perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Perkara No. Pol. Yan. 2.5 / 156 / VII / 2012 / SPK)
SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
AKBAR KURNIAWAN E.1104006
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2013
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
iv
PERNYATAAN Nama : AKBAR KURNIAWAN NIM
: E.1104006
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Perkara No. Pol. Yan. 2.5 / 156 / VII / 2012 / SPK)
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Januari 2013
yang membuat pernyataan
Akbar Kurniawan NIM E.1104006
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
v
MOTTO
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat . ( Qs. AL Mujadalah : 11)
setiap orang diberi kesempatan untuk menuntut ilmu
(Kahlil Gibran)
v
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
vi PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk: 1. I bu Dra. Siti Suwarsih dan Bapak Sutarno, Bsc. tercinta yang selalu memberikan kasih sayang
yang tulus dan
ikhlas tanpa
mengharapkan apapun dan selalu membimbing menjadi anak-anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta berbakti pada orang tua. 2. Adik Arif Aryadi yang tersayang yang selalu memberikan keceriaan dan semangat di setiap hari-harikua, yang takkan pernah aku lupakan. 3. Sahabat dan temanku yang aku sayangi, terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan. Persahabatan untuk selamanya dan takkan pernah berakhir. vito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
vii ABSTRAK AKBAR KURNIAWAN. E. 1104006. 2011. PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Perkara No. Pol. Yan. 2.5 / 156 / VII / 2012 / SPK). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pokok masalah penelitian ini adalah apa saja jenis-jenis visum et repertum yang dapat dijadikan sebagai bukti oleh penyidik dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga? Dan Bagaimanakah peranan visum et repertum dalam penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kepolisian Resort Karanganyar ?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis VeR dan peranannya dalam dalam penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kepolisian Resort Karanganyar. Visum et repertum selaku keterangan dalam bentuk formal menyangkut hal-hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya adalah pengganti barang bukti, bahwa pada keharusannya dalam hal pembuktian mestinya orang yang menjadi korban KDRT sepatutnya diajukan menjadi barang bukti. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Data yang dibutuhkan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Dalam menganalisis data, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif bersifat deduksi silogisme. Berdasarkan penelitian dan analisis yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa Jenis-jenis visum et repertum yang dapat dijadikan sebagai bukti oleh penyidik yaitu jenis VeR perlukaan (termasuk keracunan), VeR kejahatan susila, VeR jenazah, dan VeR psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah VeR mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Adapun dalam kasus yang diangkat dapat penelitian ini termasu VeR perlukaan. Di dalam pemberitaan disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Peranan VeR dalam penyidikan perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Polres Karanganyar adalah untuk mengetahui keterlibatan tersangka dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, untuk memberikan keterangan (gambaran) tentang penemuan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban, dan untuk menerangkan keadaan korban yang timbul akibat kekerasan benda tumpul. VeR juga dapat berperan memberikan petunjuk dalam hal alat-alat atau benda-benda yang digunakan untuk melukai korban serta dalam hal membenarkan atau tidak keterangan terdakwa dan saksi yang diberikan dihadapan penyidik. Kata kunci : Visum et Repertum, Pembuktian, KDRT.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
viii ABSTRACT
AKBAR KURNIAWAN. E. 1104006. 2011. ROLE VISUM ET REPERTUM EVIDENCE IN CRIMINAL DOMESTIC VIOLENCE (Case Study. No. Pol. Yan. 2.5 / 156 / VII / 2012 / SPK). Faculty of Law, University Eleven March Surakarta. Subject of this study is what types visum et repertum that can be used as evidence by investigators in criminal domestic violence? And How visum et repertum role in the investigation of criminal domestic violence in police Resort Karanganyar?. The purpose of this study was to determine the types of VER and its role in the investigation of criminal offenses of domestic violence in police Resort Karanganyar. Visum et repertum as in the form of a formal statement concerning things seen and discovered by doctors at the objects examined is substitute real evidence, that the necessity in terms of proof should be those who are victims of domestic violence should be introduced into evidence. This research is prescriptive normative legal research. Required fields are primary and secondary legal materials. In analyzing the data, the study authors used qualitative methods are deductive syllogism. Based on research and analysis conducted showed that Types visum et repertum that can be used as evidence by investigating the type VeR injury (including poisoning), VeR moral evil, VeR bodies, and psychiatric VeR. Three types of the first post mortem on the body is VeR / human body in this status as victims of crime, while the latter type is the soul / mental suspects or defendants or witnesses of a crime. As in the case of this study can be raised into VeR injury. In the news mentioned the general state of the victim when it comes, injuries or illnesses or injuries found on physical examination of the following description of the location, type and nature of the injury as well as its size, special inspection / investigation, medical measures taken, history of disease progression during treatment, and the final state when treatment is completed. VeR the role of criminal investigation cases of domestic violence in police Karanganyar is to know the suspect's involvement in criminal domestic violence that occurred, to provide information (a picture) about the discovery of the wounds found on the victim's body, and to explain victim of circumstances arising from blunt force. VeR can also play a role in terms of providing guidance tools or objects used to injure the victim, and in this case do not justify or defendant and witness testimony given before the investigators. Keywords: Visum et Repertum, Proof, domestic violence.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ix KATA PENGANTAR
panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas kehendak dan pertolongan-Nya penulis mampu menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi)
PERANAN VISUM ET REPERTUM
DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Perkara No. Pol. Yan. 2.5 / 156 / VII / 2012 / SPK) Penulisan hukum ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Juga menambah wawasan atau
pengetahuan setiap pembaca karya ilmiah ini. Penulis
menyadari
bahwa,
terselesainya penulisan hukum ini karena bantuan, bimbingan, petunjuk, dukungan moral dan spiritual dari berbagai pihak yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara dan selaku Pembimbing Penulisan Hukum yang telah memberikan dorongan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan hukum untuk mencapai kesempurnaan. 3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H. M.H. selaku selaku Pembimbing Penulisan Hukum kedua yang telah mengarahkan dan membimbing dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 5. Ibu Dra Siti Suwarsih dan Bapak Sutarno, Bsc. terima kasih atas kasih sayangnya yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan segenap cinta, kesabaran, dan pengorbanan yang tak akan pernah dapat tergantikan oleh apapun.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
x 6. Adikku yang ku sayangi Arif Aryadi, terima kasih atas keceriaan, semangat,
7. Keluarga besarku, terima kasih atas perhatian, nasehat, dukungan, doa, dan pengorbanannya selama ini. 8. Sahabat dan teman-temanku terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini, sehingga membantu terselesainya penulisan hukum ini. 9. Buat teman-temanku Fakultas Hukum UNS semuanya dan semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu penulis ucapkan terima kasih. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini belum sempurna, kritik dan saran membangun atas penulisan hukum ini senantiasa penulis harapkan demi perbaikan dan kemajuan penulis di masa datang. Penulis berharap penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya.
Surakarta,
Penulis
commit to user x
Januari 2013
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
xi
DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN PENYATAAN ............................................................................
iv
MOTTO ...........................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ............................................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
vii
ABSTRACT .....................................................................................................
viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
DAFTAR ISI....................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
5
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
6
E. Metode Penelitian.....................................................................
6
F.
9
Sistematika Penulisan Hukum ..................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karangka Teori .........................................................................
11
1. Tinjauan tentang Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian ....
11
2. Tinjauan tentang Visum et Repertum .................................
16
a. Pengertian Visum et Repertum .....................................
11
b. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli dalam bentuk laporan atau Visum et Repertum...................................
17
c. Isi Visum et Repertum ..................................................
18
d. Macam-macam Visum et Repertum .............................
19
e. Fungsi dan Peranan Visum et Repertum.......................
21
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana .........................................
22
a. Istilah Tindak Pidana ...................................................
22
b. Pengertian Tindak Pidana ............................................
22
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
xii c. Unsur-unsur Tindak Pidana .........................................
23
d. Cara Merumuskan Tindak Pidana ................................
26
e. Jenis-jenis Tindak Pidana.............................................
26
f. Alasan Penghapusan Pidana ........................................
28
4. Tinjauan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga..........
28
a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga .............
28
b. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga .......
40
5. Kerangka Pemikiran...........................................................
42
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ........................................................................
44
1. Identitas Tersangka ...........................................................
44
2. Kasus Posisi .......................................................................
44
3. Pelaksanaan Penyidikan .....................................................
45
Pembahasan ..............................................................................
51
B.
1. Analisis Jenis-jenis Visum et Repertum yang Dapat Dijadikan Sebagai Bukti Oleh Penyidik dalam Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga ..........................
51
2. Analisis Peranan VeR Dalam Penyidikan Perkara Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Polres Karanganyar .......................................................................
57
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ..................................................................................
66
B. Saran-saran ...............................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh buktibukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara, baik pada tahap pemeriksaan ditingkat penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan: karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, tela Dengan adanya ketentuan undang-undang di atas, maka dalam proses penyelesaian
perkara
pidana
penegak
hukum
wajib
mengusahakan
pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di atas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 184 ayat (1) dirumuskan alat bukti dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan di dalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1), sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat (1). Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP di atas, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : ang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan buktibukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya. Salah satu perkara yang memerkukan bantu tenaga ahli yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan adalah perempuan yang harus mendapatkan perlindungan negara dan masyarakat agar terhindar dari kekerasan atau perlakuan yang merendahkan derajat, martabat kemanusiaan. Berbagai macam peristiwa tindakan kekerasan yang dialami perempuan tidak timbul secara kebetulan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya kekerasan tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Kekerasan yang berbasis gender, pada dasarnya merupakan kekerasan dimana yang menjadi korbannya adalah perempuan, baik dilingkungan rumah tangga maupun di luar lingkungan rumah tangga. Dari berbagai jenis kekerasan yang berbasis gender, seperti perkosaan, pelacuran, pelecehan seksual dan banyak jenis lainnya, ternyata yang paling menonjol saat ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), yang dapat digolongkan kepada tindakan kejahatan. Seharusnya istri bersama suami duduk bersama dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, malah mendapat kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga dari suami. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dalam sebagian rumah tangga di dunia, termasuk Indonesia. Jika selama ini kejadian tersebut nyaris tidak didengar, hal ini lebih disebabkan adanya anggapan didalam masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan peristiwa yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian untuk melihat gambaran visum et repertum kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Keterangan berupa surat visum et repertum yang diterbitkan oleh pejabat yang secara hukum memiliki kewenangan membuat atau menerbitkan surat visum et repertum tersebut. Sehingga aparat penyidik Polri dalam tugasnya selaku penyidik mengandalkan tugas-tugasnya berdasar atas visum et repertum tadi untuk meyakinkan bahwa korban benar-benar telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Keterangan ini menjadi alat bukti yang sah untuk menyatakan kebenaran bahwa pelaku benar-benar secara sah menurut hukum telah melakukan kekerasan dengan akibat korban mengalami luka-luka atau bahkan meninggal atau keadaan sebagaimana dinyatakan dalam surat visum et repertum. Meskipun demikian dalam praktek penyidikan, penyidik tetap berdasarkan pada asas praduga tak bersalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 106 KUHAP. Penyidikan erat hubungannya dengan kewenangan penyidik sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan yang merupakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
rangkaian tindakan dari penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk memperjelas tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang tersangka, terutama bila ada dugaan telah terjadi suatu perbuatan pidana. Penyidikan dimulai
setelah
penyidik menggunakan
wewenang
penyidikan seperti yang tercermin dalam Pasal 7 KUHAP dan dalam tindakan penyidikan itu secara langsung telah melibatkan hak-hak orang yang disangka melakukan tindak pidana, baik mengenai kebebasannya, nama baiknya maupun mengenai harta kekayaannya. Oleh karena itu, di satu sisi tersangka berhak memperoleh hak-haknya selama penyidikan dan penyidik dapat melakukan tugasnya dengan mempertimbangkan hak-hak tersangka. Hal ini diperhatikan dalam hubungannya dengan titik pangkal/fokus pemeriksaan yakni tersangka, dan dari tersangkalah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, namun terhadapnya harus diperlakukan berdasar asas akusatur. Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berbagai hal mengenai pelaksanaan Hukum Pidana Materiil. Salah satunya adalah mengenai alat bukti dan pembuktian. Alat bukti dan pembuktian tersebut sangat penting karena berguna untuk mencegah penjatuhan hukuman yang salah kepada seseorang yang benarbenar tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan juga demi kepastian hukum. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, dapat dikatakan bahwa dalam sistem pembuktian negatif yaitu adanya bukti minimal pada tingkat penyidikan dan adanya keyakinan hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan. Bukti minimal tersebut sebagaimana dikemukakan di atas adalah sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, yang terdiri dari dua orang saksi atau satu orang saksi dan satu surat, atau satu orang saksi dan keterangan ahli dan lain sebagainya. Peranan visum et repertum dalam penyidikan sangat diperlukan guna membantu mengungkapkan, menjelaskan ataupun menjernihkan (membuat terang) suatu perkara pidana. Peranan visum et repertum sangat terlihat manfaatnya karena tidak semua perkara pidana semata-mata tergantung pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
saksi hidup (saksi mata), akan tetapi juga bukti-bukti fisik yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang bersangkutan, yang ditinggalkan oleh pelaku. Begitu besarnya peranan visum et repertum tersebut maka keterangan ahli yang dinyatakan dalam bentuk surat visum et repertum dipandang sebagai koming van hets bewijs (rajanya pembuktian) dan mempunyai posisi dan akibat hukum yang kuat (Njowito Hamdani, 1992:24). Berdasarkan permasalahan ini, penulis ingin melakukan penelitian guna menyusun skripsi yang dapat mengetahui mengenai peranan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kepolisian Resort Karanganyar.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa saja jenis-jenis visum et repertum yang dapat dijadikan sebagai bukti oleh penyidik dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga? 2. Bagaimanakah peranan visum et repertum dalam penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kepolisian Resort Karanganyar ?.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui jenis-jenis visum et repertum yang dapat dijadikan sebagai bukti oleh penyidik dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. b. Mengetahui peranan visum et repertum dalam penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kepolisian Resort Karanganyar. 2. Tujuan Subyektif Untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan bagi penyusunan skripsi sebagai syarat mencapai gelar sarjana dibidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan gambaran lengkap mengenai jenis-jenis visum et repertum yang dapat dijadikan alat pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. b. Memberikan suatu sumbangan pemikiran di bidang hukum khususnya dalam bidang hukum acara pidana, yaitu tentang peranan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh Satuan Reskrim Kepolisian Resort Karanganyar. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada aparat kepolisian dalam melaksanakan tugasnya menegakkan hukum bagi masyarakat. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian kasus yang sama atau hampir sama pada kesempatan yang akan datang. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35). Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Di dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006:28).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penulisan antara lain sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (librabry based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahanbahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim, 2006:44). 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif. Artinya sebagai ilmu yang besifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai pentingnya visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. 3. Pendekatan Penelitian Sehubungan dengan tipe penelitian
yang digunakan yaitu
penelitian normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian hukum antara lain pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif
(comparative
approach),
dan
pendekatan
konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Dari beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach). Di dalam pendekatan kasus, penulis perlu memahami alasan-alasan hukum yang menjadi pertimbangan anggota penyidik dalam mengungkap perkara kekerasan dalam rumah tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum. Dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Resume Berkas Acara Pemeriksaan dan hasil Visum et Repertum. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
merupakan
dokumen-dokumen resmi (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan
membaca peraturan perundang-undangan,
dokumen-
dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder. Dari bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang di dalam penelitian ini. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan kongkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006:393). 6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan metode deduksi silogisme. Dalam hal ini analisis dilakukan dengan menyusun agumentasi-argumentasi berdasarkan pendekatan penelitian guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah ditentukan.
E. Sistematika Penulisan Hukum Untuk
menjabarkan
gambaran
secara
menyeluruh
mengenai
sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika ini terdiri dari 4 (empat) bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahakan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab dua penulis menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan kerangka teori dan kerangka pemikiran dari penelitian ini. Dalam kerangka teori, akan diuraikan mengenai tinjauan umum tentang pembuktian dan kekuatan pembuktian, yang meliputi macam-macam alat bukti beserta kekuatan pembuktiannya. Kemudian, diuraikan mengenai tinjauan umum tentang Visum et Repertum, yang meliputi pengertian Visum et Repertum, tata cara pemberian keterangan ahli dalam bentuk Visum et Repertum, isi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Visum et Repertum, macam-macam Visum et Repertum serta fungsi dan peranan Visum et Repertum. Serta diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan dalam rumah tangga. BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam
bab tiga penulis menyajikan hasil penelitian dan
pembahasan darihasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, yaitu mengenai jenis-jenis Visum et Repertum yang dapat dijadikan pembuktian perkara kekerasan dalam rumah tangga, serta perannya. BAB IV
PENUTUP Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut,
dapat
dipergunakan
sebagai
bahan
pembuktian
guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11). Beberapa ketentuan hukum acara pidana telah mengatur mengenai beberapa alat bukti yang sah seperti dalam Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa:
1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli 3) Surat 4) Petunjuk
Keterangan ahli merupakan hal yang baru dalam hukum acara pidana Indonesia. Hal ini merupakan pengakuan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi, seorang hakim tidak bisa mengetahui segala hal, untuk itu diperlukan bantuan seorang ahli (Hari Sasangka dan Lili Rosita, 2003:19). Selain daripada itu ada perubahan nama alat bukti yang dengan
-urutan penyebutan alat bukti dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam perkara pidana lebih dititikberatkan pada keterangan saksi. Alat-alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan berikut ini adalah uraian mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut KUHAP:
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
a. Keterangan saksi Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP yang menyatakan pengertian keterangan saksi y dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
Keterangan saksi (yang disumpah) sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, sehingga hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun dengan keterangan ahli atau alibi. Untuk keterangan saksi tanpa sumpah dapat digunakan sebagai petunjuk serta dapat menguatkan keyakinan bagi hakim. Sedangkan untuk keterangan saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah jika keterangan tersebut ada hubungan satu sama lain yang membenarkan suatu kejadian. b. Keterangan Ahli Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyatakan pengertian ke diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan secara tegas. Kadang-kadang seorang ahli merangkap sebagai seorang saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apa yang dialami oleh saksi itu sendiri. Sedangkan keterangan ahli
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal tersebut (Andi Hamzah, 2001:269). Dari keterangan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka lebih jelas lagi bahwa keterangan ahli dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus. KUHAP membedakan keterangan
186 KUHAP) dan keterangan ahli secara tertulis di luar sidang pengadi pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, maka keterangan ahli tersebut sebagai alat bukti surat. Misalnya mengenai penggunaan visum et repertum yang dibuat dokter. Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli: 1)
vrijbewijskracht). Di dalam dirinya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Akan tetapi, hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian harus benar-benar bertanggungjawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.
2) Keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu terdakwa yang lain tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
c. Surat Mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan sumpah, adalah : (1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri. (2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya. (3) Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya. (4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Alat bukti surat memiliki kekuatan pembuktian yang sangat penting dan mutlak. Tertera dalam Pasal 187 KUHAP huruf a, b,dan c adalah berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang. Surat juga bukan merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian mengikat. Visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti (tanpa meminta keterangan dokter pembuat visum et repertum di depan persidangan) dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, karena sesuai dengan kriteria alat bukti surat pada KUHAP Pasal 187 huruf pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
pembuat atau yang mengisi visum et repertum yang diminta untuk memberi keterangan di persidangan oleh hakim, berdasarkan Pasal 187 KUHAP dikategorikan sebagai alat bukti keterangan ahli. d. Petunjuk Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. Mengenai penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti. Kemudian persoalan diserahkan pada hakim maka, pengamatan hakim dapat dijadikan sebagai alat bukti. Nilai kekuatan pembuktian Petunjuk: (1) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. (2) Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat kepada prinsip minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya 1 (satu) alat bukti yang lain. e. Keterangan Terdakwa Berdasarkan Pasal 189 KUHAP yang menyatakan mengenai alat bukti keterangan terdakwa berbunyi : 1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang , asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undangundang tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut: (1) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. (2) Harus memenuhi batas minimum pembuktian Sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 189 ayat (4) yang membuktikan
bahwa
ia
bersalah
melakukan
perbuatan
yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti (3) Harus memenuhi asas keyakinan hakim Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP adalah Pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya, di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 2. Tinjauan tentang Visum Et Repertum a. Pengertian Visum et Repertum Pengertian Visum et Repertum menurut Subekti Tjitrosudibyo ialah suatu surat keterangan seorang dokter yang memuat kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seorang untuk menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan mana diperlukan oleh Hakim dalam suatu perkara. KUHAP Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak ditemukan Visum et Repertum, tetapi dalam Kamus Umum Bahasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Indonesia, Visum et Repertum berarti hasil pemeriksaan dokter (di bawah sumpah) tentang pemeriksaan medis seseorang yang masih hidup atau menjadi mayat untuk keperluan pemeriksaan pengadilan. Health Ministry Regulation No.749a/1989 describe, medical record was a document of patient identity, examination, treatment and other services to the patient in medical facilities. In a case of violations in which there is human victim that is not managed as an evidence, medical proofing for justice is arranged based on medical record. The medical recort from
patient called Surat keterangan medis. Doctor in his duty must do carefully, make good documentation, and report his medical finding medicobjectively, that can be checked scientifically. (Susi Hadidjah, Suhartini dan Beta Ahlam, 2004:29) Terjemahan oleh penulis: Peraturan Menteri Kesehatan No.749 a tahun 1989 menyatakan bahwa rekam medik adalah dokumen mengenai identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Pada kasus kejahatan yang korbannya tidak bisa dijadikan barang bukti, maka untuk pembuktiannya didasarkan pada data medis. Laporan medis dari pemeriksaan yang diminta oleh penyidik disebut Visum et Repertum. Laporan medis dari pemeriksaan yang diminta oleh pasien disebut surat keterangan medis. Dokter dalam tugasnya harus hati-hati membuat laporan dengan benar dan membuat laporan secara obyektif yang dapat diperiksa secara ilmiah. Menurut ahli dari luar negeri Fockman-Andrea dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek tahun 1977, Visum et Repertum ialah laporan dari ahli untuk pengadilan, khususnya dari pemeriksaan oleh dokter dan di dalam perkara pidana. b. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli dalam bentuk laporan atau Visum et Repertum ialah: 1) Permintaan diajukan secara tertulis (tidak boleh lisan) oleh Penyidik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
2) Permohonan Visum et Repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan korban, tersangka dan atau barang bukti kepada dokter ahli kedokteran. 3) Menyebutkan secara tegas untuk keperluan apa pemeriksaan dilakukan. 4) Ahli membuat laporan sesuai permintaan penyidik. 5) Laporan dikuatkan sumpah pada waktu ahli menerima jabatan. c. Isi Visum et Repertum Secara garis besar berdasarkan kebiasaan yang dilakukan oleh para dokter, keterangan tertulis yang terdapat pada Visum et Repertum terdiri dari: 1) Pendahuluan Pada Bagian ini berisi: a) identitas peminta b) identitas dokter yang melakukan pemeriksaan c) identitas objek yang diperiksa d) alasan dimintakannya keterangan dokter e) tempat pemeriksaan f) waktu dilakukannya pemeriksaan. 2) Pemberitaan atau Hasil pemeriksaan Hasil pemeriksaan berisi hal-hal yang objektif yang dilihat dan ditemukan pada objek yang diperiksa. Tidak semua hal-hal yang dilihat dan ditemukan dituangkan seluruhnya ke dalam bagian ini, akan tetapi terbatas pada hal-hal yang ada relevansinya dengan maksud
dimintakannya
keterangan
dokter
yang
perlu
dikemukakan. Meliputi: a) Hasil pemeriksaan luar termasuk identitas korban b) Hasil pemeriksaan dalam, membuka rongga, tengkorak, dada dan perut serta organ dalam, rongga mulut dan leher c) Pemeriksaan penunjang jika diperlukan seperti konsultasi dengan ahli lain: Pemeriksaan PA, toksikologi, balistik, serologi, imunologi, enzimatologis, trace evidence.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
3) Kesimpulan Bagian kesimpulan berisi hal-hal yang bersifat interpretatif tentang hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat. Meliputi: a) Identitas jenazah b) Kelainan yang terdapat pada tubuh korban, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam c) Hubungan kausalitas dan kelainan yang didapati pada pemeriksaan (penyebab luka, persentuhan dengan benda tajam) d) Sebab dan saat kematian/klasifikasi luka d. Macam-macam Visum et Repertum 1) Visum et Repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP) Adalah Visum et Repertum yang memberikan laporan mengenai: a) Hubungan sebab akibat luka yang ditemukan pada tubuh korban b) Jenis dan sebab kematian c) Saat kematian korban d) Barang bukti yang ditemukan e) Cara kematian korban, jika mungkin 2) Visum et Repertum Jenazah Adalah Visum et Repertum yang didapat dari hasil otopsi (bedah mayat) dalam menentukan sebab-sebab kematian, dimaksudkan apakah jenazah tersebut mati secara wajar atau sebaliknya. Visum et Repertum tersebut yang memberikan laporan mengenai: a) Saat kematian b) Penurunan suhu c) Lebam mayat d) Kaku mayat e) Perubahan post-mortal f) Jenis luka g) Jenis kekerasan h) Sebab kematian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
3) Visum et Repertum Korban Hidup Adalah Visum et Repertum yang : a) Dibuat setelah pemeriksaan selesai, korban tidak perlu dirawat lebih lanjut atau meninggal. b) Visum et Repertum sementara, dibuat setelah pemeriksaan selesai, korban masih perlu mendapat perawatan lebih lanjut. c) Visum et Repertum korban lanjutan, dibuat bila : (1) setelah selesai perawatan, korban sembuh. (2) setelah mendapat perawatan, korban meninggal. (3) perawatan belum selesai, korban pindah Rumah Sakit atau dokter lain (4) perawatan belum selesai, korban pulang paksa atau melarikan diri 4) Visum et Repertum Jenazah Penggalian: a) Visum
et
Repertum
yang
memberi
laporan
mengenai
pemeriksaan mayat di tempat penggalian b) Perlu dihadiri oleh dokter, penyidik, pemuka masyarakat, pihak keamanan, petugas pemakaman dan penggali kuburan c) Contoh tanah perlu diambil, yaitu berasal dari permukaan dan dari keempat sisi mayat dalam jarak sekitar 30cm dari tubuh mayat d) Sebelum diangkat, sebaiknya difoto, yaitu foto pada peti mayat dan foto mayat itu sendiri 5) Visum et Repertum barang bukti Adalah Visum et Repertum yang dijadikan dokumen tentang barang bukti yang apabila dilihat dengan mata telanjang sulit untuk membuktikan siapakah yang mempunyai barang-barang tersebut.
Seperti
misalnya
rambut,
sperma,
darah,
yang
kesemuanya merupakan barang bukti yang perlu diteliti untuk kepentingan pembuktian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
e. Fungsi dan Peranan Visum et Repertum Visum et Repertum mempunyai fungsi dan peranan dalam sistem peradilan di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari kedudukan ahli dalam peradilan pidana di Indonesia. Untuk mengetahui hal ini, harus dilihat dari ketentuan yang mengaturnya. Ketentuan yang menjadi dasar acuan ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 179, Pasal 180, Pasal 184 ayat (1) huruf b, Pasal 186, Pasal 187 huruf c dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. 1) diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
2) duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru 3) a) Keterangan saksi b) Keterangan ahli c) Surat d) Petunjuk e) Keterangan terdakwa
nyatakan di sidang penga 4) pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
Esensi dari semua ketentuan tersebut di atas sepanjang mengenai keterangan seorang ahli ialah Pertama, sekalipun kesaksian seorang ahli dilakukan di bawah sumpah (Pasal 179 ayat (2) KUHAP), keterangan seorang saksi ahli bukan merupakan bukti yang mengikat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Hakim di dalam menjatuhkan putusannya (Pasal 183 jo Pasal 186 dan Pasal 187 butir c KUHAP). Kedua, sebagai konsekuensi logis dari
Visum et Repertum di dalam sistem peradilan Indonesia hanya sebagai instrumen pelengkap di dalam mencari kebenaran materiil dari kasus tindak pidana. Unsur keyakinan Hakim-lah justru yang sangat menentukan kesalahan terdakwa, sekalipun disebutkan secara eksplisit di dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP dipersyaratkan minimal dua alat bukti untuk seorang hakim di dalam mengambil putusannya. Kedua esensi tersebut sesungguhnya bermuara pada teori hukum pembuktian yang dianut di dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu teori negatif. 3. Tinjauan tentang Tindak Pidana a. Istilah Tindak Pidana. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam strafbaar feit
straf
artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf diterjemahkan dengan istilah kata hukum, padahal lazimnya hukum diterjemahkan dari recht. Untuk kata baar ada dua istilah yakni boleh dan dapat. Sedangkan untuk feit ada empat istilah yaitu tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan (Adami Chazawi, 2002:69). b. Pengertian Tindak Pidana Para ahli hukum mempunyai pandangan sendiri dalam memberikan pengertian mengenai tindak pidana. Beberapa ahli hukum yang memberikan definisi diantaranya yaitu : 1) Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
2) Menurut Pompe strafbaar feit sebenarnya tidak lain dari suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 3) Vos memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. 4) R. Tresna memberi definisi peristiwa pidana sebagai sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan
undang-undang
atau
peraturan
perundang-undangan
lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002 : 72). lam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana Untuk menguraikan unsur-unsur tindak pidana terdapat dua sudut pandang, yaitu : 1) Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritisi. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah : a) perbuatan; b) yang dilarang (oleh aturan hukum); c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni : a) perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); b) yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c) diadakan tindakan penghukuman. Menurut batasan yang diberikan Vos, unsur tindak pidana yaitu : a) kelakuan manusia; b) diancam dengan pidana; c) dalam peraturan perundang-undangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
Dari batasan yang diberikan Jonkers, unsur-unsur tindak pidana antara lain yaitu : a) perbuatan (yang); b) melawan hukum (yang berhubungan dengan); c) kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d) dipertanggungjawabkan. Schravendijk memberikan batasan yang unsur-unsurnya sebagai berikut : a) kelakuan (orang yang); b) bertentangan dengan keinsyafan hukum; c) diancam dengan hukuman; d) dilakukan oleh orang (yang dapat); e) dipersalahkan/kesalahan. Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda namun hakekatnya ada persamaannya ialah: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengeni perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya (Adami Chazawi, 2002:81). 2) Dari
sudut
undang-undang
(kenyataan
tindak
pidana
itu
dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku). Dari rumusanrumusan tindak pidana tertentu yang terdapat dalam KUHP, maka unsur tindak pidana yaitu : a) Unsur tingkah laku (aktif dan pasif). b) Unsur sifat melawan hukum. c) Unsur kesalahan (schuld), terdiri dari kesengajaan, kelalaian atau culpa. d) Unsur akibat konstitutif. e) Unsur keadaan yang menyertai. f) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana. g) Syarat tambahan untuk memperberat pidana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
h) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana (Adami Chazawi, 2002:81-82). Unsur-unsur tindak pidana dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: (1) Bersifat Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau
yang berhubungan dengan
pelaku,
dan
termasuk
didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya, yaitu: a) kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b) maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c) macam-macan maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di
dalam
kejahatan-kejahatan
pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal340 KUHP; e) Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 380 KUHP. (2) Bersifat Objektif Unsur Objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yang di dalam keadaan mana perbuatan pelaku harus dilakukan, yaitu: (a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; (b)
dari suatu perseroan Pasal 389 KUHP;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
(c) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (PAF. Lamintang, 1996:193-194). d. Cara Merumuskan Tindak Pidana Dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP ada 3 (tiga) cara, yaitu : 1) Pertama akan dilihat dari sudut pencantuman unsur-unsur dan kualifikasi tindak pidana. 2) Kedua akan dilihat dari sudut titik beratnya larangan dalam tindak pidana. 3) Ketiga akan dilihat dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan (Adami Chazawi, 2002 : 112). Untuk perumusan norma dalam perturan pidana ada 3 cara yaitu: 1) Menguraikan
atau
menyebutkan
satu
persatu
unsur-unsur
perbuatan 2) Hanya disebut kwalifikasi dari delik, tanpa menguraikan unsurunsurnya. 3) Penggabungan cara ke1 dan ke2 yaitu disamping menyebutkan unsur-unsurnya, ialah menyebutkan perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan, juga dis (Sudarto, 1990:53). e. Jenis-jenis Tindak Pidana. Jenis tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu : 1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dalam buku III. 2) Menurut cara merumuskannya, ada tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, terdapat tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten). 4) Berdasar atas macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana aktif/ positif atau tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif atau tindak pidana omisi (delicta omissionis). 5) Berdasarkan jangka waktu terjadinya, dibedakan tindak pidana yang terjadi seketika dan tindak pidana yang terjadi dalam kurun waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. 6) Berdasarkan sumbernya dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan khusus. 7) Apabila dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan antara tindak pidana communia yang dilakukan oleh siapa saja dan tindak pidana propria yang dilakukan oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu. 8) Berdasar atas perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten). 9) Berdasarkan atas berat-ringannya pidana yang diancamkan, dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten), dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten). 10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya tergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya. 11) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
tindak pidana berangkai (semengestelde delicten) (Adami Chazawi, 2002 : 117-119). f. Alasan Penghapus Pidana. Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Titel ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini dibeda-bedakan menjadi: 1) Alasan pembenar. Yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. 2) Alasan pemaaf. Yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, karena tidak ada kesalahan. 3) Alasan penghapus penuntutan. Disini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan disini adalah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana (Moelyatno,1993:137). 4. Tinjauan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, mutlak memerlukan perlindungan hukum. Negara berpandangan bahwa segala bentuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
kekerasan,
terutama
kekerasan
dalam
rumah
tangga,
adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan Negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa: kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
Perkembangan
dewasa
ini
menunjukkan
bahwa
tindak
kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya sering terjadi. Lembaga keluarga, yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi individu ternyata justru menjadi ancaman bagi keselamatan dirinya sendiri. Untuk merespon harapan masyarakat dalam adanya suatu keadilan dalam keutuhan anggota keluarga, maka pemerintah pada tanggal 22 September 2004 telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. UndangUndang ini diharapkan dapat mereduksi ketimpangan atau ketidak adilan gender dan tidak ada satu pihak yang merasa tersubordinat dengan pihak lain. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi, dan berusaha menjamin perlindungan terhadap korban sebagai pihak yang lemah yang menerima perlakuan kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Hal ini ditegaskan dalam Konsideran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
menimbang dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi : a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; d. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sebelum mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga, kita harus tahu terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekerasan. Kekerasan (violence) mempunyai makna sebagai serangan atau penyalahgunaan kekuatan secara fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan penghancuran, pengrusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang sangat potensial dapat menjadi milik seseorang. Berdasarkan atas uraian tentang kekerasan di atas, kekerasan tidak hanya meliputi pencurian, perampokan, penganiayaan dan pembunuhan akan tetapi juga secara psikologis dengan ancaman, tekanan dan sejenisnya yang dilakukan untuk menghasilkan akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental dan daya pikir seseorang. Kekerasan psikologis biasanya dilakukan melalui rekayasa bahasa yang berupa stigma-stigma. Perbuatan seperti : menghina,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
mengancam atau menakut-nakuti sebagai upaya dan sarana untuk memaksakan kehendak mengisolasi istri/anak dari dunia luar. Tindakan ini semua bertujuan untuk menekan emosi korban dan menjadi penurut, selalu bergantung pada suami atau orang lain dalam segala hal. Akibatnya korban selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut. Sanford
Kadish
(1993:
16-18)
mengemukakan
bahwa
pengertian kekerasan (violence) sebagai either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of an individual. Bertitik tolak pada definisi di atas, tampak bahwa kekerasan (violence) merujuk pada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undangundang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Jerome Skolnick (2006: 42) bahkan mengatakan bahwa tindak kekerasan
through political process kekerasan mempunyai dampak yang sangat traumatis bagi perempuan, baik dikaitkan maupun tidak dengan kodrat perempuan sendiri. Cakupan yang sangat luas dari makna kekerasan yang diberikan dalam rumusan ini merupakan refleksi dari pengakuan atas realita sosial kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama ini di seluruh dunia. Arif Gosita (1993: 269) memberikan definisi mengenai kekerasan dalam rumah tangga, menurutnya kekerasan dalam rumah rbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial pada para anggota keluarga (anak, menantu, ibu, istri, dan ayah, atau suami). Pasal I angka I UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memberikan penjelasan apa yang dimaksudkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
Berdasarkan definisi tersebut di atas terlihat untuk siapa undang-undang
ini
diberlakukan
tidaklah
semata-mata
untuk
kepentingan perempuan saja, tetapi untuk semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi. Pihak yang mengalami subordinasi dalam kenyataannya bukan hanya perempuan, baik yang dewasa maupun anak-anak, melainkan juga laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak. Kaum perempuan banyak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga pun diakui oleh pemerintah melalui pertimbangan dibuatnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kemudian, ditambahkan bahwa korban kekerasan yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman
kekerasan,
penyiksaan,
atau
perlakuan
yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Kekerasan dalam rumah tangga juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. Pengertian domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam satu hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu. Jadi bisa saja tidak hanya hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah atau atau bahkan seorang pekerja rumah tangga menjadi pihak yang perlu dilindungi. Selama ini seringkali kita mendengar atau membaca di koran, tv atau radio bahwa pembantu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
sering menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga tersebut seringkali diselesaik an dengan menggunakan Pasal-Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun pada prakteknya hal itu menjadi tidak terlihat karena memang status
mereka
yang
rentan
mendapatkan
perlakuan-perlakuan
kekerasan (Vony Reynata, 2002: 13). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau sering kita dengar dengan istilah domestic violence. Menurut Comprehensive Textbook of Psychiatry kekerasan dalam rumah tangga mempunyai konteks yang lebih luas dalam kaitan relationship termasuk hubungan perkawinan, kekerasan pada usia lanjut yang dilakukan oleh caregiver, kekerasan yang dilakukan oleh pasangan hubungan yang dekat. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Penghapuan Kekerasan dalam Rumah Tangga bahwa: 1) Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : a. suami, istri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. 2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah termasuk anak angkat dan anak tiri. Kemudian, yang dimaksud dengan hubungan perkawinan, misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan (Fathul Djanah, 2007: 16). Jadi pada intinya siapa saja yang berada di dalam lingkup rumah tangga dapat menjadi korban kekerasan, akan tetapi kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Penyebab eksternalnya berkaitan dengan hubungan kekuasaan suami-istri dan diskriminasi gender di kalangan masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, pasangan di luar perkawinan tidak diatur oleh Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga sehingga jika terjadi kekerasan antara laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dalam satu rumah tidak dapat dikenai Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini. Tidak diakuinya pasangan yang hidup bersama di luar perkawinan karena jika mengacu pada Undang-Undang Perkawinan akan terlihat bagaimana undang-undang ini memandang suatu perkawinan yang harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berdasarkan hukum agama
dan
kepercayaan
(Pasal
2
ayat
(1)
Undang-Undang
Perkawinan), serta perkawinan itu didaftarkan (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan). Jika dibandingkan dengan pengertian negara lain seperti di Amerika, Lingkup dalam rumah tangga dalam kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya tidak hanya terdiri dari pasangan suami istri yang sudah menik ah saja. Pasangan yang tidak terikat dalam perkawinan dan tinggal bersama sebagai suami istri atau yang berpacaran masuk dalam kategori keluarga. Adanya Penghapusan
ketentuan Kekerasan
demikan dalam
Rumah
dalam
Undang-Undang
Tangga
menyebabkan
pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan meski sudah memiliki anak tidak akan tersentuh oleh Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Padahal, dalam kenyataannya banyak sekali pasangan yang tidak terikat perkawinan, termasuk juga pasangan sejenis, di kota-kota besar di Indonesia, yang karena keterbatasan dana tidak mampu membiayai perkawinannya sehingga mereka sering kali harus menunggu momentum kawin massal. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga membatasi hubungan yang berdasarkan hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian. Padahal, dalam kenyataannya sering orang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
tinggal satu rumah karena hubungan adat dan agama, misalnya orang yang jauh di perantauan maka biasanya mereka akan tinggal dengan kenalan, teman, atau saudara jauh dari daerah atau berdasarkan agama yang sama. Mereka yang jauh dari keluarga biasanya rentan mengalami kekerasan. Pasal 2 c dan Pasal 2 angka (2) menunjukkan bahwa pemerintah, melalui Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, mengakui bahwa orang yang bekerja di dalam rumah tangga atau pekerja rumah tangga merupakan orang diluar hubungan darah dan di luar perkawinan yang rentan mengalami kekerasan di dalam rumah tangga. Meski demikian, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih membatasi hanya pembantu rumah tangga yang menginap yang mendapatkan perlindungan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, sedangkan untuk pembantu rumah tangga yang tidak menginap atau paruh waktu tidak masuk dalam lingkup rumah tangga menurut Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini. Melindungi korban di sini adalah segala upaya untuk memberi rasa aman pada korban, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu:
dilakukan oleh pihak keluarga, advokad, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun
Barda Nawawi Arief mencoba dapat dilihat dari 2 makna, yaitu: 1)
dungan hukum untuk tidak menjadi kepentingan hhukum seseorang).
2) santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
permaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensai, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya. Kegiatan pemulihan terhadap korban itu sendiri dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan bahwa: Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Adapun bentuk kegiatan pemulihan korban seperti tercantum pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 meliputi: 1) pelayanan kesehatan; 2) pendampingan korban; 3) konseling; 4) bimbingan rohani; dan 5) resosialisai. Alasan korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya menurut penelitian dari Rifka Annisa mengemukakan adanya teori lingkaran kekerasan. Teori Lingkaran Kekerasan terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut, dan tahap bulan madu. Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus-menerus atau tidak saling memperhatikan atau kombinasi keduanya dan kadang-kadang disertai dengan kekerasan
perkawinan. Kemudian, pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti kalau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
si perempuan pergi dari rumah atau si laki-laki sadar apa yang dia lakukan, atau salah seorang perlu dibawa ke rumah sakit. Pada tahap bulan madu, laki-laki sering menyesali tindakannya. Penyesalannya biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Bahkan, tidak jarang laki-laki sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh dan memaafkannya karena ia masih berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Hal-hal di atas menyebabkan mengapa perempuan tetap memilih bertahan meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan dan kekerasan, selanjutnya terjadi bulan madu kembali. Demikian seterusnya lingkaran kekerasan ini berputar jalin-menjalin sepanjang waktu. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebagai diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga antara lain: 1) kekerasan fisik; 2) kekerasan psikis; 3) kekerasan seksual atau 4) penelantaran rumah tangga. Makna dari kekerasan fisik dalam Pasal 6 Undang-Undang
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit at fisik cukup sering terjadi dalam relasi suami-istri. Apa yang dilakukan suami dapat sangat beragam, mulai dari menampar, memukul, menjambak, mendorong, menginjak, melempari dengan barang, sampai menusuk dengan pisau, bahkan membakar. Kita mencatat kasus-kasus dimana istri mengalami cedera berat, cacat permanen, bahkan kehilangan nyawa karena penganiayaan yang dilakukan suami. Perlu pula diperhatikan bahwa kekerasan fisik yang dilakukan suami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
dapat tidak berdampak, atau hilang bekas fisiknya, tetapi hampir selalu memiliki implikasi psikologis dan sosial yang serius pada korbannya. Kemudian yang dimaksudkan dengan kekerasan psikis menurut Pasal 7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah kan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada istri agar terpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini penting untuk perkembangan jiwa seseorang. Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis lebih sulit diukur dari pada kekerasan fisik. Kekerasan
psikis
juga
emosional/kekerasan
disebut kekerasan
mental.
Berbagai
non fisik/kekerasan
bentuk
kekerasan
yang
digolongkan kedalamnya adalah kekerasan yang tidak bersifat fisik, seperti ucapan-ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman. Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual mencakup setiap kekerasan yang bernuansa seksual antara lain: perkosaan, pemaksaan hubungan seks, pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang mendahului, saat atau setelah hubungan seks, pemaksaan berbagai posisi dan kondisi hubungan seksual, pemaksaan aktivitas seksual tertentu, pornografi, penghinaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
terhadap seksualitas perempuan melalui bahasa verbal, ataupun pemaksaan pada istri untuk terus menerus hamil. Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. b. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa penelantaran rumah tangga berarti kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan kepada pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga. Kurang menyediakan sarana perawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran. Namun, harus hati-hati untuk membedakan
Bentuk-bentuk kekerasan dalam kelompok ini adalah kekerasan yang tampil dalam manifestasi, atau terkait dengan berbagai dimensi ekonomi. Beberapa manifestasinya antara lain: untuk mengontrol perilaku istri, suami tidak memberikan uang atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara itu istri juga dilarang bekerja. Uang diberikan dalam jumlah kecil, bertahap-tahap, hanya bila istri melakukan apa yang diinginkan oleh suami. Suami tidak bertanggung jawab menafkahi keluarga, dan membiarkan istri mencari sendiri cara untuk menghidupi diri dan anak-anak; suami sengaja menghambur-hamburkan
uang
sementara
commit to user
istri
dan
anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
berkekurangan;
suami
memaksa
istri
mencari
uang,
suami
mempekerjakan istri; atau juga suami mengambil/ menguasai uang/barang milik istri dengan berbagai cara dan alasannya. b. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dari pengertian secara etimologis ini menunjukkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan kriminal, yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam pengertian ilmu hukum, tindak pidana dikenal dengan istilah crime dan criminal. Kata crime menurut Stefen H. Gifis adalah: A wrong that government has determined is injurious to the public and that may therefore be prosecuted in a criminal proceeding. Crimes include felonies and misdemenanors. A common law crime was one declared to be offense by the exclusivelu statutory in nearly every American jurisdiction. (sebuah kesalahan yang ditetapkan pemerintah adalah yang merugikan orang banyak dan berkemungkinan menyebabkan adanya tuntutan secara pidana. Tindak pidana meliputi kekerasan dan pelanggaran hukum. Dalam system hukum Common Law, kini seluruh pelaku tindak pidana dinyatakan secara tegas di hampir setiap jurisdiksi Amerika). Pengertian criminal menurut Gifis adalah; a). done with malicious intent, with a disposition to injure person or property b). one who has been convicted of a violation of the criminal laws. Dengan terjemahan a).dilakukan dengan niat jahat dengan kecenderungan perbuatan untuk melukai/menyakiti seseorang atau hak milik, b). seseorang yang telah menjadi narapidana karena kejahatannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Perbuatan kriminal adalah perbuatan kejam dan jahat yang dilarang dan diancam dengan hukuman. Perbuatan atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang juga disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat pula, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Suatu kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah orang. Dan seseorang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan kongkrit yaitu adanya kejadian yang tertentu dan adanya orang yang menimbulkan kejadian itu. Dari pengertian ini, maka menurut Moeljatno, setidaknya terdapat 5 (lima) unsur perbuatan pidana, yaitu: 1) kelakuan dan akibat, 2) ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, 3) keadaan tambahan yang memberatkan pidanan, 4) unsur melawan hukum yang objektif, 5) unsur melawan hukum yang subjektif. Pembatasan untur-unsur perbuatan pidana ini merupakan langkah limitatif guna memperoleh kejelasan tentang pengertian perbuatan pidana. Hal ini penting mengingat perbuatan pidana akan berkaitan
secara langsung
dengan pertanggungjawaban pidana
(criminal liability). Jika orang telah melakukan perbuatan pidana,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab masih harus dilihat apakah orang
tersebut
dapat
disalahkan
atas
perbuatan
yang
telah
dilakukannya sehingga orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan demikian, orang yang telah melakukan perbuatan pidana tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat dipidana, sesuai dengan asas hukum yang tidak tertulis, geen straf zonder schuld, yaitu tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan. Sementara itu, Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno mengatakan bahwa istilah schuld diartikan pula dengan kesalahan atau pertanggungjawaban.
Simons
merumuskannya
sebagai
berikut:
yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Simons menyatakan perbuatan pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Dalam literatur hukum pidana positif, perbuatan pidana merupakan peristiwa hukum kongkrit yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu: 1) Kejahatan dan Pelanggaran. 2) Perbuatan Pidana Materil dan Formil. 3) Perbuatan Pidana Komisi dan Omisi. 4) Perbuatan Pidana Selesai dan Terus-menerus. 5) Perbuatan Pidana Sederhana dan Berat. 6) Perbuatan Pidana Biasa dan Aduan. 7) Perbuatan Pidana Umum dan Khusus. 5. Kerangka Pemikiran Untuk mempermudah gambaran penelitian ini dapat dilihat dari kerangka pemikiran sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Perkara KDRT Pemeriksaan di Kepolisian
Bukti Permulaan yang cukup
Penyidik Alat Bukti
Visum et Repertum
Jenis-jenis
Peran
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan: Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat dijelaskan, bahwa dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, para pihak yang bersangkutan dalam kasus tersebut harus menjalani pemeriksaan di tingkat kepolisian oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan-keterangan dari para pihak serta alat bukti. Setelah didapatkan keterangan serta alat bukti dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga ini, penyidik dapat memutuskan pasal yang dilanggar. Hal itu diperoleh alat bukti yang berupa Visum et Repertum. Dalam kasus ini Visum et Repertum termasuk dalam alat bukti surat maupun alat bukti keterangan ahli. Dikatakan termasuk alat bukti keterangan ahli apabila Visum et Repertum yang pada umumnya berupa surat, isi dari Visum et Repertum tersebut diperkuat oleh keterangan ahli yang sudah disumpah jabatan sebagai seorang dokter sehingga
memiliki
keotentikan
serta
kedudukan
pembuktiannya sebanding dengan keterangan ahli.
commit to user
dan
kekuatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Kajian atas kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh Polres Karanganyar yang menjadi fokus penelitian dimaksud, selanjutnya dapat dipaparkan pada sub bab berikut. Peneliti hanya melakukan pembahasan-pembahasan terhadap kasus nomor polisi: Yan. 2.5/156/VII/ 2012/SPK,
tanggal
16
Juli
2012,
dilihat
dari
proses
pelaksanaan
penyidikannya dan hasil VeR. Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan dapat dikemukakan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Identitas Tersangka Nama
: BP ((inisial)
Tempat/tgl lahir
: Karanganyar / 2 Juni 1993
Agama
: Islam
Kewarganegaraan : Indonesia Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Dk. Cerbonan Rt 03 Rw 02 Ds. Karanganyar, Kec. Karanganyar, Kab. Karanganyar.
2. Kasus Posisi Pada hari ini Minggu tanggal 15 bulan Juli tahun 2012 sekira jam 22.20 Wib dirumah tersangka di Dk. Cerbonan Rt. 03 Rw. 02, Ds. Karanganyar, Kec. Karanganyar, Kab. Karanganyar. Telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga antara tersangka dengan istrinya dengan melempar dilempar mengenai daun pintu, kemudian terjadi pemukulan dengan tangan kanan dan mata sebelah kiri sebanyak 2 kali ingat mengalami luka memar dan bengkak. Setelah dilakukan pemeriksaan dan didengar sebagai saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sehubungan dengan Laporan Polisi No. Pol: Yan. 2.5/156/VII/2012/SPK, tanggal 16 Juli 2012.
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
Dan menerangkan bahwa tersangka telah melakukan kekerasan terhadap istrinya sendiri dengan cara tersangka melempar saksi dan mengenai daun pintu kemudian tersangka melakukan pemukulan dengan tangan kanan dan mengenai mata sebelah kiri sebanyak 2 kali hingga mengalami luka memar dan bengkak. 3. Pelaksanaan Penyidikan Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Untuk mengetahui bahwa telah terjadi tindak pidana polisi dapat memperoleh informasi melalui beberapa hal diantaranya: adanya laporan, pengaduan, tertangkap tangan dan diketahui langsung oleh petugas Polisi Republik Indonesia. a. Dalam hal adanya laporan atau pengaduan yang diajukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis (lisan) dalam penelitian ini dalam perkara No Pol. Yan. 2.5/156/VII/2012/SPK, dicatat terlebih dahulu oleh penyidik atau oleh penyidik pembantu. Kemudian kepada pelapor atau pengadu diberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan. Setelah itu petugas Polisi Republik Indonesia yang dalam hal ini adalah penyidik segera melakukan penyelidikan untuk mengetahui bahwa benar-benar telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana dan agar tidak salah. Apabila suatu tindak pidana diketahui oleh kepolisian berdasarkan hasil pelaporan, hal ini akan mempermudah pihak berwajib dalam melakukan penyidikan. b. Dalam hal tertangkap tangan petugas kepolisian atau penyelidik dapat segera melakukan tindakan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. c. Dalam hal suatu tindak pidana diketahui langsung oleh petugas kepolisian, maka wajib segera melakukan tindakan-tindakan sesuai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
dengan kewenangan masing-masing, kemudian polisi membuat berita acara penangkapan atas tindakan-tindakan yang dilakukannya, guna penyelesaian selanjutnya. Setelah memperoleh informasi tentang adanya suatu tindak pidana maka Pejabat Kepolisian Negera Republik Indonesia segera melakukan penyelidikan. Adapun yang berwenang melakukan penyelidikan adalah setiap Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus ditugaskan untuk itu (Pasal 4 KUHAP), yang karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Mencari keterangan dan barang bukti; c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; d. Melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Dan atas perintah penyidik dapat melakukan : a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahaan dan penyitaan; b. Pemeriksaan dan penyitaan surat. c. Mengambil sidik jari dan memotret seorang ; d. Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik. Setelah penyelidik selesai melakukan penyelidikan, maka penyelidik segera membuat dan menyampaikan laporan hasil penyelidikan kepada penyidik. Dengan diketahuinya bahwa telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana berdasarkan laporan dari penyelidik, maka penyidik segera melakukan penyidikan guna mencari serta mengumpulkan barang bukti, yang dengan barang bukti itu membuat terang tentang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam hal melakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Polres Karaganyar berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Bagi tersangka mempunyai hak-hak sejak dimulai pemeriksaan oleh penyidik, meskipun seorang tersangka diduga telah melakukan suatu perbuatan yang cenderung sebagai perbuatan negatif dan bahkan suatu tindak pidana yang melanggar hukum bukan berarti seorang tersangka dapat dilakukan semena-mena dan di langgar hak-haknya baik itu hak-hak hukumnya, sehingga hak-hak tesebut harus dipenuhi oleh penyidik. Tersangka diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP dari mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 68, hak-hak tersebut antara lain meliputi: a. Hak untuk segera diperiksa , diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), (3). b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b). c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (Pasal 52) d. Hak untuk dapat mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54) e. Hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma f. Hak tersangka atau terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. (Pasal 65) Dengan diaturnya hak-hak diatas petugas pemeriksa tidak boleh menghalang-halangi
penggunaannya,
dan
sebaiknya
sejak
awal
pemeriksaan ha-hak tersebut diberitahukan (Gatot Supramono, 2000 :27).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
Pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Polres Karanganyar dalam Perkara No Pol. Yan.2.5 / 156 / VII / 2012 / SPK secara terperinci berupa tindakan hukum yang dilakukan berupa pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. a. Pemanggilan Tersangka dan Saksi Setelah penyidik memperoleh keterangan-keterangan yang jelas tentang tindak pidana yang terjadi dan siapa tersangkanya, maka penyidik segera melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan saksi untuk didengar keterangannya. Penyidik mendengarkan keterangan tersangka dan saksi dengan bertimbangan : 1) Bahwa seorang mempunyai peranan sebagai tersangka atau saksi dalam suatu tindak pidana yang telah terjadi; 2) Untuk melengkapi keterangan-keterangan, petunjuk-petunjuk dan bukti-bukti yang sudah didapat, akan tetapi dalam beberapa hal masih terdapat kekurangan. Untuk
mengetahui
kenyataan
yang
sebenarnya
penulis
mendapatkan resume berkas acara pemeriksaan ditelah dilakukan pemanggilan terhadap tersangka dan para saksi, berdasarkan Surat Panggilan No.Pol : S.Pgl / 326 / VII / 2012 / Reskrim. telah diperiksa dan dimintakan keterangan terhadap tersangka BP, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan. b. Penangkapan Yang dimaksud dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Kasus penangkapan tersangka BP dilakukan setelah korban melaporkan terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga kepada Polres Karanganyar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
c. Penahanan. Kemudian apabila dipandang perlu untuk dilakukan penahanan, maka penyidik dapat menahan tersangka yang melakukan tindak pidana tersebut guna kepentingan penyidikan. Maksud dari penahanan itu adalah agar supaya tersangka tersebut tidak melarikan diri (alasan subjek), tidak akan merusak dan menghilangkan barang bukti, dan atau akan mengulangi tindak pidana lagi. Namun dalam kasus BP ini tidak dilakukan penahanan karena tersangka dengan suka rela menyerahkan diri dan bersedia memberikan semua informasi
yang dibutuhkan
penyidik. d. Penyitaan Penyitaan adalah serangakaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam hal tertangkap tangan oleh petugas polisi maka barang bukti langsung dapat disita, misalnya alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal penggeledahan rumah penyitaan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Disamping itu menurut Pasal 39 KUHAP ditentukan bahwa yang dapat dikenakan penyitaan : 1) Benda atau tagihan tersangka yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari hasil tindak pidana; 2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; 4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
6) Benda yang berada dalam sitaan perkara perdata atau pailit sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada point sebelumnya Dalam kasus ini tidak ada tindakan penyitaan karena tidak ada barang bukti. Sebagai pembuktian dalam perkara tersebut sama dengan perkara biasa lainya, perbedaannya adalah bahwa dua perkara tersebut menggunakan alat bukti kesaksian ahli diantara alat bukti lain, misalnya keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Kesaksian ahli yaitu dokter dibutuhkan dalam perkara tersebut, karena kasus tersebut menyangkut kondisi tubuh dan nyawa seseorang yang dalam pembuktiannya memerlukan dokter yang mempunyai keahlian untuk menerangkan keadaan fisik dari seseorang atau barang bukti lain berdasarkan ilmu kedokteran yang dimilikinya dengan penjelasan secara medis, yang berguna bagi pengungkapan atau pembuktian adanya tindak pidana. e. Visum et Repertum Hasil VeR akan membantu para penegak hukum dalam menghadapi suatu perkara yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia, supaya perkara tersebut menjadi jelas dan terang sehingga hakim akan yakin dan lancar dalam menyatakan keputusannya terutama jika hanya terdapat bukti minimum atau sedikit. Jika ditinjau dari praktek pelaksanaannya, maka peranan VeR diperlukan dalam setiap tahap pemeriksaan perkara, yang erat tujuannya dengan upaya pembuktian perkara yang bersangkutan, dan pada akhirnya pembuktian tersebut harus dilakukan di depan persidangan. Dalam kaitannya dengan pembuktian perkara pidana, maka secara umum peranan dokter sebagai saksi ahli dapat diberikan dua bentuk, yang pertama adalah keterangan tertulis yang lazim disebut VeR dan keterangan ahli. Sebelum dilakukan VeR perlu ada surat permintaan VeR dari pihak penyidik kepada Direktur RSUD yang ditunjuk. Dalam surat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
permintaan VeR ini tercantum identitas korban yang akan divisum dan dugaan perbuatan pidana yang diterima korban. Melihat kondisi korban yang mengalami luka memar dan bengkak pada wajah, maka tindakan VeR dalam kasus ini merupakan jenis VeR kasus perlukaan. Setelah melalui proses luka yang dialami korban merupakan luka karena benda tumpul Sehingga korban tidak memerlukan perawatan secara internsif dari pihak kedokteran. VeR perlukaan korban hidup merupakan jenis bantuan yang paling sering diminta oleh penyidik dibandingkan jenis VeR lainnya. Tujuan pemeriksaan forensik pada kasus perlukaan adalah untuk mengetahui jenis luka, jenis kekerasan dan derajat luka.
B. Pembahasan 1. Analisis Jenis-jenis Visum et Repertum yang Dapat Dijadikan Sebagai Bukti Oleh Penyidik dalam Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Budiyanto, Widiatmaka, dan Sudiono (1997) dalam buku Ilmu Kedokteran Forensik. Visum et Repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Dasar hukum VeR adalah Pasal 133 KUHAP menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi Pasal 7(1) butir h dan Pasal 11 KUHAP. Ada beberapa jenis VeR, yaitu VeR perlukaan (termasuk keracunan), VeR kejahatan susila, VeR jenazah, dan VeR psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah VeR mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. 1. VeR pada Kasus Perlukaan. Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan VeR dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan VeR. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan VeR. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik. Di dalam bagian pemberitaan biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam VeR. 2. VeR Korban Kejahatan Susila Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan VeRnya pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul). Untuk kepentingan peradilan,
dokter
berkewajiban
untuk
membuktikan
adanya
persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan. Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas
tersangka melalui pemeriksaan
golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut. 3. VeR Jenazah Jenazah yang akan dimintakan VeRnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan VeR harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan
luar
(pemeriksaan
jenazah)
atau
pemeriksaan
dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi : a. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik. b. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas. 4. VeR Psikiatrik VeR psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya Pasal 44 ayat (1) tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak
retardasi mental juga terkena Pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. Dalam keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk VeR psikiatrik. Pejabat yang dapat meminta VeR atas seseorang korban tindak pidana kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa penyidik berwenang pula meminta VeR pada perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta VeR (psikiatrik) sesuai dengan Pasal 180 jo Pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum. Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta VeR kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan VeR langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
salinan VeR dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Korban
atau
keluarga korban juga tidak
memiliki
kewenangan untuk meminta VeR langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan VeR dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. Dalam hal VeR tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas informasi medis dirinya. Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan VeR korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus) tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter (dalam Pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran. Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan VeR korban luka akan datang "terlambat" dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
darurat). Syarat pembuatan VeR sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam Pasal 187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut. Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara "en block" (seutuhnya) merupakan barang bukti. Yang merupakan "barang bukti" pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah "menyalin" barang bukti tersebut ke dalam bentuk VeR. Adanya keharusan membuat VeR atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban tersebut, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan ini berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan ihwalnya. Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan manfaatnya bagi korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila diingat bahwa biasanya pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu pemeriksaan dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis. Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan VeR korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita, dianggap paling berwenang dalam pembuatan VeR korban kejahatan seksual. Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban "perlukaan", dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik tampaknya akan mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi keilmuan yang digunakan dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu forensik dan bukan ilmu obstetri maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa pemeriksa adalah dokter yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, baik di bidang ginekologi maupun di bidang kedokteran forensik. Tindakan yang akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan persetujuan korban, atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang tuanya atau keluarga terdekatnya. Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar persetujuan tersebut ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh orangtuanya. Selain adanya surat permintaan VeR dan persetujuan korban, pemeriksaan harus disaksikan oleh chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan korban) guna menghindari keadaan yang tidak diinginkan. 2. Analisis Peranan VeR Dalam Penyidikan Perkara Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Polres Karanganyar Peranan ilmu-ilmu lain bagi Hukum Acara Pidana merupakan hal yang sangat penting, bahkan sering kali menjadi penentu, terutama dengan mengingat obyek yang digumuli oleh tugas dan fungsi hukum acara pidana, yakni untuk mencari dan menemukan kebenaran hukum ke atau di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
dalam putusan hakim. Dengan itulah diperoleh kepastian hukuman bagi orang bersalah, sekalipun dengan itu pula menjadi perlindungan bagi saksi dan atau korban (Nikolas Simanjuntak, 2009: 30). Salah satu ilmu lain yang penting dalam Hukum Acara Pidana Indonesia adalah kedokteran kehakiman atau psikiatri yang diperlukan untuk membantu mengetahui keadaan korban kejahatan dan keadaan jiwa dari tersangka, terdakwa atau saksi. Fakta yang terungkap dari hasil penyelidikan dan penyidikan akan dapat lebih mudah dijelaskan dengan bantuan keterangan yang diberikan oleh dokter kehakiman atau psikiater tentang alat yang digunakan pelaku tindak pidana. Hasil dari keterangan dokter kehakiman disebut sebagai visum et repertum (VeR) dalam hal untuk keterangan yang bersifat fisik atau kebendaan, atau juga bisa berupa VeR dalam hal untuk keterangan yang bersifat kejiwaan. Visum et Repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto et al (1999: 197), dasar hukum VeR adalah sebagai berikut: Pasal 133 KUHAP menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi Pasal 7 ayat (1) butir h dan Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) butir a, yaitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7 ayat (2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana : Pasal 216 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Prosedur pengadaan VeR berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati, prosedur permintaan VeR korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal tersebut berarti bahwa
pemilihan
jenis
pemeriksaan
yang
dilakukan
diserahkan
sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti. Hal-hal yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
tidak dapat disegel maupun disita, melainkan menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk VeR. KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan VeRnya, seperti yang tertulis di dalam surat permintaan VeR. Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan VeR dengan identitas korban yang diperiksa. Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat permintaan VeR korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR. Adanya keharusan membuat VeR perlukaan tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban hidup adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan VeR harus mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang meminta pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis. Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
a. Pro Justitia Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu bermeterai. b. Pendahuluan Pendahuluan memuat: identitas pemohon VeR, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan. c. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari: 1) dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang
pidana/diduga kekerasan. 2)
uh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan
fisik
maupun
pemeriksaan
laboratorium
dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
3)
saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil. 4) badan merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan. d. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hatihati. Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah
dengan
manfaatnya
dalam
mendukung
penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. 5. Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR. Berikut bentuk hasil VeR atas nama korban SK dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan BP. VISUM ET REPERTUM No. /TUM/VER/VII/2012 Yang bertandatangan di bawah ini, DA, dokter spesialis forensik pada RSUD Kabupaten Karanganyar, atas permintaan dari Kepolisian Resort Karanganyar dengan suratnya nomor B/37/VeR/VII/Reskrim tertanggal 27 Juli 2012 maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal duapuluh tujuh bulan Juli tahun dua ribu dua belas pukul sembilan lewat lima menit Waktu Indonesia Bagian Barat bertempat di RSUD Kabupaten Karanganyar, telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi 123456 yang menurut surat tersebut adalah: Nama
: xxxx
Umur
: 32 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Warga negara
: Indonesia
Pekerjaan
: xxxx
Agama
: xxxx
Alamat
: xxxx
HASIL PEMERIKSAAN: 1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan, setelah kejadian kekerasan pada kepala
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
2. Pada korban ditemukan a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, terdapat luka memar, tepi tidak rata, dinding luka lebab biru, sudut luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat senti meter b. Pada mata, tepat pada garis sudut pandang kiri terdapat luka lebam tepi tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali setengah sentimeter dasar otot c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba tidak patah pada pertengahan serta nyeri pada penekanan. d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera kepala ringan. 3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan. 4.
Terhadap korban dilakukan perawatan luka, dan pengobatan.
5. Korban dipulangkan. KESIMPULAN : Pada pemeriksaan korban perempuan berusia tiga puluh dua tahun ini ditemukan cedera kepala ringan, luka memar lebam pada belakang kepala kiri dan mata serta tidak patah tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah mengakibatkan penyakit / halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu. Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa peran VeR Kasus BP dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah untuk mengetahui keterlibatan tersangka dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, untuk memberikan keterangan (gambaran) tentang penemuan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban, dan untuk menerangkan keadaan korban yang timbul akibat kekerasan benda tumpul. VeR juga dapat berperan memberikan petunjuk dalam hal alat-alat atau benda-benda yang digunakan untuk melukai korban serta dalam hal membenarkan atau tidak keterangan terdakwa dan saksi yang diberikan dihadapan penyidik. Dalam hal membenarkan keterangan saksi dan tersangka ini berfungsi meyakinkan penyidik bahwa keterangan saksi, keterangan tersangka dan VeR adalah sesuai dan benar sehingga menguatkan keyakinan hakim atas kronologis tindak pidana pembunuhan yang terjadi pada saat kejadian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Visum et repertum selaku keterangan dalam bentuk formal menyangkut hal-hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya hádala pengganti barang bukti, bahwa pada keharusannya dalam hal pembuktian mestinya orang yang menjadi korban KDRT sepatutnya diajukan menjadi barang bukti. Jenis-jenis visum et repertum yang dapat dijadikan sebagai bukti oleh penyidik yaitu jenis VeR perlukaan (termasuk keracunan), VeR kejahatan susila, VeR jenazah, dan VeR psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah VeR mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Adapun dalam kasus yang diangkat dapat penelitian ini termasu VeR perlukaan. Di dalam pemberitaan disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. 2. Analisis peranan VeR dalam penyidikan perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Polres Karanganyar
adalah untuk mengetahui
keterlibatan tersangka dalam perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, untuk memberikan keterangan (gambaran) tentang penemuan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban, dan untuk menerangkan keadaan korban yang timbul akibat kekerasan benda tumpul. VeR juga dapat berperan memberikan petunjuk dalam hal alat-alat atau benda-benda yang digunakan untuk melukai korban serta dalam hal
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
membenarkan atau tidak keterangan terdakwa dan saksi yang diberikan dihadapan penyidik. Dalam hal membenarkan keterangan saksi dan tersangka ini berfungsi meyakinkan penyidik bahwa keterangan saksi, keterangan tersangka dan VeR adalah sesuai dan benar sehingga menguatkan keyakinan hakim atas kronologis tindak pidana pembunuhan yang terjadi pada saat kejadian.
B. Saran 1. Meskipun di dalam KUHAP, tidak ada keharusan bagi penyidik untuk mengajukan permintaan VeR kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter lainnya, akan tetapi untuk kepentingan pemeriksaan perkara serta agar lebih jelas perkaranya sedapat mungkin, bilamana ada permintaan yang diajukan kepada dokter bukan ahli maka permintaan tersebut patut diterima. 2. Perlu adanya peran aktif dari masyarakat untuk melaporkan ke kepolian jika terjadi KDRT. Karena pada kasus KDRT biasanya hanya pelaku dan korban yang mengetahui.
commit to user