33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kawasan reklamasi mangrove Muara Angke Kapuk merupakan bagian dari BKSDA Muara Angke. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk pada bagian selatan, bagian utara dan barat berhadapan dengan laut, dan bagian timur dibatasi oleh muara saluran Cengkareng. Kawasan reklamasi ini didominasi oleh mangrove jenis Rhizopora sp dan Avicennia sp. Pada sekeliling kawasan reklamasi ini pihak BKSDA memberikan batu-batu besar yang mengitari dan membatasi reklamasi dengan laut. Hal ini dimaksudkan guna mencegah terjadinya abrasi. Batu-batu tersebut ternyata tidak hanya menjadi perangkap bagi sedimen yang terbawa bersama aliran sungai, namun juga sampah-sampah yang masuk ke kawasan reklamasi saat terjadi pasang. Hal tersebut terlihat dari menumpuknya sampah plastik pada sedimen mangrove. Meski demikian, mangrove pada kawasan reklamasi ini masih dapat bertahan, bahkan kawasan ini juga masih memiliki biota-biota bentik yang terlihat dari banyaknya liang bioturbasi maupun bekas-bekas gerakan biota pada permukaan sedimen (crawling). Kawasan reklamasi mangrove ini memiliki substrat permukaan yang didominasi oleh silt (98%) dan kedalaman substrat lunak yang bervariasi. Pada mangrove yang terletak di bagian pinggir (berdekatan dengan batu-batu besar), kedalaman substrat lunak mencapai 10-20 cm, tetapi pada mangrove bagian tengah hanya mencapai 3-4 cm saja dan kedalaman selanjutnya didominasi oleh jenis substrat yang lebih keras . Kondisi tersebut mengakibatkan liang bioturbasi lebih banyak ditemukan pada daerah pinggir dibandingkan bagian tengah mangrove, meskipun mangrove pada bagian tengah lebih tinggi dan lebih rapat. Titik pengambilan sampel pada lokasi bioturbasi dilakukan pada sedimen yang berada di bawah mangrove.
4.2. Karakteristik Fisik Bioturbasi Karakteristik fisik tiap liang bioturbasi yang terdapat di kawasan mangrove tidak sama. Beberapa karakteristik fisik bioturbasi yang ditemukan di 3 titik sampling dapat dilihat pada Tabel 6.
34
Tabel 6 Karakteristik fisik cetakan (cast) liang bioturbasi No
Tipe
Keterangan
Y-shaped
SD AW UD CS TD
: : : : :
1 cm 1,6 cm 6 cm 6,5 cm 12,5 cm
2
Kompleks
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO TD-1 TD-2
: : : : : : :
1,7 cm 1,8 cm 2,3 cm 2,2 cm 11 cm 12 cm 6,5 cm
3
Y-shaped
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO UD-1 UD-2 CS TD
: : : : : : : : :
1,2 cm 0,5 cm 2,9 cm 1,8 cm 14,5 cm 5,5 cm 5 cm 13 cm 18,5 cm
1
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
35
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
4
Y-shaped
AW-1 AW-2 DO UD-1 UD-2 CS TD
: : : : : : :
1,2 cm 1 cm 8,5 cm 5 cm 6 cm 14 cm 18 cm
5
Kompleks
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO TD
: : : : : :
1,3 cm 1,5 cm 1,9 cm 1,6 cm 11 cm 4,5 cm
6
Kompleks
SD-1 SD-2 SD-3 AW-1 AW-2 AW-3 DO-1.3 DO-1.2 DO-2.3 TD-1 TD-2 TD-3
: : : : : : : : : : : :
1,3 cm 1,2 cm 1 cm 1,6 cm 1,6 cm 1,3 cm 17 cm 31 cm 20 cm 9 cm 11 cm 6 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
36
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
7
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,5 cm 15 cm
8
Single & U-shaped
SD-1 SD-2a SD-2b AW-1 AW-2a AW-2b DO TD-1 TD-2
: : : : : : : : :
1 cm 1,5 cm 1,5 cm 1,6 cm 1,9 cm 1,9 cm 3,5 cm 16,5 cm 13,5 cm
9
Y-shaped
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO UD CS TD
: : : : : : : :
1 cm 0,8 cm 1,3 cm 1,3 cm 4 cm 5 cm 10,5 cm 15,5 cm
* UD-1 = UD-2 = UD
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
37
Tabel 6 (Lanjutan) No 10
Profil Fisik Liang Bioturbasi Tampak atas
Tipe
Keterangan
Kompleks
SD-1 SD-2 SD-3 SD-4 AW-1 AW-2 AW-3 AW-4 DO-1 DO-2 UD-1 UD-2 CS-1 CS-2
: : : : : : : : : :
1,2 cm 1 cm 0,8 cm 0,9 cm 2,6 cm 2,9 cm 2,9 cm 2,6 cm 13 cm 9,5 cm 7 cm 5 cm 7 cm 5 cm
Y-shaped
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO UD-1 UD-2 CS TD
: : : : : : :
0,7 cm 1 cm 1,3 cm 1,2 cm 8 cm 3 cm 5 cm 6,5 cm 11 cm
Tampak bawah
11
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
38
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
12
Single
SD AW TD
: : :
1,5 cm 1,9 cm 17,5 cm
13
Single
SD AW TD
: : :
1,3 cm 1,9 cm 19,5 cm
14
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,6 cm 19 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
39
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
15
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,9 cm 16,5 cm
16
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 2,1 cm 18 cm
17
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,3 cm 19 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
40
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
18
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,6 cm 16 cm
19
Single
SD AW TD
: : :
0,4 cm 1,1 cm 17 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth Pada 19 cast (cetakan liang) terdapat 4 buah karakteristik bentuk, yaitu single (50%), Y-shaped (25%), U-shaped (5%), dan kompleks (20%). Keempat karakteristik tersebut diduga berfungsi untuk berlindung dan memenuhi kebutuhan mencari makan organisme secara individu maupun berkelompok. Namun belum jelas peran liang-liang sebagai tempat reproduksi. Hal ini karena liang bioturbasi untuk reproduksi pada umumnya merupakan 2 buah liang yang masing-masing dibentuk oleh organisme jantan dan organisme betina. Antara kedua buah liang tersebut dihubungkan oleh sebuah shaft horizontal (connection shaft) yang sengaja dibentuk oleh biota jantan dan berfungsi sebagai tempat terjadinya reproduksi (Gambar 13) (Candisani et al., 2001).
