Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
KEWENANGAN JAKSA DALAM MENENTUKAN UANG PENGGANTI PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN PIPA, ACCESSORIES DAN WATER METER DI KABUPATEN WONOGIRI MENGGUNAKAN STUDI HUKUM PROGRESIF Anas Rustamaji Email :
[email protected] Mahasiswa Pasca Sarjana S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Winarno Budyatmojo, Supanto Email :
[email protected] Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Abstract This research aimed to study and to analyze the authority of Public Prosecutor particularly in determining the reimbursement in Corruption Criminal Case concerning Pipe, Accessories and Water Meter Procurement case in Wonogiri Regency related to a study of progressive law. Regarding its type, this research was a normative or doctrinal law research referring to secondary and tertiary data source as supporting data. Technique of collecting data used was library study to collect and to organize data relevant to the problem studied. Data analysis was carried out using Statute Approach and Case Approach. The result of research and discussion showed that the attempt taken by the investigator attorney in Wonogiri District Attorney in dealing with the estimation of state’s loss itself in the corruption crime case of Pipe, Accessories and Water Meter Procurement was progressive measure in undertaking its duty and authority. It was because the progressive legal study was intended to human wellbeing and happiness and for that reason it always considered law as law in the making, sensitive to the change occurring in local, national and global society. Keywords: Corruption, Public Prosecutor, Reimbursement, Progressive Law Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganilisis kewenangan Jaksa dalam Penentuan Uang Pengganti Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi mengenai Kasus Pengadaan Pipa, Accessories dan Water Meter di Kabupaten Wonogiri dikaitkan dengan Studi Hukum Progresif. Berdasarkan jenisnya penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal yang mengacu pada sumber data sekunder dan tersier sebagai data pendukungnya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Analisis data yaitu dengan Statute Approach (Pendekatan Perundang-undangan) dan dengan menggunakan pendekatan kasus (Case Approach). Hasil penelitian dan pembahasan yaitu upaya yang dilakukan oleh jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri Wonogiri dalam menangani sendiri perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water meter di Kabupaten Wonogiri sudah melakukan langkah yang progresif didalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hal ini dikarenakan penegakan hukum progresif bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making), peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat baik lokal, nasional dan global. Kata Kunci: Korupsi, Jaksa, Uang Pengganti, Hukum Progresif
A. Pendahuluan Dalam penanganan perkara penyidikan Tindak Pidana Korupsi baik itu oleh penyidik Kepolisian, Kejaksaan maupun oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil terdapat suatu permasalahan yang sampai sekarang masih menjadi suatu keraguan
90
di kalangan penegak hukum maupun praktisi lainnya. Permasalahan tersebut adalah terkait perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh penyidik itu sendiri. Namun dalam hal ini penulis menfokuskan pada instansi penegak hukum Kejaksaan Republik Indonesia yang merupakan
Kewenangan Jaksa dalam Menentukan Uang Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ....
