BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Pajak 2.1.1.1 Definisi Pajak Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Rochmat (dalam Resmi 2008:1), sedangkan Menurut Smeets (dalam waluyo 2010:3) Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditujukan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau barang untuk menutup belanja pemerintah merupakan definisi pajak menurut Beaulieu (dalam Purwono 2010:6), selanjutnya menurut Sommerfeld (dalam Priantara 2012:2) Pajak adalah adanya aliran dari sektor privat ke sektor publik secara dipaksakan yang dipungut berdasarkan keuntungan ekonomi tertentu dari nilai setara dalam rangka pemenuhan kebutuhan negara dan objek-objek sosial. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah :
5
6
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah 3. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya (sumber daya) dari sektor swasta ke sektor negara 4. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan pengeluaran pemerintah 2.1.1.2 Fungsi Pajak Menurut
Waluyo (2011:6) pajak yang dipungut pemerintah memiliki 2
fungsi, antara lain : 1. Fungsi penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh : dinasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Contoh : dikenakan pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. 2.1.1.3 Asas-asas Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2011:13) menjelaskan untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan
7
dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam pajak penghasilan, adalah sebagai berikut : 1. Asas Tempat Tinggal Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh , yang berasal dari Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan) 2. Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu Negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak. 3. Asas Sumber Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu negara yang memungut pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak 2.1.1.4 Pengelompokan Pajak Pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, adalah sebagai berikut : 1. Menurut Golongannya
8
a. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan subjeknya
yang selanjutnya dicari syarat
pada
objektifnya, dalam arti
memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan ( PPh ) b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas :
9
1. Pajak propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 2. Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. 2.1.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2011:17) Pada saat pajak terutang akan dipungut, terdapat 3 sistem pemungutan pajak yang akan digunakan oleh Wajib Pajak, yaitu: a. Sistem Official Assessment Merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. b. Sistem Self Assessment Merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Sistem Withholding Merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 2.1.1.6 Tarif Pajak Menurut Priantara (2012:14) menyatakan struktur tarif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak dikenal 4 (empat) macam tarif, adalah sebagai berikut : 1. Tarif Pajak Tetap
10
Yaitu tarif tetap bukan berarti pajak tidak pernah mengalami perubahan, melainkan besarnya pajak yang terutang dihitung dengan menerapkan tarif pajak yang konstan berapapun dasar pengenaan pajaknya. 2. Tarif proporsional Yaitu suatu tarif tertentu berupa persentase yang konstan yang diterapkan terhadap berapapun dasar pengenaan pajaknya sehingga pajak terutang meningkat apabila dasar pengenaan pajak meningkat dan sebaliknya pajak terutang menurun apabila dasar pengenaan pajak menurun. Kenaikan atau penurunan tersebut selalu proporsional atau sebanding. Tarif proporsional di Indonesia diterapkan pada PPN dan PPh Pasal 26 atas WP Luar Negeri, PPh WP Badan. 3. Tarif degresif Yaitu suatu tarif tertentu berupa persentase yang semakin menurun yang diterapkan apabila dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat. Penerapan tarif degresif untuk menghitung pajak terutang harus dilakukan dengan menerapkan lapisan pajak. Berikut ini adalah lapisan pajak dengan tarif degresi. Tabel 1 Tarif Degresif No
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
1
s.d Rp 50.000.000
30%
2
>Rp 50.000.000 s.d Rp 200.000.000
20%
3
>Rp 200.000.000 s.d Rp 500.000.000
10%
4
>Rp 500.000.000
5%
Sumber : Priantara (20012:14)
11
4. Tarif progresif Yaitu suatu tarif tertentu berupa persentase yang semakin meningkat yang diterapkan apabila dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat. Tarif progresif terdapat 3 jenis, antara lain : a. Tarif progresif – proporsional Yaitu suatu tarif tertentu berupa persentase yang semakin meningkat yang diterapkan apabila dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat tetapi kenaikan persentase tersebut adalah tetap. b. Tarif progresif – progresif Yaitu suatu tarif tertentu berupa persentase yang semakin meningkat yang diterapkan apabila dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat dan kenaikan persentase tersebut adalah meningkat. c. Tarif progresif – degresif Yaitu suatu tarif tertentu berupa presentase yang semakin meningkat yang diterapkan apabila dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat tetapi kenaikan persentase tersebut menurun. Tarif pajak yang digunakan sebagai tarif pemotongan atas penghasilan yang terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang pajak penghasilan, kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah, misalnya: besar tarif PPh pasal 21 yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi lebih tinggi 20% daripada tarif yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
12
menunjukkan NPWP. Kepemilikan NPWP dapat dibuktikan dengan cara menunjukkan kartu NPWP. 2.1.1.7 Subjek Pajak Menurut Priantara (2012:179) Pajak penghasilan jenis pajak subjektif, dimana dalam pengenaan pajaknya harus dilihat terlebih dahulu subjeknya baru kemudian melihat objeknya. Menurut Undang-undang PPh tidak semua orang atau badan yang berkedudukan di Indonesia dikenakan pajak walaupun menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak. Pasal 1 Undang-undang PPh menyebutkan bahwa PPh dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah : a. Orang Pribadi; Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun diluar Indonesia. b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris, penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
13
c. Badan; Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komaditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan bentuk badan lainnya. d. Bentuk Usaha Tetap Bentuk Usaha Tetap adalah suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. 2.1.1.8 Tidak Termasuk Subjek Pajak Yang tidak termasuk subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya adalah : a. Kantor perwakilan Negara asing b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama meraka dengan syarat:
14
1.
Bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatannnya di Indonesia.
2.
Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
c. Organisasi International, dengan syarat: 1.
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
2.
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
memberikan pinjaman
kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 2.1.1.9 Wajib Pajak Wajib pajak menurut pasal 1 undang-undang nomor 28 tahu 2007 tentang perubahan ketiga undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan, Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tabel 2 Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan luar negeri Wajib pajak Dalam Negeri
Wajib Pajak Luar Negeri
Bertempat tinggal/berada di Indonesia >183 hari dalam waktu 12 bulan, berniat tinggal di Indonesia Badan yang didirikan/berkedudukan di Indonesia
Tidak bertempat tinggal/berada di Indonesia <183 hari dalam waktu 12 bulan
Warisan belum terbagi Sumber : Priantara (2012:179)
Badan yang tidak didirikan/berkedudukan di Indonesia yang menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia baik dari melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia maupun bukan dari menjalankan usaha
15
Tabel 3 Perbedaan kewajiban pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri Kewajiban Dalam Negeri
Kewajiban Luar Negeri
Dikenakan pajak atas penghasilan dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
Dikenakan pajak atas penghasilan dari Indonesia
Berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum
Berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadan
Wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan ( SPT )
Tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan ( SPT )
Sumber : Purwono (2010:89) 2.1.1.10 Objek Pajak Menurut Priantara (2012:186) yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Tambahan kemampuan ekonomis kepada Subjek Pajak, sumber penghasilan dapat dikelompokkan menjadi : a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honor, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; b. Penghasilan dari usaha atau kegiatan c. Penghasilan dari harta dan modal yang berupa harta gerak ataupun harta tak bergerak seperti bunga, dividen, royalty, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
16
d. Penghasilan lain-lain seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. 2.1.2 Manajemen Pajak Menurut Suandy (2011:6) upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak, namun perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak tergantung dari instrument yang di pakai Menurut Suandy (2008:6), tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari: 1. Perencanaan Pajak (Tax Planning) 2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) 3. Pengendalian Pajak (Tax Control)
2.1.3 Perencanaan Pajak ( tax planning ) Definisi perencanaan pajak itu sendiri yaitu langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Hal ini dapat dilihat dari dua definisi perencanaan pajak (tax planning) di bawah ini. 1. Crumbley (dalam Suandy 2011:6) Perencanaan pajak adalah analitis ,sistematis yang mendahulukan pilihan pajak yang ditujukan untuk meminimalkan kewajiban pajak pada masa pajak kini dan masa depan
17
2. Lyons (dalam Suandy 2011:6) Perencanaan Pajak adalah pengaturan usaha seseorang dan / atau urusan pribadi dalam rangka meminimalkan kewajiban pajak Perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, setiap wajib pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas setiap tindakan (taxable events) secara seksama. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perencanaan pajak adalah proses pengembalian faktor pajak yang relevan dan faktor non pajak yang material untuk menentukan : 1. Apakah; 2. Kapan; 3. Bagaimana; dan Dengan siapa (pihak mana) dilakukan transaksi, operasi, dan hubungan dagang yang memungkinkan tercapainya beban pajak pada tax events yang serendah mungkin dan sejalan dengan tercapainya tujuan perusahaan. Menurut
Zain
(2007:67)
Tujuan
dari
perencanaan
pajak
adalah
mengefisienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindakan pidana fiskal yang tidak akan ditoleransi. Penghindaran pajak adalah perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup perpajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan
18
perundang-undangan perpajakan. Sementara itu, penyelundupan merupakan perbuatan ilegal yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Perencanaan pajak dilakukan oleh wajib pajak baik badan maupun perseorangan dalam rangka meminimalkan PPh terutang, seorang wajib pajak harus tetap berpedoman pada peraturan perpajakan yang berlaku. Perencanaan pajak merupakan upaya legal dalam melakukan penghematan pajak karena hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur sehingga terbuka celah (loopholes). Rencana meminimalkan pajak dapat ditempuh misalnya, mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari kesatuan dan ketentuan mengenai pengecualian dan pemotongan atau pengurangan yang diperkenankan. Pada umumnya, perencanaan pajak dilakukan dengan tujuan untuk meminimalkan kewajiban pajak. Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi tersebut kena pajak. Bila transaksi tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk disesuaikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya. Menurut Suandy (2011:9) setidak-tidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak sebagai berikut. 1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Bila suatu perencanaan pajak dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan, bagi wajib pajak merupakan resiko pajak yang sangat berbahaya dan justru mengancam keberhasilan perencanaan pajak tersebut.