41
Gambar 13 Posisi conecction shaft yang berfungsi sebagai tempat terjadinya reproduksi dalam liang bioturbasi (Candisani et al., 2001). Hasil pengukuran 19 cast yang diperoleh menunjukkan nilai SD yang berkisar 0,4-1,8 cm dan AW berkisar 1,1-2,9 cm. Variabel DO, UD, dan CS tidak ditemukan pada seluruh cast, karena 50% dari cast yang diperoleh adalah single burrow yang memiliki morfologi menyerupai huruf I dengan 1 lubang di permukaan sedimen. Berdasarkan karakteristik pada 19 cast, hanya 9 cast yang memiliki DO dengan kisaran antara 3,5-31 cm dan 6 cast yang memiliki UD dan CS dengan kisaran 3-7 cm dan 5-14 cm. Kedalaman liang secara total (TD) dari 19 cast berkisar 4,5-19,5 cm dengan rata-rata kedalaman total adalah 14,3 cm. Ukuran cast tersebut dipengaruhi oleh ukuran karapas kepiting dan jenis substrat. SD yang dibuat oleh kepiting akan menyesuaikan dengan ukuran karapas, dimana biasanya SD akan berukuran sedikit lebih kecil dibandingkan karapas. Hal ini disebabkan liang bioturbasi digunakan sebagai tempat berlindung dari predator, sehingga kepiting diduga akan meminimalkan jalan masuk predator yang umumnya memiliki ukuran lebih besar. Meskipun SD berukuran sedikit lebih kecil, ukuran tersebut akan membesar pada bagian shaft yang terdapat di dalam sedimen (AW). Pada 19 cast yang diperoleh, diameter shaft (AW) mencapai 1,1-3,4 kali diameter lubang permukaan (SD). Candisani et al. (2001) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara diameter shaft (AW) dengan panjang karapas (r2 = 0,8863), namun hubungan yang tidak kuat antara DO, UD, dan TD dengan panjang karapas (r2 = 0,4776, 0,3216, dan 0,0624). Pengaruh jenis substrat pada liang bioturbasi tampak pada kedalaman total liang (TD). Substrat yang menjadi lokasi liang terdiri dari 2 lapisan yang berbeda secara visual, yaitu lapisan yang berwarna coklat kekuningan pada bagian atas dan lapisan berwarna hitam pada bagian bawah. Kedua lapisan tersebut
42
menggambarkan kondisi oksik dan anoksik sedimen, dimana lapisan atas masih berada dalam kondisi oksik dan lapisan bawah berada dalam kondisi anoksik. Panjang total liang bioturbasi juga mampu menggambarkan batas kedalaman oksik, karena umumnya liang bioturbasi dibuat sejauh masih adanya kandungan oksigen yang terkandung dalam sedimen. Hal ini dijelaskan oleh Aller (1988) yang mengemukakan bahwa liang bioturbasi akan terbentuk pada lapisan oksik meskipun lapisan anoksik berada di sekeliling atau di bawah liang. Kedalaman lapisan oksik pada lokasi sampling mencapai kedalaman 10-20 cm dengan kedalaman liang yang paling dalam ditemukan pada 19,5 cm di bawah permukaan sedimen.
4.3. Profil Nutrien Nutrien yang mencakup NH4+, NO2-, NO3-, dan PO43- yang diukur pada porewater lokasi bioturbasi dan non bioturbasi memiliki pola vertikal yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua lokasi terjadi proses kimia yang berbeda pula. Profil keempat nutrien pada kedua lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15, sedangkan data hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada lokasi bioturbasi, NH4+ pada porewater mengalami penurunan dengan kisaran konsentrasi 80,05-86,33 µM, namun NO2- dan NO3mengalami peningkatan dengan kisaran 0,00-1,65 µM dan 57,12-177,09 µM. Peningkatan juga terjadi pada PO43- hingga kedalaman 5-7,5 cm dan kemudian menurun pada kedalaman selanjutnya. Konsentrasi PO43- ini memiliki kisaran 3,87-17,77 µM. Pada sedimen non bioturbasi justru sebaliknya. Secara umum, pola profil nutrien mengalami peningkatan untuk NH4+ dan PO43- dengan kisaran konsentrasi 84,96-381,67 µM dan 5,17-38,10 µM. NO2- mengalami peningkatan hingga kedalaman 2,5 cm dan kemudian menurun dengan kisaran konsentrasi 0,10-0,83 µM, sedangkan NO3- menurun dengan kisaran 18,47-99,86 µM. Perbedaan profil nitrogen pada lokasi yang mengalami bioturbasi dan non bioturbasi menunjukkan bahwa aktifitas bioturbasi ini memiliki peranan penting dalam ketersediaan nutrien. Adanya liang bioturbasi mengakibatkan terjadinya perbedaan proses kimiawi yang dilakukan oleh mikroorganisme dalam sedimen melalui perubahan kandungan oksigen (Gambar 16). Oksigen pada porewater di liang bioturbasi memiliki konsentrasi yang lebih tinggi (2,44-3,48 mg l-1) dibanding porewater non bioturbasi ( 0,01-2,81 mg l-1). Tingginya DO pada lokasi bioturbasi disebabkan adanya interaksi antara permukaan dan bagian dalam sedimen lebih
43
NH4+ (µM) 0
50
100
150
200
250
300
350
400
0
B1
Kedalaman (cm)
-2.5
B2 -5
B3
-7.5
N1 N2
-10
N3
-12.5
(a)
-15
NH₄⁺ (µM) 81
82
83
84
85
86
87
Kedalaman (cm)
0 -2.5 -5
B1 B2
-7.5
B3
-10 -12.5 -15
(b)
Gambar 14 Profil NH4+, pada porewater sedimen menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (a), dimana simbol B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling. Profil pada porewater lokasi bioturbasi ditunjukkan dalam kotak hijau pada gambar (a), bila kotak hijau diperbesar maka akan tampak terjadinya penurunan konsentrasi NH4+ (b).
44
NO2- (µM)
0
0.5
1
1.5
2
0 B1
Kedalaman (cm)
-2.5
B2
-5
B3 N1
-7.5
N2
-10
N3
-12.5 -15 NO3- (µM) 0
25
50
75
100
125
150
175
200
0 B1
Kedalaman (cm)
-2.5
B2
-5
B3
-7.5
N1 N2
-10
N3
-12.5 -15 PO43- (µM)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0
Kedalaman (cm)
-2.5
B1 B2
-5
B3
-7.5
N1 N2
-10
N3
-12.5 -15
Gambar 15 Profil NO2-, NO3- dan PO43- pada porewater sedimen menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling.