tempat penulis bekerja. Seperti yang kita ketahui, bahwa Kejaksaan RI mempunyai kewenangan penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi didasari oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hukum pidana materil dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, serta Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, yang pada intinya posisi jaksa mempunyai peran yang sangat penting dalam penyelesaian dan pemberantasan kasus tindak pidana korupsi, namun mengenai kewenangan dalam menentukan potensi kerugian negara tidak diatur secara jelas di dalam Undang-Undang tersebut. Permasalahan tersebut menimbulkan suatu pemahaman bahwa perhitungan kerugian negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga audit Negara atau pemerintah yakni Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP). Jika pemahaman sempit yang kemudian digunakan khususnya oleh penyidik, tentu nantinya akan berakibat pada lamanya waktu penyidikan yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil perhitungan potensi kerugian negara yang tertuang dalam Laporan Hasil Audit yang menjadi produk masing-masing lembaga audit tersebut (BPK dan BPKP). Mengingat realita yang ada di Indonesia, sebagai suatu contoh BPKP Perwakilan Propinsi Jawa Tengah yang menanungi 29 (dua puluh sembilan) Kabupaten dan 6 (enam) kota (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_ kabupaten_dan_kota_di_Jawa_Tengah). Hal ini berarti terdapat 36 (tiga puluh enam) Kejaksaan Negeri dan 1 (satu) Kejaksaan Negeri Semarang Cabang di Pelabuhan Semarang (http://kt-jateng. kejaksaan.go.id) yang perhitungan kerugian negaranya bertumpu pada hasil perhitungan BPKP Perwakilan Jawa Tengah. Melihat realita tersebut, BPKP Perwakilan Propinsi Jawa Tengah dengan personil terbatas menangani audit dalam perkara korupsi seluruh Kabupaten atau Kota di Jawa Tengah tentunya menemui kendala khususnya mengenai waktu. Sehingga tidak heran apabila waktu yang dibutuhkan untuk penyidik mendapatkan perhitungan potensi
kerugian negara dengan bantuan BPKP tersebut bisa memakan waktu hingga 3 bulan lamanya atau lebih. Tentu hal ini bertentangan dengan asas hukum pidana yang mengatakan bahwa penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan. Penanganan kasus–kasus korupsi disetiap negara berbeda-beda salah satunya adalah dengan meningkatkan ancaman hukuman bagi para pelaku korupsi. Peningkatan ancaman hukuman terhadap para pelaku tindak pidana korupsi menurut G Peter Hoinagels dapat dilakukan dengan : 1. Penerapan hukum pidana (criminal law application) 2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) 3. Mempengaruhi pandangan masya-rakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media crime and punishment through mass media) (Ismansyah, 2007: Hal. 44). Dalam penerapan ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi, pemerintah Indonesia memilih pendekatan hukum pidana sebagai salah satu instrumen dalam memerangi korupsi masih menjadi pilihan utama. Indikator ini dapat dilihat strategi pengenaan sanksi pidana yang semakin diperberat dalam setiap perubahan undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Hal ini mempunyai maksudnya bahwa dengan pendekatan hukum pidana yang semakin diperberat, diharapkan para pelaku tindak pidana korupsi menjadi jera. Berkaitan dengan pendekatan hukum pidana sebagai instrumen untuk memerangi perkara korupsi maka penulis pada kesempatan ini ingin membahas suatu perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direktur Utama Drs. SUMADI, MM. yang dalam perkembangannya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht). Perkara Korupsi tersebut pada intinya adalah mengenai penyalahgunaan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja. Dan korupsi ini terjadi dalam tubuh organisasi yaitu berupa penggelapan uang (Robert Klitgaard,dkk, 2002: Hal.3). Perkara ini menurut penulis menarik dikarenakan Jaksa yang menangani perkara tersebut melakukan sendiri perhitungan kerugian Negara. Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (Kajati Jateng), Babul Khair Harahap, bahwa agar jaksa berani menghitung sendiri kerugian negara khususnya untuk kasus dengan kerugian negara yang
91
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
kasat mata (http://majalahprosekutor.com/index. php?option=com_content&view=article&id=157 :kajati-jateng-jaksa-bisa-menghitung-kerugiannegara&catid=4:lintas-kejari&Itemid=6). Perhitungan kerugian negara adalah suatu hal yang sangat penting didalam pembuktian tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan kerugian negara nantinya menjadi dasar dalam hakim menetapkan besaran uang pengganti yang nantinya dibebankan kepada terpidana nantinya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan menganalisa penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ada di PDAM Giri Tirta Sari Kabupaten Wonogiri pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 oleh Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Wonogiri. B. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian hukum normatif, yakni suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri (Johnny Ibrahim, 2006: Hal.57). Bahwa penelitian hukum yang di lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (Soerjono Soekanto,2001: Hal.13-14). Penelitian ini bersifat deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto,2001: Hal.10). Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian hukum doktrinal/normatif. Sedangkan jika dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif dan menurut bentuknya penelitian ini merupakan penelitian diagnostik yakni penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala (Setiono,2005: Hal.5). Jenis data yang dipergunakan berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas. Sehubungan dengan jenis penelitian normatif, untuk memperoleh data yang mendukung dilakukan dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi
92
kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang diperoleh bersifat kualitatif, analisisnya adalah mengenai data kualitatif dengan statute approach (pendekatan perundang-undangan). Dalam hal ini suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Selain itu untuk mendapatkan analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum yang normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan lebih akurat bila dibantu dengan pendekatan kasus (case approach) ( Johnny Ibrahim, 2006 : Hal. 305). C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penegakan hukum sangat berkaitan dengan tipe-tipe hukum yang berlaku. Dalam membahas mengenai studi hukum progresif sebagai permulaan penulis akan membahas mengenai hukum responsif yang berkaitan juga dengan hukum progresif. Hal ini dikarenakan kewenangan jaksa dalam melakukan perhitungan kerugian negara untuk menentukan uang pengganti pada perkara tindak pidana korupsi merupakan perwujudan dari hukum responsif menonjolkan adanya pergeseran penekanan dari yang semula menekankan pada aturan-aturan menuju ke pada tujuan, dan pentingnya memperhatikan aspek kerakyatan baik sebagai tujuan maupun cara pencapaian tujuan. Dalam hukum responsif terlihat sangat concern terhadap faktor-faktor sosial untuk mehjadi dasar, pelaksanaan dan pencapaian tujuan hukum. Sehingga merujuk pada pendapatnya Nonet dan hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum represif dimana hukum sebagai pelayan kekuasaan represif, hukum otonom dimana hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya, dan hukum responsif sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Tipe pertama adalah hukum represif, tipe ini memandang keberadaan hukum semata tidak akan menjamin tegaknya keadilan, apalagi keadilan substansif, sebaliknya setiap tertib hukum memiliki potensi represif hingga batas tertentu terikat pada status quo dan dengan memberikan jubah otoritas kepada penguasa menjamin kekuasaan menjadi semakin efektif (Philippe Nonet dan Philip Selznick , 2008 : Hal.33). Tipe kedua, yaitu hukum otonom jelas
Kewenangan Jaksa dalam Menentukan Uang Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ....
lebih baik daripada tipe pertama karena ia mampu menjinakkan sifat represif dari kekuasaan itu demi melindungi integritas hukum itu sendiri. Tipe hukum otonom sudah memiliki legitimasi sebagai hukum. Legitimasi ini didasarkan pada gagasan bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki keabsahan secara hukum apabila penggunaan kekuasaan diawasi menurut prinsip prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi peradilan yang bebas. Dalam fase/tipe ini lahir suatu keinginan untuk menciptakan pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law) bukan berdasarkan orang. Hukum otonom menunjukan karakter sebagai berikut: 1) Hukum terpisah dari politik. Secara khas, sistem hukum ini menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan, dan membuat garis tegas antara fungsi legislatif dan yudikatif. 2) Tertib hukum mendukung "model peraturan" (model of rules). Fokus pada peraturan membantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para pejabat; pada waktu yang sama, ia membatasi kreativitas institusi-institusi hukum maupun risiko campur tangan lembagalembaga hukum itu dalam wilayah politik. 3) "Prosedur adalah jantung hukum." Keteraturan dan keadilan (fairness), dan bukannya keadilan substantif, merupakan tujuan dan kompetensi utama dari tertib hukum. 4) "Ketaatan pada hukum" dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum positif. Kritik terhadap hukum yang berlaku harus disalurkan melalui proses politik (Philippe Nonet dan Philip Selznick , 2008 : Hal.60). Tipe kedua di atas sudah baik, namun dikha wati rka n a pabil a h ukum han ya dijalankan secara formalitas, maka keadilan yang dicapai juga akan bersifat formal semata. Untuk itu, perlu adanya tipe hukum ketiga yang bertujuan melayani kebutuhan riil masyarakat, atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai problem solver. Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif). Nonet dan Selznick mengatakan, bahwa tipe hukum menindas tidak mungkin dapat lepas dari permasalahan “legitimasi” yang dihadapinya, kecuali ia bergerak mengubah dirinya menuju hukum otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak akan mampu mengatasi problema “formalitas
