perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MELINDUNGI WHISHTERBLOWER (PENIUP PELUIT) DENGAN JUSTICE COLLABOLATOR (PELAPOR PELAKU) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.
Penulisan Hukum ( Skripsi ) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Oleh : ANISA ROSHDA DIANA NIM. E0008284
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MELINDUNGI WHISHTERBLOWER (PENIUP PELUIT) DENGAN JUSTICE COLLABOLATOR (PELAPOR PELAKU) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.
Oleh : ANISA ROSHDA DIANA NIM.E0008284
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 28 Desember 2012
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Rehnalemkan Ginting,S.H.,M.H NIP. 195801051984031001
Ismunarno,S.H.,M.Hum. NIP. 196604281990031001
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MELINDUNGI WHISHTERBLOWER (PENIUP PELUIT) DENGAN JUSTICE COLLABOLATOR (PELAPOR PELAKU) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Oleh Anisa Roshda Diana NIM. E0008284 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Tanggal
: : DEWAN PENGUJI
1. _________________________ ( Ketua)
( .............................................. )
2. _________________________ (Sekretaris)
( .............................................. )
3. _________________________ (Anggota)
( .............................................. )
Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum NIP. 195702031985032001
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Anisa Roshda Diana
NIM
: E0008284
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul TINJAUAN
HUKUM
PERLINDUNGAN
TERHADAP
SAKSI
WHISHTERBLOWER COLLABOLATOR
PIDANA
DAN
(PENIUP
(PELAPOR
KORBAN
PELUIT)
PELAKU)
PERANAN
MELINDUNGI
DENGAN
DALAM
PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG
LEMBAGA
KASUS
JUSTICE TINDAK
UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Yang membuat pernyataan
Anisa Roshda Diana
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK ANISA ROSHDA DIANA, E0008284. 2012. TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MELINDUNGI WHISHTERBLOWER (PENIUP PELUIT) DENGAN JUSTICE COLLABOLATOR (PELAPOR PELAKU) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Banyaknya kejahatan dalam ranah pidana seperti pada suatu tindak pidana korupsi yang melaporkan dirinya sebagai seorang whistleblower and justice collabolator untuk meminta perlindungan kepada Lembaga Saksi dan Korban sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 karena saking banyaknya hal tersebut yang sudah menjadi seperti kriminalitas sehari-hari yang bisa dijumpai di semua tempat di dunia ini. Penulis mengambil contoh kasus agus condro,kasus ini membuat aparat penegak hukum dan Lembaga Saksi dan Korban mendorong adanya perlindungan terhadap saksi dan juga pelaku atau disebut whistleblower and justice collabolator. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat menarik rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Melindungi Whistleblower (Peniup Peluit) dan Justice Collabolator (Pelapor Pelaku) pada Kasus Tindak Pidana Korupsi ? Bagaimana Penanganan Perlindungan Saksi dan Korban dalam Lintas Lembaga Penegak Hukum di Indonesia? Adapun tujuan dari penelitian dirumuskan secara deklaratif, dan merupakan pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penelitian tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan tipe deskriptif. Pendekatan masalahnya adalah pendekatan kualitatif dan analisis data dilakukan dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan berlandaskan hukum menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Lembaga Saksi dan Korban lahir untuk menunjukkan niat baik dalam memberikan perlindungan kepada Saksi dan Korban. Dalam kasus korupsi Lembaga Saksi dan Korban dan instansi hukum yang lain bekerja sama untuk perlindungan kepada saksi atau korban yang menjadi seorang whistleblower and justice collabolator untuk bekerjasama dengan aparat hukum untuk memberikan keterangan beserta informasi kepada aparat hukum untuk ditindak berdasarkan hukum,dan seorang saksi korban yang telah memberikan informasi akan mendapatkan award berupa pengurangan hukuman sesuai dalam Pasal 10 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
Kata Kunci: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,Whistleblower, Justice collabolator
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
ANISA ROSHDA DIANA, E0008284. 2012. A CRIMINAL LAW STUDY ON THE ROLE OF WITNESS-VICTIM PROTECTION AGENCY IN PROTECTING WHISTLEBLOWER AND JUSTICE COLLABOLATOR (PERPETRATOR REPORTER) IN THE CORRUPTION CRIME VIEWED FROM THE ACT NUMBER 13 OF 2006 ABOUT WITNESS AND VICTIM PROTECTION. A large number of crimes in criminal domain like that in a corruption crime of protection to the Witness Victim Protection Agency consistent with the Act Number 13 of 2006 because of its high number has becomes daily criminality that can be encoutered everywhere in this world. The writer takes Agus Condro case as an example. This case makes the legal enforcing apparatus and Witness Victim Protection Agency encourage the presence of the protection for witness and perpetrator or called whistleblower and justice collabolator. Considering the background explained above, the writer can state that the problem statemens raised in this research are : How is the Witness Victim Protection Agency governed in Indonesia legislation particularly and role has the Witness Victim Protection Agency undertaken particularly in corruption crime to protect a Whistleblower and Justice collabolator? How is the management of witness protection across agencies at Indonesia? The objective of research was formulated declaratively, and constituted the statement about what to be achieved in the study. This study was an empirical law research that was descriptive in nature. The problem approach used was qualitative one and the data analysis was conducted using qualitative method. The result of research showed the based on the Act Number 13 of 2006 the Witness and Victim Agency was established to show goodwill in giving protection to the Witness and Victim. In corruption case, the Witness Victim Protection Agency and other legal institution cooperated to give protection to the witness ar victim that has become a whistleblower and justice collabolator to cooperate with legal apparatus to give information to the legal apparatus to give information to the legal apparatus to take action lawfully, and a victim witness that has given information will get award in the form of reward consistent with article 10 of Act Number 13 of 2006 about witness and victim protection.
Keywords: Witness Collabolator
Victim
Protection
Agency,
commit to user vi
Whistleblower,Justice
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Penderitaan adalah suatu karunia dari Sang Kuasa bila dapat dinikmati dengan penuh keistimewaan dari senyuman terindah serta bersikap yang terbaik untuk diri kita sendiri dan diberikan kepada orang lain (Anisa Roshda Diana)
(Andrean A)
mocking, I was busy walking. When they were busy laughing, I was busy running.
(Agnes Monica)
Cinta akan selalu ada karena cinta adalah ketika kuat kau rasakan kehadiran Tuhan pada dirimu (Sudjiwotedjo)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Perjalanan hidup ibarat panggung sandiwara, semua diawali dengan proses dan diakhiri dengan pementasan. Dengan doa dan usaha baik dari penulis sendiri maupun dari orang-orang terkasih yang mendukung penulis dalam menentukan jalan hidup dan kesuksesan hidup. Oleh sebab itu dengan terwujudnya skripsi ini dan perihal yang akan datang, penulis persembahkan skripsi ini untuk: 1.
Kedua orang tuaku tersayang dan tercinta: Tontowi Djauhari (Alm) dan Enny Nuryati serta wali orangtua Ir. Qomaruzzaman Mustofa atas segala doa, keikhlasan, ketulusan,didikan dan kasih sayang yang tak terhingga. Hasil perjuangan yang telah dan akan penulis lalui senantiasa akan penulis dedikasikan untuk Bapak, Mamah dan Babe;
2.
Kedua kakak ku tersayang: Nadia Fiki Rahma dan Mutia Ratnaningtyas dan juga untuk adik ku tersayang Rasyid Kamarullah atas segala dukungan, doa, perhatian dan motivasinya kepada Penulis;
3.
Andrean Adianto atas semangat, motivasi dan kesabaran yang telah diberikan kepada Penulis selama ini;
4.
Keluarga besar Djalal Sayuti Bakrie tersayang yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas kasih sayang, dukungan, doa dan kepercayaannya;
5.
Keluarga Besar Ponorogo tersayang Bapak Siswanto beserta Ibuk Yuli Astuti,dan yang lain yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu, terimakasih sekali telah memberikan banyak dukungan,nasehat, hiburan dan semangat selayaknya orang tua penulis sendiri;
6.
Laboratorium Seni Teater Delik dan Teman- temanku di dalamnya terimakasih atas persahabatan, kebahagiaan dan pengalaman manis dan pahit yang mungkin akan berguna dikemudian hari;
7.
Sahabat sahabatku team penggembira (Diatri, Putri, Duek, Ferdy,) atas persahabatan, keceriaan, kegembiraan dan kepeduliannya sejak awal menjalani tiap tahap pembelajaran;
8.
Seluruh keluarga besar Fakultas Hukum UNS 2008 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarokatuh Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah dan Innayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan
TINJAUAN HUKUM
TERHADAP KORBAN
PERANAN MELINDUNGI
LEMBAGA
PERLINDUNGAN
WHISHTERBLOWER
PIDANA
SAKSI
(PENIUP
DAN
PELUIT)
DENGAN JUSTICE COLLABOLATOR (PELAPOR PELAKU) DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG
UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan skripsi ini dapat terwujud atas bantuan dan kerjasama berbagai pihak, untuk itu penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang sebesarbesarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret; 2. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. 3. Rehnalemkan Ginting,S.H.,M.H., selaku pembimbing 1 penulisan skripsi ini yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingannya serta terima kasih untuk segala arahan dan masukan bagi tersusunnya skripsi ini dengan baik. 4. Ismunarno,S.H.,M.Hum.selaku pembimbing 2 penulisan skripsi ini yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingannya serta terima kasih untuk segala arahan dan masukan bagi tersusunnya skripsi ini dengan baik. 5. Bapak Suraji, S.H., M.Hum., selaku pembimbing akademis, atas bimbingannya selama penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum UNS.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan serta membuat penulis menjadi mengerti mengenai seluk beluk ilmu hukum. 7. Bapak Abdul Haris Semendawai,S.H.,LL.M., selaku Ketua Lembaga Saksi dan Korban yang membantu dalam penulisan skripsi ini. 8. Para pihak yang telah membantu dan mengarahkan penulis selama proses pembuatan skripsi ini hingga selesai, yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu. Penulis sangat menyadari dalam skripsi ini masih jauh dari bentuk sempurna, baik dari sudut ilmiah, kelengkapan maupun pengungkapan tata bahasa. Dengan segala kerendahan hati, sangat diharapkan saran dan kritikan yang konstruktif dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini. Akhirnya dengan segala doa, cita dan cinta serta harapan, semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih dari segala apa yang telah mereka persembahkan terhadap diri penulis selama ini. Semoga skripsi ini tidak hanya sekedar dapat memberikan sumbangan pikiran bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, tetapi juga bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
ABSTRACT ....................................................................................................
vi
MOTTO ..........................................................................................................
vii
PERSEMBAHAN ...........................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
x
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xii
DAFTAR BAGAN .........................................................................................
xiv
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................
4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
4
D. Manfaat Penelitian .................................................................
5
E. Metode Penelitian...................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum ...............................................
11
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori.......................................................................
12
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi ............
12
a. Pengertian Tindak Pidana ..........................................
14
b. Unsur Tindak Pidana menurut beberapa Teori ..........
15
2. Tinjauan tentang saksi pelapor dan pengungkap fakta......... .........................................................................
19
a. Pengertian Saksi ........................................................
19
b. Syarat syahnya alat bukti keterangan saksi ................
21
c. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi .............
23
d. Pengertian Pelapor.....................................................
26
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Pengertian Whistleblower.......................................... f. Pengertian
Pegungkap
Fakta
atau
26
Justice
Collabolator.. .............................................................
27
g. Perlindungan Saksi dan Pelapor.................................
27
3. Pengaturan perlindungan saksi dan pelapor dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia ........
27
4. Kebutuhan Perlindungan Saksi dan Pelapor ....................
28
5. Peranan Lembaga/Unit Perlindungan Saksi .....................
28
B. Kerangka Pemikiran ...............................................................
31
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .....................................................................
33
1. Gambaran Umum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ..............................................................................
33
a. Sejarah Lahirnya Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 13 Tahun 2006 dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban .................
33
b. Selintas Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ........................................................................
35
2. Hasil Penelitian dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ..............................................................................
39
3. Kendala dalam Pelaksanaan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 .......................................................................
50
a. Materi (konsideran) Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban................................................................
52
b. Kelembagaan.............................................................
61
4. Konsep Kerjasama Antar Lembaga Penegak Hukum dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ...........
64
5. Kerjasama dengan Lembaga Swasta dan Organisasi Masyarakat lainnya. ..........................................................
68
6. Unsur-Unsur Kunci Perlindungan Saksi dan Korban .......
68
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pembahasan............................................................................
70
1. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Melindungi Whistleblower
(Peniup Peluit) dengan
Justice Collabolator (Pelapor Pelaku) pada Kasus Tindak Pidana Korupsi dari Perspektif Hukum Pidana ...
70
a. Prinsip Pelaksanaan Perlindungan Saksi Korban dan Pengungkap Fakta ......................................................
72
b. Selektif Beri Perlindungan .........................................
78
c. Ancaman Meningkat Dukungan Tersendat ................
79
d. Penyelesaian LPSK ....................................................
81
e. Minimnya Dukungan .................................................
82
f. Ketentuan Pidana .......................................................
84
2. Penanganan Perlindungan Saksi dan Korban dalam Lintas Lembaga Penegak Hukum ....................................
85
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan ................................................................................
98
B. Saran.......................................................................................
99
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Tabel 3.1
Data Permohonan Kasus Yang Masuk Ke LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012 ....................................
40
Tabel 3.2
Data Jenis Pemohonan..................................................................
41
Tabel 3.3
Data Jenis Permohonan........................................................... .....
41
Tabel 3.4
Data Permohonan Yang Masuk ....................................................
42
Tabel 3.5
Data Hasil Keputusan Rapat Paripurna ........................................
42
Tabel 3.6
Data Jenis Ancaman.. ...................................................................
43
Tabel 3.7
Data Status Pemohon....................................................................
44
Tabel 3.8
Data Indentifikasi Pengaduan.......................................................
44
Tabel 3.9
Data Pemohon Berdasarkan Daerah .............................................
45
Tabel 3.10
Peran Lembaga Pemerintah ..........................................................
67
Tabel 3.11
Kerjasama LPSK dengan Lembaga Masyarakat dan Swasta. ......
68
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Mechhstaat). Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang meresahkan masyarakat yang cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Diberbagai belahan dunia, masalah korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan tindak pidana lainnya. Korupsi merupakan masalah yang serius, dikatakan demikian karena sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi serta terlihat dari banyaknya terdakwa terdakwa dari terdakwa tindak pidana korupsi yang diputus bebas serta minimnya pidana yang ditanggung oloeh terdakwa yang tidak
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini dapat menimbulkan adanya opiniopini dalam masyarakat yang mengatakan bahwa penegakkan hukum di indonesia tidak berjalan dengan adil sesuai dengan harapan masyarakat. Proses peradilan yang dicita-citakan bangsa indonesia adalah proses peradilan yang adil, dalam artian kepentingan semua pihak yang terlibat didalamnya dapat terlindungi. Proses hukum yang adil disini mengandung arti dilindunginya kepentingan dari para pihak yang terlibat didalamnya sehingga ada keseimbangan dalam pencapaian keseimbangan. Upaya pencapaian proses peradilan pidana yang adil cenderung lebih dikaitkan pada pihak tersangka atau terdakwa. Adanya persepsi mengenai kedudukan tersangka atau terdakwa rawan abuse of power menimbulkan perhatian yang sangat besar pada tersangka atau terdakwa. Orientasinya adalah tersangka atau terdakwa tidak kehilangan hak-hak dasarnya sebagai manusia atau tidak mengalami tindakan yang sewenang-wenang pada saat menjalani pemeriksaan. Dalam kenyataannya, selain tersangka atau terdakwa ada pula pihak-pihak lain yang juga guna mendapatkan perhatian adalah korban dan saksi terutama saksi pelapor. Saksi pelapor dalam kapasitasnya sebagai pemberi keterangan yang melaporkan adanya dugaan terjadinya tindak pidana, menjalani semua pemerikasaan seorang tersangka atau terdakwa. Selama berlangsungnya proses peradilan perlu diupayakan agar saksi pelapor juga tidak kehilangan hak-haknya, selain itu saksi pelapor juga memerlukan jaminan keamanan kerena tidak jarang dalam posisinya saksi terancam keselamatan jiwanya. Saksi pelapor mempunyai peranan penting dalam menggali perkara pidana khususnya perkara pidana korupsi, oleh karena itu kepentingan seorang saksi pelapor harus betul-betul diperhatikan. Seorang saksi pelapor senantiasa memberikan keterangan terhadap adanya tindak pidana korupsi yang didengar atau yang dialami sendiri manakala ada perlindungan terhadap kepentingan yang demikiannya baik itu dalam bentuk perlindungan fisik maupun psikologis,sehingga dengan adanya laporan yang diberikan maka akan menambah efektifitas dan kecepatan penegak hukum dalam memberantas korupsi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Bisa didiskripsikan bagaimana jalannya suatu persidangan tanpa dihadiri saksi sebagai alat bukti, hal demikian akan sangat menghambat jalannya proses penyeleseian perkara, oleh karena itu peranan saksi pelapor yang demikian ini akan terasa sangat ironis apabila kedudukan seorang saksi pelapor berada pada posisi yang lemah. Hal ini sangatlah dilematis mengingat saksi pelapor dalam posisinya sangat rentan terdadap adanya ancaman baik fisik maupun ancaman psikologi atas kesaksian atas kesaksian yang diberikan. Ancaman yang diterima oleh saksi pun sangatlah beragam, bukan hanya diri pribadinya yang terancam, akan tetapi ancaman tersebut ditunjukan pula kepada keluarga maupun kerabatnya sehingga akan mempengaruhi keterangan yang dia berikan dalam proses perkara pidana. Hampir adanya perlindungan saksi pelapor, menyebabkan masyarakat takut untuk menjadi saksi sehingga mengakibatkan banyak kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan. Adapun faktor lain yang menyebabkan ketakutan orang dalam melaporkan dugaan adanya tindak pidana yang terjadi dikarenakan bentuk interogasi yang dilakukan oleh oknum aparat yang berwenang tidak sesuai dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan suasana yang tidak nyaman. Pada tanggal 18 Juli 2006, rapat paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang ini menjadi sejarah baru dalam dunia hukum di Indonesia mengingat belum pernah ada peraturan serupa di Indonesia. Undang-Undang ini adalah sebagai simbol dalam upaya penegakan supremasi hukum di Indonesia mengingat dengan undang-undang ini, siapapun yang menjadi saksi dan korban akan mendapat jaminan keselamatan jasmani dan rohani. Dengan undang-undang ini, saksi dan korban tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata atas keterangan atau kesaksian yang mereka berikan. Melihat hal yang demikian, tentunya ini adalah awal yang baik bagi penegakan supremasi hukum. Namun demikian, sebagian pihak masih meragukan akan keefektifan undang-undang ini mengingat dalam undang-undang ini belum tercantum secara konkrit, misal perlindungan keamanan fisik kepada saksi dan pelapor. Tidak adanya aturan perlindungan ini membuat saksi dan pelapor tidak bisa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
serta merta dilindungi dari ancaman terkait dengan kasus yang dilaporkan maupun atas keterangan yang diberikan kepada aparat walaupun kita tahu bahwa ancaman yang diberikan itu serius dan tidak main-main. Dari sisi hukum, para saksi dan pelapor itu memang mendapat perlindungan dan dalam posisi aman, tetapi secara fisik, keamanan saksi dan pelapor itu tidak dalam kondisi yang terlindungi. Undangundang ini tidak cukup memberi perlindungan bagi whistleblower dan informan secara eksplisit. Perlindungan hanya pada saksi dan pelapor saja. Seharusnya undangundang itu juga bisa memberi perlindungan yang lebih maksimal bagi Saksi Pelaku dan informan juga karena mereka rentan terhadap gugatan balik. Mereka bisa saja dituduh balik dalam pencemaran nama baik. Padahal perannya sangat penting dalam membongkar kasus, khususnya kasus korupsi di luar pengadilan. Apa yang diuraikan di atas merupakan masalah yang dihadapi dalam hal perlindungan saksi dan pelapor yang menentukan proses pemeriksaan perkara pidana dapat dilaksanakan sebaikbaiknya. Hal ini juga merupakan topik yang menarik untuk dikaji lebih mendalam melalui penelitian hukum seperti yang penulis lakukan saat ini. Berdasarkan
uraian
di atas, penulis
mencoba mengangkat wacana
perlindungan hukum bagi saksi dan pelapor dalam penelitian dengan judul :
PERLINDUNGAN
SAKSI
DAN
WHISHTBLOWER
(PENIUP
COLLABOLATOR
(PELAPOR
KORBAN PELUIT)
PELAKU)
DALAM
DENGAN
DALAM
PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG
MELINDUNGI
KASUS
JUSTICE TINDAK
UNDANG NOMOR 13
B. Perumusan Masalah Sebagai usaha dalam melakukan suatu penelitian yang lebih baik, terstruktur, terarah, serta agar lebih mudah memperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini dalam dua kerangka pertanyaan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
1. Bagaimana Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Melindungi Whistleblower (Peniup Peluit) dan Justice Collabolator (Pelapor Pelaku) pada Kasus Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimana Penanganan Perlindungan Saksi dan Korban dalam Lintas Lembaga Penegak Hukum di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan penulis untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif merupakan tujuan untuk memperoleh data dalam rangka mengetahui jawaban permasalahan. Sedangkan tujuan obyektif dari penelitian ini sendiri adalah: a. Untuk mengetahui implementasi perlindungan saksi dan pelapor tehadap penanganan tindak pidana korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. b. Untuk
mengetahui
permasalahan
yang
timbul
dalam
implementasi
perlindungan saksi dan pelapor terhadap tindak pidana korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana S1 dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya mengenai implementasi perlindungan saksi dan pelapor terhadap penanganan tindak pidana korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Hasil pemikiran ini mampu menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta untuk mengetahui implementasi perlindungan saksi dan pelapor terhadap penanganan tindak pidana korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. b. Dapat bermanfaat selain sebagai bahan informasi juga sebagai literatur atau bahan-bahan infomasi ilmiah 2. Manfaat Praktis a. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengena implementasi perlindungan saksi dan pelapor terhadap penanganan tindak pidana korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan perimbangan yang menyangkut masalah ini.