45
DO (mg/l) 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0
Kedalaman (cm)
-2.5 -5 B1
-7.5
B2 -10
B3 N1
-12.5
N2 -15
N3
Gambar 16 Profil DO (mg/l) pada porewater sedimen menurut kedalaman (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling). terbuka akibat adanya liang bioturbasi, sehingga pada bagian dalam sedimen tetap berada dalam keadaan oksik. Meski pun demikian, aktifitas mikrobiologi pada lapisan oksik yang menggunakan oksigen mengakibatkan kandungan oksigen mengalami penurunan secara vertikal. Berbeda dengan lokasi non bioturbasi, ketersediaan oksigen terbatas dan tanpa interaksi dengan permukaan sedimen,
sehingga
aktifitas mikrobiologi
yang
terjadi
di
lapisan
oksik
mengkibatkan oksigen menurun dengan cepat. Aktifitas
mikrobiologi yang
terjadi
pada sedimen yang mengalami
bioturbasi disebut dengan dekomposisi aerobik atau nitrifikasi (Sanusi dan Putranto, 2009). Reaksi dekomposisi tersebut adalah sebagai berikut (Schulz dan Zabel, 2006) :
.......................... (1) ................................................... (2) Pada lokasi bioturbasi, oksigen yang berlimpah mengakibatkan kedua reaksi tersebut berjalan dari kiri ke kanan, sehingga NH4+ menurun namun NO2- dan NO3- meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Pada Gambar 16 terlihat, meskipun oksigen dalam sedimen berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman, namun konsentrasi oksigen (2,44-3,48 mg/l) masih cukup untuk terjadinya proses reaksi dengan oksigen sebagai katalisator, sehingga reaksi aerob terus terjadi selama oksigen masih tersedia. WPC (2010)
46
menjelaskan bahwa proses nitrifikasi akan berlangsung pada kondisi DO sedimen 1,0 mg/l atau lebih, dan pada kondisi DO 0,5 mg/l proses nitrifikasi yang terjadi adalah minimal. Perubahan profil nitrogen di atas, juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di laboratorium. Touminen et al. (1999) memperoleh profil perubahan nitrogen yang sama pada penelitiannya yang menggunakan inkubasi Monoporeia affinis selama 12 hari. Hasil inkubasi menunjukkan bahwa NH4+ juga mengalami penurunan dari hari ke hari, bahkan mendekati 0 µmol/l pada kedalaman sedimen 15 cm, konsentrasi NO3- dan NO2- mengalami peningkatan hingga kedalaman 5-10 cm lalu menurun pada hari ke-12. Pada sedimen non bioturbasi, keterbatasan oksigen (0,01-2,81 mg/l) mengakibatkan mikroorganisme mengubah NO3- yang telah tersedia menjadi NO2- dan akhirnya menghasilkan NH4+. NH4+ yang menjadi hasil akhir reaksi tersebut kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Reaksi perubahan NO3- tersebut merupkan dekomposisi anaerobik atau denitrifikasi (Sanusi dan Putranto, 2009). Dekomposisi anaerobik yang terjadi mengakibatkan kondisi amonium, nitrit dan nitrat pada lokasi non bioturbasi berkebalikan dengan lokasi bioturbasi. Reaksi dekomposisi anaeraobik yang terjadi adalah sebagai berikut (Schulz dan Zabel, 2006) :
.......................................... (3) ..................................... (4) .............................................. (5) Reaksi (5) tidak selalu terbentuk, sehingga hasil akhir dari proses denitrifikasi ini tidak selalu berupa dinitrogen (N2). Mikroorganisme yang terdapat dalam sedimen, termasuk juga bakteri, memiliki kemampuan untuk mengubah nitrat menjadi amonium dalam pembentukan biomassa. Pembentukan nitrat menjadi amonium terjadi dalam reaksi sebagai berikut (Jørgensen dan Sørensen, 1985; Sørensen, 1987; in Schulz dan Zabel, 2006) :
....................................... (6) Proses dekomposisi anaerobik tersebut terjadi mulai pada kedalaman 2,5 cm, sedangkan pada kedalaman di atas 2,5 cm masih berlangsung dekomposisi aerobik. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 14 yang menunjukkan konsentrasi NH4+ yang mengalami penurunan sebelum kemudian meningkat mulai kedalaman 2,5 cm. Selain itu, pada kedalaman 0-2,5 cm konsentrasi NO3juga mengalami peningkatan dan kemudian menurun setelah kedalaman 2,5 cm.
47
Hal tersebut disebabkan kondisi oksigen yang masih cukup tersedia hingga kedalaman 2,5 cm, sehingga proses yang terjadi pada kedalaman tersebut masih bersifat aerob. Namun setelah melewati kedalaman 2,5 cm oksigen mengalami penurunan yang signifikan sehingga tidak mencukupi untuk terjadinya proses aerob. WPC (2010) menjelaskan bahwa denitrifikasi akan mulai berlangsung pada kondisi oksigen kurang dari 0,5 mg/l. Denitrifikasi akan berlangsung secara ideal pada kondisi oksigen kurang dari 0,2 mg/l. Selain kandungan oksigen yang menurun, proses anaerobik ini juga terjadi karena konsentrasi nitrat yang terbatas, baik nitrat yang secara alami terkandung dalam sedimen, maupun nitrat hasil perombakan nitrit pada proses sebelumnya (Karlson et al., 2007). Penurunan NO3- dan NO2-, serta kenaikan NH4+ juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di wilayah lain. Liu et al. (2003) melakukan penelitian di pantai Laut Bohai, Cina dan memperoleh penurunan NO3- dan NO2- secara tajam sebagai gambaran kecepatan denitrifikasi, terutama pada sediment-water interface. Woulds et al. (2009) dengan lokasi penelitian Pakistan Margin Oxygen Minimum Zone (OMZ) juga memperoleh hasil penelitian yang serupa. Profil yang berlawanan antara lokasi yang mengalami bioturbasi dan non bioturbasi juga ditemukan pada fosfat terlarut (PO43-). Salah satu penyebab peningkatan konsentrasi PO43- pada porewater non bioturbasi adalah proses mineralisasi yang terjadi pada kondisi yang cenderung anaerob. Pada kondisi aerob, PO43- yang terdapat dalam sedimen memiliki sifat yang mudah berikatan, terutama dengan Fe3+ melalui reaksi : ................................................. (7) Namun pada kondisi anaerob, reaksi tersebut sulit terjadi sehingga PO43- yang bebas makin meningkat. Hal tersebut dijelaskan oleh Chester (1990); Chakrabarty dan Das (2007) dan Geurts et al. (2009), dimana pada kondisi anaerob Fe3+ akan mengalami reduksi menjadi Fe2+ dengan reaksi sebagai berikut (Schulz dan Zabel, 2006) : ........................................... (8) Fe2+ memiliki kemampuan mengikat PO43- lebih rendah, sehingga sedimen kehilangan kemampuannya untuk mengikat PO43- (Anschutz et al., 2007). Hal tersebut mengakibatkan PO43- lebih banyak berada dalam kondisi bebas. Selain itu, reduksi yang terjadi juga menyebabkan PO43- yang semula berikatan dengan Fe3+ terlepas (Gerhardt et al., 2010).
48
Reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ yang menghasilkan H+ mengakibatkan pH porewater pada lokasi non bioturbasi mengalami penurunan secara perlahan (Gambar 17). Penurunan pH ini juga ditemukan oleh Reimers et al. (1996) dan Falz et al. (1999) yang kemudian menjelaskan bahwa terjadinya penurunan pH pada kondisi anoksik ini diduga disebabkan oleh efek reduksi Fe yang menghasilkan H+ lebih besar dibandingkan proses redoks lain yang justru memanfaatkan H+. Penurunan pH yang terjadi pada lokasi non bioturbasi mengakibatkan Fe2+ yang terbentuk makin meningkat sehingga PO43- yang terlepas menuju porewater juga makin tinggi.
pH 0
2.5
5
7.5
10
0 Kedalaman (cm)
-2.5 -5
B1
-7.5
B2 B3
-10
N1
-12.5
N2
-15
N3
Gambar 17. pH porewater menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling). Proses diagenesis yang terjadi di sedimen di wilayah estuaria tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan Fe2+. Mangan oksida (MnO2) juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi mineralisasi PO43-. Kondisi sedimen yang anoksik mengakibatkan MnO2 mengalami reduksi menjadi Mn2+ melalui reaksi sebagai berikut (Chester, 1990) : ...................................................................... (9) Mn2+ yang bertindak sebagai kation memiliki kemampuan untuk mengikat PO 43-. Meski demikian, pada sedimen Mn2+ yang terbentuk kemudian terdifusi ke atas hingga mencapai batas daerah redoks (oxidized zone) akibat adanya gradient konsentrasi dan mengalami oksidasi kembali membentuk MnO2
(s).
Hal tersebut
mengakibatkan pada oxidized zone tidak ditemukannya Mn2+ (Chester, 1990). Terbatasnya wilayah keberadaan Mn2+ dan cepatnya reaksi yang mengubah
49
Mn2+ mengakibatkan Mn2+ pada sedimen estuari yang dangkal tidak banyak berikatan dengan PO43-. Profil konsentrasi PO43- di atas berbeda dengan profil pada pada wilayah yang mengalami bioturbasi. Peningkatan PO43- pada porewater bioturbasi terjadi hingga kedalaman 5-7,5 cm dan kemudian menurun. Proses yang terjadi pada liang bioturbasi lebih rumit dibandingkan lokasi non bioturbasi. Kondisi oksik pada liang bioturbasi mengakibatkan Fe2+ yang melepaskan PO43- tidak dapat terbentuk. Namun reaksi yang terjadi justru mengakibatkan Fe2+ mengalami oksidasi menjadi Fe3+, begitu pula dengan Mn2+ yang mengalami oksidasi menjadi MnO2 (Chester, 1990). Hal tersebut mengakibatkan PO43- akan mudah berikatan, terutama dengan Fe3+ yang bersifat lebih bebas dibandingkan MnO2. Meski demikian, konsentrasi PO43- pada permukaan (hingga kedalaman 5-7,5 cm) mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena adanya masukkan PO43- dari kolom air yang terbawa bersama aliran air ke dalam liang bioturbasi (Fukuhara & Sakamoto, 1987; Søndergaard, 2003 in Smith, 2009). Selain itu, pembentukan liang bioturbasi juga mengakibatkan terjadinya pengadukan sedimen yang mampu melepaskan PO43- yang terikat pada partikel sedimen. Seiring dengan bertambahnya kedalaman, meskipun DO dalam liang yang masih cukup tinggi namun pH bagian dalam liang meningkat (Gambar 17). Proses perubahan pH yang lebih rumit terjadi pada porewater bioturbasi. Perubahan pH pada liang bioturbasi tersebut juga diperoleh oleh Meadows et al. (2000); Zhu et al. (2006) dan Hakonen et al. (2010) yang kemudian menjelaskan adanya pengaruh lendir dan metabolit yang dikeluarkan oleh organisme sebagai salah satu penyebab terjadinya penurunan pH. Selain itu, kondisi liang bioturbasi yang oksik (Gambar 16) mengakibatkan berlangsungnya proses reaksi aerob yang menghasilkan H+ sehingga pH mengalami penurunan. Peningkatan yang terjadi setelahnya diduga karena adanya pengadukan bagian bawah sedimen yang mengandung oksidan terlarut dengan konsentrasi tinggi. Meski demikian, penyebab peningkatan pH yang terjadi belum diketahui secara jelas (Zhu et al., 2006; Hakonen et al., 2010). Perubahan pH tersebut mengakibatkan PO4 yang berada dalam keadaan bebas akan berkurang. Profil nutrien (Gambar 14 dan 15) di porewater, baik pada lokasi yang mengalami bioturbasi maupun non bioturbasi, secara umum memiliki profil yang konsisten pada setiap titik sampling. Hal ini diduga karena kondisi fisika sedimen yang homogen pada setiap titik di lokasi sampling (bioturbasi dan non bioturbasi),
50
antara lain jenis substrat, porositas dan permeabilitas sedimen. Jenis substrat pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi didominasi oleh fraksi silt (98%), dengan porositas sebesar 88,39-90,57% untuk sedimen bioturbasi dan 80,4083,63% untuk sedimen non bioturbasi, sedangkan permeabilitasnya memiliki kisaran 1,69-1,8 cm/jam untuk sedimen bioturbasi dan 0,93-1,07 cm/jam untuk sedimen non bioturbasi (Lampiran 7). Kisaran porositas dan permeabilitas yang sempit pada masing-masing lokasi sampling dengan substrat yang homogen tersebut, mengakibatkan kemampuan sedimen untuk menyerap dan mengalirkan porewater
juga
homogen.
Kondisi
kimia
pada
porewater
mampu
menggambarkan kondisi kimia yang terjadi dalam sedimen, sehingga bila porewater yang terdapat dalam sedimen sama maka kandungan nutrien yang terdapat di dalamnya tentu akan memiliki profil yang konsisten pula.
4.4. Fluks Nutrien 4.4.1. Fluks Nutrien Pada Lokasi Bioturbasi Fluks nutrien di lokasi bioturbasi dapat dilihat pada Gambar 18. Fluks NH4+ berkisar antara -37,378 sampai -17,941 mmol N m-2 h-1, sedangkan fluks NO3-, dan PO43- berturut-turut 31,778-50,313 mmol N m-2 h-1 ; dan -6,126.10-4 hingga 5,740.10-4 mmol P m-2 h-1. Pada fluks tersebut, tanda negatif dan positif menunjukkan arah fluks, dimana negatif berarti terjadi aliran fluks dari box model menuju kolom air (efflux) sehingga menambah konsentrasi nutrien di kolom air, sedangkan positif menandakan aliran fluks dari kolom air masuk dalam box model (influx) sehingga mengurangi konsentrasi nutrien pada kolom air. Influx NO3- pada lokasi bioturbasi dipicu oleh tingginya aktifitas denitrifikasi yang
terjadi dalam liang. Kandungan oksigen yang lebih tinggi pada liang
memang mengakibatkan nitrifikasi yang menghasilkan NO3- dalam jumlah yang tinggi. Namun pada kenyataannya, liang yang terbentuk justru mengakibatkan mikroorganisme lebih terstimulasi untuk melakukan proses denitrifikasi daripada nitrifikasi. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh mikroorganisme dalam liang yang mengakibatkan kebutuhan masukan air dalam liang juga makin tinggi. Peningkatan aliran masukan air tidak hanya meningkatkan kebutuhan oksigen mikroorganisme, tetapi juga mengakibatkan konsentrasi NO3- dalam liang yang juga meningkat akibat terbawa dari kolom air sehingga menghasilkan denitrifikasi yang tinggi dalam sedimen (Svensson, 1998). Stimulasi denitrifikasi yang terjadi dalam liang kemudian mengakibatkan
51
Fluks NH4+ (mmol N m-2 h-1) -40
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0 0 2.5
Kedalaman (cm)
5 7.5 10 12.5 15
B1
B2
B3 Fluks NO3- (mmol N m-2 h-1)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
B1
B2
B3
Fluks PO43- (mmol P m-2 h-1) -8.E-04
-6.E-04
-4.E-04
-2.E-04
0.E+00
2.E-04
4.E-04
6.E-04
8.E-04
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
B1
Gambar 18
B2
B3
Profil fluks NH4+, NO3- dan PO43- (mmol m-2 h-1) pada lokasi bioturbasi. Arah negatif dan positif pada gambar merupakan arah fluks, dimana arah negatif menunjukkan terjadinya fluks keluar (efflux), dan arah positif menunjukkan fluks masuk ke dalam box model (influx). Simbol 1,2,3 menunjukkan titik sampling.
52
mikroorganisme memerlukan tambahan NO3- yang kemudian diambil dari luar (Binnerup et al., 1992 ; Howe et al., 2004 in Widdicombe dan Needham, 2007). Kenyataan tersebut diperkuat oleh Henrikson et al. (1980) dan Kristensen et al. (1985) in Widdicombe dan Needham (2007) yang menemukan bahwa liang bioturbasi memberikan kontribusi rata-rata sebesar 35% untuk nitrifikasi dan 5079% untuk denitrifikasi. Secara alami, influx yang terjadi pada NO3- ini telah ditunjukkan oleh profil konsentrasinya secara vertikal (Gambar 15). Konsentrasi pada sediment-water interface (0 cm) yang lebih rendah dibandingkan pada sedimen yang lebih dalam mengindikasikan adanya pengambilan NO3- dari kolom air oleh box model. Kondisi NO3- pada 0 cm dapat digunakan untuk mewakili kondisi nutrien pada kolom air hingga 1-2 cm di atas sedimen. Hal tersebut mengacu pada percobaan Zaiko dan Olenin (2004), dimana pada kondisi tenang, resuspensi hasil bioturbasi, baik partikel sedimen maupun bahan terlarut, dapat terdeteksi hingga kedalaman 10 cm di atas permukaan sedimen. Namun, resuspensi tertinggi terdapat pada kolom air 1-2 cm di atas permukaan sedimen. Penjelasan di atas secara tidak langsung dapat menerangkan efflux yang terjadi pada NH4+. Pratihary et al. (2009) mengemukakan bahwa denitrifikasi yang lebih tinggi turut menyumbangkan konsentrasi NH4+ dalam liang selain NH4+ yang berasal dari hasil interaksi dengan kolom air. Konsentrasi NH4+ tersebut kemudian juga ditambah dengan hasil ekskresi organisme dalam liang (Nizzoli et al., 2007) yang mengakibatkan kondisi sedimen menjadi lebih jenuh dan memicu terjadinya efflux NH4+. Fluks NH4+ semakin besar seiring dengan bertambahnya kedalaman meskipun konsentrasi NH4+ semakin berkurang (Gambar 14). Hal tersebut disebabkan karena makin bertambahnya gradien konsentrasi NH4+ pada kedalaman 0 cm dan 12,5-15 cm (box 6), sehingga NH4+ yang keluar menuju kolom air juga tentu saja akan makin besar. Selain itu, dilihat dari proses internal dalam liang, pada liang bioturbasi terjadi perubahan ukuran liang yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. Semakin ke dalam sedimen liang bioturbasi mengecil, namun reaksi denitrifikasi mengalami peningkatan. Hal tersebut terjadi karena makin tingginya ketersediaan NO3- pada bagian dalam sedimen dan jumlah mikroorganisme pada dinding liang yang tinggi (Pelegri et al., 1994). Proses denitrifikasi pada liang bioturbasi, sebagian besar merubah NO3- menjadi N2O dan menghasilkan NH4+ dibandingkan N2 (Binnerup et
53
al.,1992), sehingga konsentrasi NH4+ bertambah. Meski demikian, NH4+ yang memiliki sifat tidak stabil (Binnerup et al., 1992) akan terus mengalami perubahan dalam sedimen, sehingga NH4+ hasil denitrifikasi tersebut langsung mengalami reaksi kembali menjadi NO3-. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab meningkatnya efflux NH4+ meskipun konsentrasi pada porewater menurun. Selain itu, pada bagian bawah liang bioturbasi, ekskresi NH4+ diduga mengalami peningkatan dan menjadi salah satu penyumbang efflux NH4+ yang terjadi (Pelegri et al., 1994). Selain faktor reaksi internal dan gradien konsentrasi, peningkatan efflux NH4+ yang terjadi secara vertikal juga disebabkan oleh ukuran liang bioturbasi yang makin kecil pada sedimen bagian dalam. Liang yang makin kecil mengakibatkan porositas juga semakin kecil, sehingga NH4+ yang berikatan dengan partikel sedimen meningkat dan NH4+ terlarut menurun. Namun demikian aktifitas keluar masuk liang yang dilakukan oleh organisme mengakibatkan lebih banyak NH4+ yang berikatan dengan sedimen terlepas (Biles et al., 2002 ; O’Brien et al., 2009) dan menjadi bentuk terlarut pada porewater. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan gradien konsentrasi dan efflux NH4+ menjadi makin besar. Perubahan aliran fluks terjadi pada PO43-, yaitu adanya influx pada box 1 hingga box 3 yang kemudian diikuti dengan efflux pada box selanjutnya. Perubahan ini secara umum sesuai dengan konsentrasi PO43- (Gambar 15) yang juga menunjukkan adanya peningkatan hingga kedalaman 5-7,5 cm dan penurunan pada kedalaman selanjutnya. Box 3 (antara kedalaman 5-7,5 cm) merupakan box transisi yang ditunjukkan oleh yang influx makin menurun. Perubahan-perubahan fluks ini diduga disebabkan karena adanya pengaruh kelimpahan mikroorganisme (termasuk fitoplankton) dan gradien konsentrasi secara vertikal pada liang bioturbasi, namun pengaruh terbesar diduga diberikan oleh perubahan kelimpahan mikroorganisme tersebut. Dominasi pengaruh pemanfaatan secara biologi terhadap fluks PO43- juga diungkapkan oleh Carlton dan Wetzel (1988).
4.4.2. Fluks Nutrien Pada Lokasi Non Bioturbasi Fluks nutrien pada lokasi non bioturbasi dapat dilihat pada Gambar 19. Fluks NH4+ terjadi dengan kisaran nilai 0,030-0,321 mmol N m-2 h-1, aliran NO3memiliki kisaran antara -0,022 sampai -0,406 mmol N m-2 h-1, dan PO43- dengan
54
Fluks NH4+ (mmol N m-2 h-1) 0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
N1
N2
N3
Fluks NO3- (mmol N m-2 h-1) -0.45
-0.4
-0.35
-0.3
-0.25
-0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0 0 2.5
7.5 10
Kedalaman (cm)
5
12.5 15
N1
N2
N3 Fluks PO43- (mmol P m-2 h-1)
0.0E+00
2.0E-06
4.0E-06
6.0E-06
8.0E-06
1.0E-05
1.2E-05
1.4E-05
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
N1
Gambar 19
N2
N3
Profil fluks NH4+, NO3- dan PO43- (mmol m-2 h-1) pada lokasi non bioturbasi. Arah negatif dan positif pada gambar merupakan arah fluks, dimana arah negatif menunjukkan terjadinya fluks keluar (efflux), dan arah positif menunjukkan fluks masuk ke dalam box model (influx). Simbol 1,2,3 menunjukkan titik sampling
55
kisaran 4,199.10-7-1,338.10-5 mmol P m-2 h-1. Sama halnya dengan fluks pada lokasi bioturbasi, tanda negatif dan positif menunjukkan arah fluks, dimana negatif berarti terjadi aliran fluks dari box model menuju kolom air (efflux) sehingga menambah konsentrasi nutrien di kolom air, sedangkan positif menandakan aliran fluks dari kolom air masuk dalam box model (influx) sehingga mengurangi konsentrasi nutrien pada kolom air. Fluks NH4+ pada lokasi non bioturbasi terjadi dengan arah dari kolom air masuk ke dalam box model (influx) dan semakin ke dalam sedimen influx yang terjadi makin besar. NH4+ pada sedimen berasal dari akumulasi pengendapan NH4+ yang berasal dari permukaan, hasil proses denitrifikasi. Apabila dilihat dari profil NH4+ (Gambar 14), maka influx yang terjadi sesuai dengan gradien konsentrasi di lapangan. Hal ini terlihat dari makin bertambahnya konsentrasi NH4+ seiring dengan bertambahnya kedalaman yang menunjukkan terjadinya akumulasi NH4+ pada bagian dalam sedimen. Konsentrasi NH4+ pada sedimentwater interface (kedalaman 0 cm) lebih kecil dibandingkan konsentrasi pada kedalaman sedimen di bawahnya, sehingga menandakan bahwa memang terjadi perpindahan NH4+ dari permukaan sedimen masuk ke dalam sedimen. Konsentrasi NH4+ pada kedalaman 0 cm tersebut dapat mewakili kondisi NH4+ hingga 1 cm di atas permukaan sedimen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Touminen et al. (1999) dimana konsentrasi NH4+ tidak berbeda secara signifikan pada 1 cm di atas permukaan sedimen dan 0 cm, sedangkan pada kolom air yang lebih tinggi dari permukaan sedimen menunjukkan konsentrasi NH4+ yang lebih rendah dibandingkan sediment-water interface. Fluks NH4+ berlawanan arah dengan fluks NO3-. NO3- mengalami efflux yang semakin besar seiring dengan bertambahnya kedalaman. Konsentrasi NO3yang semakin menurun (Gambar 15) mengakibatkan peningkatan gradien konsentrasi antara NO3- pada box model bagian dalam sedimen dengan permukaan sedimen (kedalaman 0 cm). Hal tersebut mengindikasikan bahwa memang terjadi aliran keluar yang makin besar dari box model menuju kolom air. Proses efflux tersebut tidak hanya dapat diterangkan oleh adanya proses difusi, namun beberapa faktor lain seperti struktur dan komposisi sedimen, bulk density, dan kecepatan aliran (velositas) porewater, juga ikut mempengaruhi transpor vertikal NO3- menuju kolom air (Zhou et al., 2011). Pada penelitian ini, faktor-faktor tersebut masih diasumsikan homogen sehingga proses transpor efflux NO3- belum dapat diterangkan lebih detail.
56
Meski demikian, pelepasan NO3- dapat juga diterangkan sebagai akibat proses
kimia
yang
terjadi.
