhenti pada satu teori dalam melihat realitas - apalagi realitas hubungan dua identitas tadi mengalami transformasi yang kuat, dari sekedar kajian antropologis-budaya, hingga kajian sosio-politik, bahkan kajian lingkungan (ekologi) dan filsafat. Konstruksi sosial-masyarakat dibentuk oleh banyak unsur yang sangat kompleks, bila sebuah kontruksi sosial hanya dipandang dalam satu perspektif kajian jenis kelamin saja, maka akan menimbulkan banyak persoalan, bukan saja soal kesenjangan dalam kajian gender tersebut,
tapi juga akan menimbulkan
patologi-sosial yang panjang, dan menjadi persoalan besar untuk dipertanyakan,
1
Gender merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada aspek sosiokultural. Gender merupakan atribut dan perilaku yang terbentuk melalui proses sosial sehingga, istilah ini lebih merujuk pada bangunan kultural yang menimbulkan masalah adalah pada terkait perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada kepada perempuan dan laku-laki. ketika konstruksi sosial itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena diangap kodrati dan alamiah, jadilah ideologi gender. Elly. M. Setiadi (ed), Pengantar Sosiologi Pemahaman fakta dan Gejala Permasalahan sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta : Kencana, 2011), hal. 73.
2
seperti persepsi ketidakadilan, ketimpangan, marginalisasi, sub-ordinasi, stereotipe dan beban gender - terutama bagi “perempuan” yang berada di ruang privat maupun ruang sosial. Persoalan relasi-gender dengan segala implikasi yang ditimbulkannya telah menjadi bagian dari isu-isu global. Bagi kelompok masyarakat tertentu, persoalan relasi-gender, dapat membuat dunia menjadi damai dan konflik. Hal inilah yang menempatkan persoalan relasi-gender memiliki sensitifitas tinggi, mūlai dari kuasa negara sampai kuasa keilmuan – yang kritis terhadap relasi gender. Tak terkecuali, kalangan feminis di Barat maupun di dunia Muslim.2 Menurut “kaum feminis”, fenomena kesenjangan diakibatkan oleh pandangan relasi-gender yang tidak tepat, sehingga menciptakan dis-harmoni sosial, bahkan telah masuk dalam wilayah de-humanisasi. Karena itu, kaum feminis protes keras melawan hegemoni pandangan masyarakat yang tidak sejalan dengan pandangan feminisme. Kaum feminis, tidak saja melakukan gerakan praksis untuk melawan tekanan masyarakat yang menyebabkan terjadinya tekanan psikologis bagi kaum perempuan. Pandangan dan argumentasi yang kontroversial pun muncul dari para pemikir dan ideolog feminis, untuk melawan pandangan konvensional. Misalnya, pandangan, konsep, term tentang “pembebasan”, “keadilan”, “kesetaraan” telah menjadi isu sentral yang direbut oleh para feminisme untuk dilakukan re-konstruksi. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan hak-hak individu dan sosial perempuan agar mendapatkan keadilan, sebagaimana hak manusia secara universal. Gerakan feminisme adalah reaksi terhadap dinamika perubahan sistem sosial dan sistem nilai yang hidup dan tumbuh pada setiap entitas masyarakat. Sesuai dengan sunnatūllah - hukum perubahan, hal ini tidak pernah akan berhenti pada satu
2
Gerakan feminisme di Barat muncul tiga gelombang. Gelombang pertama Th 1800, Gelombang kedua muncul pada tahun 1960, gelombang ketiga adalah pemikiran feminis yang dipengaruhi oleh posmodernisme. Lihat Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, YJP- 2003), hal. 85-151. Selanjutnya disebut: Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis.
3
titik tertentu, sepanjang manusia hidup dan kehidupan manusia masih ada. Seiring dengan perubahan sosial yang relatif cepat, maka gerakan feminis-pun mengalami penguatan yang signifikan, sebagai pengimbang dari “status-quo” (mind-streem) yang hidup di masyarakat. Berdasarkan catatan sejarah gerakan kaum feminisme 1960-1970, pergerakan feminis mulai eksis, bahkan mulai diperhitungkan keberadaan-nya, dan kini gerakan feminisme semakin menarik perhatian publik, para pemerhati sosial, ilmuan sosial (sosiolog) lebih spesifik memberikan respon atas nama otoritas keilmuan. Pemikiran yang semula asing, kini sudah mulai menjadi pembicaraan masyarakat umum. Masyarakat mulai terbuka untuk bicara soal-soal domestik kaum perempuan, seperti polemik hak cuti bagi wanita - mendapat haid atau melahirkan, hak perempuan ketika harus melakukan aborsi, sampai hak perempuan dalam politik, hak ekonomi untuk meningkatkan kesejahteran dan lain lain.3 Simone De Beauvoir mencatat bahwa pergerakan perempuan paling awal dimūlai sejak abad ke 15, dimana Christine De Pilzan menulis soal ketidak-adilan yang dialami perempuan.4 Pergerakan kaum feminis ini dianggap signifikan pada 1800-an, dengan variasi pemikiran dan agenda perjuangan yang beragam - feminisme menjadi pergerakan sosial politik yang paling lama bertahan menurut De Beauvoir. 5 Gerakan feminis-pun telah mendorong badan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk menyetujui hasil konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tahun 1979, dan selanjutnya menjadi acuan utama atas hak asasi perempuan (HAP). 6 Konvensi ini telah diratifikasi oleh 3
Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,... , hal. 16 Miriam Sceheiner (ed); Feminism: The essential Historical Writings (New York: Vintage Books, 1972), hal. Xii. 5 Pergerakan awal adalah perjuangan hak-hak politik (hak pilih) tampil beberapa tokoh feminis seperti; Sussan B. Anthony, Elizabeth cady Stanton, keduanya banyak menulis artikel Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, ....., hal. 16. 6 CEDAW atau ICEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) adalah sebuah kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak hak perempuan. konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip tentang Hak Asasi manusia, norma-norma dan standar kelakuan dan kewajiban dimana negara-negara peserta konvensi 4
4
Indonesia pada 1984 dalam Undang Undang Nomor 7/1984, namun hal tersebut tidak disosialisasikan dengan baik oleh negara. Pada 1993 PBB kembali mengeluarkan deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, tetapi di Indonesia deklarasi ini tidak begitu dikenal, sehingga jarang dijadikan acuan pada proses penyelesaian hukum terkait dengan kekerasan berbasis gender.7 Kondisi perempuan yang “tertindas” dalam semua segi kehidupan, adalah pandangan umum kaum feminis. Tuntutan untuk keluar dari kondisi itu memaksa kaum feminis bergerak pada ruang yang tidak terbatas. Pembebasan, keadilan dan kesetaraan perempuan menjadi issu sentral yang akan mendorong agar kemampuan kapasitas perempuan dan hak-hak perempuan sebagai manusia berkembang secara individu dan sosial.8 Ketertindasan perempuan dikaitkan dengan analisis faktor berikut: pertama, analisa historis (sejarah) memperlihatkan fakta bahwa, manusia perempuan mengalami de-humanisasi selama berabad-abad. Pada budaya primitif di Afrika, Australia dan Amerika misalnya, laki-laki memilki hak untuk mengatur dan menguasai dan memperlakukan propertinya. Perempuan dianggap sebagai properti laki-laki yang berada dibawah kekuasaannya. Pada bangsa yang berperadaban kuno seperti Cina, India, Mesir, Nusantara pun kurang lebih sama. Perempuan dikuasai oleh laki-laki, mereka wajib tunduk dan taat pada laki-laki. Pada suku Arab yang nomaden, nasib perempuan tidak lebih baik, mereka diperlakukan seolah tidak memilki kehormatan dan harga diri. Bahkan, perempuan dalam masyarakat Arab sebelum Islam tidak punya hak dalam waris mewarisi.9 Kedua, akar budaya dan agama yang eksis yang menempatkan perempuan (status) perempuan sebagai „manusia kelas dua‟ (second sex) sehingga berdampak bersedia memenuhinya. Konvensi ini ditetapkan pada sidang umum PBB pada tanggal 18 Desember 1979. Pada būlan Juni 2007 telah tercatat 185 negara telah menandatangani konvensi ini. Lihat, Elsam: Refferensi Ham, diakses tanggal; 11 Desember 2015. 7 M Setiadi (ed), Pengantar Sosiologi, hal. 871. 8 Ali Hussain Alhakim, Status dan Komplementaris Dua Gender (Jakarta: Al Huda, 2005), hal. 52-53. 9 Ali Hussain Alhakim, Status dan Komplementaris Dua Gender, hal. 52-53
5
secara psikologis bagi perempuan (inferiority). Agama turut berperan menempatkan perempuan menjadi manusia kelas dua, seperti pada drama penciptaan manusia, pencitraan „perempuan” pada mitos-mitos kuno tentang pandora, dan lain-lain. Hal diatas membuat feminis eksistensialis seperti De Beauvoir kemudian merumuskan teori other atau „liyan‟, perempuan diidentifikasi sebagai lawan dari “sang diri” dalam hal ini laki-laki. Beauvoir mengambil teori the Other dari gagasan Jean Paul Sartre yang memberikan deskripsi tentang sikap orang terhadap other, yakni, ketidak-pedulian, hasrat, sadisme dan kebencian. Gambaran Sartre tentang orang yang “melihat” orang lain yang sadar akan “dilihat”. Teori other Beauvoir paralel dengan teori Other Sartre. Beauvoir mengartikan other pada perempuan sebagai bentuk penindasan. Pola relasi antara diri dan liyan digambarkan seperti relasi setara subjek-objek, sarat dengan konflik. 10 Subyek sebagai penentu dan obyek yang ditentukan, posisi perempuan didefinisikan berdasarkan pada fakta biologis, hanya sebagai objek seks (bukan manusia), keberadaannya didefinisikan dengan referensinya kepada laki-laki dan bukan merujuk kepada dirinya sendiri. Perempuan dikatakan insidentil tidak esensial, sementara laki-laki adalah subyek, perempuan hanyalah “Other” atau “yang lain” (liyan).11 Tidak hanya itu, para filsuf klasik dan modern pun membahas perempuan dan menghasilkan penafsiran yang juga misoginis. Kecenderungan filsuf membahas perempuan terkait pada ciri-ciri alamiahnya yang spesifik, sehingga perempuan masih dianggap sebagai makhluk lain. Aristoteles mendefinisikan perempuan sebagai laki-laki yang cacat. 12 Plato, dalam The Republic dan The dialogue of Plato;
10
Sang “diri‟ adalah laki-laki (subjek) dan posisi perempuan di-determinasi menjadi „Liyan‟ (objek), dalam proses menjadi „diri‟ maka „liyan‟ adalah ancaman, karena itu jika laki-laki ingin tetap bebas maka ia harus men-subordinasi perempuan. Rosemary Putnam Tong, Feminis Thought; A More Comprehensive Introduction, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hal. 262. 11 Simone de Beauvoir, The Second Sex, dalam buku A Passion for Wisdom, Feder, MacKendrick, Cook (ed), (New Jersey: Upper Saddle River, 2004), hal. 568. 12 Aristoteles, “De Generatione Animalum” dalam Richard Mc Keon (ed), The Basic Works of Aristotele (New York: The Modern Library, 2001), hal. 666
6
perempuan harus diawasi seperti hewan ternak; perempuan sama dengan binatang. Thomas Aquinas (filsuf dan teolog) dalam summa theologia menyatakan perempuan sebagai defect female bukan ciptaan dari produksi pertama. 13 Descartes, dalam Discourse on methode and meditations of First Philosophie menyebut perempuan bukan makhluk rasional tidak berepistemologi.