hukum” yang dihadapinya dan menuju ke arah tipe hukum responsif. Model hukum ketiga menurut Nonet dan Selznick adalah hukum responsif. Hukum responsif berupaya agar membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhankebutuhan sosial dan mendorong perluasan bidang – bidang yang memiliki secara hukum. Hukum bukan entitas otonom yang terisolasi dari ilmu-ilmu dan realitas-realitas yang ada di sekelilingnya. Hukum responsif ditandai dengan kapasitas beradaptasi yang bertanggung jawab dan selektif dengan menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri. Hukum responsif merupakan bentuk dari realisme hukum yang responsif terhadap kebutuhan sosial, tidak sekedar mempertahankan prosedur hukum. Hukum responsif adalah hukum yang mampu mengatasi ketegangan-ketegangan akibat terjadinya perubahan sosial. Agar hukum menjadi responsif, sistem hukum dalam banyak hal hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap kepentingan yang baru muncul dalam masyarakat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum responsif berorientasi pada hasil dan tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilainilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Model hukum responsif menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap sebagai interpretasi yang dipaparkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence (Legal Positivism) di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Aliran sociological jurisprudence maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak dapat digugat. Analytical jurisprudence merupakan bagian dari aliran positivisme
93
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
hukum. Positivisme Hukum merupakan salah beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Hukum bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Positivisme Hukum sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Hukum yang positif harus mengandung perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Legal-positivism memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat (Achmad Roestandi, 1992:Hal. 79). Dalam menentukan uang pengganti oleh jaksa pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water meter di kabupaten wonogiri, jaksa berupaya agar membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Undang-Undang No.31Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan aturan hukum yang digunakan jaksa dalam menentukan pidana uang pengganti. Namun pada perkara ini, aturan hukum tersebut kemudian oleh jaksa ditempatkan bukan sebagai entitas otonom yang terisolasi dari ilmu-ilmu dan realitas-realitas yang ada di sekelilingnya. Aturan hukum yang ada kemudian ditempatkan oleh jaksa pada suatu realitas yang ada pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water meter di kabupaten wonogiri. Berdasarkan pembahasan mengenai kasus posisi, realitas yang ada pada perkara ini secara tidak langsung menghendaki untuk adanya penentuan pidana uang pengganti melalui perhitungan kerugian negara yang dilakukan sendiri oleh jaksa. Realitas yang dimaksud tersebut meliputi : a. Kondisi kabupaten Wonogiri yang jauh dari institusi BPK maupun BPKP yang sebenarnya mempunyai perhitungan kerugian negara, dikhawatirkan akan menghambat proses penegakkan hukum pada perkara ini. b. Kekhawatiran perhitungan kerugian negara oleh BPK maupun BPKP yang
94
tidak menjamin perhitungan kerugian secara materiil c. Ad any a y uri spru de nsi me ng en ai perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak melibatkan instansi BPK maupun BPKP di beberapa pengadilan di Indonesia. d. Mudahnya perhitungan kerugian negara pada perkara ini. Hukum responsif ditandai dengan kapasitas beradaptasi yang bertanggung jawab dan selektif dengan menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri dengan tidak sekedar mempertahankan prosedur hukum. Sikap jaksa dalam perkara ini yang tidak melibatkan BPK dan BPKP dalam perhitungan kerugian negara atas dasar realitas diatas kemudian menjadi suatu bentuk adaptasi hukum yang bertanggung jawab dimana jaksa tetap memegang prinsip-prinsip dalam UU Kejaksaan, UU tipikor, maupun KUHAP. Selain itu prosedur hukum yang semestinya melibatkan BPK maupun BPKP dalam perhitungan kerugian negara dalam kasus ini dikesampingankan tanpa menghilangkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum responsif berorientasi pada hasil dan tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam perkara ini jaksa telah mengupayakan pencapaian tujuan hukum itu sendiri.Tipe hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo memiliki kemiripan dengan tipe hukum responsif Nonet dan Selznick. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, Ilmu hukum yang analitis dan ilmu hukum dogmatis melakukan atomisasi dengan bekerja mereduksi kebenaran hukum yang penuh menjadi kotak-kotak dan potongan kecil. Alih-alih menemukan kebenaran yang penuh, di situ kita hanya akan dihadapkan kepada skema dan skeleton hukum, bukan tampilan yang utuh (Ahmad Gunawan BS (ed),2006: Hal. 13). Apabila dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water meter di kabupaten Wonogiri ini jaksa hanya mengikuti suatu aturan mengenai perhitungan kerugian negara yang harus melibatkan BPK maupun BPKP itu sendiri maka bukanlah tampilan hukum utuh yang nampak pada perkara ini, namun
Kewenangan Jaksa dalam Menentukan Uang Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ....
