BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konon, suatu negara dapat dikatakan negara demokratis jika mekanisme pengisian jabatan publik dalam pemerintahan negara itu dilakukan dengan pemilihan umum (Pemilu). Banyak studi-studi yang mengklaim demikian, seperti studi yang dilakukan oleh Affan Gaffar (2005), Joseph Schumpeter (1947) (dalam Najib 2014, h. vi), Samuel P. Huntington (1995), dan lain- lain. Studi-studi itu menempatkan penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan berkala adalah kriteria utama suatu sistem politik suatu negara untuk dapat disebut negara demokrasi. Begitu juga dengan apa yang dikemukakan oleh Sigit Pamungkas (2009, h. v-viii), yang menyatakan bahwa Pemilu adalah sebuah token of membership bagi suatu negara kalau ingin disebut sebagai salah satu dari barisan negara demokratis. Pemilu sendiri menurut Sigit Pamungkas (2009, h. 3) merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan, baik untuk mengisi kursi legislatif maupun eksekutif, baik di tingkatan pusat maupun daerah. Di tingkatan Pusat, pemilihan dilakukan untuk memilih eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sedangkan di tingkatan daerah, pemilihan dilakukan untuk memilih eksekutif daerah (seperti Gubernur, Bupati/Walikota) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebagaimana pernyataan di atas, negara ini juga baru saja mengadakan hajatan demokrasinya, yakni Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dalam rangka memilih anggota legislatif dari pusat sampai daerah pada tanggal 9 April 2014 lalu. Pileg 2014 ini merupakan Pileg keempat pasca reformasi. Sebelumnya juga telah terlaksana Pileg 1999, 2004, dan juga 2009. Menurut Rumahpemilu.org (2014), dalam Pileg 2014 ini, 1
di level nasional (DPR RI), akan diperebutkan sebanyak 560 kursi dari 77 daerah pemilihan. Sedangkan DPD, akan diperebutkan kursi sebanyak 132 kursi dengan 4 perwakilan setiap provinsi. Sedangkan di level Provinsi (DPRD Provinsi), akan direbutkan kursi sebanyak 35-100 kursi setiap provinsi (tergantung populasi penduduk) di 33 provinsi. Sedangkan level kabupaten (DPRD Kabupaten), akan direbutkan kursi sebanyak 20-50 setiap kabupaten/kota (tergantung populsi penduduk kabupaten/kota tersebut) di 497 kabupaten/kota. Dalam Pileg 2014 ini diikuti oleh dua belas (12) Partai Politik Nasional. Partaipartai tersebut adalah Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Baintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Selain itu, juga terdapat tiga (3) partai lokal di Aceh, yakni Partai Damai Aceh (PDA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Aceh (PA). Sedangkan soal sistem Pemilu yang digunakan dalam Pileg 2014 kali ini adalah menggunakan sistem pemilu yang sama dengan Pileg sebelumnya, yakni sistem perwakilan proporsional terbuka (proportional representation system-open list). Sistem perwakilan proporsional terbuka merupakan sistem pemilihan yang berkriteria distrik berwakil majemuk, setiap partai menyajikan daftar kandidat yang lebih banyak dari kursi yang diperebutkan, pemilih memilih salah satu kandidat, partai mendapatkan kursi sebanding dengan suara yang diperoleh, dan kandidat yang berhasil adalah mereka yang melampui ambang batas suara (threshold) (Pamungkas 2009, h. 30). Sedangkan soal Threshold atau dalam konteks Indonesia disebut sebagai parliamentary threshold (PT), yang mana menurut Pamungkas (2009, h. 19) merupakan ambang batas minimal dukungan suara secara nasional untuk mendapatkan kursi/perwakilan, pada konteks Pileg 2014 kali ini sebesar 3,5%. Tentu
2
saja, elemen-elemen inilah yang menjadikan pertarungan antar caleg pada Pileg 2014 ini amat sengit. Kalau dicermati lebih jauh, terdapat banyak hal menarik yang mewarnai perjalanan Pileg 2014 ini, mulai dari sengitnya persaingan antar kandidat, masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), bentrokan antar simpatisan partai/kandidat, sampai dugaan maraknya money politics/vote buying yang menghiasi pemberitaan mediamedia, baik lokal maupun nasional. Sebagai misal, laporan dari M Nur Huda (2014) di pemberitaan Jogja Tribunnews mengenai maraknya money politics/vote buying tentang tertangkapnya pembawa uang saat masa tenang sebesar Rp 510 juta beserta atribut partai dan kandidat di dalam mobilnya. Begitu banyaknya dinamika di dalam Pileg 2014 inilah yang melatarbelakangi peneliti merasa perlu untuk mengkaji Pileg tersebut lewat suatu telaah kritis yang nantinya akan termanifestasi dalam suatu tulisan skripsi. Setidaknya, riset ini menjadi salah satu elemen untuk mengawal demokrasi kita. Pemilu pada hakikatnya merupakan mekanisme yang menempatkan rakyat/ warga negara sebagai aktor utama pemegang mandat tertinggi dalam sistem demokrasi. Hal inilah yang kemudian membuat betapa pentingnya kajian tentang perilaku pemilih dalam lingkup kajian perilaku politik, setelah sekian lama kajian perilaku politik melulu berkutat pada perilaku politik elit semata (Hartana 2003, h. 13). Melihat pernyataan di atas, peneliti di sini amat tertarik untuk melakukan kajian serupa, yakni kajian menganai perilaku pemilih. Hal ini penting karena dalam keyakinan penulis, kajian ini dapat menjadi parameter untuk melihat sejauh mana demokrasi kita berjalan. Bila rakyat/pemilih dalam suatu Pemilu sudah melihat secara sadar dan merasa penting untuk menelaah program, prestasi dan rekam jejak kandidat, maka dapat dikatakan demokrasi telah berkembang dan maju. Begitupun sebaliknya, jikalau pemilih/warga negara masih berkutat pada politik uang, isu-isu sempit soal etnis, dan tidak memandang rekam jejak serta program, maka dapat dikatakan demokrasinya masih rapuh. Berangkat dari dasar pemikiran inilah kajian
3
