STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF INNOCENCE) DALAM KUHAP DENGAN THE INTERNASIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : DENY ANDRIANI NIM: E1106108
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF INNOCENCE) DALAM KUHAP DENGAN THE INTERNASIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun Oleh : DENY ANDRIANI NIM : E1106108
Disetujui untuk dipertahankan Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum. NIP. 196202091989031001
ii
PENGESAHAN PENGUJI STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF INNOCENCE) DALAM KUHAP DENGAN THE INTERNASIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
Penulisan Hukum ( Skripsi ) Disusun Oleh : DENY ANDRIANI NIM : E1106108
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Selasa Tanggal : 23 Maret 2010 TIM PENGUJI 1. Edy Herdyanto, S.H, M.H Ketua
:
(....................................)
2. Kristyadi, S.H, M.Hum Sekretaris
:
(....................................)
3. Bambang Santoso, S.H, M.Hum : Anggota
(....................................)
MENGETAHUI Dekan,
Moh. Jamin, S.H.M.Hum NIP. 196109301986011001
iii
MOTTO
“Akal dan belajar adalah seperti tubuh dan jiwa. Tanpa tubuh, jiwa hanyalah udara yang hampa. Tanpa jiwa, tubuh tidak lebih dari sebuah kerangka tanpa makna”. (Kahlil Gibran) “Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah bila kita berhasil melakukan apa yang menurut orang lain tidak dapat kita lakukan”. (Walter Beganhot) “Dalam keinginan terdapat kebenaran. Bagi jiwa-jiwa ketika yang kuat yang berkuasa, saat yang lemah menjadi sasaran perubahan, yang baik dan yang buruk datang dan pergi bersama hembusan angin”. (Kahlil Gibran) “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (Q.S Alam Nasyrah: 6-8) “Kegagalan itu adalah awal dari kesuksesan, dan omelan itu adalah motivasi untuk menjadi sukses”. (Penulis) “Jadilah iri sendiri dimanapun kita berpijak, dan yakinlah pada diri kita sendiri bahwa kita mampu dan sanggup menaklukan kejamnya kehidupan dunia”.(Penulis)
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih kepada :
1. Allah SWT Sang Pencipta Alam Semesta atas segala karunia, rahmat, hidayah serta nikmat yang telah diberikan kepada seluruh umat-Nya. 2. Uswatun Khasanah Nabi Muhammad SAW, sebagai insan yang paling mulia yang telah memberikan suri tauladan bagi pengikutpengikutnya. 3. Ayahanda tersayang H.Haryono, S.Pt, M.Ap dan Ibunda tercinta Hj.Darmawati yang telah mencurahkan seluruh cinta, kasih sayang, dan kesabarannya dalam membimbing ke-5 anak-anaknya. 4. Kakakku Srie Yunda Paramila dan adik-adikku tercinta Yoga Akhmad Zulfikar, si ganteng Sigit Akhmad Wardana, yang paling nganggenin si centil Radella Anugerah. 5. Seluruh Keluarga Besarku atas segala perhatian dan dukungannya.
v
ABSTRAK Deny Andriani, E1106108, STUDI PERBADINGAN HUKUM PENGATURAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF INNOCENCE) DALAM KUHAP DENGAN THE INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS, Penulisan hukum (SKRIPSI), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. Tujun dari penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah di dalam kitab undangundang hukum acara pidana dengan the international covenant on civil and political rights serta mengetahui kelebihan dan kelemahan Asas Praduga Tidak Bersalah di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana dengan the international covenant on civil and political rights. Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah jenis data sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: buku-buku, litelatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis data kualitatif terhadap peraturan asas praduga tidak bersalah yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Persamaan antara pengaturan asas praduga tidak bersalah didalam KUHAP dengan The International Covenant On Civil And Political Rights adalah bahwa asas praduga tidak bersalah bersumber dan berakar dari sumber atau akar yang sama yaitu HAM yang bersifat universal serta mendapat pengaturan baik didalam perundang-undangan nasional maupn dalam dokumen internasional. Pengaturan suatu asas dalam hal ini asas praduga tidak bersalah sebagai HAM, untuk menegakkan dan melindunginya sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa pengaturan asas praduga tidak bersalah menurut KUHAP, ukurannya adalah sampai dengan dinyatakannya seseorang bersalah berdasarkan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sedangkan menurut The International Covenant On Civil And Political Rights ukurannya adalah selam terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam kovenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tidak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. The International Covenant On Civil And Political Rights. Kelebihannya adalah bahwa untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda diatas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum “hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan). Kelemahanya adalah bahwa konsep tersebut menganut paradigma
vi
individualistik perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offonder-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan yang bersangkutan (korban).
vii
ABSTRACT Deny Andriani, E1106108, THE STUDY OF REGULATION LAW COMPARISON OF PRESUMPTION OF INNOCENCE BASIS IN KUHP WITH THE INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS, Law Writing (THESIS), Faculty of Law, Sebelas Maret University of Surakarta 2010. The research aims to find out the equation and difference of regulation of presumption of innocence basis in code of procedure of criminal with the international covenant on civil and political rights and to find out the strong and weakness of regulation of presumption of innocence basis in code of procedure of criminal with the international covenant on civil and political rights. This research belongs to norm law research. The source of data is secondary data which uses the materials from the bibliography. It can be regulation of laws, documents, books, reports, files, paper, and literature review which relates to the problems of the research. And then the data is analyzed by using the technique of qualitative data analysis to the regulation of presumption of innocence basis which relates to the problems of the research. From the result of analysis, the result of the data test yields that the equation between the regulation of presumption of innocence basis with the international covenant on civil and political rights is that the presumption of innocence basis based on the same source, that is human right which has the universal characteristic and get the good regulation in the national legislation or in international document. The regulation of a basis in this case is presumption of innocence basis as the human rights, to uphold and protect them according to the democratic constitutional state principle. However, the difference of them is that the regulation of presumption of innocence basis according to KUHP, that is up to be expressed of innocent person by virtue of justice decision which already gets regular legal power. Meanwhile, according to the international covenant on civil and political rights, as long as the suspect is given fully of the law rights as detailed in this covenant, hence during that the protection of the presumption of innocence basis have been fulfilled by the institute of law enforcer. The international covenant on civil and political rights, its strong is that to prevent the law interpretation which different each other above, it seems the realistic solution have been given by Covenant, that is by itemizing wide of scope for the law interpretation “the rights to be considered as innocent people”, which consists eight. The weakness is that the concepts embrace the paradigm of individualistic protection by the rights and arsonist importance, and disregard the protection by the rights and collective importance (society) which is unprofitable because of the pertinent badness (victim).
viviii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis mampu menyelesaikan tugas penulisan hokum ini dengan judul “STUDI PERBANDINGAN HUKUM ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF INNOCENCE) DALAM KUHAP DENGAN THE INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS”.
Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penulisan hukum ini, penulis mengalami banyak hambatan dan permasalahan baik secara langsung maupun tidak langsung menyangkut penyelesaian penulisan hukum ini. Namun berkat bimbingan, bantuan moral maupun materiil, serta saran dari berbagai pihak yang tidak henti-hentinya memberi semangat dan selalu mendukung penulis. Maka tidak ada salahnya dengan kerendahan hati dan perasaan yang tulus dari sanubari yang paling dalam, penulis memberikan penghargaan berupa ucapan terima kasih atas berbagai
bantuan
yang
telah
banyak
membantu
Penulis
selama
melaksanakan studi sampai terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini, maka pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Moh Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
ix
2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku pembimbing penulisan hukum ini yang dengan kesabaran dan kebesaran hati telah membimbing, mengarahkan, serta membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 3. Ibu Djuwitiyastuti, S.H. selaku pembimbing akademik, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS. 4. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Hukum Acara Pidana terima kasih atas nasehat, bimbingan, serta saran dan masukan terhadap penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Kristyadi, S.H, M.H, selaku dosen hukum acara pidana yang telah memberikan dasar-dasar hukum acara pidana. 6. Bapak Harjono, S.H, M.H, selaku Ketua Program Non Reguler, yang tidak henti-hentinya memajukan program non reguler Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 7. Bapak Waluya, S.H, M.Si, selaku pembimbing KMM di Kejaksaan Negeri Sragen yang telah mendampingi penulis dalam kegiatan tersebut. 8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk penulis selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universita Sebelas Maret Surakarta. 9. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 10. Bapak Harno dengan PASPAMPUS (Pasukan Khusus Pengamana Kampus) Kang Wardi, Lek Wahyono, Maz Eko yang telah menciptakan suasana kenyamanan, ketertiban, dan keamanan dalam Kampus FH UNS. 11. Seluruh staf dan pegawai jajaran Kejaksaan Negeri Sragen yang telah banyak memberikan pengalaman kepada Penulis dan membantu Penulis dalam menyelesaikan kegiatan KMM, terimakasih atas kebersamaan, kebahagiaan dan candaannya.
