POLITIK HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN DITINJAU DARI KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER PRODUK HUKUM BERKAITAN PERIZINAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DALAM KEGIATAN PERTAMBANGAN Agung Ferdiansyah Mahasiswa Pascasarjana (S2) Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta e-mail :
[email protected] Abstract Problems in the management of natural resources is currently the viewpoints of divided natural resources among them the exploitation of natural resources in the form of mining in forest areas. There are several government policies, among others, sets out certain areas that can serve as the area that can be on exploitation carried out haphazardly and forget the power aspects of the support environment, functions of forests as well as rehabilitation efforts against damage. So with government policy issued a legal
Key words : Abstrak Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam saat ini adalah cara pandang terhadap sumber daya alam yang terkotak-kotak dan tidak integratif sehingga melahirkan kebijakan yang sangat sektoral, sehingga masih terjadi kontradiksi atau pertentangan salah satunya eksploitasi sumber daya alam berupa pertambangan yang berada dalam kawasan hutan. Terdapat beberapa kebijakan pemerintah antara lain menetapkan kawasan-kawasan tertentu yang dapat dijadikan sebagai kawasan yang dapat di eksploitasi dan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Kawasan-kawasan tertentu yang dapat di eksploitasi bukan berarti dilakukan secara semena-mena serta melupakan aspek daya dukung lingkungan, fungsi hutan maupun terhadap upaya-upaya rehabilitasi kerusakannya. Maka dengan kebijakan pemerintah mengeluarkan produk hukum perundangan-perundangan di bidang kehutanan sebagai koridor aturan hukum untuk mengetahui proses hukum dipandang sebagai variabel terpengaruh dan politik sebagai variabel berpengaruh. Kata Kunci
Hukum
A. Pendahuluan Pemerintah telah menerbitkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 yang telah ditandatangani Pres iden J oko W idodo. Berdas arkan lampiran Perpres tersebut, pemerintah akan memprioritaskan pembangunan nasional untuk mencapai kedaulatan pangan, ketersediaan energi dan pengelolaan sumber daya maritim
serta kelautan dalam lima tahun ke depan. Pemerintah juga berkomitmen mengarahkan pembangunan untuk mencapai peningkatan kesejahteraan berkelanjutan, dengan mendorong warga Indonesia memiliki jiwa gotong royong, dan harmonis dalam kehidupan antar kelompok sosial. Pemerintah juga ingin agar postur perekonomian dapat sesuai dengan pertumbuhan yang berkualitas. Pertumbuhan berkualitas itu dicapai secara bersamaan dengan meraih keseimbangan
60 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan...
antarsektor ekonomi dan antarwilayah, dan mencerminkan keharmonisan antara manusia dan lingkungan. RPJMN 2015-2019 merupakan visi, misi, dan agenda (Nawa Cita) Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dengan menggunakan Rancangan Teknokratik yang telah disusun Bappenas dan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 20052025. Visinya bertema “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Adapun sembilan agenda itu dengan sebutan Nawa Cita, adalah: 1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; 2) Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya: 3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daaerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; 4) Memperkuat kehadiran negara lemah dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya; 5) Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia; 6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; 7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektorsektor strategis ekonomi domestik; 8) Melakukan revolusi karakter bangsa; 9) Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. RPJMN berfungsi untuk menjadi pedoman Kementerian/Lembaga dalam menyusun rencana strategis, bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah, menjadi pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional. Menurut Perpres tersebut, RPJMN juga dapat menjadi acuan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Terkait erat dengan tugas dan fungsi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkenaan dengan pelestarian sumber daya alam dan pemberantasan tindak pidana pertambangan, mencakup 2 (dua) arah kebijakan pembangunan nasional tahun 2015-2019 (agenda sembilan Nawa Cita), yaitu pertama, tercantum dalam agenda pembangunan nasional ke empat: memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kedua, tercantum 1