14
Menurut Immanuel Kant,
Perempuan kurang dalam kognisi dan tidak dapat memutuskan tindakan moral, hal ini dinyatakan dalam bukunya Observation on the feeling of The beautiful and the sublime.15 Sementara itu dalam filsafat eksistensialis, Jean Paul Sartre menjadikan posisi perempuan sebagai Etre-en-soi artinya perempuan sebagai pelampiasan kekerasan.16 Nada sinis terhadap perempuan yang digambarkan oleh agama, budaya dan filsafat bak sebuah „peperangan‟ terbuka terhadap perempuan. Marilyn French menuliskan dalam bukunya The War Againts Women Marlyn tentang hal ini sebagai berikut: “...Bukti-bukti menunjukkan bahwa selama tiga setengah juta tahun pertama kehidupan manusia, manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dimana ada kesetaraan gender dan selalu dikatakan perempuan memilki status sosial yang lebih tinggi dan dihormati. Peninggalan arkeologisnya merefleksikan dewi-dewi yang mengunggulkan komunitas yang hidup secara egaliter, harmoni dan sejahtera. Perang mungkin dimulai sejak sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, sejak milenium keempat sebelum masehi. Pada saat itu laki-laki mūlai membangun apa yang dinamakan patriarki-supremasi laki-laki..”17 Peperangan terhadap perempuan itu, justru ketika manusia memasuki dunia “berbudaya” ketika hal itu diperlihatkan dengan jelas dalam perilaku masyarakat,
13
Thomas Aquinas, Summa Theologia diterjemahkan oleh Fathers of The English Dominican Province (London: R and T. Washbourne, Ltd, 1912), Vol. 13 Bagian 1, Pertanyaan 92. 14 Rene Descartes, Discourse on Methode and Meditations on First Philosophy, diedit oleh David Weissmen (Yale University Press, 1996), hal. 55. 15 Immanuel Kant, Observation on the feeling of The beautiful and the sublime. Terjemahan oleh John T Goldthwait (Berkeley, University of California Press, 1960), hal.77. 16 Sartre dalam Lawrance Cahoonne, From Modernism to Postmodernism an Anthology (Balckwell Publishers, 1996), hal. 1. 17 Marlyn French, The War Against Women, (New York Ballantine Books, 1992), hal.9
7 bahasa dan seni (budaya). 18 Hal itu membentuk budaya-sistem patriarki, dengan sistem masyarakat yang didominasi oleh kepentingan tertentu (laki-laki), sistem yang seksis menjadi penyebab terpuruknya perempuan dalam sistem kehidupannya, sehingga perempuan amat rentan terhadap perlakuan tidak adil dan tindak kekerasan.19 Kondisi tersebut memang sulit untuk dijelaskan, sebagaimana Murtadha Mutahhari menyatakan hal ini secara eksplisit: “Fakta menunjukkan laki-laki telah berlaku ‟kejam‟ dan menindas perempuan sepanjang sejarah, bukan hanya itu mereka pun telah salah dalam memperlakukan anak-anaknya. Penindasan dan perlakuan tidak adil ini semuanya, menurut Muthaharri berakar pada kebodohan, bias tradisi dan kebiasaan, dan hal itu lebih berperan ketimbang egoistik pribadi...”20 Seksisme yang mengakar pada budaya, agama bahkan filsafat, mendorong kaum feminis untuk melakukan transformasi terhadap berbagai penafsiran agama yang bias gender. Teks-teks dan doktrin agama di reformulasi dan ditafsir ulang (re-interpretasi) dan disesuaikan dengan agenda feminisme. Menurut kaum feminis, hal itu dilakukan disebabkan bahasa dan penafsiran teks pada kitab suci terkait perempuan menjadi sumber utama pemberian status inferior pada kaum perempuan.21 Kontribusi kaum feminis pada perubahan penafsiran teks dalam agama Kristen cukup besar, seperti yang disebut oleh Elizabeth Cady Stanton dalam bukunya The Women‟s Bible. Tak hanya feminis Barat, penafsiran agama yang menimbulkan bias gender juga dikritisi oleh para feminis Muslim. Terdapat dua pendekatan, antara lain dari kaum feminis Muslim apolgetik yang melakukan adaptasi terhadap teks agama, agar sesuai dengan agenda feminis. Dan kaum feminis re-aksioner defensif yang berangkat 18
Pada kamus Thesaurus misoginis adalah anti Feminis, Male Chauvinist; laki-aki superior; seksis, pembenci perempuan. Antonim: Feminis (Thesaurus) 19 Marlyn French, The War Against Women (New York Ballantine Books, 1992) hal.9 pada; Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP- 2003), hal. 11 20 Ali Husseini al-Hakim, Status Komplementaris, hal. 56. 21 Saed Reza Rameli, Membela Perempuan; Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, (Jakarta: Al Huda, 2005), hal. 29.
8 dari keyakinan bahwa Islam telah menempatkan seorang perempuan muslim „setara‟ dan terhormat, tanpa harus mereformasi lebih lanjut agama, untuk menghindari perpecahan dalam masyarakat. Polarisasi antara yang feminin atau yang maskulin ini ditolak, feminis defensif reaksioner berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu keseluruhan yang dihubungkan dengan suatu tanggung jawab sosial. 22 Feminis Muslim melihat relasi dan peran yang dimainkan oleh kedua jenis kelamin dalam kehidupan harus saling melengkapi (komplementaris), agar tercipta kehidupan yang harmoni. Perlawanan kaum feminis tidak hanya terhadap akar budaya dan agama yang seksis, tetapi juga pada dominasi pengetahuan dan filsafat. Bahkan, filsafat main-streem telah menyisakan pertanyaan besar: bagaimana mungkin sejak awal ilmu dan filsafat telah membangun prasangka yang memusuhi perempuan? Filsafat melakukan penguatan pada basis konsep secara ontologi (metafisika) dan epistemologi (metodologi), darinya didapat konsep “kebenaran” dengan cara yang ajeg. Filsafat seperti ini, telah menciptakan pūla ‟dominasi‟ yang “mencurigakan‟ bagi feminis, akan dan telah memperkecil suara-suara kaum feminis dalam sejarahnya. Selama ini filsuf perempuan disibukkan hanya untuk mengoreksi bias filsafat seperti pada tulisan Marywolstonecraft yang mengupas egalitarianisme dalam bukunya A Vindication Rights of Women, dan Simone De Beauvoir tentang eksistensi perempuan pada “The Second Sex” dalam filsafat eksistensialisme, Julliet Mitchel dalam Psycoanalisa and Feminisme.23 Hubungan filsafat dengan feminisme menjadi dilematis pada saat filsafat sebagai sistem kebenaran yang terbuka dan dinamis dapat membahas persoalan teoritis, tetapi disisi lain dominasi filsafat main-streem tidak dapat mengakomodasi kepentingan feminis. Akhirnya feminisme hanya mampu bergerak pada tataran „praksis‟ murni. Teoritisasi feminisme hanya akan memasukkan feminisme dalam diagram maskulin, penolakan ini ditegaskan kaum feminis disaat filsafat yang identik 22 23