x
12. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang dengan ketulusan kasih sayang, kepercayaan, doa, motivasi dan dukungannya sehingga Penulis dapat belajar mandiri jauh dari orang tua. Semoga Penulis dapat menjadi kebanggan Ibu dan Bapak. 13. Kakakku a’Yunda yang selalu mengabulkan keinginan Penulis walaupun lagi sibuk dengan kerjaannya. Semua pasti bisa kita hadapi dengan ketulusan dan keihklasan hati. 14. Adik-adikku tersayang Yoga, sigit dan bidadari mungilku eiya yang selalu membuat Penulis tertawa dan tersenyum. 15. Keluarga besarku yang ada di Kalimantan: Kai dan Nini yang tiada lelahnya memberikan wejangan hidup serta nasehat-nasehatnya. Uwa, Paman Ingut & Acil, Ibu & Bapak Banjar, Yuwi gagah, Yudi bungas, Masda, Kk Lastri, Abang kiki, Arki & Riki, Makasih banyak atas support dan semangatnya. 16. Keluarga besarku yang ada di Boyolali: Lek Anto dan Mbak Is terimakasih banyak atas perhatian dan kasih sayangnya selama Penulis jauh dari orang tua, Metty eka, Yuniar dwi terimakasih atas senyumannya. 17. Keluarga besar Alm. Bapak Teguh Santoso, S.H, M.H terimakasih atas kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada Penulis. Maaph ya pakdhe, denya ga bisa nemenin saat-saat terakhir yang pakdhe minta, semoga pakdhe teguh lebih bahagia di surga sana, Amien. Buat Budhe Erni semoga selalu tabah dan selalu tersenyum, Dek Muthia tambah gendut ya. 18. Keluarga besar Ibu Kusmini, S.H terimakasih atas perhatiannya dan terimakasih telah bisa menerima kehadiran Penulis ditengah kebahagiaan keluarga. Buat Sopyan, Rafiq, Hanif, dan Hafid Ridho belajar yang rajin biar bisa jadi kebanggaan mamah. 19. Ridwan Sholih Habibi, S.H belahan jiwaku yang selalu setia mendampingiku disaat suka maupun duka, terimakasih atas cinta, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanannya selama menghadapi keegoisan Penulis. Jangan pernah berhenti mencintaiku sampai kapanpun. Luph u hun!! 20. Soulmateku tercinta dari awal sampai akhir : Etika Farieda, S.H dengan pujaan hatinya Hendriexz Ra-Kery, dan Rierin Setiawati, S.H dengan kangmaz nya
xi
yang jauh dimata Isharyanto, yang selalu ada di saat Penulis tersenyum ataupun menangis, terimakasih kawan tanpa kalian aku ga mungkin bisa. Soulmate 4ever!! 21. Teman-temanku seperjuangan yang berjuang pantang menyerah demi sebuah toga : Berlian yang lagi dilema, winda, sheny yang selalu dengan Rayi nya, Jefri melodick, Abinery, Anoeng, Rody boncel, Ajay anak pak kajari, Bayu ntut, Noni Dina, Noni Sari S.H, Topik sang asdos, Andhika Lantang, Yudha calon kapolres, Kumkum, Selphy, Yoga Setum, Ardiar “Pasha” Gepeng, Lucky, Yadi, Grandong alias Reynaldi, Ryan, Megafuri, Susi, Dewi, Dyan, Eka wonogiri, Dewi Pertiwi, Ibu Nana, Adi, Puput, Pras ‘ringgo”, Prima, Ajib, Wisnu, Beta, Koko, Kusumo sang Profesor, dan sahabat-sahatku yang masih berjuang..... show must go on!!. VIVA JUSTICIA... 22. Dedengkot Himanoreg yang selalu menyejukkan hati: Maz Aji, Maz Andi Vitalata, Maz Yanur, Maz Jekek, Maz Riska, Bang Yugo, Maz Wibi, Maz Ronggo, Maz Wahyu, Maz Arif, Karuniawan, Maz Damar, Maz Geri, Maz Singgih, bak Sasti, Mbak Fita, Mbak Kunti, Elfira, Mey, Dita, Tiwi dan dedengkot lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 23. Laely dengan Beny belahan hatinya, Winda, Tyas dan teman-teman Angkatan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 reguler maupun non reguler yang telah banyak mewarnai kehidupan Penulis dalam studi di Kampus Hukum tercinta. 24. Kawan-kawan Stannum ceria: Mbak hilda dengan pangerannya maz Adi Seno, cicit bersama pujaannya Alan, Nophek yang tak bisa dipisahkan dari Yayang Sam, Pikachu, Mbak Dita, Yona, Mbak Ani, A’Rina, Mbak Ulan, Mbak Ipeh yang sekarang entah kemana, Mbak Mutik Cilacap, Mbak Windi, Ria dengan brondongnya, Mbak Sari, dan anak-anak baru lainnya temakasih atas keceriaan kozt, kehebohan dan kebersamaannya selama ini. Selalu akan menjadi keluarga kozt yang ceria. 25. Sahabat-sahabatku yang jauh disana: Acil Santi, Acil Ririn, Yunita, Dora, Silvi, Cahyatur, Puspa, Indah, Sinta, Febri, Yudhi Oncom, Ari, Toto Butonk, Army, Tony, Ecko Gagah, Ovan, yang sampai sekarang masih terjaga ikatan silaturahmi. JAYA SMADA!!
xii
26. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, baik yang telah membantu maupun yang hanya menganggu Penulis dalam mengerjakan penulisan hukum ini. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan, menginggat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima dengan senang hati. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi
sumbangan
Pengetahuan dan Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya. Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum ini, atas amal baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.
Surakarta, April 2010
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..........................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...........................................
iii
MOTTO...............................................................................................
iv
PERSEMBAHAN...............................................................................
v
ABSTRAK .........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR........................................................................
vii
DAFTAR ISI ......................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Perumusan Masalah................................................................
7
C. Tujuan Penelitian....................................................................
8
D. Manfaat Penelitian..................................................................
9
E. Metodologi Penelitian ............................................................
10
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ....................................................................... 1.
15
Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Pidana..............
15
a. Pengertian Hukum Acara Pidana...............................
15
b. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana..................
17
xiv
c. Asas-asas Hukum Acara Pidana................................
20
2. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum.............
23
Istilah dan definisi Perbandingan Hukum.......................
23
3. Tinjauan Umum Tentang Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)......................................... 4.
26
Tinjauan Umum Tentang The International Covenant On Civil And Political Rights.........................................
29
B. Kerangka Pemikiran.............................................................
31
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP dengan The International Covenant On Civil And Political Rights…………………………………. 33 1. Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP……………………….......
33
a. Latar Belakang Asas Praduga Tidak Bersalah dalam KUHAP………………………………… 33 b. Tujuan Asas Praduga Tidak Bersalah.............................. 36 c. Perwujudan Asas Praduga Tidak Bersalah ...................... 37 d. Regulasi Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Hukum Positif Indonesia ............................................................. 39 2. Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam The International Covenant On Civil And Political Rights………………….. 41
xv
a. Latar Belakang The International Covenant on Civil and Political Rigths……………………………. 41 b. Tujuan The International Covenant on Civil and Political Rigths…………………………….. 43 c. Perwujudan The International Covenant on Civil and Political Rigths…………………………….. 43 d. Regulasi The International Covenant on Civil and Political Rigths………………………………47 3. Persamaan dan Perbedaan …………………………………. 47
B. Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP dengan The International Covenant On Civil And Political Rights………………………………………….
48
1. Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP……………………………………………
48
a. Kelebihan........................................................................
48
b. Kelemahan......................................................................
48
2. Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of innocence) dalam The International Covenant on civil and political rights…………………….
49
a. Kelebihan......................................................................
49
b. Kelemahan....................................................................
49
xvi
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ................................................................................
51
B. Saran.......................................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, demikianlah penegasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dari penegasan diatas dapat dipahami dan dimengerti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum Indonesia menerima ideologi untuk menciptakan adanya keamanan dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta menghendaki agar hukum ditegakkan, artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa kecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum, maupun oleh penguasa negara, sehingga segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum. Etika dan moral yang baik juga harus dijunjung tinggi baik oleh masyarakat maupun penegak hukum. Hal itu untuk menghindarkan nada yang sinis atau meremehkan aparat penegak hukum, khusus lembaganya karena lembaga tersebut juga miliknya. Hukum juga merupakan suatu norma yang disebut norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri dengan masyarakat sebagai suatu tempat bekerjanya hukum tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh suatu negara adalah hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara, dan hukum akan memberikan timbal-balik dengan cara memperhatikan kebutuhan
dan
kepentingan-kepentingan
anggota
masyarakat
serta
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya,
1
2
yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan pokok. Begitu pula Penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Harus menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu sama lain. Penuntut umum tidak hanya melihat kejahatan dan mencocokanya dengan suatu peraturan hukum pidana,akan tetapi mencoba menempatkan kejadian itu dengan menghubungkan pada proporsi yang sebenarnya. Pembangunan di bidang hukum sendiri tak dapat dipisahkan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3
Indonesia adalah negara hukum yang memiliki beberapa macam hukum yang mengatur mengenai setiap warga negaranya antara lain hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki kaitan yang sangat erat, karena hukum acara pidana adalah hukum pidana formal dimana lebih memfokuskan pada ketentuan mengenai bagaimana negara melalui alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana lebih memfokuskan pada peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Hukum dibuat dengan tujuan yang mulia, yaitu untuk memberikan pelayanan serta pengayoman bagi masyarakat agar tercipta suasana aman, tertib, adil dan sejahtera. Namun dalam masyarakat, penyimpanganpenyimangan atas hukum tetaplah terjadi. Terhadap penyimpanganpenyimpangan atas hukum atau melakukan tindak pidana ini tentunya haruslah ditindak lanjuti dengan tindakan-tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Landasan Hukum Acara Pidana adalah KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), Lembaga Negara Nomor 76) yang sebelumnya diatur dalam HIR (Het Herzeine Inlandsch Reglement, Stb. 1941 N0. 44). Berkaitan dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui beberapa pasal yang mengatur tentang HAM, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam pasal ini terkandung Azas Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) ini diimplementasikan dalam proses peradilan
4
pidana sebagai Asas Praduga Tidak Bersalah yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sekarang direvisi menjadi Pasal 19 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) diatur bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan atau di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuan dari asas ini adalah untuk memberi batasan seseorang baik tersangka atau terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Tindakan sewenang-wenang ini berupa upaya paksa dari penegak hukum yang dalam hal ini memungkinkan melanggar HAM tersangka atau terdakwa, dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture).
Maka
dalam
peradilan
dibentuk
lembaga
baru
yang
diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum yang bernama Praperadilan yang berfungsi untuk mengontrol tindakan aparat penegak hukum agar tidak melampaui kewenangannya. Dalam KUHAP ditegaskan bahwa seseorang yang diduga atau disangka telah terlibat dalam suatu tindak pidana tetap mempunyai hakhak yang harus dijunjung tinggi. Hak-hak tersebut antara lain dapat meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna mengetahui apakah tindak pidana yang dilakukan terbukti serta mengetahui apakah orang yang didakwa dapat dipersalahkan atau tidak. Untuk mengetahui apakah seseorang yang disangka melakukan tindak pidana bersalah atau tidak bukanlah suatu hal yang mudah. Hal tersebut harus dibuktikan melalui proses persidangan di Pengadilan. Dalam upaya membuktikan bahwa seseorang tersebut disangka telah melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum harus memperhatikan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang tercancum
5
dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang direvisi menjadi Pasal 19 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka persidangan wajib dianggap tidak bersalah sebelum diadakan putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Berdasarkan asas praduga tidak bersalah, maka jelas dan wajar bahwa tersangka dalam proses penyidikan wajib dihargai hak-haknya. Hal ini tidak lain untuk menetapkan tersangka dalam kedudukan yang semestinya, sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sistem peradilan negara kita menganut asas praduga tidak bersalah, dimana hak asasi tersangka atau terdakwa tersebut harus tetap dijunjung dan dilindungi hak asasinya. Namun pada kenyataannya dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali langsung saja menggunakan upaya paksa tanpa dipenuhinya syarat-syarat formil dan syarat-syarat materiil dalam hal penangkapan maupun penahanan. Adanya keseimbangan yang terjadi di dalam negara, diharapkan dapat mendorong kreatifitas serta peran aktif masyarakat dalam membangun suatu negara, khususnya dalam menjamin kemerdekaan hak asasi manusia karena merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga tidak bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si
6
tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan. Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, kendati secara universal asas praduga tidak bersalah diakui dan dijunjung tinggi, tetapi secara legal formal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita juga menganut asas praduga bersalah. Sikap itu paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan, Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud. Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak praduga tak bersalah, asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 yang sekarang direvisi menjadi Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, untuk selanjutnya disebut Kovenan) menyebutkan bahwa setiap negara pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun. Setiap Negara pihak
7
berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan. Tetapi pada kenyataanya masih banyak terjadi pelanggaran HAM baik dalam lingkup Nasional maupun Internasional. Berdasarkan hal tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan perbandingan hukum asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP dengan The International Covenant on Civil and Political Rights, beserta persamaan dan perbedaannya dan juga kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing sistem tersebut. Untuk itu penulis terdorong untuk
menulis
Penulisan
Hukum
dengan
judul
“STUDI
PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF INNOCENCE) DALAM KUHAP DENGAN THE INTERNASIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS”.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran sesuai yang dikehendaki. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, perumusan masalah dalam penulisan hukum ini dirumuskan sebagai berikut :
8
1. Apakah persamaan dan perbedaan pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption Of Innocence) dalam KUHAP dengan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights ? 2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) daam KUHAP dengan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights ?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP dengan The International Covenant On Civil And Political Rights. b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP dengan The International Covenant On Civil And Political Rights.
2. Tujuan Subjektif a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Menambah,
memperluas,
mengembangkan
pengetahuan
dan
pengalaman Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang sangat berarti bagi penulis.
9
c. Memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum.