mengenai perilaku memilih ini penting untuk diketengahkan lebih jauh. Oleh karena itu, peneliti di sini akan melakukan kajian mengenai perilaku memilih masyarakat. Hal penting lainnya yang perlu peneliti sampaikan sedari awal adalah riset ini merupakan bagian dari riset tentang perilaku memilih masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Research Centre of Politics and Government atau PolGov UGM. Dalam riset tersebut, peneliti merupakan salah satu bagian dan terlibat sebagai asisten peneliti yang bertugas untuk menelaah perilaku memilih dilihat dari maraknya patronase dan klientelisme di daerah pesisir Padukuhan Imorenggo. Dikarenakan begitu menarik dan pentingnya ulasan mengenai perilaku memilih ini, peneliti pun kemudian memohon izin untuk mengambil sebagian kecil lokus penelitian riset perilaku memilih ini untuk dijadikan karya berupa skripsi tentang perilaku memilih. Adapun lokus yang peneliti telaah dalam riset tersebut dan untuk dijadikan karya skripsi ini adalah di Padukuhan Imorenggo, Desa Karang Sewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo. Perilaku memilih masyarakat yang hendak peneliti elaborasi dalam riset ini adalah perilaku memilih dari masyarakat di Padukuhan Imorenggo, Desa Karang Sewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Yogyakarta dalam Pileg 2014. Padukuhan Imorenggo tersebut merupakan padukuhan pinggiran yang dihuni oleh masyarakat pesisir bermatapencaharian nelayan dan atau petani kecil. Dikarenakan padukuhan tersebut tergolong padukuhan miskin dan tertinggal, tentunya hal tersebut akan menjadi ‘lahan’ potensial bagi para calon legislatif atau caleg dalam Pileg 2014 untuk merauk dukungan dengan segala manuver-manuvernya di tengah sistem Pemilu yang penuh dengan persaingan politik yang sengit. Riset ini menjadi perlu dilakukan karena nantinya akan mengkaji mengenai perilaku memilih para masyarakat pesisir tersebut. Telaah perilaku memilih dari karakter masyarakat pesisir di sini amat penting untuk dimunculkan dan dielaborasi lebih jauh karena karakter masyarakat pesisir merupakan salah satu corak karakteristik masyarakat kita di negeri ini, selain karakter masyarakat seperti
4
masyarakat kota, masyarakat miskin kota, masyarakat santri, masyarakat pedagang, masyarakat pendatang, masyarakat desa (pertanian), dan lain- lain. Paling tidak, riset mengenai perilaku memilih masyarakat pesisir ini merupakan suatu mozaik dari serangkaian puzzle untuk menilik parameter dari jalannya demokrasi kita. Riset perilaku pemilih ini hanya akan fokus melihat perilaku pemilih masyarakat pesisir di Padukuhan Imorenggo dalam memilih calon wakil mereka, yakni DPRD Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, dan DPR RI. Sengaja peneliti tidak memasukkan kajian mengenai DPD dalam agenda riset ini karena salah satu pendekatan dalam perilaku memilih, yakni pendekatan psikologis menempatkan partai sebagai sebagai suatu faktor yang menentukan perilaku memilih. Padukuhan Imorenggo sendiri merupakan padukuhan hasil program transmigrasi ring satu dari Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kulon Progo, artinya transmigrasi warga antar kecamatan dalam satu kabupaten agar kesejahteraannya meningkat. Letak geografis Padukuhan Imorenggo adalah di pinggiran Kabupaten Kulon Progo sepanjang garis pantai selatan antara Pantai Trisik dan Pantai BugelGlagah. Oleh karena letaknya di daerah pinggiran pantai, kebanyakan penduduknya bermata pencaharian nelayan dan petani, atau nelayan sekaligus petani. Keadaan tersebutlah yang mungkin menjadikan padukuhan ini sangat seksi di mata para caleg sehingga banyak caleg yang mau datang serta bermanuver dengan memberi bantuanbantuan dalam Pileg 2014 karena selain tertinggal masyarakat Padukuhan Imorenggo ini juga terpinggirkan. Terpinggirkan di sini bisa dilihat dari taraf hidup masyarakat yang serba pas-pasan, tidak dapat menabung, dan pendapatannya hanya cukup untuk sekedar makan saja (Solichin 2014, Komunikasi Personal, 4 April). Oleh karena itu, dengan banyaknya potensi dinamika politik dalam Pileg 2014 di lokus tersebut, tentu amat menarik kiranya untuk melakukan riset perilaku memilih masyarakat pesisir ini. Apalagi riset ini dilakukan ditengah banyaknya potensi terjadinya strategi pemberian bantuan materi dari para caleg kepada masyarakat atau kalau dalam ilmu politik disebut patronase dimana ada pemberian dari patron kepada klien yang sifanya resiprokal. 5
Riset perilaku memilih ini menjadi semakin menarik kerena akan mengkaji mengenai perilaku memilih melalui kajian patronase. Logika dibalik telaah ini didasarkan pada asumsi peneliti bahwa materi- materi yang diberikan oleh caleg kepada masyarakat pemilih akan menentukan perilaku memilih masyarakat, pun begitu dengan konteks Pileg 2014 di Padukuhan Imorenggo. Penelaahan perilaku memilih melalui kajian patronase ini pun juga merupakan kajian yang masih relatif baru. Artinya belum banyak kajian perilaku memilih yang dilacak dari kacamata praktik patronase. Sebagaimana umum diketahui, kajian mengenai perilaku memilih selama ini masih didominasi oleh riset-riset motode kuantitatif varian survey semata. Hal ini berbeda dengan apa yang akan dilakukan dalam riset ini, bahwa analisis dari kajian perilaku memilih ini, selain menggunakan kajian yang berbeda (patronase), juga menggunakan metode penelitian yang berbeda pula, yakni melalui motode kualitatif varian studi kasus sehingga tidak melulu ketika melakukan riset perilaku memilih itu dengan survey.
B. Rumusan Masalah Bagaimana perilaku memilih masyarakat pesisir di Padukuhan Imorenggo, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo Pada Pileg 2014 dilihat dari kajian patronase?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini setidaknya memiliki empat tujuan utama, diantaranya: 1.
Untuk
melihat
perilaku
memilih
masyarakat
pesisir,
khususnya
masyarakat pesisir di Padukuhan Imorenggo, Desa Karangsewu, Kec. Galur, Kab. Kulon Progo.
6
2.
Untuk menggambarkan seperti apa praktik politik transaksional dalam Pileg 2014, khususnya di Padukuhan Imorenggo, Desa Karangsewu, Kec. Galur, Kab. Kulon Progo.
3.
Untuk melihat bagaimana parameter demokrasi kita dilihat dari seberapa jauh kesadaran memilih dari masyarakat pemilih.
4.
Untuk menjadi telaah baru dalam menilik perilaku memilih masyarakat pemilih sehingga akan memperkaya khasanah keilmuan dalam kajian ilmu politik.
