4 Hasil dan Pembahasan 4.1
Sintesis Polistiren
Polistiren disintesis melalui polimerisasi dari monomer (stiren). Polimerisasi ini merupakan polimerisasi radikal, dengan pusat aktif berupa radikal bebas. Dalam penelitian ini benzoil peroksida digunakan sebagai inisiator yang saat dipanaskan mudah terurai menjadi sumber radikal. Radikal kemudian bereaksi dengan monomer sebagai awal pertumbuhan rantai. Selanjutnya proses propagasi terjadi secara kontinu dari monomer yang mengakibatkan kenaikan panjang rantai.
Gambar 4. 1 Reaksi sintesis polistiren Data volume stiren dan massa polistiren yang dihasilkan dicantumkan dalam Tabel 4. 1. Setelah pemurnian, polistiren yang dihasilkan berbentuk serabut putih seperti pada Gambar 4. 2 Polistiren a), namun sebagian berbentuk seperti stereofoam dan keras seperti pada Gambar 4. 2 Polistiren b). Pemurnian dengan menggunakan metanol dan kloroform didasarkan pada sifat stiren yang larut baik dalam kloroform dan metanol, sedangkan sifat polistiren larut dalam kloroform akan tetapi tidak larut dalam metanol. Jadi dengan pemurnian tersebut dapat dipisahkan polistiren yang telah terbentuk dengan stiren yang tidak terpolimerisasi. Pemurnian polistiren murni optimal terjadi pada perbandingan volume kloroform dan metanol sebesar 1:10.
Polistiren a)
Polistiren b)
Gambar 4. 2 Polistiren hasil sintesis Tabel 4. 1 Sintesis polistiren Vol stiren (mL)
Massa Stiren
Massa PS hasil sintesis (g)
Rendemen
15
13,63
12,84
90,97
30
27,27
21,71
79,61
(g)
(%)
Polistiren mudah untuk disintesis dan memiliki gugus aromatik yang memiliki kestabilan tinggi, namun polistiren tidak memiliki gugus yang dapat menghantarkan proton. Dalam penelitian ini dilakukan penambahan gugus sulfonat (sulfonasi) pada polistiren untuk meningkatkan kemampuan penghantar proton. Gugus sulfonat dapat berinteraksi dengan molekul air dan dapat mempengaruhi transport proton melalui membran. Reaksi sintesis asetil sulfat dapat dilihat pada Gambar 4. 3 (A) dan reaksi sulfonasi polistiren dapat dilihat pada Gambar 4. 3 (B) [Martins et al., 2003]. Pemilihan asetil sulfat sebagai agen sulfonasi berdasarkan metode Makowski et al. Kriteria pemilihan agen sulfonasi berdasarkan kompatibilitas dengan polimer, sifat pembentukan film, dan kekuatan mekanik polimer tersulfonasi yang diinginkan [Smitha et al., 2003]. Pembuatan larutan asetil sulfat sebagai agen sulfonasi dilakukan dalam kondisi atmosfir inert
dan suhu 0oC. Kondisi
atmosfir inert bertujuan untuk mengusir oksigen dalam sistem, agar tidak terjadi reaksi lain pada polimer (misalnya reaksi autooksidasi), dan kondisi suhu 0oC untuk mencegah bumping dan penguapan pelarut. Saat pembuatan asetil sulfat serta sulfonasi polistiren, ditambahkan diklorometana yang berfungsi sebagai pelarut dari agen sulfonasi dan polimer, sehingga kondisi reaksi sulfonasi lebih homogen.
30
Gambar 4. 3 Reaksi sintesis asetil sulfat (A) dan sulfonasi polistiren (B) Reaksi sulfonasi dilakukan selama 20 menit dengan harapan menghasilkan derajat sulfonasi 10 % - 15 %. Pada penelitian sebelumnya [Martins et al., 2003], polistiren yang memiliki derajat sulfonasi lebih dari 30% bersifat larut dalam air. Kelarutan polistiren tersulfonasi dalam air tidak diinginkan karena akan menurunkan kemampuan polimer dalam aplikasinya sebagai elektrolit PEMFC. Dalam aplikasinya sebagai elektrolit PEMFC, polimer harus memiliki kestabilan dan kemampuan swelling dalam air. Pada penelitian ini derajat sulfonasi polistiren bernilai 25%. Perhitungan penentuan derajat sulfonasi dapat dilihat pada Lampiran. Pada penelitian ini, sejumlah 2,8 g polistiren dapat menghasilkan polistiren tersulfonasi sebanyak 3,29 g. Dengan adanya proses sulfonasi massa polistiren meningkat karena adanya gugus sulfonat yang ditambahkan. Sebelum proses pemurnian, polistiren tersulfonasi yang dihasilkan berupa padatan putih kecoklatan yang kemudian berubah menjadi padatan putih setelah dilakukan pemurnian (Gambar 4. 4).
