BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori 2.1.1
Pengertian Pajak Menurut Wirawan (2001 : 4) terdapat beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli : 1. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 2. Dr. Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan normanorma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 3. Mr. Dr. N. J Feldman, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa, menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum, tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
18
4. Prof. Dr. M. J. H. Smets, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Smets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgetair saja, baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada definisinya. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah : 1. Pajak
dipungut
berdasarkan
undang-undang
serta
aturan
ditunjukkan
adanya
pelaksanannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam
pembayaran
pajak
tidak
dapat
kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgetair, yaitu mengatur.
19
2.1.2
Fungsi Pajak Pajak Pusat maupun Pajak Daerah memiliki beberapa fungsi/peran yang terus berkembang. Fungsi dari pajak tersebut dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkan pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih besar terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.
2.1.3
Tata Cara Pemungutan Pajak Didalam melakukan pemungutan pajak instansi pemerintah akan menggunakan tata cara pemungutan pajak, yang mana ada stelsel pajak, asas pemungutan pajak, sistem pemungutan pajak, yang dapat diperinci sebagai berikut :
20
1. Stelsel Pajak, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : a. Stelsel nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir
tahun
pajak,
yakni
setelah
penghasilan
yang
sesunggunhnya diketahui. b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. c. Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. 2. Asas Pemungutan Pajak, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : a. Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik
21
penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. b. Asas sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c. Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia, Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri. 3. Sistem Pemungutan Pajak, dapat dibagi menjadi tiga yaitu : a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
22
c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak
2.1.4
Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undangundang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam undangundang diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam membayar dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
23
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warganya. 3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan.
2.1.5
Teori Pemungutan Pajak Teori pemungutan pajak ini muncul untuk mencari dasar konseptual pemungutan pajak bagi negara, sehingga secara teoritis pemungutan pajak yang dilakukan negara itu dapat dibenarkan baik dipandang dari sisi yuridis maupun sisi ilmiah. Dengan kata lain bahwa, teori pemungutan pajak ada guna mencari dasar menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya.
24
Berikut ini beberapa teori pemungutan pajak yang ada atau yang masih digunakan sebagai dasar pemungutan pajak sampai sekarang: 1. Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungnan tersebut. 2. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap Negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. 3. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang tidak sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu: a. Unsur Obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. b. Unsur Subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
25
4. Teori Bakti Dasar keadilan pemungutan pajak terlrtak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban. 5. Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalm bebtuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian keoentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
2.1.6
Hambatan-hambatan Pajak Menurut
Mardiasmo
(2003
:
8),
hambatan
terhadap
pemungutan pajak dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu: 1. Perlawanan Pasif Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan dengan baik.
26
2. Perlawanan Aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dalam perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: a. Tax avoidance, usaha meringankan dengan tidak melanggar undang-undang. b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak). Dengan demikian dalam penerimaan pajak daerah yang belum optimal, ada dua kelompok hambatan yaitu sebagai berikut: a. Hambatan internal dalam pengelolaan pajak lebih disebabkan oleh masih rendahnya efektifitas organisasi/SDM pengelola di daerah kota atau kabupaten ditambah dengan kurangnya koordinasi antar unit-unit terkait. b. Hambatan eksternal yang disebabkan perkembangan intelektual, moral masyarakat sebagai wajib pajak, rendahnya income perkapita, dan adanya semacam upaya pelarian pajak dalam bentuk meringankan beban pajak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
27
2.1.7
Sumber Pendapatan Daerah Tingkat II Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah menjelaskan bahwa daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat
setempat
menurut
prakarsa
sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana daerah ini selanjutnya disebut daerah otonom yang kemudian dibagi menjadi daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II termasuk didalam Kotamadya. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya, maka daerah otonom harus mempunyai sumber pendapatan yang tetap dan dapat diandalkan. Dimana pemerintah daerah tidak selalu dapat tergantung pada pemerintah pusat untuk membiayai pembangunannya. Sehingga daerah diwajibkan untuk menggali sumber–sumber pendapatannya sendiri. Sumber-sumber pendapatan daerah Tingkat II sebagai berikut : 1. Pos Pajak Daerah terdiri dari : a. Pajak hotel dan restoran. b. Pajak parkir. c. Pajak hiburan. d. Pajak reklame. e. Pajak penerangan jalan. f. Pajak pengambilan bahan galian C.