E. Metode Penelitian Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala, atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. (Sutrisno Hadi, 2002:4). Dengan demikian pengertian metode pemikiran adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala, atau hipotesa. Beberapa hal yang menjadi bagian dari metode dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis (sosiological research). Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat. (Soerjono Soekanto, 1986 :52) Di dalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian dengan mencari perkara-perkara pidana khususnya tindak pidana korupsi dimana difokuskan pada perlindungan yang diberikan pada saksi dan pelapor tindak pidana korupsi tersebut, kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta literatur-
literatur. 2. Sifat Penelitian Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian inibersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang bagaimana perlindungan terhadap saksi dan pelapor tindak pidana korupsi di Indonesia. Bersifat kualitatif karena memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku (Burhan Asshofa,2001 :20-210), sehingga dapat diperoleh data kualitatif yang merupakan sumber dari deskripsi yang luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yag terjadi dalam lingkup setempat. Dengan demikian alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempt serta memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah.Penelitian hukum ini mengambil lokasi di Lembaga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Perlindungan Saksi dan Korban Jalan Proklamasi Nomor 56 Lantai 1 Jakarta Pusat. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah: a. Data Primer Data primer adalah data yang diambil langsung dari narasumber yang ada di lapangan, dengan tujuan agar penelitian ini bisa mendapatkan hasil yang sebenarnya dari obyek yang diteliti. Dalam hal ini data dapat diperoleh dari hasil wawancara di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung data primer. Data ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan studi dokumen yang berhubungan dengan diteliti oleh penulis. 5. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian hukum (skripsi) ini adalah : a. Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh langsung dari semua pihak yag terkait langsung dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Dalam hal ini yang menjadi narasumber adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu data yang dipergunakan sebagai bahan penunjang terhadap data primer yaitu berkas perkara pidana, Kitab Undang
Undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Putusan Pengadilan, Hasil Penelitian, literatur-literatur yang mendukung data primer.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
6. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam peneltian ini dengan wawancara langsung kepada pihak yang terkait dalam penelitian ini dari beberapa orang di bagian hokum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, selain itu digunakan pula teknik pengumpul data dengan studi kepustakaan melalui buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, hasil-hasil peneltian yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang diteliti. 7. Teknik Analisa Data Analisa data merupakan langakah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian dalam bentuk laporan data yang diadakan suatu penganalisaan. Dalam penelitian kualitatif, validitas data tidak bergantung pada banyak sedikit contoh seperti pada penelitian kuantitatif. Teknik analisa data kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Menurut Sutopo, analisa data kualitatif adalah upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data data dan penarikan kesimpulan menjadi gambar keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisa susul menyusul. Adapun model analisa data yang digunakan adalah model analisa data kualitatif dengan cara penjabaran data yang berupa berkas perkara pidana da hasil wawancara dengan hakim yang menangani hasil wawancara tersebut, data yang diperoleh tadi disusun dalam bentuk penyusunan data kemudian dilakukan reduksi data atau pengolahan data, menghasilkan sajian data dan diambil kesimpulan yang dilakukan dengan proses pengumpulan data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Hal ini tergambar dalam bagan di bawah ini :
Pengumpulan Data
Penyajian data
Reduksi Data
Kesimpulan Komponen-komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut : a. Reduksi Data Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatam tertulis di lapangan. b. Penyajian Data Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c. Kesimpulan Dalam pengumpulan data, seorang penganalisa kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasikonfigurasi ysng mungkin. Alur sebab akibat dan proporsi, kesimpulankesimpulan dibuat secara longgar, tetap terbuka tetapi kesimpulan yang disediakan, mula-mula belum jelas meningkat jadi lebih rinci dan mengakar pada pokok. Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi ini sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pemikiran penganalisa selama ia menulis suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan atau mungkin menjadi seksama dan ulang pada catatan-catatan atau mungkin menjadi seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali (Sutopo, 1990:90-91).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dari isi penulisan hukum, maka penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat bab. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi kajian pustaka dan teori-teori yang berhubungan dengan implementasi pemberian perlindungan hukum bagi saksi pelapor dan masalah yang diteliti serta kerangka pemikiran.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang implementasi pemberian perlindungan hukum bagi saksi pelapor.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Tindak Pidana.
dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana tertentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Beberapa pengertian mengenai tindak pidana, yang dikemukakan oleh para sarjana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda yaitu : 1) Moeljatno;
yang mengadakan dasar dan aturan yang menentukan: a) Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. b) Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan
itu
dapat
dikenakan
atau
dijatuhi
pidana
sebagaimana yang telah diancamkan. c) Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
(Moeljatno; 1993; 2) 2) Wirjono Prodjodikoro;
Prodjodikoro, 1981 : 50).
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
3) Simons; Sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, Simons merumuskan Een Strafbaar feit
handeling ( tindakan-tindakan) yang diancam
dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. 4) Vos; Vos merumuskan Een Strafbaar feit suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana (Andi Hamzah; 1991 : 66). 5) Pompe; Yang merumuskan bahwa suatu Strafbaar feit dari pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang
1990 : 174). Dari beberapa definisi di atas penulis lebih cenderung mengikuti definisi dari Simons karena definisi darinya mempunyai unsur yang lengkap, antara lain : a) Tindakan/perbuatan. b) Diancam dengan pidana. c) Bertentangan dengan hukum. d) Dilakukan dengan kesalahan. e) Oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dari beberapa definisi tentang tindak pidana dapat kita lihat unsurunsur dalam tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang yakni : (1) dari sudut teoritis dan (2) dari sudut Undang-Undang. Maksudnya dari teoritis ialah didasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut UU adalah bagaiman kenyatan tindak pidana itu dirumuskan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundangundangan yang ada. Seperti yang dijelaskan dalam jurnal hokum review Criminal justice represent a part of process is sraightening a lawby material. Target carrying out of jurisdiction criminal is to create he justice in the middle of society. Its practice met by the deviation in criminal justice execution. Srtaigtening of law in criminal justice is not quilt of attitude act the apparatur punishas criminal justice executor. Attitude act the apparatur punish as axecutor in pranata law have to cover the rasionalitas, liabilitas, and acountability. With the attitude deed act mentioned in profession punish at criminal justice expected by existence of jurisdiction criminal earn more playing a part in of straightening of law in indonesia.
fs/Tinjauan Yuridis terhadap Perlindungan
Saksi dan Korban) b. Unsur Tindak Pidana menurut beberapa Teori : 1) Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah : a) Perbuatan. b) Yang dilarang (oleh aturan hukum). c) Ancaman pidana ( bagi yang melanggar ). Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. (Adami Chazawi. 2002 : 79). 2) Menurut rumusan R. Tresna unsur-unsur tindak pidana yaitu : a)
Perbuatan / rangkaian perbuatan manusia.
b)
Yang bertentangan dengan perundang-undangan.
c)
Diadakan tindakan penghukuman.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
Dari unsur yang ketiga, diadakan tindakan penghukuman terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti itu tidak selalu dan tidak demikian dijatuhi pidana (Adami Chazawi. 2002:79) 3) Sedangkan menurut Schravendijk menurut unsur-unsur sebagai berikut a)
Kelakuan ( orang yang).
b)
Bertentangan dengan keinsyafan hukum.
c)
Diancam dengan hukuman.
d)
Dilakukan oleh orang ( yang dapat).
e)
Dipersalahkan/kesalahan. Walaupun rincian dari tiga rumusan diatas tampak berbeda-beda,
namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah : tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya ( Adami Chazawi, 2002: 81). c. Pengertian korupsi dan tindakan pada korupsi. Corruptie (Foklema Andreae: 1951) atauCorruptus (Webster Dictionary: 1960). Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, dan Belanda Corruptie (Korruptie) ( Andi Hamzah, hal 9). Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan : Korupsi ( dari Latin Corruptio = penyuapan; dari Corrumpore = merusak). Gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Sedangkan arti
a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran ( S. Wojowasiti. W.S Poerwodarminta, hal 33 dan 150). b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. (W.S Poerwodarminta, hal 468). c) Perbuatan yang kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk; perilaku yang jahat dan tercela atau kebejadan moral; penyuapan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
dan bentuk-bentuk ketidakjujuran; sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat; pengaruh yang korup. suatu acuan singkat untuk serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum yang luas. Walaupun tidak ada definisi umum atau menyeluruh tentang apa yang dimaksud dengan perilaku korup, definisi yang paling menonjol memberikan penekanan yang sama pada penyalahgunaan kekuasaan atau memberikan penekanan yang sama pada pemyalanhgunaan kekuasaan atas jabatan publik untuk keuntungan pribadi. The Oxford Unabridged Dictionary (kamus
perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan Webster Collegiate Dictionary (kamus perguruan tinggi Webster) mendefinisikannya sebagai bujukan untuk berbuat salah dengan cara-caranya yang tidak pantas atau melawan hukum ( seperti penyuapan). Definisi yang lebih menyeluruh adalah sebagai berikut : korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri dan /orang-orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan mereka. Menurut perspektif hukum, pengertian tindak pidana korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001. berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena bertitik tolak ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 maka dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu : 1) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Ada dasarnya maksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku bertambah kekayaannya oleh karena perbuatan tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi bertambah kekayaannya. 2) Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum Dalam aspek ini, pembetuk undang-undang mempertegas elemen melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 3) Dapat merugikan keuangan dan perekonomian Negara. Apakah yang dimaksud dengan keuangan atau perekonomian negara? Menurut pembentuk undang-undang dalam penjelasannya menentukan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan b) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara Yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat. Terhadap aspek ini selanjutnya dapatlah diajukan pertanyaan bagaimanakah jika tersangka/terdakwa telah mengembalikan hasil korupsinya sehingga keuangan/perekonomian negara tidak dirugikan ? Untuk ini, berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No.31 Tahun
1999
pengembalian
kerugian
keuangan
negara
atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) undang-
keuangan negara atau perekono tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. 4) Dalam hal tertentu pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati: Ketentuan aspek ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan pemberantasan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi.
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan Tindak Pidana Korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. 5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
Keberadaan tindak pidana korupsi dakam KUHP diatur dalam Pasal 209, 210, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435, yang telah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan diharmonisasikan dalam Pasal-Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 yang selanjutnya juga diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan diharmonisasikan dalam Pasal-Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, dan 23. 2. Tinjauan tentang saksi pelapor dan pengungkap fakta a. Pengertian saksi Saksi adalah orang yang dapat memerikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri dan/atau ia alami sendiri. Pengertian saksi tersebut terdapat dalam bab 1 pasal 1 UU no 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. Pengertian saksi dalam pasal 1 butir 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, lihat dan alami sendiri. Sedangkan pengertian saksi dalam kamus hukum adalah orang yang terlibat (dianggap) mengetahui terjadinya tindak pidana, kejahatan atau suatu peristiwa.(Yan Pramudya Puspa, 1977:746) . Syarat
menjadi
seorang
saksi
(imam
Soetikno
dan
Robby
Khrimawahana,1988:78) adalah : 1) Dewasa, telah berumur 15 tahun atau pernah kawin 2) Sehat akal 3) Tidak ada hubungan keluarga / pertalian darah atau perkawinan dengan terdakwa Pengertian keterangan saksi menurut pasal 1 butir 27 KUHAP adalah salah satu bukti dalam perkara pdana berup keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian tercantum dalam pasal 168 KUHAP berikut : a) Keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c) Suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa. keluarga sedarah atau semenda dalam 1 garis lurus Disamping karena hubungan kekeluargaan (semenda atau sedarah), ditentukan oleh pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban mejnadi seorang saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan
rahasia
ditentukan
oleh
peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya dijelaskan jika tidak ada ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pekerjaan atau jabatan yang dimaksud, maka seperti yang ditetukan ayat ini, hakim yang menentukan sah tidaknya alasan yang dikemukakan untuk endapatkan kebebasan tersebut. Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri misalnya adalah pastor agama katolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Karena pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut di atas eterangan
diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah, maka kekecualian menjadi saksi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif. Dalam pasal 171 KUHAP juga ditambahkan kekecualian untuk memberkan kesaksian di bawah sumpah ialah : a) anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin b) orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya kembali b. Syarat syahnya alat bukti keterangan saksi Keterangan saksi supaya dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi 2 syarat(Darwin Prinst,1998:35), yaitu: 1) Syarat formil, yaitu bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan di bawah sumpah. Keterangan saksi yang tdak dibawah sumpah hanya boleh dianggap sebagai penambah penyaksian yag sah 2) Syarat materiil, yaitu bahwa keterangan saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nullus testis). Akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan. Berkaitan dengan syarat formil keterangan saksi yang menghendaki disumpahnya saksi sebelum diberikan keterangan, maka hal ini sesuai dengan pasal 160 ayat 3 KUHAP, bahwa sebelum didengar keterangannya, saksi harus disumpah terlebih dahuu menurut cara yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing.
Apabila
mereka
kan
memberikan
keterangan
tang
mengandung kebenaran yang tidak lain daripada kebenarannya. Penyumpahan seperti itu dinamakan promissoris, cara lain yang dinamakan secara accessoris, yaitu saksi yang didengar dulu keterangannya, kemudian baru disumpah. Selanjutnya dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan menolak untuk bersumpah atau berjanji, maka pemeriksaannya tetap dilakukan sedangkan ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di Rumah Tahanan Negara paling lama 14 hari.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Pengaturan lebih lanjut keterangan saksi sebaga pembuktian dapat dilihat seperti yang tercantum dalam pasal 185 KUHAP, sebagai berikut: a) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. b) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. c) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. d) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. e) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli. f) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: (1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; (3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; (4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; g) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
c. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi Mengenai nilai kekuatan pembuktian saksi, kita melihat kembali masalah yang berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ditinjau dari segi ini, keterangan saksi yang diberikan dalam sidang pengadilan dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis (M Yahya Harahap, 2002: 291-295) yaitu: 1) K Mengenai keterangan saksi tidak disumpah bisa terjadi karena: a)
Karena saksi menolak disumpah. Tentang penolakan saksi bersumpah telah diatur dalam Pasal 161 KUHAP. Sekalipun penolakan itu tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji. Dalam keadaan seperti itu menurut
dapat b)
Keterangan yang diberikan tanpa sumpah. Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP, yaitu saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan,
di terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan (kesaksian yang dibacakan), dalam hal ini undangundang tidak menyebutkan secara tegas nilai pembuktiannya disidang pengadilan ya
telah ada memenuhi batas minimum pembuktian. c)
Karena hubungan kekeluargaan. Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu (Pasal 168 KUHAP) dengan terdakwa tidak dapat memberikan keterangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
dengan sumpah. Kecuali mereka menghendakinya dan disetujui secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa. Apabila penuntut umum atau terdakwa tidak menyetujui mereka sebagai saksi dengan disumpah, maka dalam Pasal 169 ayat (2) KUHAP memberi kemungkinan bagi mereka untuk diperbolehkan memberi keterangan -undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan seperti ini. d)
Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 (KUHAP). Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa, meskipun kadang-kadang
baik
kembali,
boleh
diperiksa
memberikan
engadilan.
Kekuatan
pembuktian keterangan mereka dinilai bukan merupakan alat bukti yang sah. Tetapi, sekalipun keterangan itu tidak merupakan alat bukti yang sah, dalam penjelasan Pasal 171 KUHAP telah menentukan kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan itu,
2) Keterangan saksi yang disumpah. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah, bukan hanya tergantung pada unsur sumpah ini saja, tetapi harus didukung dengan syarat-syarat lain yang ditentukan undangundang,yaitu : a)
Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya.
b)
Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar, lihat dan alami sendiri dengan menyebut secara jelas sumber pengetahuannya.
c)
Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
d)
Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, oleh karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Apabila syarat-syarat tersebut telah dipenuhi, maka keterangan
saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah sebagai berikut : a)
Mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Jadi dalam alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian sempurna (volledig
bewijskracht),
dan
juga
tidak
melekat
didalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Tegasnya bahwa alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan
b)
Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya setiap keterangan saksi, hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada
Keberadaan pelapor sangat penting, tanpa adanya pelapor kemungkinan besar kasus-kasus korupsi tidak terungkap. Mengenai tata cara dalam memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 3 PP No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan : masi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
(1) Data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lainnya; dan (2) Keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.
tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebutan Whistleblower (peniup peluit) atau pelapor berada pada proses sebelum proses penyidikan dan penyelidikan, dimana pelapor melaporkan adanya tindak pidana korupsi kepada penyidik dalam hal ini yaitu penyidik, untuk kemudian laporan tersebut diselidiki kebenarannya. d. Pengertian Pelapor Didalam PP No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan serta masyarakat
dan
Pemberian
Penghargaan
Dalam
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pelapor mengandung arti setiap orang organsasi masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi. e. Pengertian Whistleblower Beberapa pakar menyebut seorang Whistleblower sebagai Peniup Peluit atau Saksi Pelapor dan pada perkembangan terakhir Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 memberikan terjemahan Whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku dari kejahatan yang dilaporkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
f. Pengertian Pegungkap Fakta atau Justice Collabolator Pengungkap fakta atau yang sering disebut juga Justice Collabolator adalah seseorang yang ikut ambil bagian didalam kejahatan yang melaporkan dan membuktikan secara hukum tindak kejahatannya yang terorganisir serta membuktikan secara menyeluruh mengenai informasi atau pengetahuan penting tentang struktur organisasi, metode cara operasi, kegiatan, dan hubungan atau jaringan kelompok lain secara lokal maupun internasional kepada penegak hukum untuk mendapatkan perlindungan secara hukum karena telah memberitahu mengenai kegiatan kejahatannya. g. Perlindungan Saksi dan Pelapor Perlindungan saksi dan pelapor merupakan elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tidak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh. 3. Pengaturan perlindungan saksi dan pelapor dalam peraturan perundangundangan Republik Indonesia. Hingga saat ini pengaturan mengenai saksi berikut hak dan kewajibannya hanya diatur didalam KUHP, KUHAP, Undang-Undang HAM, dan beberapa undang-undang tindak pidana khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999), Undang-Undang Narkotika (UU No. 22 Tahun 1997, Undang-Undang Psikotropika ( UU No. 22 Tahun 1997), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.25 Tahun 2003). Lebih jauh
penjabaran
teknis
dari
masing-masing
undang-undang
tersebut
diimplementasikan dalam berbagai Peraturan Pemerintah, seperti PP yang mengatur tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat (PP No. 2 Tahun 2002), PP tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat (PP No.3 Tahun 2002). Serta PP Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyididk, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Tindak Pidana Terorisme (PP No.24 Tahun 2003). Berikut adalah paparan mengenai pengaturan dari masing-masing peraturan hukum tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
4. Kebutuhan Perlindungan Saksi dan Pelapor. Sebagai jaminan terhadap perlindungan saksi dan pelapor terhadap kasus korupsi yaitu dari tahap peristiwa baru terjadi sampai dengan pasca persidangan, diperlukan gambaran mengenai bentuk perlindungannya. Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai hal tersebut, dimana tertuang dalam: a. Pasal 5 ayat (1) dan (2). b. Pasal 16. c. Pasal 7 ayat (1), (2) dan ayat (3). d. Pasal 8. e. Pasal 9 ayat (1), (2) dan ayat (3). f. Pasal 10 ayat (1), (2) dan ayat (3). Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cakupannya tidak selengkap yang ada dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006. Peraturan pemerintah tersebut mengaturnya dalam Bab III mengenai Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat dalam memperoleh Perlindungan Hukum, yang terdiri dari Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3), kemudian Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). 5. Peranan Lembaga/Unit Perlindungan Saksi Efektivitas pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus pidana tidak telepas dari peranan lembaga yang berwenang untuk menangani pemberian perlindungan tersebut. Lembaga yang nantinya akan terbentuk nantinya memiliki beberapa tugas berkaitan degan perlindungan terhadap saksi dari tindak pidana. Tugas utama Lembaga Perlindungan Saksi adalah menerima permohonan dan memberikan perlindungan kepada saksi atau pihak/orang lain yang terkait dengan saksi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
Lembaga ini juga berkewajiban melaksanakan tugas administratif menyangkut perlindungan saksi. Untuk memudahkan pemberian perlindaung saksi, Lembaga ini harus juga melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang. Melakukan pengumpulan data, melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas perlindungan saksi, serta mensosialiasasikan perlunya perlindungan saksi. Lembaga Perlindungan Saksi jika dilihat dalam ketentuan yang mengatur tugas dan kewenangannya mempunyia beberapa fungsi yaitu pelaksanaan perlindungan, fungsi pembuatan kebijakan perlindungan dan kebijakan internal lembaga dan fungsi pemantauan atau pengawasan. Dalam fungsi pelaksanaan perlindungan terhadap saksi maka lembaga perlindungan saksi mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian, koordinasi dengan lembaga lainnya dan memutuskan bentuk perlindungan dan jangka waktu perlindungan kepada saksi. Banyaknya tugas yang dipikul oleh Lembaga Perlindungan Saksi menjadi latar belakang pemikiran bahwa lembaga yang akan dibentuk nanti merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Sebelum UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pengaturan lembaga perlindungan saksi dalam peraturan perundangundangan Republik Indonesia terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi. Berdasarkan PP No.71 Tahun 200 ini, pihak yang berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor yang terkait dengan tindak pidana korupsi adalah Aparat Penegak Hukum dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, upaya penegakan hukum terus dilakukan terutama dalam penanganan perkara korupsi, hal tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana
Aksi
Pencegahan
dan
Pemberantasan
Korupsi
Tahun
2011.
Lembagakepolisian dan kejaksaan telah menempatkan prioritas utama dalam melakukan penanganan perkara korupsi dengan optimal. Di samping itu, Komisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil menangani perkara tindak pidana korupsi baik yang melibatkan pejabat negara yang berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun masyarakat luas. Upaya penegakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada upaya untuk memasukkan pelaku tindak pidana korupsi ke dalam penjara, tetapi juga untuk mendapatkan kembali harta dan aset negara yang dikorupsi. Upaya penegakan hukum tersebut juga dilaksanakan oleh lembaga peradilan. Dengan demikian, diharapkan penegakan hukum khususnya dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan lebih optimal (Jurnal Legislasi Indonesia Volume 8 Nomor 2). Bentuk perlindungan hukum dalam hal perlindungan saksi yang diberikan kepada pelapor ada dua macam, yaitu penegak hukum berkewajiban merahasiakan identitas pelapor atau isi saran atau pendapat yang disampaikan, yang kedua, apabila diperlukan maka Penegak Hukum maupun Komisi dapat memberikan pengamanan fisik terhadap pelapor maupun keluarganya. Sedangka mekanisme dan tata cara pemberian perlindungan hukum dan fisik terhadap pelapor oleh aparat penegak hukum dan komisi tidak dijelaskan dalam PP ini. Sedangkan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, pengaturan mengenai pembentukan lembaga perlindungan saksi dan korban terdapat dalam Bab III Pasal 11 sampai dengan Pasal 27. dalam undang-undang tersebut yaitu dalam Pasal 11 ayat (1), (2) dan ayatr (3), menjelaskan bahwa LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) merupakan lembaga yang mandiri dimana LPKS berkedudukan di ibukota Negara RI dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
B. Kerangka Pemikiran
Tindak pidana korupsi
Pelaku kejahatan yang menjadi Saksi Pelapor
Saksi Pelapor tidak terlindungi/ tidak ada jaminan
Dibuat peraturan perlindungan saksi dan korban UU no 13 tahun 2006
Implementasi perlindungan saksi pelapor dan pengungkap fakta Studi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Keterangan: Masalah korupsi adalah suatu masalah yang pelik dan cukup rumit yang terjadi di Indonesia. Korupsi adalah hal yang dapat menghambat jalannya roda pembangunan dan juga perkembangan masyarakat itu sendiri. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang termasuk dalam white collar crime yang termasuk tindak kejahatan yang sulit terdeteksi dan sulit dalam penanganannya. Dalam prakteknya, korupsi itu lebih dikenal sebagai bentuk penerimaan uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Pada umumnya, tindak pidana korupsi itu dilakukan oleh orang yang mempunyai kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang diperoleh dari jabatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
ataupun kedudukan yang dimilikinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi itu sebagian besar dilakukan oleh pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah, sehingga dimungkinkan apabila atasan itu melakukan korupsi, maka bawahan itu enggan untuk melaporkannya karena adanya kekhawatiran tentang nasib pekerjaan yang jelas-jelas di bawah pelaku. Sehingga tanpa adanya perlindungan hukum terhadap pelapor kasus, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi sulit untuk diungkap atau bahkan tidak bisa diungkap karena adanya hal tersebut. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di dalam persidangan, utamanya berkenaan dengan saksi. Seperti yang kita lihat sekarang ini, banyak kasus korupsi yang berhenti di tengah jalan karena kurangnya bukti yang mendukung dan juga sedikitnya saksi yang mau memberikan kesaksian di pengadilan karena belum terjaminnya keamanan jiwa bagi mereka yang bersaksi di pengadilan. Juga belum jelas ada tidaknya kepastian hukum bagi mereka. Berdasarkan hal tersebut penulis mencoba untuk mengetahui dan memahami bagaimana implementasi perlindungan saksi pelapor
dalam
penanganan tindak pidana korupsi dengan cara mengadakan penelitian secara empiris di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban a. Sejarah Lahirnya Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 13 Tahun 2006 dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Melatarbelakangi dimunculkannya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah untuk memperjuangkan diakomodasikannya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk membentuk Undang Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa ataupun Pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi dan korban membuat RUU pada saat itu untuk segara masuk dalam rancangan Prolegnas sejak tahun 2001 sampai 2005. Gagasan untuk menghadirkan Undang Undang perlindungan saksi dan korban pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan Perundang-undangan perlindungan saksi dan korban. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini yang kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.Selanjutnya, tahun 2001 Undang Undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pada bulan Juni 2002, Badan Legislatif DPR RI mengajukan
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi. Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam Pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif kepada saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain dekat dengan mereka. Pada awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas dan salah satu yang dibahs dalam RUU tersebut adalah peran perlindungan saksi sangat strategis dalam pemberantasan kejahatan korupsi. Pada tanggal 30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam membahas Rancangan Perundang Undangan tersebut dan bulan Januari 2006 pemerintah menyerahkan Daftar Invertarisasi Masalah tentang RUU tersebut kepada DPR RI. Awal Februari 2006 Komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006 dalam Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Rancangan tersebut menjadi Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban dan pada 11 Agustus 2006 Presiden mengesahkan menjadi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64. Salah satu amanat dalam Undang Undang tersebut adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang harus dibentuk paling lambat setahun setelah Undang Undang ini disahkan. Pada perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah Lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden dan disebutkan juga bahwa LPSK adalah Lembga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan hak hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana yang telah diatur dalam Undang Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
pidana. Tujuannya adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi maupun korban. b. Selintas Mengenal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana di Indonesia menjadi landasan dalam pembentukan Undang
Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban. Konkritsasi dari aspek pelaksanaan perlindungan saksi dan korban dalam penegakkan hukum di Indonesia adalah dengan dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tanggal 8 Agustus 2008. Penjelasan umum UndangUndang tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutnya setidaknya dua hal penting yang menjadi latar belakang pembentukan Undang-Undang yakni : (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,2001:2) 1) Undang-Undang dibentuk untuk menyempurnakan proses peradilan pidana yang sejak tahun 1981 (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) mengabaikan kepentingan saksi korban dan pengungkap fakta sebagai subyek yang harus dijamin hak-haknya dalam sistem peradilan pidana. 2) Menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana korupsi melalui pemberian jaminan perlindungan hukum dan keamanan bagi saksi pelapor dan pengungkap fakta. Berdasarkan Undang-Undang, mandat utama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah melakukan layanan pemberian perlindungan berupa pemenuhan hak-hak asasi korban dalam proses peradilan pidana sebagaimana sudah diatur oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, termasuk memfasilitasi hak-hak pemulihan bagi korban tindak pidana (bantuan medis, rehabilitassi psiko-sosial, kompensasi dan restitusi) Keberadaan program perlindungan saksi dan korban di Indonesia sekarang ini sudah menjadi keniscayaan dalam sistem peradilan pidana modern. Dalam sistem peradilan pidana, haal ini menjadi bagian penting
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
karena diyakini dapat memberikan perlindungan penanganan, dan perlakuan yang baik kepada saksi dan korban. Sehingga hak-hak mereka yang sudah diakui
di
dalam
berbagai
peraturan
perundang-undangan
dapat
diimplementasikan sebaik-baiknya. Meskipun kemudian berbagai peraturan tersebut mempengaruhi efektivitas operasional Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena masih terbentur dengan kewenangan lembaga yang bersinanggungan dengan peraturan tersebut. Visi dan misi merupakan manifestasi dari pernyataan kehendak dan tekad lembaga untuk mengaktualisasi perintah Undang-Undang sebagai acuan implementasi program dan kegiatan. Visi dan misi LPSK dirumuskan sebagai berikut : 1) VISI : Terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Rumusan itu merupakan cerminan semangat LPSK untuk memberikan perlindungan saksi dan korban yang terbaik dan benar benar, ingin mewujudkan dalam rangka pemenuhan hak-hak saksi dan korban di setiap proses dan tahapan peradilan pidana. 2) MISI : untuk menjabarkan visi tersebut diatas, LPSK telah merumuskan 5 (lima) misi sebagai landasan perumusan kebijakan dan strategi program. Kelima misi tersebut adalah : a) Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana. b) Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban. c) Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hakhak saksi dan korban. d) Mewujudkan dan mengembangkan jejaringan dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak-hak saksi dan korban. e) Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
Sendi-sendi yang menjadi rambu-rambu yang mendasari pelaksanaan dalam mewujudkan visi dan misi LPSK adalah asas-asas perlindungan saksi dan korban sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, yakni : 1) Penghargaan atas harkat dan martabat manusia; 2) Rasa aman; 3) Keadilan; 4) Tidak diskriminatif;dan 5) Kepastian hukum Visi dan misi tersebut menjadi pedoman untuk mengimplementasikan nya pada ranah pelaksanaan program dan kegiatan pemberian perlindungan saksi dan korban dalam lingkup proses peradilan pidana. Secara garis besar aspek program perlindungan mencakup dari tiga besaran aktivitas, yakni : 1) Pelayanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban dalam setiap tahap proses peradilan pidana; 2) Memfasilitasi langkah-langkah pemulihan bagi korban tindak pidana;dan 3) Melakukan kerjasama dengan instansi yang terkait dan berwenang untuk menjalankan tugas pemberian perlidungan bagi saksi dan korban. Terkait dengan aspek pelaksanaan pada bagian substansi sebagaimana diatur pada pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dapat dirumuskan 4 (empat) peran LPSK dalam menjamin hak-hak saksi dan korban sesuai dengan tugas dan kewenangan, yaitu : 1) Peran untuk memberikan jaminan perlindungan fisik yang diberikan LPSK, terdiri dari : a) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda (Pasal 5 ayat (1) huruf a); b) Perlindungan dari ancaman (Pasal 5 ayat (1) huruf a); c) Mendapatkan identitas baru (pasal 5 ayat (1) huruf i); dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
d) Mendapatkan tempat kediaman baru (Pasal 5 ayat (1) huruf j). 2) Peran untuk mendapatkan jaminan hukum yang berkaitan dengan administrasi peradilan pada semua tahapan proses hukum yang dijalankan, yaitu : a) Saksi dan atau korban memberikan keterangan tanpa tekanan dalam setiap tahapan proses hukum yang berlangsung (Pasal 5 ayat (1) huruf c); b) Saksi dan atau korban akan didampingi penerjemahan, dalam hal keterbatasan atau terdapat hambatan berbahasa (Pasal 5 ayat (1) huruf d); c) Saksi dan atau korban bebas dari pertanyaan yang menjerat (Pasal 5 ayat (1) huruf e); d) Saksi dan atau korban mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus hingga batas waktu perlindungan berakhir (Pasal 5 ayat (1) huruf f); e) Saksi dan atau korban akan diberitahukan dalam hal terpidana dibebaskan (Pasal 5 ayat (1) huruf h); f) Saksi dan atau korban berhak didampingi oleh penasehat hukum untuk mendapatkan nasihat-nasihat hukum (Pasal 5 ayat (1) huruf i); g) Bentuk perlindungan hukum bagi saksi, korban, dan pelapor untuk digugat secara perdata, dituntut secara pidana karena laporannya (misalnya terkait dengan pengungkapan kasus-kasus korupsi) (Pasal 10 ayat 1); h) Memberikan rekomendasi kepada hakim agar bagi tersangka yang berkontribusi sebagai saksi (Justice collabolators) untuk diberikan keringanan hukuman atas partisipasinya dalam pengungkapan suatu tindak pidana besar (Pasal 10 ayat 2).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
3) Peran untuk memberikan dukungan pembiayaan, yaitu : a) Biaya transportasi (Pasal 5 ayat (1) huruf k); b) Biaya hidup sementara (Pasal 5 ayat (1) huruf m) 4) Peran untuk memberikan dan memfasilitasi hak-hak reparasi (pemulihan) bagi korban kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu: a) Bantuan medis (Pasal 6 huruf a) b) Bantuan rehabilitasi psiko
sosial (Pasal 6 huruf b)
c) Pengajuan kompensasi bagi korban (Pasal 7 ayat (1) huruf a); dan d) Pengajuan restitusi bagi korban (Pasal 7 ayat (1) huruf b) 2. Hasil Penelitian dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Berdasarkan catatan akhir tahun 2012 dari Januari sampai 11 September 2012, LPSK memandang pada tahun 2012 menunjukkan potensi ancaman terhadap saksi dan korban masih akan terjadi. Hal ini berdasarkan :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
Tabel 3.1 Data Permohonan Kasus Yang Masuk Ke LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
NO 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Kasus yang di mohonkan ke LPSK JENIS KASUS YANG DIMOHONKAN KE LPSK Korupsi Terorisme Narkotika KDRT Pelanggaran HAM Trafficking Pidana Umum a. Karena kealpaan menyebabkan orang meninggal dunia dan luka-luka ( penembakan dilakukan oleh polisi ) b. Pelecehan seksual ( pencabulan ) dan perkosaan c. Penipuan dan penggelapan d. Konflik agama Pembakaran Pesantren, pembakaran rumah, penganiayaan, pembunuhan e. Kekerasan terhadap anak ( penganiayaan ) f. Penghilangan terhadap orang g. Pencurian h. Pembunuhan i. Pembakaran rumah j. Penghinaan k. Sengketa hak asuh anak ( penculikan ) l. Sengketa tanah ( penggelapan ) m. Sengketa Pilkada pembakaran dan pembunuhan n. Pencemaran nama baik o. Penusukan ( percobaan pembunuhan ) p. Keterangan Palsu q. Penganiayaan r. Laka Lantas ( kelalaian menyebabkan mati ) s. Perampasan barang t. Pemalsuan dokumen u. Penghasutan v. Tindak pidana izin usaha perkebunan budidaya w. Hubungan industrial x. Melarikan perempuan dibawah umur tanpa ijin orang tua y. Pengrusakan z. Penyelundupan barang Total
Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
commit to user
JUMLAH 26 0 5 10 123 15 233 66 23 6 10 1 8 5 36 27 1 1 1 1 3 1 1 30 1 1 2 1 3 1 1 1 1 412
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Tabel 3.2 Data Jenis Pemohon
NO 1 Laki-laki 2 Perempuan
DATA JENIS PEMOHON JENIS PEMOHON
Total
JUMLAH 316 96 412
Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012 Tabel 3.3 Data Jenis Permohonan DATA JENIS PERMOHONAN NO 1 2 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
JENIS PERMOHONAN Perlindungan Hukum Perlindungan Fisik Perlindungan Hukum dan Perlindungan Fisik Perlindungan Hukum, Fisik dan Bantuan Psikologis Perlindungan Hukum dan Bantuan Pengajuan Restitusi Perlindungan Hukum dan Layanan Psikologis Perlindungan Hukum, Fisik dan Bantaun Pengajuan Restitusi Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Prosedural Perlindungan Hukum dan Pendampingan Perlindungan Hukum, Fisik, Bantuan Medis dan Bantuan Psikologis Perlindungan Hukum, Fisik dan Bantuan Psikologis Perlindungan Fisik dan Bantuan Psikologis Layanan Bantuan Medis dan Layanan Bantuan Psikologis Layanan Bantuan Medis dan Pengajuan Restitusi Pendampingan dan Layanan Bantuan Psikologis Layanan Bantuan Psikologis Layanan Bantuan Psikologis dan Pengajuan Restitusi Permohonan bantuan pengajuan Restitusi Permohonan bantuan Medis Permohonan pemenuhan hak procedural dan bantuan psikologis Pemenuhann hak procedural Perlindungan hukum dan bantuan medis Perlindungan hukum, bantuan medis dan psikologis TOTAL
Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
commit to user
JUMLAH 85 21 25 6 14 5 6 13 2 48 13 1 119 1 8 1 2 10 9 1 1 1 20 412
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
Tabel 3.4 Data Permohonan Yang Masuk DATA PERMOHONAN YANG MASUK NO 1 Permohonan Yang Sudah diputuskan di RPP 2 Permohonan Yang Belum diputuskan di RPP TOTAL
JUMLAH 249 163 412
Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012 Tabel 3.5 Data Hasil Keputusan Rapat Paripurna NO DATA HASIL KEPUTUSAN RAPAT PARIPURNA 1 Diterima BKR Bantuan Pemenuhan Hak Prosedural dan Layanan Bantuan Psikologis Bantuan Pemenuhan Hak Prosedural berupa Pendampingan dan Layanan Bantuan Psikologis Bantuan Pemenuhan Hak Prosedural berupa Pendampingan dan Berkoordinasi dengan Kepolisian Terkait Pasal 10 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2006 Bantuan Pemenuhan Hak Prosedural berupa Pendampingan, Bantuan Layanan Medis dan Bantuan Layanan Psikologis Bantuan Layanan Medis dan Layanan Psikologis Bantuan Layanan Psikologis Diterima bantuan Medis Layanan Pengajuan Restitusi 2 Diterima Perlindungan 3 Diterima Perlindungan dan BKR Perlindungan Fisik berupa Pengamanan dan Pengawalan serta Layanan Bantuan Psikologis Pendampingan dan Layanan Bantuan Psikologis Pendampingan, Layanan Bantuan Medis dan Layanan Bantuan Psikologis Pendampingan dan Layanan Pengajuan Restitusi 4 Ditolak 5 Rekomendasi 6 Ditolak dan diberikan Rekomendasi Total Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
commit to user
2 21
1 9 4 7 1 7 35
2 6 1 6 67 57 23 249
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Tabel 3.6 Data Jenis Ancaman DATA JENIS ANCAMAN NO
JENIS ANCAMAN
1
Ancaman Fisik Ditembak, dipukul dan ditendang ( dianiaya ) Dipukul, ditampar ( Penganiayaan ) Dipukul, dibacok, Ditusuk , dibacok Ancaman Non Fisik Ancaman hukum berupa; Dilaporkan, dilaporkan balik dan Kriminalisasi Dikirim surat ancaman Diteror antara lain berupa dibuntuti, di datangi rumahnya, rumahnya di kirim bangkai Diancam dengan kata-kata akan dibunuh, akan dianiaya, diancam harta bendanya Dikirim SMS akan di bunuh Diancaman akan dideportasi Diancam akan dibunuh dan akan diberhentikan sebagai PNS Diberhentikan dari jabatan Diancam dikeluarkan dari pekerjaan Ancaman Fisik dan Non Fisik Dipukul, diancam dengan kata-kata dan dikeluarkan dari pekerjaan Ditembak dan akan dikriminalisasikan Dipukul dan rumah didatangi orang tidak dikenal Dianiaya berupa di pukul dan ditampar serta diancam dengan kata-kata akan dibunuh Penyiksaan dan ancaman terhadap karir serta pengucilan oleh masyarakat Dipukul dan diancam akan dilaporkan ke Polisi atau sudah dilaporkan ke Polisi
2
3
TOTAL Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
commit to user
56 57 2 2
39 1 72 53 4 2 1 1 3
2 6 1 2 103 5 412
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
Tabel 3.7 Data Status Pemohon DATA STATUS PEMOHON NO
STATUS PEMOHON
1
Saksi
84
2
Korban
262
3
Pelapor
40
4
Tersangka
20
5
Terdakwa
4
6
Terpidana
2 TOTAL
412
Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
Tabel 3.8 Data Indentifikasi Pengaduan IDENTIFIKASI PENGADUAN NO 1
Datang Langsung
173
2
Surat Tercatat
185
3
Email
5
4
Telepon
0
5
Faksimil
17
6
LPSK Datang Langsung Ke Pemohon
32
TOTAL Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
commit to user
412
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
Tabel 3.9 Data Pemohon Berdasarkan Daerah
No
DATA PEMOHON BERDASARKAN DAERAH
1
Jakarta
87
2
Banten
17
3
Jawa Tengah
91
4
Jawa Timur
18
5
Jawa Barat
28
6
Sumatera Utara
23
7
Kalimantan Selatan
1
8
Nangro Aceh Darusalam
6
9
Jambi
11
10
Lampung
13
11
NTB
51
12
NTT
21
13
Papua
1
14
Jogjakarta
2
15
Sumatera selatan
13
16
Riau
2
17
Sulawesi Utara
6
18
Sumatera Barat
17
19
Kepulauan Riau
2
20
Bengkulu
2
Sumber : LPSK Tahun 2012 Dari Januari Sampai 11 September 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
Tren Kasus dan Ancaman Sepanjang 2012 dari bulan Januari sampai 11 September 2012, dalam pantauan LPSK di beberapa media massa, kasus pembunuhan dan korupsi menempati urutan paling atas sebagai trend ancaman terhadap saksi (lihat: diagram Data Base Kondisi Saksi dan Korban Tahun 2012 di Media Massa]. Dari sekian permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK dari bulan Januari sampai 11 September 2012, bentuk ancaman tersebut bermacam-macam. Yang paling banyak adalah ancaman terhadap saksi yang dilaporkan balik ke aparat penegak hukum (412 kali) dan diintimidasi melalui ancaman Fisik, anacaman non fisik dan ancaman fisik dan dilakukan dengan ancaman non fisik (412 kali). Selanjutnya,
ancaman
berupa
penganiayaan
(56
kali;
ancaman
pembunuhan (20 kali); ancaman menyangkut pekerjaan (15 kali); ancaman ditembak (9 kali); percobaan pembunuhan (5 kali); ancaman rumah dirusak (4 kali); dicabuli (4); ancaman rumah dibakar (2); serta ancaman diasingkan dan dimatai-matai masing-masing sebanyak satu kali. Dari tren jenis korban tindak pidana, data permohonan yang masuk ke LPSK sepanjang 2011 didominasi oleh tindak pidana umum (233 kasus); tindak pidana korupsi (26 kasus); tindak pidana KDRT (10 kasus); pelanggaran HAM (123 kasus)serta narkotika lima kasus. Untuk jenis tindak pidana umum, yang paling banyak adalah kasus penyiksaan/penganiayaan (30 kasus). Disusul kealpaan menyebabkan orang meninggal dunia dan luka-luka / penempakan dilakukan oleh polisi (66 kasus); pelecehan seksual (23 kasus); penipuan dan penggelapan (6 kasus); konflik agama yang terdiri dari pembakaran pesantren, pembakaran rumah, penganiyayaan dan pembunuhan (10 kasus); kekerasan terhadap anak (1 kasus); penghilangan terhadap orang (8 kasus); pencurian (5 kasus); pembunuhan (36 kasus); pembakaran rumah ( 27 kasus); penghinaan, sengketa hak asuh anak, sengketa tanah, sengketa pilkada, penusukan, keterangan palsu, laka lantas, perampasan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
barang, penghasutan, hubungan industrial, melarikan perempuan dibawah umur tanpa izin orang tua, pengrusakan dan penyelundupan masing-masing satu kasus Untuk jenis tindak pidana umum, yang paling banyak adalah kasus penyiksaan/penganiayaan (30 kasus). Disusul kealpaan menyebabkan orang meninggal dunia dan luka-luka / penempakan dilakukan oleh polisi (66 kasus); pelecehan seksual (23 kasus); penipuan dan penggelapan (6 kasus); konflik agama yang terdiri dari pembakaran pesantren, pembakaran rumah, penganiyayaan dan pembunuhan (10 kasus); kekerasan terhadap anak (1 kasus); penghilangan terhadap orang (8 kasus); pencurian (5 kasus); pembunuhan (36 kasus); pembakaran rumah ( 27 kasus); penghinaan, sengketa hak asuh anak, sengketa tanah, sengketa pilkada, penusukan, keterangan palsu, laka lantas, perampasan barang, penghasutan, hubungan industrial, melarikan perempuan dibawah umur tanpa izin orang tua, pengrusakan dan penyelundupan masing-masing satu kasus dilanjut dengan pencemaran nama baik (3 kasus); tindak pidana izin usaha perkebunan budidaya (3 kasus). Tren Jenis Kelamin dan Status Hukum Pemohon Dari sisi jenis kelamin pemohon, jumlah pemohon yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK didominasi oleh laki-laki, yakni 316 orang. Pemohon perempuan sebanyak 96 orang. Sepajanjang tahun 2012, pemohon yang datang langsung ke LPSK jumlah-nya 173pemohon. Selanjutnya, melalui berbagai media komunikasi seperti surat 185 pemohon; melalui email 5 permohonan; faksimili 17 permohonan; dan Satgas permohonan LPSK Satgas langsung mendatangi pemohon sebanyak 32 orang. Dari segi status hukum pemohon, ada beberapa kategori pemohon yang teridentifikasi berdasarkan permohonan yang masuk ke LPSK 2012. Baik status hukum pemohon yang secara substansi didalamnya menyangkut kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan subtansi kasus yang dimohonkan maupun yang tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
terkait dengan kasus yang secara substansi dimohonkan dimana keterangan si pemohon memang benar-benar pen-ting untuk mengungkap kasus. Rinciannya: 85 pemohon yang berstatus sebagai saksi; 262 pemohon berstatus sebagai korban; 40 pemohon berstatus sebagai pelapor; 20pemohon berstatus tersangka; 4 orang berstatus sebagai terdakwa; dan 2 orang pemohon berstatus sebagai terpidana. Kebanyakan pemohon yang datang untuk meminta perlindungan pada LPSK adalah pemohon yang merasa dirinya dalam keadaaan yang terancam baik secara fisik maupun non fisik atau kedua-duanya. Terkait dengan bentuk perlindungan yang dimohonkan oleh saksi dan atau korban yang masuk ke LPSK 2011 terdiri dari: Perlindungan Fisik (21 permohonan); Perlindungan Hukum (85 permohonan); Perlindungan Hukum dan bantuan (4 permohonan); Perlindungan Hukum dan luka-luka / penempakan dilakukan oleh polisi (66 kasus); pelecehan seksual (23 kasus); penipuan dan penggelapan (6 kasus); konflik agama yang terdiri dari pembakaran pesantren, pembakaran rumah, penganiyayaan dan pembunuhan (10 kasus); kekerasan terhadap anak (1 kasus); penghilangan terhadap orang (8 kasus); pencurian (5 kasus); pembunuhan (36 kasus); pembakaran rumah ( 27 kasus); penghinaan, sengketa hak asuh anak, sengketa tanah, sengketa pilkada, penusukan, keterangan palsu, laka lantas, perampasan barang, penghasutan, hubungan industrial, melarikan perempuan dibawah umur tanpa izin orang tua, pengrusakan dan penyelundupan masing-masing satu kasus dilanjut dengan pencemaran nama baik (3 kasus); tindak pidana izin usaha perkebunan budidaya (3 kasus). Tren Jenis Kelamin dan Status Hukum Pemohon Dari sisi jenis kelamin pemohon, jumlah pemohon yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK didominasi oleh laki-laki, yakni 316 orang. Pemohon perempuan sebanyak 96 orang. Sepajanjang tahun 2012, pemohon yang datang langsung ke LPSK jumlah-nya 173pemohon. Selanjutnya, melalui berbagai media komunikasi seperti surat 185 pemohon; melalui email 5 permohonan; faksimili 17 permohonan; dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
Satgas permohonan LPSK Satgas langsung mendatangi pemohon sebanyak 32 orang. Dari segi status hukum pemohon, ada beberapa kategori pemohon yang teridentifikasi berdasarkan permohonan yang masuk ke LPSK 2012. Baik status hukum pemohon yang secara substansi didalamnya menyangkut kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan subtansi kasus yang dimohonkan maupun yang tidak terkait dengan kasus yang secara substansi dimohonkan dimana keterangan si pemohon memang benar-benar pen-ting untuk mengungkap kasus. Rinciannya: 85 pemohon yang berstatus sebagai saksi; 262 pemohon berstatus sebagai korban; 40 pemohon berstatus sebagai pelapor; 20pemohon berstatus tersangka; 4 orang berstatus sebagai terdakwa; dan 2 orang pemohon berstatus sebagai terpidana. Kebanyakan pemohon yang datang untuk meminta perlindungan pada LPSK adalah pemohon yang merasa dirinya dalam keadaaan yang terancam baik secara fisik maupun non fisik atau kedua-duanya. Terkait dengan bentuk perlindungan yang dimohonkan oleh saksi dan atau korban yang masuk ke LPSK 2011 terdiri dari: Perlindungan Fisik (21 permohonan); Perlindungan Hukum (85 permohonan); Perlindungan Hukum dan bantuan (4 permohonan); Perlindungan Hukum dan perlindungan fisik (25 permohonan); Perlindungan Hukum, fisik dan bantuan psikologi
(6
permohonan); perlindungan hukum dan bantuan pengajuan restitusi (14 permohonan); Perlindungan hukum dan layaan psikologi (5 permohonan); Perlindungan hukum, fisik dan bantuan pengajuan restitusi (6 permohonan); Perlindungan hukum dan pemenuhan hak prosedural (13 permohonan); Perlindungan hukum dan pendampingan (2 permohonan); Perlindungan hukum, fisik, bantuan medis dan bantuan psikologis (48 permohonan); Perlindungan hukum, fisik, dan bantuan psikologis (13 permohonan); Perlindungan fisik dan bantuan psikologis (1 permohonan); pendampingan dan layanan bantuan psikologis (8 permohonan); layanan bantuan psikologis (1 permohonan); layanan bantuan psikologis dan pengajuan restitusi (2 permohonan); permohonan bantuan pengajuan
restitusi
(10
permohonan);
permohonan
commit to user
bantuan
medis
(9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
permohonan); permohonan pemenuhan hak prosedural dan bantuan psikologis, pemenuhan hak prosedural, perlindungan hukum dan bantuan medis dan perlindungan hukum, bantuan medis serta psikologis masing masing satu permohonan. 3. Kendala dalam Pelaksanaan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Setelah tujuh orang Komisioner Lembaaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terpilih melalui voting di DPR, 9 Juli 2008. Baru sebulan bertugas antusiasme publik menyambut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sejumlah anggota DPR mengusulkan kepada Panitia Angket bahan bakar minyak (BBM) yang harganya melambungsaat itu agar saksi yang bersedia membongkar mafia perminyakan dilindungi Lembaga Saksi dan Korban (LPSK). Terhitung Juli sampai Desember 2008, sudah ada sekitar 10 permohonan perlindungan yang masuk kedalam Lembaga Saksi dan Korban (LPSK). Periode 2009
2010, dan taka akan pernah lupa akan mega kasus yang mengguncang
dunia politik hukum Tanah Air. Mulai dari kasus Anggoro dan Anggodo (dua kakak beradik) dalam kasus korupsi dan suap proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) PT Masaro. Kasus ini beranak pinak ke kasus Antasari Azhar dan Kombes Williardi Wizzard dalam tuduhan pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Kemudian, kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, dalam perseteruan polri dan KPK, berujung pada ancaman pembunuhan Chandra M Hamzah sebagaimana rekaman pembicaraan Anggodo yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi, 3 November 2009. Berlanjut kemudian kasus Komjen Susno Duadji, yang membongkar percairan dana tak wajar (Rp 24,6 miliar) milik pegawai Diektorat Jendral Pajak, Gayus Halomoan Tambuan. Semua kasus ini arahnya meminta perlindungan Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), termasuk terpidana kasus pencucian uang dan pemalsuan surat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
PT Asian Agri, Vincentius Amin Sutanto, yang mengaku mengalami ancaman pembunuhan. Juga terpidana kasus penerimaan suap pemenangan Miranda S Gultom sebagai Deputi Gurbernur Senior Bank Indonesia, Agus Condro. Begitu juga kasus mega korupsi mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin. Meski terkendala oleh perseoalan kelembagaan (struktur organisasi, kewenangan, infrastruktur, SDM, anggaran) dan dibelit sejumlah kelemahan materi pemberian perlindungan saksi dan korban yang diberikan Undang-Undang sebagai payung hukumannya, Lembaga Saksi dan Korban (LPSK) bukannya tidak melakukan terobosan. Kasus Komjen Susno Dudji misalnya, yang dalam Pasal 10 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, secara administratif (prosedural) tidak memenuhi syarat sebagai pemohon perlindungan karena belum pernah melaporkan kasus mafia hukum yang diketahui kepada aparat penegak hukum,juga ia datang lebih awal ke Komisi III DPR dan Satgas Mafia Hukum. Tapi Lembaga Saksi dan Korban (LPSK) berani menerobos ketentuan Undang-Undang tersebut dengan mengabulkan permohonan Susno. Bagi Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), mantan Kabareskrim Polri itu memenuhi syarat sebagai seorang Whistleblower ,yang mesti dilindungi. Memang, lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta terpilihnya anggota LPSK oleh presiden melalui fit and proper test di DPR RI, pelayanan perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban yang diberikan LPSK tidak serta merta langsung dapat dilaksanakan. Sepekan setelah anggota LPSK terpilih, jangankan dana, kantorpun belum ada. Terpaksa meminjam ruangan di kantor Departemen Hukum dan HAM. Sebagai sarana komunikasi masih menggunakan blog pribadi, bahkan untuk kebutuhan operasional mendesak pra anggota LPSK saling urunan dana. Kendala tersebut sebetulnya bukan saja semata karena persoalan kelembagaan, tetapi juga dukungan atau sambutan instansi pemerintah tertentu atas kehadiran lembaga ini masih minim, meskipun di level kepresidenan dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
kementrian nampak tidak ada persoalan dengan LPSK. Malah, dukungan memperkuat berkali kali diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Diantaranya dalam Pidato Kenegaraan, 16 Agustus 2011, presiden menyatakan : harus terus kita tingkatkan. Karena itu regulasi antikorupsi harus terus disempurnakan. Lembaga-lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemeberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, harus terus kita perkuat dan Jika demikian adanya, pangkal persoalan sebetulnya disebabkan oleh berbagai kelemahan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlinungan Saksi dan Korban itu sendiri. Hal ini disadari setelah berbagai usaha pembangunan kelembagaan serta pelaksanaan operasional perlindungan belum dapat terlaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan Naskah Akademik RUU Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, dipetakan kelemahan tersebut dalam dua ruang lingkup yaitu : a. Materi (konsideran) Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban 1) Penerapan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (Tumpang Tindih Peraturan) Dalam Pasal 44 dinyatakan,
Pada saat Undang
Undang ini
diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan atau korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini Dalam prakteknya, berbagai ketentuan perlindungan saksi dan korban yang dianggap menimbulkan pertentangan dengan UndangUndang terseut masih tetap berlaku. 2) Tugas dan Kewenangan Lembaga Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian tersendiri sebagaimana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
peraturan lainnya (semisalnya Undang-Undang KPK), tapi menyebarkan kedalam beberapa Pasal, yaitu : a) Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29); b) Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan / atau Korban (Pasal 29); c) Memberikan perlindungan kepada Saksi dan / atau Korban (Pasal 1); d) Menghentikan program perlindungan Saksi dan / atau Korban (Pasal 32); e) Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7); f) Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan 34); g) Menetukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepasa Saksi dan / atau korban (Pasal 34); h) Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (Pasal 39). Dalam praktek lapangan, jika membaca urgensi dan tujuan pokok dibentuknya LPSK, aneka ketentuan ini masih bersifat umum, kurang memadahi. Diperlukan penambahan kewenangan yang melekat dengan tugas dan fungsi LPSK. Paling tidak kewenangan yang bersifat umum tersebut ddiperinci lebih spesifik. 3) Pendampingan Bagi Saksi Korban di Persidangan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 memang belum tegas menyebutkan pemberian pendampingan yang menjadi hak saksi dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
korban. Yang ada, malah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga.
