perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS OTONOMI DAERAH DALAM MENGUATKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (STUDI TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 Juncto UNDANG-UNDANG NO 12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH)
DISERTASI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum
NURIA SISWI ENGGARANI NIM: T310907006
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Ikutilah diriku bila aku maju, doronglah diriku bila aku berhenti, dan berilah aku inspirasi bila aku jatuh Hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada Allah lah kami meminta pertolongan (QS AL Fatihah)
Kupersembahkan karya ini dengan penuh rasa syukur kepada : 1. Kedua Orang Tuaku yang penulis hormati dan sayangi. 2. Suami dan anakku yang tercinta.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Dengan Mengucapkan Syukur Alhamdulillah, Penulis Panjatkan Kehadirat Illahi‟ Robby Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Yang Telah Melimpahkan Rahmat, Taufiq Dan Hidayahnya, Sehingga Penulis Dapat Menyelesaikan Disertasi Yang Berjudul Analisis Otonomi Daerah Dalam Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Terhadap UndangUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Juncto Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah). Tujuan ini diawali rasa keprihatinan penulis yang mengamati bahwa otonomi daerah di Indonesia yang berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 masih menimbulkan kekhawatiran keluar dari bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia, terbukti dengan dianutnya system otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten kota dengan pembagian kewenangan yang menganut system residu. Penulis sangat menyadari keterbatasan bekal ilmu yang dimiliki, ketika meyusun disertasi. Banyak pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan masukan, arahan, bimbingan dan spirit yang luar biasa, sehingga penulis dapat meningkatkan pemahaman ilmu dan pengetahuan dalam menyelesaikan disertasi ini. Untuk itu dalam konsep ini perkenankan penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan dalam pengantar disertasi ini: 1. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr. H Ravik Karsidi MS, Rektor UNS yang telah memfasilitasi penulis dalam proses penyusunan disertasi sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. 2. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr. Hartiwiningsih, Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memfasilitasi penulis dalam proses penyusunan disertasi sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. 3. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Adi Sulistiyono,SH.,MH.Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Surakarta dan Prof Dr. Supanto, SH.,M.Hum, Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Surakarta. 4. Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Prof Setiono, SH.M.S selaku Promotor yang dengan keilmuan, ketelitian dan kesabarannya telah membimbing dan selalu mensuport penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. 5. Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Co promotor Dr. I.G. Ayu Ketut Rachmi H.,SH.,MM. yang dengan keilmuan, ketelitian dan kesabarannya telah membimbing dan selalu mensuport penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
6.
7.
8.
9.
digilib.uns.ac.id
Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Co promotor Dr. Drajat Trikartono, M.Si. yang dengan keilmuan, ketelitian dan kesabarannya telah membimbing dan selalu mensuport penulis untuk menyelesaikan disertasi ini Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Prof. Dr. Arief Hidayat, SH.,MS, Prof. Dr. Andrik Purwasito DEA, Dr. Hj. Ni‟matul Huda,SH.,M.Hum selaku penguji disertasi yang telah bersedia menyediakan waktu untuk memberikan masukan-masukan terkait penulisan disertasi penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ibu Dosen UMS Dr Aidulfitriciada ashari SH.M.Hum, Prof Harun SH,M.um, Iswanto SH.,MH, dan Inayah SH.,MH yang ikut serta memberikan sumbangsih keilmuan dalam penyusunan disertasi ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para staf program Doktor ilmu hukum yang sudah turut serta membantu memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
Surakarta, Penulis
April 2014
Nuria Siswi Enggarani
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Nuria Siswi Enggarani, 2014, Analisis Otonomi Daerah Dalam Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Juncto Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah). Promotor: Prof. Dr. H. Setiono,SH.,M.S, Co Promotor Dr. I.G. Ayu Ketut Rachmi H.,SH.,MM dan Dr. Drajat Trikartono, M.Si. Disertasi. Surakarta: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan mengkaji otonomi daerah di Indonesia dalam menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UU No 32/2004. Mengkaji ketentuan UU No 32/2004 menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menemukan model otonomi daerah yang dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang memfokuskan pada data kepustakaan yang berupa bahan hukum primer dan sekunder dengan menggunakan penalaran deduktif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan asas-asas hukum, sistematika peraturan perundang-undangan, penelitian terhadap taraf sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan, penelitian terhadap sejarah hukum sereta menggunakan penafsiran hukum Urusan dan pengawasan merupakan elemen yang paling penting dalam rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan dasar bagi diterapkannya otonomi luas. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa UU No 32/2004 dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau tidak adalah dilihat dari elemen urusan dan pengawasan. Jika penulis melihat urusan dan pengawasan dalam ketentuan UU No 32/2004 menimbulkan asumsi penafsiran yang mengarah pada kecenderungan menguatkan kearah federalisme dan menguatkan kearah resentralisasi yaitu (1) pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan rumah tangga dengan asas otonomi bukan asas desentralisasi; (2) penggunaan otonomi seluas-luasnya; (3) penggunaan prinsip kewenangan sisa; (4) perincian urusan wajib dan pilihan yang sama baik bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; (5) penggunaan urusan yang bersifat concurrent untuk urusan wajib dan pilihan dan (6) pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib. Penyebab Otonomi Daerah Menurut UU No 32/2004 Tidak menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah (1) Konsep pemberian kewenangan menurut UU No 32/2004 yang dirumuskan dalam bentuk kewenangan sisa (residu power)mengarah pada federalisme; (2) penggunaan asas otonomi dan otonomi seluas-luasnya pada awalnya lahir berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, dapat membahayakan keutuhan NKRI karena otonomi seluas-luasnya diartikan secara salah berkaitan dengan jumlah urusan rumah tangga suatu daerah; (3) pola pembagian kewenangan diperinci dan dibagi bersama / concurent, serta pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib menyebabkan pengekangan terhadap kebebebasan dalam berotonomi commit to user untuk menentukan jenis otonomi. dan (4) UU No 32/2004 mengadopsi kebebasan
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Model otonomi yang menguatkan Negara kesatuan terletak pada sistem pembagian urusan dan pengawasan. (1) Model otonomi yang menguatkan negara kesatuan terletak pada pembagian kewenangan dengan mengubah sistem otonomi seluas-luasnya menjadi otonomi kesejahteraan nasional, fokus dan bertanggung jawab; (2) Sistem pembagian urusan diberi frase “tambahan kewenangan lain” bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dan diperinci tetapi fokus sesuai dengan acuan dalam penyusunan system pembagian urusan pusat dan daerah. Pembagian urusan yang bersifat Concurrent hanya terletak pada urusan pemerintah dalam rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak concurrent pada semua bidang urusan baik pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota; (3) Penggunaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara seimbang; (4) Pengawasan represif dan pengawasan prefentif tetap diperlukan dan pengawasan prefentif tidak hanya ditujukan terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR saja namun ditujukan terhadap semua jenis rancangan peraturan daerah dalam rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetapi pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib, dihapus karena pengawasan telah dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah. Kedudukan provinsi sebagai daerah otonom dihapus provinsi hanya berkedudukan sebagai wilayah administratif saja; dan Bentuk otonomi yang dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah otonomi daerah dalam bentuk otonomi luas dan otonomi khusus atau desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris tersebut dilakukan untuk memperkuat integrasi nasional sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menempatkan hukum dan demokrasi sebagai pilar utamanya, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dengan tetap menjaga nilai-nilai keberanekaragaman daerah, baik dalam bentuk keistimewaan ataupun kekhususan. Kata kunci: Otonomi Daerah, Penguatan, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU No 32/2004.
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Ms. Nuria Siswi Enggarani, 2014, Analysis of Regional Autonomy in Strengthening Unitary state Republic of Indonesia (a Study about the Law Number 32 Year 2004 Juncto Law No. 12 Year 2008 on Regional Government). Promoter: Prof. Dr.. H. Setiono, SH., M.S, Co Promoter Dr. I.G. Ayu Ketut Rachmi H., SH., MM And Dr. Drajat Trikartono, M.Si. Dissertation. Surakarta: Doctoral Program of Legal Studies Faculty of Law, Sebelas Maret University. This study aims to assess the regional autonomy in Indonesia in strengthening the Republic of Indonesia under Law No. 32/2004. Reviewing the provisions of Law No. 32/2004 that strengthens Unitary Sate Republic of Indonesia and find a model that can strengthen it. This research is a normative legal literature that focuses on the literature data in the form of primary and secondary legal materials using deductive thought. The approach used is using principles of law approach, systematic legislation, research on the synchronization level of legislation, research on legal history as well as using legal interpretation. Affairs and supervision is the most important element in strengthening the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia and is the basis for the implementation of special autonomy. Indicators used to determine that the Act No. 32/2004 can strengthen the Republic of Indonesia or not is seen from the elements affairs and supervision. If the writers sees the affairs of the provisions of Law No. 32/2004 lead to the interpreted assumption that lead to a federalism and toward recentralization namely (1) the provincial government and district or city govern and manage the affairs of the internal with the principle of autonomy and not the principles of decentralization, (2) the use of broadest autonomy, (3) the use of the principle of residual authority, (4) details of obligatory and optional choice for the provincial government and district or city, (5) the use of concurrent matters for compulsory and optional affair