D. Kerangka Teori D.1 Patronase Kajian patronase sering tumpang tindih dengan kajian lain. Perdebatan keduanya pun dimulai dari tataran konsep, misalnya saja konsep kajian patronase dan klientelisme yang sering dianggap sama, contohnya saja studi yang dilakukan oleh James Scott (1972), Rene Lemarchand & Keith Legg (1972), Briquet (2007), dan lain- lain yang menyamaratakan antara patronase dan klientelisme. Secara konsep, patronase menurut penjelasan Scott (1972) adalah suatu relasi dua arah antara patron (status sosial-ekonomi lebih tinggi) dan klien (status sosialekonomi lebih rendah) dengan menggunakan pengaruh sumber daya yang dimiliki oleh patron untuk diberikan kepada klien untuk maksud mendapat dukungan dan bantuan (biasanya dalam suatu pemilihan). Edward Aspinall (2013, h. 1) juga menjelaskan bahwa patronase merupakan sumber daya yang berasal dari sumbersumber publik dan disalurkan untuk kepentingan partikularistik. Sedangkan menurut Hasrul Hanif (2009, h. 329), patronase merupakan sistem insentif atau “mata uang” politik untuk membiayai aktivitas dan respon politik. Patronase juga diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang sering kali (meski tidak selalu) berasal dari negara yang digunakan untuk mendapatkan dukungan pemilih, dimana biasanya patron
7
menawarkan kerja-kerja administratif atau sumber daya kepada klien (Tomsa & Ufen 2013, h. 5). Sedangkan kajian klientelisme pada tataran konsep, menurut Jonathan Hopkin (2006) (dalam Hanif (2009, h. 330) merupakan suatu bentuk pertukaran yang sifatnya personal dengan dicirikan adanya sejumlah kewajiban dan bahkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang diantara mereka, serta ditandai dengan aktivitasaktivitas patron yang menyediakan akses untuk sang klien berupa sarana-saran tertentu sehingga terbentuk pola hubungan resiprokal (pertukaran timbaal balik yang saling menguntungkan). Sementara menurut Magaloni (2006) (dalam Sumarto 2014, h. 27) klientelisme merupakan suatu ralasi personal dua arah, asimetris dan resiprokal antara patron dan klien dengan memberikan materi untuk dipertukarkan dengan loyalitas dukungan dari klien. Sedangkan klientelisme menurut Tomsa & Ufen (2013, h. 5) adalah hubungan yang mengikat orang-orang melalui jaringan politik, ekonomi dan sosial. Perbedaan antara patronase dan klientelisme dapat ditilik dari karakteristiknya masing- masing. Karakteristik yang memberikan ciri spesifik dari patronase adalah relasi patron-klien yang bersifat personal, informal, sukarela, resiprokal, tidak setara, dan bersifat dua arah (Eisenstad & Roniger 1984) (dalam Sumarto 2014, h. 29). Sedangkan karakteristik utama dari klientelisme menurut Tomsa & Ufen (2013, h. 5) adalah bersifat timbal-balik, hierarkis, dan berulang (tidak terjadi sekali saja). Ada juga keterangan bahwa relasi dua arah (dalam patronase) bisa saja berubah menjadi tiga arah jika si patron berubah menjadi broker yang menjembatani klien mereka dengan komunitas di luarnya, inilah yang kemudian di sebut sebagai klientelisme. Itulah mengapa banyak studi yang kemudian memberikan judgement bahwa salah satu ciri utama lainnya dari kelientelisme adalah adanya broker, sebut saja studi yang dilakukan oleh Scott (1972); Auyero (1999). Apapun itu, dikarenakan studi ini merupakan studi perilaku memilih yang menitikberatkan pada kajian patronase, peneliti akan fokus saja pada kajian patronase dan mencukupkan pembahasan klientelisme sampai di sini. Uraian tersebut di atas agaknya telah mengilhami peneliti 8
bahwa peneliti di sini lebih condong untuk memakai konsep yang diutarakan oleh Dirk Tomsa & Andreas Ufen (2013). Hal ini dikarenakan adanya pemisahan secara tegas soal perbedaan diantara kajian patronase dan klientelisme, bahwa patronase menyangkut materi yang diberikan oleh patron kepada kliennya, sedangkan klientelisme menyangkut jaringan yang digunakan oleh Caleg untuk melakukan distribusi materi. Adapun soal patronase yang bersifat dua arah sebagaimana studi Sumarto (2014), hal ini juga mirip dengan studi yang dilakukan oleh Marcell Mauss (2002) tentang pemberian hadiah (The Gift) yang resiprokal (timbal balik). Dalam studi Mauss (2002) yang dilakukan di Amerika Utara, Polynesia, dan Melanesia kepada masyarakat yang cenderung primitif, ia mengemukakan bahwa hadiah tidak pernah “bebas” diberikan tanpa ada kewajiban untuk membalasnya. Hal ini menurut Mauss karena ada sebuah kekuatan yang bernama “fait social fact", yang dijiwai dengan rasa spiritual dan penghormatan diantara pemberi dan penerima. Dalam masyarakat primitif tersebut, interaksi sosial antarwarga sangatlah kuat dimana tecermin pada kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange) dan memberi bingkisan (gift giving). Kebiasaan ini diyakini oleh masyarakat sebagai penggambaran suatu relasi harmonis, penghormatan dan kedekatan personal di antara pihak yang terlibat dalam pertukaran hadiah. Sehingga dirasakan ada sebuah daya magis yang terlibat, misalnya saja jika hadiah yang diberikan itu semakin mahal atau mewah, maka hal itu merupakan sesuatu yang bagus karena semakin kuat suatu martabat ditegaskan. Setidaknya menurut Koentjaraningrat (1980) terdapat tiga kewajiban dalam teori pertukaran dari Mauss. Pertama, memberi hadiah sebagai langkah pertama menjalin hubungan sosial. Kedua, menerima hadiah bermakna sebagai penerimaan ikatan sosial. Ketiga, membalas dengan memberi hadiah dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan integritas sosial. Kewajiban yang terjadi dalam pertukaran hadiah itu bersifat resiprokal, sehingga nilai yang ada dalam hadiah itu secara umum membumbung. Makin mahal nilai hadiah, maka semakin bagus, sebab pihak-pihak yang terlibat (memberi – menerima – membalas) sedang dipertukarkan. Namun 9
begitu, menurut O’Donnell et. al. (2004); Lally (2005) (dalam Homick 2007, h. 3), penelitian yang dilakukan oleh Mauss tersebut (studi pemberian hadiah di era 1925an) belum menyentuh pada tataran pemberian hadiah personal yang berupa pemberian fresh money yang mana baru muncul di awal abad 21 dengan anggapan bahwa uang itu memiliki nilai sehingga pemberi tidak harus memikirkan pencarian hadiah karena penerima- lah yang akan memilih sendiri hadiah sesuai keinginannya. Dikarenakan
tidak
begitu
komprehensif dalam
menelaah
soal pemberian
materi/hadiah yang berdimensi personal/individual, maka akan kurang komprehensif dalam menjelaskan soal perilaku memilih karena salah satu pendekatan dalam studi perilaku memilih berdimensi sangat individual atau personal. Oleh karena itu, dalam penelitian/riset ini peneliti akan menggunakan teori petronase untuk melihat perilaku memilih masyarakat pemilih. Kajian patronase yang spesifik menjelaskan mengenai sesuatu yang menyangkut materi yang diberikan oleh patron kepada klien, dalam konteks riset ini dan bagian ini akan dibahas mengenai bentuk-bentuk materi yang digunakan, waktu penyaluran materi dan model patronase yang digunakan (ditilik dari siapa yang menerima materi). Kajian ini juga tidak akan masuk ke ranah cara kerja pendistribusian materi karena merupakan bagian dari kajian klientelisme sehingga ada pemisahan yang tegas antara telaah patronase dan klientelisme. Bentuk materi dalam kajian patronase yang diberikan oleh patron kepada klien sangatlah beragam. Menurut studi yang dilakukan oleh Edward Aspinall (2013, h. 24), bentuk materi dari patronase itu beragam, yakni mulai dari uang (untuk buying votes ataupun money politics), barang (misalnya pembagian sembako, pakaian, pembangunan tempat ibadah, pupuk, dan lain sebagainya untuk anggota sebuah komunitas), pelayanan (misalnya, pemberian pendidikan gratis kepada pendukung politik), peluang ekonomi (misalnya, pekerjaan, kontrak, proyek, izin usaha), dan lain- lain.
