9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Pajak Beberapa definisi pajak dari para ahli, adalah sebagai berikut : Menurut Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Dasar-dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan, “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Dengan penjelasan sebagai berikut : “dapat dipaksakan” artinya : bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbalbalik tertentu seperti halnya dengan retribusi (Erly Suandy, 2008;4). Menurut S. I. Djajadiningrat pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke kas negara yang disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan Pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum (Siti Resmi, 2007;1). Menurut Dr. Soeparman Soehamihaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak berdasarkan Asas Gotong Royong” di Universitas Padjadjaran, Bandung, tahun 1964, pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut
10
oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (Y. Sri Pudyatmoko, 2009). Selain itu pengertian tentang pajak juga dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Andriyani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo, SH dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang ada gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan Pemerintahan (Waluyo-Wirawan B. Ilyas, 2003;1). Berdasarkan pengertian pajak di atas, terdapat empat unsur pembentuk pengertian pajak yang utama, adalah sebagai berikut: a. Iuran dari rakyat kepada negara. b. Berdasarkan undang-undang. c. Tanpa jasa timbal-balik dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. d. Digunakan untuk membiayai keperluan rumah tangga negara. Dalam pembahasan Ketentuan Umum dan tatacara Perpajakan akan dijumpai pengertian-pengertian atau istilah-istilah, antara lain: a) Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
11
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu. ( Prof. Dr. Mardiasmo,2003: 12). b) Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal
yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha ataupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,organisasi sosial politik atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. ( Waluyo, Wirawan B. Ilyas, 2003, 25). c) Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 bulan takwim. ( Prof. Dr. Mardiasmo,2003, 12). d) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim (1 Januari sampai dengan 31 Desember) kecuali bila Wajib Pajak ternyata tahun pajaknya tidak sama dengan tahun takwim, maka Wajib Pajak harus melapor/membertahukan
kepada
Direktur
Jendral
Pajak
untuk
mendapatkan persetujuan. ( Waluyo, Wirawan B. Ilyas, 2003, 25). e) Surat Pemberitahuan (SPT) adalalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
12
f) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah suatu sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. g) Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada saat dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. h) Surat Setoran Pajak adalah surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara melalui kantor pos atau bank Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk Menteri Keuangan. Pajak mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu: Fungsi Penerimaan (Budgetair) yaitu pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi Pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. Fungsi Mengatur (Regularend) yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, contoh: tarif pajak untuk ekspor sebesar Rp. 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan). Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-
13
masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis). Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis). Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan,
sehinga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil). Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem ini akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Contoh: tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi satu tarif 10%. Dengan dasar teori yang ada, negara mempunyai hak untuk memungut pajak, beberapa teori tersebut antara lain:
14
a. Teori Asuransi. Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena telah memperoleh jaminan perlindungan tersebut. b. Teori Kepentingan. Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan)
masing-masing
orang.
Semakin
besar
kepentingan seseorang terhadap negara, semakin tinggi pajak yang harus dibayar. c. Teori Daya Pikul. Beban pajak untuk semua harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. d. Teori Bakti. Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran terhadap pajak adalah suatu kewajiban. e. Teori Asas Daya Beli. Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak bearti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya, negara akan menyalurkannya
kembali
kepada
masyarakat
dalam
bentuk
15
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan. Dalam pajak juga terdapat pembagian atau pengelompokan jenis pajak yang diantaranya adalah sebagai berikut: a. Pajak menurut golongannya 1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). 2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). b. Pajak menurut sifatnya 1. Pajak subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri sendiri Wajib Pajak. Contoh: PPh. 2. Pajak obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: PPnBM, PPn. c. Pajak menurut lembaga pemungutannya 1. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: PPh, PPnBM, PBB, dan Bea Materai.