Tapi
pendampingan dalam Undang-Undang ini pun terbatas. Dalam aturan dalam Undang-Undang ini, pendampingan itu terdiri dari konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani. Mestinya, juga mencakup pula pendampingan oleh penasehat hukum, dan pendampingan lainnya yang diperlukan saksi dan / atau korban, untuk membangun kepercayaan diri dan keberanian saksi dan atau korban dalam memberikan keterangan, terutama untuk saksi dan atau korban yang rentan. Seperti dalam kasus pelecehan seksual. LPSK amat perlu memastikan pendampingan tersebut, mulai dari proses pemeberian keterangan di tahap penyidik samapai dengan keterangan di pengadilan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Perlindungan Pelapor (Whistleblower )Tindak Pidana Pasal 10 UU No.13 Tahun 2006 telah memberikan mandat kepada LPSK untuk memastikan perlindungan pelapor atau whistleblower agar kesaksian dan laporannya (yang akan, sedang, dan telah diberkan pelapor) tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata (ayat 1). Bahwa, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terkena bukti secara sah dan
meyakinkan
bersalah,
tetapi
kesaksiannya
dapat
dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan (ayat 2). Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) ini berlaku sepanjang pelapor memberikan keterangan dengan itikad yang baik (ayat 3). Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang ini, itikad baik yang dimaksud, antara lain
tidak memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan
pemufakatan jahat. Permohan perlindungan yang disampaikan pelapor, baik inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, akan diperiksa LPSK dengan kriteria :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
a) Sifat pentinya keterangan; b) Tingkat ancaman yang membahayakan; c) Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap pemohon; d) Dan rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan / atau korban (Pasal 28 UU No. 13 Tahun 2006). Setelah permohonan tersebut telah diputuskan diterima oleh LPSK maka pemohon harus menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi.Meski Pasal ini tidak secara khusus menyebutkan pelapor dengan istilah whistleblower , tapi yang dimaksud dengan pelapor dalam penjelasan Undang-Undang ini adalah orang yang memberikan informasi kepada pengak aparat hukum mengenai suatu tindak pidana. Pengertian ini mensyaratkan bahwa seorang pelapor dalam konteks pidana, dan itu harus dilaporkan (terlebih dahulu) kepada penegak aparat hukum. Tetapi aparat penegak hukum mana saja laporan tersebut diberikan, Undang-Undang ini tidak menjelaskannya. Itulah mengapa sering muncul penafsiran aparat penegak hukum yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kewenangan terkait dengan penindakan laporan tindak pidana. Seperti penyelidik Polri, KPK, penyelidik Komnas HAM, penyelidik PPATK dan beberapa instansi lainnya. 5) Perlindungan Bagi Pelapor Tersangka (Justice Collabolator) Yang dimaksud dengan pelapor tersangka adalah saksi yang juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama, sebagaimana konsideran pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006. Jenis saksi ini juga biasa disebut sebagai skais mahkota, saksi kolabolator, dan kolabolator hukum. Ia memang tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah, tetapi keteranganya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Saksi kasus ini biasanya merupakan kasus-kasus organized crime atau white colar crime.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
Di indonesia, para penyidik dan jaksa juga sering juga menghadapi kendala dalam meyelidiki dan menuntut kasus-kasus seperti ini, seperti kasus mega korupsi. Kerena masalah masalah yang melekat adalah masalah sektor publik, di back up penguasa, kebanyakan jaksa di beberapa negara juga mau tak mau juga cenderung bekerja sama dengan pihak dalam (biasanya amat paham tentang struktur organisasi, motode operasi, kegiatan, dan jaringan kejahatan lokal maupun internasional), yang ditempuh dengan cara menyamar. Ia merekam segala bukti yang didapatkan dengan video. Maka banyak negara sekarang ini telah membentuk suatu peraturan atau kebijakan yang memfasilitasi kerjasama dari orang dalam tersebut. Termasuk dengan saksi yang bekerjasama, saksi mahkota, saksi negara (mereka yang telah bertaubat). Di Indonesia, kendala dalam memberikan perlindungan saksi semacam ini juga terbentuk dengan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, antara lain : a)
seorang yang dapat diposisikan sebagai Justice Collabolator adalah harus seorang saksi yang juga tersangka terlebih dulu atau tidak. Jika cenderungnya memang mesti demikian, brarti posisi orang tersebut juga masuk sebagai saksi dalam konsideran Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang ini, bahwa yang dimaksud dengan saksi
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
b) Penegasan dalam Pasal 10 ayat (2) bahwa seorang pelaku yang bekerjasama, juga termasuk katagori sebagai saksi dan tersangka. Pengertian ini tentu belum mencakup pelaku bekerjasama yang kapasitasnya sebagai seorang pelapor atau informan, yang mungkin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
tidak termasuk kedalam pengertian saksi di atas, tapi ia memiliki peran signifikan dalam memberikan informasi tentang kasus tersebut, atau pelaku bekerjasama yang berstatus narapidana. c) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 juga tidak memberikan panduan yang menentukan : kapan seorang dapat disebut sebagai pelaku yang bekerjasama; pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerja sama; ukuran kerjasama dari seorang yang mengaku sebagai pelaku bekerjasama; ukuran reward yang akan diberikan; prosedur dalam meminta pengurangan hukuman dalam mekanisme peradilan. Ketiadaan pengaturan demikian itulah menjadi salah satu sebab pemberian proteksi dan reward bagi pelaku yang bekerjasama mengalami banyak kendala. 6) Perlindungan Saksi Ahli Konsideran Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 soal
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidan yang ia dengar sendiri, ia umusan ini belum mencakup perlindungan bagi orang yang berkeahlian khusus
yang telah
memberikan bantuan keterangan kepada aparat penegak hukum yang membantu proses pemeriksaan pidana , dalam KUHAP disebut dengan status ahli. 7) Bantuan Bagi Korban Muatan Pasal 6 UU No.13 Tahun 2006 mengatur bahwa korban dalam pelanggaran HAM yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana Pasal 5 ayat (1), juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Penerimaan bantuan ini mestinya diperluas, tidak hanya pelanggaran HAM berat saja, tapi juga korban kejahatan terorisme; sama-sama menderita kerusakan fisik dan psikis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
berat dan itu amat mengganggu seluruh aspek kehidupannya di masa depan. Demikian juga bagi korban lain, yang berdasarkan keputusan LPSK untuk di lindungi. Sebab syarat sehat fisik dan kejiwaan tolak ukur dalam pemeriksaan saksi. 8) Pemberian Restitusi Pengajuan permohonan Restitusi dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 ini dapat dilakukan dengan dua mekanisme. Pertama, sebelum pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuasaan hukum tetap. Kedua, setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Peraturan Pemerintah Nomoor 44 Tahun 2008). Apabila permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 28 ayat 1 PP No. 44 Tahun 2008). Sementara apabila permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan
permohonan
tersebut
beserta
keputusan
dan
pertimbangannya kepada penuntut umum (Pasal 28 ayat 3 PP No. 44 Tahun 2008). Dalam praktek di lapangan menggunakan mekanisme (Supriadi Widodo Eddyono: 2010) a) Mandat pengaturan restitusi lemah karena muatan UU No. 13 Tahun 2006 beserta PP No. 44 Tahun 2008 dalam beberapa hal bertentangan dengan Pasal 98 KUHAP mengenai penggabungan perkara, khususnya terkait dengan hukum acara yanga akan digunakan. Hakim dan Jaksa cenderung lebih memilih menggunakan penggabungan perkara Pasal 98 KUHAP karena hukum acaranya dianggap lebih pasti, kuat dan fleksibel. Sedangkan hukum acara mekanisme restitusi dijabarkan dalam PP No. 44 Tahun 2008, sehingga banyak aparat penegak hukum menganggap PP ini berada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
dibawah KUHAP. Oleh karena itu mekanisme KUHAP yang harus digunakan sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 98 KUHAP. b) Karena mekanisme dalam Pasal 98 KUHAP cenderung digunakan, maka terkait dengan ruang lingkup restitusi sebagaimana UU N0. 13 Tahun 2006, menjadi tidak aplikatif. Sebab ada perbedaan mencakup pengertian ruang lingkup restitusi. Dalam UU tersebut, jangkauan restitusi dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti rugi untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan dalam KUHAP, ganti kerugian hanya terfokus pada kerugian yang nyata akibat tindak pidana. Sehingga dalam prakteknya, hanya kerugian-kerugian material saja yang dapat di periksa oleh Hakim. Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kehilangan bagi korban di anggap bersifat immateriil, sehingga harus menggunakan mekanisme hukum perdata. c) Kemampuan daya eksekusi putusan dan upaya paksa, UU No.13 Tahun2006
tidak mengatur soal daya paksa untuk melakukan
pembayaran. Sehingga jika tidak ada keinginan pelaku untuk membayar restitusi kepada korban, maka tidak akan memiliki implikasi apapun kepada pelaku. 9) Pemberian Kompesasi Suatu negara itu tidak hanya saja harus memberikan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM, tetapi juga harus menjamin paling tidak hukum domestiknya memberikan perlindungan dengan standart yang sama dengan apa yang diisyaratkan oleh tanggung jawab atau kewajiban internasional. Pasal 7 UU ayat (1) huruf a No.13 Tahun 2006 menyatak bahwa Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. Namun dalam pengaturan selanjutnya dalam Pasal 1 angka (4) PP No.44 Tahun 2008 justu memeberikan pengertian bahwa kompensasi adalah ganti gerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Akibatnya, Pasal 1 angka (4) PP No. 44 Tahun 2008 dianggap bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pengertian kompensasi dalam dalam Pasal 1 angka (4) PP No.44 Tahun 2008 seakan menambah norma baru, yang secara jelas berbeda dengan pengertian kompensasi sebagaimana Pasal 7 UU ayat (1) huruf a No.13 Tahun 2006, dan pasal 35 UU. No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian tersebut cenderung diartikan tentang ganti kerugian terhadap korban akan di ambil alih oleh negara dengan syarat apabila tidak dilakukannya kewajiban pelaku atau pihak ketiga untuk membayar ganti kerugian. Dengan kata lain, korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan kompensasi harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan dipidana, serta diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Tetapi, karena pelaku tidak mampu sepenuhnya maka negara akan mengambil alih tanggungjawab pelaku ini. Pengertian ini sangat amat berbeda jauh dengan prinsip-prinsip hukum HAM internasional, yang merumuskan kompensasi sebagai kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam bebagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Mestinya, pengertian dari kompensasi tersebut diberikan kepada korban bukan karena korban tidak mampu tetapi sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang mengakibatkan adanya korban. Jadi, penngalaman praktek pengadilan HAM di Indonesia selama ini keliru dalam mengadopsi konsep kompensasi tersebut. Hal ini tampak dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidanakanya pelaku. Padahal,
sudah
menjadi
prinsip
hukum
HAM
berhak
mendapatkan kompensasi dan restitusi, tanpa harus menunggu pelakunya dipidana atau tidak. Pengalaman membuktikan bahwa tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi karena tidak ada pelaku yang dihukum atau terbukti. Padahal, banyak peristiwa yang telah terbukti adanya pelanggaran HAM berat, dan ada terdapat korban di
situ,
tetapi
pelaku
(terdakwa)
tidak
bisa
dimintai
pertanggungjawaban. Pantas kalau kompensasi juga tidak mungkin diberikan. b. Kelembagaan 1) Kedudukan LPSK Meski dipilih oleh Presiden melewati seleksi di DPR, kedudukan anggota LPSK dalam UU No.13 Tahun 2006 tidak disebutkan secara jelas, apakah sebagai pejabat negara atau tidak. Namun jika melihat sistem seleksi dalam UU No.13 Tahun 2006 yang melandasinya, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, Menurut Prof. DR. C.S.T Kansil, SH., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H dalam bukunya Sistem Pemerintahan Indonesia, anggota LPSK disebut sebagai pejabat negara yang berlaku di Indonesia. Ketidakjelasan itu menimbulkan persoalan protokoler anggota LPSK dan itu juga menjadikan masalah administrasi birokrasi. 2) Kewenangan, Tugas, dan Fungsi Mencermati anatomi kewenangan dan tugas LPSK yang tersebar dalam Pasal 1, Pasal 7 Pasal 29, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 39 UU No.13 Tahun 2006, kewengang LPSK, yakni :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
a) Tugas dan kewenangan yang terkait dengan program perlindungan saksi b) Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kompensasi dan Restitusi korban c) Tugas dan kewennangan yang terkait dengan pemberian program bantuan program d) Tugas dan kewenangan yang terkait dengan kerjasama instansi terkait. Dalam
kerjasama dengan instansi terkait misalnya
yang
berwenang (Pasal 36 ayat 1), dengan kewenangannya itulah instansi tersebut wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2006 (Pasal 36 ayat 2). Tapi praktik ini sulit diterapkan karena, ketentuan pelaksanaan kewajiban bagi instansi terkait untuk melaksanakan keputusan LPSK belum disadari secara utuh oleh instansi terkait sesuai dengan ketentuan dalam UU tersebut. Ini diperparah dengan tidak ditegaskannya mekanisme dan prosedur instansi terkait tersebut melaksanakan keputusan LPSK. Selain itu, pengaturan organisasi LPSK dalam UU No.13 Tahun 2006, juga tidak memadahi untuk mendukung tugas dan fungsinya. Contohnya prototipe organisasi LPSK yang memiliki tugas, fungsi, kewenangan,
dan
rentang
tanggung
jawab
yang
cukup
besar,
kesekretariatannya di pimpin oleh Sekertaris Lembaga dengan setingkat eselon II. Pengalaman birokrasi di Tanah Air menunjukkan, sekrtaris di bawah sekrtaris cenderung mempersempit ruang gerak pelaksanaan tugas substansi, karena keterbatasan kewenangan jabatan sekretaris. Segi-segi birokrasi untuk mengelola sumber daya manusia dan anggaran, pada gilirannya menghambat pelaksanaan tugas LPSK.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
3) Struktur Organisasi a) Kesekretariatan Keberadaan sekretaris LPSK yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara, menunjukkan tingkat eselonisasi kedudukan sekretaris pada tingkat eselon II. Kedudukan ini amat berpengaruh dengan kewenangan penggunaan anggaran, sarana dan prasarana LPSK. Dalam pola penggunaan anggaran, kewenangan LPSK untuk memiliki Satuan Kerja (satker) sendiri tidak sebagaimana mestinya. Faktanya sampai pada tahun 2011, hal alokasi anggaran LPSK masih menumpang pada satker Sekretariat Negara. Di banyak negara, indepedensi anggaran yang ditangani lembaga / unit perlindungan saksi dianggap amat penting. Kenyataannya lagi, tidak semua yang direncanakan LPSK di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jalan Proklamasi Jakarta Pusat juga memiliki keterbatasan, terutama menyangkut kerahasiaan dan keamanan. b) Sumber Daya Manusia Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang ada saat ini belum mengakomodir dan memberikan kewenangan kepada LPSK untuk menentukan sistem menejemen SDM sendiri. Dengan
kriteria
memenuhi
kualifikasi
pengalaman
perlindungan pribadi, penanganan senjata, hukum dan psikologis, memenuhi integritas menjaga rahasia, memenuhi profil psikologis mengubah peran (semisal dulunya petugas memburu penjahat tapi kini mesti melindunginya), merekrut jenis pegawai yang lazim dan fleksibel (pegawai tetap, pegawai kontrak atau honorer, dan tenaga sukarela), menentukan kebijakan rotasi staf setiap 3-5 tahun (untuk pengembangan karier, pencegahan korupsi dan sifat pekerjaan yang menuntut produktifitas tinggi), dan sebagainya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
Perlu memuat ruang lingkup kemandirian sistem manajemen SDM LPSK yang berbasiskan kompetensi atau merikrotasi, persyaratan menjadi pegawai LPSK, formasi dan pengadaan pegawai LPSK, kewenangan LPSK untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai, pola kepangkatan, jejang jabatan, nama jabatan dan formasi pegawai LPSK, ketentuan mengenai penyertaan jenjang kepangkatan pegawai yang dipekerjakan ke dalam jenjang kepangkatan di LPSK, dasar yang kuat terhadap aturan mengenai gaji, honorarium, dan hakhak lain bagi pegawai LPSK. 4. Konsep Kerjasama Antar Lembaga Penegak Hukum dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus segera menemukan sistem yang tepat bagi kerja-kerjanya dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban maka dari itu diakadan seminar dan workshop yang dilaksanakan LPSK ini bertujuan untuk menjaring pemikiranpemikiran mengenai mekanisme atau tata cara perlindungan saksi dan korban dari berbagai perspektif baik dari kalangan penegak hukum maupun pemangku kepentingan lainnya, menggali masukan dari narasumber serta peserta yang hadir (baik dari dalam maupun luar negeri) untuk menginventarisasi berbagai problem yang saat ini dan yang akan dihadapi LPSK serta bagaimana formulasi pemecahannya, khususnya dalam kerangka posisi hubungan kerja LPSK dengan berbagai pihak. Kehadiran UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk melengkapi kekurangankekurangan (khususnya tentang peran penting saksi dan korban) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Saksi dan korban memilki peran sangat penting dalam peradilan karena itu LPSK hadir untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi saksi dan korban dengan cara mengajak semua lembaga terkait (khususnya Kejaksaan dan Kepolisian) untuk menemukan mekanisme yang tepat bagi program perlindungan saksi dan korban sebagai suatu lembaga baru, tentu saja LPSK harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik lembaga pemerintah khususnya lembaga penegak hukummaupun dari civil society, mengingat pentingnya peran lembaga ini untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
membantu para korban dan saksi dalam mewujudkan hak-hak mereka yang dimuat dalam UU No 13 Tahun 2006. Kejaksaan dan Kepolisian bekerjasama dengan LPSK. Ke depan, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan LPSK sepakat untuk menyamakan persepsi tentang jalur dan sistem kerjasama seperti apa yang akan dipakai untuk perlindungan saksi dan korban dengan membuat MoU bersama. LPSK sepakat untuk menyamakan persepsi tentang jalur dan sistem kerjasama seperti apa yang akan dipakai untuk perlindungan saksi dan korban dengan membuat MOU bersama.