Ali Husseini al-Hakim, Status komplementaris,... hal. 33-34 Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,...hal. 19
9
dengan rasionalitas yang berkarakter maskulin (laki-laki). Hal tersebut sangat beralasan, mengingat sejarah filsafat hanya memunculkan filsuf laki-laki, otomatis yang mengemuka adalah pemikiran laki-laki. Terlebih, filsafat di era klasik dan modern memiliki tradisi dikotomis, suatu tradisi pemilahan yang memasukan kategori dikotomik, semisal pemilahan feminitas dan maskulinitas yang diasosiasikan dengan jenis kelamin, kategori maskulin identik laki-laki, dan feminin diasosisikan dengan perempuan, kategori yang diseksualkan ini diasosiasikan dengan yang baik, terang, kesatuan. Pada sisi lain, feminin atau perempuan diasosiaiskan dengan yang buruk, malam, pasrah dan lain lain.24 Kategori dikotomis bermakna negatif bagi perempuan, karena hal ini secara implisit ingin mengedepankan nilai tertentu (maskulin), demikian menurut Nancy J. Holland - nilai-nilai maskulinitas dapat merendahkan nilai-nilai feminitas. 25 Genevieve Llyod dalam bukunya The Man of Reason: Male and female in western philosophy memperkuat argumentasi Nancy dengan menyatakan bahwa pembentukan sejarah (history) hanya untuk menunjukan maskulinitas „manusia berakal‟ dan bias secara lingustik. Satu sisi akal, maskulinitas, kebenaran dan intelek, difihak lain ada feminitas, kesalahan, dan emosi. Dikotomi sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat, sampai suatu saat perempuan „tidak diperkenankan memasuki wilayah „rasio‟. Pembatas antara rasio dan perempuan dirasakan dengan jelas pada „pemaksaan‟ teritorial kerja domestik dan publik lanjut LIyod.26 Berangkat dari pemikiran di atas, apakah masih ada kemungkinan melakukan pendekatan filsafat terhadap feminisme, apakah filsafat dapat memasukkan persoalan-persoalan gender yang berasal dari pengalaman pribadi perempuan (subjektif). Sehingga diperoleh filsafat yang memilki perspektif feminisme? Gadis Arivia mempertanyakan hal tersebut dalam penelitiannya Filsafat Berperspektif 24
Carol C Gold, Philosophy of Liberation and The liberation Of Philosophy dalam buku ; Women and Philosophy, Toward a Theory of Liberation, Carol C. Gold dan Marx W. Wartfsky (ed), (GPPS, New York, USA), hal.7 25 Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,....., hal. 162. 26 Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,.... , hal. 162-163.
10 Feminis.27 Penolakan feminisme terhadap filsafat dan epistemologi dinyatakan secara eksplisit oleh Sandra Harding dan Merril Hintika dalam buku mereka Discovery Reality: “Kita harus mencabut akar dari distorsi seksis dan penyimpangan epistemologi, metafisika, metodologi dan filsafat ilmu - bagaimana perspektif dan pengalaman yang maskulin telah membentuk sistematika pemikiran fundamental dan formal dalam filsafat.”28 Pernyataan Harding diatas, adalah bentuk penolakan feminisme terhadap filsafat mainstreem dalam semua segi, baik dalam pembahasan metafisika, epistemologi, maupun etika. Feminisme berbeda secara signifikan dengan filsafat mainstreem. Perbedaan itu tidak lantas memberi peluang kepada filsafat untuk masuk pada area diskursus feminisme. Kemungkinan itu dinyatakan oleh Gadis Arivia dengan adanya filsafat yang inklusif, dimana standpoit epistemology, sexual difference, metafisika-ontology, dan kepedulian etika yang terbuka pada persoalan privat atau domestik menjadi persoalan filosofis.29 Keluasan objek filsafat termasuk persoalan terkait feminis, dapat dikaitkan dengan mempertanyakan fakta-fakta yang selama ini dipersoalkan feminisme, tanpa harus berhubungan langsung secara empiris.30 Bagi Redclife Richard filsafat dapat mengklarifikasi konsep feminisme, sehingga hal ini dapat meluruskan kebingungan konseptual terkait makna yang digunakan dalam persoalan ambiguitas, kontradiksi atau persoalan lainnya, yang bersifat fundamental.31 Memang, selama ini feminisme telah membawa pengetahuan dan analisis baru terkait gender dan persoalannya, yang dipandang sangat bermanfaat dalam ilmu-ilmu 27
Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,..., hal. 243-292. Sandra Harding dan Merill Hintikka, Descovering reality: feminist Perspektives on Epistemology, Metaphisics, Metodology, and Philosophy of Science.(Dodrect Reidell, 1983), hal. ix-x. 29 Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis,.... hal. Sampul belakang. 30 Kemungkinan itu akan sangat terbuka mengingat feminisme selama ini masih sibuk dalam perdebatan-perdebatan fakta sejarah tentang ketertindasan perempuan, pembedaan perlakuan laki-perempuan, studi antorpologis, metode politik dan sebagainya. Penulis-red 31 Redclife Richadrs J, The Sceptical Feminist: A Philosopical Enquiry, (London: Routladge and Kegan Paul, 1980), hal. 41 28
11