and (6) monitoring the implementation of obligatory functions. Causes of Regional Autonomy According to Law No. 32/2004 do not strengthen the Republic of Indonesia is (1) The concept of granting authority under Law No. 32/2004 which was formulated in the form of residual authority (residual power) leads to federalism, (2) the use of the principle of autonomy and widest autonomy at first birth based on MPRS No. XXI/MPRS/1966 about granting autonomy to the regions, can jeopardize the integrity of the Unitary Republic of Indonesia because it is defined wrongly that correlate to the number of household affairs of a region, (3) the pattern of power distribution is itemized and shared or concurrent, and supervising the obligatory affairs led crackdown on freedoms in the autonomy and (4) Law No. 32/2004 adopted the freedom to determine the type of autonomy. Model of autonomy that strengthens the unity of the State lies in the distribution of affair and monitoring systems. (1) Model State autonomy strengthens the unity namely in changing the system of broad autonomy to national prosperous autonomy, focus and responsibility, (2) System of affairs division is given phrase “another additional authority” for the local government district or city and they are detailed but commit user focused in accordance with arranging thetodistribution system of national and local
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
affairs, Concurrent assignment of functions are only in the affairs of government in order to strengthen the Republic of Indonesia, not concurrent in all areas of business including government, provincial and district or city, (3) the use of the principle decentralization, de-concentration and co-administration are done justly; (4) repressive surveillance and preventive supervision are still required and it is not only purposed toward planning of district rules that order district tax, retribution, budget and general design of city only but it is purposed toward all kinds of district rules in order to strengthen the Republic of Indonesia but the supervise compulsory affairs are removed, because it has been done by the governor as a government representative. Position of the province as a autonomous region is removed and it only serves as an administrative area, and form of autonomy that can strengthen unitary state of Indonesia is regional autonomy in the form of wide autonomy and specific autonomy or asymmetric decentralization. The asymmetric decentralization in order to strengthen national integration as the Republic of Indonesia to put law and democracy as its main pillar, to realize a just and prosperous society, while maintaining the values of the diversity of the district, either in the form of privileges or specificity. Keywords: Regional Autonomy, strengthening, the Unitary State Republic of Indonesia, Law No. 32/2004.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ringkasan Desertasi Konsep negara kesatuan dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 (1),berbunyi: “Negara Indonesia Ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Bentuk negara kesatuan telah disepakati oleh para founding fathers, dalam sidang BPUPKI, salah satu founding fathers Muhammad Yamin memaparkan supaya merumuskan:” Negara kesatuan, cita-cita pelaksanaan unitarisme, perasaan unitarisme hanyalah dapat diwujudkan dengan Negara Kesatuan atau eenheidsstaat”. Dasar unitarisme, yaitu kesatuan Indonesia, tidak pecah-pecah, baik mengenai pemerintahannya maupun mengenai bangsanya maupun daerahnya. Pasal 18 lama diamandemen menjadi Pasal 18, 18 A dan 18B UUDNRI 1945. Pasca reformasi pasal 18, 18A dan 18B UUDNRI 1945 memberikan landasan konstitusional bagi pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 18(2) menyatakan bahwa:”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pasal 18(5) menyatakan bahwa: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Pasal 18 amandemen juga menekankan pada pengakuan kekhususan dan keistimewaan satuan-satuan pemerintahan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 18B UUD 1945 bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. System otonomi yang dianut UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 18 amandemen adalah menganut asas otonomi seluas-luasnya baik didaerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur secara tersurat dalam Pasal 2 (2) (3) dan Pasal 3, sedangkan asas dekonsentrasi diatur dalam posisi Peran Gubernur sebagai wakil pemerintah (Pasal 37 (1) (2)).UU No.32 /2004 juga menganut paham pembagian urusan, dimana pembagian urusan dirinci menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dan urusan tersebut sama untuk pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 13 dan Pasal 14). Sehingga titik tekan pada UU No 32/2004 ada pada urusan. Sedangkan otonomi khusus juga diakomodasi dalam pada Pasal 225 dan 226 yang pada intinya Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain yang berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri. Dalam penjelasan UU No 32/2004 huruf (b) juga tersurat bahwa setiap daerah diberikan kebebasan untuk menentukan isi dan jenis otonomi, dalam artian tidak selalu sama antara daerah satu dengan daerah lainnya. Jika penulis melihat dalam UU No 32/2004 terdapat beberapa Pasal yang menimbulkan asumsi penafsiran yang mengarah pada kecenderungan tidak menguatkan Negara kesatuan, indicator menguatkan Negara kesatuan adalah pada commit to user kewenangan dan pengawasan, yaitu terdapat pada Pasal 2(3) ( menguatkan ke
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
