4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks inhibitor dengan enzim katepsin dari ikan patin. Pada penelitian ini ekstraksi inhibitor katepsin berasal dari daging ikan patin dalam kondisi pre rigor atau sangat segar. Pada kondisi pre rigor atau tepatnya setelah ikan baru memasuki fase post mortem diduga inhibitor katepsin belum mengalami kerusakan dibandingkan ketika ikan sudah memasuki fase rigor mortis dan post rigor. Proses ekstraksi inhibitor katepsin dilakukan menurut metode An et al. (1995), inhibitor didapatkan dengan cara mengekstrak inhibitor katepsin secara langsung dari daging ikan patin. Untuk 400 gram daging ikan patin didapatkan larutan inhibitor sebanyak ± 800 ml. Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai suhu ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai suhu ekstraksi Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa aktivitas inhibitor katepsin tertinggi didapatkan pada suhu ekstraksi 80 ºC dengan nilai inhibisi sebesar 92,88 %. Suhu 80 ºC diduga merupakan suhu optimum untuk pemisahan antara
25
kompleks inhibitor dengan enzim katepsin. Penggunaan suhu ekstraksi yang sama juga dilakukan oleh Ustadi et al. (2005) pada pemurnian telur ikan glassfish. Pada suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC dihasilkan nilai inhibisi yang lebih rendah dari suhu ekstraksi 80 ºC karena kompleks inhibitor dan enzim belum terlepas secara maksimal. Nilai aktivitas inhibisi pada perlakuan suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC berturut-turut, yaitu sebesar 68,46 % dan 85,78 %. Pada suhu ekstraksi ini juga diduga masih terdapat inhibitor lain selain dari golongan inhibitor sistein protease. Menurut Olonen (2004), enzim proteolitik dapat dibagi menjadi empat kelas berdasarkan daya katalitiknya, yaitu serin, sistein, aspartat, dan logam. Penggolongan enzim ini berdasarkan komponen pada sisi aktifnya. Katepsin lisosomal umumnya termasuk dalam kelompok besar protease sistein. Aktivitas protease sistein dapat dihambat dengan inhibitor dari golongan inhibitor protease sistein. Pengolongan enzim sangat penting untuk mengetahui inhibitor yang spesifik. Selain itu pada suhu ekstraksi 60 dan 70 ºC diduga masih terdapat aktivitas katepsin pada larutan inhibitor. Menurut Jiang (2000), jenis katepsin B, H, dan L mampu aktif pada suhu 50-70 ºC (modori) yang dapat mengakibatkan kerusakan pada pembentukan gel surimi. Adanya aktivitas katepsin pada larutan inhibitor dapat mengakibatkan katepsin di dalamnya ikut bereaksi dengan substrat pada saat pengujian aktivitas. Inhibitor katepsin tetap menunjukkan aktivitas inhibisi yang tinggi pada suhu ekstraksi 90 ºC, yaitu sebesar 81,73 %. Aktivitas inhibisi pada suhu ekstraksi ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan suhu ekstraksi 80 ºC yang mencapai 92,88 %. Beberapa jenis inhibitor memiliki stabilitas yang tinggi terhadap suhu yang tinggi. Menurut Rondanelli (2002), asam-asam amino yang bersifat hidrofobik, interaksi elektrostatik, dan jembatan sulfida yang terdapat pada struktur inhibitor protease menentukan stabilitas inhibitor tersebut terhadap perubahan kondisi lingkungan. Umumnya sistein protease inhibitor (sistatin) dapat stabil pada suhu tinggi (lebih dari 100 ºC) dan pH ekstrim (pH 2-12) (Otto & Schirmeister 1997). Inhibitor yang digunakan pada penelitian ini merupakan ekstrak kasar yang masih mengandung berbagai jenis inhibitor dan masing-masing inhibitor memiliki stabilitas yang berbeda-beda. Berbagai macam
26