sosial. Analisis gender ini dapat membedakan antara ketentuan atau takdir biologis dengan ketentuan manusia - yakni konstruksi sosial budaya. Sehingga ilmu sosial terbantu dalam menguak misteri ketidak-adilan sosial yang selama ini gagal dimengerti oleh ilmu sosial. Gender telah membawa keasadaran baru bahwa konstruksi budaya gender telah membawa bencana ketidakadilan, diskriminasi dan proses dehumanisasi terhadap perempuan.32 Akan tetapi, kesibukan feminisme yang hanya menyelesaikan persoalannya dengan bukti empiris tadi, dapat dibantu oleh filsafat dalam eksplorasi dan memetakan implikasinya dari pandangan feminisme terkait gender dan perbedaan seksual.33 Filsuf pos-modern seperti Derida telah menemukan “cara kerja” feminin dalam pemikiran filosofis feminisme, atau Richard Rotry dengan analisis pragmatis-nya menempatkan filsafat yang egalitarian - dimana perempuan dapat berpartisipasi. 34 Generasi filsafat belakangan ini mūlai mempertanyakan beragam konsep tentang “diri”, „pengetahuan‟ dan ada hubungannya dengan etika. Dengan demikian filsafat dan feminisme dengan segala kemungkinannya menjadi sangat dinamis - dapat saling mengkoreksi, baik dari analisis maupun pada klaim atau statement teoritisnya. Meski terjadi pertentangan kuat antar filsafat dan feminisme di Barat, tetapi nyatanya persoalan ini mendapat respon dari kalangan pemikir di dunia Islam. Murtadha Mutahhari misalnya, menampilkan pemikiran feminis yang berbeda dengan feminis Barat. Pemikiran feminisnya menggunakan teks-teks agama sebagai rujukannya, disamping itu dengan pendekatan antropolgi, filsafat maupun rerkait hukum dan hak-hak perempuan.35
32
M. Setiadi (ed), Pengantar Sosiologi,....,hal. 902-904 Richadrs J Redclife, The Sceptical Feminist: A Philosopical Enquiry, (London: Routladge and Kegan Paul, 1980), hal. 41 34 Richard Rotry, Philosophy and The Mirror of Nature, (New Jersey: Princeton University Press,1979), hal. 315 35 Metodologi Muthahhari pun memilki corak filosofis, sebuah tradisi pemikiran rasional dalam Islam Muthahhari dalam konteks ini membedakan antara feminisme sebagai kajian historis ataupun feminisme dalam arti pembelaan terhadap persoalan ke-perempuanan. Alef Theria Wasim, Prolog, pada; 33
12
Bagi feminis Muslim, ajaran Islam itu egaliter dan membebaskan, tidak pernah menjadikan perempuan sebagai manusia inferior. Sebaliknya, Islam menjunjung tinggi eksistensi, kedudukan dan nilai kemanusiaan pada perempuan. Optimisme dari spirit egalitaranisme pada Islam dan tradisi pemikiran inilah ada kemungkinan terbaik dalam mendekati persoalan perempuan yang dikemukakan sebelumnya. Untuk itu, persoalan manusia masuk dalam domain filsafat antropologis, sementara eksistensinya dibahas secara khusus dalam satu bagian filsafat yakni ontologi. Ontologi dipandang sebagai bagian dari metafisika, dan didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang persoalan eksistensi (being) secara umum, yang mencakup pembahasan tentang eksistensi dan struktur dasar realitas. Singkatnya, pembahasan ontologi mencakup semua jenis realitas, baik yang kasat mata maupun tidak. Dan, yang tak kalah penting metafisika juga menjadi keyakinan dasar dalam sistem pengetahuan manusia.36 Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa persoalan perempuan dengan segenap persoalannya dapat dikaji oleh setiap aliran filsafat yang memiliki perhatian besar pada eksistensi, tanpa terkecuali filsafat Mulla Shadrā. Eksistensi pada filsafat Mulla Shadrā diinterpretasi dengan sudut pandang baru. Gagasan tentang fundamentalitas atau keunggulan eksistensi yang diusung oleh filsafat Mulla Shadrā (1571-1640) lebih dahulu muncul ketimbang filsafat eksistensialisme abad ke-18 di Barat. Hal inilah yang menjadi pertimbangan perlu mengangkat filsafat Mulla Shadrā yang dikenal dengan al-Hikmah al-Muta„āliyah dalam menganalisa persoalan eksistensi perempuan ini. Namun, perlu dijelaskan sebelumnya bahwa pembahasan filsafat di sini tidak akan berbicara tentang teori-teori feminisme atau issue soal gender yang bersifat praktis. Pembahasan hanya berkisar pada tataran meta-teori, karena yang menjadi Murtadha Muthahhari, Filsafat Perempuan dalam Islam, terj; Arif Mulyadi, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2012), hal. 11 36 Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 2002), hal. 625. Selanjutnya disebut: Loren Bagus, Kamus Filsafat.
13
objek adalah teori lain (diluar feminisme) yang memperkenalkan konsep dan bukti baru bagi proposisi dan pernyataan teori sebelumnya. 37 Kajian ini dimaksudkan untuk dapat menemukan cara pandang alternatif tentang status ontologis (eksistensi) perempuan, selain yang sudah dibahas oleh filsuf sebelumnya. Selebihnya, dengan pijakan filsafat Mulla Shadrā, tentunya akan memilki relevansi dengan konsep manusia dalam filsafat Islam. Pemilihan atas filsafat Mulla Shadrā dalam pembahasan ini memiliki beberapa alasan, antara lain: Pertama, al-Hikmah al-Muta„āliyah adalah filsafat yang memilki fokus pada persoalan eksistensi (al-wujūd). Kedua, filsafat Mulla Shadrā merupakan puncak tradisi filsafat Islam, dan menjadi
sintesis
dari
pemikiran
filsafat
sebelumnya
(mengoreksi
dan
menyempurnakan pemikiran terdahulu) mewarisi aspek tertentu yang dimilki oleh madzhab sebelumnya, seperti paripatetik, iluminasi dan irfan (genostik). Dengan demikian, filsafat Mulla Shadrā menjadi representasi dari filsafat Islam mutaakhir. Ketiga, filsafat Mulla Shadrā juga melandasi kesinambungan teori dan praktik sejalan dengan makna al-Hikmah al-Muta„āliyah dimana kesempurnaan jiwa manusia adalah melalui pengetahuan terhadap realitas, atas segala sesuatu sebagaimana adanya. Sehingga, fenomena keteraturan alam semesta adalah fenomena yang dapat dimengerti sesuai kemampuan dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan. Seperti dinyatakan dalam al-Hikmah al-Muta„āliyah pada jilid 1 halaman 20. Keempat, filsafat Mulla Shadrā selama ini dijadikan dasar pemikiran untuk dikembangkan oleh para filsuf neo-shadrian untuk menjawab kompleksitas persoalan yang rumit, dan dapat mengkritisi setiap persoalan kehidupan manusia. Filsafat Mulla Shadrā adalah ijtihad pemikiran yang orsinil memiliki makna: perspektif intelektual baru dalam memandang realitas, artinya kebenaran-kebenaran universal yang sama memperoleh interpretasi dan aplikasi yang baru - sesuai dengan momentum tertentu 37
Loren Bagus, Kamus Filsafat ...., hal. 635
14
dalam perjalanan sejarah. Kelima, filsafat Mulla Shadrā bersifat inklusif, egaliter, berbasis pengalaman eksistensial. Bagi wacana keperempuanan yang berkembang, filsafat Mulla Shadrā dapat