D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Merupakan salah satu sarana bagi Penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk sedikit memberi sumbangan pengetahuan dan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya. c. Untuk mendalami teori–teori yang telah Penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi penegak hukum maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.
10
E. Metode Penelitian Metode adalah pedoman cara seorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan–lingkungan yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 1986:6). Maka dalam penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001:13-14).
2.
Sifat Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran secara lengkap dan sistematis terhadap obyek yang diteliti. Suatu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun
11
teori-teori baru (Soerjono Soekanto,1986:10). Dalam penelitian ini penulis berusaha menggambarkan secara jelas dan lengkap tentang persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP dengan The Internasional Coveanant On Civil And Political Rights. 3.
Jenis Data Pengertian data secara umum, yaitu semua informasi mengenai variabel atau obyek yang diteliti. Lazimnya dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari buku pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat disebut data primer dan data yang diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder (Soerjono Soekanto, 1986:11). Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data dasar yang berupa data sekunder. Data sekunder mempunyai ruang lingkup yang sangat luas meliputi data atau informasi, penelaahan dokumen, hasil penelitian sebelumnya, dan bahan kepustakaan seperti buku-buku literatur, koran, majalah, dan arsip yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
4.
Sumber Data Sumber data yang digunakan berupa data sekunder, yang
berupa : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah :
12
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 4) The International Covenant On Civil And Political Rigts b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan hukum primer, seperti : 1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam penelitian ini. 2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. 3) Buku-buku penunjang lain. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini. 5.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan datanya adalah dengan kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti.
6.
Teknik Analisis Data
13
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986:250). Menurut Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Lexy J. Moleong, 2007:6). F. Sistematika Penulisan Hukum Agar Skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab ini Penulis membuat sistematika sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
14
Dalam bab ini Penulis menguraikan tentang teori-teori yang melandasi penelitian hukum. Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan umum tentang Hukum Acara Pidana, tinjauan umum tentang Perbandingan Hukum, tinjauan umum tentang Asas Praduga Tidak Bersalah, dan tinjauan umum tentang The Political Covenant On Civil And Political Rights ? BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan
yaitu
tentang
perbandingan
antara
hukum
pengaturan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam KUHAP dengan the internasional covenant on civil and political rights. Sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaan juga kelebihan dan kelemahan dari masingmasing sistem tersebut. BAB IV
: PENUTUP Bab ini akan berisi mengenai simpulan dan saran terkait dengan pembahasan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Pidana a. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana merupakan peraturan yang melaksanakan hukum pidana. Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berdasar pada peraturan yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP),
yang
berlaku
sejak
diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dengan terciptanya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maka pertama kali di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam artian meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herziening) (Andi Hamzah, 2002:3). Hukum acara pidana (hukum pidana formal) adalah hukum yang menyelenggarakan hukum pidana materiil yaitu merupakan sistem kaidah atau norma yang diberlakukan oleh negara untuk melaksanakan hukum pidana atau menjatuhkan pidana. Seperti rumusan Wirdjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung yang dikutip oleh Andi Hamzah. merumuskan bahwa hukum acara pidana adalah: Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus
15
16
bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana (Andi Hamzah, 2002:7) Yahya Harahap berpendapat bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berisi ketentuan mengenai proses penyelesaian perkara pidana sekaligus menjamin hak asasi tersangka atau terdakwa. KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berisi ketentuan tata tertib proses penyelesaian penanganan kasus tindak pidana, sekaligus telah memberi “legalisasi hak asasi” kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di depan pemeriksaan aparat penegak hukum. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka dari tindakan sewenang-wenang. KUHAP telah mencoba menggariskan tata tertib hukum yang antara lain akan melepaskan tersangka atau terdakwa maupun keluarganya dari kesengsaraan putus asa di belantara penegakan hukum yang tak bertepi,
karena
sesuai
dengan
jiwa
dan
semangat
yang
diamanatkannya, tersangka atau terdakwa harus diberlakukan berdasar nilai-nilai yang manusiawi (M. Yahya Harahap, 2002:4). Definisi mengenai hukum acara pidana lainnya adalah seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah (2002:6), adalah sebagai berikut: Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya terjadi pelanggaranpelanggaran undang-undang pidana : 1.
Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran,
2.
Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu,
3.
Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya,
4.
Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah dipeoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan
17
kepada hakim
dan membawa terdakwa ke depan hakim
tersebut, 5.
Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib,
6.
Upaya hukum untuk melawan putusan tersebut,
7.
Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. Definisi-definisi tersebut di atas dikemukakan oleh para
ahli hukum, Hal ini dikarenakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri tidak memberikan definisi hukum acara pidana secara implisit.
b.
Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana 1) Tujuan Hukum Acara Pidana Pemahaman mengenai tujuan KUHAP dapat dilihat dalam konsideran huruf c KUHAP yang berbunyi: “Bahwa pembangunan hukum nasional yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing, ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila”. Dari bunyi konsideran tersebut dapat dirumuskan beberapa landasan tujuan KUHAP, yaitu ; 1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat, yang lebih dititikberatkan kepada peningkatan penghayatan akan hak
18
dan kewajiban hukum. Yaitu menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang kepadanya, serta apa pula kewajiban yang dibebankan hukum kepadanya. 2. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum, hal ini sudah barang tentu termuat di dalam KUHAP menurut caracara pelaksanaan yang baik, yang menyangkut pembinaan keterampilan, pelayanan, kejujuran dan kewibawaan. 3. Tegaknya hukum dan keadilan, hal tersebut hanya dapat tercipta apabila segala aturan hukum yang ada serta keadilan harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 serta didasarkan atas nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. 4. Melindungi harkat dan matabat manusia, hal ini tidak dapat dilepaskan dari suatu kenyataan bahwa semua manusia ciptaan Tuhan dan semua akan kembali kepada-Nya. Tidak ada kelebihan dan kemuliaan antara yang satu dengan yang lain, semua mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan sesuai dengan hak-hak asasi yang melekat pada diri tiap manusia. Manusia sebagai hamba Tuhan, juga sebagai manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain harus ditempatkan pada keluhuran harkat martabatnya. Sebagai mahluk Tuhan, setiap manusia memiliki hak dan kodrat kemanusiaan yang menopang harkat dan martabat pribadinya, yang harus dihormati oleh orang lain. 5. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum, arti dan tujuan kehidupan masyarakat adalah mencari dan mewujudkan ketenteraman dan ketertiban yaitu kehidupan bersama antara anggota masyarakat yang dituntut dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu lintas tata pergaulan masyarakat yang bersangkutuan bisa berjalan dengan tertib dan lancar. Tujuan tersebut hanya dapat diwujudkan dengan
19
jalan menegakkan ketertiban dan kepastian hukum dalam setiap aspek kehidupan sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai hukum yang telah mereka sepakati (M. Yahya Harahap, 2002:58-79). Tujuan dari hukum acara pidana telah dirumuskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, yang bunyinya adalah sebagai berikut: Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau
setidak-tidaknya
mendekati
kebenaran
material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Andi Hamzah, 2002:8). Masih menurut Andi Hamzah, bahwa tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhirnya ialah mencari suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi Hamzah, 2002:9) 2) Fungsi Hukum Acara Pidana Fungsi hukum acara pidana berawal dari tugas mencari dan menemukan kebenaran hukum. Hakekat mencari kebenaran hukum, sebagai tugas awal hukum acara pidana tersebut menjadi landasan dari tugas berikutnya dalam memberikan suatu putusan hakim dan melaksanakan tugas putusan hakim. Menurut Bambang Poernomo (1988:18) bahwa tugas dan fungsi pokok
20
hukum acara pidana dalam pertumbuhannya meliputi empat tugas pokok, yaitu : 1. Mencari dan menemukan kebenaran, 2. Mengadakan tindakan penuntutan secara benar dan tepat, 3. Memberikan suatu keputusan hakim, 4. Melaksanakan (eksekusi) putusan hakim. Menurut Van Bemmelen, seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah (2002:9), mengenai fungsi hukum acara pidana, mengemukakan terdapat tiga fungsi hukum acara pidana yaitu : 1. Mencari dan menemukan kebenaran, 2. Pemberian keputusan hakim, 3. Pelaksanaan putusan. c. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, diatur dalam Penjelasan KUHAP butir ke-3 adalah sebagai berikut : a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan (asas persamaan di muka hukum); b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang (asas perintah tertulis); c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (asas praduga tidak bersalah); d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena
21
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (asas pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan dan salah tuntut); e. Pengadilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak); f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan
kepentingan
pembelaan
atas
dirinya
(asas
memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya); g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan atas dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum (asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan); h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (asas hadirnya terdakwa); i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang (asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum); j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan (asas pelaksanaan pengawasan putusan);
22
k. Tersangka diberi kebebasan memberi dan mendapatkan penasehat hukum, menunjukkan bahwa KUHAP telah dianut asas akusator, yaitu tersangka dalam pemeriksaan dipandang sebagai subjek berhadap-hadapan dengan lain pihak yang memeriksa atau mendakwa yaitu kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga kedua pihak mempunyai hak-hak yang sama nilainya (asas accusatoir) (M.Yahya Harahap, 2002:40). Sedangkan menurut Andi Hamzah (2002:10-22) bahwa asas-asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut: a. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, b. Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence). Sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka setiap orang tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah, c. Asas oportunitas Penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, d. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum Terdapat pengecualian, yaitu mengenai delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum (openbare orde), e. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang, f. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan tersebut diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara, g. Asas tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum, h. Asas akusator dan inkisitor (accusatoir dan inquisitoir)
23
Kebebasan
memberi
dan
mendapatkan
nasehat
hukum
menunjukkan bahwa dengan KUHP telah dianut asas akusator. i. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Dari asas-asas hukum acara pidana yang dikemukakan oleh kedua penulis diatas, pada dasarnya banyak kesamaannya, yaitu antara lain: asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, asas akusator, asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, asas praduga tidak bersalah, asas mendapatkan bantuan hukum, dan asas perlakuan sama di depan hakim. 2. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan: comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih bahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. (Romli Atmasasmita, 2000 : 6) Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata. Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal.
24
Rudolf B.Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7) Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7). Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 di terjemahkan dalam buku Romli Atmasasmita, 2000 : 7) Perbandingan
hukum
adalah
metoda
umum
dari
suatu
perbandingan dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum. Para pakar hukum ini adalah : Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David, dan George Winterton. (Romli Atmasasmita, 2000 : 8). Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan) mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. (Romli Atmasasmita, 2000 : 9) Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup : “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut
25
sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang ilmu hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 9) Hesel Yutena mengemukakan definisi perbandingan hukum sebagai berikut: Comparative law is simply another name for legal science, or like other branches of science it has a universal humanistic outlook ; it contemplates that while the technique nay vary, the problems of justice are basically the same in time and space throughout the world. (Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia). (Romli Atmasasmita, 2000 : 9) Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai berikut : Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and differences and finding out relationship between various legal sistems, their essence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and typing to determine solutions to certain problems in these sistems with a definite goal in mind, such as law reform, unification etc. (Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai sistem-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan
hukum,
unifikasi
hukum
dan
lain-lain).
(Romli
perbandingan
hukum
Atmasasmita, 2000 : 10) Definisi
lain
mengenai
kedudukan
dikemukakan oleh Zweigert dan Kort yaitu : Comparative law is the comparison of the spirit and style of different legal sistem or of
26
comparable legal institutions of the solution of comparable legal problems in different sistem. (Perbandingan hukum adalah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda). (Romli Atmasasmita, 2000 : 10) Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua
atau
lebih
sistem
hukum
dengan
mempergunakan
metoda
perbandingan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 12) 3. Tinjauan Umum Tentang Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik – liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke-19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Yang dimaksud dengan asas praduga tidak bersalah adalah asas yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka atau disidik, ditangkap, ditahan, dituntut dan diperiksa di sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah kecuali berdasarkan putusan hakim dengan bukti sah dan meyakinkan yang menyatakan kesalahannya dan putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap. Asas ini merupakan prinsip yang penting dalam hukum acara pidana. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari pengakuan terhadap asas legalitas. Prinsip ini mengandung kepercayaan terhadap seseorang dalam negara hukum dan merupakan pencelaan atau penolakan terhadap kekuasaan yang sewenang-
27
wenang dalam suatu negara yang menganut paham bahwa setiap orang itu dipandang salah sehingga terbukti bahwa ia tidak bersalah. (Ramelan, 2006:9) Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator”. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkatan pemeriksaan. a). Adalah subyek, bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. b). Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa kearah itulah pemeriksaan ditujukan. (M.Yahya Harahap, 2002:40). Dengan asas praduga tidak bersalah yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi pedoman aparat penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus
menjauhkan
diri
dari
cara-cara
pemeriksaan
inkuisitor
yang
menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Prinsip akuisator inilah yang dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR. HIR sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenaranya. Sebab sejak semula aparat penegak hukum : a). Sudah apriori mengganggap tersangka atau terdakwa bersalah. Seolaholah si tersangka sudah divonis sejak saat pertama dia diperiksa di hadapan pejabat penyidik. b). Tersangka/terdakwa
dianggap
dan
dijadikan
sebagai
obyek
pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabat serta kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam praktek penegakan hukum, seseorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dalam penjara. (M Yahya Harahap,1993:39).
28
4. Tinjauan Umum Tentang The Political Covenant On Civil And Political Rights Secara prinsip hak asasi manusia adalah upaya bagi semua manusia untuk memperlakukan semua orang sesuai martabatnya. Perlakuan sesuai martabat ini yang kemudian mendorong dihindarinya sikap diskriminatif. Sikap yang membeda-bedakan semua orang berdasar jenis kelamin, kelas sosial, agama dan etnis. Dorongan untuk mematuhi dan menjalankan HAM ini seringkali terbentur oleh kebijakan diskriminatif. Diantaranya adalah kebijakan politik yang memperlakukan satu negara dengan negara lain lewat kriteria ekonomi. Salah satu kovenan yang sangat penting dan seringkali dilanggar adalah hak sipil dan politik. Hak yang memberikan jaminan sekaligus perlindungan bagi sikap politik maupun dalam cara berorganisasi. Hak ini malahan memberikan perlindungan agar setiap orang dijauhkan dari sasaran penyiksaan. Timbulnya hak sipil dan politik ini sebagian didasari oleh keinginan untuk terhindar dari kekuasaan diktator. Suatu kekuasaan yang menutup iklim demokrasi. Jenis kekuasaan yang enggan untuk berbagi dan bertanggung jawab terhadap publik. Dalam kovenan sipil dan politik memang banyak sekali pengaturan yang di satu sisi kebebasan sekaligus pembatasan pada kuasa negara. Kovenan ini dalam penyusunanya memang menghadapi banyak persoalan. Terutama sekali bagaimana untuk mengatasi kepentingan diantara beberapa negara yang berbeda. Di satu pihak gagasan mengenai hak asasi manusia meliputi semua hak yang melekat dalam setiap individu dan tidak menerima persyaratan apapun. Sedang di pihak lain ada banyak negara yang sulit untuk menerima pemberlakuan ini secara mutlak, apalagi jika tanpa prasyarat apapun. Kiranya persoalan pilihan ini juga membayangi di sejumlah negara yang akan meratifikasi kovenan ini. Termasuk diantaranya adalah Indonesia yang tampak masih kontroversial dalam memaknai pemberlakuan HAM ini. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi anak dari kovenan hak sipil dan politik, seperti kovenan anti
29
penyiksaan, kovenan anak dan kovenan perempuan tapi negara tampaknya enggan untuk secara maksimal memenuhi kebutuhan mereka. Masih banyak penyiksaan yang dilakukan semena-mena kemudian juga perdagangan anak dan perempuan yang tinggi dari segi jumlah. Jika diusut maka penyebabnya terlalu banyak. Ada persoalan politik dimana memang masih rendahnya kemauan politik pemerintah juga ada masalah ekonomi soal ketimpangan serta persoalan kultural tentang minimnya penghargaan atas hak asasi manusia. Walaupun demikian jaminan hukum atas Hak Asasi Manusia ini dimuat secara utuh dalam UU No 39 tahun 1999. Apa yang dirangkum dalam hak sipil dan politik tertuang dalam semua pasal di UU HAM ini. Keseluruh pasal secara utuh menyediakan perlindungan bagi kebebasan berorganisasi sekaligus perlindungan atas tindakan yang semena-mena. Ditinjau dari isi pasal memang UU HAM ini jauh lebih maju dan progresif akan tetapi benturan yang paling menghadang adalah sikap maupun kebijakan pemerintah. Upaya pemerintah untuk memaksimalisasi pendapatan dan membentuk jaringan kerja sama dengan sektor swasta telah menindih banyak kepentingan rakyat.
30
2. Kerangka Pemikiran
KUHAP
JAMINAN PERLINDUNGAN HAM
Pengaturan Asas Praduga Tidak
Pengaturan Asas Praduga Tidak
Bersalah (Presumption Of Innonce)
Bersalah (Presumption Of Innonce)
Dalam KUHAP
dalam The International Covenant On Civil And Political Rights
Perbandingan Hukum
Persamaan dan Perbedaan
Kelebihan dan Kelemahan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
31
PENJELASAN Hukum Acara Pidana yang digunakan sebagai dasar untuk beracara adalah KUHAP. KUHAP lebih menitik beratkan pada Hak Asasi Manusia (HAM), salah satu asas yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa adalah asas Praduga Tidak Bersalah, dimana asas tersebut bisa dijumpai diberbagai hukum acara pidana di dunia, baik itu yang menganut sistem hukum civil law maupun sistem hukum common law. Dalam Konvensi The International Covenant On Civil And Political Rights juga mengatur tentang asas praduga tidak bersalah. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan antara pengaturan dalam KUHAP dan dalam The International Covenant On Civil And Political Rights maka dapat dijelaskan pada skema diatas.
32
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) dalam KUHAP dengan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights 1. Pengaturan
Asas
Praduga
Tidak
Bersalah
(Presumption
Of
Innocence) dalam KUHAP a. Latar Belakang Asas Praduga Tidak Bersalah dalam KUHAP Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Suatu negara hukum menurut Sri Soematri, harus memenuhi beberapa unsur, yaitu : 1. Pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, khusus mengenai butir 2, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara). Hal ini juga terdapat dalam undangundang dasar 1945, melallui beberapa pasal-pasalnya yang mengatur mengenai HAM. Pasal 27 ayat (1) diimplimentasikan dalam proses peradilan pidana sebagai Asas Praduga Tidak Bersalah Presumption Of Innocence) yang diatur dalam pasal 28 UU No. 14 Tahun 1970 Jo pasal
32
33
19 UU No. 48 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yakni bahwa : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut di persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya dinyatakan dalam putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap”. Selanjutnya, sebagaimana telah diutarakan dalam proses peradilan pidana, Asas Praduga Tidak Bersalah telah dimuat dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Asas tersebut dimuat pula dalam Undang-undang HAM yaitu UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 18 yang perumusanya yaitu: “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahanya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” Apabila dibandingkan, perumusanya lebih sempit dari perumusan dalam pasal 8 UU No. 14/1970. Mengenai isi kedua pasal tersebut dari kata setiap orang dan seterusnya ... dapat disimpulkan bahwa penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah seharusnya berlaku tanpa diskriminasi, artinya tidak ada kecuali dan tidak ada perbedaan sesuai dengan asas persamaan kedudukan di dalam hukum berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Asas Hukum Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence), sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik– liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke-19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem
34
adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tidak bersalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process tersbut. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau, kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Namun di dalam praktik, pengertian dan tujuan Asas Praduga Tidak Bersalah tersebut sering diartikan secara rancu. Beberapa pihak mengartikan bahwa seseorang tidak dapat dijadikan tersangka, tidak dapat ditangkap, ditahan dan seterusnya, karena bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Tujuannya hanya untuk melindungi seseorang dari proses pemeriksaan dari penegak hukum, yaitu kepolisian atau Kejaksaan. Sebagai contoh, terhadap tindak pidana khusus yang tergolong white collar crime (WCC); menurut E.H. Sutherland: white collar crime as a violation of criminal law by the person of the upper socio-economic class in the course of this occupational activities. (pelanggaran terhadap hukum pidana oleh seseorang bergolongan ekonomi
sosial
tinggi
yang
berkaitan
dengan
aktivitas
pekerjaannya). Pengaturan dan penegakan HAM di dalam negara hukum mutlak diperlukan khususnya di Indonesia. Selain itu, menurut Soerjono Soekanto perlu pula ditingkatkan kesadaran hukum dalam
masyarakat,
sehingga
masing-masing
anggotanya
menghayati hak dan kewajiabannya, serta secara tak langsung meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
35
Salah satu implementasi HAM bagaimana diatur UUD 1945 antara lain terdapat dalam Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Didalam UU tersebut diatur mengenai proses peradilan pidana sejak dari penyidikan, penuntunan
dan
persidangan.
Pada
hakikatnya
upaya
mengimplementasikan HAM di dalam undang-undang tersebut adalah berusaha menempatkan keadilan dan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi sesuai dengan martabat bangsa yang merdeka, untuk itu harus dijamin pelaksanaannya. Dalam kaitan itu, Bagir Manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, pengaturan perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai
dengan
tujuannya.
Penegakan
hukum
merupakan
dinamikator peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan utama bukan pada sitem hukum dan produk-produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Sehubungan dengan hal tersebut, selama diberlakukan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang melakukan aturan dalam proses peradilan pidana atau proses penegakan hukum pidana, ternyata masih banyak terjadi kekurangan-kekurangan, Undang-undang
tersebut
dirasakan
belum
dapat
mengakomodasikan harapan para pencari keadilan, terutama mengenai penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah. Pengaturan tentang ini telah diterapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
36
Manusia tanggal 10 Desember 1948 dan juga dalam konvensi internasional, perjanjian internasional tentang hak sipil dan hak politik (New York 1966). Walaupun demikian menurut Keijzer: “praduga tidak bersalah bukanlah semata-mata hasil dari instrument internasional tersebut, tetapi sejarahnya sudah lebih tua”. b. Tujuan Asas Praduga Tidak Bersalah Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of Innocence) merupakan asas utama perlindungan hak warga negara dalam proses hukum yang adil (due process of law), yang mencakup sekurang-kurangnya: 1) Perlindungan terhadap tindakan kesewenang-wenangan dari pejabat negara; 2) Hanya pengadilan yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa; 3) Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia); dan 4) Bahwa tersangka/terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya. Asas Praduga Tak Bersalah yang diterapkan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebelum ada bukti yang kuat yang menyatakan ia bersalah, maka ia dinyatakan belum bersalah karena masih dalam proses pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan. Tujuan dari proses pemeriksaan di pengadilan adalah untuk melindungi orang yang tidak bersalah dari vonis atau putusan secara tidak adil. Dalam hal ini, peran pengacara sangat penting untuk penerapan asas presumption of innocence. Selain itu, tujuannya adalah agar hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang bersalah tetap adil dan bermanfaat. Asas Praduga Tidak Bersalah melindungi
hak
asasi
ini lebih menjamin dan
tersangka/terdakwa,
bahwa
hanya
37
tersangka/terdakwa dengan alat bukti yang cukup saja yang akan diperiksa atau didakwa di pengadilan, sedangkan mereka yang tidak cukup alasan (alat bukti) tidak dapat didakwa di pengadilan. Dengan adanya asas ini, diharapkan putusan bebas dengan alasan tidak cukup bukti dapat dihindarkan, karena hanya membuang waktu dan biaya saja. Dengan demikian, hak asasi seseorang yang tidak bersalah dapat terlindungi, apabila terdapat rekayasa, fitnah, atau terdapat kelalaian petugas, seseorang itu tidak sedernikian menderita lahir bathin. c. Perwujudan Asas Praduga Tidak Bersalah Untuk menopang asas praduga tidak bersalah dan prinsip akusator dalam penegakan hukum, KUHAP telah memberi perisai kepada
tersangka/terdakwa
berupa
seperangkat
hak-hak
kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/terdakwa sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang digariskan oleh KUHAP seperti yang terlihat dalam bab IV: 1) Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1). 2) Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat 2 dan 3). 3) Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 1). 4) Berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya (Pasal 51 ayat2). Tujuan kedua hak ini, untuk memberi
38
kesempatan kepadanya mempersiapkan pembelaan, berhak memberikan keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 52). 5) Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/ terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo, Pasal 177 ayat 1). 6) Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap pemeriksaan (Pasal 54). 7) Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55). Bahkan mengenai bantuan penasihat hukum bukan semata-mata hak yang ada pada tersangka/terdakwa, akan tetapi dalam hal seperti yang ditentukan pada Pasal 56, guna memenuhi hak mendapat bantuan penasihat hukum, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa apabila ia tidak mampu menyediakan penasihat hukumnya. 8) Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia berada dalam tahanan (Pasal 58) atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59). 9) Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain, guna mendapatkan jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60). 10) Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hak itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa (Pasal 61).
39
11) Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasihat hukum maupun dari sanak keluarga.Untuk keperluan surat menyurat ini pejabat yang
bersangkutan
harus
menyediakan
peralatan
yang
diperlukan (Pasal 62 ayat 1). 12) Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh para aparat penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat-menyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2). 13) Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64). 14) Berhak untuk mengusahakn dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65). 15) Tersangka/ terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66). Penuntut umumlah yang dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa. Atau penyidiklah yang berkewajiban
bertugas
mengumpulkan
bukti-bukti
yang
diperlukan membuktikan kesalahan tersangka. 16) Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakuan penangkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah yang bertentangan dengan hukum (Pasal 68).
d. Regulasi Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Hukum Positif Indonesia Di Indonesia pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah tidak secara tegas diatur di dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, melainkan tersurat secara tegas dalam Pasal 8 UU No.4 Tahun2004 yang telah direvisi menjadi Pasal 19 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dapat ditafsirkan dalam Pasal 66 KUHAP. Pasal 66 KUHAP tidak dapat
40
ditafsiran sebagai penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah, karena pasal ini hanya mengandung pengertian bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa adalah Jaksa Penuntut Umum bukan terdakwa. Pasal ini tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam perlindungan HAM tersangka/terdakwa mulai tahap penyidikan sampai putusan. Disini makna Asas Praduga Tidak Bersalah tidak sesuai karena seolaholah Asas Praduga Tidak Bersalah hanya diberlakukan pada tingkat persidangan di pengadilan. Sebagaimana dimaklumi bahwa berdasarkan hasil penelitian makna Asas Praduga Tidak Bersalah harus dimulai pada tahap adanya sangkaan sampai adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, termasuk juga dalam tahap penyidikan. Jadi di Indonesia harus mewujudkan penerapan
Asas
Praduga
Tidak
Bersalah
terhadap
tersangka/terdakwa secara tegas. 1) Dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP Penjelasan umum KUHAP butir 3c menyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada
putusan
pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya dan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dengan dicantumkannya asas praduga tidak bersalah dalam penjelasan KUHAP, dapat disimpulkan bahwa pembuat undang-undang telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP. Asas praduga tidak bersalah ditinjau dari segi
teknis
yuridis
ataupun
dari
segi
kedudukan
tersangka/terdakwa dalam setiap pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. Dengan
demikian
tersangka
atau
terdakwa
harus
didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang
41
mempunyai harkat martabat. Sedangkan yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan (M. Yahya Harahap, 1988, 39). Asas Praduga Tidak Bersalah mempertegas apa yang dicantumkan dalam pertimbangan UU No.8 Tahun 1981, yaitu: “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945....” dan “ bahwa pembangunan hukum nasional... di bidang hukum acara pidana adalah... untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum... ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia... 2) Dalam UU No. 4 tahun 2004 revisi menjadi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 UU No. 4 tahun 2004 yang direvisi menjadi UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada
putusan
pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya dan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap”. 3) Di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Ketentuan Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa : “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Konsekuensi logis dari asas praduga tidak bersalah ini, maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum
42
untuk
tidak
memberikan
keterangan
yang
akan
memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan (the right to remain silent).
2. Pengaturan
Asas
Praduga
Tidak
Bersalah
(Presumption
Of
Innocence) dalam The Internasional Covenant On Civil And Political Rights a. Latar Belakang The Internasional Covenant On Civil And Political Rights Pada
tanggal
10
Desember
1948
Mejelis
Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, termasuk cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik. Hal ini dapat dicapai salah satu dengan diciptakannya kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik yang diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional. The International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang merupakan produk perang dingin: Ia merupakan hasil dari kompromi politik yang keras antara kekuatan negara blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis. Saat itu situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional tentang hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori sosial, ekonomi dan budaya kedalam dua kovenan atau perjanjian internasional yang tadinya hanya diintegrasikan kedalam satu kovenan saja.
43
Saat ini Kovenan Internasianal tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) itu telah diratifikasi oleh 41 negara. Itu artinya tidak kurang dari 95%
negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah berjumlah 159 negara telah menjadi Negara Pihak (state parties)
dari kovenan tersebut.
Ditinjau dari segi ratifikasi maka dapat dikatakan kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan perjanjian internasional hak asasi manusia yang lainnya. Tidak salah apabila kemungkinan kovenan ini dimasukkan menjadi bagian dari International Bill Of Human Rights. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, untuk selanjutnya disebut Kovenan) menyebutkan bahwa setiap negara pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun. Setiap Negara pihak berjanji untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan, untuk menetapkan ketentuan
perundang-undangan
atau
kebijakan
lain
yang
diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan. Untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik, Kovenan mensyaratkan pembentukan Komite Hak Asasi Manusia yang terdiri dari warga Negara dari Negara pihak dalam Kovenan ini yang harus bermoral tinggi dan diakui keahliannya
di
bidang
hak-hak
asasi
manusia
dengan
mempertimbangkan manfaat dari keikutsertaan sejumlah orang yang berpengalaman di bidang hukum. Selanjutnya Kovenan menyebutkan bahwa Negara pihak harus mengakui kewenangan Komite HAM untuk menerima dan
44
membahas komunikasi yang berhubungan dengan tuntutan suatu Negara pihak yang menyatakan bahwa Negara pihak lainnya tidak memenuhi kewajibannya berdasar Kovenan. Dari uraian pasal ini tergambar bahwa hanya State (Negara) yang dapat mengadakan “komunikasi” dengan Komite HAM. Dengan demikian subjek hukum di luar Negara seperti individu tidak mempunyai hak untuk mengadukan setiap pelanggaran terhadap hak-hak yang diatur dalam Kovenan. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, maka pada tanggal 28 Oktober 2005 Indonesia meratifikasi (mengesahkan) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005. Adapun beberapa pertimbangan Indonesia meratifikasi Kovenan ini antara lain adalah bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Kovenan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sesuai dengan sifat Negara sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Ratifikasi (pengesahan) Kovenan merupakan momentum dan dorongan bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam
upaya
pengratifikasian
penegakan berarti
Hak
Indonesia
Asasi
Manusia.
mengikatkan
diri
Setelah pada
ketentuan-ketentuan internasional sebagaimana yang termaktub dalam Kovenan. Sebagai Konsekuensinya Indonesia harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan nasionalnya supaya sejalan dengan Kovenan. b. Tujuan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights Untuk mencapai tujuan dari Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan dalam rangka menerapkan ketentuan-ketentuan yang
45
terdapat dalam Kovenan, masyarakat internasional menganggap akan lebih tepat apabila Komite Hak Asasi Manusia juga menerima dan membahas komunikasi dari “individu” yang menyatakan dirinya menjadi korban pelanggaran hak-hak yang diatur dalam Kovenan, maka terbentuklah Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). c. Perwujudan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights The International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat refresif Negara, khususnya aparat refresif Negara yang menjadi anggota Negara-Negara Pihak ICCPR. Oleh karena itu hak-hak yang terhimpun didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran Negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervionis, tidak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur akan dilanggar oleh negaranya. Inilah yang membedakan dengan model legislasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang justru menuntut peran maksimal dari Negara. Negara justru telah melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila Negara tidak berperan
secara aktif atau menunjukkan peran yang minus.
ICESCR sering juga disebut sebagai hak positif (positive rights). Hak-hak negatif apa saja yang temuat dalam ICCPR? Dengan resiko terjatuh pada penyederhanaan, kita dapat membuat dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR, yaitu:
46
1) Hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Hak-hak yang termasuk kedalam jenis ini adalah: a) Hak atas hidup (rigts to life); b) Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); c) Hak bebas dari perbudakan (rights to be free slavery); d) Hak bebas dari
penahanan karena gagal memenuhi
perjanjian; e) Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; f) Hak sebagai subyek hukum; dan g) Hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama. Negara-Negara Pihak yang melalukan pelanggaran terhadap hakhak dalam jenis ini, sering kali akan mendapat kecaman sebagai Negara yang telah melakukan pelanggaran serius atas hak asasi manusia (gross violatin of human rights). 2) Hak dalam jenis derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk kedalam jenis ini adalah: a) Hak atas kebebasan berkumpul secara damai; b) Hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan c) Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau ekspresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan). Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpanan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetati penyimpanan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi:
47
1) Menjaga keamanan nasioal dan ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan 2) Menghormati hak dan kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn Higgins menyebutkan ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback” , yang memberikan sesuatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh Negara. Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang itetapkan olek kovenan ini”. Selain dihruskan juga menyampaikan aasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak ICCPR. Tanggungjawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam kovenan ini adalah dipundak Negara, khususnya Negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan: “NegaraNegara Pihak diwajibkan untukmenghormati dan menjamin hakhak yang diakui dalam kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya”. Apabila hak dan kewajiban yang terdapat dalam kovenan ini belum terjamin dalam yurisdiksi suatu Negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislative atau tintakan lainnya yang perlu, guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (pasal 2 ayat (2)). Tanggungjawab Negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Singkatnya, hak-hak yang termuat dalam ICCPR adalah berifat justiciable. Kewajiban Negara lainnya yang tidak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan pemilihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam
48
kovenan ini secara efektif. Sistem hukum suatu Negara diharuskan mempunyai perangkat yang efektif dalam menangani hak-hak korban tersebut. Penegasan mengenai hal ini tertuang dalam pasal 3, yang menyatakan sebagai berikut: 1) Menjamin bahwa setiap orang yang hak dan kebebasan sebagaimana yang diakui oleh kovenan ini dilanggar, akan mendapat pemulihan yang efektif, meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; 2) Menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemilihan demikian, haknya atas pemulihan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administrasi atau legislatif yang berwenang, atau lembaga lain yang berwenang, yang ditentukan oleh sistem
hukum
lembaga
negara
tersebut,
dan
untuk
mengembangan kemungkinanpemilihan yang bersifat hukum; 3) Menjamin bahwa lembaga yang berwenang akanmelaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan. Kovenan ini tidak mengandung sesuatu yang besifat “subversive” yang bakal menyulitkan Negara-negarayang menjadi pihak dalam kovenan tersebut. Termasuk ketentuan mengenai hak menentukan nasib sendiri (rights of self-determination) (pasal 1), dan ketentuan mengenai kewajiban Negara untuk mengizinkan kelompok minoritas (etnis,agama atau bahasa) “untuk menikmati kebudayaan mereka, menyatakan atau mempraktekkan agama mereka atau menggunakan bahasa mereka sendiri” dalam komunitasnya (pasal 27). Kovenan ini jelas tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk mensubversi integritas wilayah suatu Negara. d. Regulasi The Internasional Covenant On Civil And Political Rights The International Covenant On civil and Political Rights article 14 (2) berbunyi : “everyone charged with a criminal offense
49
shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law” (setiap orang yang yang didakwa melakukan tindak pidana dianggap tidak bersalah sampai dinyatakan beersalah menurut hukum). 3. Persamaan dan Perbedaan a. Persamaan Berdasarkan uraian diatas, tampak jelas bahwa asas hukum yang fundamental ini adalah Asas Praduga Tak Bersalah yang bersumber dan berakar dari sumber atau akar yang sama yaitu HAM yang bersifat universal serta mendapat pengaturan baik didalam perundang-undangan nasional maupun dalam dokumen internasional. Pengaturan suatu asas dalam hal ini Asas Praduga Tak Bersalah sebagai HAM, untuk menegakkan dan melindunginya sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, adalah diperlukan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 281 ayat (5) Perubahan (Amandemen) kedua UUD 1945 yang menyatakan: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. b. Perbedaan Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat, ”dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
50
B. Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) daam KUHAP dengan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights 1. Pengaturan
Asas
Praduga
Tidak
Bersalah
(Presumption
Of
Innocence) dalam KUHAP a. Kelebihan Hak seseorang tersangka/terdakwa bersalah
sampai
ada
putusan
untuk tidak dianggap
pengadilan
yang
menyatakan
sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah. Asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. b. Kelemahan . Meskipun demikian, khusus di Indonesia dalam praktik belum terdapat kesepakatan mengenai makna yang terkandung didalamnya, dan sering terjadi penyimpangan atau pelanggaran ditambah lagi dengan peraturan yang tidak jelas dan sering terjadi kerancuan bahkan berbenturan dengan adanya tindakan upaya paksa yang tidak seuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan. Konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tersebut mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip, ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan. Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama
51
menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.(Romli Atmasasmita, Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah http://www.legalitas.org). 2. Pengaturan
Asas
Praduga
Tidak
Bersalah
(Presumption
Of
Innocence) dalam The Internasional Covenant On Civil And Political Rights a. Kelebihan Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu: 1) hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan; 2) hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan; 3) hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda; 4) hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; 5) hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; 6) hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; 7) hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan; 8) hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya. Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan,
bahwa
selama
terhadap
seorang
tersangka/terdakwa
diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam
52
konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah. b. Kelemahan Konsep tersebut menganut paradigma individualistik perlindungan atas
hak
dan
kepentingan
pelaku
kejahatan
(offender-based
protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan yang bersangkutan (korban). Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tersebut di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.
53
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan apa yang diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut : 1. Persamaan antara pengaturan asas praduga tidak bersalah di dalam KUHAP dengan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights adalah bahwa asas praduga tidak bersalah bersumber dan berakar dari sumber atau akar yang sama yaitu HAM yang bersifat universal serta mendapat pengaturan baik didalam perundang-undangan nasional maupun dalam dokumen internasional. Pengaturan suatu asas dalam hal ini asas praduga
tidak
bersalah
sebagai
HAM,
untuk
menegakkan
dan
melindunginya sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa pengaturan asas praduga tidak bersalah menurut KUHAP, ukurannya adalah sampai dengan dinyatakanya seseorang bersalah berdasarkan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan
hukum
tetap
(inkracht).
Sedangkan
menurut
The
Internasional Covenant On Civil And Political Rights ukurannya adalah selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hakhak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. 2. Kelebihan dan kelemahan pengaturan asas praduga tidak bersalah di dalam KUHAP dibandingkan dengan The Internasional Covenant On Civil And Political Rights adalah Hak adalah : a. KUHAP : 1) Kelebihannya adalah seseorang tersangka/terdakwa untuk tidak dianggap
bersalah
sampai
ada
putusan
pengadilan
yang
menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi 53
54
materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). 2) Kelemahannya adalah bahwa pengaturan asas praduga tidak bersalah di dalam KUHAP adalah Konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tersebut mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip, ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan. b. The Internasional Covenant On Civil And Political Rights 1) Kelebihannya adalah bahwa untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak. 2) Kelemahannya adalah bahwa konsep tersebut menganut paradigma individualistik perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan
(offender-based
protection),
dan
mengabaikan
perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan yang bersangkutan (korban).
B. Saran-Saran 1. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana perlu dicantumkan secara tegas ketentuan asas praduga tidak bersalah agar menjadi pedoman yang kuat oleh penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. 2. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum harus senantiasa menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah agar hakhak tersangka/terdakwa dapat terlindungi dengan baik.
55
3. Penggunaan asas praduga tidak bersalah jangan sampai justru dipakai untuk kedok pelindung bagi pelaku kejahatan, khususnya kejahatan yang dianggap serius misalnya tindak pidana korupsi. 4. Perlu dilakukan rekonseptualisiasi terhadap makna asas praduga tidak bersalah agar juga dapat melindungi kepentingan korban kejahatan.
56
DAFTAR PUSTAKA Buku : Andi Hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sapta Arta Jaya. . 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. ___________.2002. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika. Bambang Poernomo. 1988. Orientasi Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi. Yogyakarta: Amarta Buku. HB Sutopo. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta : Pusat Penelitian Surakarta. _________. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian). Surakarta : Sebelas Maret University Press. Lembaga Bantuan Hukum. 1985. Hak-hak Anda Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana Tentang Pemeriksaan Pendahuluan (Pemeriksaan Oleh Polisi) dan Pra Peradilan Jilid I. Sala : Perc.Kendali. Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rodakarya. Loebby Loqman. 1984. Pra Peradilan di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta : Sinar Grafika. Mien Rukmini. 2003. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : PT. Alumni
57
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Undang-Undang Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Publikasi Internet Prof. Dr. SUHAIDI, SH,MH. 2008. Pokok-Pokok Protokol Optional I Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. www.google.com. (Diakses tanggal 10 Oktober 2009 pukul 20.15 WIB). Romli Atmasasmita, Perkembangan Asas Peaduga Tidak Bersalah, makalah diakses di http://www.legalitas.org.
LAMPIRAN
KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatangan, ratifikasi dan aksesi MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas harkat dan martabat serta hak-hak yang sama dan tak terpisahkan dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia. Mengakui, bahwa hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada setiap manusia. Mengakui, bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik dan juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Menimbang, bahwa berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa Negara-negara wajib untuk memajukan penghormatan universal dan pentaatan atas hak asasi dan kebebasan manusia. Menyadari, bahwa setiap manusia yang mempunyai kewajiban pada manusia lainnya dan terhadap masyarakat di mana ia menjadi bagian, bertanggung jawab untuk memajukan dan mematuhi hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.
Menyepakati, pasal-pasal berikut ini: BAGIAN I Pasal 1 1. Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. 2. Semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri. 3. Negara Pihak pada Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, harus memajukan perwujudan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan harus menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BAGIAN II Pasal 2 1. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asalusul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
2. Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lainnya yang ada, setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan - ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakuka hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. 3. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji : (a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; (b) Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan; (c) Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan.
Pasal 3 Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini.
Pasal 4 1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi2 kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. 2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini. 3. Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, mengenai ketentuan- ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasanalasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut.
Pasal 5 1. Tidak satupun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu Negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini. 2. Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hak-hak asasi manusia yang mendasar diakui atau yang ada di suatu Negara ysng menjadi pihak
dalam Kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih rendah sifatnya.
BAGIAN III Pasal 6 1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang. 2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang. 3. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus difahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida. 4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. 6. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.
Pasal 7 Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.
Pasal 8 1. Tidak seorang pun dapat diperbudak; perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya harus dilarang; 2. Tidak seorang pun dapat diperhambakan. 3. (a) Tidak seorang pun dapat diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib; (b) Ayat 3 (a) tidak boleh menghalangi pelaksanaan kerja paksa sebagai akibat hukuman yang dijatuhkan suatu pengadilan yang berwenang, di negara-negara di mana hukuman dengan kerja paksa dapat dijatuhkan sebagai hukuman terhadap kejahatan;
(c) Bagi keperluan ayat ini, pengertian "kerja paksa atau kerja wajib" tidak boleh mencakup: i)
Setiap pekerjaan atau jasa yang tidak disebutkan dalam sub ayat (b), yang biasanya diwajibkan pada orang yang ditahan atas perrintah yang sah dari pengadilan, atau pada orang yang tengah menjalani pembebasan bersyarat dari penahanan tersebut;
ii)
Setiap kewajiban kemiliteran dan, di negara-negara yang mangakui adanya keberatan atas dasar keyakinan seseorang, setiap kewajiban nasional yang ditetapkan berdasarkan hukum mengenai keyakinan tersebut;
iii) Setiap tugas yang dituntut untuk dilakukan dalam keadaan darurat atau bencana yang mengancam kehidupan atau kesejahteraan masyarakat; iv) Setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan bagian dari kewajibankewajiban umum warga negara.
Pasal 9 1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. 2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya. 3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam
jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. 4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum. 5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugoan yang harus dilaksanakan.
Pasal 10 1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. 2. Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana; 3. Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan. 4. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.
Pasal 11 Tidak
seorang
pun
dapat
dipenjara
semata-mata
atas
dasar
ketidakmampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian.
Pasal 12 1. Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut. 2. Setiap orang bebas untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri. 3. Hak-hak di atas tidak boleh dikenai pembatasan apapun kecuali pembatasan yang ditentukan oleh hukum guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari orang lain, dan yang sesuai dengan hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan ini. 4. Tidak seorang pun boleh secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri.
Pasal 13 Seorang asing yang secara sah berada dalam wilayah suatu negara Pihak dalam Kovenan ini, hanya dapat diusir dari wilayah tersebut sebagai akibat keputusan yang diambil berdasarkan hukum, dan kecuali ada alasan-alasan kuat mengenai keamanan nasional, harus diberikan kesempatan untuk mengajukan alasan untuk menolak pengusiran tersebut, dan berhak meminta agar kasusnya ditinjau kembali dan diwakili untuk tujuan ini oleh badan yang berwenang atau
orang atau orang-orang yang secara khusus ditunjuk oleh badan yang berwenang.
Pasal 14 1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. 2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. 3. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri;
c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; e) Untuk
memeriksa
atau
meminta
diperiksanya
saksi-saksi
yang
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya; f)
Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;
g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. 4. Dalam
kasus
orang
di
bawah
umur,
prosedur
yang
dipakai
harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. 5. Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. 6. Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman
sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. 7. Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.
Pasal 15 1. Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut. 2. Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pasal 16 Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di mana pun ia berada.
Pasal 17
1. Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. 2. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas.
Pasal 18 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. 2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. 4. Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Pasal 19 1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. 3. Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Pasal 20 1. Segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum 2. Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Pasal 21 Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, atau ketertiban
umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Pasal 22 1. Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya. 2. Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini. 3. Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan kepada Negara Pihak Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan hukum sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi jaminan-jaminan yang diberikan dalam Konvensi tersebut.
Pasal 23 1. Keluarga adalah kesatuan kelompok masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak dilindung oleh masyarakat dan Negara. 2. Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui. 3. Tidak ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah.
4. Negara Pihak dalam Kovenan ini harus mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin persamaan hak dan tanggung jawab pasangan suami istri tentang perkawinan, Dalam halnya berakhirnya perkawinan harus dibuat ketentuan yang diperlukan untuk melindungi anak-anak. Pasal 24 1. Setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran. 2. Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus memperoleh suatu nama. 3. Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan.
Pasal 25 Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk: a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih; c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum.
Pasal 26 Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain. Pasal 27 Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersamasama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.
BAGIAN IV Pasal 28 1. Harus dibentuk Komite Hak Asasi Manusia (dalam Kovenan ini selanjutnya akan disebut sebagai Komite). Komite harus terdiri dari delapan belas anggota dan bertugas melaksanakan fungsi-fungsi yang diatur di bawah ini. 2. Komite terdiri dari warga negara dari Negara Pihak dalam Kovenan ini yang harus bermoral tinggi dan diakui keahliannya di bidang hak-hak asasi manusia, dengan mempertimbangkan manfaat dari keikutsertaan sejumlah orang yang berpengalaman di bidang hukum. 3. Para anggota Komite harus dipilih dan bertugas dalam kapasitas pribadi mereka.
Pasal 29 1. Anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara rahasia dari daftar orang-orang yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 28, dan dicalonkan untuk tujuan itu oleh Negara Pihak dalam Kovenan ini. 2. Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini dapat mencalonkan tidak lebih dari dua orang. Orang-orang ini merupakan warga negara dari negara yang mencalonkan. 3. Seseorang dapat dicalonkan kembali. Pasal 30 1. Pemilihan pertama akan diselenggarakan paling lambat dari enam bulan setelah tanggal berlakunya Kovenan ini. 2. Sekurang-kurangnya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan Komite, selain dari pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan telah dinyatakan sesuai dengan Pasal 34, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengirimkan undangan tertulis kepada Negara-negara Pihak dalam Kovenan ini untuk menyampaikan calon mereka bagi Komite, dalam waktu tiga bulan. 3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan daftar nama semua orang yang dicalonkan berdasarkan abjad, dengan menyebutkan Negara Pihak yang mencalonkan mereka, dan menyampaikan daftar tersebut pada Negara-negara Pihak dalam Kovenan ini, tidak kurang dari satu bulan sebelum tanggal pemilihan. 4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang Negara-negara Pihak dalam Kovenan ini yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada persidangan tersebut, yang setidaknya dihadiri oleh dua pertiga Negara-Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan untuk mencapai kuorum, orang yang dipilih untuk menjadi anggota Komite haruslah calon-calon yang memperoleh suara
terbanyak dan merupakan mayoritas mutlak dari wakil-wakil Negara Pihak yang hadir dan memberikan suara. Pasal 31 1. Komite tidak boleh beranggotakan lebih dari satu warga negara dari Negara yang sama. 2. Dalam pemilihan Komite, harus dipertimbangkan pembagian geografis yang merata dalam keanggotannya dan perwakilan dari berbagai bentuk kebudayaan dan sistem-sistem hukum yang utama. Pasal 32 1. Anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Mereka dapat dipilih kembali apabila dicalonkan lagi. Namun demikian, masa jabatan untuk sembilan anggota-anggota yang segera setelah pemilihan pertama, nama-nama kesembilan anggota ini akan dipilih melalui undian oleh Ketua persidangan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30, ayat 4. 2. Pemilihan pada akhir masa jabatan akan diselenggarakan sesuai dengan ketentuan Pasal-pasal sebelumnya dalam bagian ini dari Kovenan ini.
Pasal 33 1. Apabila berdasarkan pendapat bulat dari para anggota seorang anggota Komite telah berhenti melaksanakan fungsi-fungsinya berdasarkan suatu sebab yang lain daripada
ketidakhadiran
yang
bersifat
sementara,
Ketua
Komite
akan
memberitahukannya pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan menyatakan bahwa jabatan anggota tersebut kosong. 2. Dalam hal seorang anggota Komite meninggal dunia atau mengundurkan diri, maka Ketua harus segera memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian harus menyatakan bahwa jabatan
tersebut kosong sejak tanggal meninggalnya atau pada tanggal pengunduran diri berlaku efektif.
Pasal 34 1. Apabila suatu kekosongan jabatan telah diyatakan sesuai dengan Pasal 33, dan apabila masa jabatan anggota yang digantikan tidak akan berakhir dalam jangka waktu enam bulan sejak dinyatakan kekosongan tersebut, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa harus memberitahukannya kepada setiap Negara pihak dalam Kovenan ini yang dalam jangka waktu dua bulan dapat menyampaikan calon sesuai dengan Pasal 29 untuk mengisi kekosongan tersebut. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan daftar menurut abjad
yang
memuat
nama
orang-orang
yang
dicalonkan
dan
akan
menyampaikannya kepada Negara Pihak dalam Kovenan ini. Pemilihan untuk mengisi kekosongan akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan terkait dalam bagian ini dari Kovenan ini. 3. Seorang anggota Komite yang telah dipilih untuk mengisi kekosongan yang telah dinyatakan sesuai dengan Pasal 33 akan menduduki jabatan itu selama sisa masa jabatan anggota yang telah mengosongkan kursi pada Komite sesuai dengan ketentuan dalam Pasal tersebut.
Pasal 35
Para anggota Komite, dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menerima honorarium dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang diputuskan oleh Majelis Umum, dengan mempertimbangkan pentingnya tanggung jawab Komite.
Pasal 36 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyediakan staf dan fasilitas yang dibutuhkan agar Komite dapat melaksanakan fungsinya secara efektif.
Pasal 37 1. Sekretaris
Jenderal
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
akan
menyelenggarakan
persidangan pertama Komite di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Setelah persidangan pertama, Komite akan mengadakan pertemuan pada waktuwaktu yang ditentukan dalam peraturan tata kerjanya. 3. Komite umumnya akan mengadakan pertemuan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Pasal 38 Setiap anggota Komite sebelum memulai tugasnya harus membuat pernyataan dalam Komite terbuka bahwa ia akan melaksanakan tugasnya tanpa memihak dan dengan seksama.
Pasal 39
1. Komite akan memilih pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun. Mereka dapat dipilih kembali. 2. Komite akan membuat peraturan tata kerjanya sendiri, akan tetapi peraturan itu harus menetapkan antara lain bahwa: a. Dua belas anggotanya merupakan kuorum; b. Keputusan-keputusan Komite harus dibuat berdasarkan suara terbanyak dari anggota yang hadir.
Pasal 40 1. Negara-negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menyampaikan laporan tentang langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dan mengenai perkembangan yang telah dicapai dalam pemenuhan hak-hak tersebut : a) Dalam waktu satu tahun sejak berlakunya Kovenan ini untuk Negara Pihak yang bersangkutan. b) Setelah itu, apabila diminta. 2. Semua laporan harus disampaikan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, yang akan meneruskannya pada Komite untuk dipertimbangkan. Laporan-laporan tersebut harus menyebutkan faktor-faktor dan kesulitankesulitan, apabila ada yang mempengaruhi penerapan Kovenan ini. 3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah berkonsultasi dengan Komite, dapat meneruskan kepada badan-badan khusus yang terkait, salinan dari bagian-bagian setiap laporan yang dianggap masuk dalam kewenangan badan khusus tersebut.
4. Komite akan mempelajari laporan-laporan yang disampaikan oleh Negara-negara Pihak dalam Kovenan ini. Komite akan meneruskan laporan-laporannya beserta komentar umum apabila dipandang perlu, kepada Negara-negara Pihak. Komite dapat juga menyampaikan komentar-komentar tersebut bersama dengan salinan laporan-laporan yang diterima Komite dari Negara Pihak Kovenan ini, kepada Dewan Ekonomi dan Sosial. 5. Negara Pihak dalam Kovenan ini dapat menyampaikan pengamatan terhadap komentar apapun yang dibuat sesuai dengan ayat 4 dari Pasal ini kepada Komite.
Pasal 41 1. Suatu Negara Pihak dalam Kovenan ini, sewaktu-waktu dapat menyatakan, berdasarkan pasal ini, bahwa ia mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas komunikasi yang berhubungan dengan tuntutan suatu Negara Pihak yang menyatakan bahwa Negara Pihak lainnya tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Kovenan ini. Komunikasi yang dimaksud dalam Pasal ini hanya dapat diterima dan dibahas apabila disampaikan oleh Negara Pihak yang telah menyatakan bahwa dirinya tunduk pada kewenangan Komite. Tidak satupun komunikasi akan diterima oleh Komite apabila hal tersebut berhubungan dengan Negara Pihak yang belum membuat perrnyataan. Komunikasi yang diterima berdasarkan Pasal ini akan ditangani sesuai dengan prosedur sebagai berikut; a) Apabila Negara Pihak dalam Kovenan ini beranggapan bahwa Negara Pihak lain tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan Kovenan ini, ia dapat secara tertulis meminta perhatian tentang hal ini kepada Negara pihak yang berkepentingan. Dalam waktu tiga bulan setelah menerima komunikasi, Negara yang menerima harus menyampaikan keterangan atau pernyataan tertulis lainnya kepada Negara Pengirim, yang menjelaskan masalah tersebut,
penjelasan mana harus mencakup, sepanjang dimungkinkan dan sesuai, rujukan prosedur domestik dan penyelesaian yang telah dan akan ditempuh, atau tersedia tentang masalah tersebut. b) Apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara memuaskan bagi kedua Negara Pihak dalam jangka waktu enam bulan setelah penerimaan oleh Negara yang menerima komunikasi awal, maka masing-masing Negara berhak untuk
mengajukan
masalah
itu
tersebut
kepada
Komite,
dengan
memberitahukan kepada Komite dan Negara Pihak lainnya. c) Komite hanya akan menangani masalah yang diajukan kepadanya setelah ia memastikan, bahwa semua penyelesaian domestik yang ada telah ditempuh dalam menangani masalah ini, sesuai dengan asas-asas hukum internasional yang diakui. Ketentuan ini tidak berlaku apabila pelaksanaan upaya penyelesaian telah diulur-ulur secara tidak wajar. d) Komite
akan
menyelenggarakan
sidang
tertutup
ketika
memeriksa
komunikasi-komunikasi berdasarkan Pasal ini. e) Dengan mengingat ketentuan pada sub ayat (c), Komite akan menyediakan jasa-jasa baiknya pada Negara Pihak yang bersangkutan, dengan maksud agar ada penyelesaian yang bersahabat tentang masalah ini, berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar sebagaimana diakui pada Kovenan ini. f) Dalam setiap masalah yang diajukan padanya, Komite dapat meminta Negara Pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), untuk memberikan keterangan yang relevan. g) Negara pihak yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), berhak untuk diwakili apabila masalahnya dibahas di Komite, dan untuk menyampaikan hal tersebut baik secara tertulis maupun lisan.