16
2. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai ruah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: a. Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), contoh: pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. b. Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), contoh: Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerang Jalan. 2.2
Tata Cara Pemungutan Pajak Ada dua cara pemungutan pajak, diantaranya Stelsel Pajak dan Asas
Pemungutan Pajak. Pemungutan Pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel: a. Stelsel Nyata Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya adalah pajak dapat diketahui setelah akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel Anggapan Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun besarnya pajak sudah dapat ditetapkan untuk tahun pajak berjalan. Kelebihannya
17
adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu akhir periode, kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. c. Stelsel Campuran Pengenaannya merupakan kombinasi dari stelsel nyata dan anggapan, di awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak dihitung disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada besarnya pajak menurut snggapan maka Wajib Pajak harus menambah beban pajak yang ditanggung. Sebaliknya, jika lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta. Dan untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Diantara asas-asas pajak tersebut antara lain: a. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima.
Adil
dimaksudkan
bahwa
setiap
Wajib
Pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.
18
b. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran. c. Convenience Kapan Wajib Pajak harus membayar pajak sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem ini disebut pay as you earn. d. Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak. 2.3
Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assesment System Adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2. Wajib Pajak bersifat pasif. 3. Utang pajak timbul setalah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
19
b. Self Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. 2. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oelh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur, yaitu: tarif pajak dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau presentase tertentu, diantaranya:
20
1. Tarif Sebanding/proporsional Tarif berupa presentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. 2. Tarif Tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. 3. Tarif Progresif Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. 4. Tarif Degresif Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. 2.4
Sejarah Pajak Penghasilan Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan
sudah terdapat pada zaman romawi kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 SM. Pengenaan pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643 dimana dasar pengenaan pajak adalah “a person faculty, personal faculties and abilities”. Pada tahun 1646 di Massachusset dasar pengenaan pajak didasarkan pada “returns and gain”. “Tersonal faculty and abilities” secara
21
implisit adalah pengenaan pajak penghasilan atas prang pribadi, sedangkan “returns and gain” berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan tax reform act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (Tax Return) yang dibuat pada tahuan 1860-an berdasarkan undangundang Pajak Federal tersebut te;ah dipergunakan sampai dengan tahun 1962. ( www.aristyaputra.blogspot.com ). 2.5
Pajak Penghasilan di Indonesia Sejarah pengenaan pajak penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya
tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty” sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi. Pada tahun 1908 terdapat Ordonasi Pajak Pendapatan yang diberlakukan untuk orang Eropa dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamya. Dasar pengenaan pajaknya,
22
penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tidak bergerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria teretentu. Selanjutnya tahun 1920 dianggap sebagai tahuan unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan yang dibaharui tahun 1920 yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber. Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan, pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordinansi Pajak Perseroan tahun 1925 yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan yang telah dikenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Penisbahan dan Peneyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayan 1923 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No.8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur (regulerend) dimasukkan ke dalam ordinansi PPs 1925, khususnya tentanng ketentuan ”tax holiday”. Ordonansi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform. Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai
23
berlakuknya ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan tahuan 1932 yang dikenakan kepada orang pribadi. Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia, kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannya di Indonesia. Ordonansi ini juga telah menganal asas sumber dan asas domisili. Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah ordonansi Pajak Upah yang memberi kewajiban majikan untuk memotong Pajak Upah/Gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Pajak Perang menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Pajak Peralihan. Dengan UU No.21 tahun 1957 nama pajak peralihan diganti menjadi Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat PPd. saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No.8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendaptan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925 yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS” perubahan lainnya adalah dengan UU No.9 Tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983. Yakni dengan diadaknnya tax reform di Indonesia. ( www.aristyaputra.blogspot.com ).
24
2.6
Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa. Jadi, pengertian pajak penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak, untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Subyek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima dalam Tahun Pajak, diantaranya: a.
Orang pribadi.
b.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan.
c.
Badan.
d.
Bentuk usaha tetap.
Berdasarkan lokasi geogafris, subyek pajak dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.
Subyek pajak dalam negeri
a. Orang pribadi yang tinggal di Indonesia selama 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
25
c. Warisan yang belum terbagi menjadi satu kesatuan, menggantikan ang berhak. 2.
Subyek pajak luar negeri
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap. b. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap. Perbedaan Subyek Pajak Dalam Negeri dan Subyek Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain: 1. Subyek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia atau luar Indonesia, sedangkan Subyek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. 2. Subyek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Subyek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadan.
26
3. Subyek Pajak Dalam Negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, sedangkan
Subyek Pajak
Luar Negeri tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Obyek pajak PPh adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia ataupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Penghasilan tersebut dikelompokkan menjadi: a.
Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas.
b.
Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
c.
Penghasilan dari modal atau penggunaan harta.
d.
Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah undian.
Obyek pajak PPh diantaranya: 1.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima, termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya.
2.
Hadiah dari undian atau pekerjaan dan penghargaan.
3.
Laba usaha.
4.
Keuntungan karena penjualan.
5.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
27
6.
Bunga termasuk diskonto, premium dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7.
Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun.
8.
Royalti.
9.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan pemerintah. 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi. 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan anggotanya yang terdiri Wajib Pajak yang menajalankan usaha. 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari panghasilan yang belum dikenai pajak. Ada penghasilan yang tidak dipotong PPh pasal 21, diantaranya adalah: a) Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa. b) Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah kecuali yang diberikan oleh Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus.
28
c) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada Badan penyelenggara Jamsostek yang diberi oleh pemberi kerja. d) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. Berikut penghasilan yang dipotong PPh pasal 21, diantaranya adalah: a) Uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan dan tunjangan hari tua yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja. b) Uang pesangon. c) Hadiah dari penghargaan lomba. d) Hononarium atau komisis yang dibayarkan kepada penjaga barang dan petugas dinas luar asuransi. e) Penghasilan bruto berupa hononarium dan imbalan lain dengan anama apapun yang diterima oleh pajabat Negara, pegawai sipil, anggota TNI?POLRI, yang sumber dananya berasal dari keuangan neagara atau keuangan daerah kecuali yang dibayarkan oleh pegawai negeri sipil golongan II.d kebawah dan anggota TNI atau POLRI berpangkat pembantu letnan satu kebawah atau ajun inspektur tingkat satu kebawah.
29
Cara menghitung tarif pajak adalah: Tarif PPh 21 = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak Dalam menghitung pajak penghasilan yang terutang, dibedakan antara Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri. Wajib Pajak Luar Negeri dasar perhitungannya adalah sebesar penghasilan bruto, sehingga Pajak Penghasilan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan penghasilan bruto. Sedangkan, dalam menghitung tarif pajak Wajib Pajak Dalam Negeri ada dua cara yaitu: 1.
Perhitungan PPh dengan dasar pembukuan. a. Wajib Pajak Badan. Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan sebagai Objek Pajak - Biaya Contoh Perhitungan: -
Peredaran Bruto (objek pajak)
Rp.100.000.000,00
-
Biaya untuk menagih dan
Rp. 65.000.000,00 –
memelihara penghasilan -
Penghasilan kena pajak
-
Maka PPh Terutang =
Rp. 35.000.000,00
5% x Rp. 35.000.000,00 = Rp.1.750.000,00 b. Wajib Pajak Orang Pribadi Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan sebagai Obyek Pajak – Biaya - PTKP
30
Contoh Perhitungan: - Peredaran bruto (objek pajak)
Rp. 100.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
Rp. 65.000.000,00–
- Penghasilan netto
Rp. 35.000.000,00
- Pengurangan PTKP (K/3)
Rp. 18.480.000,00–
- Penghasilan kena pajak
Rp. 16.520.000,00
- PPh terutang= 5% x Rp. 16.520.000,000= Rp. 826.000,00 2.
Perhitungan
PPh
dengan
menggunakan
norma
perhitungan
penghasilan neto. Besarnya
penghasilan
neto
adalah
sama
dengan
besarnya
(presentase) Norma Penghasilan Neto dikalikan jumlah peredaran usaha dan atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun. Wajib Pajak yang boleh menggunakan norma perhitungan ini adalah Wajib Pajak Pribadi dengan syarat: a. Peredaran bruto maksimal Rp. 600.000.000,00 per tahun. b. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku. c. Menyelenggarakan pencatatan.
31
Berikut ini tabel tarif pajak PPh Pasal 17 serta besarnya PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) untuk tahun pajak 2010 dan 2011: Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
5%
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp.
15%
250.000.000,Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp.