hanya sebatas pada skema dan skeleton hukum yang dari sana pun belum tentu dapat ditemukan kebenarannya. Berdasarkan hal tersebut, kemudian penulis menghubungkan permasalahan ini kedalam gagasan hukum progresif. Gagasan Hukum progresif yaitu cara berhukum yang membebaskan dari belenggu kerangkeng hukum. Hukum progresif membiarkan dirinya terbuka dan cair, sehingga selalu bisa menangkap dan mencerna perubahan yang terjadi. Tipe hukum progresif di dasari bahwa ilmu hukum tidak bisa bersifat steril dan mengisolir diri dari perubahan dunia. Ia harus mampu memberi pencerahan terhadap komunitas yang dilayani, untuk itu ilmu hukum dituntut untuk menjadi progresif. Ilmu hukum progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan upaya pencarian, pembebasan dan pencerahan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat ilmu adalah mencari kebenaran. Ilmu yang dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan pencarian tersebut meskipun ia tidak mampu menggegam kebenaran sejati (ultimate truth). Ilmu hukum progresif menghendaki agar ilmu hukum sejauh mungkin mampu menampilkan gambar hukum yang utuh dan menemukan keadilan substansif dalam hukum masyarakat. Hukum progresif juga menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan, yaitu positivistik, yang kaku, rutin, bermetode analitis, linier, matematis, deterministik, dan sangat submisif terhadap pengaturan yang ada. Hukum progresif melakukan proses transformasi hukum yang lebih mengutamakan tujuan dari pada prosedur, merupakan komitmen hukum progresif yang mencerahkan. Ketidakjelasan makna Pasal 32 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi pada frasa "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa “kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk” menjadi suatu bentuk prosedural hukum yang menimbulkan berbagai penafsiran para penegak hukum. Apabila menuruti kehendak prosedural hukum, maka kewenangan perhitungan kerugian negara semestinya ada pada BPK (UU No 15 Tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP. Namun oleh jaksa pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water
meter di kabupaten wonogiri, prosedural hukum tersebut kemudian ditransformasikan kedalam sebuah kajian hukum progresif sehingga memunculkan suatu bentuk baru prosedur hukum diluar daripada prosedur normatif posivistik yaitu perhitungan kerugian negara yang dilakukan sendiri oleh jaksa untuk menentukan besar pidana tambahan uang pengganti. Dengan keluarnya jaksa dari normatif positivistik tersebut, maka kemudian tujuan dari penegakkan hukum pada perkara tindak pidana korupsi ini akan bermuara pada penegakkan hukum yang berasaskan cepat, sederhana dan biaya ringan. Kewenangan jaksa dalam Dalam Me n e n t u k a n Ua n g P e ng g a n t i P a d a Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Pipa, Accessories dan Water Meter di Kab up at en Wo no giri se suai de nga n pandangan pendekatan Progresivitas yaitu Pertama, penegakan hukum bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making), Kedua peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat baik local, nasional dan global, Ketiga hukum Progresif menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korp. dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberont akan yang be ruj ung pa da penafsiran progresif (Yudi Kristiana,2007: Hal. 26). Dikarenakan apabila hukum progresif mempertahankan status quo berarti menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara "biasa-biasa" saja (business as usual). Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya diubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat. Dengan adanya sikap progresif dari jaksa dalam hal perhitungan kerugian negara untuk menentukan besar pidana uang pengganti, maka hal ini telah menyelamatkan masyarakat dari pembekuan hukum yang diakibatkan dari status quo positivistik,
95
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