LPSK dalam
menjalin kerjasama
dengan
lembagalembaga terkait lainnya. LPSK tidak dapat bekerja sendiri, ada bagianbagian di mana LPSK tidak mempunyai otoritas untuk masuk atau mengintervensi tugas dan wewenang dari lembaga penegak hukum lainnya. Misalnya soal Peradilan, LPSK tidak bisa sampai ke sana tanpa ada kerjasama dengan pihak Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Artinya, dengan mengharmonisasikan perbedaan yang ada maka diharapkan LPSK dapat menjadi lembaga yang komplemen yang dapat berguna bagi lembagalembaga penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan, dan lainnya). Contoh MOU yang ditandatangani sebagai salah satu persetujuan antar instansi negara adalah sebagai berikut : (Lembaga Perlindung Saksi dan Korban : 2012) a. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komisi Perlindungan anak Indonesia b. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Lembaga Administrasi Negara c. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Kementerian Hukum Dan Hak Asaso Manusia Republik Indonesia d. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Badan Narkotika Nasional e. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Komisi Pemberantasan Korupsi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
f. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama Kepolisian Negara Republik Indonesia g. Nota Kesepakatan ersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Pusat Pelaporan Dan Analisi Transaksi Keuangan h. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia i. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Ombudsman Republik Indonesia j. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Universitas katholik Atmajaya Jakarta k. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Nota Kerjasama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komisi Nasional Perlindungan Anak indonesia l. Pernyataan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan hak Asasi Manusia dan Komisi Pemberantasan Korupsi m. Nota Kesepakatan Bersama Antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Universitas Nusa Cendana Kupang Oleh karena itu pula maka hubungan antar lembaga tersebut harus di dukung dan difasilitasi oleh presiden, karena LPSK bertanggungjawab pula kepada Presiden. Posisi Presiden sebagai posisi yang sangat sentral dalam mendukung kerja LPSK sekaligus sebagai posisi yang membawahi masingmasing departemen atau lembaga terkait lainnya. Sebagai bahan awal, lihat peran masing-masing lembaga atau instansi terkait dalam tabel di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
Tabel 3.10 Peran Lembaga atau Intansi Pemerintah Lembaga Kepolisian
Kejaksaan
Pengadilan
Departemen Negeri Departemen Kesehatan
Dalam
Departemen Hukum dan HAM Departemen Pendidikan Departemen yang menangani masalah perumahan Komisi khusus: KPK, Komnas HAM, PPATK, BNN , dll Kepala Pemerintahan Daerah Departemen Tenaga Kerja Dan sebagainya
Peran 1. Dukungan keamanan dan penjagaan dalam program perlindungan 2. Penerima benefit (sebagai penyelidik yang saksinya dilindungi) 1. Dukungan administrasi (pihak perpanjangan tangan bagi saksi yang melaporkan intimidasi) 2. Penerima benefit (sebagai penuntut umum yang saksinya dilindungi) 3. Dukungan untuk informasi hasil pengadilan, putusan atau pembebasan pelaku. 1. Dukungan untuk perlindungan dalam sidang pengadilan, misalnya: merubah format ruang sidang, mempersiapkan sidang tertutup, teleconference, dsb. 2. Dukungan untuk informasi hasil pengadilan Dukungan untuk perubahan status administrasi kependudukan dll 1. Dukungan untuk pengobatan medis dan psikososial 2. Dukungan untuk perubahan catatan medik, face off dll Dukungan perlindungan bagi saksi dalam status narapidana: pemindahan tahanan, penjagaan khusus dalam LP dll 1. Dukungan perubahan akte, ijazah dan administrasi pendidikan 2. Dukungan untuk menyediakan sekolah bagi saksi/keluarga saksi yang mendapat relokasi 1. Dukungan tempat tinggal sementara/permanen bagi saksi. 2. Dukungan untuk mempermudah akses akan relokasi dan adminsitrasinya. 1. Dukungan administrasi (pihak perpanjangan tangan bagi saksi yang melaporkan intimidasi 2. Penerima benefit (yang saksinya dilindungi) 3. Dukungan perlindungan yang mungkin ada berdasarkan kewenangannya. 1. Dukungan untuk akses relokasi di wilayahnya 2. Dukungan untuk kemudahan administrasi 1. Dukungan pemindahan tenaga kerja 2. Dukungan pemberian pekerjaan bagi saksi Masih banyak lagi pihak terkait yang bisa bekerjasama dalam program perlindungan yang belum tercakup dalam tabel ini
Sumber : Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
5. Kerjasama dengan Lembaga Swasta dan Organisasi Masyarakat lainnya. Disamping itu LPSK sangat perlu untuk berkerja sama dengan masyarakat baik pihak swasta maupun organisasi masyarakat, dalam rangka memberikan perlindungan. Perlu dikemukakan bahwa saat ini sudah banyak masyarakat secara swadaya membentuk task force perlindungan saksi bagi kasus-kasus tertentu seperti: pemberian rumah aman/rumah singgah (safe house) sementara bagi kasus-kasus kekerasan seksual dan KDRT baik bagi korban perempuan maupun anak. Untuk mensinergikan perlindungan maka UU PSK harus pula membuka kerja sama dengan masyarakat, disamping itu hal ini berguna pula bagi LPSK baik secara logistik maupun dukungan sumber daya perlindungan. Dalam prakteknya LPSK juga akan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga seperti ini : Tabel 3.11 Kerjasama LPSK dengan Lembaga Masyarakat dan Swasta Lembaga masyarakat
Peran yang mungkin
Organisasi Masyarakat, NGO dlll
1. Dukungan keamanan dan penjagaan dalam program perlindungan 2. 1. Dukungan tempat tinggal sementara/permanen bagi saksi. 3. Dukungan untuk mempermudah akses akan relokasi dan adminsitrasinya. Masih banyak lagi pihak diluar pemerintah yang bisa bekerjasama dalam program perlindungan yang belum tercakup dalam tabel ini
Asiosi Perumahan Lokal
Dan lain sebagainya
Sumber : Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban 6. Unsur-Unsur Kunci Perlindungan Saksi dan Korban Terdapat dua unsur kunci dalam perlindungan saksi dan korban, yaitu saksi itu sendiri; dan pihak lain yang mempunyai hubungan dalam kasus tindak pidana yang berpotensi membahayakan dirinya sendiri. Semisal: hakim, penuntut umum, agen dalam penyamaran, penerjemah, dan informan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
Kedua unsur tersebut merupakan obyek yang harus mendapat perlindungan karena peranannya dalam penegakan hukum sangat penting. Dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap kedua pihak tersebut perlu ditopang dengan anggaran yang besar dalam memenuhi perlindungan fisik, relokasi, dan kerahasiaan atau pembatasan pengungkapan identitas, termasuk lokasi saksi. Selain anggaran yang besar, kerjasama antar instansi yang memiliki kewenangan-kewenangan terkait sangat diperlukan. Karena itu LPSK tentu tidak dapat bekerja sendiri. Kerjasama tersebut kian penting, terutama dengan sejumlah lembaga peradilan, karena perlindungan terhadap keamanan pribadi, keluarga, harta benda dari saksi pelapor, saksi kunci, ataupun korban dari tekanan dan berbagai ancaman telah menimbulkan kasus-kasus baru. Perlindungan terhadap Whistle Blower yakni pelapor yang berani mengungkap skandal korupsi meskipun dia sendiri terlibat di dalamnya belum dihargai secara layak. Dan pada akhirnya pelapor tersebut ikut menanggung akibat perbuatannya. la misalnya, menjadi terlapor.Yang tak kalah penting: adanya
perubahan
dalam
Hukum
Acara
Pidana
yang
mengakomodir
perlindungan saksi dan korban. Dari best practices di beberapa negara, terlihat adanya beberapa perlindungan prosedural dalam Hukum Acara yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. Misalnya kesaksian melalui closed circuit television (CCTV) atau video conference; kesaksian terlindungi melalui penggunaan layar/tirai/kaca dua arah; pemindahan terdakwa atau publik dari ruang sidang; kesaksian tanpa nama; pengunaan pernyataan pra sidang; kehadiran pendamping untuk dukungan psikologis; serta perubahan lokasi persidangan dan tanggal sidang. Intansi aparat penegak hukum mempunyai komitmen yang tinggi bagi terpenuhinya hak-hak saksi dan korban sebagai upaya memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban. Tapi tidak scmua hak saksi dan korban dapal dipenuhi oleh kejaksaan. Hak-hak saksi dan korban, semisal memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya kadang kala sulit dipenuhi. Jangankan melindungi saksi dan korban, melindungi dirinya sendiri dan keluarganya dari ekses negatif pelaksanaan tugas saja masih mengalami kerepotan. Hal ini disebabkan tidak-adanya sarana dan pra sarana yang diberikan negara kepada Aparat penegak hukum untuk melakukan hal-hal tersebut. Apalagi memenuhi hak-hak saksi dan korban berkaitan dengan materi, tentu keadaannya sekarang ini kian merepotkan. Seperti memberikan tempat kediaman baru dan memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Kesulitan dalam memenuhi hak-hak tersebut, karena keterbatasan anggaran yang diberikan oleh negara. Bahkan untuk biaya operasional sehari-hari dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, biaya yang diberikan negara kepada aparat penegak hukum sangat kecil tidak sebanding dengan beban tugas yang diemban.
B. PEMBAHASAN 1. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Melindungi Whistleblower (Peniup Peluit) dengan Justice Collabolator (Pelapor Pelaku) pada Kasus Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi dan mewujudkan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana di Indonesia menjadi landasan dalam pembentukan Undang
Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban.Dalam urgensi peningkatan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Keberadaan program perlindungan saksi dan korban di Indonesia sekarang ini sudah menjadi kepastian dalam sistem peradilan pidana modern. Dalam sistem peradilan pidana, haal ini menjadi bagian penting karena diyakini dapat memberikan perlindungan penanganan, dan perlakuan yang baik kepada saksi dan korban. Sehingga hakhak mereka yang sudah diakui di dalam berbagai peraturan perundang-undangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
dapat
diimplementasikan
sebaik-baiknya.
Meskipun
kemudian
berbagai
peraturan tersebut mempengaruhi efektivitas operasional Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena masih terbentur dengan kewenangan lembaga yang bersinanggungan dengan peraturan tersebut. Menjadi catatan tebal bahwa problem kewenangan ini mesti selesai terlebih dahulu secara yuridis, bahwa Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi payung hukum program perlindungan saksi dan korban di Indonesia, sehingga pelaksanaannya tidak tumpang tindih. Sejalan dengan itu antar organ negara dan kelompak masyarakat juga terbangun perspesi yang sama, bahwa perlindungan saksi dan korban dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk melaksanakan kesamaan perlakuan antar saksi dan korban dengan tersangka atau terdakwa Tidak mudah menyamakan persepsi ini. Mengingat, hak hak tersangka dan terdakwa lebih dahulu diakui di dalam hukum acara pidana, yang sejak lama dipengaruhi oleh pemberlakuan Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik,1966, yang di zamannya masih dipandang sebagai sebuah kesadaran yang baru. Pandangan ini tidak berarti untuk konteks zaman sekarang dipandang usang. Sebab masih ada materi hukum pidana yang masih relevan. Hanya saja, dibutuhkan paradigma baru. Ungkapan sederhananya adalah tersangka, terdakwa, serta terpidana sajamemiliki kepastian hak-hak dan bentuk-bentuk perlindungan hukum apalagi seorang saksi korban dan pengungkap fakta yang berjasa mengungkap suatu kejahatan tindak pidana serta yang mengalami penderitaan akibat kelalaian atau ketidakmampuan aparat negara menjamin perlindungan dan penanganan terhadap saksi korban dan pengungkap fakta kejahatan tersebut. Tanggung jawab negara melindungi serta saksi korban dan pengungkap fakta akibat ketidak mampuan aparat negara menjamin keamanan dan ketertiban,
parlemen yang mengesahkan peraturan perundang-undangan yang mengandung materi keamanan dan ketertiban masyarakat, juga ikut bertanggung jawab.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
Bahkan, jikamerujuk pada pengertian organ negara dalam artian sempit (arti materiil), individu-individu pelaksanaan organ negara tersebut juga bertanggung jawab. Negara seharusnya berpandangan, dengan melindungi saksi korban dan pengungkap fakta, akan memiliki efek berantai (multi effect) untuk memerangi kejahatan-kejahatan serius. Sebab, salah satu titik tekan tujuan program perlindungan saksi korban dan pengungkap fakta bukanlah semata-mata hanya untuk memenuhi hak-hak saksi korban dan pengungkap fakta, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat (tool) untuk memerangi kejahatan-kejahatan terorganisisr dengan keberanian saksi korban dan pengungkap fakta untuk mengungkap kejahatan tersebut. Seperti : Korupsi, drug atau narkoba, human trafficking, terorisme, pelanggaran HAM yang berat, pencucian uang atau berbagai kejahatan lain yang termasuk kategori organized crimes dan transnational crimes. a. Prinsip Pelaksanaan Perlindungan Saksi Korban dan Pengungkap Fakta 1) Kerahasiaan Mengingat peran seorang saksi korban dan pengungkap fakta adalah demi penegakkan hukum, tercipta stabilitas keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat, prinsip ini amat menentukan. Segala hal yang membuat saksi korban dan pengungkap fakta khawatir untuk mengungkapan kesaksiannya meskipun dilindungi oleh hukum. Yang paling krusial adalah dokumen mengenai saksi itu sendiri. Tidak satupun tugas yang diperkenankan membocorkan dokumen diluar perintah lembaga perlindungan. Atau kecuali adanya perintah dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh pengadilan yang kompeten. Kerahasiaan dokumen rentan terbuka justru karena tidak adanya standart pengawasan internal dari prosedur administratif penerimaan datadata dan input data mutakhir mengenai saksi. Karena itu, database yang ditangani unit lembaga perlindungan perlu memastikan tingkat keamanan dan kerahasiaan tingkat tinggi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
Ketika sistem keamanan dan kerahasiaan database saksi telah berjalan baik, resiko terbesar berada pada unsur manusia sebagai pelaksana. Beberapa negara telah menguncii tingkat keamanan dan kerahasiaan dokumen program perlindungan saksi dengan pengenaan ketentuan pidana serius. Wilayah administrasi khusus Hongkng di Cina misalnya, mengancam pelakunya dengan hukuman maksimaal 10 tahun penjara. 2) Kemitraan Program perlindungan saksi sarat dengan kemitraan, baik dengan organ
negara
lainnyamaupun
dengan
sektor
swasta.
Lembaga
perlindungan saksi erat kaitannya dengan organ atau lembaga yang menangani identitas pribadi seperti Kartu Tanda Penduduk, Pasport, Surat Ijin Mengemudi, Akta Lahir, Akta Keluarga, dan Surat Pernikahan, Akta Aset, sebagainya serta mengenai infrastruktur perumahan publik, kesejahteraan sosial, permasyarakatan (saksi yang dipenjara), medis (pengobatan,rehabilitasi), pendidikan, perbankan (lembaga keuangan lainnya). Indentifikasi kontak antar petugas penghubung juga menjaga kerahasiaannya, selain petugasnya diseleksi ketat. 3) Netralitas Netralitas disini meliputi netralitas saksi dan petugas perlindungan saksi tersebut. Netralitas saksi dapat diindentifikasi kedudukannya sebagai saksi, apakah kesaksiannya dalam kasus yang melibatkan kejahatan organisir atau kejahatan lainnya, apakah yang bersangkutan adalah saksi korban, tingkat pemahaman dan pengetahuan saksi terhadap kasus yang ia saksikan (hanya mendengar, melihat atau memilik bukti materiil), atau saksi yang memang terlibat dalam kasus tersebut. Dalam praktik banyak negara, jenis saksi terakhir ini paling banyak. Dan itu menuntut netralisirnya sebagai pelaku kejahatan dan saksi yang mengungkap jaringan kejahatannya sendiri demi tegaknya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
hukum. Biasanya, kesediaannya dalam bersaksi bukan saja sebagai kebutuhan terjaminnya keselamatan dari ancaman, tetapi juga ada faktor upaya balas dendam. Termasuk, upaya menghindari penuntutan hukum yang lebih besar atau harapan akan mendapat keringanan hukuman (karena
ia
bekerjasama
dengan
aparat
penegak
hukum
untuk
membongkar keterlibatan pelaku lain atau kejahatan yang lebih besar lagi). Netralitas petugas, terutama kepolisian, mesti memisahkan antara kapasitasnya sebagai penyidik (pengungkap kejahatan) dan petugas perlindungan
(dengan
melindungi
unit
pelaku
kejahatan
untuk
mengungkap yang lain). Seperti intelijen, petugas perlindungan amat rahasia. Jangan sampai kerahasiaannya tugasnya ia gunakan sebagai motivasi untuk memperoleh penghargaan (baik promosi jabatan maupun materi), yang cenderung membagi informasi atas kerja-kerja rahasiannya dan ini sebagai tanda awal kacaunya program perlindungan karena terjadi masalah didalam antara petugas di unit perlindungan atau petugas mitra unitnya. 4) Transparasi dan Akuntabilitas Walaupun
tergolong
rahasia,
penggunaan
dana
program
perlindungan saksi dan korban tetap memegang prinsip ini. Karena itu auditor perlu dilengkapi dengan prosedur khusus audit dan pelaporan untuk menekan penyalahgunaan misi rahasia. Misalnya, soal akumudasi berupa hotel, tiket transportasi, uang saku dari biaya tak tertuga di lapangan dan sebagainya. Bahkan, auditor khusus ini dilengkapi dengan akses
data-data
aktivitas
petugas
selama
di
lapangan,
untuk
merasionalisasi seberapa besar biaya yang dihabiskan. Sebaliknya, auditor juga mesti menjamin kerahasiaan aktivitas petugas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
Tim audit juga meninjau prosedur dan metodelogi operasional lapangan. Tim kedua, ditugaskan oleh Kantor Audit Nasional. Meskipun tidak diberikan akses terhadap catatan petugas perlindungan saksi, tim inilah yang menugasi tim Polisi Federal untuk melaksanakan audit. Dalam proses pemeriksaan, saksi pelapor menempati proses penting dalam terungkapnya kasus tindak pidana korupsi. Di lain pihak keberadaan saksi pelapor dalam proses peradilan pidana kurang mendapatkan perhatian baik itu dari aparat penegak hukum. Oleh karena itu saksi pelapor seharusnya menmdapatkan perlindungan yang serius dari aparat penegak hokum sehingga
memudahkan
dalam
korupsi.Peran whistleblower
penyelesaian
kasus
tindak
pidana
dan justice collaboratordalam mengungkap
suatu kasus pidana yang lebih besar sangat penting. Melalui kesaksiannya, kejahatan yang terorganisir rapi bisa dibongkar. Itu jika perlindungan terhadap mereka diberikan secara maksimal. Melihat data permohonan perlindungan yang diterima LPSK dari tahun ke tahun, cukup besar diantaranya berasal dari kasus korupsi. Dari sudut pandang berbeda, selain tentang permohonan itu sendiri, fakta ini bisa memiliki arti penting dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.Seperti diketahui, hampir selalu korupsi bukanlah kejahatan individu. Pasti ini dilakukan lebih dari satu orang, dan bahkan bisa jadi terorganisir. Karenanya orang yang sangat penting kesaksiannya untuk menguak borok tersebut adalah mereka yang mengetahui pasti. Dan itu biasanya berasal dari lingkungan dalam para pelaku korupsi itu sendiri. Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan whistleblower , atau ada juga justice collaborator. Keduanya merupakan orang yang mengungkapkan adanya tindak pidana kepada aparat penegak hukum. Hanya saja bedanya, whistleblower adalah pelapor sedangkan justice collaborator adalah pelapor sekaligus tersangka dalam kasus yang sama. Kesaksian mereka sangat penting. Karenanya, LPSK sangat konsen dalam memberikan perlindungan terhadap whistleblower dan justice
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
collaborator. Beberapa nama yang mendapat perlindungan seperti Agus Condro dalam kasus suap cek pelawat. Whistleblower bukan hanya dikenal dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi juga dalam lingkungan lain, seperti perusahaan sebagai upaya mewujudkan good corporate governance. Para whistleblower bukan sekadar 'tukang mengadu' akan tetapi saksi suatu kejahatan. Beberapa lembaga seperti KPK sudah mengembangkan sistem online pelaporan whistleblower, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) juga mengembangkan whistleblower
system. Whistleblower
merupakan orang dalam Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau lembaga lain yang memiliki akses informasi dan mengadukan perbuatan terindikasi penyimpangan. Whistleblower mempunyai hak atas perlindungan dan penghargaan. Sedangkan,
justice
collaborator
merupakan
pelaku
yang
bersedia
bekerjasama demi penuntasan kasus. Surat Edaran Mahkamah Agung No.4/2011 tertanggal 10 Agustus, memerintahkan para hakim melindungi para whistleblower dan justice collaborator.Di UU Perlindungan Saksi dan Korban, mengenai perlindungan whistleblower ini juga diatur. Sayangnya, sebagaimana beberapa pasal yang lain, aturan tentang hal itu masih perlu penguatan. Di dalam pasal 10 ayat (1) telah memberikan mandat kepada LPSK untuk memastikan perlindungan terhadap whistleblower agar kesaksian dan laporannya tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata. Tapi, dalam praktiknya rumusan Pasal 10 ini belum memberikan pengertian jelas, baik persyaratannya maupun implementasinya. Selama ini beberapa persoalan yang biasa muncul antara lain, sering muncul pertanyaan, dalam hal apa saja saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum pidana maupun perdata atas laporan yang telah diberikannya, Pengertian soal persyaratan seorang pelapor yang dilindungi atau dalam pengungkapan atau pelaporan, atau persyaratan menyangkut kriteria kasus dan mengenai kontribusi dari pelapor tersebut, juga belum jelas diatur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
Begitu juga dengan apresiasi aparat penegak hukum terhadap keputusan LPSK memberikan perlindungan terhadap pelapor juga minim. Sebab, LPSK dianggap melakukan intervensi kewenangan aparat penegak hukum. Alhasil perlindungan LPSK terhadap pelapor hanya mendapatkan bentuk perlindungan "tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata", sehingga tidak mencakup bentuk perlindungan yang diberikan LPSK sebagaimana Pasai 5 Ayat (1). Seorang whistleblower dalam sebuah perusahaan swasta sebenarnya bahkan memiliki hak untuk tidak dikeluarkan dari pekerjaannya gara-gara dia membongkar kejahatan di dalam perusahaannya. Namun yang terjadi biasanya orang itu dibuat tidak nyaman bekerja, sehingga dengan sendirinya mengundurkan diri. Di Indonesia peran seorang whistleblower belum mendapatkan apresiasi
yang
baik.