dalam agenda pembangunan nasional ke tujuh : mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Dari dua hal tersebut menjadi pedoman arah kebijakan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan selama lima tahun kedepan, yang akan termuat dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019, yang saat ini masih dalam penyusunannya. Pembangunan kehutanan Indonesia diselenggarakan berlandaskan pada mandat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 yaitu pengurusan sumberdaya alam hutan sebagai satu kesatuan ekosistem. Dimensi yang menjadi mandat penyelenggaraan pengurusan sumberdaya hutan di atas diimplementasikan dalam empat upaya pokok, yaitu : (1) perencanaan hutan; (2) pengelolaan hutan; (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta penyuluhan; dan (4) pengawasan dan pengendalian. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 sektor lingkungan hidup dan kehutanan dituntut untuk memiliki peran, baik dalam pembangunan ekonomi maupun pembangunan lingkungan. Pada konteks sisi pembangunan lingkungan ini, peran kehutanan sangat nyata dalam lingkup regional/ lokal, nasional dan global terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Guna menjawab permasalahan, tantangan dan isu-isu strategis dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan restrukturisasi organisasi, program dan kegiatan, memperjelas ukuran-ukuran kinerja yang ingin dicapai pada periode lima tahun kedepan, serta mempertajam prioritas-prioritas sasaran sesuai dengan embanan tugas dan fungsi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Timbulnya politik ekonomi sumber daya alam dimulai sejak dikeluarkannya UndangUndang Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada tahun 1968. Undang-undang tersebut memang dirancang sedemikian rupa sehingga prosesnya sangat soft landing dan tidak terasa oleh semua pihak bahwa kelak hari menjadi pintu masuk kapitalisme di Indonesia secara legal, sistematik dan terstruktur. UU PMA inilah yang menjadi titik tolak masuknya modal asing dalam pengusahaan sumber daya alam hutan tropis di Indonesia.1
San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat, cetakan kedua, Yogyakarta : CCSS bekerjasama dengan Kreasi Warna, 2007, Hal.5.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan... 61
Sumber Daya Alam Hutan (SDAH) menjadi oleh pemerintah yang berkuasa dengan masyarakat, terutama rakyat yang terpinggirkan oleh proses kapitalisme. Kapitalisme atas sumber daya alam seperti tambang dan hutan di Indonesia yang telah berlangsung lama sejak jaman kolonial Belanda.2 Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam saat ini adalah cara pandang terhadap sumber daya alam yang terkotakkotak dan tidak integratif sehingga melahirkan kebijakan yang sangat sektoral, ini merupakan ancaman yang serius bagi berlangsung ekosistem dan masyarakat sekitar. Misalnya kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seharusnya saling bersinergi, keduanya seharusnya mempunyai visi dan misi yang holistik, tidak mengedepankan kepentingan sektoral. Di lain pihak penerimaan negara untuk menunjang APBN terhadap hasil dari sumber daya alam khususnya dari sektor Energi dan Sumber 3
Dalam isu pengelolaan sumber daya alam, terdapat beberapa kebijakan pemerintah antara lain menetapkan kawasan-kawasan tertentu yang dapat dijadikan sebagai kawasan yang dapat di eksploitasi dan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Kawasan-kawasan tertentu yang dapat di eksploitasi bukan berarti dilakukan secara semena-mena serta melupakan aspek daya dukung lingkungan, fungsi hutan maupun terhadap upaya-upaya rehabilitasi kerusakannya. Fakta ini dapat dilihat dari berbagai kenyataan, bahwa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun teapi malah semakin meningkat. Kawasan-kawasan eksploitasi tersebut
2 3 4 5 6
7
semakin terancam habis sementara suksesi sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang telah dieksploitasi, membutuhkan waktu lama untuk dapat diperbarui kembali. Penurunan luas kawasan hutan tidak saja disebabkan oleh sektor kehutanan tetapi juga sektor terkait diantaranya pertambangan. Menurut data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terdapat 8 ribu unit perusahaan tambang berskala kecil dan besar. Sebanyak 3 ribu unit yang memiliki izin dan 5 ribu yang tidak berizin.4 UU No. 41/1999 adalah titik kompromi dan sekaligus menunjukan mengenai usaha pertambangan. Penjelasan pasal 38 ayat (1) menyebutkan, ketika berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan pembangunan di luar kehutanan, sebagai kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan di mana termasuk di dalamnya kegiatan pertambangan.5 Setelah lahirnya UU 41/1999 ini, kegiatan pertambangan diperluas tidak lagi hanya di hutan produksi, tetapi bisa juga dilakukan di hutan lindung. Hanya saja pertambangan di hutan lindung tidak diperbolehkan dilakukan dengan pola terbuka. Membuka kemungkinan, secara tersirat, diadakannya pertambangan di hutan lindung asalkan dengan pola tertutup.6 Ketentuan tentang pertambangan di hutan lindung makin menguat dengan dilahirkannya Perpu No 1 Tahun 2004 (telah diundangkan dengan UU No 19 Tahun 2004) yang menambahkan ketentuan baru pada UU 41/1999 pada masalah pertambangan di kawasan hutan lindung. Perpu ini lahir dengan alasan adanya kekosongan hukum bagi usaha-usaha pertambangan dengan pola terbuka yang ijinnya telah keluar sebelum UU No 41 Tahun 1999 disahkan. Perpu tersebut membolehkan 13 perusahan pertambangan untuk tetap melanjutkan usahanya sampai habis masa ijinnya. 7
Ibid. Hal.4 Budi Riyanto Cs., Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kegiatan Penambangan Di Kawasan Hutan Lindung (UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum NasionalKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2011. Hal.1 Suhardi Alius, Masa Depan Hutan Indonesia : Rumusan Komprehensif terhadap pengelolaan kawasan Hutan, Jakarta: Pensil, 2011, Hal. 19-21. Mumu Muhajir, Hutan Lindung dan Pertambangan di Indonesia: Pertentangan dan Pertautannya, 05 Maret 2008, http:// kataloghukum.blogspot.com/2008/03/hutan-lindung-dan-pertambangan-di.html, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 13.30 WIB. Pola pertambangan yang dikenal ada dua: terbuka dan tertutup. Pola pertambangan terbuka dilakukan dengan cara membuka permukaan tanah untuk mengambil bahan galian yang ada di dalam tanah. Pola pertambangan terbuka mau tidak mau akan merubah lanskap alam dan menghilangkan lapisan subur pada tanah. Berbeda dengan pola pertambangan tertutup yang dilakukan dengan membuat terowongan ke dalam bumi untuk mengeduk bahan galian yang ada atau dengan tidak merusak bentang alam permukaan tanahnya. I Mumu Muhajir, loc..cit.
62 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan...
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dalam artikel ini hendak dikaji bagaimana proses konfigurasi politik yang mempengaruhi karakter produk hukum perundangundangan kehutanan dalam pemberian perizinan kegiatan pertambangan di kawasan hutan.
Guna membahas perumusan masalah tersebut, pisau analisis penulis mendasarkan Hukum menurut Mahfud MD adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara. Mahfud mengatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Cakupan studi politik hukum mencakup sekurang-kurangnya tiga hal : pertama, kebijakan Negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan Negara; kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atas lahirnya produk hukum; ketiga, penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan.8 Pandangan Mahfud MD, dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga studi ini meletakan politik sebagai variable bebas dan hukum sebagai variable terpengaruh. Dengan demikian secara konstelasi kekuatan/sistem politik) suatu Negara akan melahirkan karakter produk hukum tertentu di politiknya demokratis maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistik sedangkan di Negara yang konfigurasi politiknya otoriter maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/ konservatif/elitis.9
Keberadaan pertambangan di dalam kawasan hutan dapat dilihat dari beberapa aturan tentang hutan dan pertambangan di dalam kawasan hutan pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 tahun1967 (UU No.5/1967) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan merupakan peraturan yang memposisikan kuatnya sektor kehutanan sebagai satu pola baru pemanfaatan sumberdaya alam di masa awal pemerintahan Orde Baru. UU No. 5/1967 yang kemudian diikuti dengan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan menjadi instrumen hukum ekonomisasi sumberdaya hutan dan tambang untuk menopang ambisi “pembangunanisme” Orde Baru. Sebelumnya sudah diikuti dengan UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan kemudian UU No. 6/1986 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri adalah paket peraturan pereduksi UUPA yang memiliki semangat sosialisme emansipatoris dan nasionalisme.10 UU No. 5/1967 tidak menyebutkan larangan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, termasuk di dalam kawasan hutan lindung. Langkah pemerintah pada tahun 1967 memberikan izin kepada PT Freeport Indonesia Comp dengan Nomor 82/EK/KEP/4/1967. Persetujuan tersebut kemudian diikuti oleh berbagai izin lainnya bagi kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung itu dilakukan dengan alasan hak “pinjam pakai” kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan. membawa banyak perubahan di berbagai sektor. Salah satunya adalah perubahan UU No. 5/1967 menjadi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU No. 41/1999 berupaya melakukan perubahanperubahan. Undang-Undang Kehutanan baru ini sekaligus menandai babak baru reformasi kehutanan. Proses perubahan payung hukum pengelolaan hutan secara kronologis singkat dari UU No.5 Tahun 1967 tentang undang-undang pokok kehutanan ke UU No.5 Tahun 1999 tentang undang-undang kehutanan, sebagai berikut :11
8 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia 9 Ibid, Hal.22. 10 Yance Arizona, Menyoal (kembali) Pertambangan di dalam Kawasan Hutan Lindung, Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan ekologis (HuMa), Jakarta, tanggal 2-3 Maret 2008, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014, pukul 15.25 WIB, Hal.2. 11 Dodik Ridho Nurrochmat, Strategi Pengelolaan Hutan : Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa, Cetakan kedua, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, Hal. 14-15.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan...
63
Tabel: Kronologis Perubahan Undang-Undang Pokok Kehutanan Tahun 1967
Capain/Proses Ditetapkan undang-undang pokok kehutanan No.5 Tahun 1967. 1990 Berbagai pihak menimbang untuk perlu revisi terhadap undang-undang pokok kehutanan dengan menggelar berbagai diskusi, s em inar dan lokakarya. 1993 Menteri Kehutanan menyerahkan na s k a h a k ad em ik R a nca ng an Undang-Undang Kehutanan yang baru menggantikan undang-undang pokok kehutanan no.5 tahun 1967. 1993 Usulan diterima oleh Presiden. 1993-1998 Penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang Kehutanan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai kelompok Masyarakat. Selama kurun waktu lima tahun (19931998) dihasilkan tidak kurang dari 11 konsep RUU kehutanan. 1998-1999 Rapat antar Departemen untuk menyem purnakan konsep RUU Kehutanan. April 1999 RUU Kehutanan diterima Presiden dan disampaikan kepada DPR April-Sep- Proses Pembahasan di DPR tember 1999 30 SepLahirnya dan disahkan Undangtember Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 1999
Larangan pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung yang diamanatkan oleh UU No. 41/1999 menjadi masalah karena secara faktual sudah ada banyak sekali perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung dengan pola pertambangan terbuka atau eksploitasi. Aturan peralihan UU No. 41/1999 tidak mengatur bagaimana aturan transisi perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Sehingga tidak ada kepastian status kegiatan pertambangan yang sedang mengeksploitasi sumberdaya hutan Indonesia. ketika perusahaan pertambangan besar di dalam kawasan hutan mengancam akan membawa perkara larangan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 (Perpu No. 1/2004) yang menambahkan aturan peralihan dari UU No. 41/1999. Isi dari Perpu itu adalah menambahkan
Pasal 83 A untuk memberikan jaminan kepastian hukum pada perusahaan pertambangan yang sedang mengeksploitasi hutan Indonesia. Pasal 83 A tersebut berbunyi: “Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.” Perpu tersebut kemudian ditetapkan oleh DPR menjadi UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang. Dilanjutkan oleh Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 (Keppres No. 41/2004) tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan (IPPKH). Pada intinya Keppres No. 41/2004 memberikan penetapan kepada 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU No.41/1999. Kemudian kebijakan pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah sebagai bagian dari tindaklanjut UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang, untuk memperkuat tentang kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan yaitu PP No. 2/2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Saat ini pengaturan IPPKH diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai pengganti Permenhut No.P.43/Menhut-II/2008. Permenhut No. 18 Tahun 2011 menetapkan bahwa penambangan dengan pola pertambangan terbuka hanya dapat dilakukan di kawasan hutan produksi, sedangkan untuk kawasan hutan lindung, kegiatan penambangan yang dapat diijinkan adalah penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah, asalkan tidak melanggar ketentuan dan pembatasan yang ditentukan. IPPKH untuk tujuan komersial dapat dilakukan dengan menimbulkan kewajiban bagi penerima izin untuk menyediakan kompensasi lahan atau membayar PNBP dan/atau melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah
64 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan...
aliran sungai yang besarannya akan disesuaikan dengan posisi lahan yang dipinjampakaikan.12 Melihat Ketentuan UU No. 41/1999 jo UU No. 19/2004 tentang Kehutanan terdapat beberapa ketentuan yang mengatur keberadaan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, diantarnya: 13 1. Pasal 38 ayat (3): Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan; 2. Pasal 38 ayat (4): Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan; 3. Pasal 45 (2): Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan; 4. Pasal 50 ayat (3): huruf g melakukan kegiatanpenyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; 5. Pasal 83A: Semua perizinan atau perjanjian dibidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud”; 6. Penjelasan Pasal 38 ayat (1): Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan- kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringanlistrik, telepon,dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan; 7. Penjelasan Pasal 38 ayat (3): Pada prinsipnya di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif; 12 13 14 15
8.
Penjelasan Pasal 50 huruf g: (a) Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atauuntuk menetapkan tanda- tanda adanya bahan galian; (b) Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letakannya; (c) Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
Pola pertambangan, baik terbuka atau tertutup tidak dimasukkan dalam kategori syarat yang harus dipenuhi dalam pemberian ijin untuk menambang. Sehingga perusahaan hanya mendapatkan ijin/ kontrak untuk melakukan kegiatan pertambangan di suatu wilayah yang ditunjuk oleh pemerintah. Dalam metode pertambangannya, pemerintah hanya menentukan bahwa kegiatan pertambangan itu harus memperhatikan aspek lingkungan hidup. Dengan demikian, kebijakan perusahaan sendirilah yang menentukan pola mana yang akan dipakainya tergantung kemampuan teknologi dan 14
Aturan tentang kriteria penambangan terbuka dan tertutup belum diatur di Indonesia. Nampaklah kemudian bahwa kehadiran Perpu No 1 Tahun 2004 yang hanya mengijinkan 13 perusahaan melakukan pertambangan di hutan lindung secara terbuka sebenarnya keliru, diskriminatif, tidak konsekuen dan mengandung aroma politis. 15 Kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini, Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla untuk mengatasi atau menekan permasalahan pertambangan dalam kawasan hutan agar seiring sejalan dengan pembangunan nasional dan adanya keseimbangan ekosistem serta lingkungan antara manusia dan alam, tertuang dalam nawa cita-nya dan arah kebijakan nasional teha-dap pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan dalam RPJM 2015-2019, yaitu sasaran yang hendak dicapai dalam rangka mengurangi penambangan liar adalah: 1) meningkatnya pelaksanaan pertambangan berkelanjutan dalam pengusahaan pertambangan; 2) berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) yang tidak bertanggungjawab. Dengan
Ibid. Yance Arizona, op.cit., Hal.14. Ibid. Ibid.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan... 65
arah kebijakannya yaitu : 1) Penyederhanaan proses perijinan, pengawasan, dan penertiban kegiatan pertambangan secara transparan; 2) Penegakan hukum pada pelanggran kegiatan pertambangan secara tegas, konsekuen dan adil; 3) Penerapan kegiatan penambangan yang berkelanjutan dan menjaga kualitas lingkungan; 4) pengembangan masyarakat dan peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitar pertambangan.16 Dengan demikian, terhadap fakta historis kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, menimbulkan friksi-friksi perselisihan/ pertentangan) terjadinya pergulatan kepentingan antara pemerintah sebagai penguasa dengan masyarakat, kepentingan antara menggenjot ekonomi dengan memelihara kelest arian hutan, sehingga kepentingan-kepentingan yang kontradiktif tersebut dapat dipandang bersifat relative karena seharusnya ada kontrol dan keseimbangan (check and Balance) dari kepentingan-kepentingan tersebut, yang pada tujuan akhirnya mengklaim untuk menyelamatkan bangsa dan Negara dengan mewujudkan kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam tujuan Negara pada pembukaan UUD 1945. Dari uraian tersebut diatas, maka kebijakankebijakan hukum negara dalam kaitannya pemberian izin pertambangan di dalam kawasan kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu terhadap produk hukum. susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang 17
C. Karakter Produk Hukum Ijin Pertambangan Apabila dilihat dari isinya Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 ini memiliki muatan yang responsive walaupun ada pasal-pasal tertentu bersifat pasal karet, karena terjadi pada masa reformasi yang demokratis. Namun bila di lihat pada Undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang, dan peraturan pelaksana dibawahnya, yang terjadi
Negara berperan aktif serta mengambil inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara, dengan alasan memacu perekonomian Negara sehingga kepentingan masyarakat terutama masyarakat adat dan kelestarian hutan serta lingkungan politik otoriter ditandai adanya dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menetukan kebijaksanaan Negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal serta dibalik itu semua ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. Produk hukum yang berkarakter responsive proses pembuatannya bersifat partisipatif karena mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok social dan individu di dalam masyarakat, hal ini adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Sedangkan proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih dominasi oleh lembaga Negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintah), dalam hal iniUndang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang, dan peraturan pelaksana dibawahnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan, Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 (Keppres No. 41/2004) tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan (IPPKH), dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.P.18/MenhutII/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai pengganti Permenhut No.P.43/ Menhut-II/2008. Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsive bersifat aspiratif artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya (UU No.41 Tahun 1999) sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dan kehendak masyarakat. Sedangkan hukum yang berkarkater ortodoks bersifat
16 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, tercantum dalam lampiran Perpres, Hlm. 6-59/6-60. 17 Mahfud MD, Op.Cit., Hal.30-31.
66 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan...
positivis-instrumentalis artinya memuat materi pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah (UU No.19 Tahun 2004 beserta peraturan turunannya yang terkait pertambangan dalam kawasan hutan). Jika dilihat dari segi penafsiran, maka produk hukum yang berkarakter responsive/ populistik biasanya memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang bersifat teknis (UU No.41 Tahun 1999). Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interprestasi dengan berbagai peraturan lanjutannya yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis (UU No.19 Tahun 2004 beserta peraturan turunannya yang terkait pertambangan dalam kawasan hutan). D. Penutup karakter produk hukum perundang-undangan kehutanan dalam pemberian perizinan kegiatan pertambangan di kawasan hutan, sebagai berikut : Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini memiliki muatan yang responsive walaupun ada pasalpasal tertentu bersifat pasal karet. Sehingga kepentingan rakyat tidak sepenuhnya terwakili, namun partisipasi rakyat secara penuh ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum, maka dapat dikatakan terlahir karena bekerjanya tiga pilar demokrasi yaitu peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers dan peranan eksekutif yang seimbang. Sedangkan UndangUndang N0.19 Tahun 2004 dan peraturan pelaksana dibawahnya, yang terjadi adalah berperan aktif serta mengambil inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara, dengan alasan memacu perekonomian Negara sehingga kepentingan masyarakat terutama masyarakat adat dan kelestarian hutan serta lingkungan agak terabaikan. ditandai adanya dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menentukan kebijaksanaan Negara dan Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal serta dibalik itu semua ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. konfigurasi politik berkenaan kebijakan hukum pemberian izin pertambangan dalam kawasan hutan, indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum, sebagai berikut : a. Produ k h ukum yang b erkarakt er responsive proses pembuatannya bersifat partisipatif karena mengundang se b an ya k- ba n ya kn ya pa rt is ip a si masyarakat melalui kelompok-kelompok social dan individu di dalam masyarakat, hal ini adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Sedangkan proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih dominasi oleh lembaga Negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintah), dalam hal ini Undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan P e me r i n t a h P e n g g a n t i Un d a n g undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang, dan peraturan pelaksana dibawahnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan, Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 (Keppres No. 41/2004) tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan (IPPKH), dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai pengganti Permenhut No.P.43/Menhut-II/2008. b. Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsive bersifat aspiratif artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya (UU No.41 Tahun 1999) sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dan
Politik Hukum Perundang-undangan... 67
kehendak masyarakat. Sedangkan hukum yang berkarkater ortodoks bersifat positivis-instrumentalis artinya memuat
c.
dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah (UU No.19 Tahun 2004 beserta peraturan turunannya yang terkait pertambangan dalam kawasan hutan). Jika dilihat dari segi penafsiran, maka pr odu k h ukum yan g b erka rakt e r resp on sive/p opulistik bia san ya memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang bersifat teknis (UU No.41 Tahun 1999). Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interprestasi dengan berbagai peraturan lanjutannya yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis (UU No.19 Tahun 2004 beserta peraturan turunannya yang terkait pertambangan dalam kawasan hutan).
Si n e rg i t a s k eg i a t an k e hu t a n an d a n pertambangan dikawasan hutan sangat diperlukan dan tujuan untuk menghindari tumpang tindih kegiatan yang menyebabkan terhentinya iklim investasi di dua sektor tersebut, agar supaya
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan terwujud. Tumpang tindih pemegang izin pemanfaatan hutan dan pengelolaan hutan dengan kegiatan pertambangan dilakukan dengan pendekatan musyawarah dan membangun kesepahaman. Apabila musyawarah tidak tercapai maka penyelesaian secara hukum sebagai upaya penyelesaian akhir (ultimum remidium). Hendaknya adanya harmonisasi hukum yang mengatur sumberdaya alam agar panggilan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dapat terwujud, maka peraturan perundangundangan dari tingkat Undang-undang sampai pada tingkat dibawahnya haruslah bersinergi tidak adanya pertentangan dan multi tafsir dalam implementasi kebijakan hukum terutama dalam perizinan pertambangan dalam kawasan hutan. Peran Pemerintah Daerah dalam menetapkan kebijakan hendaknya juga memperhatikan pada kebutuhan riil di masyarakat, sehingga kegiatan pertambangan hendaknya harus selalu berupaya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan agar kegiatannyadapat dukungan masyarakat dan memperkecil kegiatan masyarakatuntuk merambah hutan. Dengan demikian, seharusnya ada kontrol dan keseimbangan ( check and Balance ) dari kepentingan-kepentingan tersebut baik pemerintah, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, masyarakat, dan pers, yang pada tujuan akhirnya guna menyelamatkan bangsa dan Negara dengan mewujudkan kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam tujuan Negara pada pembukaan UUD 1945.
68 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan...
Daftar Pustaka Budi Riyanto Cs. 2011. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kegiatan Penambangan Di Kawasan Hutan Lindung (UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,. Dodik Ridho Nurrochmat. 2010. Strategi Pengelolaan Hutan : Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa, Cetakan kedua, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mumu Muhajir.2008. Hutan Lindung dan Pertambangan di Indonesia: Pertentangan dan Pertautannya, 05 Maret 2008, http://kataloghukum.blogspot.com/2008/03/hutan-lindung-dan-pertambangan-di. html, diakses pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 13.30 WIB. Mahfud MD. 2012. Politik Hukum di Indonesia San Afri Awang. 2007. Politik Kehutanan Masyarakat, cetakan kedua, Yogyakarta : CCSS bekerjasama dengan Kreasi Warna, Suhardi Alius. 2011. Masa Depan Hutan Indonesia : Rumusan Komprehensif terhadap pengelolaan kawasan Hutan, Jakarta : Pensil Yance Arizona.2008. Menyoal (kembali) Pertambangan di dalam Kawasan Hutan Lindung, Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan ekologis (HuMa), Jakarta, tanggal 2-3 Maret 2008, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014, pukul 15.25 WIB. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 (Keppres No. 41/2004) tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan (IPPKH). Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Politik Hukum Perundang-undangan... 69