arah federalisme), Pasal 10(2) (menguatkan ke arah federalisme), Pasal 11(1) (menguatkan ke arah resentralisasi), Pasal 11(3) (menguatkan ke arah resentralisasi), Pasal 13(1) (menguatkan ke arah resentralisasi), Pasal 14(1) (menguatkan ke arah resentralisasi), Pasal 218 (1) (menguatkan ke arah resentralisasi). Dalam Pasal 2 (3) dan Pasal 10(2) terkait dengan kewenangan, pada intinya menyebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten dan kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pada Pasal 11 (1) dan Pasal 11 (3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi adalah urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam penjelasan UU No 32/2004 yang terletak pada dasar pemikiran tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi adalah urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 13 (1) dan Pasal 14 (1) pada intinya urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota adalah sama dan dirinci menjadi 16 urusan. 16 urusan wajib tersebut yang membedakan hanyalah skala. Sedangkan Pasal 218 (1) pada intinya pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah selain pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah pengawasan juga dilakukan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah. Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan mengarah kepada kecenderungan resentralisasi. Dari beberapa pasal diatas terutama pasal 2 (3) dan pasal 10 (2) UU No 32/2004 sebenarnya pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sudah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dengan asas otonominya, karena istilah otonomi berarti dapat melaksanakan pemerintahan sendiri, namun dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah masih menimbulkan munculnya UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang sebelumnya provinsi Aceh juga sudah mendapat otonomi khusus (UU No 18/2001). UU No 11/2006 hasil dari MoU Helsinki memuat kewenangan Pemerintah Aceh yang sangat luas, Hakekat dari pada suatu negara kesatuan, baikpersatuan (union) maupun kesatuan (unity) L.J. Van Apeldoorn, mengatakan “...suatu Negara disebut Negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsiprovinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat. Provinsi-provinsi itu tidak mempunyai hak mandiri”. Penulis dalam penelitian ini hanya membahas UU No 32 Tahun 2004, tidak membahas UU No 12 Tahun 2008 dikarenakan tidak terkait dengan pokok-pokok yang penulis bahas dalam UU No 32 Tahun 2004 yaitu tentang kewenangan dan pengawasan. Alasan perlunya UU No 32/2004 dibahas adalah karena beberapa pasal terkait dengan kewenangan dan pengawasan dalam UU No 32/2004 menurut pendapat penulis mengandung penafsiran yang mengarah pada kecenderungan commit to user tidak menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi malah menguatkan
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kearah federalisme dan menguatkan ke arah resentralisasi. Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dikemukakan adalah: Pertama, Apakah ketentuan UU No 32/2004 menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua, Bagaimanakah Model dan Bentuk otonomi daerah yang dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Penelitian ini bertujuan mengkaji otonomi daerah di Indonesia dalam menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UU No 32/2004. Mengkaji ketentuan UU No 32/2004 menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menemukan model otonomi daerah yang dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang memfokuskan pada data kepustakaan yang berupa bahan hukum primer dan sekunder dengan menggunakan penalaran deduktif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan asas-asas hukum, sistematika peraturan perundangundangan, penelitian terhadap taraf sinkronisasi dari peraturan perundangundangan, penelitian terhadap sejarah hukum serta menggunakan penafsiran hukum. Pendekatan Teori yang digunakan adalah Pertama; teori negara kesatuan menggunakan teori C.F. Strong. Menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistim desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Kedua; teori pembagian kekuasaan menggunakan teori pembagian kekuasaan CF Strong. Menurut CF Strong pembagian kekuasaan dalam Negara Federal dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung di mana letaknya “Reserve of Powers” atau “dana kekuasaan”:Pertama, Undang-Undang Dasar memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal (misalkan kekuasaan untuk mengurus soal hubungan luar negeri, mencetak uang dan sebagainya) sedangkan sisa kekuasaan yang tidak terinci diserahkan kepada Negara-negara bagian. Sisa kekuasaan ini dinamakan reserve of powers atau dana kekuasaan.; Kedua, Undang-Undang Dasar merinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan dana kekuasaan diserahkan kepada pemerintah federal. Ketiga;model otonomi dalam menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Teori Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen, Pemberlakuan otonomi daerah yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, bahwa desentralisasi merupakan salah satu bentuk organisasi negara atau tatanan hukum negara. Tatanan Hukum desentralisasi menunjukkan adanya berbagai kaidah hukum yang berlaku sah pada wilayah yang berbeda. Ada kaidah yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara (central norm) dan ada kaidah berlaku sah dalam wilayah yang berbeda disebut kaidah desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Teori Hans Kelsen menjelaskan bahwa pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai otonomi daerah sebagai tatanan hukum desentralistik yang dikaitkan dengan wilayah (territorial) sebagai tempat berlakunya kaidah hukum secara sah sebagai konsepsi statis dari commit to user desentralisasi.