dijadikan
alat
analisis
filsafat
yang
mampu
mengakomodasi
pemikiran-pemikiran feminisme -- yang notabene berbasis pengalaman perempuan. Filsafat feminisme lebih menuntut sikap inklusif dan egaliter dari sebuah sistem pengetahuan diluar main-streem selama ini. Keenam,
filsafat
Mulla
Shadrā
berdiri
di
atas
keunggūlan
ekistensi-keberadaan. Dimana eksistensi itu mendahului esensinya38 artinya, dalam prinsip tersebut eksistensi manusia perempuan mendahului dari pada esensinya, atau ke-perempuanan-nya, perempuan “ada” karena eksistensinya, bukan didefinisikan berdasar pada sifat-sifat esensialnya. Hal ini menepis beberapa pengertian sebelumnya yang mendefinisikan perempuan sebagai makhluk lain, yang ada untuk yang lain atau “the other” dalam filsafat eksistensialis. Prinsip Eksistensialisme sangat relevan untuk menggali dasar dan prinsip pembahasan terkait eksistensi dan realitasnya, untuk menemukan hakikat dari suatu realitas apakah yang mendasari sesuatu, apakah itu keberadaan atau eksistensinya (manusianya), ataukah esensinya (kemanusiaan-nya). Makna yang kedua dari fundamentalitas wujūd filsafat Mulla Shadrā, jika fundamental bermakna yang memberi efek atau pengaruh adalah wujūdnya, maka eksistensi perempuan secara prinsip menunjuk pada suatu entitas makhluk yang ber-jenis kelamin perempuan (biologis), ketika terjadi perdebatan tentang seks, gender atau orientasi seksual mengemuka saat ini, maka hal ini akan berguna untuk dapat menganalisis persoalan persoalan terkait, dengan berdasar pada prinsip ini. Prinsip metafisika filsafat Mulla Shadrā yang lain, yang dapat gunakan untuk 38
Terangkum dalam prinsip metafisikanya Asholatul wujūd wa i'tibarul māhiyah" (prinsipalitas wujūd dan ke-relativ-an Māhiyah) "wujūdlah yang utama - riil selainnya hanya abstraksi mental", hal ini bermakna : (1) Mempersepsi satu realitas tunggal dalam 2 (dua) aspek: Kebaradaannya (eksistensi) dan kuiditasnya-māhiyah (kuda dgn ke-kudaa-an). Prinsip ini menyatakan secara tegas bahwa dasar dari sesuatu adalah eksistensinya atau wujūdnya. Penulis-red
15
menganalisa adalah terkait tuntutan kesetaraan bagi perempuan. Dengan prinsip Tashkīk al-Wujūd menurut Fazlur Rahman, dalam prinsip ini wujūd segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti eksistensi Tuhan yang wajib, dan makhluk yang mumkin adalah sama dari sisi predikat eksistensinya. Sebaliknya, jika ada perbedaan yang mencolok antara benda-benda dalam titik wujūd, maka istilah “wujūd” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama wujūd, karena sama, bahkan dapat menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik. Dalam prinsip Tashkīk al-Wujūd eksistensi perempuan adalah setara dengan laki-laki dalam posisinya sebagai makhluk, maka apa yang membedakan adalah kualitas wujūd dan keunikan dari masing-masing makhluk. Dalam prinsip ini pun berlaku bahwa semua bentuk wujūd yang ada lebih rendah dikandung dalam, dan dilampaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadrā sendiri, basīt al-haqīqah kullu asyaiy (bahwa wujūd yang bersifat sederhana adalah wujūd yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”). Kompleksitas dan kerumitan persoalan eksistensi perempuan dapat ditelaah secara kritis dalam filsafat Mulla Shadrā, Perspektif intelektual dalam memandang realitas dalam kebenaran-kebenaran universal memilki posisi yang sama untuk memperoleh interpretasi dan aplikasi yang baru, sesuai dengan momentum tertentu dalam perjalanan histori. Filsafat Mulla Shadra dapat dikatakan sangat inklusif, egaliter, berbasis pengalaman eksistensial. Untuk itu menarik bila dapat mengelaborasi lebih jauh, dan membahas lebih dalam untuk menyikapi persoalan terkait eksisteni perempuan dalam pemikiran feminisme, dalam menanggapi bias-bias pemikiran filsuf tentang eksistensi perempuan tersebut.
B. Identifikasi Masalah Pada bagian pengantar - latar belakang, sebagaimana dipaparkan di atas, ada
16
beberapa hal pokok yang menjadi pertanyaan penting dalam penulisan ini. Pertama, pertanyaan terkait eksistensi perempuan adalah pertanyaan filosofis pada subjek pembahasan eksistensi dalam domain ontologi metafisika.39 Oleh sebab itu, secara ontologi, pembahasan ini dapat didekati menurut Carol G. Gould dengan 2 (dua) pendekatan sebagai berikut: (a) Konseptualisasi, karena filsafat masih memilki pandangan
perempuan
sebagai
„accidental‟
-
sementara
konsep
filsafat
mengemukakan bahwa secara konseptual manusia adalah konsep universal. Pandangan perempuan sebagai “accidental‟, seringkali digunakan untuk mendekati persoalan sosial, historis dan budaya; (b) Objektifikasi, jika tidak ada manusia universal, maka manusia secara partikular diciptakan dengan kodrat dan potensi masing-masing, baik sebagai laki-laki maupun perempuan yang posisinya “setara” sebagai pelaku sejarah dalam budaya dan peradaban. Kedua, terdapat siginifikasi penting antara pandangan filsafat dengan konsep diri dan pandangan masyarakat dalam kehidupan. Sehingga filsafat Mulla Shadrā menemukan signifiksainya dengan perkembangan pemikiran dengan wacana sosiologi/feminisme, dan agama. Filsafat Islam khususnya filsafat Mulla Shadrā memilki sandaran ontologi yang kuat dalam mendekati pembahasan filsafat manusia. Pada saat eksistensi manusia tidak hanya dilihat dari dimensi fisik, bahkan secara spiritual dapat mengalami penyempurnaan wujūd-nya masing-masing. Dengan beberapa prinsip filsafat Mulla Shadrā ini, maka yang terpenting akan dicapai dari pembahasan ini adalah membangun konsep diri (self), konsep pengetahuan dan konsep etika bagi dasar kehidupan. Ketiga, analisa penting filsafat Mulla Shadrā tentang eksistensi perempuan ini pun akan memilki implikasi etis pada interaksi hubungan sosial yang lebih baik disaat pola hubungan sosial masih didasari oleh pola relasi kuasa yang menempatkan perempuan sebagai objek yang dikuasai selama berabad-abad.
