BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI
A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia Perjanjian sewa beli adalah termasuk perjanjian jenis baru yang timbul dalam masyarakat. Sebagaimana perjanjian jenis baru, sewa beli di Indonesia belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar hukum diatas dan juga surat keputusan Menteri Perdagangan dan Kopersi tidak ada keseragaman. Namun kalau diperhatikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian sewa beli lebih cenderung mengarah atau menjurus pada bentuk perjanjian jual beli, dari pada sewa menyewa. Karena dalam perjanjian sewa beli, peralihan hak milik adalah yang menjadi pokok utamanya. Jadi tujuan sewa beli adalah untuk menjual barang, bukan untuk menyewakan atau menjadi penyewa barang. Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli barang sekaligus atau lunas, maka diadakn suatu perjanjan dimana pembeli diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih menjadi penyewa. Sebagai penyewa, maka ia hanya berhak atas pemakaian atau mengambil manfaat atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk mengalihkan atau memindah tangankan barang tersebut kepada orang lain. Jika
Universitas Sumatera Utara
hal tersebut dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana karena dianggap menggelapkan barang milik orang lain. Sewa beli tidak ada diatur di dalam undang-undang tersendiri, akan tetapi baru diatur dalam SK Menteri Perdagangan dan Koperasi no. 34 / KP / II / 1980. Namun dalam SK Menteri tersebut belum dijelaskan mengenai hak-hak dan kewajiban para pihak dalam sewa beli. Disitu hanya dijelaskan tentang perjanjian kegiatan usaha sewa beli, jual beli dengan angsuran, dan sewa. Mengenai objek perjanjian sewa beli telah ditentukan secara jelas dalam pasal 2 ayat (1) SK Menteri tersebut, yaitu semua barang niaga tahan lama yang baru dan tidak mengalami perubahan tekhnis, baik berasal dari produksi sendiri ataupun hasil perakitan (assembling) atau hasil produksi lainnya didalam negeri. Namun dalam pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai wujudnya apakah barang bergerak atau tetap. Dalam perjanjian sewa beli yang bertindak sebagai subyek adalah penjual sewa. Mengenai pihak yang dapat menjadi pembeli sewa, ini bisa perseorangan atau badan hukum. Penjual sewa ataupun pembeli sewa ini umumnya sering dengan istilah “para pihak”.
B. Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Lainnya Untuk melihat perbedaan yang nyata antara sewa beli dengan perjanjian lainnya, maka berikut akan dideskripsikan beberapa bentuk perjanjian yang ada, yakni: 1. Sewa Beli Sewa beli merupakan perjanjian di mana harga barang dapat dicicil, sedangkan barangnya seketika dapat diserahkan kepada pembeli.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun
barang
telah
diserahkan
kepada
pembeli,
tetapi
hak
kepemilikannya masih ada pada penjual sehingga pembayarannya selama masa angsuran dianggap sebagai sewa sampai seluruh harga dipenuhi. Kepemilikan atas barang baru berpindah kepada pembeli pada saat angsuran terakhir telah dibayar. Karena pembeli belum menjadi pemilki atas barang yang dibeli, maka ia tidak diperbolehkan menjualnya atau bertindak hukum lain yang dipersyaratkaan
menjadi
pemilik
barang,
seperti
menggandaikan,
menghipotikkan dan lain-lain. Jika hal itu dilakukan, maka pembeli telah melakukan tidak pidana penggelapan. Sri Gambir Melati Hatta 24 menyebut sewa beli dengan “beli sewa” dengan alasan bahwa niat utama para pihak adalah peralihan hak, bukan sekedar penikmatan atas objek perjanjian atau sewa saja. Oleh karena itu Sri Gambir lebih menekankan kepada pembeliannya bukan kepada sewanya meskipun pengertiannya sama. Terhadap alasan yang dikemukakan oleh Sri Gambir di atas, namun perlu diberikan perbandingan dengan jenis perjanjian yang disebut “koop en verkoop op afbetaling” atau yang lebih populair dengan sebutan jual beli cicilan atau jual beli angsuran. Dalam perjanjian jual beli angsuran, hak kepemilikan atas objek perjanjian sudah berpindah sejak penyerahan barang, namun harganya dapat dicicil. Pada dasarnya dari sisi pelaksanaan perjanjian antara sewa beli dan jual beli cicilan tidak berbeda tetapi dari sisi hak kepemilikan dan akibat
24
Sri Gambir Melati Hatta, Op.cit, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
hukumnya sangat berbeda. Perbedaan antara keduanya, dalam perjanjian sewa beli meskipun barang sudah diserahkan tetapi hak kepemilikannya belum berpindah kepada pembeli, dan baru berpindah setelah dilunasi seluruh harga, sedangkan dalam jual beli angsuran, hak milik sudah berpindah sejak penyerahan barang. Adapun persamaan antara keduanya, penjual sama-sama telah menyerahkan barang dan pembeli belum membayar seluruh harga barang karena pembayarannya dilakukan secara angsuran. Akibat dari perbedaan atas kepemilikan itu, maka berbeda pula akibat hukumnya. Dalam jual beli, oleh karena pembeli sudah menjadi pemilik barang, maka ia bebas bertindak hukum atas barang, misalnya: menjual, menggadaikan, menyewakan dan lain-lain, sedangkan dalam sewa beli karena pembeli belum menjadi pemilik barang, maka ia tidak boleh bertindak hukum atas barang tersebut. 2. Jual beli Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang di dalam KUHPerdata di atur dalam pasal 1457– 1546, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak miliknya atas sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya. 25 Perjanjian jual beli telah dianggap ada apabila kedua belah pihak telah sepakat tentang barang dan harga.