28
g. Pajak pemanfaatan air tanah dan permukaan. 2. Pos Retribusi terdiri dari : a. Retribusi pelayanan kesehatan. b. Retribusi pelayanan sampah. c. Retribusi pengadaan cetak KTP/KK d. Retribusi parkir dijalan umum. e. Retribusi pasar. f. Retribusi terminal. g. Retribusi tempat khusus parkir. h. Retribusi penyedotan kakus. i. Retribusi rumah potong hewan. j. Retribusi tempat rekreasi. k. Retribusi izin mendirikan bangunan. l. Retribusi izin proyek. 3. Pos Laba Usaha Daerah. 4. Pos Lain Pendapatan terdiri dari : a. Jasa giro. b. Sumbangan pihak ketiga. c. Hasil penjualan milik daerah. d. Penerimaan denda keterlambatan proyek dan penjualan dokumen lelang. e. Hasil sewa aset daerah.
29
5. Pos Bagi Hasil Pajak terdiri dari : a. Pajak bumi dan bangunan. b. Bea perolehan atas tanah dan bangunan. c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor. 6. Pos Bagi Hasil Bukan Pajak terdiri dari : a. Iuran hasil hutan. b. Pemberian hak atas tanah negara. 7. Bagian sumbangan dan Bantuan terdiri dari : a. Ganjaran dan subsidi. b. Bantuan.
2.1.8
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi sebagaimana telah diubah terahkir dengan undang-undang No.34 Tahun 2000. Beberapa pengertian atau istilah yang terkait dengan Pajak Daerah antara lain: 1. Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
30
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dari pembangunan Daerah. 3. Badan, adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usah atetap, dan bentuk badan lainnya. 4. Subjek Pajak, adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak Daerah. 5. Wajib Pajak, adalah orang pribadi atau badan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah di wajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terhutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu.
31
Tujuan dari Undang-undang PDRD : 1. Menyederhanaan
berbagai
pungutan
daerah
dalam
rangka
mengurangi ekonomi biaya tinggi. 2. Menyederhanaan sistem dan administrasi perpajakan dan retribusi daerah untuk memperkuat fondasi penerimaan daerah khususnya Dati II, dengan mengefektifkan jenis pajak dan retribusi tertentu yang potensial. Penyederhanaan PDRD dapat dilihat dari penyederhanaan jumlah pajak daerah dan retribusi daerah yang ada sebelum dan sesudah Undang-undang ini. Tabel 2.1
Perbandingan Jumlah PDRD Sebelum dan Sesudah UU No.18 Tahun 1997
Keterangan Pajak Daerah
Sebelum UU PDRD ± 42 jenis
Sesudah UU PDRD 9 jenis
Retribusi jasa umum dan jasa usaha
± 130 jenis
24 jenis
Retribusi perizinan tertentu
± 62 jenis
6 jenis
Sumber : Erly Suandy, 2000 : 140
2.1.9
Sistem Pemungutan Pajak Daerah : Dibagi menjadi dua yaitu Sistem Official assessment dan Sistem Self assesment :
32
1. Sistem Official assessment Pemungutan pajak daerah berdasarkan penetapan kepala daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lainnya yang dipersamakan. Wajib pajak setelah menerima SKPD atau dokumen lainnya yang dipersamakan tinggal melakukan pembayaran menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) pada kantor pos atau bank persepsi. Jika wajib pajak tidak atau kurang membayar akan ditagih menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD). 2. Sistem Self assesment Wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak daerah yang terhutang. Dokumen yang digunakan adalah Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). SPTPD adalah formulir untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak terutang. Jika wajib pajak tidak atau kurang membayar atau terdapat salah hitung atau salah tulis dalam SPTPD maka akan ditagih menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD). Apabila dalam jangka waktu 5 tahun berdasarkan pemeriksaan ditemukan adanya pajak daerah yang tidak atau kurang dibayar maka akan ditagih menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB). Setelah diterbitkan SKPDKB berdasarkan data baru ternyata masih ada pajak daerah yang kurang bayar maka akan
33
diterbikan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT).
2.1.10
Daluwarsa Pajak Batas daluwarsa pajak daerah adalah 5 tahun, kecuali wajib pajak daerah melakukan tindak pidana pajak daerah. Jangka waktu 5 tahun ditangguhkan jika : 1. Diterbitkan surat teguran dan surat paksa. 2. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.1.11
Potensi Pajak Hotel dan Restoran Menurut Thamrin Simanjuntak dalam Abdul Halim (2001 : 95), menyatakan bahwa dalam upaya peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah perlu diadakan analisis potensi pendapatan asli daerah. Pengertian dari potensi pendapatan asli daerah adalah kekuatan yang ada disuatu daerah untuk menghasilkan sejumlah pendapatan asli daerah. Untuk mengetahui potensi pajak hotel dan restoran perlu dilakukan perhitungan dengan menggunakan formula menurut Syafi Daud dalam Abdul Halim (2001 :156) sebagai berikut : Potensi Pajak Hotel dan Restoran = (Y1 x tarif pajak) + (Y2 x tarif pajak)
34
Keterangan: Y1 = Jumlah pembayaran yang diterima untuk hotel atau losmen. Y2 = Jumlah pembayaran yang diterima untuk restoran/Rm.makan. A = Jumlah kamar. B = Rata-rata tarif kamar. C = Jumlah hari. D = Tingkat hunian. E = Jumlah obyek pajak. F = Rata-rata pengunjung. G = Rata-rata harga per pengunjung. H = Jumlah hari.
2.1.12
Penerimaan Pajak hotel dan Restoran Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran merupakan realisasi Pendapatan Pajak Hotel dan Restoran yang secara riil dapat dipungut setiap tahun oleh Dinas Pendapatan selaku koordinator pengelola Pendapatan Asli Daerah. Untuk meningkatkan penerimaan Pajak Hotel dan Restoran, pemerintah daerah harus berupaya secara terus menerus menggali dan meningkatkan sumber penerimaan pajak hotel dan restoran. Dalam rangka meningkatkan sumber penerimaan perlu diukur
kelayakan
agar
pungutan
yang
dilakukan
memiliki
kesinambungan tanpa memperburuk alokasi sumber produksi dan
35
selalu menciptakan keadilan. Untuk mengetahui sejauhmana sistem perpajakan daerah sudah baik atau tidak, dapat dilihat dari kriteria yang dikemukakan Smith (Mangkoesoebroto, 2001 : 214) sebagai berikut : 1. Distribusi dan beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar sesuai dengan bagian yang wajar. 2. Pajak harus sesedikit mungkin mencampuri keputusan ekonomi. 3. Pajak memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi disektor swasta. 4. Struktur pajak harus mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. 5. Sistem pajak haruslah dimengerti oleh wajib pajak. 6. Administrasi pajak dan pelaksanaannya haruslah sesedikit mungkin. 7. Kepastian. 8. Dapat dilaksanakan. 9. Dapat diterima.
2.1.13 Sistem Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran Berdasarkan Perda No.9 Tahun 1998 Pajak Hotel dan Restoran yang selanjutnya disebut Pajak adalah pungutan daerah atas pelayanan hotel dan restoran. Menurut
36
peraturan daerah No.9 tahun 1998, pelayanan sebagaimana yang dimaksud sebagai objek pajak hotel dan restoran sebagai berikut : 1. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek, antara lain gubug pariwisata, motel, wisma pariwisata, pesanggaran, rumah kost, rumah penginapan yang disewakan dalam jangka waktu pendek. 2. Pelayanan penunjang antara lain telepon, faximili, telex, photocopy, pelayanan cuci setrika, taxi dan pengangkutan yang disediakan atau dikelola hotel. 3. Fasilitas olahraga dan hiburan, antara lain pusat kebugaran, kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik yang disediakan atau dikelola hotel. 4. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan hotel. 5. Penjualan makanan dan atau minuman ditempat yang disertai dengan fasilitas penyantapannya. Menurut Peraturan Daerah Sistem Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran yaitu pemungutannya tidak dapat dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah melainkan oleh kasir rumah makan/restoran atau penginapan atas jasa yang diberikan. Adapun cara pemungutannya yaitu bersama-sama pembayaran makanan/minuman atau atas pelayanan penginapan ditambah 10%. Pajak hotel dan restoran yang dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab oleh pemerintah
37
daerah untuk memungutnya yakni Dinas Pendapatan Daerah, dimanan wajib pajak dapat melakukan pembayaran di Kas Daerah atau pada Bendarahawan khusus penerima dinas pendapatan daerah. Pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). Untuk bentuk, jenis, ukuran dan isi SSPD dan tata cara pembayaran serta tanggal jatuh tempo pembayaran terutang ditetapkan oleh kepala daerah. Pembayaran pajak terutang harus dilakukan sekaligus atau lunas, dimana kepala daerah dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam kurun waktu tertentu setelah memenuhi syarat yang ditentukan dan angsuran pembayaran pajak harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut dengan bunga 2% sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar. Kepala daerah juga dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk menunda pembayaran pajak sampai batas waktu yang ditentukan setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dengan dikenakan bunga 2% sebulan dari pajak yang belum atau kurang bayar, dimana persyaratan untuk mengangsur dan menunda pembayaran serta tata cara pembayaran angsuran atau penundaan ditetapkan oleh kepala daerah. Setiap wajib pajak mengisi SPTPD, dan SPTPD tersebut harus disampaikan kepada kepala daerah selambat-lambatnya 15 hari setelah masa pajak berakhir, dimana bentuk,
38
isi, dan tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD ditetapkan oleh kepala daerah. Kepala daerah berwenang menerbitkan SKPD apabila : 1. Wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya untuk mengisi SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah) 2. SPTPD tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 3. SPTPD yang disampaikan wajib pajak diragukan kebenarannya. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak kepala daerah menerbitkan : 1. SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pihak terutang tidak atau kurang bayar. 2. SKPDKBT
(Surat
Ketetapan
Pajak
Daerah
Kurang
Bayar
Tambahan) apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak terutang. 3. SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil) apabila jumlah pajak terutang sama besarnya dengan kredit pajak. Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKPDKB harus dikenakan sanksi administrasi 2% sebulan dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak, jumlah kekurangan pajak dalam
39
SKPDKBT dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari pajak yang kurang atau tidak bayar kepada daerah melalui kepala dinas pendapatan daerah SPTPD apabila : 1. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar. 2. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis atau salah hitung. 3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda 2%. Pajak terhutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, SPTPD, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan dan putusan banding yang tidak atau kurang bayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa dilaksanakan berdasarkan perundangundangan yang berlaku. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala daerah atau suatu : 1. SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) 2. SKPDKBT
(Surat
Ketetapan
Pajak
Daerah
Kurang
Bayar
Tambahan) 3. SKPDLB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar) 4. SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan
sejak
tanggal
surat,
40
tanggal
pemotongan
atau
tanggal
pemungutannya, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. Menurut Peraturan Daerah No.9 Tahun 1998, proses penagihan dilakukan dengan dikeluarkannya surat teguran atau surat peringatan atau surat laim yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak 7 hari sejak saat jatuh tempo pembayaran. Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis dikeluarkan oleh pejabat. Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, jumlah pajak yang harus dibayar ditagih dengan surat paksa. Pejabat menerbitkan surat paksa segera setelah lewat 21 hari sejak tanggal surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis. Apabila pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam sesudah tanggal pemberitahuan surat paksa, pejabat segera menerbitkan surat perintah melaksanaan penyitaan. Bentuk, jenis dan isi formulir yang dipergunakan untuk pelaksanaan penagihan pajak daerah ditetapkan oleh kepala daerah. Menurut peraturan perpajakan hak untuk malakukan penagihan pajak kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal terutangnya pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak
41
pidana dibidang perpajakan daerah, kadaluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila : 1. Diterbitkannya Surat Teguran atau Surat Paksa. 2. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak.