normatif dan legalistik. Perbaikan hukum perlu dilakukan oleh jaksa dalam perkara ini agar prosedural hukum yang ada tersebut nantinya tidak menghambat penegakkan hukum materiil. Pe ne ga ka n hu ku m t i d ak pe rn ah berproses dalam ruang hampa, tetapi selalu berkorelasi dengan variabel-variabel lain seperti sistem hukum, ideologi/tipe hukum, budaya dan karakter hukum serta entitasentitas lain di luar hukum seperti kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Model penegakan hukum di Indonesia masih sangat dominan terpengaruh oleh tipe hukum legalistik positivisme (tipe hukum represif dan hukum otonom menurut Nonet dan Selznick) dengan sistem rule of law. Apabila menggunakan model legalistik positivisme, maka penegakkan hukum pada perkara korupsi ini hanya berpedoman kepada norma prosedural dengan telah dipenuhinya unsur perbuatan pidana tanpa memperhatikan upaya pemenuhan tujuan hukum secara materiil, rasa keadilan masyarakat, dan aspek kemanfaatan hukum itu sendiri. Kasus tersebut menggambarkan bagaimana praksis hukum menjadi praksis yang lebih sibuk mengoperasikan skema-skema hukum yang harus rule dan logic dari pada bertanya apakah fungsi hukum dalam masyarakat sudah berjalan dengan baik. Apabila itu terjadi, sesungguhnya kita sudah terjebak ke dalam paham “manusia untuk hukum”, dan bila aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah jaksa hanya berpegang pada keyakinan bahwa manusia untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan atau mungkin juga dipaksakan untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Hukum tidak hanya rules dan logic, tetapi juga ada logika-logika yang lain. Dalam penegakan hukum, memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis dan formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal dicari sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis formal
96
keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Satjipto Raharjdo menyebut bahwa praksis penegakan hukum ternyata hanya sebatas “mengeja undangundang, dari pada menemukan hukum di dalam undang-undang”, atau seperti yang dikatakan ahli hukum Paul Scholten sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum memang ada di dalam undang-undang, tetapi hukum harus masih ditemukan dalam prakteknya. Hukum merupakan sistem terbuka karena berisi peraturan-peraturan hukum yang sifatnya tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap (Sudikno Mertokusumo,1999: Hal.117). Penegakan hukum oleh jaksa bukan menuruti pemuasan prosedur mengenai perhitungan kerugian negara yang kemudian menjadi bahan penentuan pidana tambahan uang pe ngganti dengan spirit b enar salah, melainkan penegak hukum harus selalu memilih tindakan maksimal tanpa melihat konteks, dan melibatkan empati serta dedikasinya sebagai manusia yang bernurani. Walaupun menggunakan hukum progresif dalam perhitungan kerugian negara untuk penentuan pidana tambahan uang pengganti , jaksa juga harus tetap memegang empati serta dedikasinya sebagai manusia yang bernurani dengan cara harus mampu membuktikan perhitungan kerugian negara yang dilakukannya di muka persidangan dengan semata-mata untuk memanusiakan terdakwa dalam memperoleh rasa keadilan. Sehingga adanya penegakan hukum progresif oleh jaksa pada perkara ini haruslah tetap dalam bingkai melindungi dan mengangkat masyarakat untuk menikmati keberlakuannya hukum, yaitu kepastian, keadilan dan manfaat dari terciptanya keamanan/ ketertiban. Penegak hukum tidak boleh terbelenggu pada sehinga akan kehilangan momentum dan kesempatan untuk memberikan sumbangan bagi terciptanya kehidupan dan praksis hukum yang humanis dan berkeadilan substantif. Penegakan hukum di Indonesia masih mendasarkan pada penegakan hukum legal posivism (analytical jurisprudence atau hukum represif dan hukum otonom) dalam upaya mewujudkan kepastian hukum. Penegak hukum masih mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan terikat pada norma atau kaidah hukum
Kewenangan Jaksa dalam Menentukan Uang Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ....