19
2. Secara bisnis masuk akal, karena perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh (global strategy) perusahaan, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Oleh karena itu, perencanaan pajak yang tidak masuk akal akan memperlemah perencanaan sendiri. 3. Bukti-bukti
pendukungnya
memadai,
misalnya
dukungan
perjanjian
(agreement), faktur (invoice), dan juga perlakuan akuntansinya (accounting treatment ) Dalam melakukan perencanaan pajak harus memperhatikan 3 hal tersebut di atas karena jika melanggar maka akan terjadi pemborosan sumber daya perusahaan seperti sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, maupun kenaikan. Sanksi tersebut merupakan denda keuangan (financial penalty) yang merupakan pemborosan dana, sedangkan sanksi pidana dapat berupa pidana penjara dan/atau denda keuangan. 2.1.3.1 Manfaat tax planning Apabila tax planning di perusahaan diterapkan dengan baik, benar dan tepat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku maka menurut Suandy (2008:8), manfaat perencanaan pajak pada prinsipnya adalah sebagai berikut : 1. Mengatur alur kas, merupakan perencanaan yang dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kasnya dengan lebih akurat. 2. Penghematan kas keluar, adalah perencanaan pajak yang dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan.
20
Prinsip-prinsip untuk menghemat pajak : a.
Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku.
b. Menyebar penghasilan kebeberapa tahun untuk menghindari pajak yang tinggi. c. Mengambil beberapa keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk tepat. d. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diukur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak dan potensi penghasilannya. 2.1.3.2 Motivasi Tax Planning Secara umum banyak motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak, namun motivasi-motivasi tersebut bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu : 1. Kebijakan perpajakan 2. Undang-undang perpajakan 3. Administrasi Kenyataannya menunjukan bahwa dimanapun tidak ada kebijakan maupun undang-undang yang mengatur permasalahan secara sempurna sehingga dalam pelaksanaannya selalu diikuti dengan ketentuan-ketentuan lain yang tidak jarang saling bertentangan dengan undang-undang itu sendiri. Akibatnya terbuka celah (loopholes) bagi wajib pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk perencanaan pajak yang baik. Indonesia dengan wilayah yang luas masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakan secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk memaksimalkan perencanaan yang baik agar terhindar dari
21
sanksi administrasi maupun pidana karena perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan wajib pajak akibat luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang belum efektif. Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak ikut mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah, untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakekatnya sama (karena pemerintah mempunyai tujuan lain tertentu) dengan memanfaatkan: a. Perbedaan tarif pajak (tax rates) b. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax base) c. Loopholes, shelters, dan havens 2.1.3.3 Formula Umum Pajak Penghasilan Sasaran pembuatan tax planning adalah meminimalkan pajak terutang untuk mencapai income after tax yang optimal. Untuk mengetahui komponen-komponen dalam tax planning, maka harus diperhatikan formula umum dalam tax planning. Formula umum adalah formula perhitungan pajak yang digunakan untuk mendesain perencanaan pajak dengan mendasarkan pada pajak penghasilan terutang atas penghasilan kena pajak (PKP). Formula ini dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan jumlah penghasilan kena pajak. Adapun formula umum adalah sebagai berikut Tabel 4 Formula Umum Pajak Penghasilan
22
1
Jumlah seluruh penghasilan
Pasal 4 ayat (1)
Penghasilan tidak objek pajak penghasilan
Pasal 4 ayat (3)
2
(-)
3
( = ) Penghasilan bruto
( 1-2 )
4
(-)
Pasal 6 ayat (1)
Biaya fiskal boleh dikurangkan
Pasal 11 Pasal 11 A Koreksi biaya fiscal tidak boleh dikurangkan
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2)
5
(=)
Penghasilan neto
(3-4)
6
(-)
Kompensasi kerugian
Pasal 6 ayat (2)
7
(-)
Pasal 7 ayat (1)
8
(=)
Penghasilan tidak kena pajak (WP orang pribadi) Penghasilan kena pajak
9
(x)
Tarif
Pasal 17
10
(=)
Pajak penghasilan terutang
(8x9)
11
(-)
Kredit pajak
12
(=)
Pasal 21 (WP orang pribadi) pasal 22,23,24,25 (10-11) pasal 28,28A,29
Pajak penghasilan kurang bayar/lebih bayar/nihil bayar Sumber: Zain (2007:79)
(5-6-7)
2.1.3.4 Penerapan Tax Planning Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan baik secara formal maupun material. Pelaksanaan kewajiban perpajakan harus dipastikan telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanannya menyimpang dari peraturan yang berlaku, maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak
23
Menurut Suandy (2011:13) Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut ini : 1. Menganalisis informasi yang ada Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung secara akurat mungkin beban pajak yang harus di tanggung. 2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak. Pembuatan model ini mempunyai tujuan untuk mengetahui rencana besarnya pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. 3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak Evaluasi ini dilakukan untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perpajakan. 4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak Suatu perencanaan baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai
bentuk perencanaan yang diinginkan. Jika ada perubahan
dalam peraturan perpajakan, maka diperlukan tindakan perubahan (up to date planning) 5. Memutakhirkan rencana pajak Merupakan konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap
24
perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial. Jadi prinsip utama yang harus diperhatikan dalam melakukan tax planning adalah bagaimana merencanakan suatu tindakan dengan cermat sehingga bisa melakukan penghematan pajak (tax saving) dan tidak terperangkap dalam tindakan yang melanggar peraturan perpajakan yang bisa ditindak oleh Negara. 2.1.4 Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (tax implementation) Menurut suandy (2011:10)
pelaksanaan kewajiban perpajakan telah
memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari peraturan yang berlaku, maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak. Untuk mencapai tujuan menejemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan, antara lain sebagai berikut: 1. Memahami ketentuan peraturan perpajakan Dengan mempelajari peraturan perpajakan seperti undang-undang, keputusan presiden, keputusan menteri keuangan, keputusan dirjen pajak, dan surat edaran dirjen pajak dapat diketahui peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak. 2. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat.
25
Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam penyajian informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak terutang. 2.1.5 Pengendalian Pajak (tax control) Menurut Suandy (2011:10) Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Hal terpenting dalam pengendalian pajak adalah pemeriksaan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya melakukan pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal. Pengendalian pajak termasuk pemeriksaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang. 2.1.6 Tax Planning Pajak Penghasilan Menurut Suandy (2011:10) Pajak penghasilan merupakan salah satu jenis pajak yang berkaitan erat dengan laba. Pengelolaan pajak diperlukan agar perolehan laba yang dicapai dapat dioptimalkan. Pengelolaan pajak ini dapat dilakukan dengan manajemen pajak yang baik. Salah satu unsur manajemen pajak adalah tax planning. 2.1.6.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya tahun pajak yang dimaksud dengan penghasilan dalam perpajakan dan yang termasuk objek pajak penghasilan
26
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, diuraikan dalam Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan pasal 4 ayat (1) adalah sebagai berikut : “Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. 2.1.6.2 Penghasilan Yang Merupakan Objek Pajak Bedasarkan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (1), penghasilan yang termasuk objek pajak adalah : a. Penggantian atau imbalan berkenan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjamgam, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. Laba usaha; d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang, sekutu, atau anggota;
27
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha; 4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. Bunga
termasuk
premium,
diskonto,
dan
imbalan
karena
jaminan
pengembalian utang; g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalty; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
28
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilain kembali aktiva; n. Premi asuransi; o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak” 2.1.6.3 Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak Berdasarkan pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak adalah: 1.a. Bantuan atas sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan berdasarkan Peraturan Pemerintah; b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
29
Keuangan (PMK), sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau pengusaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 2. Warisan; 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal; 4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/ atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan khusus (demand profit); 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; 6. Deviden atau bagian laba yang diterima perseroan terbatas dengan sebagian wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik Negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a. Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
30
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan (MK), baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang tertentu yang ditetapkan dengan Menteri Keuangan; 9. Bagian laba yang diterima anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 10. Penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan menteri keuangan; dan b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia 11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; 12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/ atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
31
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan. 2.1.6.4 Biaya Yang boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto ( Deductable Expense ) Menurut Suandy (2011:128) Secara akuntansi yang diterapkan perusahaan, seluruh beban dapat diperhitungkan sebagai pengurangan penghasilan, sedangkan secara fiskal tidak semua beban dapat diakui. Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 6, besarnya Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurang biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk : a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain : 1. Biaya pembelian bahan; 2. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3. Bunga, sewa, dan royalty; 4. Biaya perjalanan; 5. Biaya pengelolan limbah;
32
6. Premi asuransi; 7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan peraturan menteri keuangan; 8. Biaya administrasi; 9. Pajak, kecuali pajak penghasilan. b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat labih dari 1 (satu) tahun; c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan olek Menteri Keuangan (MK); d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. Kerugian selisih kurs mata uang asing; f. Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia; g. Biaya beasiswa, magamg dan pelatihan; h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat; 1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada direktorat jendral pajak; dan
33
3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang Negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah uang tertentu; 4. Syarat bagaimana dimaksud pada angka 3 telah berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil. i. Sumbangan
dalam
rangka
penanggulangan
bencana
nasional
yang
ketentuannya diatur dengan peraturan perpajakan; j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangannya yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan peraturan perpajakan; k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan peraturan perpajakan; l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan perpajakan; m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan peraturan perpajakan; n. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun).
34
2.1.6.5 Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Dari penghasilan Bruto (Non Deductable Expanse) Menurut Suandy (2011:129) Biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan menurut fiskal pada dasarnya meliputi pengeluaran yang sifatnya untuk keperluan pribadi, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Sedangkan biaya yang diperbolehkan adalah yang secara langsung mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan). Biaya yang tidak diperbolehkan bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT, sesuai dengan Undang-undang No.36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1), adalah: a. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang saham polis, dan pembagian sisa hasil koperasi; b. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan dana cadangan, kecuali: 1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial; 3. Cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan;
35
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; 6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengelolaan limbah industri, d. Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna dan beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan wajib pajak yang bersangkutan; e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan peraturan menteri keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan (dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-undang PPh) kecuali sumbangan (dalam pasal 6 ayat (1) huruf i sampai m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
36
oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah; h. Pajak penghasilan; i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. 2.1.7 Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial dengan Laporan Keuangan Fiskal Menurut Suandy (2011:87) perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersial yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya terkait, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah penerimaan negara. Dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, wajib pajak harus mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan Standart Akuntansi Keuangan (SAK) harus disesuaikan atau dibuat
37
koreksi fiskalnya terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat dikelompokkan menjadi dua, antara lain : 1. Perbedaan Waktu (timing differences) Perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan standart akuntansi keuangan.perbedaan waktu dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Perbedaan waktu positif apabila pengakuan beban untuk akuntansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan penghasilan untuk tujuan pajak lebih lambat dari pengakuan penghasilan untuk tujuan akuntansi. b. Perbedaan waktu negatif terjadi jika ketentuan perpajakan mangakui beban lebih lambat dari pengakuan beban akuntansi komersial atau akuntansi mengakui penghasilan lebih lambat dari pengakuan penghasilan menurut ketentuan pajak.
2. Perbedaan Tetap/Permanen (permanent differences)
38
Perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut standart akuntansi keuangan tanpa ada koreksi dikemudian hari, perbedaan tetap terbagi menjadi dua, yaitu: a. Perbedaan tetap positif apabila ada laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan pembebasan pajak; b. Perbedaan tetap negatif disebabkan adanya pengeluaran sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiskal. 2.2 Rerangka Pemikiran Rerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui bagan alur berikut :
PT. INDOJAYA MANDIRI
Penghasilan Wajib Pajak Badan
Penerapan Perencanaan Pajak
PPh pasal 29 Wajib Pajak Badan Gambar 1 Rerangka Pemikiran Penelitian
Keterangan : Penghasilan wajib pajak badan PT. Indojaya Mandiri dikenakan pajak sesuai dengan tarif yang berlaku. Untuk meminimalkan pajaknya, maka PT. Indojaya
39
Mandiri menerapkan perencanaan PPh badan pasal 29 sehingga diperoleh pajak yang masih harus dibayar dapat ditekan.