25%
500.000.000,30%
Diatas Rp. 500.000.000,-
Besarnya PTKP yang berlaku sesuai dengan pasal 7 No.36 Tahun 2008 tentang PPh : a. Rp.15.840.000,- untuk Wajib Pajak orang pribadi b. Rp.1.320.000,- untuk Wajib Pajak yang kawin. c. Rp.15.840.000,-
tambahan
untuk
seorang
istri
yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. d. Rp. 1.320.000,- Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang diatnggung sepenuhnya , maksimal 3 orang untuk setiap keluarga.
32
2.7
Surat Pemberitahuan (SPT) Pasal 1, angka 10 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Adapun fungsi SPT dapat dilihat dari Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak atau Pemotong/ Pemungut Pajak sebagai berikut: 1. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Penghasilan a. Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang sebenarnya terutang. b. Melapor pembayaran atau pelunasan pajak yang tela dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak. c. Melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dari satu masa pajak, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak a. Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPn dan PPnBM yang sebenarnya terutang. b. Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Pengeluaran.
33
c. Melaporkan
pembayaran
atau
pelunasan
pajak
yang
telah
dilaksanakan dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan dengan perundang-undangan yang berlaku. 3. Fungsi SPT bagi Pemotong atau Pemungut Pajak a.
Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetor.
Surat Pemberitahuan (SPT) mempunyai dua jenis, yaitu : SPT Massa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat, sedangkan
SPT Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak. Cara mengisi dan penyampaian SPT adalah : 1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. 2. Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
34
2.8
Kesadaran Wajib Pajak Kesadaran adalah sikap kesadaran akan perbuatan, tanggungan terhadap
sesuatu, dalam hal ini adalah kesadaran akan tanggungan pajak oleh Wajib Pajak. Sedangkan dalam pengertian kepatuhan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (sebagaimana yang dikutip Kiryanto, 2000), kepatuhan berarti tunduk atau patuh terhadap aturan. Kesadaran akan kepatuhan Wajib Pajak adalah kesadaran akan taat, patuh terhadap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Pada tahun 1983 sejak adanya reformasi perpajakan dengan Indonesia menganut Self Assesment System, menurut Dr. Mardiasmo, MBA Ak. (2001) Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam hal ini Wajib Pajak mempuyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap dan tepat waktu. Kesadaran membayar pajak ini tidak hanya memunculkan sikap patuh, taat dan disiplin semata tetapi diikuti sikap kritis juga. Semakin maju masyarakat dan pemerintahannya, maka semakin tinggi kesadaran membayar pajaknya namun tidak hanya berhenti sampai di situ justru mereka semakin kritis dalam menyikapi masalah perpajakan, terutama terhadap materi kebijakan di bidang perpajakannya, misalnya penerapan tarifnya, mekanisme pengenaan pajaknya, regulasinya, benturan praktek di lapangan dan perluasan subjek dan objeknya. Masyarakat di negara maju memang telah merasakan manfaat pajak yang mereka bayar. Bidang kesehatan, pendidikan, sosial maupun sarana dan
35
prasarana transportasi yang cukup maju maupun biaya operasional aparat negara berasal dari pajak mereka. Pelayanan medis gratis, sekolah murah, jaminan sosial maupun alat-alat transportasi modern menjadi bukti pemerintah mengelola dana pajak dengan baik. Dengan digalakannya kesadaran akan pajak ini diharapkan Indonesia akan menuju kesejahteraan yang selama ini diharapkan. Slogan “LUNASI PAJAKNYA AWASI PENGGUNAANNYA” tidak hanya suara dan gaungnya semata yang nyaring namun bisa benar-benar terwujudkan bahwa pajak menjadi pendapatan utama negara yang diperuntukkan dan dikelola dengan transparan dan akuntabel bagi kepentingan masyarakatnya sendiri. (http://www.pajak.go.id/content/membangun-kesadaran-dan-kepeduliansukarela-wajib-pajak). 2.9
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis adalah
merupakan pola fikir
yang
menunjukkan hubungan antar variabel yang akan diteliti (Sugioyo, 2005;5). Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan adanya pengaruh antara kesadaran Wajib Pajak pribadi dengan penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan:
36
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Wajib Pajak
Tingkat Kesadaran Membayar Pajak
Penerimaan Pajak