yang berakibat pada sulitnya mewujudkan keadilan substansial (substantial justice). Cara pandang penegak hukum terhadap hukum seringkali amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Penegak Hukum hanya menangkap apa yang disebut “keadilan hukum” (legal justice dan procedural justice), tetapi gagal menangkap “keadilan masyarakat” (social justice). Penegakan hukum model positivisme yang memiliki corak hukum yang bersifat formalism, rasional dan bertumpu pada prosedur, tidak dapat mewujudkan keadilan substansif dan dalam terpuruknya citra penegak hukum di mata masyarakat. Hal ini menjadi indikasi perlunya dilakukan pembenahan menyeluruh (reformasi) lembaga dan aparat penegak hukum. Peran jaksa dalam menjalankan hukum progresif dalam perkara ini kemudian mendapatkan dukungan dari lembaga peradilan yaitu Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Apabila dalam lembaga peradilan progresifitas hukum jaksa tidak dapat diakomodir, maka secara struktur hukum konstruksi keadilan substansial yang telah dibangun oleh jaksa menjadi tidak berarti lagi. Terwujudnya penegakan hukum secara proposional memerlukan wadah yang namanya lembaga peradilan dan didalamnya terdapat sistem peradilan pidana. Sistem peradilan piadana menjadi komponen penting dalam pencapaian tujuan hukum. Karena sangat pentingnya kedudukan sistem peradilan pidana, Daniel S. Lev mengatakan: ‘‘Di mana nilai-nilai dan mitos kultur menekankan pada cara-cara pengaturan serta hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari wilayah hukum otonom, maka sebagai akibatnya di situt lembaga-lembaga hukum (peradilan) akan kurang dapat mengembangkan kekuasaanya yang mandiri seperti yang dimilikinya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Tampilnya kekuasaan-kekuasaan birokrasi yang perkasa sekalipun, yang merupakan unsur-unsur esensial bagi adanya sistem hukum yang kuat, tak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap bekerjanya hukum, terutama apabila misalnya nilainilai patrimonial juga tetap bercokol dengan kuat”(Yudi Kristiana, 2009 :Hal.64). Melihat kerangka bangunan hukum, maka bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari pengamatan adalah aspek penegakan hukum (law enforcement), bagaimana penegakan hukum paling t idak pada pengertian penegakan hukum dalam arti luas yaitu meliputi pelaksanaan dan penerapan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, serta dalam arti yang sempit merupakan kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan. Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang perlu. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusia itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma bolehlah dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan (Satjipto Rahardjo, 2007: Hal. 154). Sehingga berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka penentuan pidana uang pengganti oleh jaksa yang didasarkan pada perhitungan kerugian negara yang dilakukan sendiri oleh jaksa tanpa melibatkan instansi BPK dan BPKP pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water meter di Kabupaten Wonogiri dengan terdakwa Drs. Sumadi MM. merupakan suatu perwujudan hukum progresif dan responsif. Hal ini dikarenakan jaksa berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam posisi yang relative keluar dari norma-norma baku perhitungan kerugian negara, serta dalam perkara ini jaksa telah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan
97
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