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Urusan dan pengawasan merupakan elemen yang paling penting dalam rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan dasar bagi diterapkannya otonomi luas. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa UU No 32/2004 dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau tidak adalah dilihat dari elemen urusan dan pengawasan. Jika penulis melihat urusan dan pengawasan dalam ketentuan UU No 32/2004 menimbulkan asumsi penafsiran yang mengarah pada kecenderungan menguatkan kearah federalisme dan menguatkan kearah resentralisasi yaitu (1) pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan rumah tangga dengan asas otonomi bukan asas desentralisasi; (2) penggunaan otonomi seluas-luasnya; (3) penggunaan prinsip kewenangan sisa; (4) perincian urusan wajib dan pilihan yang sama baik bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; (5) penggunaan urusan yang bersifat concurrent untuk urusan wajib dan pilihan dan (6) pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib. Penyebab Otonomi Daerah Menurut UU No 32/2004 Tidak menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah (1) Konsep pemberian kewenangan menurut UU No 32/2004 yang dirumuskan dalam bentuk kewenangan sisa (residu power)mengarah pada federalisme; (2) penggunaan asas otonomi dan otonomi seluas-luasnya pada awalnya lahir berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, dapat membahayakan keutuhan NKRI karena otonomi seluas-luasnya diartikan secara salah berkaitan dengan jumlah urusan rumah tangga suatu daerah; (3) pola pembagian kewenangan diperinci dan dibagi bersama / concurent, serta pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib menyebabkan pengekangan terhadap kebebebasan dalam berotonomi dan (4) UU No 32/2004 mengadopsi kebebasan untuk menentukan jenis otonomi. Hasil temuan dan analisis diatas adalah sebagai berikut: Model otonomi yang menguatkan negara kesatuan terletak pada sistem pembagian urusan dan pengawasan. (1) Model otonomi yang menguatkan negara kesatuan terletak pada pembagian kewenangan dengan mengubah sistem otonomi seluas-luasnya menjadi otonomi kesejahteraan nasional, fokus dan bertanggung jawab; (2) Sistem pembagian urusan diberi frase “tambahan kewenangan lain” bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dan diperinci tetapi fokus sesuai dengan acuan dalam penyusunan system pembagian urusan pusat dan daerah, dengan pengertian bahwa “apa saja” Urusan Pemerintah Pusat senantiasa dilaksanakan untuk urusanurusan pemerintahan yang berdampak nasional (lintas Provinsi) dan internasional serta Membuat aturan main dalam bentuk norma, standar dan prosedur untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan; Urusan Pemerintah Wilayah Provinsi difokuskan untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regional/lintas kabupaten/kota dan urusan pemerintah lainnya sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Koordinasi, pembinaan, pengawasan dan monitoring terhadap urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Urusan kabupaten/kota, mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dalam skala kabupaten/kota sesuai norma, standar dan prosedur yang ditetapkan pemerintah dan urusan-urusan tertentu yang focus menyangkut pelayanan dasar dan pelayanan masyarakat. Pembagian urusan yang bersifat Concurrent hanya user menguatkan Negara Kesatuan terletak pada urusan pemerintahcommit dalam torangka
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Republik Indonesia, tidak concurrent pada semua bidang urusan baik pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota; (3) Penggunaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara seimbang; (4) Pengawasan represif dan pengawasan prefentif tetap diperlukan dan pengawasan prefentif tidak hanya ditujukan terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR saja namun ditujukan terhadap semua jenis rancangan peraturan daerah dalam rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetapi pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib, dihapus karena pengawasan telah dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah. Kedudukan provinsi sebagai daerah otonom dihapus provinsi hanya berkedudukan sebagai wilayah administratif saja; dan (4) Bentuk otonomi yang dapat menguatkan Negara kesatuan republik indonesia adalah otonomi daerah dalam bentuk otonomi luas dan otonomi khusus atau desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris tersebut dilakukan untuk memperkuat integrasi nasional sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menempatkan hukum dan demokrasi sebagai pilar utamanya, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dengan tetap menjaga nilai-nilai keberanekaragaman daerah, baik dalam bentuk keistimewaan ataupun kekhususan.