39
Selama ini pertanyaan tentang perempuan dianggap terlalu terbatas dan partikūlar, karena sulit untuk disandingkan dengan pertanyaan pertanyaan besar lainnya. Penulis-red
17
C. Rumusan Masalah Persoalan eksistensi perempuan merupakan persoalan dalam ranah ontologis, hal ini akan dielaborasi dengan menggunakan tradisi filsafat Hikmah Muta‟aliyyah Mulla Shadrā, kendati secara definitif sistem filsafat mutakhir Islam ini tidak menyoroti keperempuanan sebagai bagian dari rangkaian masalah filosofisnya. Karakteristik filsafat ontologis Mulla Shadrā dapat memberikan dasar-dasar filsafatnya untuk menjelaskan dan mengakomodasi persoalan ekistensi perempuan. Dalam rangka ini, masalah dalam penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana Teori Wujud filsafat Mulla Shadrā dapat menganalisis persoalan eksistensi perempuan? Untuk
menggali
lebih
lanjut
pertanyaan
di
atas
akan
diuraikan
pertanyaan-pertanyaan berikut: a. Bagaimana pandangan filsafat terkait eksistensi manusia? b. Bagaimana Prinsip-prinsip filosofis teori wujūd dalam filsafat Mulla Shadrā dan terkait pada konsep dasar tentang manusia? c. Bagaimana konsep eksistensi perempuan setelah dianalisis dengan prinsip filosofis teori wujūd Mulla Shadrā?
D. Tujuan Penelitian Penelitian pada tesis ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran al-Hikmah al-Muta„āliyah tentang konsep eksistensi manusia secara universal ontologis. Secara khusus menjelaskan tentang eksistensi perempuan, dengan menjelaskan beberapa prinsip filosofis yang terkait dengan hal tersebut. Dengan mengedepankan pemahaman, bahwa filsafat yang universal dapat membangun basis ontologis dan epistemologis bagi pemikiran feminisme terhadap beragam issue yang digelutinya, yang akan berimplikasi pada wilayah etis-aksiologis dalam kehidupan perempuan sebagai manusia.
18
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bahwa sebenarnya dalam filsafat Islam memilki solusi, dan pandangan yang komplementer dalam membangun relasi yang seimbang terhadap eksistensi manusia, terutama laki-laki dan perempuan, kaitannya dalam membangun peradaban.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki 4 (empat) hal: Pertama, dapat memberikan pemahaman yang mendalam dan utuh bagi penulis tentang
eksistensi
manusia-perempuan
dalam
perspektif
filsafat
al-Hikmah
al-Muta„āliyah Mulla Shadrā. Kedua, dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi issue feminisme, sehingga pemaknaan eksistensi manusia-perempuan dalam perspektif filsafat akan berpengaruh pada cara pandang terhadap kehidupan secara keseluruhan, relasi yang dibangunnya dengan sesama manusia, Tuhan dan alam semesta. Ketiga, dapat berkontribusi pada persoalan-persoalan sosial dan akademis, sehingga terjadi dialog teoritikal dan kontekstual yang relevan. Keempat, dapat menambah pemahaman terhadap luasnya dimensi filsafat yang dapat menstimulasi kajian-kajian baru tentang persoalan eksistensi perempuan dan manusia secara keseluruhan, baik yang dilakukan oleh peneliti secara pribadi maupun secara kelembagaan.
F. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan sumber data penelitian berupa tulisan-tulisan dan karya-karya ilmiah yang terkait dengan judul tesis, baik sumber primer – referensi utama karya masing-masing pemikir-filosof, maupun sumber sekunder, ulasan atas pemikiran masing-masing
19
filosof dari sumber primer. Pendekatan penelitian bersifat analitis. Metode analitis ini digunakan untuk menganalisis konsep-konsep filosofis yang akan digunakan sebagai alat analisis untuk membedah persoalan-persoalan dalam objek penelitian. Metode ini dimaksudkan untuk mencapai ekstensi (penerapan) dan intensi (sifat).40 Pemeriksaan konsepsional terhadap makna yang terkandung pada suatu pernyataan-pernyataan, dan istilah yang digunakan
dalam
pernyataan-pernyataan
tersebut.
Pemeriksaan
konsepsional
dilakukan untuk 2 (dua) hal: memperoleh makna baru yang terkandung dalam konsep pernyataan, dan istilah yang digunakan untuk menguji-nya. Metode analisis ini meliputi langkah-langkah metodis dengan melakukan pembagian terhadap sesuatu yang menjadi bagian dari kajian, berdasar pada unsur, sifat, karaktristik dan dapat bermakna pemisahan sesuatu dalam mempelajarinya secara detail, agar sampai pada pengetahuan tentang relasi yang terjadi diantara bagian-bagian itu dengan selainnya. Analisis dapat berupa analisis material yang ada pada realitas eksternal, maupun analisis logis yang terdapat pada pikiran (konseptual).41
G. Tinjauan Pustaka Literatur tentang perempuan dan filsafat dirasakan masih terbatas. Demikian pula karya ilmiyah seperti tesis dan disertasi perihal eksistensi perempuan dalam pandangan filsafat Mulla Shadra, belum penulis dapatkan. Tetapi, penelitian tentang persoalan-persoalan perempuan dalam perspektif filsafat dan keislaman, beberapa diantaranya sudah penulis baca-telaah, sebagai bahan kajian pendahuluan dalam penelitian ini, antara lain: Pertama: “Argumen Kesetaran Jender Perspektif Alqur’an” (1999), disertasi 40
Louiss O Kattsoff, Pegantar Filsafat, terj: Soejono Soemargono,(Yogyakarta:Tiara Wacana, 2004), hal. 18. 41 Abdul Hadi Fadhli, Logika Praktis; Teknik Bernalar Benar, terj: Ikhlas Budiman, (Jakarta: Shadra Press, 2015), hal. 177-178.
20
yang ditulis Nasarudin Umar ini adalah upaya memberikan jawaban terhadap persoalan ketidak-setaraaan gender yang terjadi terutama dalam Islam. Dengan mengemukakan beberapa temuan penting, misalnya perspektif gender dalam Al-Qur‟an tidak sekedar mengatur keserasian relasi jender, hubungan laki-laki perempuan dalam masyarakat, tetapi Al-Qur‟an juga mengatur keserasian pola-relasi antar mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam) dan Tuhan. Dengan menggunakan metode komprehensif, yakni memadukan metode tafsir kontemporer dan metode ilmu-ilmu sosial, analisis semantik, semiotik dan hermenutik, sehingga mendapatkan hasil yang lebih tajam. Temuan lainnya yang menarik dari desertasi tersebut adalah terdapat 10 (sepuluh) faktor yang menyebabkan terjadinya bias-gender dalam penafsiran Al-Qur‟an, disebutkan:pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qira‟at, pengertian (kosa-kata) mufradat, penetapan rujukan kata ganti (dhamir), penetapan batasan pengecualian (istisna‟), penetapan arti huruf „athf, bias dalam struktur bahasa, bias dalam kamus, bias metode tafsir, pengaruh riwayat israiliyat, dan bias dalam pembukuan kitab-kitab fiqh. Kajian historis-teologis dalam perpektif Al-Qur‟an ini juga mengungkapan secara kritis latar belakang dan geo-kultural jazirah Arab, dimana Al-Qur‟an diturunkan, disertasi ini lebih komprehensif memandang persoalan diatas. Al-Qur‟an tidak turun dalam ruang hampa, melainkan kepada masyarakat yang sudah sarat dengan berbagai nilai budaya. Secara kontekstual, Al-Qur‟an yang berisi ajaran-ajaran universal dan modial ini, ternyata memilki hubungan interaktif dengan budaya lokal setempat. Kedua: “Kesetaraan Jender dalam Pemikiran Tasawuf Ibn ‘Arabi” (Juni 2004) adalah judul tesis yang ditulis Neng Hannah dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. Tesis ini berisikan beberapa argumentasi kesetaraan gender dalam pemikiran Ibn „Arabi, yang ditarik pada perspektif-matriks yang lebih tinggi (transenden) dan mendalam, yaitu penafsiran batini konsep wihdat al-wujūd. Konsep mistisisme filosofis yang dikaitkan dengan beragam entitas yang hadir dalam
21
alam semesta, menggambarkan kesatuan-ketunggalan. Demikian juga dengan keberadaan laki-laki dan perempuan, yang keduanya turut berperan dalam drama kosmis alam semesta. Materi yang dibahas adalah beberapa kualitas feminim (feminitas) dan kualitas maskulin (maskulinitas) yang diartikan sebagai kualitas perangai bukan lahiriah, yang tidak terkesan ada keunggulan satu kualitas dengan di atas kualitas lainnya, seperti yang dikemukakan aliran feminisme tertentu (ekofeminisme). Penelitian dalam tesis tersebut setidaknya memberikan gambaran akan keutuhan relasi antar kualitas-kualitas yang berbeda, tatapi tetap mengacu pada harmonisasi yang terjadi di alam semesta. Semestinya hal ini menjadi pelajaran berharga bagi manusia dalam mengembangkan kehidupan yang lebih kooperatif, dan saling menghargai keberadaan tanpa harus mengesampingkan unsur perbedaan. Ketiga: “Filsafat Berperspektif Feminis”, disertasi yang ditulis berdasarkan pada kajian ilmiah filosofis, ditulis Gadis Arivia dari Universitas Indonesia, seorang intelektual feminis yang memiliki kontribusi pemikiran yang penting pada feminisme dalam Jurnal Perempuan. Jurnal feminis yang sekarang dipimpin Gadis Arivia. Gadis memberikan perspektif filsafat dekonstruktif pada kajiannya. Disertasi tersebut merupakan pemetaan paling penting terkait pemikiran feminisme sepanjang sejarah feminis. Dengan analisis yang dipaparkan Gadis, telah memberikan peluang dan kemungkinan bahwa filsafat mampu memasuki ranah dan tema-tema sosial yang berpihak pada dialog interaktif antar ilmu pengetahuan. Sehingga didapat sebuah kajian filsafat yang berperspektif feminis.
H. Sistematika Pembahasan Pembahasan pada tesis ini terdiri dari 5 (lima) BAB. Pada masing-masing bab terdapat sub-bab, yang menguraikan dan menjelaskan substansi dan kontekstualisasi dari masing-masing bab. Selanjutnya, deskripsi dari masing-masing bab adalah sebagai berikut:
22
Bab Pertama: Pendahuluan adalah pengantar terhadap penulisan tesis ini yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, sampai dengan rumusan masalah. Untuk mendapatkan gambaran terhadap pentingnya penelitian ini, penulis menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Kajian kepustakaan menjadi bagian dalam Bab ini, untuk menghantarkan dan menguatkan sudut pandang penulis terhadap persoalan-persoalan terkait. Bab Kedua: Pada bab ini penulis memetakan persoalan-persoalan perempuan dan pandangan filsafat, untuk mendapatkan akar pemikiran-konsep tentang perempuan dan filsafat. Bab Ketiga: Pada Bab ini memaparkan prinsip-prinsip Teori Wujud Filsafat al-Hikmah al-Muta„āliyah Mulla Shadrā, berserta beberapa konsep dasar filsafatnya tentang manusia. Bab Keempat: Pada Bab ini penulis melakukan analisis dan pembahasan terhadap
konsep
dasar
filsafat
al-Hikmah
al-Muta„āliyah
yang
akan
diterapkan-disimulasikan pada objek penelitian, untuk menghasilkan konsep filosofis eksistensi perempuan dalam perspektif teori Wujud filsafat Mulla Shadrā. Kemudian akan diuji kemungkinan-kemungkinan implikasi ontologisnya secara teoritis . Bab Kelima: Bab Penutup, menyampaikan beberapa catatan kesimpulan dan saran yang di dapat dari hasil penelitian. Kesimpulan yang dicapai dari penelitian ini menggambarkan jawaban terhadap tujuan penelitian.*