kebijakan baik itu dalam UU Kejaksaan, UU Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan, penanganan korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa saja (Ordinary measure) yaitu oleh aparat hukum dengan senjata undang-undang anti korupsi saja (UU No.31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). Karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka penanganannya pun harus dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure), yaitu dengan penegakan hukum progresif itu semangat yang kuat untuk memberantas korupsi (OC Kaligis, 2006 : Hal.154). Pendapat ini yang menjadikan semangat penulis sehingga mendorong usaha penegak hukum terutama jaksa dalam perkara ini telah mampu membuktikan dakwaan di muka persidangan walaupun dalam penentuan besar pidana tambahan uang pengganti jaksa tidak melibatkan BPK dan BPKP dalam perhitungan kerugian negara, bahkan dakwaan yang disusun jaksa tersebut tidak mendapat persangkalan dari para pihak di persidangan. Sehingga dari hal tersebut, perwujudan hukum progresif dalam menentukan pidana uang pengganti oleh jaksa pada perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water meter di kabupaten wonogiri telah dapat mewujudkan keadilan substantif tanpa mereduksi rasa keadilan bagi terdakwa itu sendiri. D. Simpulan Upaya yang dilakukan oleh jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri Wonogiri dalam menangani perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan pipa, accessories dan water meter di kabupaten wonogiri sudah melakukan langkah yang progresif didalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hal ini dikarenakan walaupun sudah menjadi trending topic dalam setiap penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi dan sedikit banyak menimbulkan
98
kontroversi, belum ada peraturan yang menyikapi secara jelas dan tegas permasalahan tersebut. Oleh karena itu, hal ini menjadi suatu pembelajaran buat kita semua khususnya para pencari penegak hukum, bahwa hukum seharusnya bersifat progresif. Hal ini karena penegakan hukum progresif bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making), peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat baik local, nasional dan global dan hukum Progresif menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup. dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif. Sehingga dengan adanya penerapan hukum progresif mampu memberikan penegakan hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia serta selalu sigap menyikapi setiap kepentingan yang baru muncul dalam masyarakat. E.
Saran
Menjadi suatu pembelajaran buat kita semua khususnya para pencari penegak hukum, bahwa hukum seharusnya bersifat Progresif. Hukum Progresif yakni berupaya agar membuat hukum menjadi lebih Progresif terhadap kebutuhankebutuhan sosial dan mendorong perluasan bidang – bidang yang memiliki secara hukum. Agar hukum menjadi Progresif, sistem hukum dalam banyak hal hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap kepentingan yang baru muncul dalam masyarakat.
Kewenangan Jaksa dalam Menentukan Uang Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ....
Daftar Pustaka
Achmad Roestandi, 1992, Responsi Filsafat Hukum, Bandung : Armico. Ismansyah,2007,“Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi”, artikel pada Jurnal DEMOKRASI Vol. VI No. 2. Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Banyumedia. Philippe Nonet dan Philip Selznick,2008, Hukum Responsif, Bandung : Nusamedia. Robert Klitgaard,dkk, 2002, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Satjipto Rahardjo dalam OC. Kaligis. 2006. “Korupsi Sebagai Tindakan Kriminal Yang Harus Diberantas: Karakter Dan Praktek Hukum Di Indonesia”, Jurnal Equality, Vol. 11 No. 2 Agustus. Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, ctk. Kedua, Jakarta : Kompas. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty. Setiono, 2005, Metode Penelitian Hukum , Surakarta : Program Pascasarjana UNS. Soerjono Soekanto, 2001, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press. Yudi Kristiana, 2007, “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif (Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi)”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 3 Nomor 1 /April, Semarang : PDIH Undip ____________, 2009, Menuju Kejaksaan Progresif; Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta : AntonyLib kerjasama LSHP. http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/06/11/n6zu6747-peringkat-korupsi, diakses 6 Juni 2015. http://majalahprosekutor.com/index.php?option=com_content&view=article&id=157:kajati-jateng-jaksabisa-menghitung-kerugian-negara&catid=4:lintas-kejari&Itemid=6, diakses 6 Juni 2015
99