10
Edward Aspinall (2013, h. 2-4) dalam tulisannya yang berjudul Money Politics: Patronage and Clientelism in South East Asia, telah mengidentifikasi kajian patronase memiliki empat model, yakni pertama, vote buying, merupakan pertukaran langsung antara uang, barang atau pelayanan dengan dukungan suara pada pemilihan (Aspinall 2013, h. 2). Kedua, club goods, merupakan pemberian kompensasi berupa materi yang tidak ditujukan kepada individual pemilih, tapi kepada suatu kelompok, komunitas atau semacamnya (Aspinall 2013, h. 4). Ketiga, pork barrel, pork barrel merupakan pemberian berupa proyek-proyek kepada daerah/ tempat dimana si patron terpilih (Aspinall 2013, h. 4). Keempat, programmatic goods, merupakan strategi pemberian melalui sumber daya negara dimana kalkulasi politik, biaya, atau pelayanan diperoleh secara programmatic, biasanya bentuknya berupa produk/ program kebijakan yang untuk pengentasan kemiskinan, kesehatan, kesejahteraan bagi warga negara lanjut usia, dan lain- lain (Aspinall 2013, h. 4). Berikut skema model patronase menurut Edward Aspinall (2013):
Skema Model Patronase menurut Edward Aspinall (2013)
Patronase
Vote Buying
Club Goods
Pork Barrel
Bagan 1: Skema Model Patronase menurut Edward Aspinall (2013)
11
Programmatic Politics
Sedikit berbeda dari Aspinall (2013), studi yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) & Institute for Strategic Inisiatives (2014), membagi
model
patronase
menjadi
dua
strategies/programmatic mobilization dan programmatic mobilization.
Pertama,
saja,
yakni
programmatic
non programmatic strategies/non
Programmatic strategies/programmatic
mobilization merupakan transaksi politik didasarkan programatik bukan transaksi material, dimana kepentingan pemilih akan suatu kebijakan, pelayanan publik atau public goods dibahas secara dialogis. Sedangkan kedua, non programmatic strategies/non programmatic mobilization dijabarkan sebagai transaksi politik yang berupa material, yang kemudian dibagi dalam dua model, yaitu club goods dan vote buying. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) & Institute for Strategic Inisiatives (2014, h. 53) menjelaskan bahwa vote buying merupakan relasi transaksional finansial dimana politikus/kandidat menawarkan private goods berupa keuntungan finansial dengan nominal tertentu dalam bentuk uang, barang atau jasa layanan kepada pemilih untuk dipertukarkan dengan dukungan suara saat masa mendekati pemungutan suara. Sedangkan club goods merupakan pemberian kompensasi kepada golongan tertentu berdasarkan keanggotaan institusi formal maupun informal (misalnya anggota dari suatu kelompok pengajian) (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) & Institute for Strategic Inisiatives (2014, h. 53). Berikut Penjelasan mengenai model patronase yang diutarakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) & Institute for Strategic Inisiatives (2014): Patronase dalam Kerangka Pikir Perkumpulan untuk Pe milu dan Demokrasi (Perludem) & Institute for Strategic Inisiatives (2014)
12
Programmatic Strategies/ Programmatic Mobilization Patronase
Vote Buying Non Programmatic Strategies/ Non Programmatic Mobilization
Club Goods
Bagan 2: Patronase dalam Kerangka Pikir Perkum pulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) & Institute for Strategic Inisiatives (2014)
Kerangka pikir lain dijelaskan oleh Susan C. Stokes (2009) yang melihat bahwa terdapat beberapa strategi elektoral dalam bingkai politik distributive politics. Dalam studi yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2009, h. 5-8) ini ada keterkaitan diantara dua studi di atas, ia menjelaskan bahwa strategi elektoral, terbagi menjadi dua macam, yakni lewat symbolic appeals/non material appeals (seperti etnisitas, agama, regional, dan lain- lain) dan material resources. Untuk material resources, oleh Stokes dibagi menjadi dua, yakni yakni programmatic strategies dan non programmatic strategies. Programmatic strategies biasanya berbentuk programprogram yang menyangkut pada pemberian kompensasi kepada masyarakat melalui kebijakan yang identik dengan istilah membonceng program kebijakan pemerintah, misalnya saja kebijakan tentang kaum miskin, lansia, asuransi untuk pengangguran, dan lain- lain. Sedangkan untuk non programmatic strategies, biasanya ujungnya adalah distributive politics (pork-barrel) dan clientelism (manipulation of public policies, vote buying, patronage). Berikut penjelasan bagannya:
13
Skema Strategi Elektoral dalam Bingkai Distributive Politics ala Susan C. Stokes (2009)
Electoral Strategies
Symbolic Appeals
Material Resources
Programmatic
Non Programmatic
(No Bias)
(Bias)
(No Quid Pro Quo)
(Quid Pro Quo)
Distributive Politics (Including Pork Barrel)
Klientelism: Manipultion of Public Policy, Vote Buying
Bagan 3: Skema Strategi Elektoral dalam Bingkai Distibutives Politics ala Susan C. Stokes (2009)
Hampir senada dengan penjelasan dari Susan C. Stokes (2009), menurut studi dari Frederic Charles Schaffer (2007) dalam electoral mobilization, dimana terdapat beberapa kategorisasi manuver, yakni allocational policies, pork barrel spending, patronage, dan vote buying, ada yang perlu diperhatikan terkait dengan derajat jumlah sasaran penerima materi, mulai dari yang sifatnya sangat individual, sampai yang bersifat komunal yang luas. Adapun penjelasan mengenai model electoral mobilization dan derajat jumlah penerima materi itu tersaji dalam tabel berikut:
14
Comparing Distributional Strategies of Electoral Mobilization
Table 1, Comparing Distributional Strategies of Electoral Mobilization , Frederic Charles Schaffer (2007, h. 6).
Dari keterangan tabel tersebut paling tidak dapat diketahui bahwa model- model patronase (yang dalam studi Schaffer (2007) disebut sebagai electoral mobilization) terdapat satu hal yang penting, yakni derajat jumlah sasaran penerima materi, mulai dari yang sifatnya individual (satu orang), hingga komunal dengan jumlah yang banyak dan luas. Hal ini tentu saja nanti akan membantu peneliti dalam mengidentifikasi model patronase di bab selanjutnya. Studi lain juga dijelaskan oleh Mulyadi Sumarto (2014) bahwa strategi politik memiliki macam- macam model, antara lain vote buying, pork barrel dan mobilisasi politik menggunakan program sosial. Dalam penjelasannya yang mengutip Stokes (2007) (dalam Sumarto 2014, h. 30), telah dijelaskan bahwa vote buying merupakan pemberian kompensasi berupa uang atau fresh money untuk dipertukarkan dengan suara pemilih. Hal yang penting diperhatikan dalam konsep vote buying ini harus memiliki beberapa karakter, yakni:
15
Î Materi (yang biasanya berbentuk fresh money) diberikan kepada pemilih untuk ditukar suaranya adalah beberapa waktu sebelum pemungutan suara dilakukan dan bukan setelah pemungutan suara Schaffer (2007) (dalam Sumarto 2014: h. 30). Î Target Penerima materi adalah individu atau rumah tangga, bukan komunitas atau kelompok (Schaffer: 2007); Hichen 2007a) (dalam Sumarto 2014: h. 30). Î Materi yang dipakai untuk penukaran adalah barang privat (Hicken 2007a) (dalam Sumarto 2014: h. 30). Î Kriteria yang digunakan oleh pembeli suara untuk memilih dan endapatkan penjual suara adalah “apakah anda akan memilih saya?” (Stokes 2007b) (dalam Sumarto 2014: h. 30). Sedangkan pork barrel dalam penjelasan Mulyadi Sumarto (2014, h. 32) merupakan bentuk penyaluran bantuan materi (biasanya berupa kontrak, hibah, proyek pekerjaan umum) kepada kabupaten/ kota dari pejabat terpilih (Schaffer 2007) (dalam Sumarto 2014: h. 32). Pork barrel ini juga dikenal sebagai penyaluran bantuan yang sifatnya fisik semata seperti perbaikan fasilitas publik, perbaikan jalan, pelabuhan, dan lain- lain (Ferejohn 1974) (dalam Sumarto 2014: h. 32). Sementara mobilisasi politik menggunakan program sosial, Stokes (2007) menjelaskan sebagai berikut: …konsep ini dapat diartikan sebagai suatu janji untuk memberikan fasilitas/barang publik (misalnya, keamanan nasional, udara bersih) atau perlindungan sosial untuk semua anggota masyarakat, terlepas kepada siapa dukungan politiknya diberikan (misalnya, semua orang menganggur mendapatkan asuransi pengangguran, semua pensiunan mendapat pension di hari tua) (Stokes, 2007) (dalam Sumarto (2014, h. 33).
Berikut tabel penjelas mengenai kerangka strategi politik dalam kerangka pikir Mulyadi Sumarto (2014):
16
Strategi Politik menurut Mulyadi Sumarto (2014) Strategi Politik
Cakupan Sasaran Waktu
Produk
Program
Dipertukarkan
Distribusi
yang Kriteria Memilih Penerima
Pembelian Suara
Individu/rumah
(vote tangga
Sebelum
Barang
Apakah
Pemilu
privat/barang
akan memilih
buying)
publik
anda
yang saya?
personalisasi Pork barrel
Kabupaten
Setelah
Program
Apakah
Pemilu
pemerintah
tinggal
anda di
kabupaten saya? Mobilisasi
Kelompok sosial Setelah
Program
Apakah
politik
pemilih
(misal,
pemerintah
termasuk
menggunakan
pemilih
tidak
program sosial
berpenghasilan
kelompok
tetap,
mereka
penerima
yang
telah
Pemilu
dalam
anda
suatu
bantuan sosial?
pension) Table 2: Strategi Politik menurut Mulyadi Sumarto (2014)
Dari berbagai literatur studi dari Edward Aspinall (2013), Susan C. Stokes (2009), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) & Institute for Strategic Inisiatives (2014), serta Mulyadi Sumarto (2014) sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam riset ini peneliti lebih menitikberatkan kajian pada studi yang dilakukan oleh Edward Aspinall (2013) sebagai kacamata analisis. Namun begitu, dari kesemua studi tersebut, nantinya peneliti merasa perlu untuk melakukan rangkuman atau simplikasi agar dapat menelaah, membaca, mengidentifikasi dan menganalisis secara baik.
17
Adapun rangkuman yang dapat peneliti simpulkan dan simplifikasikan adalah bahwa model patronase (siapa yang menerima materi), bisa dikategorisasikan menjadi programmatic strategies dan non programmatic strategies (vote buying, club goods, dan pork-barrel). Pertama, untuk programmatic strategies, merupakan transaksi politik didasarkan pada program yang jangkauannya banyak dan luas, dimana kepentingan pemilih akan suatu kebijakan, pelayanan publik atau public goods dibahas secara dialogis. Kedua, untuk vote buying, merupakan relasi transaksional finansial dimana politikus/kandidat menawarkan private goods berupa keuntungan finansial dengan nominal tertentu dalam bentuk uang, barang atau jasa layanan kepada pemilih (secara individual) untuk dipertukarkan dengan dukungan suara yang berlangsung umumnya pada masa mendekati pemungutan suara. Sedangkan untuk club goods merupakan pemberian kompensasi kepada golongan tertentu (komunal namun terbatas pada batas-batas kelompok) berdasarkan keanggotaan institusi formal maupun informal (misalnya anggota dari suatu kelompok pengajian). Sedangkan pork barrel politics merupakan pemberian kompensasi kepada komunitas berdasarkan wilayah geografis/teritorial (misalnya penduduk di satu desa, kecamatan, atau dapil) sehingga jangkauannya komunal namun sifatnya masih local districts. Selain model patronase, Hal penting lainnya dalam kajian patronase adalah tentang waktu penyaluran materi. Studi yang dilakukan oleh Edward Aspinall (2013, h. 2-7) menjelaskan bahwa waktu penyaluran materi- materi patronase dibagi menjadi dua, yakni sebelum Pemilu dan setelah Pemilu. Kalau dihubungkan dengan model patronase, pada masa sebelum pemilu strategi politik yang biasanya digunakan adalah model vote buying dan club goods. Sedangkan pada masa setelah pemilu biasanya adalah pork barrel politics. Sementara programmatic politics bisa dilakukan pada masa sebelum pemilu atau setelah pemilu.
18
D.2. Perilaku Memilih Pada awalnya kajian dalam bidang politik dan pemerintahan lebih banyak berbicara mengenai perilaku politik para elit penguasa, seperti eksekutif, parlemen, aktivis partai parlemen, diplomat, dan lain sebagainya. Namun seiring perkembangan demokrasi yang menekankan bahwa para elit pada dasarnya memperoleh kekuasaan itu dari kumpulan orang-orang yang diperintah, maka pemahaman mengenai perilaku politik para pemilih (massa) juga menjadi penting. Telah terjadi sebuah pandangan dimana perilaku masyarakat dalam keadaan tertentu dapat menjadi kekuatan massa yang menentukan perilaku elit politik maupun masyarakat itu sendiri. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian perilaku memilih baru dirasakan penting seiring dengan perjalanan demokrasi. Dasar utama gagasan demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai pemegang kuasa tertinggi- lah yang kemudin mendongkrak kajian mengenai perilaku pemilih dan bukn hanya perilku elit semata (Hartana 2005, h. 13). Perilaku memilih (voting behavior) sendiri memiliki banyak jabaran. Menurut Ramlan Surbakti (1997, h. 170), perilaku memilih merupakan sebuah aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih di dalam suatu pemilihan umum. Sementara menurut Kristiadi (1993, h. 76), ia berpendapat bahwa perilaku pemilih merupakan keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor psikologis, faktor sosiologis dan faktor rasional. Jadi secara umum perilaku memilih menyangkut aktivitas pemberian suara oleh individu dalam suatu pemilihan. Pendekatan mengenai perilaku memilih yang diutarakan oleh Kristiadi (1993, h. 76) tersebut juga diamini oleh Muhammad Asfar (2006) dan Ramli (2010). Menurut Muhammad Asfar (2006, h. 137) dan Ramli (2010), perilaku memilih dapat dianalisis dengan tiga pendekatan yakni pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan rasional).
19
Pertama, pendekatan sosiologis, menurut Muhammad Asfar (2006, h, 137-138), pendekatan
sosiologis
ini
menjelaskan
bahwa
karakteristik
sosial
dan
pengelompokan sosial merupakan yang paling mempengaruhi perilaku pemilih seseorang. Termasuk di dalamnya, karakteristik sosial (pekerjaan, pendidikan) dan latar belakang sosiologis, seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. Sedangkan menurut Affan Gaffar (1992, h. 4-5) dan Ramli (2010), pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang melihat masyarakat sebagai status hierarki yang percaya bahwa stratifikasi masyarakat, baik berdasarkan grouping, kelas, agama, dan karakteristik sosial lain itu sangat mempengaruhi preferensi politik seseorang. Bahkan, seorang pengemuka pendekatan perilaku memilih sosiologis, yakni Lazarfeld (dalam Gaffar 1992, h. 4-5) telah mengklaim bahwa karakter sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial atas dasar pekerjaan, agama, etnis, wilayah jenis kelamin, ideologis dan umur merupakan faktor paling berpengaruh dan menentukan preferensi politik seseorang, baik untuk memilih atau tidak memilih. Kedua, pendekatan pilihan rasional, menurut Muhammad Asfar (2006, h. 139140) dan Antony Down (1957) (dalam Ramli, 2010), pendekatan ini percaya bahwa pemilih akan selalu bertindak secara rasional, yakni memberikan suara ke kandidat yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya (ekonomi, individual) dan menekan kerugian. Senada dengan keterangan itu, Dennis Kavanagh (1983) menekankan bahwa pendekatan ini meminjam prinsip dalam ilmu ekonomi, yakni adanya penghitungan serius perihal kalkulasi-kalkulasi biaya politik yang akan ditanggungnya, efek pilihan politiknya, dan aksi-aksi alternatif lainnya. Ketiga, pendekatan psikologis, pendekatan ini menjelaskan bahwa ada tiga aspek yang paling mempengaruhi perilaku memilih, yakni ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu- isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidat (Asfar 2006, h. 139). Senada dengan keterangan tersebut, menurut Affan Gaffar (1992, h. 6-8), pendekatan psikologis, yang mana merupakan respon atas kekurangan dari pendekatan sosiologis, percaya bahwa sikap dan orientasi politik 20
seseorang itu hadir akibat dari adanya proses sosialisasi dan resosialisasi dari suatu sarana atau agen, seperti kehadiran akan peran orang tua, teman sepermainan, saudara kandung, media, organisasi politik dan lain- lain. Agen/sarana itulah yang akan selalu mengahasilkan produk akhir berupa rasa kepemilikan seseorang kepada suatu partai (party-id) dari proses sosialisasi atau kandidat berdasar pada isu- isu yang berkembang. Kajian mengenai perilaku memilih di atas, terutama sekali yang diutarakan oleh Kristiadi (1993), Muhammad Asfar (2006), Affan Gaffar (1992) dan Ramli (2010) itulah yang akan mengilhami peneliti dalam riset mengenai perilaku memilih masyarakat pesisir di Padukuhan Imorenggo, Desa Karang Sewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo untuk memetakan bagaimanakah perilaku memilihnya. D.3. Patronase dan Perilaku Memilih Pendekatan dalam perilaku memilih dapat ditelisik dari faktor-faktor utama yang mempengaruhi preferensi memilih seseorang. Oleh karena itu, banyak sekali risetriset perilaku memilih menelaah faktor- faktor itu untuk kemudian menganalisis pendekatan yang dipakai oleh pemilih. Biasanya riset-riset perilaku memilih ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan instrumen penelitian berupa kuesioner yang didalamnya terdapat berbagai pertanyaan yang mengandung faktorfaktor utama dari pendekatan-pendekatan perilaku memilih itu untuk kemudian dianalisis pendekatan perilaku masyarakat pemilih. Namun begitu, tidak untuk riset perilaku memilih ini, riset perilaku memilih ini tidak menggunakan metode kuantitatif survey dengan instrumen kuesioner yang didalam pertanyaanpertanyaannya mengandung berbagai faktor tadi, melainkan riset ini menggunakan kajian patronase untuk menganalisis pendekatan-pendekatan perilaku memilih masyarakat pemilih melalui pendekatan kajian patronase. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan serius menelaah soal pendekatan-pendekatan perilaku memilih berikut faktor utama dari suatu pendekatan, kemudian mencari kesesuaian dengan model patronase dalam kajian patronase.
21
Sedikit mengulang perihal perilaku memilih dan patronase, bahwa penjelasan mengenai pendekatan-pendekatan perilaku memilih (yang dipahami sebagai mainstream) terbagi menjadi tiga pendekatan, yakni pendekatan perilaku memilih sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional (Asfar 2006, h. 137) & Kristiadi (1993, h. 76). Sedangkan model patronase dalam kajian patronase menurut Edward Aspinall (2013, h. 4-8) terbagi menjadi empat, yakni programmatic politics, vote buying, pork barrel, dan club goods. Dalam perilaku memilih sosiologis, menurut Affan Gaffar (1992, h. 4-5), terdapat pula faktor penentu pendekatan perilaku memilih sosiologis yang lain, yakni faktor grouping (baik group berdasar pekerjaan, agama, atau faktor sosial lainnya). Hal ini agaknya berkesesuaian dengan model patronase club goods yang mana menurut Edward Aspinall (2013, h. 4) merupakan pemberian kompensasi berupa materi yang tidak ditujukan kepada individual pemilih, melainkan kepada suatu kelompok, komunitas atau semacamnya (biasanya kelompok yang berbasis agama, pekerjaan, dan lain- lain) sehingga derajat jumlah sasaran penerima materi ini bersifat komunal namun terbatas pada tataran kelompok tertentu saja. Oleh karena itu, ada kecenderungan bahwa jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase club goods, maka pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilihnya adalah sosiologis meskipun kita ketahui bersama antar pendekatan dalam perilaku memilih pun saling beririsan satu sama lain. Sedangkan untuk perilaku memilih rasional, terdapat faktor berupa logika rasional yang mana menurut Asfar (2006, h. 139-140) diasumsikan bahwa pemilih akan bertindak rasional, yakni memberikan suara kepada yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya dan menekan kerugian bagi dirinya (pemilih, individu), maka hal berkesesuaian dengan model patronase berupa vote buying, yang mana terdapat insentif yang mendatangkan keuntungan ekonomi yang bersifat individual (Schaffer, 2007). Hal ini dikarenakan bentuk vote buying biasanya berbentuk fresh money atau barang. Oleh karena itu, ada kecenderungan bahwa jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase vote buying, maka pendekatan dalam perilaku memilih 22
masyarakat pemilihnya adalah pilihan rasional meskipun kita ketahui bersama antar pendekatan dalam perilaku memilih pun saling beririsan satu sama lain. Sedangkan pendekatan perilaku memilih psikologis, pendekatan ini dapat dijelaskan dari tiga aspek yang paling mempengaruhi perilaku memilih, yakni ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu- isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidat (Asfar 2006, h. 139). Senada dengan keterangan tersebut, menurut Affan Gaffar (1992, h. 6-8), pendekatan psikologis, yang mana merupakan respon atas kekurangan dari pendekatan sosiologis, percaya bahwa sikap dan orientasi politik seseorang itu hadir akibat dari adanya proses sosialisasi dan resosialisasi dari suatu sarana atau agen, seperti kehadiran akan peran orang tua, teman sepermainan, saudara kandung, media, organisasi politik dan lain- lain. Agen/sarana itulah yang melakukan proses sosialisasi, dan kemudian menghasilkan produk akhir berupa rasa kepemilikan seseorang kepada suatu partai (party-id) atau kandidat berdasar pada isuisu yang berkembang. Oleh karena itu, hal ini sangat berkesesuaian dengan model patronase yang berkaitan dengan isu-isu yang berkembang, yakni pork barrel politics dan programmatic politics dimana kedua model patronase ini selalu berhubungan dengan program dan sosialisasi program (biasanya program pemerintah) berdasarkan pada isu- isu di masyarakat. Oleh karena itu, ada kecenderungan bahwa jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase pork barrel politics dan programmatic politics, maka pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilihnya adalah psikologis meskipun kita ketahui bersama antar pendekatan dalam perilaku memilih pun saling beririsan satu sama lain. Dari keterangan tersebut di atas, jelas bahwa dari kacamata patronase dapat kemudian digunakan untuk menilik perilaku memilih masyarakat pemilih. Dalam kata lain, perilaku memilih masyarakat pemilih dipengaruhi oleh patronase. Sehingga kita dapat katakan bahwa kajian perilaku memilih tidak hanya dapat dilihat melalui metode penelitian tertentu saja (baca: survey), namun juga dapat dilihat dari kajian lain, yakni patronase.
23
D. 4. Alur Pikir
Perilaku Memilih
Patronase
Vote Buying
Pilihan Rasional
Club Goods
Sosiologis
Pork Barrel
Psikologis
Programmatic Politics
Bagan 4, Alur Pikir, Diolah dari Berbagai Sumber di Sub Bab Kerangka Teori
24
E. Definisi E.1. Definisi Konseptual Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ¾ Patronase merupakan materi yang diberikan oleh patron kepada kliennya dengan memakai sumber yang dimiliki oleh patron (caleg) untuk mendapatkan dukungan dari klien (masyarakat pemilih). ¾ Vote
buying
merupakan
relasi
transaksional
finansial
dimana
politikus/kandidat menawarkan private goods berupa keuntungan finansial dengan nominal tertentu dalam bentuk uang, barang atau jasa layanan kepada pemilih (secara individual) untuk dipertukarkan dengan dukungan suara yang berlangsung umumnya pada masa mendekati pemungutan suara. ¾ Club goods merupakan pemberian kompensasi kepada golongan tertentu (komunal
namun
terbatas
pada
batas-batas
kelompok)
berdasarkan
keanggotaan institusi formal maupun informal (misalnya anggota dari suatu kelompok pengajian). ¾ Pork barrel politics merupakan pemberian kompensasi kepada komunitas berdasarkan wilayah geografis/teritorial (misalnya penduduk di satu desa, kecamatan, atau dapil) sehingga jangkauannya komunal namun sifatnya masih local districts. ¾ Programmatic politics merupakan transaksi politik didasarkan pada program yang jangkauannya banyak dan luas, dimana kepentingan pemilih akan suatu kebijakan, pelayanan publik atau public goods dibahas secara dialogis. ¾ Perilaku memilih adalah aktivitas pemberian suara individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih di dalam Pemilu. ¾ Perilaku memilih pilihan rasional merupakan orientasi memilih dengan didasarkan pada asumsi bahwa pemilih akan bertindak rasional, yakni memberikan suara kepada yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya
25
dan menekan kerugian bagi dirinya (pemilih, individu) sebagaimana prinsipprinsip ekonomi. ¾ Perilaku Memilih Sosiologis merupakan perilaku memilih yang didasarkan pada karakteristik sosial dan pengelompokan sosial (grouping), termasuk di dalamnya karakteristik sosial (pekerjaan, pendidikan) dan latar belakang sosiologis, seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. ¾ Perilaku memilih psikologis merupakan perilaku memilih seseorang yang hadir akibat dari adanya proses sosialisasi hingga menimbulkan orientasi kepada identifikasi partai politik (party-id) atau kandidat berdasar pada isu-isu yang berkembang. E.2. Definisi Operasional Untuk menelaah perilaku memilih masyarakat pemilih di Pad ukuhan Imorenggo melalui kacamata patronase dengan metode penelitian kualitatif studi kasus, dalam konteks operasional peneliti akan melakukan penelaahan itu melalui serangkaian indikator berikut: -
Melihat kandidat/partai mana saja yang melakukan strategi patronase (bentuk patronase, model patronasenya apa, dan waktu penyalurannya).
-
Melihat hasil perolehan suara di TPS 16 dari para kandidat/partai yang melakukan strategi patronase.
-
Manganalisis
pendekatan
dalam
perilaku
memilih
berdasarkan
kecenderungan dan kesesuaian karakteristik antara patronase (terutama lewat model patronase vote buying, club goods, pork barrel politics dan programmatic politics) dengan perilaku memilih (pendekatan perilaku memilih sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional), dimana berdasarkan keenderungan dan kesesuaian karakteristik itu didapatkan hubungan berikut:
26
a. Jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase vote buying, maka berkecenderungan bahwa pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilih adalah pilihan rasional. b. Jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase club goods, maka berkecenderungan bahwa pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilih adalah sosiologis. c. Jika masyarakat pemilih memilih karena model patronase pork barrel politics dan programmatic politics, maka berkecenderungan bahwa pendekatan dalam perilaku memilih masyarakat pemilih adalah psikologis.
F. Metode Penelitian Bagian ini akan membahas menganai metode penelitian. Aspek-aspek didalamnya terejawantah melalui jenis penelitian, jenis data dan metode pengumpulan datanya, metode analisis data, dan sistematika penulisan. Kesemuanya itu akan dijelaskan sebagai berikut: F.1. Jenis Penelitian Untuk menjawab masalah-masalah yang telah telah dirumuskan di awal, riset perilaku memilih ini akan dilakukan dengan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Agus Salim (2006, h. 35) merupakan bentuk kajian multi- metode dalam satu fokus, sehingga yang dicari adalah kedalaman analisis suatu masalah dan intersubjektifitas dalam menginterpretasikan suatu fenomena karena memang penelitian kualitatif percaya bahwa realitas objektif seseungguhnya tidak bisa ditangkap.
Oleh
karenanya,
dalam penelitian
kualitatif
memiliki
standar
keilmiahannya melalui metode/instrumen yang jamak atau metode triangulasi dalam pencarian datanya. Agaknya begitulah sifat metode penelitian k ualitatif yang akan dipakai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini, yakni bersifat multi- metode 27
dalam satu fokus, interpretasi yang berdasar intersubjektifitas dengan standar keilmiahan melalui metode triangulasi. Jenis penelitian dalam riset perilaku memilih ini amat berbeda dengan riset-riset perilaku memilih kebanyakan. Mainstream jenis penelitian dalam riset perilaku memilih selama ini didominasi oleh sudut pandang positivisme dengan jenis penelitian survey. Misalnya saja riset-riset perilaku memilih di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, diantaranya adalah Tesis dari Hari Tunariono (2008), Muhammad Isa Umasugi (2007), Zoni Eldo (2011), Ari Budi Yuswanto (2009), dan lain sebagainya. Oleh karenanya, untuk memperkaya metodologi jenis penelitian soal perilaku memilih, peneliti akan menggunakan jenis penelitian studi kasus dengan sudut pandang nonpositivisme (kualitatif). Studi kasus sendiri merupakan salah satu instrumen dari penelitian kua litatif yang digunakan untuk mengeksplor suatu kasus atau kasus-kasus dalam suatu waktu secara mendetail, dengan pengumpulan data secara mendalam, dengan melibatkan berbagai macam sumber informasi yang dapat berupa observasi, interview, audiovisional material, document, atau reports, serta melaporkan deskripsi kasus dan kasus berdasarkan tema (Creswell 2007, h. 73). Di sisi lain, studi kasus menurut Robert K. Yin (2006) juga juga menjelaskan bahwa studi kasus merupakan suatu instrumen/ metode penelitian yang spesifik menjawab pertanyaan mengapa (why) dan bagaimana (how), meskipun pertanyaan mengapa (why) dan bagaimana (how) juga spesifik dipakai dalam instrumen penelitian Historiografi. Namun paling tidak, sudah menuju ke arah yang lebih spesifik untuk meneliti kasus ini dengan studi kasus. Latar belakang digunakannya metode studi kasus juga sudah sesuai dengan Checklist yang diutarakan oleh Martyn Denscombe (2010, h. 64), bahwa kajian riset mengenai perilaku pemilih masyrakat pesisir dalam Pileg 2014 itu sudah memenuhi
28
sembilan syarat dalam checklist itu, yang melingkupi: 1. Didasarkan pada situasi yang alami; 2. Kasus sudah dipilih dan spesifik untuk dijelaskan lebih lanjut; 3. Sudah diidentifikasi, baik jenis kasusnya, maupun aktor yang bermain dalam kasus; 4. Memiliki fitur yang signifikan dan dapat serta sudah dijelaskan di tempat yang lain; 5. Entitas kasus sudah spesifik dan bisa dianalisis mandiri untuk dianalisa secara mendalam; 6. Sudah memiliki batas-batas (boundaries) yang jelas untuk di analisis; 7. Bukan isu yang general, tapi memiliki batas-batas yang jelas; 8. Cocok untuk memakai multi- metode dan berbagai sumber data; 9. Menjelaskan perhatian dalam hubungan dan proses serta perspektif yang jelas dalam kasus. F.2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dipakai dalam penelitin ini adalah jenis data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan narasumber. Sedangkan jenis data penting lainnya adalah jenis data yang berupa dokumen-dokumen atau semacamnya dari hasil wawancara dan observasi. Narasumber kunci dalam penelitian ini terdiri dari tokoh masyarakat, masyarakat, dan tim sukses caleg/broker (calo suara). Adapun narasumber tersebut, terperinci sebagai berikut: tokoh masyarakat sebanyak 5 orang, broker sebanyak 3 orang, dan masyarakat sebanyak 7 orang (terdiri dari kaum ibu- ibu (2 orang), bapak-bapak (2 orang), pemuda (2 orang), pemilih pemula (1 orang). Kesemua narasumber ini diperoleh dengan metode snow ball dan triangulasi dalam riset awal peneliti dengan dipadukan pada sasaran narasumber kunci yang ditentukan oleh PolGov UGM dalam risetnya. Sedangkan untuk observasi, jenis data yang diperoleh adalah mengobservasi apa-apa saja yang kira-kira penting dan menentukan atau mempengaruhi masyarakat pesisir di Padukhan Imorenggo dalam memilih salah satu caleg. Secara teknis, penelusuran data ini akan terejawantah melalui penelaahan dari sumber internal dan eksternal. Sebagaimana penjelasan dari Rianto Adi (2004, h. 56), bahwa sumber data dalam penelitian itu dapat diperoleh melalui sumber data internal
29
dan eksternal. Sumber internal yang peneliti maksudkan adalah sumber-sumber data yang berasal dari hasil wawancara dengan informan kunci, dan mungkin juga hasil wawancara kepada orang-orang yang direkomendasikan oleh narasumber. Sedangkan untuk sumber data eksternal adalah berupa dokumen dan atau studi pustaka, baik dokumen yang dihadirkan oleh media- media, baik online maupun cetak, dan dokumen-dokumen hasil studi ilmuan- ilmuan sebelumnya terkait kajian perilaku memilih. Berkaca pada apa yang dijelaskan oleh Robert K. Yin (2006, h. 119) bahwa dalam penelitian studi kasus, khususnya dalam pengumpulan data agaknya memperhatikan pembatasan waktu, artinya harus ada sekuen waktu yang jelas supaya data yang dikumpulkan mendukung analisis kasus sehingga lebih mendalam dan tak terkontaminasi dengan data-data yang di luar waktu dari kasus yang terjadi. Oleh karena itu sekuen waktu dalam penelitian ini terkait dengan pengumpulan data adalah sekuen waktu dalam Pileg 2014, khususnya tahapan-tahapan Pemilu Legislatif, yakni waktu sebelum masa kampanye, masa kampanye, masa tenang, hari H pencoblosan dan masa setelah hari H pencoblosan. Khusus untuk masa setelah hari H pencoblosan, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi narasumber yang baru mau bicara setelah pemungutan suara selesai karena bagaimanapun juga isu ini amat sensitif. Oleh karena itu, untuk masa setelah hari H pencoblosan dilakukan kira-kira seminggu atau dua minggu setelah hari H pencoblosan. Adapun untuk mendapatkan semua data yang meyakinkan dan mendapat kepercayaan dari narasumber-narasumber kunci tersebut, peneliti merencanakan untuk tinggal menetap di lokus penelitian selama kurun waktu 6 hari, mulai tanggal 5-11 April 2014. Di luar tanggal tersebut peneliti akan melakukan riset biasa dengan mengunjungi dan menemui narasumber di lokus penelitian. Hal tersebut peneliti lakukan agar mendapat kepercayaan yang besar dari narasumber sehingga informasi yang akan didapat akan dalam dan berbobot.
30
F.3. Metode Analisis Data Sebagaimana penjelasan dari Robert K. Yin (2006, h. 136) bahwa dalam metode analisis data harus diperhatikan soal proporsi teoritis dan juga deskripsi kasus, maka dalam penelitian ini pun akan dikembangkan dengan deskripsi kasus, serta dikerangkai lebih jauh dengan proporsi konsep-konsep/teori sehingga kajian terungkap dengan kedalaman yang berkualitas. Analisis data nantinya akan disesuaikan dengan temuan di lapangan. Namun rencanaya, analisis data telah disusun sebagai berikut: pertama, mengungkap keterangan dari informan mengenai patronase dalam pileg 2014 di lokus penelitian; kedua, menilik hasil pemungutan suara; ketiga, mengkomparasikan hasil pemungutan suara dengan data patronase yang dilakukan oleh caleg di padukuhan Imorenggo; dan terakhir, menganalisis pendekatan perilaku memilih masyarakat pesisir Padukuhan Imorenggo tersebut. F.4. Sistematika Penulisan Merujuk pada permasalahan yang dirumuskan, dan juga pilihan analisis kasus, maka dalam penelitian ini nantinya akan diejawantahkan melalui lima pembabagan, yakni: x
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, karangka teori, definisi konseptual dan operasional serta metodologi penelitian;
x
BAB II berisi tentang konteks sosial politik masyarakat pesisir di Padukuhan Imorenggo Desa Karangsewu Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo;
x
BAB III berisi tentang Patronase di Padukuhan Imorenggo, yakni mengenai bentuk materi- materi apa saja yang diberikan oleh caleg, jenis patronase yang ditelaah dari siapa saja penerima materi, dan masa penyaluran materi- materi tersebut;
31
x
BAB IV berisi mengenai analisis perilaku memilih masyarakat pesisir Padukuhan Imorenggo dalam Pileg 2014 dihadapkan dengan patronase seputar Pileg 2014 dan hasil pemungutan suara;
x
BAB V Penutup. Bab ini merupakan rangkuman penulisan, dalam bentuk penarikan kesimpulan dan saran.
32