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dissertation Summary Unitary state concept can be seen in the enactment 1945 Section 1 (1), reads: "Indonesia is the Unitary State in the form of the Republic". A unitary state has been agreed by the founding fathers, in BPUPKI session, one of the founding fathers Muhammad Yamin explained that: "The Unitary state, implementation goal of unity, unity feelings can only be realized with the Unitary state or eenheidsstaat". Unitary basis, is the unity of Indonesia, not cracked, either the government or the nation or the region. The old Article 18 to the amended Article 18, 18 A and 18B UUDNRI 1945. After the reform era, article 18, 18A and 18B of the 1945 UUDNRI provide the constitutional basis for the implementation of decentralization. In Article 18 (2) states that: "The provincial, district and municipal government organize and manage their own affairs according to the principle of autonomy and assistance". Article 18 (5) states that: "The local government runs autonomy, except in matters of government that are prescribed by law as the affairs of the central government". Article 18 amendment also emphasizes the specificity of recognition and privileges of government units, as defined in section 18B of the 1945 Constitution that: "The State recognizes and respects units of government that are special and that are regulated by the law". System autonomy followed by Law No. 32/2004 on Regional Government as further regulation of Article 18 of the amendments are adopted the principle of autonomy both provincial and local or city who are expressly stipulated in Article 2 (2) (3) and Article 3, whereas deconcentration role of Governors is set in a position as a government representative (Article 37 (1) (2).) Act No. 32/2004 also adopts affairs division, where the distribution of specified matters be detailed as a compulsory business and option affairs and those affairs are similar for the provincial government and district or city (Article 13 and Article 14). So the pressure point on the Law No. 32/2004 is in the business. While autonomy is also accommodated in the Articles 225 and 226 are essentially districs with special status and given special autonomy than regulated by this Act also enacted special provisions set out in the law that apply to Special Capital Region of Jakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, Papua province, and the province of Yogyakarta as long as not specifically stipulated in the separated Act. In explanation of the Law No. 32/2004 (b) also implied that each district is given the freedom to determine the content and type of autonomy, in the sense that not always the same between the regions with other regions. If the writer saw in Law No. 32/2004 article, there are several assumptions which raise the interpretation that leads to a tendency not strengthen the unitary State, the indicator of strengthening the unitary State is in the authority and supervision, which is contained in Article 2 (3) (towards strengthening federalism), Article 10 (2) (towards strengthening federalism), Article 11 (1) (strengthening towards recentralization), Article 11 (3) (strengthening towards recentralization), Article 13 (1) (strengthening towards recentralization), Article 14 (1) (reinforcing towards recentralization), Article 218 (1) (strengthening towards recentralization). In Article 2 (3) and Article 10 (2) relating to authority, in essence, states that the provincial government, the local government district and city in running the affairs of the authority of local government autonomy to to runuser based on the principles of autonomy commit and assistance. In Article 11 (1) and Article 11 (3) Government affairs that become
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
local government authority, which was held by the criteria of externality, accountability and efficiency is obligatory functions and affairs of choice. In explanation of the Law No. 32/2004 which lies in the thought of the division of governmental affairs, affairs organized by the criteria of externality, accountability and efficiency are matters that are concurrent means that the handling of government affairs in part or particular areas can be implemented jointly by the Government and local government . Article 13 (1) and Article 14 (1) is essentially obligatory functions under the authority of the provincial government and the local government district or city is broken down into 16 equal and affairs. 16 obligatory functions are identified by the scale. While Article 218 (1) in essence supervision over local governments conducted by the Government in addition to the supervision of the head and of the local rules, supervision is also made toward government business in the district. Supervision toward the implementation of the affairs that leads to a tendency of recentralization. From some of the above article, especially article 2 (3) and Article 10 (2) of Law No. 32/2004 is actually the provincial government and district or city has been given the broadest possible authority to the principle of autonomy, because the term autonomy means it can carry out self-government, but in the course of the regional administration is still causing the emergence of Act No. 11/2006 on Aceh Government, which was previously the province of Aceh has also received special autonomy (Law No. 18/2001). Law No. 11/2006 contains the results of the Helsinki MoU Aceh Government authorities that are very broad, the essence of a unitary state, either union and unity (unity) LJ Van Apeldoorn, saying "... a State called unitary state where power is held by the central government, while the provinces receive power from the central government. Provinces do not have independent rights ". The author in this study only discusses Act No. 32 of 2004, does not address the Act No. 12 of 2008 because not related to the main points that the author discussed in Law No. 32 of 2004 which is about the authority and supervision. The reason behind the Act No. 32/2004 is due to a number of articles discussed related to the authority and supervision