h) Dalam waktu dua belas bulan setelah tanggal diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub ayat (b), Komite harus menyampaikan laporan: I. Apabila penyelesaian telah dicapai sesuai dengan ketentuan dalam sub ayat (e), maka Komite harus membatasi laporannya menjadi suatu keterangan singkat tentang fakta-faktanya saja dan penyelesaian yang telah dicapai. II. Apabila suatu penyelesaian yang diatur dalam sub ayat (e) tidak tercapai, maka Komite harus membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta-fakta, hal-hal yang diajukan secara tertulis, dan catatan tentang hal-hal yang diajukan secara lisan oleh Negara Pihak yang besangkutan harus dilampirkan pada laporan tersebut. Dalam segala masalah, laporan harus dikomunikasikan kepada Negara-negara Pihak yang berkepentingan. 2. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh Negara Pihak dalam Kovenan ini telah membuat deklarasi berdasarkan ayat 1 dari Pasal ini. Pernyataan tersebut akan diserahkan oleh Negara Pihak untuk disimpan Sekretaris
Jenderal
Perserikatan
Bangsa-Bangsa,
yang
kemudian
akan
meneruskan salinannya kepada Negara Pihak lainnya. Pernyataan dapat ditarik setiap waktu dengan memberitahukan Sekretaris Jenderal. Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan terhadap masalah yang menjadi isu komunikasi yang telah disampaikan berdasarkan Pasal ini; suatu komunikasi lanjutan
dari
Negara
Pihak
tidak
dapat diterima
setelah
diterimanya
pemberitahuan penarikan pernyataan oleh Sekretaris Jenderal, kecuali apabila Negara Pihak yang bersangkutan telah membuat pernyataan baru.
Pasal 42 1. (a) Apabila suatu masalah yang telah diajukan kepada Komite sesuai dengan Pasal 41 tidak mencapai penyelesaian yang memuaskan Negara-negara Pihak
yang berkepentingan, Komite dengan persetujuan terlebih dahulu dari Negara-negara Pihak yang berkepentingan, dapat membentuk Komisi Konsiliasi ad hoc (selanjutnya disebut sebagai Komisi). Jasa-jasa baik Komisi akan disediakan bagi Negara-negara Pihak yang bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai penyelesaian secara damai dari masalah tersebut berdasarkan penghormatan terhadap Kovenan ini. (b) Komisi ini terdiri dari lima orang yang dapat diterima oleh Negara-Negara yang bersangkutan. Apabila Negara-Negara Pihak tersebut gagal untuk mencapai kesepakatan dalam waktu tiga bulan mengenai seluruh atau sebagian komposisi Komisi, para anggota Komisi yang gagal dipilih melalui kesepakatan, harus dipilih dari antara anggota Komite melalui pemungutan suara yang rahasia dengan dua pertiga mayoritas suara dari anggota Komite. 2. Para anggota Komisi akan menjalankan tugasnya dalam kapasitas pribadinya. Mereka tidak boleh merupakan warga negara dari Negara-Negara Pihak yang bersangkutan atau dari Negara yang bukan Pihak dalam Kovenan ini, atau Negara Pihak yang belum membuat pernyataan berdasarkan Pasal 41. 3. Komisi akan memilih Ketuanya sendiri dan menetapkan peraturan tata kerjanya sendiri. 4. Persidangan Komisi umumnya akan diadakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Namun, persidangan dapat diadakan di tempat-tempat lain yang dianggap baik/ mudah sebagaimana ditentukan oleh Komisi dengan berkonsultasi dengan Sekretaris Jenderal
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
dan
Negara-Negara
Pihak
yang
bersangkutan. 5. Sekretariat yang dibentuk berdasarkan Pasal 36 akan juga melayani para anggota Komisi yang dibentuk berdasarkan Pasal ini.
6. Keterangan yang diterima dan dikumpulkan oleh Komite harus tersedia bagi Komisi, dan Komisi dapat memanggil Negara-Negara Pihak yang bersangkutan untuk memberikan keterangan lain yang relevan. 7. Apabila Komisi telah sepenuhnya membahas masalah yang diajukan kepadanya, namun dalam hal apapun tidak lebih dari dua belas bulan setelah diserahi masalah, Komisi
harus
menyampaikan
laporan
kepada
Ketua
Komite
untuk
dikomunikasikan kepada Negara-Negara Pihak yang berkepentingan: a) Apabila Komisi tidak dapat menyelesaikan pembahasan atas masalah tersebut dalam waktu dua belas bulan, Komisi harus membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang status pembahasan masalah; b) Apabila dicapai penyelesaian yang baik terhadap masalah berdasarkan penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana diakui dalam Kovenan ini, Komisi akan membatasi laporannya pada pernyataan singkat mengenai faktafakta dan penyelesaian yang dicapai; c) Apabila tidak tercapai suatu penyelesaian sesuai dengan ketentuan sub ayat (b), laporan Komisi harus memuat temuannya mengenai semua masalah dari fakta yang
relevan
dengan
masalah
antara
Negara-Negara
Pihak
yang
berkepentingan, dan pandangannya terhadap kemungkinan penyelesaian yang baik atas masalah tersebut. Laporan ini juga harus memuat pembelaan tertulis dan catatan tentang pembelaan lisan yang dibuat oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan. d) Apabila laporan Komisi disampaikan berdasarkan sub ayat (c), Negara-negara Pihak yang bersangkutan dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya laporan akan memberitahukan kepada Ketua. 8. Ketentuan dari Pasal ini tidak mengurangi tanggung jawab apapun dari Komite berdasarkan Pasal 41.
9. Negara-Negara Pihak yang bersangkutan harus membagi rata seluruh biaya untuk anggota Komisi sesuai dengan perkiraan yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 10. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa diberi wewenang untuk membayar biaya anggota Komisi, apabila perlu, sebelum dilakukan pembayaran kembali oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan, sesuai dengan ayat 9 Pasal ini.
Pasal 43 Para anggota Komite dan komisi konsiliasi ad hoc yang dapat dibentuk berdasarkan Pasal 42, berhak atas fasilitas, keistimewaan dan kekebalan yang diberikan pada para ahli yang melakukan misi bagi Perserikatan BangsaBangsa, sebagaimana diatur dalam bagian-bagian yang relevan dari Konvensi tentang Keistimewaan dan Kekebalan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 44 Ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan Kovenan ini berlaku tanpa mengurangi prosedur di bidang hak asasi manusia sebagaimana ditetapkan oleh atau berdasarkan instrumen-instrumen pendirian dan konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Badan-Badan Khususnya, tidak dapat mencegah Negara Pihak dalam Kovenan ini untuk menggunakan prosedur penyelesaian sengketa lainnya, sesuai dengan perjanjian internasional yang umum atau khusus yang berlaku di antara mereka.
Pasal 45 Komite harus menyampaikan laporan tahunan tentang kegiatankegiatannya pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan Ekonomi dan Sosial.
BAGIAN V Pasal 46 Tidak satu pun ketentuan dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan-ketentuan yang ada dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi dari Badan Khusus, yang merumuskan tanggung jawab msing-masing organ Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan khusus, sehubungan dengan masalah-masalah yang ditangani dengan Kovenan ini.
Pasal 47 Tidak satu pun ketentuan dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat pada semua bangsa untuk menikmati dan memanfaatkan secara sepenuhnya dan sebebas-bebasnya kekayaan dan sumber daya alam mereka.
BAGIAN V Pasal 46 Tidak satu pun ketentuan dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan-ketentuan yang ada dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi dari Badan Khusus, yang merumuskan tanggung
jawab msing-masing organ Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan khusus, sehubungan dengan masalah-masalah yang ditangani dengan Kovenan ini. Pasal 47 Tidak satu pun ketentuan dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat pada semua bangsa untuk menikmati dan memanfaatkan secara sepenuhnya dan sebebas-bebasnya kekayaan dan sumber daya alam mereka.
BAGIAN VI Pasal 48 1. Kovenan ini terbuka untuk ditandatangani oleh Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau anggota dari Badan Khususnya, oleh setiap Negara Pihak pada Statuta Mahkamah Internasional, dan oleh Negara-negara lainnya yang telah diundang oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjadi Pihak dalam Kovenan ini. 2. Kovenan ini harus diratifikasi. Instrumen ratifikasi akan diserahkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan. 3. Kovenan ini terbuka untuk diakses oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dari Pasal ini. 4. Aksesi akan berlaku efektif dengan disimpannya instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa. 5. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memberitahukan kepada semua Negara yang telah menandatangani Kovenan ini, tentang penyimpanan instrumen ratifikasi dan aksesi.
Pasal 49 1. Kovenan ini mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal disimpannya instrumen ratifikasi atau aksesi yang ketiga puluh lima pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Untuk setiap Negara yang meratifikasi atau melakukan aksesi pada Kovenan ini setelah disimpannya instrumen ratifikasi atau aksesi yang ketiga puluh lima, Kovenan ini berlaku tiga bulan sejak tanggal disimpannya instrumen ratifikasi atau aksesinya sendiri. Pasal 50 Ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini akan berlaku bagi semua bagian dari Negara-negara federal tanpa ada pembatasan atau pengecualian.
Pasal 51 1. Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini dapat mengusulkan perubahan dan menyampaikannya pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekretaris Jenderal kemudian mengkomunikasikan usul perubahan apapun dari Negara Pihak dalam Kovenan ini, dengan permintaan untuk memberitahukan padanya apakah mereka setuju untuk diadakan konferensi Negara Pihak untuk pembahasan dan pemungutan suara atas usulan tersebut. Dalam hal sekurangkurangnya sepertiga dari Negara pihak menyetujui diadakannya konferensi di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perubahan yang ditetapkan oleh mayoritas Negara Pihak yang hadir dan pemungutan suara pada konferensi, akan disampaikan
pada
Majelis
mendapatkan persetujuan.
Umum
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
untuk
2. Perubahan-perubahan akan berlaku apabila setelah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diterima oleh dua pertiga mayoritas dari Negara Pihak Kovenan ini sesuai dengan prosedur konstitusi masing-masing. 3. Apabila perubahan-perubahan telah berlaku, maka perubahan-perubahan tersebut akan mengikat Negara Pihak yang telah menerimanya, sedang Negara Pihak lainnya masih tetap terikat pada ketentuan-ketentuan Kovenan ini dan perubahanperubahan sebelumnya yang telah mereka terima.
Pasal 52 Terlepas dari pemberitahuan yang dibuat berdasarkan Pasal 48 ayat 5, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib memberitahukan semua Negara yang dimaksud dalam ayat 1 dari Pasal yang sama, hal-hal sebagai berikut: a. Penandatanganan, ratifikasi dan aksesi berdasarkan Pasal 48; b. Tanggal mulai berlakunya Kovenan ini berdasarkan Pasal 49 dan tanggal berlakunya perubahan-perubahan berdasarkan Pasal 51.
Pasal 53 1. Kovenan ini, dalam bahasa Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol mempunyai kekuatan yang sama akan disimpan pada arsip Perserikatan BangsaBangsa. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib mengirimkan salinan resmi dari Kovenan ini pada semua Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal