8
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia menurut Dessler (2011, p4) adalah kebijakan dan praktek di dalam menggerakan sumber daya manusia atau aspek-aspek terkait posisi manajemen di dalam sumber daya manusia yang mencakup kegiatan perekrutaan, penyaringan, pelatihan, pemberian penghargaan dan penilaian. Pengertian sumber daya manusia menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright (2008, p4) adalah kebijakan, praktek, dan sistem-sistem yang mempengaruhi perilaku, sikap dan kinerja karyawan. Pengertian manajemen sumber daya manusia menurut Mondy (2010, p4-5) adalah utilisasi dari individu-individu untuk mencapai tujuan organisasi. Maka dari itu, manajer-manajer di setiap tingkat harus memperhatikan manajemen sumber daya manusia. Pada dasarnya, semua manager menyelesaikan segala sesuatunya dengan mendelegasikan tugas
9
kepada karyawannya; hal ini memerlukan manajemen sumber daya manusia yang efektif. Manajemen sumber daya manusia secara keseluruhan mencakup kebijakan, praktek, sistem dan utilisasi yang terkait di dalam menggerakan dan mengelola sumber daya manusia seperti merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan dan menilai untuk mencapai tujuan perusahaan.
2.1.1.2 Peran Manajemen Sumber Daya Manusia bagi Para Manajer Manajemen sumber daya manusia mempunyai peran penting bagi para manajer perusahaan untuk menghindari kesalahan-kesalahan di dalam mengelola perusahaan yang tidak diinginkan perusahaan menurut Dessler (2011, p5) seperti: 1. Merekrut karyawan yang kriterianya tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. 2. Turnover yang tinggi. 3. Karyawan yang tidak bekerja dengan kemampuan terbaik mereka. 4. Menghabiskan waktu dengan melakukan proses interview. 5. Perusahaan yang dituntut ke dalam pengadilan karena aksi diskriminasi. 6. Perusahaan yang terdaftar di dalam pelanggaran praktek kerja federal yang membahayakan.
10
7. Karyawan yang merasa tidak puas dengan gajinya karena dianggap tidak sesuai dengan standar di perusahaan lain. 8. Kurangnya program pelatihan yang menyebabkan menurunnya efektivitas kerja. 9. Melakukan ketidakadilan di dalam praktek kerja.
2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Ada 5 area fungsional menurut Mondy (2010, p5-8) yang terasosiasi dengan keefektivan sumber daya manusia yakni: 1. Staffing Staffing adalah proses di dalam sebuah organisasi yang memastikan organisasi tersebut memiliki ketepatan jumlah karyawan dengan keahlian yang tepat, untuk mencapai tujuan organisasi. 2. Human Resource Development (HRD) Human resource development adalah fungsi manajemen sumber daya manusia yang utama mencakup tidak hanya pelatihan dan pengembangan tetapi perencanaan karir dan kegiatan pengembangan, pengembangan organisasi, dan manajemen kinerja dan penilaian. 3. Compensation Kompensasi mengacu pada total dari semua penghargaan yang diberikan kepada karyawan atas jasa pelayanannya. Penghargaan yang diberikan berupa salah satu atau kombinasi dari: •
Direct Financial Compensation
11
Kompensasi yang diberikan kepada karyawan perusahaan dalam bentuk upah, gaji, komisi dan bonus. •
Indirect Financial Compensation Kompensasi yang diberikan kepada karyawan perusahaan dalam bentuk tunjangan rekreasi, sakit, tunjangan hari libur, jaminan kesehatan.
4. Safety and Healthy Safety mencakup kegiatan yang melindungi karyawan dari kecelakaan kerja. Healthy mencakup kegiatan yang melindungi karyawan dari penyakit fisik dan emosional. Aspek ini penting karena karyawan yang bekerja di dalam lingkungan yang aman dan menikmati hidup yang sehat dapat menjadi lebih produktif dan memberikan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. 5. Employee and Labor Relations Hubungan antara karyawan dan pekerja-pekerja lain ini dahulu dianggap sebagai jalan hidup banyak karyawan. Kebanyakan perusahaan akan lebih menginginkan sebuah lingkungan yang mempunyai hubungan kuat.
2.1.1.4 Tanggung Jawab dan Peran Departemen Sumber Daya Manusia Tanggung jawab dan peran departemen sumber daya manusia menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright (2008, p6-7) yakni :
12
1. Employment and Recruiting Employment
and
recruiting
meliputi
kegiatan
interview,
perekrutan, pengujian, pengkoordinasian karyawan sementara. 2. Training and Development Training and development meliputi kegiatan orientasi, pelatihan kinerja keahlian manajemen, peningkatan produktivitas. 3. Compensation Compensation meliputi kegiatan administrasi upah dan gaji, deskripsi pekerjaan, kompensasi eksekutif, pembayaran insentif, evaluasi pekerjaan. 4. Benefits Benefits
meliputi
kegiatan
asuransi,
administrasi
wisata,
perencanaan pensiun, pembagian profit, perencanaan saham. 5. Employee Service Employee Services meliputi kegiatan program-program bantuan karyawan, pelayanan relokasi, pelayanan penggantian. 6. Employee and Community Relations Employee and community relations meliputi kegiatan survei perilaku,
relasi
karyawan,
publikasi,
karyawan, disiplin kerja. 7. Personnel Records Health and Safety
pemenuhan
undang-undang
13
Personnel records health and safety meliputi kegiatan sistem informasi,
riwayat
inspeksi
keamanan,
pengujian
obat-obatan,
pemeriksaan kesehatan. 8. Strategic Planning Strategic planning meliputi kegiatan sumber daya manusia internasional, peramalan, perencanaan, penggabungan dan akuisisi.
14
2.1.2 Praktek-praktek
Manajemen
Sumber
Daya
Manusia
(HR
Practices) Manajemen sumber daya manusia memiliki cakupan praktek yang sangat luas. Penulis mengambil 4 praktek yang digunakan oleh (Asad, Hussein, Nayyab, Ashraf, dan Adnan (2011, p409-p416) dalam penelitiannya yakni :
2.1.2.1 Training and Development Pengertian Training Pada umumnya, training berkenaan dengan suatu upaya yang direncanakan oleh suatu perusahaan untuk memfasilitasi pembelajaran bagi karyawan dan kompetensi-kompetensi yang berhubungan dengan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi ini termasuk pengetahuan, keahlian, atau perilaku yang penting bagi keberhasilan kinerja karyawan. Tujuan dari training adalah agar para karyawan mampu menguasai pengetahuan, keahlian dan perilaku yang ditekankan pada program training dan untuk mengaplikasikannya ke dalam aktivitas pekerjaan sehari-hari mereka. Training harus melibatkan lebih dari sekedar pengembangan keahlian untuk dapat menawarkan competitive advantage. Training sedang bergerak dari fokus utamanya untuk mengajarkan keahlian khusus bagi karyawan, kepada fokus yang lebih luas, yaitu untuk menghasilkan dan membagikan pengetahuan. Oleh karena itu, untuk menggunakan training
15
untuk memperoleh competitive advantage, suatu perusahaan perlu memandang training secara luas sebagai suatu cara untuk menghasilkan modal intelektual. Modal intelektual termasuk basic skills (keahliankeahlian yang yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan seseorang), advanced skills (seperti bagaimana untuk menggunakan teknologi untuk berbagi informasi dengan karyawan-karyawan lain), pengertian terhadap pelanggan atau sistem manufaktur, dan kreativitas yang dimotivasi oleh diri sendiri (Noe, Hollenback, Gerhart dan Wright 2008, p267). Menurut Dessler, training mengacu pada metode-metode yang digunakan untuk memberikan karyawan baru dan tetap keahlian-keahlian yang mereka perlukan untuk melakukan pekerjaan pekerjaan. Training adalah indikator dari manajemen yang baik. Memiliki karyawan-karyawan yang berpotensi tinggi tidak menjamin bahwa mereka akan sukses. Malah, mereka harus mengetahui apa yang anda ingin mereka lakukan dan bagaimana anda ingin mereka melakukannya. Jika mereka tidak mengetahuinya, mereka akan melaksanakan perkerjaan dengan cara mereka sendiri, bukan dengan cara yang perusahaan inginkan. Atau mereka akan berimprovisasi, dan bahkan lebih buruk, tidak melakukan suatu hal pun yang produktif. Training yang baik adalah vital bagi perusahaan (Dessler 2011, p270). Sedangkan menurut Mondy, training adalah aktivitas-aktivitas yang
dirancang
untuk
menyediakan
para
pembelajarnya
dengan
pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk perkerjaan-pekerjaan
16
mereka kini. Training seringkali dihubungkan dengan kata “development”. Development adalah pembelajaran yang mencakup lebih dari pekerjaanperkerjaan yang kini dihadapi dan memiliki lebih banyak fokus jangka panjang. Aktivitas training dan development memiliki potensi untuk menyelaraskan karyawan-karyawan dengan strategi korporat perusahaan. Beberapa manfaat strategis dari training dan development adalah kepuasan karyawan, peningkatan moral, retensi yang lebih tinggi, turnover yang lebih rendah, meningkatkan perekrutan, dan fakta bahwa karyawan yang merasa puas akan pekerjaannya akan menghasilkan kepuasan pelanggan (Mondy 2010, p198). Pelatihan kerja menurut Yuniarsih dan Suwatno (2008, p133) merupakan penciptaan suatu lingkungan di mana para karyawan dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan. Menurut Veithzal dan Sagala (2009, p212) pelatihan adalah proses yang secara sistematis mengubah perilaku karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan kerja (training) secara keseluruhan merupakan upaya, metode, aktivitas yg direncanakan oleh pihak perusahaan untuk memfasilitasi karyawan keahlian-keahlian dasar (basic skills) dan keahlian-keahlian lanjutan (advance skills) yang mereka butuhkan berupa peningkatan kompetensi (pengetahuan, sikap, perilaku, kemampuan, dan keahlian yang spesifik) untuk melakukan pekerjaannya.
17
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Training Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh pelatihan dan pengembangan menurut Mondy: •
Dukungan Manajemen Tingkat Atas Cara paling efektif untuk mencapai keberhasilan adalah dengan
adanya tindakan ambil bagian dari pihak eksekutif dalam pelatihan dan tindakan penyediaan sumber daya yang diperlukan. •
Kemajuan Teknologi Perubahan sedang terjadi dengan kecepatan yang luar biasa dengan
pengetahuan yang berlipat ganda setiap tahun. Komputer, internet, BlackBerry, telepon selular, pesan teks dan e-mail telah mempengaruhi pengelolaan fungsi-fungsi dari semua bisnis secara keseluruhan secara dramatis. Teknologi telah memainkan peranan yang besar dalam mengubah cara pengetahuan disampaikan kepada karyawan dan perubahan ini sedang diperluas secara konstan. •
Kompleksitas Dunia Dunia secara sederhana, menjadi semakin rumit, dan hal ini telah
berpengaruh pada bagaimana sebuah organisasi beroperasi. Seluruh dunia menyediakan kesempatan dan ancaman yang harus dihadapi. Organisasi harus memikirkan seluruh tenaga kerjanya dan bagaimana hal itu akan dikelola dan dilatih dalam lingkungan global ini.
18
•
Gaya Pembelajaran Waktu terbaik untuk belajar adalah ketika belajar dapat berguna.
Salah satu hal pengaruh hal ini pada pelatihan dan pengembangan adalah terhadap kebutuhan untuk pelatihan yang berbasis waktu. Just-in-time training (on-demand training) adalah training yang tersedia kapan saja, dimana saja di dunia ketika hal itu dibutuhkan. •
Fungsi-fungsi Lain Sumber Daya Manusia Pencapaian yang sukses dari fungsi-fungsi sumber daya manusia
yang lain juga dapat memiliki dampak yang krusial pada pelatihan dan pengembangan. Sebagai contoh, jika upaya perekrutan dan seleksi menarik hanya pekerja-pekerja yang berkualifikasi secara marginal, maka perusahaan itu akan memerlukan program pelatihan dan pengembangan secara ekstensif. Paket kompensasi dari suatu perusahaan mungkin dapat mempengaruhi upaya pelatihan dan pengembangan. Organisasi dengan sistem pembayaran yang kompetitif dan program kesehatan serta keamanan yang progresif akan lebih mudah untuk menarik pekerja-pekerja yang baik dan mempertahankan karyawan mengakibatkan pelatihan yang lebih sedikit (Mondy 2010, p199-201).
Jenis-jenis Training Pelatihan dapat dirancang untuk memenuhi sejumlah tujuan berbeda dan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai cara. Beberapa
19
pengelompokan yang umum menurut Mathis dan Jackson (2006, p318) meliputi : 1. Pelatihan yang dibutuhkan dan rutin: Dilakukan untuk memenuhi berbagai syarat hukum yang diharuskan dan berlaku sebagai pelatihan untuk semua karyawan (orientasi karyawan baru). 2. Pelatihan pekerjaan/teknis: Memungkinkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik (misalnya: pengetahuan tentang produk, proses dan produk teknis, dan hubungan pelanggan). 3. Pelatihan antarpribadi dan pemecahan masalah: Dimaksudkan untuk mengatasi masalah operasional dan antarpribadi serta meningkatkan hubungan dalam pekerjaan organisasional (misalnya: komunikasi antarpribadi, keterampilan manajerial/kepengawasan, dan pemecahan konflik). 4. Pelatihan perkembangan dan inovatif: Menyediakan fokus jangka panjang untuk meningkatkan kapabilitas individual dan organisasi untuk masa depan (misalnya: praktik-praktik bisnis, perkembangan eksekutif, dan perubahan organisasional).
Proses Training Penyesuaian yang besar di dalam lingkungan eksternal dan internal memerlukan perubahan korporat. Proses pelatihan dan pengembangan
20
yang mengantisipasi atau merespon perubahan menurut Mondy (2010, p201) adalah : 1. Menentukan kebutuhan spesifik pelatihan dan pengembangan kerja. 2. Membuat tujuan spesifik pelatihan dan pengembangan kerja. 3. Memilih metode-metode dan sistem-sistem penyampaian pelatihan dan pengembangan kerja. 4. Mengimplementasikan program pelatihan dan pengembangan kerja. 5. Mengevaluasi program dan pelatihan pengembangan kerja.
Model Proses Training Model proses pelatihan kerja menurut Blanchard dan Thacker (2010, p7-9) terdiri dari: 1. Analysis Phase Fase analisis dimulai dari mengidentifikasikan organizational performance gap seperti menurunnya profitabilitas, rendahnya tingkat kepuasan pelanggan, atau banyaknya pertentangan. Ketika perusahaan telah mengidentifikasikan performance gap, penyebab performance gap tersebut haruslah dianalisa. Setelah penyebabnya telah diketahui, pengeliminasian
dipercaya
merupakan
sesuatu
yang
penting,
pengeliminasian inilah yang akan menjadi kebutuhan perusahaan. Fase analisis seringkali disebut sebagai Training Need Analysis (TNA). Penyebab
performance
gap
dapat
dikarenakan
oleh
kurangnya
21
pengetahuan, keahlian, perilaku baik. Jika demikian, pelatihan adalah solusi untuk hal tersebut. Pada fase analisa juga mengutamakan kebutuhan akan pelatihan (training needs) yang telah teridentifikasi. 2. Design Phase Kebutuhan akan pelatihan yang telah teridentifikasi di dalam fase analisa merupakan input ke dalam fase desain. Satu hal yang penting di dalam proses fase desain yakni pembuatan tujuan pelatihan kerja. Hal ini akan memberikan arahan yang spesifik tentang apa yang akan di latih dan bagaimana cara melatih. Bagian lain di dalam proses desain adalah mengidentifikasikan faktor-faktor yang dibutuhkan di dalam program pelatihan kerja untuk memfasilitasi pembelajaran dan pengaplikasian di pekerjaan. 3. Development Phase Development Phase adalah proses yang memformulasikan sebuah instruksi yang akan dibutuhkan untuk mengimplementasikan program pelatihan kerja. Strategi instruksional terdiri dari urutan, waktu, dan kombinasi dari metode-metode dan elemen-elemen yang digunakan di dalam program pelatihan kerja. Output dari fase pengembangan ini adalah hal-hal yang dibutuhkan di dalam pengimplementasian program pelatihan kerja. Hal ini termasuk daftar spesifik pelatihan kerja, metode pengarahan yang digunakan untuk menyalurkan isi, materi yang akan digunakan, peralatan dan media, manual, dan lain-lainnya. 4. Implementation Phase
22
Semua aspek program pelatihan kerja berkumpul di dalam fase implementasi. 5. Evaluation Phase Meskipun fase evaluasi di diskusikan di dalam urutan terakhir, fase evaluasi merupakan permulaan dari fase pengembangan. Tujuan dari evaluasi adalah output dari fase desain. Output-output ini akan menjadi input di dalam fase evaluasi. Waktu, uang, dan staf akan mempengaruhi bagaimana pelatihan kerja dievaluasi. Ada dua tipe evaluasi yang bermanfaat : •
Process Evaluation Evaluasi proses menjelaskan seberapa baik sebuah proses dapat mencapai tujuannya. Dengan kata lain apakah apakah trainer mengikuti langkah-langkah persis proses pelatihan seperti yang disarankan?
•
Outcome Evaluation Evaluasi yang dijalankan pada akhir pelatihan kerja yakni untuk menentukan efek dari pelatihan kerja terhadap trainee, pekerjaan, dan perusahaan. Tipe evaluasi digunakan sebagai suatu standar. Hasil dari evaluasi ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan proses-proses pelatihan kerja.
23
Metode Pelatihan Kerja Menurut Mathis dan Jackson (2006, p327-329) terdapat beberapa metode dalam pelatihan kerja: 1. Pelatihan Kooperatif Sebuah bentuk dari pelatihan kooperatif yang disebut internship (magang kerja) biasanya mengkombinasikan pelatihan pekerjaan dengan instruksi di ruang kelas sekolah, perguruan tinggi dan universitas. Bentuk lainnya dari pelatihan kooperatif yang digunakan oleh para pemberi kerja, serikat perdagangan, dan agen pemerintah adalah pelatihan magang (apprentice training). 2. Pelatihan dalam Kelas dengan Bimbingan Instruktur dan Penelitian Konferensi Pelatihan dengan bimbingan instruktur masih merupakan metode pelatihan yang paling umum. Kursus, kuliah, dan pertemuan pendek yang diadakan oleh pemberi kerja, biasanya terdiri atas pelatihan dalam kelas dimana banyak kursus pengembangan karyawan ditawarkan oleh organisasi-organisasi profesional, asosiasi-asosiasi perdagangan, dan institusi-institusi pendidikan adalah contoh pelatihan konferensi. 3. Pelatihan Jarak Jauh Perguruan tinggi dan universitas dalam jumlah yang semakin bertambah telah menggunakan beberapa bentuk dukungan kursus berbasis internet. Media tersebut memungkinkan seorang pengajar di
24
satu tempat untuk melihat dan merespon sebuah “kelas” yang terdapat di sejumlah lokasi lain. 4. Pelatihan dan Teknologi Ledakan pertumbuhan teknologi informasi dalam beberapa tahun terakhir telah merevolusi cara bekerja semua individu, termasuk bagaimana mereka dilatih. Saat ini, pelatihan-pelatihan berbasis komputer melibatkan teknologi multimedia dalam cakupan luas termasuk suara, gerakan (video dan animasi), video streaming dan grafik.
Indikator di dalam Pelatihan Menurut Veithzal dan Sagala (2009, p214) terdapat 4 indikator dari pelatihan yakni : -
Karyawan memiliki keterampilan.
-
Karyawan dapat menentukan sikap.
-
Karyawan memiliki kemampuan berpikir yang cepat.
-
Karyawan memiliki pengetahuan.
Pengertian Pengembangan Menurut Mathis dan Jackson (2006, p350-352) pengembangan (development) mewakili usaha-usaha meningkatkan kemampuan para karyawan
untuk
menangani
berbagai
macam
tugas
dan
untuk
25
meningkatkan kapabilitas yang dibutuhkan oleh pekerjaan saat ini. Pengembangan menguntungkan organisasi dan individu. Para karyawan dan manajer yang memiliki pengalaman dan kemampuan yang sesuai dapat meningkatkan daya saing organisasional dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah. Dalam proses pengembangan, karir para individu juga mungkin berkembang dan mendapatkan fokus yang baru atau berbeda.
Proses Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia Menurut Mathis dan Jackson (2006, p352), pengembangan dimulai dari rencana-rencana sumber daya manusia organisasi karena rencana ini menganalisis, meramalkan, dan menyebutkan kebutuhan organisasional untuk sumber daya manusia pada saat ini dan masa yang akan datang. Selain itu, perencanaan sumber daya manusia mengantisipasi gerakan orang-orang dalam organisasi yang disebabkan oleh pensiun, promosi, dan pemindahan. Selain itu, perencanaan sumber daya manusia membantu menyebutkan kapabilitas yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut di masa yang akan datang dan perkembangan yang dibutuhkan agar orang-orang dapat tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
26
Pendekatan Pengembangan : Metode Pada Pekerjaan Menurut Mathis dan Jackson (2006, p360-363) ada beberapa metode pengembangan karyawan di kantor. Berikut adalah beberapa alat yang dapat digunakan: 1. Coaching Teknik pengembangan yang paling kuno adalah coaching, dimana pelatihan dan umpan balik yang diberikan kepada karyawan-karyawan oleh para supervisor langsung. Coaching meliputi sebuah proses pembelajaran melalui praktik (learning by doing) yang berlangsung terus-menerus. Untuk coaching yang efektif, harus ada suatu hubungan yang sehat dan terbuka antara karyawan dan supervisor atau manajer mereka. 2. Tugas/Pertemuan Komite Mengangkat karyawan yang menunjukan potensi besar menjadi komite-komite penting dapat memperluas pengalaman mereka dan dapat membantu mereka untuk memahami kepribadian, persoalan, dan proses memimpin organisasi. 3. Rotasi Pekerjaan Proses pemindahan seorang karyawan dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain disebut rotasi pekerjaan (job rotation). 4. Posisi “Asisten” Beberapa perusahaan menciptakan posisi-posisi “asisten” yang merupakan posisi-posisi staf yang berada tepat di bawah seorang
27
manajer. Melalui pekerjaan-pekerjaan seperti itu, para peserta pelatihan dapat bekerja dengan manajer terkemuka yang mungkin belum pernah mereka temui. 5. Pengembangan Secara Online Pengembangan secara online dapat mengambil beberapa bentuk, seperti konferensi video, obrolan langsung, pembagian dokumen, video, dan audio-streamlining, kursus berbasis web dan lain-lain. Pengembangan secara online memungkinkan partisipasi dalam kursuskursus yang sebelumnya berada di luar jangkauan karena pertimbangan geografis, perjalanan, atau biaya. 6. Pusat-Pusat Korporasi/Pengembangan Karir Organisasi besar mungkin menggunakan “universitas korporasi” sebagai cara untuk mengembangkan manajer dan karyawan lain. Pusatpusat
pengembangan
karir
seringkali
dibentuk
untuk
mengkoordinasikan program-program dalam organisasi dan programprogram yang diberikan oleh para kontraktor dari luar. Programprogram tersebut dapat meliputi data penilaian untuk individuindividu, tujuan dan strategi karir, pelatihan, seminar, dan pendekatanpendekatan secara online. 7. “Organisasi Pembelajaran” Organisasi-organisasi yang berbasis pengetahuan yang menangani ideide dan informasi harus memiliki karyawan-karyawan yang ahli dalam
28
satu atau lebih tugas konseptual. Karyawan-karyawan ini terus mempelajari dan menyelesaikan masalah dalam bidang keahliannya.
Pendekatan Pengembangan : Metode di Luar Kantor Menurut Mathis dan Jackson (2006, p364-366) teknik-teknik pengembangan di luar kantor memberi peluang-peluang kepada individu dari pekerjaan dan konsentrasi penuh pada apa yang harus dipelajari. Berikut adalah beberapa metode pengembangan di luar kantor : 1. Kursus dan Perkuliahan Sebagian besar program pengembangan di luar kantor meliputi beberapa pelajaran kelas. Perusahaan-perusahaan sering mengirim karyawan ke seminar atau kursus profesional yang disponsori oleh pihak luar. Banyak organisasi juga mendorong pendidikan lanjutan dengan memberikan penggantian biaya kuliah kepada karyawan. Program-program seperti ini memberikan insentif kepada karyawan untuk belajar dan mendapatkan gelar yang lebih tinggi, seperti MBA, melalui kelas malam dan kelas minggu, di luar hari kerja tetap mereka. 2. Pelatihan Hubungan Manusia Jenis pelatihan ini berupaya untuk mempersiapkan supervisor untuk menangani permasalahan dengan orang lain dan dibawa oleh para karyawannya. Pelatihan ini berfokus pada pengembangan keterampilan hubungan manusia yang dibutuhkan seseorang untuk bekerja sama dengan orang dengan baik. Sebagian besar program hubungan manusia
29
biasanya ditujukan kepada para supervisor baru atau supervisor lini pertama yang relatif tidak berpengalaman dan manajer tingkat menengah.
Bidang-bidang
yang
dicakup
meliputi
motivasi,
kepemimpinan, komunikasi karyawan dan topik-topik perilaku yang lain. 3. Simulasi (Permainan Bisnis) Pendekatan pengembangan yang lain menggunakan permainan bisnis, atau simulasi yang tersedia secara komersial. Simulasi (simulation) adalah teknik pengembangan yang mengharuskan para partisipan untuk menganalisis sebuah situasi dan memutuskan tindakan terbaik berdasarkan pada data yang ada. Beberapa simulasi adalah permainanpermainan
interaktif
komputer
dimana
individu
atau
tim
mempersiapkan rencana pemasaran untuk organisasi guna menentukan faktor-faktor seperti jumlah sumber daya yang harus dialokasikan untuk iklan, rancangan produk, penjualan dan usaha penjualan. Para partisipan membuat bermacam-macam keputusan, dan kemudian komputer memberitahu seberapa baik mereka bertindak sehubungan dengan individu atau tim yang bersaing. Akan tetapi, kurangnya realisme dapat mengurangi pengalaman pembelajaran. 4. Cuti Panjang dan Cuti Ketidakhadiran Cuti Panjang (sabbatical leave) adalah waktu libur kerja yang diberikan agar karyawan dapat mengembangkan dan menyegarkan kembali dirinya. Perusahaan yang memberikan cuti panjang mengakui
30
hasilnya. Mereka mengatakan bahwa cuti panjang membantu mencegah keletihan karyawan, memberikan keunggulan dalam perekrutan dan retensi, serta menaikan semangat juang karyawan individual. Salah satu kerugian nyata adalah biaya. Agar efektif, pendekatan pengembangan harus selaras dengan strategi-strategi sumber daya manusia untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasional.
2.1.2.2 Performance Reward Pengertian Performance Reward Penghargaan kinerja adalah penghargaan yang diberikan kepada karyawan/staf oleh perusahaan dalam hal pencapaian kerja. (Byars & Rue, 2006, p244). Menurut Mathis dan Jackson (2010, p166) penghargaan kinerja adalah penghargaan yang diterima orang-orang atas pekerjaannya yang berupa upah, insentif dan benefit. Secara keseluruhan pengertian penghargaan kinerja merupakan penghargaan yang diberikan kepada karyawan atas pekerjaannya yang berupa upah, insentif dan benefit oleh perusahaan.
Pemilihan Performance Reward Penghargaan kinerja meliputi penghargaan intrinsik dan ekstrinsik; yang merupakan hasil dari pekerjaan karyawan di dalam suatu organisasi. Penghargaan intrinsik adalah penghargaan internal kepada individu dan
31
didapat dari keterlibatan di dalam aktivitas-aktivitas atau tugas-tugas tertentu. Contoh tipe-tipe penghargaan intrinsik adalah achievement, feeling of accomplishment, informal recognition, job satisfaction, personal growth, status. Sedangkan penghargaan ekstrinsik adalah penghargaan yang dikontrol dan didistribusikan secara langsung oleh organisasi dan bersifat nyata. Contoh tipe-tipe penghargaan ekstrinsik adalah formal recognition, fringe benefits, incentive payments, pay, promotion, social relationships, work environment. (Byars & Rue, 2006, p244)
Pengertian Kompensasi Menurut Byars dan Rue (2006, p249), kompensasi adalah semua penghargaan ekstrinsik yang diterima karyawan sebagai imbalan dari usaha atau pekerjaan mereka.
32
Tujuan Program Kompensasi Menurut Mathis dan Jackson (2006, p418) sistem kompensasi dalam organisasi harus dihubungkan dengan tujuan dan strategi organisasi. Tetapi seperti yang diilustrasikan dalam diskusi pembuka, kompensasi juga mengharuskan adanya penyeimbang kepentingan dan biaya pemberi kerja yang memiliki harapan atas para karyawan. Program kompensasi yang efektif dalam sebuah organisasi memiliki empat tujuan: •
Kepatuhan pada hukum dan peraturan yang berlaku.
•
Efektivitas biaya bagi organisasi.
•
Keadilan internal, eksternal, dan individual bagi para karyawan.
•
Peningkatan kinerja bagi organisasi.
Sifat Kompensasi Kompensasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa orang-orang memilih untuk bekerja di sebuah organisasi daripada organisasi yang lain. Para pemberi kerja harus agak kompetitif dengan beberapa jenis kompensasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang kompeten. Menurut Mathis dan Jackson (2006, p419) ada 2 sifat komponen program kompensasi yakni: 1. Kompensasi Langsung •
Gaji Pokok : Upah, Gaji
33
•
Penghasilan Tidak Tetap : Bonus, Insentif dan Opsi Saham
2. Kompensasi Tidak Langsung •
Tunjangan : Asuransi kesehatan/jiwa, Cuti berbayar, Dana pensiun, dan Kompensasi Pekerja
Jenis-Jenis Kompensasi Penghargaan dapat berupa penghargaan intrinsik dan ekstrinsik. Penghargaan intrinsik sering meliputi pujian atas penyelesaian sebuah proyek atau pemenuhan tujuan kinerja. Pengaruh psikologis dan sosial yang lain mencerminkan jenis penghargaan intrinsik. Penghargaan ekstrinsik adalah penghargaan yang nyata dan berupa penghargaan moneter dan nonmoneter. Ada dua jenis umum komponen nyata dari sebuah program kompensasi. Dengan kompensasi langsung, pemberi kerja menukar penghargaan moneter dengan kerja yang diselesaikan. Para pemberi kerja memberikan kompensasi tidak langsung-seperti asuransi kesehatan-untuk setiap orang hanya berdasarkan pada keanggotaan dalam organisasi tersebut. Gaji pokok dan penghasilan tidak tetap merupakan bentuk paling umum dari kompensasi langsung. Kompensasi tidak langsung biasanya terdiri dari tunjangan karyawan. Gaji Pokok kompensasi dasar yang diterima oleh seorang karyawan, biasanya berupa upah atau gaji, disebut gaji pokok (base pay). Banyak organisasi menggunakan dua kategori gaji pokok, per jam dan gaji
34
tetap, yang diidentifikasikan berdasarkan cara imbalan kerja tersebut didistribusikan dan sifat dari pekerjaan. Imbalan kerja per jam merupakan cara pembayaran yang paling umum yang berdasarkan pada waktu, dan karyawan dibayar berdasarkan jam kerja menerima upah (wage), yang merupakan imbalan kerja yang dihitung secara langsung berdasarkan jumlah waktu kerja. Sebaliknya, orang-orang yang menerima gaji (salary) mendapatkan imbalan kerja yang besarnya tetap untuk setiap periode tanpa menghiraukan jumlah jam kerja. Penghasilan Tidak Tetap Jenis lain dari imbalan kerja langsung adalah penghasilan tidak tetap (variable pay), yang merupakan kompensasi yang dihubungkan secara langsung dengan kinerja individual, tim, atau organisasional. Jenis penghasilan tidak tetap yang paling umum untuk sebagian besar karyawan berupa pembayaran bonus dan program insentif. Eksekutif sering menerima penghargaan jangka panjang seperti opsi saham. Tunjangan Banyak organisasi memberikan banyak penghargaan ekstrinsik dalam cara yang tidak langsung. Dengan kompensasi tidak langsung, karyawan menerima nilai nyata dari penghargaan tersebut tanpa menerima uang tunai yang sebenarnya. Tunjangan (benefit) adalah sebuah penghargaan tidak langsung-asuransi kesehatan, cuti berbayar, atau dana pensiun-yang diberikan untuk karyawan atau sekelompok karyawan sebagai bagian dari keanggotaan organisasional, tanpa menghiraukan kinerja. (Mathis dan Jackson, 2006, p372-373)
35
Keputusan Mengenai Tingkat Kompensasi Beberapa organisasi menentukan kebijakan yang spesifik tentang di mana mereka ingin diposisikan dalam pasar tenaga kerja. Kebijaksanaan ini menggunakan strategi kuartil menurut Mathis dan Jackson (2006, p378-379), yakni: 1. Strategi di Bawah Pasar : Pemberi kerja memosisikan skala imbalan kerja sehingga 75% perusahaan membayar di atas skala dan 25% membayar di bawah skala. 2. Strategi Pasar Menengah : Pemberi kerja memosisikan skala imbalan kerja sehingga 50% perusahaan membayar di atas skala dan 50% membayar di bawah skala. 3. Strategi di Atas Pasar : Strategi Pasar Menengah : Pemberi kerja memosisikan skala imbalan kerja sehingga 25% perusahaan membayar di atas skala dan 75% membayar di bawah skala.
2.1.2.3 Performance Appraisal Pengertian Performance Appraisal Menurut Snell dan Bohlander (2010, p362), Performance Appraisal dapat didefinisikan sebagai suatu proses penilaian yang dirancang untuk membantu karyawan mengerti peran, tujuan, ekspektasi, dan kesuksesan kinerja yang diadakan secara berkala.
36
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p382), penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja dan penilaian hasil. Secara keseluruhan performance appraisal dapat disimpulkan sebagai sebuah proses penilaian, pengevaluasian, pengembangan mengenai bagaimana karyawan melakukan pekerjaannya untuk membantu karyawan untuk mengerti peran, tujuan, ekspektasi, dan kesuksesan kinerja. Penilaian
kinerja
karyawan
dapat
menggunakan
berbagai
pendekatan dan metode. Salah satu pendekatan penilaian perilaku (behavioral rating approaches) yang lebih berusaha untuk menilai perilaku karyawan dibandingkan karakteristik yang lainnya mencakup metode BARS (behaviorally anchored rating scales) dimana metode tersebut membandingkan apa yang dilakukan karyawan terhadap kemungkinan perilaku yang ditunjukan pada suatu pekerjaan (Mathis dan Jackson, 2006, p399-400).
Tujuan Performance Appraisal Menurut Snell dan Bohlander (2010, p363) terdapat dua klasifikasi dari penggunaan performance appraisal yang paling umum yakni:
37
•
Penggunaan Administratif
Dari sisi administrasi, program penilaian kinerja menyediakan input yang dapat digunakan untuk semua jangkauan aktivitas sumber daya manusia. Penilaian kinerja juga secara langsung berhubungan dengan beberapa fungsi sumber daya manusia yang utama. Seperti promosi, transfer, dan layoff decision. •
Penggunaan Pengembangan
Dari sisi pengembangan pribadi, penilaian kinerja menyediakan umpan balik yang esensial untuk dapat mendiskusikan kekuatan dan kelemahan seorang karyawan sebagaimana meningkatkan kinerja karyawan tersebut.
Faktor-faktor yang Menyebabkan Kegagalan Performance Appraisal Snell dan Bohlander (2010, p365) mengungkapkan bahwa terdapat banyak penyebab mengapa sistem penilaian kinerja menjadi tidak efektif. Beberapa dari masalah-masalah utamanya mencakup hal-hal di bawah ini : •
Persiapan yang tidak memadai dari manajer.
•
Karyawan tidak diberikan tujuan yang jelas pada awal masuk kerja.
•
Manajer tidak mampu untuk mengobservasi kinerja atau tidak memiliki semua informasi yang diperlukan.
•
Standar kinerja tidak jelas.
•
Tidak konsisten di dalam penilaian di antara supervisor dan penilai lainnya.
38
•
Manajer cenderung menilai kepribadian daripada kinerja.
•
Efek halo, efek kontras dan bias persepsi yang lain.
•
Jeda waktu yang tidak tepat (terlalu singkat atau terlalu panjang).
•
Penilaian yang dinaikan karena manajer tidak mau menghadapi berita buruk.
•
Bahasa yang tidak jelas dalam penilaian yang tertulis.
•
Politik organisasional atau hubungan pribadi yang mempengaruhi penilaian.
•
Tidak ada diskusi yang menyeluruh atas penyebab dari masalah kinerja.
•
Manajer mungkin tidak terlatih dalam evaluasi atau memberikan umpan balik.
•
Tidak ada follow-up dan pelatihan setelah evaluasi.
Subyek yang Melakukan Performance Appraisal Terdapat beberapa pihak yang dijelaskan oleh Snell dan Bohlander (2010, p370-374) yang dapat melakukan penilaian kinerja. Pihak-pihak tersebut adalah: 1. Penilaian oleh Manajer atau Supervisor. 2. Penilaian diri. 3. Penilaian bawahan. 4. Penilaian rekan.
39
5. Penilaian tim. 6. Penilaian pelanggan.
Kesalahan Penilai Menurut Snell dan Bohlander (2010, p377-378) terdapat beberapa jenis kesalahan penilai yang mempengaruhi penilaian pada berbagai macam karyawan. Kesalahan-kesalahan tersebut berupa: 1. Kesalahan tendensi sentral (Error of Central Tendency). Kesalahan penilaian kinerja dimana semua karyawan dinilai rata-rata. 2. Kesalahan kelunakan (Leniency Error). Kesalahan penilaian kinerja dimana penilai cenderung untuk memberikan penilaian yang tinggi bagi karyawan secara tidak sewajarnya. 3. Kesalahan kekakuan (Strictness Error). Kesalahan penilaian kinerja dimana penilai cenderung untuk memberikan penilaian yang rendah bagi karyawan secara tidak sewajarnya. 4. Kesalahan ke-terakhir-an (Recency Error). Kesalahan penilaian kinerja dimana penilai mendasarkan penilaiannya kepada perilaku karyawan akhir-akhir ini daripada perilaku karyawan selama periode penilaian kinerja. 5. Kesalahan kontras (Contrast Error).
40
Kesalahan penilaian kinerja dimana evaluasi seorang karyawan menjadi bias karena perbandingan dengan karyawan lain yang baru saja dievaluasi. 6. Kesalahan serupa-dengan-saya (Similar-to-me Error). Kesalahan penilaian kinerja dimana penilai meningkatkan penilaian evaluasi dari karyawan karena koneksi pribadi yang menguntungkan.
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p403) terdapat kesalahankesalahan penilaian yang lain yaitu: 7. Kesalahan ke-pertama-an (Primary Error). Kesalahan penilaian kinerja dimana informasi yang diterima pertama mendapat bobot paling besar. 8. Efek Halo (Halo Effect). Halo effect terjadi ketika seorang manajer menilai tinggi seorang karyawan pada semua kriteria pekerjaan karena kinerja dalam satu area. 9. Bias Penilai (Rater Bias). Rater bias terjadi ketika nilai atau prasangka seorang penilai menimbulkan distorsi penilaian. Bias seperti ini bisa dilakukan secara tidak sadar atau secara disengaja. 10. Kesalahan berbeda-dengan-saya (Different-to-me Error).
41
Sekali lagi kesalahan disebabkan karena pengukuran seseorang terhadap orang lain dan bukan pada seberapa baik individu tersebut memenuhi harapan dalam pekerjaan. 11. Kesalahan penarikan contoh (Sampling Error). Jika penilai hanya melihat sebagian kecil contoh dari pekerjaan seseorang, maka penilaiannya mungkin mempunyai kesalahan penarikan contoh.
Indikator Performance Appraisal Menurut Mathis dan Jackson (2006, p410-411) agar dapat efektif, sistem manajemen penilaian kinerja haruslah: •
Konsisten dengan misi strategis sebuah organisasi.
•
Bermanfaat sebagai alat pengembangan.
•
Berguna sebagai alat administratif.
•
Sesuai dengan hukum dan berkaitan dengan pekerjaan.
•
Dipandang adil secara umum oleh para karyawan.
•
Efektif di dalam mendokumentasikan kinerja karyawan.
2.1.2.4 Coordination Pengertian Coordination Menurut
Griffin
(2012,
p165),
koordinasi
adalah
proses
menghubungkan aktivitas-aktivitas berbagai departemen di dalam sebuah
42
organisasi. Koordinasi merupakan salah satu elemen utama dari fungsi manajemen Organizing. Menurut Daft (2012, p281) koordinasi merupakan kualitas dari kolaborasi di antara departemen-departemen. Tanpa koordinasi tangan kanan perusahaan tidak akan berjalan seiring dengan tangan kiri perusahaan, yang dapat menyebabkan timbulnya masalah dan konflik. Koordinasi diperlukan walaupun organisasi memiliki struktur fungsional, divisional maupun tim. Menurut Naidu dan Rao (2008, p99) koordinasi adalah proses yang memastikan yang memastikan fungsi-fungsi manajemen berjalan lancar. Secara
keseluruhan
dapat
disimpulkan
bahwa
koordinasi
merupakan proses yang menghubungkan setiap aktivitas-aktivitas di dalam perusahaan dan memastikan fungsi manajemen berjalan dan berkolaborasi dengan baik.
Kebutuhan akan Coordination Griffin (2012, p165-166) menyatakan bahwa alasan utama koordinasi diperlukan di dalam suatu perusahaan adalah karena departemen-departemen dan grup kerja bersifat independen sehingga mereka bergantung pada informasi dan sumber daya antara satu sama lain
43
untuk dapat menjalankan aktivitas mereka. Terdapat 3 bentuk utama dari saling ketergantungan antar departemen yakni : 1. Pooled Interdependence Merupakan
tingkatan
Interdependence
terendah
ditandai
dengan
dari
interdependence.
adanya
sedikit
interaksi
Pooled antar
departemen di dalam suatu perusahaan. Tiap-tiap departemen memiliki sumber dayanya tersendiri seperti staff, budget, dan lainnya untuk mencapai output seperti profits atau losses. Output dari interaksi unit tersebut akan disampaikan pada tingkatan organisasional. 2. Sequential Interdependence Merupakan tingkatan menengah (moderate) dari interdependence. Sequential Interdependence ditandai dengan output dari suatu unit dan menjadi input bagi unit lainnya sebagai akibatnya. 3. Reciprocal Interdependence Merupakan
tingkatan
tertinggi
dari
interdependence.
Reciprocal
Interdependence ditandai dengan aktivitas berjalan secara bersama-sama diantara unit-unit. Output dari unit-unit tersebut dapat saling memberikan timbal balik.
Karakteristik Coordination Menurut Naidu dan Rao (2008, p100) ada 7 karakteristik utama dari koordinasi yakni:
44
1. Tidak memisahkan fungsi-fungsi manajemen. Koordinasi diperlukan di dalam semua fungsi manajemen dan bukan merupakan bagian yang terpisah. 2. Tanggung jawab manajerial. Setiap kepala departemen bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan upaya dari bawahannya dan juga mengkoordinasikan bagiannya dengan departemen lainnya. 3. Kesatuan tindakan. Kesatuan tindakan merupakan hal yang esensial untuk mencapai tujuan. Koordinasi menjadikan tindakan-tindakan tersebut bersatu. 4. Koordinasi merupakan bagian dari semua tingkat di dalam organisasi. Koordinasi harus dibangun di dalam setiap aktivitas tingkatan organisasi. 5. Koordinasi relevan bagi upaya grup. Koordinasi lebih menekankan pada upaya grup daripada upaya individual. Koordinasi menuntun upaya individu kepada upaya grup untuk mencapai tujuan. 6. Proses yang berkelanjutan dan dinamis. Koordinasi merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis. Manajer harus terus-menerus memonitor dan mengkoordinasi antara orang dan aktivitas-aktivitas. 7. Konsep sistem. Setiap organisasi dimulai dari sistem koperasi. Setiap fungsi departemen berbeda pada dasarnya dan saling bergantung di dalam sebuah sistem organisasi. Organisasi dapat berjalan lebih lancar dengan adanya bantuan koordinasi. Bagaimanapun juga koordinasi adalah sebuah konsep sistem.
45
Pentingnya Coordination Menurut Naidu dan Rao (2008, p100-101) pentingnya koordinasi disebabkan oleh beberapa faktor berikut: 1. Unity in Diversity. Terdapat karyawan dalam jumlah besar dengan ide-ide yang berbeda, pandangan, opini dan interest. Hal ini akan menghasilkan aktivitas yang berbeda di dalam organisasi. Sangatlah penting untuk membawa mereka bersama-sama untuk menyelesaikan tujuan umum perusahaan. 2. Spesialization. Di dalam industri modern organisasi, terdapat banyak tingkatan dari spesialisasi. Walaupun para spesialis sangat sadar akan pekerjaan mereka dan menjalankan pekerjaan mereka dengan sangat efektif, mereka memiliki pengetahuan yang kurang akan pekerjaan orang lain dan seberapa penting hal itu. Hal ini akan mengarah pada kesalahpahaman dan perselisihan diantara para spesialis itu. Koordinasi memainkan peranan penting di dalam menyatukan mereka dan menjelaskan pentingnya aktivitas satu sama lain. 3. Teamwork. Koordinasi membantu mengubah upaya yang berbeda-beda dari berbagai macam grup untuk mencapai tujuan perusahaan. Hal ini mempromosikan teamwork dan menghindari duplikasi pekerjaan.
46
4. Large Number of Employees. Organisasi yang besar mempekerjakan karyawan yang banyak. Karyawan tersebut memiliki kebiasaan, perilaku dan pendekatan yang berbeda-beda di dalam situasi tertentu. Seringkali ditemukan bahwa para karyawan tidak bekerja dengan harmonis. Koordinasi diperlukan untuk membawa harmoni bagi mereka. 5. Empire Building Empire building mengacu pada top level organization. Line officers membutuhkan kerja sama dari staff officers, tetapi line officers sendiri tidak siap untuk mengembangkan kerja sama mereka terhadap staff officers. Hal ini menyebabkan konflik antara line officers dan staff officers. Maka dari itu koordinasi sangatlah penting untuk menghindari konflik antara line dan staff officers. 6. Functional Differences. Fungsi-fungsi organisasi dibagi menjadi beberapa bagian. Setiap bagian mengerjakan pekerjaan yang berbeda. Setiap departemen mencoba untuk mengerjakan fungsinya sendirisendiri. Koordinasi sangatlah penting untuk mengintegrasikan fungsi dari departemen tersebut. 7. Recognition of Goals. Terdapat tujuan umum di dalam sebuah organisasi.
Sebagai
tambahan,
setiap
departemen
mempunyai
tujuannya masing-masing dan karyawan secara individu mempunyai tujuannya sendiri. Individu karyawan akan memberikan lebih untuk mencapai tujuannya sendiri daripada tujuan organisasi. Bahkan,
47
kepala
departemen
lebih
memprioritaskan
tujuan
departemen
dibandingkan tujuan organisasi. Koordinasi memainkan peranan penting dalam merekonsiliasi tujuan karyawan dan tujuan departemen dengan tujuan organisasi. 8. Communication. Koordinasi memastikan kelancaran informasi dari suatu arah ke arah yang lain. 9. Interdepencency. Kebutuhan akan koordinasi di dalam suatu organisasi meningkat dari adanya saling ketergantungan antar berbagai unit. Semakin besar saling ketergantungan tiap unit, semakin besar kebutuhan akan koordinasi.
Teknik Coordination Struktural Griffin (2011, p354-355) menjelaskan bahwa terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menjaga koordinasi unit-unit seperti : 1. The Managerial Hierarchy. Organisasi yang menggunakan hirarki untuk mencapai koordinasi antar unit menempatkan seorang manajer untuk bertanggung jawab atas
interdependence
dari
departemen-departemen
di
dalam
perusahaan. 2. Rules and Procedures. Rules and Procedures biasanya digunakan dalam aktivitas koordinasi yang rutin, hal-hal ini tidak efektif jika koordinasinya bersifat kompleks dan tidak wajar.
48
3. Liaison Roles. Dalam liaison roles perusahaan menempatkan seorang manajer sebagai perantara untuk mengkoordinasikan unit-unit dan bertindak sebagaimana yang ada di dalam kontraknya. Manajer tersebut mungkin tidak memiliki otoritas formal apapun atas unit-unit tersebut tetapi ia dapat memfasilitasi arus informasi antara unit-unit tersebut. 4. Task Force. Task Force dapat dibuat ketika kebutuhan akan koordinasi sangat diperlukan. Ketika interdepence di antara unit-unit bersifat kompleks, suatu perantara tunggal mungkin tidaklah cukup. Oleh karena itu task force mungkin dibentuk dengan mengambil satu orang perwakilan dari tiap grup. Kemudian fungsi koordinasi dibagi pada beberapa orang tersebut dimana tiap-tiap perwakilan tersebut memiliki informasi yang spesifik atas grupnya. Ketika proyeknya selesai, anggota task force kembali ke posisinya semula. 5. Integrating Department. Integrating Department mirip dengan task force namun lebih permanen. Sebuah Integrating Department umumnya memiliki beberapa anggota permanen dan anggota yang ditugaskan secara sementara dari unit-unit yang diperlukan di dalam koordinasi. Sebuah Integrating Department juga biasanya memiliki otoritas yang lebih dibandingkan dengan task force dan bahkan dapat diberikan kontrol atas beberapa penganggaran.
49
Beberapa teknik lain menurut Naidu dan Rao (2008, p102-103) adalah: 6. Clearly Defined Objectives. Setiap organisasi mempunyai tujuannya masing-masing. Tujuan tersebut harus didefinisikan secara jelas sehingga setiap karyawan di dalam organisasi mengerti dengan baik. Kesatuan tujuan adalah merupakan hal yang esensial untuk mencapai koordinasi. 7. Effective Communication. Komunikasi yang efektif mendukung adanya saling pengertian yang menguntungkan (mutual understanding) dan kerja sama diantara orang-orang di dalam organisasi. Komunikasi secara langsung dan cepat memfasilitasi antara pengertian dan koordinasi. 8. Sound Organizational Structure. Sound organizational structure mengintegrasikan aktivitas unit yang berbeda di dalam organisasi, hal ini akan menghasilkan koordinasi yang lebih baik. 9. Coordination through Commitees. Komite atau grup yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan merupakan alat pengkoordinasian yang umum. Hal ini membantu mengurangi kekakuan dari struktur hirarki. 10. Incentives. Istilah insentif mencakup hanya monitory incentive. Insentif-insentif tersebut berupa peningkatan gaji, bonus, pembagian laba dan
50
sebagainya. Hal ini meningkatkan semangat dan kerja sama antara karyawan dan pekerja, antara pekerja dan supervisor.
Prinsip-Prinsip Coordination yang Efektif Menurut Naidu dan Rao (2008, p103-104) untuk memastikan koordinasi yang efektif haruslah didasari pada prinsip-prinsip di bawah ini: 1. Early Start. Koordinasi harus dimulai dari tahapan awal pembuatan rencana dan kebijakan. Rencana harus dipersiapkan di dalam konsultasi yang saling menguntungkan. Oleh karena hal ini, pekerjaan yang diimplementasikan dan perubahan atau penyesuaian apapun atas rencana tersebut dapat dengan mudah dijalankan. 2. Direct Contact. Kontak, ide, ideologi, tujuan dan pandangan langsung seseorang dapat didiskusikan dan disalahpahamkan. Jika terdapat kesalahpahaman, hal itu dapat dengan cepat diklarifikasikan dengan jauh lebih efisien. Suatu kesepakatan metode dan tindakan dapat tercapai melalui kontak seseorang dalam mencapai tujuan. 3. Continuity. Koordinasi merupakan proses yang berkelanjutan dan hal itu harus diterapkan dalam setiap tingkatan manajemen. Dimulai dari perencanaan dan diakhiri dengan pengawasan. 4. Dynamism.
51
Koordinasi tidak boleh bersifat kaku. Perubahan lingkungan internal dan eksternal menuntut perubahan tipe koordinasi. Koordinasi harus berubah seiring dengan keadaan. 5. Simplified Organization. Organisasi yang disederhanakan memfasilitasi koordinasi yang efektif. Departemen-departemen yang ada dapat disusun kembali sehingga koordinasi yang lebih baik dapat diterapkan. Sangatlah dianjurkan bahwa setiap departemen memiliki satu pemimpin yang memastikan keefektivitasan komunikasi. 6. Self Coordination. Koordinasi diri dengan masing-masing departemen akan membawa koordinasi atas seluruh organisasi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memiliki koordinasi diri. 7. Clear-cut Objective. Tim manajemen perusahaan harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjelaskan tujuan kepada kepala departemen. Tujuan yang jelas dan penjelasan yang jelas akan menghasilkan kesatuan tindakan. 8. Clear Definition of Autority & Responsibility. Manajemen harus mendefinikan otoritas dan tanggung jawab dari setiap individu dan departemen dengan jelas. Hal ini akan memfasilitasi koordinasi yang efektif. Hal ini juga mengurangi konflik diantara individu dan departemen-departemen. Manajer departemen
52
mempunyai otoritas yang jelas untuk memberi hukuman kepada bawahan yang melanggar aturan. 9. Effective Communication. Melalui perubahan informasi yang terus-menerus, perbedaan individu dan departemen dapat diselesaikan dengan mudah. Perubahan kebijakan, penyesuaian apapun di dalam program dan sebagainya, dapat didiskusikan. 10. Effective Supervision and Leadership Top executives
harus mengawasi pekerjaan dari bawahan untuk
memastikan kesuksesan kinerja agar berjalan sesuai dengan rencana. Ketika top execitives menemukan penyimpangan, mereka akan mengambil langkah untuk mengkoreksinya dengan segera lewat bantuan supervisor. Oleh karena itu, koordinasi diperlukan antara supervisor dan top management. Supervisor memegang peranan penting dalam koordinasi.
Tipe-Tipe Coordination Menurut Naidu dan Rao (2008, p104) koordinasi diklasifikasikan menjadi koordinasi internal dan eksternal. 1. Koordinasi Internal Koordinasi diantara para karyawan di dalam suatu departemen yang sama, diantara pekerja dan manajer pada level yang berbeda, diantara
53
kantor-kantor cabang, pabrik, dan departemen disebut dengan koordinasi internal. Koordinasi internal dibagi lagi menjadi dua tipe: •
Koordinasi vertikal. Koordinasi vertikal mengacu pada koordinasi pekerjaan kepala departemen dengan bawahannya atau sebaliknya.
•
Koordinasi horisontal. Koordinasi antara orang-orang yang memiliki status dan jabatan yang sama. Koordinasi ini terjadi diantara para kepala departemen, supervisors dan para pekerja.
2. Koordinasi Eksternal Koordinasi eksternal merupakan koordinasi antara pelanggan, pemasok dan pemerintah serta pihak-pihak luar lain yang memiliki koneksi bisnis dengan organisasi.
54
2.1.3 Leadership 2.1.3.1 Pengertian Leadership Ada beberapa pengertian leadership yang tercantum dalam penulisan buku oleh Gary Yukl (2010, p21), yaitu : •
Leadership adalah perilaku individual yang mengarahkan aktivitas dari sebuah grup menuju tujuan bersama (Hemphill & Coons, 1957, p7).
•
Leadership adalah proses dari mempengaruhi aktivitas dari suatu grup yang terorganisasi menuju pencapaian tujuan (Rauch & Behling, 1984, p46).
•
Leadership adalah proses memberikan tujuan (arah yang bermanfaat) untuk usaha bersama dan menyebabkan keinginan untuk berusaha yang lebih luas untuk mencapai tujuan (Jacobs & Jaques, 1990, p281). Menurut Coulter dan Robbins (2009, p386), leadership adalah apa
yang dilakukan oleh pemimpin yang merupakan kemampuan memimpin sebuah grup dan mempengaruhi grup tersebut untuk mencapai sasarannya. Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan seseorang yang mempunyai otoritas manajerial. Secara keseluruhan leadership merupakan perilaku individual seorang pemimpin yang mempunyai pengaruh dan otoritas manajerial atas aktivitas dari sebuah grup yang terorganisasi yang mempunyai tujuan untuk mencapai sasaran organisasi.
55
2.1.3.2 Pandangan Kontemporer dari Leadership Transformational-Transactional leadership
pada
mulanya
dilihat
Leadership. pemimpin
Banyak
sebagai
teori
pemimpin
transaksional – yakni pemimpin yang memimpin secara mendasar dengan mengunakan pertukaran secara sosial (transaksi). Pemimpin transaksional mengarahkan dan memotivasi bawahan untuk bekerja menuju pencapaian sasaran dengan balasan penghargaan atas produktivitas. Tetapi ada tipe lain dari pemimpin – pemimpin tranformasional – yang menstimulasi dan menginspirasi (mentranformasikan bawahan untuk mencapai hasil yang luar biasa) (Coulter dan Robbins, 2009, p396). Charismatic-Visionary Leadership. Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang memiliki antusiasme, kepercayaan diri yang memiliki kepribadian dan tindakan yang mempengaruhi orang lain untuk berperilaku dalam cara tertentu.. (Coulter dan Robbins, 2009, p397)
2.1.3.3 Kerangka Leadership Menurut Ancona, Kochan, Scully, Van Maanen, dan Westney (2009, p9-14, M14) kerangka leadership dimulai dengan empat kunci kemampuan dari leadership yakni : 1. Sense-Making. Sense-Making merupakan bagaimana membuat suatu konsep masuk akal. Sense-making juga merupakan proses untuk mengerti sebuah konsep yang saat ini sedang dijalankan.
56
2. Relating. Relating mengacu kepada pengembangan akan kunci hubungan di dalam sebuah organisasi. Leadership yang merupakan kemampuan untuk menjembatani dan membangun hubungan yang dapat dipercaya adalah kunci dari kompetensi. Konteks leadership dipenuhi dengan hubungan interpersonal yang penting. Pemimpin seharusnya berusaha untuk menciptakan kepercayaan, optimisme, dan harmonisasi, tetapi mereka seringkali menjadi marah, sinisme dan konflik. Kemampuan inti yang berkaitan dengan kemampuan pemimpin yakni penyelidikan, advokasi, dan menghubungkan. 3. Visioning. Visioning merupakan tindakan membuat gambaran yang menarik tentang masa depan. Ketika sense-making membuat peta pada saat ini, visioning membuat peta tentang masa yang akan datang. Visioning sangatlah penting karena dengan adanya visi akan memotivasi orang-orang untuk membuang pandangan dan cara mereka bekerja saat ini untuk melakukan perubahan. 4. Inventing. Inventing mengacu pada membuat cara baru orang-orang di dalam bekerjasama. Ketika kita sudah mempunyai visi, kita perlu menciptakan struktur-struktur dan proses-proses yang memungkinkan kita untuk mencapai visi tersebut. Kita perlu secara konstan menciptakan suatu jalan keluar dari permasalahan-permasalahan yang kita hadapi untuk melakukan
57
perubahan dan menemukan jalan untuk membangun organisasi yang lebih baik. Inventing dapat berskala sangat kecil atau berskala sangat luas. Inventing juga dapat dilihat sebagai tindakan yang ditujukan untuk menghadapi tantangan untuk berubah atau cara baru untuk menjalankan sebuah tugas.
2.1.3.4 Isu-isu di dalam Leadership di dalam Abad ke-21 Pemimpin pada abad ke-21 menghadapi isu-isu penting di dalam leadership. Isu-isu tersebut menurut Robbins & Coulter (2009, p399-405) adalah: 1. Pengelolaan Wewenang. Ada 5 sumber kewenangan seorang pemimpin yang diidentifikasikan yakni: •
Legitimate Power. Legitimate power dan otoritas merupakan hal yang sama. Legitimate power mewakili wewenang seorang pemimpin atas jabatan yang dimilikinya di dalam sebuah organisasi. Walaupun seseorang di dalam posisi atas juga memiliki reward power dan coercive power, legitimate power lebih luas dari kekuatan koersif dan reward.
•
Coercive Power. Coercive Power merupakan wewenang seorang pemimpin untuk menghukum dan mengontrol. Bawahan akan bereaksi terhadap hal ini dengan rasa takut dan akan menghasilkan kenegativan apabila mereka tidak dapat menerimanya. Manajer yang memiliki tipe
58
wewenang yang koersif, akan cenderung menskors dan memecat karyawan yang mereka temukan tidak sesuai. •
Reward Power. Reward Power merupakan kewenangan yang memberikan reward yang positif. Hal ini dapat berbentuk apa saja yang dianggap berharga yakni uang, penghargaan atas kinerja, promosi, pekerjaan yang menarik, rekan kerja yang ramah, shift kerja yang disukai, atau area penjualan.
•
Expert Power. Expert Power merupakan wewenang yang berdasarkan keahlian, keterampilan khusus, atau pengetahuan. Apabila seorang karyawan memiliki keterampilan, pengetahuan atau keahlian yang dibutuhkan oleh di dalam sebuah tim kerja, kewenangan orang tersebut akan meningkat.
•
Referent Power. Referent Power merupakan suatu wewenang yang muncul karena memiliki sumber daya yang diinginkan seseorang atau bersifat pribadi. Apabila saya menyukai anda dan berhubungan dengan anda, anda dapat menguasai saya karena saya ingin menyenangkan anda.
2. Mengembangkan kepercayaan. Di dalam lingkungan masa kini yang penuh dengan ketidakpastian, sebuah pertimbangan penting bagi seorang pemimpin haruslah membangun kepercayaan dan kredibilitas. Kepercayaan dapat bersifat sangat rapuh. Komponen utama dari kredibilitas adalah kejujuran.
59
Selain menjadi jujur, seorang pemimpin yang dapat dipercaya juga harus berkompeten dan menginspirasi. 3. Memberdayakan karyawan. Memberdayakan
karyawan
mencakup
peningkatan
kebijakan
pengambilan keputusan atas pekerja. Jutaan karyawan dan tim karyawan membuat keputusan kunci di dalam operasi yang mempengaruhi
pekerjaan
mereka
secara
langsung.
Mereka
mengembangkan anggaran, penjadwalan beban kerja, pengontrolan inventori, menyelesaikan masalah kualitas dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas serupa yang sampai kini dilihat secara eksklusif sebagai bagian dari pekerjaan manajer. 4. Memimpin dalam lintas budaya. Salah
satu
kesimpulan
kepemimpinan
adalah
umum bahwa
yang
muncul
pemimpin
yang
dari
penelitian
efektif
tidak
menggunakan suatu gaya tunggal. Mereka menyesuaikan gaya mereka kepada situasi yang ada. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, budaya nasional dipastikan adalah salah satu variabel situasional yang penting dalam menentukan gaya kepemimpinan mana yang paling efektif.
Sebagai
contoh,
salah
satu
pembelajaran
dari
gaya
kepemimpinan Asia mengungkapkan bahwa manajer-manajer di Asia lebih menyukai pemimpin-pemimpin yang merupakan pengambil keputusan yang kompeten, komunikator yang efektif dan yang suportif terhadap
karyawan.
Budaya
nasional
mempengaruhi
gaya
60
kepemimpinan karena hal itu mempengaruhi bagaimana bawahan akan bereaksi. Pemimpin tidak dapat (dan tidak seharusnya) memilih gaya mereka secara random. Mereka dibatasi oleh kondisi budaya yang diharapkan oleh karyawan mereka. 5. Pemahaman akan perbedaan gender di dalam kepemimpinan. Pria dan wanita menggunakan gaya yang berbeda. Lebih spesifik, wanita cenderung untuk mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih demokratif dan partisipatif. Wanita cenderung untuk mendorong partisipasi, membagi kekuasaan dan informasi dan berusaha untuk meningkatkan harga diri bawahan. Mereka cenderung memimpin dengan cara merangkul semua pihak dan bergantung pada kharisma, keahlian, kontrak dan keterampilan interpersonal mereka untuk mempengaruhi oranglain. Wanita cenderung untuk menggunakan gaya kepemimpinan transformasional, memotivasi orang lain dengan mengubah kepentingan orang lain menjadi tujuan organisasi. Pria cenderung untuk menggunakan gaya yang mengarahkan, memberi perintah dan mengontrol. Mereka memberikan pengaruh yang bergantung posisi otoritas formal. Pria menggunakan kepemimpinan transaksional, memberikan imbalan untuk pekerjaan yang baik dan penghukuman untuk pekerjaan yang buruk. Walaupun demikian, tidak ada gaya kepemimpinan pria maupun wanita yang lebih baik. 6. Menjadi pemimpin yang efektif.
61
Terdapat
dua
isu
yang
perlu
didiskusikan
terkait
dengan
kepemimpinan yang efektif. Pertama, pelatihan kepemimpinan (leader’s training). Organisasi membutuhkan orang-orang yang memiliki introspeksi diri yang tinggi (high self-monitor) dan yang memiliki fleksibilitas untuk mengubah perilaku mereka pada situasi yang berbeda. Kedua, substitusi bagi kepemimpinan. Di samping kepercayaan bahwa gaya kepemimpinan tertentu dapat selalu efektif pada situasi apapun, kepemimpinan tidak selalu penting. Sebagai contoh, karakteristik bawahan seperti pengalaman kerja, pelatihan kerja, orientasi kerja profesional dan kebutuhan untuk menjadi independen dapat menetralisir efek dari kepemimpinan dan dapat menurunkan permintaan dari kepemimpinan.
2.1.3.5 Indikator dalam Leadership Sikap dari bawahan dan persepsi dari pemimpin adalah salah satu contoh dari indikator umum dari keefektivitasan pemimpin. Seberapa baik pemimpin memuaskan kebutuhan dan ekspetaksi mereka? Apakah bawahan menyukai, menghormati dan mengagumi pemimpin mereka? Apakah bawahan mempercayai pimpinan dan merasa bahwa pemimpin tersebut berintegritas tinggi? Apakah bawahan sangat berkomitmen untuk menyelesaikan tugas dari pemimpin, atau mereka menentang atau mengabaikannya? Apakah pemimpin meningkatkan kualitas kehidupan kerja, membangun kepercayaan diri bawahan, meningkatkan kemampuan
62
mereka dan berkontribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan psikologis mereka? Sikap bawahan, persepsi dan kepercayaan biasanya diukur dengan menggunakan kuesioner dan interview. Aspek dari perilaku bawahan juga menyediakan indikator secara tidak langsung dari ketidakpuasan dan perselisihan terhadap pemimpin. Contoh-contoh dari indikator mencakup kehadiran, voluntary vacancies, keluhan-keluhan terhadap manajemen atas, permintaan pemindahan kerja, perlambatan pekerjaan, dan perusakan peralatan atau fasilitas dengan sengaja. Keefektivitasan kepemimpinan seringkali diukur di dalam kondisi dimana pemimpin berkontribusi kepada kualitas proses sebuah grup, sebagaimana yang dirasakan oleh bawahan atau pengamat dari luar. Apakah pemimpin meningkatkan keterpaduan dari grup, kerja sama, komitmen, kepercayaan diri anggota yang membuat grup mencapai sasaran? Apakah pemimpin meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan pengambilan keputusan dari sebuah grup untuk menghadapi perubahan dan krisis? Tipe terakhir dari kriteria keefektivitasan kepemimpinan mengarah kepada orang yang mempunyai karir yang sukses sebagai pemimpin. Apakah orang tersebut seringkali dipromosikan ke posisi yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi? Apakah ia dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan? Dan di dalam pemilihan pemimpin di dalam sebuah perusahaan, apakah ia berhasil terpilih kembali? (Gary Yukl, 2010, p28)
63
2.1.4 Employee Engagement 2.1.4.1 Pengertian Employee Engagement Komitmen terhadap kesuksesan pekerjaan sering disebut sebagai employee engagement. Hal ini telah didefinisikan oleh salah satu organisasi riset terkemuka sebagai hubungan emosional yang tinggi yang seorang karyawan rasakan terhadap organisasinya yang mempengaruhinya untuk mengerahkan usaha yang bebas dan lebih besar untuk pekerjaannya. (Risher, 2010, p74). Pengertian employee engagement menurut Robbins dan Judge (2007, p76) adalah sebuah keterlibatan individual karyawan, kepuasan, dan antusiasme untuk melakukan pekerjaannya. Sedangkan menurut Fraunheim (2009, p20), employee engagement mengacu pada seberapa berkomitmen para pekerja kepada organisasi mereka dan seberapa besar usaha lebih yang mereka rela untuk berikan dalam pekerjaan mereka. Banyak orang yang percaya bahwa employee engagement merupakan versi yang telah dikembangkan dari kepuasan kerja. Namun, penulis memilih untuk membedakannya. Penulis pikir employee engagement dapat terjadi tanpa adanya kepuasan kerja (Sengupta, Business Line : The Myth of Engagement, 2011). Employee engagement adalah salah satu dari dua prioritas utama dari para pemimpin sumber daya manusia pada tahun 2010, menurut sebuah survei pada bulan Oktober oleh perusahaan peneliti firm Corporale Executive Board (Mack, Garufi, 2011).
64
Employee engagement menurut Thomas (2007) merupakan suatu keadaan psikologis yang stabil dan adalah hasil interaksi antara seorang individu dengan lingkungan tempat individu bekerja. Employee engagement secara keseluruhan merupakan suatu komitmen karyawan kepada perusahaannya yang didasari oleh sifat emosional seperti antusiasme, mengerahkan usaha yang bebas dan rela memberikan usaha lebih besar untuk pekerjaannya.
2.1.4.2 Langkah-langkah Pembuatan dan
Pelaksanaan
Promosi
Employee Engagement Langkah-langkah dalam membuat dan melaksanakan promosi engagement adalah (nn, Science Letter, 2009, p4152) : 1.
Diagnosa dan Survei Engagement. •
Aktivitas diagnosa sebelum survei.
•
Melakukan pemerikasaan latar belakang dan memperoleh “bahasa komunikasi”.
•
Melibatkan kepemimpinan untuk mendefinisikan engagement strategis dan budaya pendukung.
• 2.
Merancang proses penyampaian pesan engagement.
Rencana Kerja dan Intervention. •
Interpretasi hasil survei.
65
•
Benchmarking.
•
Umpan balik hasil survei.
•
Umpan balik pada level eksekutif.
2.1.4.3 Penggerak dari Employee Engagement Banyak peneliti telah berusaha untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mengarah pada employee engagement dan mengembangkan model-model untuk mengambarkan implikasinya bagi para manager. Diagnosa mereka bertujuan untuk menentukan pengerak-pengerak yang akan dapat meningkatkan employee engagement itu. Menurut laporan penelitian Penna (2007) dalam Markos, Solomon; Sridevi, M Sandhya, 2010, p89-96, makna di dalam pekerjaan memiliki potensi untuk menjadi cara yang berharga bagi para pengusaha dan karyawan untuk lebih dekat bersama-sama untuk keuntungan kedua belah
pihak
dalam
mengalami
perasaan
berkomunitas,
perasaan
mendapatkan ruang untuk menjadi diri mereka sendiri dan kesempatan untuk memberikan kontribusi, dengan menemukan makna. Peneliti-peneliti tersebut juga menghasilkan suatu model baru yang disebut dengan “hirarki keterlibatan” yang menyerupai “hirarki kebutuhan Maslow”.
66
Gambar 2.1 Hierarchy of Engagement
Sumber : Employee Engagement: The Key to Improving Performance. International Journal of Business and Management. Vol. 5, Iss. 12; pg. 89, 8 pgs. (ONLINE). http://proquest.umi.com/. May 2011. Markos, Sridevi (2010).
Gambar 2.2 Hierarchy of Needs
Sumber : Employee Engagement: The Key to Improving Performance. International Journal of Business and Management. Vol. 5, Iss. 12; pg. 89, 8 pgs. (ONLINE). http://proquest.umi.com/. May 2011. Markos, Sridevi (2010).
67
Pada baris bawah hierarchy of engagement, terdapat kebutuhan dasar gaji dan tunjangan. Setelah karyawan merasa puas akan kebutuhan ini, maka karyawan mencari kesempatan untuk berkembang, kemungkinan untuk promosi dan gaya kepemimpinan promosi akan diperkenalkan dalam model. Akhirnya, ketika semua kutipan aspirasi tingkat yang lebih rendah di atas telah dipenuhi, karyawan akan mencari penyesuaian dari nilai-makna, yang ditampilkan dengan arti sebenarnya dari koneksi, tujuan umum dan perasaan makna di tempat kerja. Studi The Blessing White (2006) dalam Markos, Solomon; Sridevi, M Sandhya, 2010, p89-96, telah menemukan bahwa hampir dua per tiga (60%) dari karyawan yang disurvei ingin memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkembang untuk tetap merasa puas dalam pekerjaan mereka. Hubungan manajer-karyawan yang kuat merupakan unsur krusial dalam employee engagement dan formula retensi. (Markos, Sridevi, 2010, 89).
2.1.4.4 Perilaku Umum dari Employee Engagement Karyawan mendemonstrasikan
yang
memiliki
tiga
perilaku
meningkatkan kinerja organisasi : 1.
Berbicara (Say).
employee umum
engagement
secara
konstan
akan yang
68
Karyawan menganjurkan rekan kerja mereka kepada organisasi dan mengacu kepada para karyawan dan para pelanggan yang potensial 2.
Bertahan (Stay). Karyawan memiliki keinginan yang besar untuk menjadi anggota
dari organisasi walaupun memiliki kesempatan untuk bekerja di tempat lain. 3.
Bekerja Keras (Strive). Karyawan bekerja keras dalam waktu yang lebih lama, berusaha
dan berinisiatif untuk berkontribusi pada kesuksesan dari bisnis. (Baumruk and Gorman, 2006).
2.1.4.5 Strategi Employee Engagement Untuk
menghasilkan
karyawan
yang
memiliki
employee
engagement, manajer perlu untuk melihat sepuluh poin berikut ini : 1.
Memulainya pada hari pertama.
2.
Memulainya dari atas.
3.
Meningkatkan employee engagement melalui komunikasi dua arah.
4.
Memberikan kesempatan untuk berkembang dan kemajuan yang memuaskan.
5.
Memastikan bahwa karyawan memiliki semua yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka.
6.
Memberikan karyawan pelatihan yang tepat.
69
7.
Memiliki sistem umpan balik yang kuat.
8.
Memberikan insentif.
9.
Membangun budaya korporat yang istimewa.
10. Berfokus pada karyawan berkinerja tinggi (Markos, Sridevi, 2010).
2.1.4.6 Dimensi dan Indikator dari Employee Engagement Menurut Thomas (2007) dan Gibbons (2006) dimensi dan indikator di dalam Employee Engagement: Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Employee Engagement Dimensi Kesiapan
Indikator • • •
Kerelaan
• •
Kebanggaan
• • •
Siap mendedikasikan diri pada pekerjaan Memikirkan cara baru untuk bekerja lebih efektif Semangat dalam melaksanakan pekerjaan Kesediaan memotivasi diri untuk mencapai keberhasilan Kesediaan untuk bekerja keras atau bekerja ekstra keras Pekerjaan sebagai sumber kebanggan diri Pekerjaan dikerjakan secara lengkap dan menyeluruh Kesiapan mencurahkan jiwa bagi pekerjaan
Sumber : Thomas (2007) dan Gibbons (2006)
70
2.1.4.7 Employee Engagement Index Menurut Bucknall, Wei dan Mercer (2006, p80) Employee Engagement Index adalah indeks yang didasarkan pada survei periodik yang diselenggarakan untuk mengukur seberapa karyawan merasa engaged dengan perusahaan. Employee Engagement Index merupakan suatu alat ukur yang penting yang memungkin pihak manajemen untuk mengetahui dan mengikuti perkembangan isu di dalam suatu perusahaan mengenai keinginan karyawan untuk bertindak melebihi tuntutan kerja dengan sukarela. Sebagai tambahan, hal ini memungkinkan perusahaan untuk berfokus terhadap isu tersebut yang akan membuat perbedaan yang signifikan terhadap efisiensi di dalam suatu organisasi, dan membantu pihak manajemen untuk menggunakan keahlian karyawannya secara efektif.
2.1.4.8 Employee Engagement Index Formula Terdapat rumus untuk menghitung tingkat engagement karyawan di dalam suatu perusahaan menurut Bucknall, Wei dan Mercer (2006, p80), yakni : . .
100%
71
2.1.5 Kajian Penelitian Terdahulu Terdapat berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti akan hubungan serta pengaruh antara variabel HR Practices, Leadership dan Employee Engagement. Berikut adalah beberapa dari gambaran penelitian tersebut: 1. Galanaki, E & Papalexandris, N. (2009). Leadership’s Impact on Employee Engagement : Differences among Entrepreneurs and Professional CEOs. Leadership & Organization Development Journal, 30. 4, 365-385. Penelitian ini mengidentifikasi bagaimana dampak antara praktek kepemimpinan terhadap kepuasan, komitmen, motivasi dan engagement bawahan. Untuk memperoleh datanya, dilakukan Multiple respondent survey yang ditujukan untuk para CEO dan bawahan penelitian
mereka. Pearson Correlation digunakan dalam ini
untuk
mengukur
hubungan
antara
praktek
kepemimpinan dengan employee engagement. Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pengembangan visi yang jelas dan artikulasi visi dalam suatu perusahaan, sebagaimana hal ini terlihat dalam orang-orang yang bekerja dalam perusahaan mengharapkan arahan dari pemimpin mereka.
72
2. Adnan, S; Asad, A; Ashraf, M; Hussain, R. I & Nayyab, H. (2011). Impact of HR Practices on Employee Engagement in Banking Sector of Pakistan. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 3. 1, 409-416. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti dampak dari HR Practices pada employee engagement dalam sektor perbankan di Pakistan.Data dari peneltian ini diambil dari 250 karyawan dari berbagai bank komersil di Pakistan.
Pendekatan kuantitatif
dengan kuesinoner five point Likert-scal e juga digunakan dalam peneltian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara employee engagement dan HR practices. Hasil observasi dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa karyawan yang bekerja dalam berbagai bank secara luas memiliki pendekatan yang positif terhadap employee engagement.
73
2.2 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penulis atas penelitian ini adalah bagaimana tiap-tiap variabel bebas (Leadership dan HR Practices) berhubungan dengan variabel terikat (employee engagement), serta pengaruh kedua variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat.
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pemikiran PT. EDSIN LESTARI EXPRESS
Karyawan Perusahaan
HR Practices (Praktek‐Praktek Sumber Daya Manusia)
Leadership (Kepemimpinan)
Employee Engagement
Kemajuan dan Kerberhasilan PT. EDSIN LESTARI EXPRESS
Sumber : Penulis
74 2.3 Hipotesis
Hipotesis atas hubungan variabel HR Practices dengan Employee Engagement. H0 : HR Practices tidak berpengaruh terhadap Employee Engagement. Ha : HR Practices berpengaruh terhadap Employee Engagement.
Hipotesis atas hubungan variabel Leadership dengan Employee Engagement. H0 : Leadership tidak berpengaruh terhadap Employee Engagement. Ha : Leadership berpengaruh terhadap Employee Engagement.
Hipotesis atas hubungan variabel HR Practices dan Leadership secara simultan dengan Employee Engagement. H0 : HR Practices dan Leadership tidak berpengaruh secara simultan terhadap Employee Engagement. Ha : HR Practices dan Employee Engagement.
Leadership berpengaruh
secara simultan terhadap
75
Jawaban sementara atas masalah penelitian ini yang diturunkan dari kerangka pemikiran diatas adalah : •
Terdapat pengaruh Leadership terhadap Employee Engagement di PT. EDSIN LESTARI EXPRESS.
•
Terdapat pengaruh HR Practices terhadap Employee Engagement di PT. EDSIN LESTARI EXPRESS.
•
Terdapat pengaruh HR Practices dan Leadership secara simultan terhadap Employee Engagement di PT. EDSIN LESTARI EXPRESS.