25
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa. 1979, hal.135.
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang serta menjamin bahwa pembeli dapat memiliki barang dengan aman dan tenteram dan bertanggung jawab atas cacat yang tersembunyi. Adapun kewajiban pembeli adalah membayar harga pada waktu dan tempat yang disepakati. Menurut undang-undang, benda yang dibeli harus diserahkan pada waktu ditutupnya perjanjian dan di tempat barang itu berada, dan mulai saat itulah resiko atas barang menjadi tanggung jawab pembeli. Namun dalam praktik, apalagi pada saat sekarang di mana jual beli dapat dilakukan lintas negara, maka ketentuan demikian sudah tidak dianut. Sebagaimana sifat perjanjian yang terbuka, kedua belah pihak dapat memperjanjikan sendiri tentang cara-cara melakukan pembayaran maupun cara penyerahannya. Mereka bebas menentukan sendiri sesuai yang diinginkan sehingga ketentuan yang ada dalam undang-undang hanya berlaku apabila para pihak tidak menentukan lain. Yang perlu diperhatikan adalah kapan pembeli menjadi pemilik barang. Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpidah kepada si pembeli, selama belum dilakukan penyerahan (pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata). Khusus mengenai kepemilikan benda tidak bergerak yang diperoleh atas dasar jual beli terdapat ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 616 jo. pasal 620 KUHPerdata yaitu dengan cara mendaftarkan peralihan hak milik pada kantor pertanahan. Selama belum didaftarkan, maka kepemilikannya itu belum sempurna.
Universitas Sumatera Utara
3. Pinjam Meminjam Perjanjian pinjam meminjam dibedakan dalam dua jenis yaitu pinjam meminjam dengan objek barang yang dapat diganti atau barang yang habis pakai, misalnya uang, makanan atau yang sejenis, dan pinjam meminjam dengan objek barang yang tidak dapat diganti atau barang tidak habis pakai. Perjanjian jenis pertama ini oleh Subekti26 digunakan sebutan pinjam meminjam, sedangkan jenis kedua dinamakan pinjam pakai. Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada kepemilikan dan pengembalian barang pinjaman. Jika objek perjanjian merupakan barang yang tidak dapat diganti atau tidak habis pakai, maka barang tetap menjadi milik pemberi pinjaman (1741 BW) dan setelah habis masa pinjaman si peminjam harus mengembalikannya dalam keadaan seperti semula. Oleh karena itu selama masa peminjaman, penerima pinjaman harus memelihara barang sebaik-baiknya seolah-olah miliknya sendiri atau yang dikenal dengan sebutan “seorang bapak rumah yang baik”. Jika objeknya perjanjian berupa barang yang dapat diganti atau habis pakai, maka barang yang diserhakan menjadi milik penerima pinjaman, sedangkan pemberi pinjaman berhak atas pengembalian barang dengan jumlah dan kualitas yang sama. Dalam perjanjian pinjam uang seringkali disertai perjanjian pembayaran bunga sehingga jumlah yang dikembalikan lebih besar daripada yang dipinjamkan. Hal demikian memang dibenarkan menurut ketentuan
26
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit, hal. 119
Universitas Sumatera Utara
KUHPerdata, namun menurut hukum Islam temasuk riba dan hukumnya haram. 4. Sewa Menyewa Sewa menyewa merupakan bentuk perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama waktu tertentu, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar harga yang ditetapkan untuk pemakaian pada waktu yang ditentukan. 27 Perjanjian sewa menyewa tidak bertujuan untuk memberikan kepemilikan, melainkan hanya untuk pemakaian. Apabila pihak yang diserahi barang itu tidak ada kewajiban membayar suatu harga, maka perjanjian semacam ini disebut pinjam pakai. Kewajiban pihak
yang
menyewakan adalah meyerahkan barang,
memelihara barang yang disewakan agar dapat dipakai untuk keperluan dimaksud, dan memberikan ketenteraman dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan. Adapun kewajiban penyewa adalah memakai barang secara baik atau secara patut, membayar harga sewa, menanggung
resiko
karena
kesalahan
atau
kelalaiannya
dan
mengembalikan barang sewaan. 28 Perjanjian sewa menyewa bukan memberikan hak kebendaan, melainkan hak perseorangan sehingga karenanya penyewa tidak boleh menjual, atau menggadaikan benda yang disewa, bahkan menyewakan kepada orang lain pun tidak dibolehkan. 27 28
Subekti, Pokok-pokok………., Op cit, hal. 137. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, hal. 223-231.