2.2
Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai pelaksanaan Sistem Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran pada suatu wilayah pernah dilakukan oleh Putu Sri Bahari pada tahun 2004, dengan judul “Analisis Potensi dan Realisasi Pajak Hotel dan Restoran pada Hotel berbintang di Kabupaten Gianyar”. Penelitian tersebut dilakukan didaerah Tingkat II Gianyar untuk tahun 1999 - 2003. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengkaji potensi Pajak Hotel dan Restoran khusus pada hotel berbintang di Kabupaten Gianyar serta untuk mengetahui pelaksanaan sistem pemungutannya. Dalam penelitian tersebut menggunakan variable realisasi penerimaan Pajak Hotel dan Restoran periode 1999 – 2003, potensi PHR periode 1999 – 2003, dan selisih potensi dengan realisasi kuantitatif dan kualitatif. Adapun hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa pada Dipenda Gianyar belum melakukan perhitungan potensi PHR yang sesuai dengan ketetapan aplikasi perencanaan PAD. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada pokok masalah yang dikaji, dimana pada penelitian sebelumnya mengkaji pokok masalah dari sisi penerapan potensi dan cara merealisasi potensi. Sedangkan pada penelitian ini kajiannya lebih spesifik yaitu
42
cara merealisasi potensi diliat dari sudut sistem pemungutan pajak hotel dan restorannya, variabel yang digunakan pada penelitian sebelumnya yaitu variabel realisasi penerimaan PHR periode 1999-2003, potensi PHR periode 1999 – 2003, serta perbedaan antara potensi dan realisasi PHR periode 1999 – 2003, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel sistem pemungutan pajak hotel dan restoran. Penelitian yang dilakukan oleh Ary Astini (2005) dengan judul ”Evaluasi Sistem Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran di Kabupaten Bangli”. Teknik
analisis
yang
digunakan
adalah
deskriptif
komperatif
yaitu
membandingkan pelaksanaan pemungutan PHR yang dilakukan oleh Dipenda Bangli dengan Perda yang mengatur tentang sistem pemungutannya. Hasilnya yaitu pelaksanaan sistem pemungutan Pajak Hotel dan Restoran diKabupaten Bangli sudah cukup sesuai dengan Perda No.2 Tahun 1999, dimana setiap unsur yang menjadi satu kesatuan dan tahapan yang dilaksanakan Dipenda Kabupaten Bangli dalam melaksanakan pemungutan PHR sudah cukup sesuai dengan Perda No.2 Tahun 1999. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian sebelumnya dilakukan di Kabupaten Bangli yang dengan populasi sebanyak 42 pengusaha kena pajak hotel dan restoran namun yang terdaftar hanya sebesar 35 yaitu dengan teknik survei sedangkan pada penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Tabanan dengan jumlah populasi sebanyak 198 pengusaha kena pajak hotel dan restoran. Karena keterbatasan waktu dan
43
kondisi lapangan maka digunakan metode penentuan sampel yaitu dengan teknik proportionate stratified random sampling.
44