of the Law No. 32/2004 in the opinion of the author containing the interpretation that leads to a tendency not strenthen the Republic of Indonesia but instead towards strengthening federalism and strengthen toward recentralization. Based on the above background, the issues to be raised are: First, whether the provisions of Law No. 32/2004 strengthens the Republic of Indonesia; Second, How is Model and Shape that strengthen the autonomy of the Unitary Republic of Indonesia? This study aims to assess the regional autonomy in Indonesia in strengthening the Republic of Indonesia under Law No. 32/2004. Reviewing the provisions of Law No. 32/2004 that strengthens the Republic of Indonesia and finds a model that can strengthen local autonomy of the Unitary Republic of Indonesia. This research is a normative legal literature that focuses on the data in the form of primary and secondary legal materials using deductive thought. The approach used is general principles of law approach, systematic legislation, research on the synchronization level of legislation, research on the history of the interpretation of the law and law interpretation. Theoritical approach used is First; unitary state theory using theory C.F. Strong. According C.F. Strong , the unitary state is form of the state in which the supreme legislative authority concentrated in the national legislature or center. Power lies in the commit to user The central government has the central government and not in the local government.
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
authority to give up some of its power to the regions based on the right to autonomy (unitary state with decentralized systems), but at the last stage of the ultimate power remains in the hands of the central government. Second, the theory of the division of power using a power-sharing CF Strong theory . According to CF Strong power distribution in the Federal State can be done in two ways , depending on where it is located " Reserve of Powers " or " fund of power " : First , the Constitution specifies one after the federal government's power ( eg power to take care about foreign relations , printing money and so on ) while the remaining power is no detail left to the states . The rest of the power is called the reserve fund of powers or authority . ; Second , the Constitution specifies one by one power of the states governments , while fund of power handed to the federal government . Third, the model in strengthening the autonomy of the Republic of Indonesia using the Theory of Hans Kelsen . According to Hans Kelsen , The implementation of regional autonomy which vary from one region to the other , that decentralization is one form of state organization or state legal order. Law Order of decentralization indicates a variety of valid legal norms applicable in different areas . There are accepted rules valid for the entire territory of the country ( central norm) and there are valid rules apply in different areas called decentralized or local rules(decentral or local norm). Hans Kelsen's theory explains that the implementation of some legislation on local autonomy as a decentralized legal order that is associated with the region ( territory ) as a legitimate entry into force of the rule of law as a static conception of decentralization Affairs and supervision is the most important element in strengthening the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia and is the basis for the implementation of special autonomy. Indicators used to determine that the Act No. 32/2004 strengthen the Republic of Indonesia or not is seen from the elements affairs and supervision. If the writers see the affair and control of the provisions of Law No. 32/2004 lead to the assumption that leads to a tendency not strengthening federalism and not toward recentralization namely (1) the provincial government and district or city govern and manage the affairs of the household with the principle of autonomy and is not the principle of decentralization , (2) the use of broad autonomy, (3) the use of the principle of residual authority, (4) details of obligatory and choice equally for the provincial government and district or city; (5) using matters that are concurrent for the mandatory business and choice and (6) monitoring the implementation of obligatory functions. Causes of Regional Autonomy According to Law No. 32/2004 are not strengthening the Republic of Indonesia is (1) The concept of granting authority under Law No. 32/2004 which was formulated in the form of residual authority (residual power) leads to federalism, (2) the use of the principle of widest autonomy at first birth based MPRS No. XXI/MPRS/1966 about granting autonomy to the regions, can jeopardize the integrity of the Unitary Republic of Indonesia that is interpreted mistakenly related to the number of household affairs of a region, (3) the pattern of distribution and shared authority or concurent, and supervision of the affairs led to crackdown on freedoms in the autonomous and (4) of Law No. 32/2004 adopted the freedom to determine the type of autonomy. user autonomy strengthens the unity The findings and analysis above are as commit follows:toModel
xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