Universitas Sumatera Utara
5. Leasing Leasing merupakan perjanjian berkenaan dengan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh lessee (penyewa) dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Perjanjian ini mirip dengan sewa menyewa. Subekti29 menyatakan bahwa leasing pada dasarnya merupakan perjanjian sewa menyewa di mana lessor (pemberi sewa) menyerahkan barang untuk dimafaatkan oleh lessee, sehingga karenanya leasing disebut juga perjanjian sewa guna usaha atau sewa pakai. Sobjek perjanjian leasing pada umumnya antara perusahaan dengan perusahaan, sedang objeknya pada mulanya berupa alatalat berat atau mesin-mesin pabrik, namun kemudian berkembang ke barang-barang lain seperti rumah, mobil dan lain-lain. Ada dua jenis leasing yakni operating lease dan financial lease. Perbedaan antara keduanya adalah jika dalam operating lease barang yang diserahkan lessor kepada lesee berupa barang jadi, sedangkan dalam financial lease barangnya dipesan sendiri oleh lesse atas pembiayaan lessor. Selain itu dalam operating lease pemeliharaannya menjadi tanggung jawab lessor sedangkan dalam financial lease pemeliharaan dan asuransinya pada umumnya menjadi tanggung jawab lessee. Baik dalam operating lease dan financial lease sering disertai dengan hak opsi bagi penyewa untuk
29
Subekti, Pokok-pokok……., Op cit, hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
membeli setelah berakhirnya masa perjanjian dengan harga murah atau dengan kondisi yang ringan. 30 Karena perjanjian leasing merupakan perjanjian sewa menyewa, maka selama masa leasing kepemilikan benda tetap ada pada lessor. Lessse semata-mata hanya memilki hak memanfaatkan barang, atau menurut istilah Subekti31 sebagai “pemilik ekonomis” karena mendapatkan manfaat dari barang, sedang resikonya ditanggung oleh lessor. Perbedaan antara leasing dengan sewa beli terletak pada peralihan hak milik. Dalam leasing kepemilikan barang sampai akhir perjanjian tetap di tangan lessor, sedangkan dalam sewa beli kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli sejak dilakukan pembayaran angsuran terakhir. Namun dalam dunia bisnis saat sekarang telah terjadi pergeseran pengertian leasing dimana perolehan barang seperti mobil atau motor yang didasarkan atas perjanjian sewa beli juga disebut leasing. Terhadap leasing seperti ini oleh Kurnia 32 dimasukkan dalam financial lease. Lebih lanjut Kurnia 33 mengemukakan bahwa financial lease dalam praktik saat ini merupakan suatu bentuk sewa di mana kepemilikan barang berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap milik pemberi sewa (perusahaan leasing) karena akadnya dianggap
30
Ibid, hal. 56. Ibid 32 Kurnia, Hukum Seputar Leasing (http://ayok.wordpress.com/2006/12/21/ hukumleasing/). Diakses pada tanggal 25 Februari 2009. 33 Ibid 31
Universitas Sumatera Utara
sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini menurut Kurnia didasarkan atas alasan hadiah pada akhir penyewaan, atau pemberian cumacuma, atau janji dan alasan lainnya. Menurut penilaiannya dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus yakni sewa sekaligus beli sehingga karenanya leasing dalam bentuk ini sering disebut sewa-beli. Praktik yang terjadi di masyarakat berkenaan perolehan mobil atau motor pada umumnya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli, namun perjanjiannya seringkali bertitel leasing atau sewa beli dengan disertai berbagai klausul untuk melindungi kepentingan penjual dari keadaan yang tidak diinginkan. Sri Gambir 34 dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain: a. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannnya dianggap
batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa. b. Penjual berhak menarik gaji/upah pembeli. c. Penjual berhak mengenakan denda. d. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa
angsuran dan denda. Selain klausul-klausul di atas Sri Gambir juga menemukan klausul-klausul yang sangat merugikan pembeli, misalnya:
34
Sri Gambir Melati Hatta, Op cit, hal. 170-189.
Universitas Sumatera Utara
a. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas
barang. b. Pelepasan pembatalan perjanjian melalui hakim. c. Perjanjian bernilai eksekutorial.
Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain. Memperhatikan beberapa karakter dari perolehan mobil atau motor seperti ini mengakibatkan tidak jelasnya bentuk perjanjian, apakah termasuk sewa beli atau jual beli angsuran. Jika termasuk sewa beli tentunya kepemilikan barang masih atas nama penjual tidak ata nama pembeli, tetapi kenyataannya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli. Jika termasuk jual beli angsuran tentunya tidak dibenarkan adanya klausul-kalusul seperti itu. Mahkamah Agung 35 dalam beberapa putusannya antara lain: putusan Nomor
1243K/Pdt/1983
tanggal
19
April
1985,
dan
Nomor
935K/Pdt/1985 tanggal 30 September 1986 berpendapat bahwa oleh karena STNK dan BPKB sudah atas nama pembeli, maka kepemilikan barang sudah beralih kepada pembeli. Putusan ini memberikan pengertian
35
Ibid, hal. 207.
Universitas Sumatera Utara
bahwa perjanjian semacam itu dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli agsuran. Dengan mendasarkan kepada putusan Mahkamah Agung tersebut, maka dalam hal terjadi sengketa harta bersama berupa mobil atau motor yang diperoleh berdasarkan leasing ataupun sewa beli, sedangkan STNK dan BPKB-nya sudah atas nama pembeli, maka yang dinyatakan sebagai harta bersama adalah barang tersebut serta hutang sisa angsuran, bukan jumlah uang angsuran yang telah dibayarkan.
C. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Beli Pihak-pihak dalam perjanjian sewa beli adalah pihak penjual dan pihak penyewa. Masing-masing penjual dan penyewa memiliki hak dan kewajiban satu sama lain. Hak dan kewajiban sewa beli hampir sama dengan hak dan kewajiban dalam jual beli, yaitu mempunyai tujuan mengalihkan hak milik atas suatu barang. Hanya saja ada perbedaan mengenai cara pembayaran serta perolehan miliknya. Jika dilihat dari perjanjiannya maka kewajiban penjual sewa adalah sebagai berikut: 1. Menyerahkan barang atau benda (tanpa hak milik) kepada pembeli sewa. 2. Menyerahkan hak milik secara penuh kepada pembeli sewa, setelah obyek tersebut dilunasi Kewajiban yang pertama tersebut dilakukan oleh penjual sewa pada saat ditutupnya perjanjian sewa beli antara penjual sewa dan pembeli sewa. Yang diserahkan adalah hanya untuk menguassaai atas barangnya saja, bukan hak milik
Universitas Sumatera Utara
atas barang. Penyerahan ini dimaksudkan agar barang yang menjadi obyek sewa beli tersebut dapat digunakan atau diambil manfaatnya oleh pembeli sewa. Kewajiban yang kedua untuk menyerahkan hak milik dari suatu barang itu kepada pembeli sewa secara sepenuhnya yang dimaksud adalah bahwa penjual sewa setelah menyerahkan hak tersebut, bebas berbuat apa saja atas barang miliknya. Penyerahan ini dilakukan setelah pembeli sewa melunasi angsuranangsuran yang menjadi harga barang tersebut. Perjanjian sewa beli adalah merupakan percampuran antara perjanjian jual beli dan sewa menyewa. Oleh karena itu pihak pembeli tidak dapat membeli barang sekaligus atau lunas, maka diadakan suatu perjanjan dimana pembeli diperbolehkan mengangsur dengan beberapa kali angsuran. Sedangkan hak milik baru akan berpindah tangan pada saat pembeli sudah membayar semua angsuran dengan lunas. Dan selama angsuran tersebut belum dilunasi maka pembeli masih menjadi penyewa. Sebagai penyewa, hanya berhak atas pemakaian atau mengambil manfaat atas barang tersebut dan penyewa tidak mempunyai hak untuk mengalihkan atau memindah tangankan barang tersebut kepada orang lain. Jika hal tersebut dilakukan oleh pembeli sewa, maka ia akan dikenai sanksi pidana karena dianggap menggelapkan barang milik orang lain.