Penurunan
konsentrasi
NO3-
menunjukkan
penggunaan NO3- untuk denitrifikasi makin besar sehingga pelepasan NO3- juga makin besar. Hal tersebut dijelaskan oleh Fan et al (2006) yang mengemukakan bahwa pada kedalaman dimana konsentrasi NO3- menurun dan sangat terbatas, mikroorganisme yang berperan sebagai denitrifiers berada dalam kelimpahan yang tinggi sehingga denitrifikasi juga makin besar. Namun meningkatnya pelepasan NO3- ini tidak terjadi secara linier melainkan sangat tergantung pada batas ketersediaan bahan organik dan kadar air pada sedimen. PO43- pada sedimen non bioturbasi mengalami influx yang nilainya makin besar seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sama halnya dengan NH4+, pada sedimen non bioturbasi juga terjadi akumulasi PO43- yang menyebabkan konsentrasi PO43- semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 15), sehingga terjadi perpindahan PO43- dari kolom air menuju sedimen (influx). Semakin besar akumulasinya (ditunjukkan oleh semakin tinggi konsentrasi), maka influx yang dihasilkan juga makin besar. Selain itu, proses mineralisasi yang menyebabkan terjadinya pelepasan PO43- dari partikel sedimen juga meningkatkan konsentrasi PO43- sehingga sistem model yang digunakan juga mengasumsikan adanya influx yang meningkat seiring dengan kedalaman sedimen . Kisaran nilai fluks sedimen non bioturbasi jauh lebih rendah dibandingkan fluks pada sedimen non bioturbasi. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh pengadukan sedimen oleh bioturbator yang menyebabkan aliran nutrien menjadi lebih tinggi. Selain itu, liang bioturbasi yang terbentuk juga mengakibatkan luas daerah interaksi antara sedimen dan kolom air sepanjang dalamnya liang menjadi lebih luas, sehingga jalan aliran fluks nutrien juga menjadi lebih terbuka dibandingkan sedimen non bioturbasi yang hanya mengandalkan proses difusi sedimen (Nizzoli et al., 2007). Perbedaan kisaran nilai fluks antara sedimen bioturbasi dan non bioturbasi ini juga
diperoleh
dalam
penelitian
yang
dilakukan oleh Pratihary et al. (2009), dimana fluks nutrien pada sedimen non bioturbasi mencapai 2-25 kali lebih kecil dibandingkan fluks yang terjadi pada sedimen non bioturbasi.
57
4.5. Analisis Sensitifitas Model QUAL2K Analisis sensitivitas dilakukan untuk memprediksi faktor dominan yang dapat mempengaruhi fluks NH4+ yang terjadi pada lokasi bioturbasi. Hasil analisis sensitifitas model QUAL2K tersebut ditunjukkan oleh Tabel 7 dan 8. Nilai sensitivitas tersebut ditunjukkan oleh rata-rata perubahan fluks NH4+ dan indeks sensitivitas. Rata-rata perubahan fluks merupakan delta (∆) fluks, yaitu besar rata-rata fluks awal (fluks yang dihasilkan oleh data lapangan) dikurangi dengan fluks akhir (fluks yang dihasilkan setelah data mengalami penambahan atau pengurangan). Tanda negatif yang terdapat pada rata-rata perubahan fluks menunjukkan terjadinya pengurangan pada fluks awal dan tanda positif menunjukkan adanya penambahan pada fluks awal. Tingkat kesensitifan tiap perubahan parameter terhadap fluks awal sendiri ditunjukkan oleh indeks sensitivitas, dimana makin tinggi nilai indeks sensitivitas maka parameter tersebut makin dominan mempengaruhi perubahan fluks yang terjadi. Demikian pula sebaliknya. Tabel 7 merupakan hasil sensitivitas yang diperoleh apabila parameter DO, porositas, konsentrasi masing-masing nutrien, dan kelimpahan fitoplankton mengalami penambahan dari konsentrasi awal. Misalnya penambahan DO (yaitu 50% dari konsentrasi awal), mengakibatkan terjadinya penambahan fluks NH4+ dengan rata-rata sebesar 0,007 mmol N m-2 h-1 dari fluks awal dengan nilai indeks sensitivitas sebesar 0,001. Begitu pula dengan penambahan nilai porositas (yaitu 5% dari nilai porositas awal). Penambahan porositas tersebut mengakibatkan terjadinya pengurangan fluks sebesar 29,650 mmol N m -2 h-1 dari fluks awal dengan nilai indeks sensitivitas sebesar 23,777. Nilai indeks sensitivitas akibat penambahan porositas yang lebih besar dibandingkan indeks sensitivitas akibat penambahan DO mengindikasikan bahwa fluks yang terjadi lebih sensitif terhadap penambahan porositas dibandingkan penambahan DO. Pembacaan indeks pada Tabel 7 tersebut juga berlaku pada Tabel 8 yang merupakan hasil sensitivitas yang dilakukan terhadap pengurangan nilai masingmasing parameter. Grafik hasil analisis sensitivitas pada setiap titik sampling lokasi bioturbasi dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis sensitivitas model QUAL2K menunjukkan bahwa indeks sensitivitas tertinggi disebakan oleh adanya perubahan nilai porositas (22,94229,330 untuk penambahan porositas dan 6,621-12,690 untuk pengurangan porositas). Tingkat sensitivitas berikutnya berturut-turut diperoleh akibat adanya
58
Tabel 7 Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+ pada lokasi bioturbasi akibat penambahan parameter Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,007 -29,650 0,611 -12,314
0,001 23,777 0,049 0,987
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,016 -34,311 0,807 -13,027
0,001 25,293 0,059 0,960
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,020 -38,806 0,701 -11,368
0,001 26,461 0,048 0,775
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,022 -42,312 0,794 -11,010
0,001 26,863 0,050 0,699
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,022 -49,951 0,788 -7,554
0,001 28,940 0,046 0,438
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,023 -54,815 0,797 -6,378
0,001 29,330 0,043 0,341
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,311 -28,037 1,611 -7,770
0,025 22,942 0,132 0,636
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,102 -31,325 1,825 -8,230
0,008 23,539 0,137 0,618
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,320 -34,558 2,433 -7,596
0,023 24,611 0,173 0,541
Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B1
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
2,5-5
B2
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
59
Tabel 7 (Lanjutan) Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B2
7,5-10
B3
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,176 -40,767 3,374 -6,838
0,012 27,741 0,230 0,465
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,306 -45,904 5,633 -7,278
0,019 28,756 0,353 0,456
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,009 -50,651 6,477 -8,683
0,001 29,186 0,373 0,500
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,311 -22,650 1,111 -11,932
0,035 25,250 0,124 1,330
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,299 -25,409 1,215 -10,271
0,031 26,444 0,126 1,069
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,181 -29,879 1,447 -9,174
0,017 27,919 0,135 0,857
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,025 -34,136 0,746 -7,787
0,002 28,968 0,063 0,661
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,194 -41,197 0,857 -10,396
0,014 28,676 0,060 0,724
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,491 -46,951 1,133 -9,826
0,030 29,146 0,070 0,610
60
Tabel 8 Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+ pada lokasi bioturbasi akibat pengurangan parameter Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
-50% -5% -50% -25%
-0,041 8,257 -0,615 4,062
0,003 6,621 0,049 0,326
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,016 11,635 -0,770 3,852
0,001 8,577 0,057 0,284
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,020 13,730 -0,777 4,265
0,001 9,362 0,053 0,291
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,022 17,356 -0,789 4,586
0,001 11,019 0,050 0,291
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,022 18,710 -0,782 5,664
0,001 10,840 0,045 0,328
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,023 20,383 -0,791 7,467
0,001 10,906 0,042 0,400
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,293 8,846 -0,615 3,060
0,024 7,239 0,050 0,250
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,148 13,853 -0,581 4,292
0,011 10,410 0,044 0,323
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,180 15,315 -0,366 5,068
0,013 10,907 0,026 0,361
Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B1
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
2,5-5
B2
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
61
Tabel 8 (Lanjutan) Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
-50% -5% -50% -25%
-0,324 18,649 -0,704 6,367
0,022 12,690 0,048 0,433
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,193 20,258 -1,088 8,182
0,012 12,690 0,068 0,513
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,491 24,571 -0,983 9,771
0,028 14,158 0,057 0,563
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,193 7,876 -1,615 4,200
0,022 8,780 0,180 0,468
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,103 9,921 -1,387 4,932
0,011 10,325 0,144 0,513
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-0,321 12,816 -1,164 4,772
0,030 11,975 0,109 0,446
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25% -50% -5% -50% -25%
-0,177 14,777 -1,093 4,243
0,015 12,540 0,093 0,360
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-0,006 14,035 -1,405 3,551
0,000 9,770 0,098 0,247
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-0,009 17,322 -1,573 6,661
0,001 10,753 0,098 0,413
Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B2
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
10-12,5
B3
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
-50% -5% -50% -25% -50% -5% -50% -25% -50%
62
perubahan konsentrasi fitoplankton (0,341-1,330 untuk penambahan dan 0,2500,563 untuk pengurangan fitoplankton), perubahan konsentrasi masing-masing nutrien (0,043-0,373 untuk penambahan dan 0,026-0,180 untuk pengurangan konsentrasi), dan perubahan DO (0,001-0,035 untuk penambahan dan 0,0000,030 untuk pengurangan DO). Perubahan
porositas mengakibatkan
perubahan
fluks
yang
cukup
signifikan. Hal ini terjadi karena porositas mempengaruhi ketersediaan nutrien dalam bentuk terlarut dan partikulat. Semakin kecil porositas, maka keberadaan nutrien dalam bentuk terlarut semakin kecil dan nutrien sebagai partikulat akan semakin besar. Hal tersebut mengakibatkan adanya kejenuhan nutrien partikulat dalam sedimen, sehingga kemungkinan untuk terjadinya efflux dari sedimen ke porewater dan meningkatkan konsentrasi NH4+ di porewater. Kemudian efflux menuju kolom air akan mengalami peningkatan, dimana NH4+ di porewater terbawa ke permukaan besama dengan air yang mengalir dalam liang. Selain itu, porositas juga mempengaruhi aktifitas mikrorganisme. Ruang pori yang kecil pada kondisi oksik dapat menstimulasi peningkatan aktifitas mikroorganisme sehingga fluks yang dihasilkan menjadi lebih besar. Selain itu, ruang pori juga berperan dalam distribusi bahan organik sebagai bahan mentah dalam sedimen. Hal tersebut tampak dalam perubahan arah fluks NH4+ yang justru mengalami influx ketika diberi penambahan nilai porositas yang menandakan perlunya tambahan NH4+ pada ruang pori yang besar guna mendukung aktifitas mikroorganisme. Pada analisis sensitivitas model yang dilakukan, peningkatan efflux yang terjadi akibat berkurangnya porositas berlangsung secara linier. Namun menurut Linn dan Doran (1984), peningkatan fluks yang terjadi akibat penurunan porositas tidak berlangsung secara linier, tetapi eksponensial dimana terdapat titik kritis pada porositas yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan besaran fluks. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan bulk density dan ketebalan jenis sedimen, dimana tiap bagian kedalaman dapat berbeda tergantung pada proses yang terjadi di permukaan. Distribusi dan pengendapan jenis dan ukuran butir sedimen pada suatu perairan, dipengaruhi oleh transpor sedimen dan adveksi horizontal pada bagian permukaan. Pada lokasi penelitian, substratnya merupakan hasil pengendapan dari arus yang lemah karena lokasinya yang terlindungi sehingga cenderung memiliki substrat halus. Meski demikian, pada penelitian ini, data jenis dan ukuran butir pada
63
setiap kedalaman 2,5 cm tidak diketahui secara detail, sehingga asumsi (3) digunakan dalam analisis sensitvitas. Perubahan kelimpahan klorofil-a yang
terdapat
dalam
fitoplankton
merupakan faktor dominan kedua yang mempengaruhi fluks yang terjadi. Hal ini karena klorofil-a yang terdapat dalam fitoplankton merupakan salah satu sumber bahan organik yang terdapat di dalam sedimen (asumsi 1). Semakin tinggi kelimpahannya, maka makin banyak bahan organik partikulat yang akan mengendap, sehingga makin tinggi pula sumber bahan organik dalam sedimen. Sama halnya dengan porositas, bila bahan organik partikulat makin jenuh, maka makin tinggi peluang terjadinya fluks dari sedimen ke kolom air. Selain itu, keberadaan organisme fitoplankton pada liang bioturbasi juga terkait dengan tingkat
pemanfaatan nutrien
dalam
liang.
Fitoplankton
yang
berlimpah
mengakibatkan pemanfaatan bahan organik menjadi tinggi. Konsentrasi bahan organik yang sama namun dengan kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi, mengakibatkan
persaingan
dalam
pemanfaatan
bahan
organik
antara
fitoplankton dan mikroogranisme (khusunya bakteri) menjadi lebih tinggi. Box model kemudian memerlukan tambahan (input) bahan organik lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan fitoplankton dan mikroorganisme akan bahan organik, sehingga pada penambahan fitoplankton terjadi influx yang makin tinggi dan efflux yang menurun. Demikian pula sebaliknya. Faktor lain yang cukup mempengaruhi besar kecil fluks bahan organik yang terjadi adalah konsentrasi masing-masing bahan organik. Peningkatan bahan organik yang terjadi mengakibatkan efflux yang makin besar, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan gradien konsentrasi antara sedimen dan kolom air. Bila bahan organik dalam sedimen bertambah, maka sedimen menjadi lebih jenuh sehingga kemungkinan terjadinya aliran bahan organik dari sedimen menuju kolom air makin tinggi. Demikian pula sebaliknya bila bahan organik dalam sedimen berkurang. Perubahan fluks tersebut dijelaskan oleh Wang et al. (2004) dimana besar fluks juga dapat dipengaruhi oleh gradient konsentrasi bahan organik pada sedimen. Berbeda dengan perubahan ketiga faktor sebelumnya, perubahan DO tidak terlalu mempengaruhi perubahan fluks. Hal ini karena sebagian besar bakteri nitrifikasi memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk beradaptasi pada kondisi oksigen, bahkan pada oksigen yang rendah dan terbatas, sehingga perubahan oksigen tidak terlalu mempengaruhi proses yang terjadi (Sliekers et al., 2005).
64