jenis inhibitor ini diduga dapat bereaksi dan menghambat kerja katepsin pada saat pengujian. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas inhibisi inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3a). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan suhu ekstraksi 60 ºC memberi pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan suhu ekstraksi 70 ºC, 80 ºC, dan 90 ºC. 4.2 Penentuan Konsentrasi Inhibitor Katepsin yang Efektif untuk Aplikasi Penentuan konsentrasi inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran dilakukan dengan cara mencampurkan larutan inhibitor katepsin (suhu ekstraksi 80 ºC) dengan larutan Mcllvaine buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat pH 5,5) pada beberapa perbandingan. Perbandingan larutan inhibitor dengan buffer yang digunakan pada penelitian ini, yaitu 1:0, 1:1, 1:2, dan 1:3. Masing-masing pengenceran diuji aktivitas penghambatannya terhadap enzim katepsin. Adapun aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin yang diperoleh untuk masing-masing pengenceran disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Hasil pengujian aktivitas inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran Berdasarkan hasil pengujian pada Gambar 4 diperoleh nilai inhibisi dari inhibitor dengan pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) sebesar 90,20 %, inhibitor
27
dengan pengenceran 1:1 sebesar 85,29 %, inhibitor dengan pengenceran 1:2 sebesar 70,59 %, dan inhibitor dengan aktivitas terendah didapatkan dari aktivitas inhibitor pengenceran 1:3 sebesar 55,88 %. Menurut hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pengenceran mengakibatkan menurunnya aktivitas inhibisi dari inhibitor yang dihasilkan. Penurunan aktivitas inhibisi ini berkaitan dengan konsentrasi inhibitor yang terkandung di dalam larutan inhibitor. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas inhibisi inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3b). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan pengenceran 1:1 memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pengenceran 1:0 tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk perlakuan yang lain. Oleh karena itu inhibitor katepsin dengan pengenceran 1:1 dipilih sebagai konsentrasi inhibitor yang paling efektif. Sebagai perbandingan pepstatin 1 µM hasil pengujian didapatkan nilai inhibisi sebesar 86,95 %. Pepstatin merupakan salah satu jenis inhibitor yang mampu menghambat aktivitas katepsin (Carreno & Cortes 2000). Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin (Lampiran 4). Konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Konsentrasi protein inhibitor katepsin dari ikan patin pada berbagai pengenceran
28
Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa konsentrasi protein inhibitor katepsin semakin menurun dengan meningkatnya pengenceran. Penambahan larutan buffer sebagai media pengencer mengakibatkan konsentrasi protein yang terkandung pada inhibitor berkurang. Konsentrasi protein inhibitor dengan pengenceran 1:0 (tanpa pengenceran) sebesar 1,23 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:1 sebesar 0,76 mg/ml, inhibitor dengan pengenceran 1:2 sebesar 0,28 mg/ml, dan inhibitor dengan pengenceran 1:3 sebesar 0,12 mg/ml. Menurut hasil uji ragam (ANOVA) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengenceran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi protein inhibitor katepsin pada selang kepercayaan 95 % (Lampiran 3c). Inhibitor katepsin pada penelitian ini berasal dari ekstrak daging ikan patin yang mengandung protein. Menurut BPMHP (1998) diacu dalam Erdiansyah (2006), kadar protein daging ikan patin adalah sebesar 16,10 %. Inhibitor protease dapat diisolasi dari berbagai organisme seperti bakteri, hewan, dan tanaman. Diketahui bahwa inhibitor alami yang mengatur protease di dalam tubuh organisme ini adalah protein dan hanya beberapa mikroorganisme menghasilkan sedikit komponen inhibitor non-protein untuk menghalangi aktivitas protease dari inang yang diserang. Protease inhibitor terakumulasi dalam jumlah yang tinggi dalam biji tanaman, telur burung, jaringan hewan, dan berbagai cairan tubuh (Rondanelli 2002). Hasil ini juga menjelaskan bahwa inhibitor katepsin yang didapatkan diduga merupakan suatu protein. 4.3 Penentuan Fase Post Mortem Ikan Bandeng Penentuan fase post mortem ikan bandeng dilakukan untuk mengetahui dan menilai derajat kesegaran ikan bandeng serta waktu dan lama terjadinya beberapa tahapan kemunduran mutu pada ikan bandeng melalui metode penilaian sensori, yaitu secara organoleptik. Penentuan kesegaran ikan dengan cara ini menekankan pada pengamatan faktor-faktor mutu organoleptik yang dimiliki ikan seperti bau, rupa, cita rasa (flavor), dan tekstur atau konsistensi daging ikan tersebut secara visual (Lampiran 1). Sebelum dilakukan penentuan tahap post mortem, dilakukan penanganan ikan bandeng yang diperoleh dari Tambak Salembaran Jaya, Tangerang. Ikan bandeng dibawa dalam kondisi hidup dengan menggunakan kantong plastik
29
polybag yang berisi air dari tambak dimana ikan dipelihara dan diberi tambahan oksigen. Ikan bandeng kemudian langsung dimatikan dengan cara menusuk medula oblongatanya. Ikan bandeng yang baru mati langsung direndam secara bersamaan ke dalam larutan inhibitor dengan pengenceran 1:1 selama 1 jam dalam kondisi suhu chilling (<5 ºC). Kondisi suhu chilling dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan selama proses perendaman berlangsung dan suhu ini juga dapat menjaga stabilitas inhibitor. Proses yang sama juga dilakukan untuk ikan kontrol, tetapi media perendaman yang digunakan adalah Mcllvaine buffer (0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M sitrat, pH 5,5). Kedua proses ini dilakukan secara bersamaan dan ikan yang sudah melalui proses perendaman 1 jam lalu disimpan dalam media tupperware selama masa penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC). Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan bandeng selama penyimpanan suhu chilling menghasilkan empat titik untuk dilakukan analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol), kondisi pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada penyimpanan selama 0 jam (0 hari). Fase rigor mortis pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol dicapai setelah penyimpanan selama 96 jam (4 hari). Fase post rigor untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 365 jam (15 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 360 jam (15 hari). Fase busuk untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor terjadi setelah penyimpanan selama 576 jam (24 hari) dan ikan bandeng kontrol terjadi setelah penyimpanan selama 504 jam (21 hari). Fase pre rigor merupakan kondisi pada saat ikan baru mati dan tubuh ikan memiliki tekstur yang elastis (FAO 1995). Ikan badeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol sama-sama mengalami fase pre rigor selama 96 jam (4 hari). Inhibitor pada fase ini belum bekerja dengan baik karena proses yang paling berperan pada fase ini adalah pembentukan ATP dari ADP dan kreatin fosfat (CP). Pada kondisi pre rigor terjadi penurunan CP secara cepat. Konsentrasi ATP coba dipertahankan untuk beberapa saat dengan proses resintesis dari ADP dan CP. Namun ketika konsentrasi CP sama dengan ATP maka terjadi proses
30
penurunan ATP dan rigor mortis pun dimulai (Iwamoto et al. (1988) diacu dalam Wang et al. 1998). Fase rigor mortis adalah keadaan pada saat otot ikan mengalami kontraksi yang mengakibatkan tubuh ikan manjadi keras dan kaku (Lawrie 1995). Pada ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis selama 269 jam (11 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase rigor mortis selama 264 jam (11 hari). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase rigor mortis lebih lama 5 jam dibanding dengan ikan bandeng kontrol. Pada fase ini diduga kerja inhibitor belum bekerja dengan baik. Lama atau tidaknya fase rigor mortis ditentukan oleh kandungan glikogen ikan pada saat ikan itu mati (Govidan 1985). Fase post rigor terjadi setelah ikan melewati fase rigor mortis, fase ini ditandai dengan melemasnya daging ikan kembali. Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008). Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase post rigor selama 211 jam (9 hari) dan ikan bandeng kontrol mengalami fase post rigor selama 144 jam (6 hari). Perendaman dengan inhibitor katepsin dapat memperpanjang fase post rigor ikan bandeng sebanyak 72 jam atau 3 hari lebih lama dibanding ikan bandeng kontrol. Inhibitor katepsin lebih berperan dalam menghambat kemunduran mutu pada saat ikan sudah memasuki fase post rigor. Menurut hasil penelitian Rustamadji (2009) menunjukkan bahwa aktivitas tertinggi enzim katepsin pada ikan bandeng terjadi pada saat ikan memasuki fase post rigor. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa inhibitor katepsin lebih terlihat perannya selama ikan memasuki fase post rigor atau pada saat aktivitas katepsin memiliki aktivitas tertinggi sehingga perannya tidak begitu terlihat pada fase pre rigor dan rigor mortis. Enzim lisosomal (katepsin) mempunyai peran dalam setiap aktivitas proteolitik dan pelunakan daging ikan selama fase post mortem. Hal ini dikarenakan enzim ini mendegradasi protein (substrat) yang sama selama fase post mortem daging ikan. Banyak enzim lisosomal juga menunjukkan aktivitas
31
yang sama pada saat nilai pH mendekati pH pada saat fase post rigor (Rondanelli 2002). Inhibitor katepsin dari ikan patin tidak bekerja sebaik dengan inhibitor katepsin dari ikan bandeng pada saat diaplikasikan untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Menurut penelitian Zaenuri (2010) menunjukkan bahwa inhibitor katepsin dari ikan bandeng (aktivitas inhibisi 80,50 %) mampu menghambat kemunduran mutu ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling (0-4 ºC) sampai dengan 624 jam (26 hari) atau lebih lama 48 jam (2 hari) dibandingkan dengan ikan bandeng yang direndam dengan inhibitor katepsin dari ikan patin (aktivitas inhibisi 85,29 %). Hal ini diduga karena inhibitor katepsin dari ikan patin mengandung pigmen daging (mioglobin) dan hemoglobin yang lebih banyak dibandingkan inhibitor dari ikan bandeng. Larutan inhibitor katepsin dari ikan patin tampak berwarna lebih merah dibandingkan dengan inhibitor dari ikan bandeng (Lampiran 6). Warna pada daging secara nyata dipengaruhi oleh kandungan mioglobin. Mioglobin merupakan bagian dari protein sarkoplasma dan bersifat larut dalam air (Lawrie 1995). Proses pengeluaran darah yang tidak optimal juga mengakibatkan hemoglobin ikut terekstrak pada saat proses ekstraksi inhibitor. Proses kemunduran mutu ikan diantaranya disebabkan karena adanya aktivitas enzimatis, mikrobiologis, dan oksidasi. Adanya mioglobin dan hemoglobin pada larutan inhibitor ini diduga dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan melalui proses oksidasi. 4.4 Pola Kemunduran Mutu Ikan Bandeng Penentuan pola kemunduran mutu ikan bandeng bertujuan untuk mengetahui pola dan perbedaan pola kemunduran mutu antara ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan kontrol (tanpa perendaman dengan inhibitor). Pengamatan terhadap sampel ikan dilakukan berdasarkan waktu yang diperoleh dari hasil penentuan fase post mortem secara subjektif dan objektif. Secara subjektif, yaitu dengan cara organoleptik dan secara objektif, yaitu dengan dilakukan uji pH, TPC, dan TVB. Sampel untuk uji objektif diambil dari bagian daging ikan bandeng. Pengujian secara objektif pada sampel dengan perendaman inhibitor dan kontrol dilakukan pada 4 titik, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.
32
4.4.1 Nilai organoleptik Penilaian mutu secara organoleptik merupakan cara pengujian mutu yang dilakukan hanya menggunakan panca indera. Cara ini sangat sederhana dan cepat dikerjakan, tetapi tingkat ketelitiannya sangat tergantung dari kepekaan penguji (Dwiari et al. 2008). Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh untuk ikan dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Perbandingan nilai rata-rata organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa nilai organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya semakin tinggi nilai organoleptik menunjukkan semakin segar keadaan ikannya. Nilai organoleptik untuk kedua ikan adalah sama karena uji organoleptik samasama dilakukan pada setiap fase kemunduran mutu, yaitu fase pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk. Nilai organoleptik untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol pada kondisi pre rigor adalah 9. Pada kondisi ini ikan belum banyak mengalami perubahan biokimia, fisika, dan mikrobiologis. Ciri-ciri ikan yang didapatkan, yaitu mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih,
33
transparan, memiliki dinding perut yang utuh. Bau ikan sangat segar, teksturnya padat, dan elastis bila ditekan dengan jari. Pada fase rigor mortis ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 7 dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, insang berwarna merah agak kusam tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, dinding perut daging utuh, bau netral, tekstur agak padat bila ditekan dengan jari serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Fase post rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 6. Nilai organoleptik ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek. Pada fase ini ikan telah mengalami banyak kerusakan baik itu oleh aktivitas enzim dan oleh aktivitas mikrobiologis. Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, dan kornea agak keruh. Lapisan lendir mulai keruh, berwarna putih agak kusam, dan kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang serta dinding perut ikan menjadi lunak. Fase busuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai organoleptik 3. Nilai organoleptik ini sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung dan kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat dengan lendir yang tebal, berbau amoniak, asam, dan busuk. Tekstur ikan menjadi lunak dan meninggalkan bekas jari bila ditekan. 4.4.2 Nilai pH Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran mutu ikan. Nilai pH daging ikan ketika masih hidup umumnya mempunyai pH netral dan setelah mati pH dapat turun menjadi sekitar 5,3-5,5 (Eskin 1990). Hasil pengukuran nilai pH daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 7.
34
Gambar 7 Perbandingan nilai rata-rata pH ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa pH daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor serta busuk. Pada fase pre rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol masing-masing memiliki pH 6,3 dan 6,2. Nilai pH daging ikan yang rendah ini dipengaruhi oleh larutan pH buffer yang digunakan untuk perendaman, yaitu larutan buffer pH 5,5. Larutan buffer ini memiliki nilai pH yang rendah sehingga ikut menyebabkan pH ikan alami yang pada umumnya mendekati netral menjadi lebih asam dibandingkan pada keadaan normalnya. Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada Akhirnya pH akan semakin asam, yaitu pada fase rigor mortis. Nilai pH dari daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor pada fase rigor mortis sebesar 6,1 dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,0. Katabolime ATP dan glikogen mengakibatkan pH daging ikan turun. Nilai pH daging ikan bergantung dari jumlah substrat (glikogen) yang terkandung di dalam daging ikan sebelum ikan itu mati dan kapasitas buffer dari daging ikan tersebut (Jiang 2000). Nilai pH ini terus mengalami kenaikan pada fase post rigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil. Nilai pH daging ikan bandeng pada
35
fase post rigor dengan perendaman inhibitor sebesar 6,6 dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,82. Pada fase busuk nilai pH daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mencapai 7,2 dan ikan kontrol mencapai 7,4. Peningkatan nilai pH tergantung pada lama penyimpanan ikan. Selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi garam, kondisi fisiologis, kandungan protein, dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003). 4.4.3 Nilai TPC Bakteri ditemukan pada seluruh permukaan luar (kulit dan insang) dan pada saluran pencernaan ketika ikan masih hidup. Namun pada saat ikan mati secara perlahan-lahan bakteri masuk ke dalam daging ikan dan dapat mengakibatkan kerusakan yang parah pada jaringan daging (FAO 1995). Semakin busuk seekor ikan maka akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Hasil penghitungan nilai TPC daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Perbandingan nilai rata-rata TPC ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling
Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa nilai TPC daging ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Nilai TPC pada tiap fase terus meningkat mulai dari fase pre rigor sampai akhirnya memasuki fase busuk. Nilai
36
TPC pada fase pre rigor untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor adalah 3,54 log koloni/g dan untuk ikan bandeng kontrol sebesar 3,54 log koloni/g Nilai TPC pada fase ini terus meningkat ketika ikan memasuki fase rigor mortis, yaitu 4,83 log koloni/g untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol sebesar 4,82 log koloni/g. Pada fase post rigor, nilai TPC ikan bandeng dengan perendaman dengan inhibitor meningkat menjadi 6,72 log koloni/g dan ikan bandeng kontrol sebesar 6,72 log koloni/g. Fase post rigor merupakan awal terjadinya peristiwa autolisis. Aktivitas autolisis yang dilakukan oleh enzim proteolitik akan mengakibatkan protein daging ikan terurai menjadi komponen-komponen sederhana yang merupakan media ideal untuk pertumbuhan bakteri pembusuk (Govidan 1985). Nilai TPC mencapai nilai tertinggi pada saat ikan memasuki fase busuk, yaitu sebesar 7,49 log koloni/g untuk ikan bandeng dengan perendaman dengan inhibitor dan ikan bandeng kontrol sebesar 7,52 log koloni/g. Nilai TPC daging ikan bandeng fase post rigor dan busuk sudah berada di atas batas maksimum jumlah mikroba yang ditetapkan dalam SNI 01-2729-2006, yaitu dengan nilai maksimum 5x105 koloni/g atau nilai TPC sebesar 5,70 log koloni/g. Ikan bandeng pada kedua fase ini memiliki nilai TPC antara 6,71-7,52 log koloni/g. Pada ikan yang disimpan pada suhu chilling membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai jumlah bakteri yang sama dengan ikan yang disimpan pada suhu ruang pada setiap tahap kemunduran mutu. Pada kondisi ini suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis dan kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Pengaruh suhu pada pertumbuhan bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan atau perpendekan masa adaptasi yang tergantung pada tinggi rendahnya suhu. Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek. Sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang. Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi target serangan bakteri adalah seluruh permukaan tubuh, isi perut, dan insang (Dwiari et al. 2008). Pada penelitian ini digunakan suhu chilling (0-4 оC) untuk penyimpanan ikan bandeng. Bakteri mempunyai suhu pertumbuhan yang berbeda-beda. Pada
37
suhu ini, bakteri yang dapat tumbuh dengan optimum adalah bakteri psychrophylic sedangkan bakteri maesophylic (20-40 оC) tumbuh dengan lambat Bakteri psychrophylic dapat tumbuh dengan kecepatan yang relatif pada suhu 0
о
C (Mucthtadi 2008). Jenis bakteri pembusuk yang menyebabkan
pembusukan ikan pada
penyimpanan suhu 0-5
о
C adalah Pseudomonas,
Achromobacter, dan Flavobacterium (Graikoski 1973). 4.4.4 Nilai TVB Indeks kemunduran mutu hasil perikanan dapat diketahui melalui kandungan TVB. Berbagai komponen, seperti basa volatil, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia selama post mortem dan aktivitas mikroba pada daging (Taskaya 2003). Pada penelitian ini perbandingan nilai TVB pada daging ikan bandeng
dengan perendaman
inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Perbandingan nilai rata-rata TVB ikan bandeng dengan perendaman inhibitor ( ) dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) ( ) pada penyimpanan suhu chilling Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa nilai TVB ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol mengalami kenaikan dengan semakin lamanya penyimpanan. Pada fase pre rigor ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 8,4 mg N/100 g. Nilai tersebut
38
menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar. Ikan pada fase pre rigor belum banyak mengalami perubahan biokimia di dalam tubuhnya dan aktivitas bakteri pembusukpun masih rendah pada fase ini. Nilai TVB meliputi senyawa-senyawa volatil, seperti ammonia, trimetilamin (TMA), dan dimetilamin (DMA) (Hossain et al. 2005). Kesegaran ikan menurut Farber (1965) dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g masuk dalam kriteria segar. Nilai TVB antara 20-30 mg N/100 g merupakan batas penerimaan ikan untuk dikonsumsi sedangkan jika nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g termasuk ikan busuk. Berdasarkan batasan tersebut, ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol yang disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi sampai waktu penyimpanan selama 360-365 jam (15 hari) dengan nilai TVB antara 24,4-26,4 mg N/100 g. Nilai TVB daging ikan bandeng tertinggi dicapai pada fase busuk, yaitu sebesar 76,1 mg N/100 g untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan sebesar 72,1 mg N/100 g untuk ikan bandeng kontrol. Daging ikan bandeng pada fase ini sudah mengalami pembusukan yang parah karena aktivitas enzim dan bakteri. Nilai TVB pada ikan bandeng pada fase ini sudah melebihi batas maksimum untuk ikan yang dapat dikonsumsi. Batas maksimum nilai TVB untuk ikan yang dapat diterima untuk konsumsi adalah 30 mg N/100 g (Farber 1965; Hossain et al. 2005). 4.5 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan Mutu atau kesegaran ikan dapat diketahui melalui beberapa parameter kesegaran kegaran ikan. Parameter kesegaran ikan yang diamati pada penelitian ini, yaitu organoleptik, Total volatile base (TVB), Total Plate Count (TPC), dan pH. Masing-masing parameter ini saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Hubungan antar parameter kesegaran ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11 diketahui bahwa nilai organoleptik ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan kontrol mengalami
39
penurunan dari fase pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan nilai TVB. Nilai pH mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase post rigor hingga busuk. Nilai organoleptik ikan terus menurun dari fase pre rigor hingga busuk disebabkan oleh kerusakan aktivitas enzim dan bakteri. Hal ini dapat dilihat dari nilai TPC yang terus meningkat dan diikuti dengan naiknya nilai TVB. Aktivitas enzim yang berasal dari ikan dan bakteri mengakibatkan kerusakan organ-organ ikan. Hasil kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas enzim ini berupa senyawasenyawa sederhana yang selanjutnya dimanfaatkan oleh bakteri. Aktivitas keduanya menghasilkan senyawa-senyawa basa-basa menguap (TVB). TVB menunjukkan nilai senyawa nitrogen mudah menguap yang dihasilkan dari aktivitas bakteri dan enzim. Nilai TVB terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan bakteri (Gopakumar 2000). Nilai pH ikan dari fase pre rigor menuju rigor mortis mengalami penurunan. Ini dikarenakan akumulasi asam laktat pada daging ikan selama ikan mengalami kejang otot (rigor mortis). Pada fase post rigor dan busuk, pH ikan bandeng meningkat karena terakumulasinya senyawa-senyawa basa hasil penguraian enzim dan bakteri. Hal ini dapat diamat dari naiknya nilai pH yang diikuti dengan naiknya nilai TPC dan TVB pada fase post rigor dan busuk. Secara umum ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng tanpa perendaman inhibitor (kontrol) mempunyai pola kemunduran mutu yang sama karena analisis organoleptik, pH, TPC, dan TVB dilakukan pada fase yang sama (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) hanya masing-masing fase dicapai pada waktu yang berbeda. Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor mengalami fase post mortem yang lebih lama dibandingkan ikan bandeng kontrol.
40
10
80
10
10
8
8
4
50
6
40 4
30
20
2
6
4
2
2
0
0
Rata-rata nilai organoleptik
Rata-rata nilai TVB(mg N/100 g)
Rata-rata nilai pH
6
60
Rata-rata nilai TPC(log koloni/g)
70 8
10
0
0 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu penyimpanan suhu chilling (jam)
10
10
8
80
8
8
60
6
40
4
2
20
2
2
0
0
0
0
6
4
0
100
200
300
400
500
6
4
Rata-rata nilai organoleptik
100
Rata-rata nilai TPC(logkoloni/g)
10
Rata-rata nilai TVB(mgN/100g)
Rata-rata nilai pH
(A) Ikan bandeng dengan perendaman inhibitor
600
Waktu penyimpanan suhu chilling (jam)
(B) Ikan bandeng tanpa perendaman dengan inhibitor (kontrol) Hubungan antar parameter kesegaran untuk ikan bandeng dengan perendaman inhibitor dan ikan bandeng kontrol rata-rata nilai TVB (mg N/100 g) rata-rata nilai pH rata-rata nilai log TPC rata-rata nilai organoleptik
Gambar 10