Minimnya
dukungan,
perlindungan
apalagi
penghormatan/ penghargaan yang memadai bagi mereka, sering tidak sebanding dengan pentingnya informasi yang mereka ungkapkan bagi penegakan hukum dan kepentingan public. Kelemahan juga terjadi pada pasal mengenai perlindungan bagi pelapor tersangka (Justice Collaborator). Pasal 10 Ayat (2) yang menyatakan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama disebut justice collaborator.Namun, di Pasal 1 Ayat (1) saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Ini berarti Pasal 10 Ayat (2) menyatakan bahwa pelaku yang bekerjasama juga termasuk kategori sebagai saksi dan tersangka. Pengertian ini belum mencakup pelaku bekerjasama yang kapasitasnya sebagai seorang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
pelapor atau informan, tapi ia memiliki peran signifikan dalam memberikan informasi tentang kasus tersebut. Selanjutnya, UU ini juga tak memberikan panduan untuk menentukan kapan seorang disebut sebagai justice collaborator, pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerjasama, ukuran kerjasama dari seorang yang mengaku sebagai pelaku bekerjasama, ukuran reward yang akan diberikan, dan prosedur dalam meminta pengurangan hukuman dalam mekanisme peradi-lan. Ketiadaan pengaturan itulah yang menjadi salah satu sebab pemberian proteksi dan reward bagi justice collaborator mengalami banyak kendala. Terkait hal ini, LPSK juga pernah melakukan audiensi dengan jajaran Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM pada awal Februari lalu. Pertemuan ini untuk menyiapkan fasilitas dan pengamanan terhadap saksi yang merupakan justicecollaborator, Hasil pertemuan disepakati akan membentuk tim perumus untuk penyusunan peraturan pelaksana dan teknis mekanisme perlindungan terhadap justice collaborator. Diantara rumusan itu adalah perlunya kesepakatan dan pemahaman bersama mengenai criteria dan peran justice collaborator yang dilindungi LPSK. Ini untuk memudahkan pelaksanaan pemberian perlindungan, misalnya dengan menempatkannya pada ruangan khusus di ruang tahanan ataupun lapas dengan pengamanan maksimum. b. Selektif Beri Perlindungan Menyangkut perlindungan justice collaborator ini, LPSK sempat menjadi sorotan public. Sesuai ketentuan Pasal 32 UU Perlindungan Saksi dan Korban, pemberian perlindungan dapat dihentikan dengan alasan saksi dan/atau korban melanggar ketentuan perjanjian. Bisa juga lantaran LPSK berpendapat bahwa saksi
dan/atau korban
tidak lagi memerlukan
perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
Karena masalah ini, Anggota Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia DPR berharap LPSK lebih hati-hati lagi melindung saksi dan korban. Salahsalah, upaya melindungi saksi dan korban ini akan menjadi serangan balik dari pihak musuh. Apalagi jika para musuh itu memanfaatkan bolongbolongnya UU LPSK, dan agar LPSK untuk lebih selektif dalam memberikan perlindungan, khususnya bagi mereka yang menjadi pelapor tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi. Dia menuturkan, karena lembaga ini mencontoh dari beberapa negara seperti di Amerika, Inggris dan Australia, maka harus disaring ter-lebih dahulu mana-mana saja fungsi yang relevan dengan kondisi di Indonesia. Selama ini, LPSK sering diminta memberikan perlindungan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Seperti diketahui, di tengah minimnya perlindungan bagi whistleblower
dan justice collaborator sekarang ini,
sebenarnya telah ada beberapa peraturan bersama antara LPSK dengan sejumlah pihak, seperti Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, dan KPK. Bahkan adapula Surat Edaran Mahkamah Agung No.4/2011 Tentang Perlakuan Tindak Pidana (Whitleblower) dan Saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara tindak pidana tertentu. Namun, nyatanya belum bertaji. Karenanya, revisi UU No.13/2006 diharapkan menjadi solusi konkret atas persoalan ini. c. Ancaman Meningkat Dukungan Tersendat Peningkatan angka permohonan perlindungan dan bantuan
yang
berjumlah 154 pemohon pada 2010 meningkat menjadi 340 pemohon sepanjang 2011 merupakan angka signifikan bagi LPSK, lembaga yang usianya baru menginjak empat tahun ini. Berbagai kendala dan hambatan yang menerpa, tidak menyurutkan komitmen LPSK melakukan terobosan dalam memberi pemberian perlindungan terhadap masyarakat yang menjadi saksi dan korban. Alotnya koordinasi LPSK dengan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap saksi yang juga menjadi tersangka (justice
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
collaborator), pelan tapi pasti, toh perlindungan terhadap justice collaborator kian diakui di jagat dunia hukum Tanah Air. Hal tersebut bisa dibuktikan dari lahirnya kesepakatan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator, yang dituangkan dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi dan LPSK Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Lahirnya Surat Edaran MahkamahAgung RI (SEMA) Nomor 4Tahun 2011 Tentang Perlakuan Terhadap Whistleblower dan Justice collaborator dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, semakin mengukuhkan bukti keberadaan saksi jenis ini semakin diakui. Surat Edaran ini memberikan panduan yang lebih pasti bagi hakim dalam menjatuhkan vonis kepadajustice Collaborator, mengingat perannya dalam mengungkapkan tindak pidana. Baik penjatuhan vonis pidana percobaan bersyarat khusus; atau berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dan dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertim-bangkan rasa keadilan masyarakat. SEMA No.4 Tahun 2011 ini juga memberikan sinyal penting untuk Ketua Pengadilan agar mendahulukan perkara yang diungkap Whistleblower dan Justice collaborator ketimbang perkara baru, yang menjadi serangan balik terhadap keduanya, seperti pelaporan pencemaran nama baik dan sebagainya.Dan juga dibuat Peraturan Bersama antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia yang dituangkan dalam Nomor : M.HH-11.03.02.th2011, Nomor : PER
045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor : KEPS-
02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
Pelapor,Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku yang Bekarjasama. Dengan tujuan sebagai berikut : a. Mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat penegak hokum dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi Pelapor, Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam perkara tindak pidana. b. Menciptakan rasa aman baik dari tekanan fisik maupun psikis dan pemberian penghargaan bagi warga masyarakat yang mengetahui tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir untuk melaporkan atau memberikan keterangan kepada aparat penegak hokum ;dan c. Membantu aparat penegak hokum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan membantu dalam pengembalian asset hasil tindak pidana secara efektif. d. Penyelesaian LPSK Sepanjang 2011, dari 340 permoho-nan yang diajukan kepada LPSK seban-yak 302 permohonan telah dibahas dalam rapat paripurna atau 89 persen dari keseluruhan permohonan yang masuk. Sementara itu, 38 permohonan lainnya sampai dengan Februari 2012 masih dalam tahap pendalaman, tahap investigasi, atau sedang dalam proses koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Dari 302 permohonan yang telah dibahas dalam rapat paripurna tersebut, sebanyak 135 permohonan telah diputuskan untuk diterima, dan selanjutnya diproses dalam layanan per-lindungan, bantuan, serta kompensasi dan restitusi.Rapat Paripurna Anggota LPSK ta-hun 2011 memutuskan sebanyak 167 permohonan tidak diterima (ditolak), dengan beberapa dasar pertimbangan, yaitu :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
a. Pertama, permohonan tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana persyaratan yang dinyatakan oleh undang-undang. b. Kedua, tidak dilengkapinya berkas-berkas yang dimintakan oleh satuan tugas penerimaan permohonan LPSK kepada pemohon sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan. c. Ketiga, kasus yang dialami oleh pemohon tidak termasuk dalam ranah LPSK sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Memang secara umum, merujuk data Polri 2011, tren tindak pidana sepan-jang tahun 2011 menurun dibanding-kan 2010. Yaitu dari 333.161 kasus pada 2010 menurun (11,11 persen) menjadi 296.146 kasus pada 2011. Namun itu bukan berarti menurunnya ancaman terhadap masyarakat untuk kasus-kasus tertentu seperti tindak pidana korupsi yang melibatkan beberapa pihak, dan berdampak luas ketimbang tindak pidana orang per-orangan. Bahkan, berdasarkan sebaran wilayah permohonan perlindungan dan bantuan yang LPSK terima sepa-njang 2011 cukup merata (dari 33 provinsi, LPSK menerima permohonan dari 29 provinsi) LPSK mem-perkirakan jumlah permohonan terse-but semakin meningkat pada 2012 ini. Hal ini mengingat, LPSK kian dikenal di daerah-daerah. e. Minimnya Dukungan Angka peningkatan permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK tentu merupakan cambuk untuk lebih bekerja keras dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Sayangnya, tuntutan kerja keras ini tak sejalan dengan dukungan negara terhadap penguatan LPSK. Terbukti, revisi UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban kandas masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2012. Korelasi antara dukungan penguatan kelembagaan dalam revisi UU ini bukanlah sekedar wacana di atas kertas teks hukum. Fakta pentingnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
revisi UUPSK ini terhadap keberlangsungan perlindungan terhadap saksi dan korban di Indonesia tecermin dalam isu penyusunan revisi UU ini. Misalnya, memasukan muatan men-genai penerapan Pasal 44 UU No 13 Tahun 2006 secara konsisten, yaitu ketentuan peralihan UU ini yang pada saat diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. Hal
lain, revisi yang menyangkut minimnya kewenangan LPSK;
efektifi-tas ketentuan pidana dalam UU No.13 Tahun 2006; perlindungan terhadap anak, perlunya pendampingan bagi Saksi/Korban di persidangan; perlindungan pelapor (whistleblower ); perlindungan bagi tersangka yang berkolaborasi (justice collaborator); perlindungan Saksi Ahli; bantuan bagi korban; pemberian Restitusi, Kompensasi, Restrukturisasi Kelembagaan LPSK. Beberapa isu ini sangat berpengaruh signifikan terhadap optimalisasi pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban. Tentu saja kian menuntut menuntut awak LPSK bekerja lebih keras. Tetapi, tuntutan itu tidak diimbangi oleh dukungan negara pemerintah dan DPR) menguatkan upaya perlindungan saksi dan korban yang dijalankan LPSK sebagaimana amanat undang-undangnya.Dukungan aparat penegak hukum juga sangat menentukan dalam optimalisasi pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban. Seandainya aparat penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan, peka dengan adanya ketentuan Pasal 10 ayat [1] UU No. 13 Tahun 2006 bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum balk pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya) tentulah pelapor dan saksi akan merasa nyaman dalam melaporkan dan menyampaikan infor-masi tindak pidana yang ia alami.Sudah seharusnya keberadaan LPSK perlu didukung dengan tindakan konkrit, dan bukan sekedar isapan jempol. kewajiban LPSK memberikan perlindungan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
terhadap saksi dan korban harus terus dilakukan sesuai dengan amanat Undang-Undang. f. Ketentuan Pidana Ada salah penempaatan ketentuan dalam Pasal 37 dan Pasal 38 dalam ketentuan Undang-Undang ini untuk jenis hak saksi atau korban dalam memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau yang telah diberikannya (sebagaimana rumusan huruf a ayat 1 pasal 5); serta hak asasi atau korban untuk mendapat penerjemahan (sebagaimana rumusan huruf d ayat 1 Pasal 5). Pasal 37 memberkan saksi bagi siapapun yang memaksa kehendak (menggunanakan kekerasan maupun cara-cara tertentu), yang menyebabkan saksi dan / atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana rumusan huruf a dan huruf d ayat 1 Pasal 5: dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun; denda paling sedikit Rp.40 juta, dan paling banyak Rp.200 juta. Konsideran Pasal 38 juga memberikan sanksi bagi siapapun yang melakukan pemaksaan kehendak sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan / atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun, paling lama tujuh tahun, dan denda paling sedikit Rp.80 juta dan paling banyak Rp. 500 juta. Semestinya, pengenaan tindak pidana sebagaimana Pasal 37 dan Pasal 38 tersebut bukan bagi yang pelanggar pasal 5 ayat 1 huruf d (hak mendapat penerjemahan) tetapi untuk pelanggaran mereka yang menyebabkan saksi dan korban tidak mendapatkan hak identitas baru ( huruf I ayat 1 Pasal 5); serta mereka yang menyebabkan saksi dan korban tidak mendapatkan hak tempat kediaman baru (huruf j ayat 1 Pasal 5). Sebab bila merujuk Pasal 5 ayat 1 huruf d, justru sudah mengatur mengenai hak saksi atau korban mendapat penerjemahan. Selain itu, pengertian rumusan Pasal 37 Undang-Undang ini,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
pasti, sehingga tidak menimbulkan banyak penafsiran. 2. Penanganan Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Lintas Lembaga
Penegak Hukum diIndonesia. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) merupakan tonggak sejarah dimulainya upaya-upaya yang lebih serius terhadap perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Hukum Acara Pidana sebagai prosedur penegakan hukum di Indonesia belum mengatur secara
signifikan
perlindungan
saksi
dan korban. Perlindungan terhadap
tersangka atau terdakwa masih lebih dominan. Padahal saksi maupun korban memegang peran penting dalam proses penegakan hukum. Peranan tersebut tercermin dari dimulainya proses penegakan hukum karena adanya permohonan dari saksi atau korban. Dalam suatu peradilan pidana, seringkali penegak hukum mengalami kesulitan untuk mendapatkan keterangan dari saksi dan korban, karena adanya ancaman fisik maupun psikis dari pihak tertentu yang khawatir kejahatannya terungkap. Peran saksi dan korban kian penting karena keterangan mereka merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam peradilan pidana. Oleh karena itu, sangatlah tidak adil apabila mereka tidak mendapatkan perlindungan untuk keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda yang dimilikinya. Kemampuan seorang saksi dalam memberikan kesaksiannya dalam peradilan pidana tanpa rasa takut dan intimidasi atau pembalasan menjadi salah satu isu utama dalam memelihara kepastian hukum. Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UN TOC Convention] melalui UU Nomor 5 Tahun 2008, Indonesia memiliki konsekuensi melakukan upaya-upaya yang pantas untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap pembalasan atau intimidasi bagi saksi yang memberikan kesaksiannya dalam kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisir sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 UN TOC.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
Di Amerika Scrikat, upaya perlindungan terhadap korban lelah dimulai sejak tahun 1970, dalam pengungkapan kejahatan terorganisasi yang dikendalikan mafia. Upaya itu kemudian dilembagakan dan mendapat payung hukum berupa Undang-Undang Pengendalian Kejahatan
Teroganisasi
(Witness
Security
Programes). Dalam program tersebut, pemerintah Amerika Serikat memastikan keamanan fisik saksi yang berada dalam resiko melalui penempatan tempat tinggal baru, yang bersifat rahasia dengan merubah identitas saksi yang dilindungi tersebut. Berhasil-tidaknya suatu program perlindungan saksi tidak lepas dari adanya kerjasama antara pihak-pihak terkait maupun dengan saksi itu sendiri. Negara-negara lain yang kemudian memandang perlindungan saksi dan korban menjadi bagian penting dalam penegakan hukum, memutuskan untuk membentuk program perlindungan saksi. Seperti Australia, Hongkong, Kolombia, Jerman, Italia, Afrika Selatan. Dalam lingkup internasional, praktek perlindungan saksi dapat dilihat pada The International Criminal Court (Pengadilan Kriminal Internasional] Permanen dan Ad Hoc dalam pengungkapan kejahatan-kejahatan extra ordinary crimes. Di Indonesia, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 mengamanatkan untuk membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSKJ paling lambat satu tahun setelah Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 11 Agustus 2006. Namun ternyata LPSK baru terbentuk pada 8 Agustus 2008. Sebagai lembaga yang baru lahir, peranan LPSK belum secara signifikan dirasakan dalam proses penegakan hukum. Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya sarana maupun prasarana yang dimiliki LPSK dalam menjalankan tugas. Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan maka instansi terkait, sesuai dengan kewenangannya, wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dari paparan tersebut terlihat bahwa LPSK dalam menjalankan tugasnya akan dibantu oleh berbagai instansi terkait terutama instansi pemerintah. Hal ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
memang sudah seharusnya diberikan. Karena sudah menjadi platform umum, bahwa masalah yang terkait dengan perlindungan saksi hanya bisa ditangani secara efektif melalui pendekatan multi lembaga46. Dengan memakai platform ini, maka lembagaperlindungan saksi dalam melakukan perlindungan terhadap saksi tentunya menyadari bahwa kerja-kerja lembaga akan melibatkan banyak dukungan dari instansi lain. Apalagi jika dilihat dari segi goegrafis, dimana luasnya wilayah negara seperti di Indonesia maka tidaklah mungkin LPSK akan bekerja efektif jika tidak bekerjsama dengan intansi lainya. Sebagai contoh, berkaitan dengan intimidasi dan ancaman yang serius yang melibatkan relokasi saksi baik relokasi sementara maupun permanen, kerjasama antar-lembaga dengan program perlindungan saksi sangatlah penting baik dalam mengamankan perpindahan saksi dari rumah mereka dengan komunitas baru. Misalnya, akomodasi harus segera ditemukan, catatan atau rekam medis maupun sekolah harus dipindahkan, demikian juga mengenai catatan keuangan yang terkait dengan bank, demikian pula keberlanjutan dalam hal pekerjaan. Namun jika seseorang merupakan saksi yang berisiko terkena intimidasi yang serius yang mungkin juga akan mengancam jiwanya maupun keluarganya dan memiliki kemungkinan akan ada usaha dari pihak lain untuk melacak keberadaannya, maka sangatlah penting bila hubungan dengan lembaga-lembaga terkait dilakukan secara cepat dan aman. Oleh karena penting sekali dilakukan oleh LPSK di Indonesia untuk melakukan pemetaan yang komprehensif berkenaan dengan dukungan dari lembaga atau instansi terkait, melakukan pendalaman peran yang mungkin bisa dilakukan oleh masing-masing lembaga dan mengidentifikasi beberapa isu yang perlu diperhatikan yang akan muncul dari hasil kerjsama antara lembaga lain. Terkait dengan kerjasama antar lembaga/instansi, maka perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, para ahli atau pejabat-pejabat dari lembaga terkait dengan lembaga perlindungan saksi haruslah memberikan tanggapan yang efektif dan konsisten. Kedua, walaupun kerjasama telah dilakukan namun dengan membatasi hubungan dengan beberapa orang di tiap lembaga, maka resiko yang membahayakan saksi dapat diperkecil. Ketiga, hubungan antar lembaga yang kuat yang dibangun di antara para staf maupun pejabat lembaga perlindungan saksi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
dengan pejabat lembaga lain sangatlah penting saat menangani masalah-masalah yang mungkin timbul saat membantu para saksi dan korban. Perlindungan yang diberikan aparat penegak hukum kepada saksi pelapor tindak pidana korupsi adalah perlindungan atas segala ancaman yang dapat mengganggu ketentraman hidup. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 aparat penegak hukum memiliki peranan dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam hal perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikannya. Petugas kepolisian negara RI mempunyai peranan dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan pelapor tindak pidana korupsi, pihak kepolisian dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban selalu berusaha menciptakan rasa aman kepada saksi dan korban tindak pidana korupsi, hal ini bertujuan agar timbul kepercayaan masyarakat terhadap kinerja para aparat penegak hukum dalam rangka ikut serta dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dari pihak Kepolisian, Kapolri berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam bentuk menempatkan beberapa personelnya dalam kediaman saksi dan korban beserta keluarga agar terhindar dari segala ancaman maupun intimidasi. Selain menempatkan beberapa personelnya disekitar tempat kediaman saksi dan korban, Kepolisian juga menyediakan patroli reguler disekitar tempat kediaman yang bertugas untuk mengawasi terhadap segala sesuatu yang dianggap dapat mengganggu kehidupan saksi dan korban beserta keluarga. Pada tingkat sidang pengadilan, hakim sebagai aparat penegak hukum melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana korupsi secara tidak langsung. Hal ini dilakukan dalam hal saksi dan korban memberikan keterangan berbeda dengan keterangan yang disampaikan pada saat pemeriksaan pendahuluan. Apabila saksi dan korban mendapatkan tekanan serta perlakuan yang tidak sesuai dengan cara pemeriksaan, maka hakim wajib melaporkan hal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