of the country lies in the assignment of functions and monitoring systems. (1) Model State autonomy strengthens the unity namely in changing the system of broad autonomy to national prosperous autonomy, focus and responsibility, (2) System of affairs division is given phrase “another additional authority” for the local government district or city and they are detailed but focused in accordance with arranging the distribution system of national and local affairs, with the understanding that "everything" is always held the Central Government Affairs for governmental affairs for the national impact (across the province) and internationally as well and build rules in the form of norms, standards and procedures to implement a government affairs; Provincial Government Affairs is focused to carry out the affairs that impact regional or cross county or city and other government affairs in accordance with government policy and coordination, guidance, supervision and monitoring of government affairs conducted by the district or city. Affairs of the district or city, organize and administer the affairs of government in the scale of districts or municipalities in accordance norms, standards and procedures set by the government and certain affairs that focus regarding basic services and community services. Concurrent assignment of functions are only in the affairs of government in order to strengthen the Republic of Indonesia, not concurrent in all areas of business including government, provincial and district or city, (3) use of the principle of decentralization, de-concentration and co are balanced assistance; (4) repressive surveillance and preventive supervision are still required and it is not only purposed toward planning of district rules that order district tax, retribution, budget and general design of city only but it is purposed toward all kinds of district rules in order to strengthen the Republic of Indonesia but the supervise compulsory affairs are removed, because it has been done by the governor as a government representative. Position of the province as a autonomous region is removed and it only serves as an administrative area, and (4) form of autonomy that can strengthen a unitary state of Indonesia is autonomy in the form of regional autonomy and the special autonomy or asymmetric decentralization. The asymmetric decentralization strengthen national integration as the Republic of Indonesia to put law and democracy as its main pillar, to realize a just and prosperous society, while maintaining the values of the diversity, either in the form of privileges or specificity.
commit to user
xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PROMOTOR………………………………
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI…………………………………..
iii
PERNYATAAN…………………………………………………………….
iv
MOTTO……………………………………………………………………..
v
KATA PENGANTAR………………………………………………………
vi
ABSTRAK………………………………………………………………….
viii
ABSTRACT………………………………………………………………..
x
RINGKASAN DESERTASI……………………………………………….
xii
DAFTAR ISI .................................................................................................
xvii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................
15
C. Orisinalitas………………………………………………….
15
D. Tujuan Penelitian .................................................................
17
E. Manfaat Penelitian ...............................................................
17
LANDASAN TEORI .................................................................
19
A. Konsep Dasar Kesatuan .......................................................
21
1. Pengertian Negara Kesatuan ..........................................
21
2. Paham Negara Kesatuan .................................................
24
3. Hakekat Negara Kesatuan ..............................................
28
commitNegara to userKesatuan .......................... 4. Desentralisasi Dalam
33
xxi
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III
BAB IV
digilib.uns.ac.id
5. Negara Kesatuan dan Demokrasi……………………….
36
B. Teori Pembagian Kekuasaan Negara ...................................
44
1. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi ...........
58
2. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi ..........
58
3. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat ............
59
C. Teori Otonomi Daerah dan Desentralisasi ...........................
66
D. Penelitian Yang Relevan ......................................................
85
E. Kerangka Pemikiran .............................................................
93
METODOLOGI PENELITIAN .................................................
96
A. Jenis Penelitian .....................................................................
96
B. Lokasi Penelitian ..................................................................
105
C. Sumber Data .........................................................................
105
D. Analisis Data ........................................................................
107
KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO 32/2004 DALAM MENGUATKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ..........................................................
110
A. Kebijakan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32/2004 .......
110
B. Ketentuan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32/2004 dalam penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia ......
147
1. Pembagian Urusan Pemerintahan……………………….
147
2. Pengawasan……………………………………………..
158
commit to user
xxii
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V
digilib.uns.ac.id
OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO 32/2004 TIDAK MENGUATKAN
NEGARA
KESATUAN
REPUBLIK
INDONESIA ...............................................................................
171
A. Analisis Otonomi Daerah Menurut UU No 32/2004 yang Tidak Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ....
171
B. Penyebab Otonomi Daerah Menurut UU No. 32/2004 Tidak Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ... BAB VI
MODEL
OTONOMI
MENGUATKAN
DAERAH
NEGARA
YANG
DAPAT
KESATUAN
REPUBLIK
INDONESIA ..............................................................................
223
234
A. Model Otonomi Yang Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia................................................................
234
1. Pembagian Urusan Yang Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia……………………………………..
238
2. Pengawasan Yang Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia……………………………………..
254
B. Bentuk Otonomi Yang Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia................................................................
261
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................
292
A. Kesimpulan ...........................................................................
292
B. Saran dan Rekomendasi .......................................................
297
C. Implikasi…………………………………………………….
298
DAFTAR PUSTAKA commit to user
xxiii