Gambar 4. 4 Polistiren tersulfonasi Dari perhitungan massa molekul rata-rata viskositas (Mv) polistiren yang tercantum dalam Lampiran, diketahui nilai Mv polistiren 70.743 g/mol, dan Mv polistiren tersulfonasi 40.950 g/mol. Seharusnya dengan penambahan gugus sulfonat pada polistiren tersulfonasi, nilai massa molekul polistiren tersulfonasi meningkat. Pada hasil penelitian ini Mv polistiren tersulfonasi lebih rendah dibanding Mv polistiren karena kemungkinan terjadinya pemutusan rantai pada proses sulfonasi. Proses sulfonasi dilakukan pada suhu 40oC selama 20 menit, sehingga memungkinkan terjadi pemutusan sebagian rantai utama menjadi rantai yang lebih pendek sehingga menurunkan nilai massa molekul viskositas rata-rata.
31
Struktur kimia polistiren dan polistiren tersulfonasi dapat dilihat dari Gambar 4. 5. Perbedaan struktur polistiren dan polistiren tersulfonasi terdapat pada gugus sulfonat yang dimiliki polistiren tersulfonasi. Perbedaan dan persamaan gugus fungsi yang dimiliki polistiren dan polistiren tersulfonasi dapat ditentukan dengan analisis gugus fungsi melalui alat Fourier Transform Infra Red (FTIR). CH
2
CH n
SO3H
(A)
(B)
Gambar 4. 5 Struktur polistiren (A) dan polistiren tersulfonasi (B) Kurva spektrum IR dari polistiren dan polistiren tersulfonasi tercantum dalam Gambar 4. 6 dan Gambar 4. 7. Pada polistiren, puncak serapan pada bilangan gelombang 3026,31 cm-1 merupakan hasil vibrasi gugus =C-H dari cincin aromatik. Pada bilangan gelombang 2922,16 cm-1 menunjukkan adanya C-H alifatik. Kemudian puncak serapan pada bilangan gelombang 1490,97 cm-1 dan 1448,54 cm-1 menunjukkan adanya C=C pada cincin aromatik, serta pada bilangan gelombang 754,17 cm-1 dan 698,23 cm-1 yang menunjukkan adanya mono-subtitusi benzen. Terdapat tiga puncak serapan khas polistiren tersulfonasi yaitu pada bilangan gelombang
1180,44 cm-1-1161,15 cm-1 yang dihasilkan dari vibrasi streching simetrik O=S=O, vibrasi O-H pada bilangan gelombang 3446,79 cm-1, serta pada bilangan gelmbang 904,61 cm-1 yang menunjukkan para-subtitusi benzena. Ketiga puncak serapan tersebut menunjukkan telah terjadi sulfonasi pada polistiren dan tidak terdeteksi pada spektrum IR polistiren. Data puncak serapan yang menandakan adanya gugus fungsi tertentu dari polistiren dan polistiren tersulfonasi dirangkum dalam Tabel 4. 2.
32
100 %T
698.23
70
754.17
3026.31 2922.16
80
1490.97 1448.54
90
60
50
40
30
20
10
0 4500 4000 Polistiren
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 6 Kurva IR polistiren (KBr)
100 %T
904.61
1064.71 1026.13
1180.44 1161.15
538.14
1600.92
754.17
80
1490.97 1448.54
3446.79
85
2922.16
3024.38
90
2850.79
3078.39
1371.39 1319.31
95
698.23
75
70
65 4500 PSS4
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 7 Kurva IR polistiren tersulfonasi (KBr)
33
Tabel 4. 2 Data serapan IR polistiren (PS) dan polistiren tersulfonasi(PSS) Bil. gelombang PS
Bil. gelombang PSS
-1
(cm )
Gugus fungsi
-1
(cm ) 3446,79
O-H
3026,31
3024,38
=C-H aromatik
2922,16
2922,16
C-H alifatik
1490,97-1448,54
1600,92-1448,54
C=C dari cincin aromatik
1180,44-1161,15 904,61
vibrasi streching simetrik O=S=O Subtitusi para pada benzena
754,17 - 698,23
Mono-subtitusi benzena
-
754,17 - 698,23
4.2
Sintesis Kitosan
Kitin dapat menghasilkan kitosan sebagai produk dari proses deasetilasi. Kitosan memiliki sifat biokompatibilitas, nontoksik, biodegrabilitas, stabilitas kimia dan termal yang baik sehingga dalam beberapa tahun terakhir kitosan merupakan material menarik dalam banyak aplikasi. Kitosan memiliki banyak gugus reaktif seperti hidroksil dan amina, yang dapat dimodifikasi dengan variasi reaksi kimia. Adanya gugus hidroksil dan amina membuat hidrofilisitas kitosan bertambah, dan hal itu berguna untuk aplikasi sebagai PEMFC. Gugus amina kitosan dapat terhidrasi dan dapat menghantarkan proton. Dalam penelitian ini kitin diisolasi dari kulit udang. Sebelum proses deproteinasi, kulit udang dihancurkan dengan blender sampai berbentuk serpihan untuk menghindari lolosnya kitin saat disaring. Skema isolasi kitin dan sintesis kitosan dapat dilihat pada Gambar 4. 8. Kulit udang mengandung protein, kalsium karbonat, dan kitin, tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya [Focher et al., 1992]. Pada proses deproteinasi terjadi reaksi pelarutan protein dengan larutan NaOH 3,5% b/v yang ditambahkan. Setelah proses deproteinasi masih tersisa kandungan kalsium karbonat, dan kitin pada kulit udang. Selanjutnya dengan penambahan HCl 1 M terjadi reaksi pelarutan kalsium karbonat (demineralisasi) serta bahan anorganik lain. Proses deproteinasi dan demineralisasi menghasilkan kitin yang berwarna kekuningan. Dengan penambahan NaOH 50% (b/v) pada kitin terjadi reaksi hidrolisis sehingga dihasilkan kitosan.
34
Kitosan
Kitin+CaCO3+protein (kulit udang) 3,5 % NaOH HCl
Kitin
Kitin + CaCO3 -protein
50% NaOH
-CaCO3
Gambar 4. 8 Skema isolasi kitin dan sintesis kitosan Massa awal kulit udang, massa akhir kitosan yang dihasilkan, dan rendemen tercantum pada Tabel 4. 3. Untuk mengetahui pembentukan kitosan secara kualitatif, dapat dilakukan dengan melarutkan kitosan dalam asam asetat. Dari percobaan yang dilakukan produk hasil deasetilasi larut dalam asam asetat 1% yang menandakan telah terjadi konversi kitin menghasilkan kitosan. Kitosan yang terbentuk berwarna putih kekuningan dan berbentuk serpihan seperti Gambar 4. 9. Dari hasil perhitungan yang tercantum pada Lampiran, diketahui massa molekul rata-rata viskositas (Mv) kitosan sebesar 1,9.106 g/mol dan derajat deasetilasi sebesar 77%. Tabel 4. 3 Data sintesis kitosan Proses Deproteinasi Demineralisasi Deasetilasi
Massa awal (g) 50,04
Massa akhir (g) 40,32 14,75 13,22
Rendemen (%w/w) 80,58 29,47 26,42
Gambar 4. 9 Kitosan hasil sintesis Struktur kimia kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 4. 10. Perbedaan struktur kitin dan kitosan terdapat pada gugus amina yang dimiliki kitosan. Perbedaan dan persamaan gugus fungsi yang dimiliki kitin dan kitosan dapat ditentukan dengan analisis gugus fungsi melalui alat Fourier Transform Infra Red (FTIR).
35
(A)
(B)
Gambar 4. 10 Struktur kitin (A) dan kitosan (B)
Spektrum infra merah dari kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 4. 11 dan Gambar 4. 12. Sekilas spektrum IR dari kitin dan kitosan terlihat mirip. Kitin dan kitosan memiliki puncak serapan gugus O-H pada bilangan gelombang sekitar 3450 cm-1, gugus CO-NH pada bilangan gelombang sekitar 1650 cm-1 , serta pada bilangan gelombang sekitar 1100 cm-1 yang merupakan puncak serapan gugus C-O-C dan merupakan puncak khas dari struktur sakarida. Data puncak serapan yang menandakan adanya gugus fungsi tertentu dari kitin dan kitosan dirangkum dalam Tabel 4. 4. Tabel 4. 4 Analisa IR kitin dan kitosan Gugus fungsi O-H CO-NH C-O-C
Bilangan gelombang kitin (cm-1) 3445 1637,56 1028,06-1157,29
Bilangan gelombang kitosan (cm-1) 3448,72 1662,64-1635,64 1151,50-1028,06
Pada spektrum IR, perbedaan antara kitin dan kitosan terletak pada intensitas serapan gugus asetamida (CO-NH). Intensitas serapan gugus asetamida pada kitosan lebih rendah dibandingkan serapan gugus asetamida dari kitin karena pada kitosan telah terjadi proses deasetilasi. Rendahnya intensitas serapan gugus CO-NH pada kitosan ditandai dengan nilai persen transmitans yang lebih tinggi dari kitin. Puncak serapan gugus O-H dan gugus CO-NH juga berperan dalam menentukan derajat deasetilasi kitosan. Gugus O-H berfungsi sebagai standar internal sedangkan gugus CO-NH berfungsi sebagai gugus pembanding antara kitin dan kitosan. Dari perhitungan derajat deasetilasi yang dicantumkan pada Lampiran, derajat deasetilasi kitosan dalam penelitian ini sebesar 77%. Dari hasil uji kualitatif, analisis gugus fungsi dengan FTIR, dan penentuan derajat deasetilasi diketahui bahwa pada penelitian ini telah terjadi proses deasetilasi kitin menjadi kitosan.
36
45 %T
40
1309.67 1261.45 1236.37 1205.51 1157.29 1114.86 1076.28 1028.06 974.05 954.76
37.5 35 32.5
748.38 688.59 605.65 576.72 561.29 547.78 528.50
918.12 896.90
42.5
1637.56
30 27.5
2924.09
25 22.5
9
20
4500 Khitin
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 11 Kurva IR kitin (KBr)
651.94 599.86
665.44
894.97 1151.50
1028.06
1251.80
40
1091.71
1635.64
1662.64
45
1421.54 1379.10 1344.38 1323.17
50
775.38
55 %T
35
3448.72
30
25
20 4500 4000 Khitosan
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 12 Kurva IR kitosan (KBr)
4.3
Pembuatan Polyblend
Tujuan pembuatan polyblend adalah untuk mendapatkan sifat material yang lebih baik dibandingkan sifat polimer penyusunnya. Pada penelitian ini dibuat polyblend yang terdiri dari polistiren, polistiren tersulfonasi, dan kitosan sebagai polimer penyusun. Pada Tabel 4. 5 merupakan data komposisi massa polimer penyusun membran polyblend. Kandungan polistiren dalam polyblend dibuat tetap 80% dan kandungan polistiren tersulfonasi serta kitosan dibuat bervariasi antara 0-20%. Dengan gugus amina pada kitosan dan gugus sulfonat pada polistiren tersulfonasi diharapkan membran polyblend dapat memiliki karakteristik sebagai penghantar proton dalam aplikasi fuel cell. Komposisi polistiren yang
37
paling banyak dibanding polimer lainnya karena sifat polistiren yang kuat, mudah dilelehkan, serta mudah untuk dibuat membran dengan metode mekanik. Polistiren tersulfonasi dan kitosan sulit untuk dibuat membran dengan metode mekanik karena sifat polistiren tersulfonasi akan membentuk gelembung pada membran dan kitosan yang tidak dapat meleleh. Jadi polistiren berfungsi sebagai dasar atau pondasi dari pembuatan membran polyblend. Tabel 4. 5 Data komposisi polimer penyusun polyblend Komposisi PS-PSS-Kit 80-20-0 80-15-5 80-10-10 80-5-15 80-20-0
Massa PS(g) 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80
Massa PSS(g) 0,20 0,15 0,10 0,05 -
Massa kitosan (g) 0,05 0,10 0,15 0,20
Selanjutnya penamaan polyblend ditentukan berdasarkan komposisi kandungan PS, PSS, dan Kitosan dalam polyblend seperti tertera pada Gambar 4. 13. Hasil analisis membran polyblend akan dibandingkan dengan membran polistiren 100% yang juga dibuat dengan metode mekanik. Pembandingan dengan membran polistiren murni dilakukan karena tidak ada polimer penyusun lain yang dapat menghasilkan membran yang baik dengan cara mekanik.
80-20-0
80-15-5
80-10-10
80-5-15
80-0-20
Gambar 4. 13 Membran polyblend dengan komposisi PS-PSS -Kitosan Pembuatan polyblend dengan metode mekanik atau pelelehan dilakukan karena belum diperoleh pelarut sesuai yang dapat melarutkan polistiren tersulfonasi dan kitosan. Polistiren tersulfonasi dan kitosan memiliki sifat kepolaran yang berbeda. Kitosan bersifat polar dengan adanya gugus hidroksil dan amina yang dimilikinya sedangkan polistiren tersulfonasi memiliki sifat cenderung non polar karena besar derajat sulfonasi polistiren hanya 25%. Beberapa cara yang telah dilakukan sebelumnya untuk menghasilkan membran polyblend dapat dilihat pada Lampiran.
38
4.3.1
Analisa gugus fungsi polyblend
Kurva IR polyblend dengan komposisi 80-10-10, tertera pada Gambar 4. 14. Terdapat empat puncak paling tajam pada spektrum IR polyblend. Pada bilangan gelombang 3466,08 cm-1 merupakan puncak serapan vibrasi O-H yang berasal dari PSS atau kitosan. Puncak serapan gugus =C-H aromatik dan C-H alifatik masing-masing berada pada bilangan gelombang 3026,31 cm-1 dan 2922,16 cm -1. Puncak pada bilangan gelombang 1600,92 cm-1 merupakan puncak serapan khas C=C dari cincin aromatik yang berasal dari PS dan PSS. Bilangan gelombang 1024,20 cm-1 dan 1068,56 cm-1 merupakan puncak serapan vibrasi -SO3H dari PSS, dan bilangan gelombang 694,37 cm-1 menandakan adanya monosubtitusi benzen pada polistiren. 100 %T 97.5
536.21 694.37
3466.08
87.5
752.24
1024.20
906.54
1068.56
1373.32 1600.92
90
1490.97 1448.54
3026.31 2922.16 2850.79
92.5
1944.25
95
85
82.5
80 4500 4000 80-10-10
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 14 Kurva IR polyblend komposisi 80-10-10 Dari analisis gugus fungsi dengan menggunakan FTIR diketahui bahwa membran polyblend mengandung polimer-polimer penyusunnya. Dalam polyblend, komposisi polistiren adalah yang terbanyak. Kontribusi polistiren dapat dilihat dari tingginya intensitas serapan gugusgugus fungsi pada polistiren dibandingkan polimer penyusun yang lain. Data puncak serapan yang menandakan adanya gugus fungsi polimer penyusun polyblend dirangkum dalam Tabel 4. 6.
39
Tabel 4. 6 Hasil kurva IR polyblend 80-10-10 Bilangan gelombang (cm-1) 3466,08 3026,31 2922,16 1448,54-1600,92 1068,56-1024,20 694,37
4.4
Gugus fungsi
Polimer penyusun
O-H =C-H aromatik C-H alifatik C=C dari cincin aromatik SO3H monosubtitusi benzen
Kitosan dan PSS PS dan PSS PS, PSS, dan kitosan PS dan PSS PSS PS
Analisis swelling
Pada penelitian ini uji swelling (penggembungan) dilakukan untuk mengetahui kemampuan swelling dari membran karena pada aplikasi PEMFC, membran berada dalam keadaan terhidrasi untuk dapat bekerja sebagai penghantar proton. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali, sehingga menghasilkan tiga nilai derajat swelling (Dsw 1, 2, dan 3). Dari ketiga pengujian dilakukan metode pembasuhan membran yang berbeda (sebelum penimbangan membran basah) agar dapat mengetahui keteraturan hasil uji membran. Pada DSw1 (derajat swelling 1) pembasuhan dilakukan dengan menyeka permukaan membran dengan kertas saring dan kemudian membran langsung ditimbang. Pada DSw2 (derajat swelling 2) kedua sisi membran diapit dengan kertas saring dan kemudian membran langsung ditimbang. Pada DSw3 (derajat swelling 3) membran diletakkan dalam kertas saring dan ditunggu sebentar, kemudian membran ditimbang. Dengan ketiga metode tersebut jelas terlihat pada
Tabel 4. 7 bahwa nilai DSw
1>DSw2>DSw3. Dari hasil yang tertera pada Tabel 4. 7 terlihat bahwa nilai derajat swelling polyblend lebih tinggi dibanding membran PS. Hal ini disebabkan karena membran polyblend memiliki polimer penyusun yang bersifat hidrofil sedangkan polistiren tidak memiliki gugus hidrofil. Polistiren tersulfonasi dan kitosan memiliki gugus hidrofil yang masing-masing memberi peran dalam kemampuan swelling membran. Secara umum nilai derajat swelling polyblend dalam semua komposisi memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Akan tetapi, dari ketiga metode yang dilakukan dihasilkan nilai optimum swelling pada membran dengan komposisi 80-15-5. Secara umum, dari analisis derajat swelling polyblend pada semua komposisi, poliblend memiliki kemampuan swelling yang cukup baik. Berdasar literatur [Chen, 2004] Nafion® 115 memiliki nilai derajat swelling 13,3%.
40
Tabel 4. 7 Data hasil derajat swelling Membran PS 80-20-0 80-15-5 80-10-10 80-5-15 80-0-20
4.5
DSw1 (%) 2,18 26,51 33,93 32,17 26,22 23,98
DSw2 (%) 2,61 6,46 17,25 8,92 9,16 9,09
DSw3 (%) 0,43 0,42 11,26 5,95 6,78 10,18
Analisis Mekanik
Dari uji mekanik polyblend didapatkan nilai tegangan dan regangan saat membran terputus karena nilai gaya dan pemanjangan yang tertera pada alat merupakan nilai saat membran terputus. Dari perhitungan yang dilampirkan pada Lampiran, diketahui hasil uji mekanik seperti tertera pada Tabel 4. 8. Membran polyblend memiliki nilai tegangan dan regangan saat putus lebih rendah dibanding kekuatan mekanik membran PS. Hal ini karena membran polistiren bersifat homogen, sedangkan membran polyblend yang dihasilkan dalam penelitian ini kurang bersifat homogen. Nilai kekuatan mekanik membran polyblend tertinggi pada komposisi 80-20-0. Membran komposisi 80-20-0 yang terdiri dari 80% polistiren dan 20% polistiren tersulfonasi memiliki sifat yang lebih homogen dibandingkan membran polyblend dengan penambahan kitosan. Umumnya penambahan kitosan menurunkan sifat ketahanan mekanik membran, karena sifat kitosan yang tidak dapat meleleh menyebabkan terjadi peningkatan ketidakhomogenan membran, sehingga membran dengan komposisi kitosan lebih tinggi bersifat lebih rapuh dibanding tanpa kitosan. Tabel 4. 8 Hasil uji mekanik polyblend Membran PS 80-20-0 80-15-5 80-10-10 80-5-15 80-0-20
Tegangan saat putus (kgf/mm2) 2,06 1,18 0,91 0,98 0,78 0,69
Pemanjangan saat putus (%) 2,02 1,03 1,03 0,66 0,93 1,02
Modulus Young saat putus 1,02 1,14 0,88 1,49 0,83 0,68
41
4.6
Thermal Gravimetry Analysis (TGA)
Penentuan TGA dilakukan untuk mengetahui ketahanan termal dari membran polyblend. Walaupun dalam aplikasinya, PEMFC beroperasi pada suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu 60oC-80oC, namun untuk pemakaian jangka panjang membran harus memiliki ketahanan termal yang baik untuk dapat diaplikasikan dalam PEMFC. Parameter yang dapat dilihat untuk menentukan ketahanan membran suatu sampel yaitu dengan melihat suhu awal kehilangan massa dan suhu dekomposisi akhir. Pengurangan massa awal sampel dapat disebabkan karena penguapan air, pelarut, atau mulai terdekomposisinya molekul-molekul kecil dalam sampel. Dari hasil analisa pada Gambar 4. 15 sampai dengan Gambar 4. 18, terlihat bahwa polistiren mulai kehilangan massa pada suhu 268,7oC, sedangkan pada penambahan polistiren tersulfonasi (komposisi polyblend 80-20-0) ketahanan termal meningkat, ditandai dengan suhu awal kehilangan massa pada 348,6oC. Namun dengan pengurangan komposisi PSS dan penambahan komposisi kitosan (komposisi polyblend 80-10-10 dan 80-0-20) ketahanan termal menurun, ditandai dengan suhu awal kehilangan massa yang berturut-turut 340,2oC dan 226,7OC. Dari data hasil analisa TGA kitosan murni diketahui telah terjadi kehilangan massa kitosan pada suhu 195,2OC. Dari data tersbut terlihat bahwa ketahanan termal polyblend lebih baik dibanding PS dan pada polyblend dengan komposisi kitosan semakin besar akan menurunkan ketahanan temal polyblend. Data hasil analisis TGA dirangkum dalam Tabel 4. 9. Tabel 4. 9 Hasil analisa TGA Membran PS 80-20-0 80-10-10 80-0-20
Suhu awal kehilangan massa (oC) 268,7 348,6 340,2 226,7
Massa awal yang hilang (%) 3,2 0,7 1,5 2,8
Suhu dekomposisi akhir (oC) 427,6 449,5 442,8 428,3
42
Gambar 4. 15 Kurva TGA polistiren
Gambar 4. 16 Kurva TGA polyblend 80-20-0
43
Gambar 4. 17 Kurva TGA polyblend 80-10-10
Gambar 4. 18 Kurva TGA polyblend 80-0-20
44
4.7
Ion Exchange Capacity (IEC) dan konduktivitas
Ion Exchange Capacity (IEC) menyatakan jumlah mili ekivalen H+ yang terdapat dalam 1 gram membran. Nilai konduktitivas menyatakan kemampuan membran menghantarkan proton. Semakin besar nilai IEC dan konduktivitas, kemampuan membran untuk menghantar proton juga semakin besar. Membran polistiren tersulfonasi dan kitosan memiliki nilai konduktivitas masing-masing sebesar 0,07 µS/cm dan 52,2 µS/cm. Dari hasil penelitian yang tertera pada Tabel 4. 10, nilai konduktivitas membran polyblend dengan komposisi kitosan lebih banyak lebih berperan dalam meningkatkan konduktivitas dibandingkan membran dengan komposisi PSS lebih banyak. Dari kedua data tersebut, kitosan memberikan pengaruh konduktivitas lebih tinggi dibanding polistiren tersulfonasi karena nilai konduktivitas kitosan jauh lebih tinggi dibanding polistiren tersulfonasi. Hal ini dapat disebabkan karena kitosan memiliki derajat deasetilasi sebesar 77% sementara derajat sulfonasi PS hanya 25%. Jumlah gugus fungsi penukar proton pada kitosan (-NH2) lebih banyak dibanding jumlah gugus fungsi penukar proton pada PSS (-SO3H). Secara teoritis semakin besar nilai konduktivitas suatu membran, nilai IEC dari membran tersebut juga semakin besar. Dalam penelitian yang dilakukan melalui titrasi, nilai IEC optimum sebesar 3,74 m ekiv/g diperoleh pada membran dengan komposisi 80-10-10 sedangkan nilai optimum konduktivitas sebesar 39,29 µS/cm pada komposisi membran 80% PS-20% kitosan. Hal ini dapat terjadi karena membran polyblend yang dihasilkan kurang homogen sehingga terdapat kemungkinan nilai analisis di suatu titik dan titik lain pada membran memiliki nilai yang berbeda. Berdasar literatur [Chen, 2004] nilai konduktivitas dan IEC Nafion® 115 berturut-turut sebesar 0,142 S/cm dan 0,91 m ekiv/g. Membran polyblend yang dihasilkan pada penelitian ini umumnya memiliki nilai IEC lebih dari 0,91 m ekiv/g, namun nilai konduktivitas poliblend jauh lebih kecil dibandingkan Nafion® 115. Perbedaan nilai konduktivitas ini kemungkinan dapat disebabkan karena perbedaan alat yang digunakan dan kurangnya waktu hidrasi sebelum penentuan konduktivitas polyblend pada penelitian ini. Namun dengan menggunakan metode dan alat ukur konduktivitas yang sama telah diperoleh nilai konduktivitas Nafion® sebesar 77 µS/cm. Jika dibandingkan dengan nilai konduktivitas Nafion dengan metode dan alat pengukuran yang sama, polyblend memiliki nilai konduktivitas yang mendekati nilai Nafion.
45
Tabel 4. 10 Hasil IEC dan konduktivitas Membran 80-20-0 80-15-5 80-10-10 80-5-15 80-0-20
IEC (m ekiv/g) 1,14 0,20 3,75 2,55 0,55
Konduktivitas (µS/cm) 5,32 7,69 8,22 3,00 39,29
46