tersebut kepada atasan dari petugas pemeriksa yang bersangkutan agar ditindaklanjuti. Seperti pada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Agus Condro sebagai pihak yang menerima cek pelawat pada kasus pemilihan Gubernur BI yang membocorkan masalah tersebut dan bekerjasama dengan penegak hukum untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi, Setelah menjalani hukuman selama 13,5 bulan atau satu setengah bulan lebih cepat dari masa hukuman, akhirnya Agus Condro Prayitno, 52 tahun, pada 25 Oktober 2011 menghirup udara bebas. Sebelumnya, pada 16 Juni 2011 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Agus 15 bulan penjara. Dia dinyatakan bersalah menerima suap dalam kasus
terpilihnya Miranda S. Goeltom sebagai
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang berlangsung pada 2004. Semula Agus mendekam di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya hampir selama dua bulan. Tapi, dia kemudian meminta dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Alas Roban, Kendal, Jawa Tengah. Difasilitasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), permintaan bekas anggota DPR periode 1999-2004 tersebut disetujui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar. Pada Rabu, 3 Agustus 2011, Agus pun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Alas Roban. Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, Agus menerima remisi dan berbagai perlakuan khusus karena dia berkelakuan baik dan bekerja sama dengan penegak hukum justice collaborator. Sebagai pelaku pelapor, Agus memberikan informasi yang kuat, tidak melakukan banding atas putusan yang diterimanya, mengembalikan cek pelawat sebesar Rp 500 juta, dan memperoleh Surat Keputusan dari LPSK sebagai pelaku pelapor.Dengan karekteristik seperti itu, Agus Condro memenuhi persyaratan sebagai whistleblower yang berhak atas penghargaan berupa remisi atas perannya dalam membongkar kasus korupsi. ada sejumlah kriteria yang membuat seseorang bisa disebut whistleblower , yaitu memberikan informasi akurat tentang sebuah kasus yang dikuatkan dengan putusan pengadilan, mau bekerjasama dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
mengakui perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukannya,
mengembalikan
hasil korupsi atau kejahatannya, tidak melanggar hukum selama dalam masa penyidikan hingga ke persidangan, dan keputusan LPSK (Lerabaga Perlindungan Saksi dan Korban) bahwa orang itu layak ditetapkan sebagai whistle blower.Agus Condro memenuhi itu semua. Selain itu bebas bersyaratnya Agus Condro ini merupakan pesan bagi setiap warga negara agar tak ragu untuk menjadi justice collaborator(pelaku pelapor). Justice collaboratoryang membantu pengungkapan kasus korupsi akan mendapat penghargaan. Baik berupa tuntutan hukum lebih ringan dan atau mendapatkan remisi kalau sudah dipenjara. Perlakuan khusus yang diterima Agus Condro tidak berjalan otomatis, tapi melalui proses yang cukup panjang dan berbelit-belit. Kisah Agus Condro, Yoedha, Dan Perjuangan Dari Dalam Partai pada 24 agustus 2008 di blognya, berawal dari persoalan internal PDIP. Dhia Prekasha Yoedha, mantan wartawan Kompas yang menjadi anggota PDIP sejak awal pendirian partai tersebut, mengirim SMS ke beberapa angota PDI-P. Yang berisikan tentang untuk Gerakkan segera demo ke Lenteng Agung bila DPP bentuk Komite Disiplin. Periksa Emir Moeis, Max Moein, Daniel Budi Setiawan, Agus Condro Prayitno, Dudie Murod. dll dan kenakan sanksi PAW jika terbukti langgar Kode Etik Partai. Tak ada penjelasan tentang kode etik apa yang dilanggar, tetapi SMS itu menambah kesialan Yoedha. Posisi nomor unit Yoedha sebagai Caleg DPRD DKI Jakarta (dari Daerah Pemilihan Jakarta Timur) jadi melorot dari nomor urut 2 ke 4, dan akhirnya ke nomor urut 8. Tak cukup dengan itu, Yoedha juga mendapat teguran keras dari salah satu petinggi PDI-P.Isu pelanggaran kode etik itu beredar di banyak kalangan, tetapi letap menjadi rumor, sampai kemudian, Agus Condro, yang waktu itu anggota Komisi IX DPR, mengakui di depan pejabat KPK telah menerima Rp 500 juta sepekan setelah terpilihnya Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia . Kepada KPK, Agus mengaku uang tersebut dibagi-bagikan melalui koleganya di Komisi XI DPR, Dudhie Makmun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
Murod, di ruang kerja Ketua Komisi IX Emir Moeis. Pengakuan ini kemudian dibahas dalam rapat pleno FPDIP pada Selasa, 19 Agustus 2008. Tidak jelas apa hasil rapat pleno PDIP tersebut. Tapi sehari kemudian Agus 'bernyanyi lebih nyaring. Kepada pers di Gedung DPR, Agus mengatakan bahwa dirinya bukan satu-satunya orang yang menerima traveler cheque (TC). Dia mengungkapkan sejumlah nama lain yang menerima cek pelawat Rp 500 juta bersama dirinya, yakni, William Tutuarima, Budiningsih, Mateus Formes, dan Muhammad Iqbal.Agus, dia menduga-duga pemberian uang berupa 10 lembar cek dari Bank Internasional Indonesia (BII) merupakan gratifikasi setelah berhasil meloloskan Miranda menjadi Deputi Gubernur Senior BI. Kuasa hukum Agus, Firman Wijaya, menyatakan, sebelumnya sebenarnya Agus pernah menceritakan kasus dugaan suap itu kepada Mahfud M.D saat keduanya bertemu di Garut, Jawa Barat. Belakangan, Mahfud sendiri menyatakan kesiapannnya jika dia diminta sebagai saksi meringankan untuk Agus. Pernyataan Agus tentang cek pelawat ini ternyata bukan lolongan anjing di padang pasir. Sekitar sebulan setelah pengakuan Agus, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan telah menemukan 400 lembar cek perjalanan yang dibagikan kepada anggota Komisi Perbankan. Satu lembar cek bernilai Rp 50 juta. Hasil temuan tersebut kemudian diserahkan ke KPK.Namun, sampai hampir 10 bulan sejak pengakuan Agus Condro, tidak ada tenggapan terbuka dari KPK. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa KPK tidak menindaklanjuti dugaan korupsi terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tersebut. Karena itu, MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) mempraperadilankan KPK yang dianggap lamban menangani pengaduan Agus Condro. Akhirnya pada 9 Juni 2009, KPK menetapkan dan menahan empat orang sebagai tersangka kasus penerimaan TC tersebut. Mereka, Hamka Yandu (Golkar), Endin AJ Soefihara (PPP), Dudhie Makmun Murod (PDIP), dan mantan anggota fraksi TNI/Polri yang telah menjabat anggota BPK, Udju Djuhaeri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
KPK juga mengembangkan kasus ini. Pada 1 September 2010 KPK mengumumkan 26 tersangka kasus suap terkait pemilihan Miranda Gultom sebagai DGS BI pada 2004. Dari 26 nama itu, 14 tersangka berasal dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), 10 dari Fraksi Partai Golkar, dan 2 dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). Termasuk dalam deretan tersangka adalah Agus Condro, politisi senior PDI Perjuangan, Panda Nababan, dan politisi senior Golkar, Paskah Suzetta. Empat tersangka penerima suap kemudian diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mereka, Dudhie Makmun Murod, Hamka Yandhu, Endin AJ Soefihara, dan Udju Djuhaeri. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 17 Mei 2010 menghukum dua tahun penjara Dudhie, Hamka, dan Udju. Ada pun Endin divonis 15 bulan, tapi Pengadilan Tinggi DKI kemudian memperberat vonis ini menjadi dua tahun penjara. Pada 16 Juni 2011, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Suhartoyo menjatuhkan vonis satu tahun tiga bulan penjara-tiga bulan lebih ringan dari tuntutan jaksa- kepada Agus Condro. Selain itu Agus juga diwajibkan membayar denda Rp 50 juta. Menurut Ketua Majelis Hakim Suhartoyo, mantan politikus PDIP itu terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam dakwaan jaksa kedua, yakni melanggar Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke I KUHP. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan menjatuhkan hukuman untuk Agus satu tahun tiga bulan penjara karena dia mengakui terus terang perbuatannya, menyesali perbuatannya, bersikap sopan selama persidangan, belum pernah di hukum, telah mengembalikan uang hasil korupsi, serta telah melaporkan kasus suap ini ke ke KPK. Kendati dihukum lebih ringan ketimbang yang lain, putusan hakim ini tetap menimbulkan kecaman dari sejumlah pihak. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan LPSK misalnya, menyatakan hukuman 1 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp 50 juta kepada Agus Condro itu terlalu berat. Meski hukuman tersebut lebih ringan dari terdakwa lainnya, seharusnya Agus Chondro mendapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
perlindungan hukum yang lebih signifikan Dan juga mengakui perlindungan hukum terhadap whistleblower di Indonesia belum maksimal karena belum ada jaminan signifikan dari undang-undang.Dibanding hukuman para penenerima cek pelawat lainnya, hukuman untuk Agus memang tak jauh beda. Max Moein dan Rusman Lumbantoruan, kolega Agus di PDI Perjuangan yang menyangkal perbuatannya dan tidak mengembalikan cek yang diterimanya, misalnya, dihukum 20 bulan penjara. Padahal, sebagai justice collaborator LPSK telah mengirim surat kepada majelis hakim untuk mempertimbangkan peran Agus dalam mengungkap kasus suap ini. LPSK sendiri telah menetapkan secara resmi perlindungan untuk Agus sejak 15 Maret 2011. Penetapan Agus Condro sebagai pelaku pelapor oleh LPSK merupakan hasil pembicaraan antara LPSK, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, serta Kementerian Hukum dan HAM. Ketiga lembaga ini sepakat, sebagai justice collaborator Agus layak mendapat "hadiah" atas kontribusinya bekerja sama dengan aparat penegak hukum, yakni, remisi, asimilasi, atau pembebasan bersyarat. LPSK juga ikut memantau dan mendampingi Agus dalam persidangan. Kasus Agus Condro ini juga membuat Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin Andi Tumpa, mengeluarkan surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang isinya meminta para hakim memperhatikan secara khusus pelaku pelapor kasus kejahatan seperti kasus Agus Condro. Tujuannya, agar pelaku tidak takut lagi melaporkan. SEMA itu tidak memberikan rincian sanksi yang diberikan kepada whistleblower . "Masalah sanksi itu dikembalikan ke hakim, tetapi harus diperhatikan," kata Harifin. Harifin mengungkapkan perihal SEMA ini setelah pertemuan MA dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Pertemuan MA dengan PMH adalah untuk menindaklanjuti pembicaraan di Cipana yang bertujuan mengevaluasi program pemberantasan mafia hukum dan rencana seminar tentang whistle blower Serta kemungkinan adanya pernyataan bersama antar penegak hukum terkait UU Perlindungan saksi. Whistle blowerbelum
mendapatkan
penghargaan
dari
pemerintah,
meski
telah
membocorkan informasi penting menyangkut kejahatan yang merugikan negara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
harus ada penanganan khusus bagi whistleblower ilu. Mereka yang melakukan kejahatan tapi kemudian ikut melaporkan dan mcmbantu mengungkapkan kejahatan, harus mendapat perlakukan khusus. Perlakuan tersebut, antara lain, pengurangan hukuman atau divonis ringan. Sedangkan vonis terhadap Agus Condro yang dinilai tidak adil Perlindungan terhadap whistleblower atau justice collaboratormemang perlu diatur lebih jauh dan detail. Mereka, jika memenuhi syarat bahkan bisa bebas dari tuntutan, Syarat itu di antaranya, memberikan informasi untuk mengungkapkan kejahatan, saksi pelaku bukan aktor intelektual dari kejahatan, serta tidak mengulangi lagi kejahatannya. Putusan hakim terhadap Agus Condro menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap whistleblower di Indonesia belum maksimal karena belum ada jaminan dari undang-undang. Perlindungan hukum terhadap whistleblower yang juga tersangka hanya sebatas ketentuan Pasal 10 Ayat (2), yakni adanya pertimbangan hakim, dalam meringankan pidana yang dijatuhkan.Padahal LPSK sudah melakukan langkah serius dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Agus Condro. Salah satunya, mengirim surat kepada majelis hakim untuk mempertimbangkan peran dan informasi penting yang dimiliki Agus Condro. Perlindungan yang tidak maksimal dari LPSK disebabkan adanya kelemahan dalam UU No. 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Atas kelemahan tersebut, LPSK bersama Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) telah merumuskan perlindungan hukum dalam rancangan revisi UU No. 13/2006.LPSK terus mendorong supaya revisi UU tersebut segera terwujud. Salah satu rumusan revisi tersebut terpenting adalah pemberian penghargaan kepada saksi atau pelapor yang juga tersangka atau terdakwa yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar suatu kejahatan. Penghargaan tersebut diberikan untuk kepentingan penegakan hukum agar pelaku kelas kakap dapat diproses secara hukum dan berbagai kejahatan dapat terungkap.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
Kekecewaan terhadap vonis hakim yang menghukum penjara Agus Condro juga dikemukakan Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut koordinator divisi hukum ICW, Febridiansyah, seharusnya Agus Condro divonis bebas dia adalah pelapor dan pengungkap skandal cek pelawat yang hingga kini terus disidik Komisi Pembentasan Korupsi. KPK sendiri pada 10 Desember 2011 telah membawa pulang Nunun Nurbaeti yang sebelumnya ditangkap polisi Thailand di Bangkok pada Rabu 7 Desember 2011. Numun, yang merupakan buronan KPK, diduga ikut berperan penting dalam menyalurkan cek pelawat tersebut ke anggota DPR. seharusnya majelis hakim bisa lebih progresif dalam menjatuhkan putusan, tidak terpaku pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). LPSK telah melakukan sejumlah langkah sebagai bentuk perlindungan sekaligus penghargaan terhadap Agus Condro yang telah bekerja sama dengan aparat hukum mengungkap kasus suap ini. Selain meminta majelis hakim meringankan hukuman terhadap Agus atas jasanya mengungkap kasus suap cek pelawat, meminta Agus ditempatkan di lembaga pemasyarakatan yang lebih mudah diakses keluarganya, LPSK juga lelah mengajukan permohonan remisi dan pembebasan bersyarat untuk Agus. Dan atas permintaan remisi tersebut terpidana suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Agus Condro, mendapat 'hadiah' bebas bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM. Agus dinilai berperilaku baik selama menjalani masa tahanan. "Selama menjalani pidana tersebut, yang bersangkutan menunjukkan perilaku yang baik dan belum pernah melakukan tindakan yang melanggar tata tertib Rumah Tahanan Negara," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dalam rilis yang diterima detikcom, Selasa (25/10/2011). Denny mengatakan Agus Condro mendapatkan Pembebasan Bersyarat pertanggal 25 Oktober 2011. Pembebasan bersyarat ini didasarkan pada surat usulan yang disampaikan Kepala Rutan Batang kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Kepala Kantor Wilayah karena yang bersangkutan telah memenuhi semua persyaratan. Baik persyaratan substantif maupun administratif.Dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah akan memberikan dukungan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
dan perlindungan terhadap siapapun yang telah memberi kontribusi sekecil apapun dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, dalam kasus Agus Condro
Prayitno
ini
pemerintah
memberikan
bersangkutan karena telah menjadi whistleblower
apresiasi terhadap
yang
sekaligus sebagai justice
collaborator (pelaku yang bekerjasama) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.Hal ini juga ditegaskan dalam Inpres nomor 9 tahun 2011 tentang Percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mencantumkan tentang pemberian insentif berupa remisi atau kemudahan pemberian hak-hak yang lain antara lain pembebasan bersyarat. Sebagai bentuk penghargaan terhadap para peniup peluit (whistleblower ), dalam kasus ini berkaitan dengan Agus Condro Prayitno, Pemerintah akan memberikan beberapa perlakuan khusus yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlakuan khusus terhadap justice collaborator yang telah diberikan kepada Agus Condro antara lain berupa, pertama, memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memilih tempat dilaksanakannya pidana yaitu mendekatkan yang bersangkutan kepada keluarganya. Kedua, memberikan ruang khusus kepada yang bersangkutan selama menjalani pidana.Pemberian ruang khusus ini juga sebagai bentuk memberikan perlindungan terhadap yang bersangkutan terhadap kemungkinan adanya ancaman atau tindakan yang membahayakan keselamatan yang bersangkutan.Ketiga, memberikan percepatan dalam proses pemberian hak-haknya, seperti hak mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB), ataupun remisi. Terhitung setelah mulai penahanannya pada 28 Januari 2011, Agus telah pernah mendapatkan remisi umum tahun 2011 sebanyak 1 bulan 15 hari dan telah menjalani 2/3 masa pidana, oleh karenanya berhak untuk menjalani pembebasan bersyarat. Keempat, memberikan perlindungan baik terbuka maupun tertutup bekerja sama dengan lembaga terkait (seperti LPSK) selama menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara. Perlakuan khusus sebagaimana disebutkan di atas merupakan wujud kepedulian dan penghargaan sekaligus komitmen pemerintah terhadap setiap warga megara yang berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
Dengan demikian diharapkan akan muncul orang-orang yang bersedia menjadi whistle
blower
dan
justice
collaborator
sehingga
upaya
percepatan
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang merupakan komitmen pemerintah, dapat semakin terwujud.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut : 1. Dengan berlandaskan hukum menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Lembaga Saksi dan Korban lahir untuk menunjukkan niat baik pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada Saksi dan Korban. Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, Lembaga Saksi dan Korban telah mengambil andil besar dalam menegakkan hukum demi mencapai keadilan. Perlindungan tidak sekedar memberikan fasilitas keamanan bagi raga sang saksi dan korban tetapi juga menyangkut psikologis, serta perlindungan atas hak-hak saksi dan korban dalam proses hukum. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Lembaga Saksi dan Korban dilakukan perubahan dengan direvisi, revisini ini secara garis besar mencakup beberapa poin yang krusial, mulai dari ruang lingkup materi yang berkaitan dengan pemberian berlindungan saksi dan korban, hingga tentang kelembagaan Lembaga Saksi dan Korban. Ada banyak persoalan yang dapat dirunut dari masing masing ruang lingkup tersebut seperti, korupsi yangbukan kejahatan individu melainkan kejahatan yang dilakukan lebih dari satu orang, dan bisa juga terjadi secara terogarganisir. Karenanya orang yang sangat penting kesaksiannya untuk menguak tindakan korupsi tersebut adalah mereka yang mengetahui pasti. Dan biasanya berasal dari lingkungan dalam para pelaku korupsi tersebut, dan mereka biasa dikenal dengan sebutan Whistleblower and Justice Collabolator. Keduanya merupakan orang yang mengungkap adanya suatu tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum. Kesaksian mereka sangat penting maka dari itu ada lembaga yang melindungi mereka sebagai saksi dan korban yaitu LPSK,LPSK konsen untuk
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
memberikan perlindungan kepada seorang Whistleblower and Justice Collabolator, seperti pada kasus Agus Condro yang merupakan pencetus adanya seorang Whistleblower and Justice Collabolator yang meminta kepada LPSK untuk melindungi dia dan keluarganya. 2. Sebagai suatu lembaga baru, tentu saja LPSK harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik lembaga pemerintah - khususnya lembaga penegak hukum
membantu para korban dan saksi dalam mewujudkan hak-hak mereka yang dimuat dalam UU No 13 Tahun 2006. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LPSK tidak lepas dari peran kerjasama berbagai pihak terutama aparat penegak hukum. Dalam upaya kerjasama tersebut, LPSK telah melakukan sejumlah langkah koordinasi dan kerjasama dengan berbagai lembaga terkait sejak 2009. Selama tahun tahun itu sampai 2012, LPSK telah menandatangani MOU dengan KPK, BNN, SELAPA POLRI, dan LAN. Selain itu,dalam rangka meningkatkan kapasitas personil dan pengetahuan masyarakat serta aparat penegak hukum dalam aktivitas perlindungan saksi dan korban.
B. Saran Adapun saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Kelembagaan LPSK harus diperkuat dengn sistemnya dan terutama pada SDM karena suatu tindak pidana terus semakin canggih. Peningkatan SDM ini bisa dilakukan misalnya melakukan pelatihan agar LPSK menjadi lembaga yang lebih bagus dan lebih berkembang untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan korban serta juga bisa melindungi secara pasti hak hak seorang saksi dan korban dan memberikan penyuluhan penyuluhan sampai ke daerah untuk memberikan informasi tentang apa fungsi dari LPSK yang mampu melindungi seorang Whistleblower and Justice Collabolator agar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
masyarakat paham dan berani untuk mengungkap bila terjadi ada suatu tindak pidana korupsi untuk dapat bekerja sama dengan aparat penegak hukum memberikan informasi tentang adanya suatu tindakan kejahatan. 2. Melakukan join agreement tidak hanya dengan antar lembaga di Indonesia saja tetapi juga menjalin kerjasama dengan negara lain yang memiliki program perlindungan saksi dan korban yang lebih bagus untuk bertukar ilmu dengan mereka sehingga semakin kuat SDM yang dimiliki.
commit to user