D. Bentuk dan Isi Perjanjian Sewa Beli 1. Bentuk perjanjian sewa beli Bentuk perjanjian sewa beli Sesuai dengan sistem terbuka yang dianut dalam Buku III KUH Perdata mengenal adanya asas kebebasan berkontrak
Universitas Sumatera Utara
(pasal 1338 ayat 1) maka pihak dalam membuat perjanjian sewa beli, para pihak
diberikan
kebebasan
untuk
menentukan
bentuk
dan
isi
perjanjiannya. Hukum perjanjian memberikan kebebasan sepenuhnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum, dan Kesusilaan. Sehingga berdasarkan hal tersebut diatas, maka perjanjian sewa beli dapat dibuat secara lisan maupun tulisan. Namun agar para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa beli itu merasa aman dari penyelewengan atau penipuan, maka perjanjian sewa beli harus dituangkan dalam bentuk tertulis, baik itu dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan. 2. Isi perjanjian sewa beli Isi perjanjian sewa beli sepeda motor yang dituangkan dalam bentuk tulisan baik dengan akta notaris maupun akta dibawah tangan pada umumnya berisi tentang: a. Tanggal mulai berlakunya perjanjian sewa beli. b. Jumlah angsuran dan berapa kali angsuran tersebut harus dibayaroleh pembeli sewa. c. Jangka waktu untuk tiap-tiap angsuran. d. Penjelasan mengenai ciri dan jenis barang serta keadaan barang. e. Harga barang apabila dibeli secara tunai. f. Cara pembayaran angsuran tidak dengan tunai. g. Tanda tangan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian diatas
Universitas Sumatera Utara
h. Hal-hal yang dianggap perlu seperti : angsuran, bunga, pajak, asuransi, dan lain sebaginya. 36
E. Resiko dalam Sewa Beli Pada
perjanjian-perjanjian
tertentu,
mengenai
resiko
telah
ada
pengaturannya, seperti yag telah dijelaskan dalam uraian diatas misalnya: pada perjanjian resiko ada pada pihak pembeli (pasal 1460 KUHPerdata), sedangkan pada perjanjian sewa menyewa resiko ditentukan pada pihak penjual (pasal 1553 KUHPerdata). Kedua perjanjian resiko tersebut sebenarnya adalah merupakan unsur dari perjanjian sewa beli. Tetapi perjanjian sewa beli bukanlah perjanjian jual beli atau penjanjian sewa menyewa, tetapi merupakan perjanjian jenis baru. Oleh karena itu mengenai siapa yang menjadi penanggung resiko apabila terjadi suatu overmacht tidak ada ketentuan yang mengaturnya.
F. Berakhirnya Perjanjian Sewa Beli Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perjanjian sewa beli sampai saat sekarang belum ada Undang-Undang khusus yang mengaturnya. Sewa beli hanya didasari oleh SK Menteri No. 34 / KP / II / 1980. Dimana dalam SK Menteri ini, sewa beli belum diuraikan secra lengkap dan rinci, Termasuk di dalam isinya belum memuat tentang kapan berakhirnya suatu perjanjian sewa beli. Berakhirnya perjanjian sewa beli ini, para pihak boleh sesuai dengan kesepakatan para pihak
36
Subekti, Aneka Perjanjian……, Op.cit, 56.
Universitas Sumatera Utara
sehingga sudah barang tentu disini terdapat kemungkinan cara untuk mengakhirinya. Adapun kemungkinankemungkinan yang dapat dijadikan cara untuk mengakhiri suatu perjanjian tersebut: 1. apabila angsuran sudah dibayar lunas oleh pihak penyewa 2. apabila salah satu pihak meninggal dunia dan tidak ada ahli warisnya yang meneruskan, atau mungkin ada ahli warisnya yang namun tidak mau meneruskan 3. apabila terjadi perampasan barang yang menjadi obyek perjanjian sewa beli oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lawannya 4. apabila setelah adanya putusan dari pengadilan yang bersifat tetap37 Dari uraian di atas yang paling umum terjadi dalam hal peralihan hak secara penuh dalam sewa beli sepeda motor terjadi jika si pembeli sewa telah membayar angsuran sepeda motor guna melunasi harga barang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
37
Ibid, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara