4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku yang digunakan. Anemon laut merupakan salah satu anggota Kelas Anthozoa yang bentuk tubuhnya bervariasi dengan kombinasi warna yang indah dipandang. Bentuk tubuh anemon seperti bunga sehingga juga disebut mawar laut. Hidupnya soliter dan tidak mempunyai percabangan dan mempunyai tentakel yang berisi udara. Biasanya di sela-sela tentakel ini merupakan tempat yang ideal bagi ikanikan hias (Hadi dan Sumadiyo 1992). Morfologi anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Anemon laut yang diambil dari perairan Pulau Pramuka Anemon laut yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tentakel berwarna coklat, tentakel berukuran besar dan pendek, bentuk tubuh menyerupai karpet, serta melekat pada substrat perairan. Keping mulut bentuknya datar, melingkar, kadang-kadang mengkerut dan dilengkapi dengan tentakel. Lubang mulut terletak pada daerah yang lunak. Tentakel mengandung nematoksis, jumlahnya barvariasi dan umumnya menutupi oral disk. Jumlah tentakel biasanya merupakan kelipatan dari enam dan tersusun dalam dua deret lingkaran yang paling dalam. Kelipatan yang dimaksud adalah 6 tentakel pertama (paling dalam
28
dan paling tua), 6 bagian tentakel kedua, 12 bagian tentakel ketiga, 24 bagian tentakel keempat dan seterusnya (Collin dan Arnesson 1995). 4.2 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi ektraksi senyawa bioaktif dan penentuan ekstrak terbaik berdasarkan ukuran tubuh anemon laut dengan metode DPPH yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian utama. Hasil ekstraksi anemon laut (Stichodactyla gigantea) dinyatakan dalam persentase rendemen. 4.2.1 Ekstraksi senyawa bioaktif Tahap ekstraksi merupakan tahap awal penapisan komponen bioaktif dari sampel anemon laut. Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi penghancuran sampel sampai menjadi halus, maserasi dengan pelarut, penyaringan dan evaporasi menggunakan vacuum rotary evaporator. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2009), metode ekstraksi tunggal menghasilkan rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan metode ekstraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi ini adalah metanol (pelarut polar). Metanol merupakan pelarut alkohol paling sederhana yang dapat membentuk ikatan hidrogen dan dapat bercampur dengan air hingga kelarutan tak terhingga, sehingga metanol sering digunakan sebagai
pelarut
dalam
proses
isolasi
senyawa-senyawa
organik
(Fessenden dan Fessenden 1986). Disamping itu, metanol juga dapat melarutkan alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, glikosida serta beberapa senyawa non polar seperti lilin, minyak dan lemak (Harborne 1987). Kondisi sampel pada saat akan dipreparasi adalah masih hidup, sehingga ekstraksi yang dilakukan adalah terhadap sampel segar. Sampel dihancurkan menggunakan blender hingga menjadi pasta halus. Ukuran partikel yang kecil
29
diharapkan dapat memperluas kontak sampel dengan pelarutnya sehingga semakin banyak komponen bioaktif yang dapat terekstrak. Selain itu, penghancuran akan memecah sel-sel yang terdapat dalam jaringan sehingga komponen yang akan diekstrak dapat cepat keluar dari bahan. Proses maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dengan pelarut dengan perbandingan 1:3 (w/v). Hal ini dilakukan untuk memperbanyak ekstrak kasar yang dihasilkan. Semakin besar volume pelarut maka jumlah bahan yang akan terekstrak akan semakin besar sampai larutan menjadi jenuh kemudian penambahan
pelarut
tidak
akan
menambah
hasil
ekstraksi
(Houghton dan Raman 1998). Waktu maserasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 2 x 24 jam. Waktu maserasi dilakukan lebih lama agar dapat meningkatkan hasil rendemen ekstrak kasar dari anemon laut ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi
hasil
ekstrak
kasar
yaitu
lama
waktu
ekstraksi
(Darusman et al. 1995). Proses maserasi dilakukan dengan pengadukan menggunakan orbital shaker. Hal ini bertujuan agar terjadi tumbukan antara partikel yang dapat memperbesar kemungkinan pengikatan dan pemecahan sel sehingga komponen bioaktif dapat keluar dari jaringan dan larut dalam pelarut. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sampel anemon laut dari pelarut yang telah mengandung bahan aktif, sedangkan evaporasi dilakukan untuk memisahkan pelarut dari senyawa bioaktif yang terikat pada suhu 37 °C. Penggunaan suhu vacum rotary evaporator dengan suhu yang tidak terlalu tinggi (30-40 °C) bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan senyawa bioaktif (Harborne 1987). Proses evaporasi dari filtrat anemon laut dengan ukuran tubuh yang berbeda menghasilkan ekstrak kasar dengan karakteristik yang hampir sama. Ketiga ekstrak tersebut memiliki warna coklat tua berbentuk pasta kental dan memiliki bau yang khas. Ekstrak kasar anemon laut dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil ekstraksi dari ketiga kelompok ukuran tubuh anemon ini menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Perbedaan ukuran tubuh mempengaruhi hasil ekstrak kasar rendemen anemon laut. Nilai rendemen ekstrak ini merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah
30
sampel awal yang diekstrak dan dinyatakan dalam persen. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing ukuran disajikan pada Gambar 6. Data rendemen ekstrak anemon laut dapat dilihat pada Lampiran 4. 6
5,45
Rendemen (%)
5
4,4
4 3
2,83
2 1 0 Kecil
Sedang
Besar
Gambar 6 Diagram batang rendemen anemon laut Gambar 6 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ekstrak anemon laut adalah ekstrak dengan ukuran tubuh besar, yaitu sebesar 5,45% dan ekstrak terkecil adalah ekstrak dengan ukuran tubuh kecil, yaitu sebesar 2,83%, sedangkan ekstrak dengan ukuran tubuh sedang yang dihasilkan sebesar 4,4%. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam ekstrak adalah anemon laut dengan ukuran tubuh besar. Semakin besar rendemennya dapat diasumsikan banyaknya kandungan senyawa bioaktif yang terdapat pada sampel tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Nurhayati et al. (2009) bahwa nilai rendemen yang tinggi menunjukkan banyaknya komponen bioaktif yang terkandung di dalamnya. Anemon laut dengan ukuran tubuh besar memiliki rendemen yang tinggi dikarenakan adanya hasil metabolit sekunder pada hewan yang telah dewasa (lebih besar) sehingga komponen bioaktif lebih banyak terekstrak pada anemon ukuran besar. Anemon laut menghasilkan dua jenis metabolit selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses-proses metabolisme esensial bagi
31
organisme. Sementara itu, metabolit sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi pada saat kebutuhan metabolit primer sudah terpenuhi dan bukanlah senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi (Handojo 2006). Perbedaan rendemen ekstrak kasar yang diperoleh juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, perbandingan jumlah sampel terhadap jumlah pelarut yang digunakan dan jenis pelarut yang digunakan (Salamah et al. 2008). 4.2.2 Aktivitas antioksidan berdasarkan ukuran tubuh Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada ekstrak anemon laut dengan tingkat ukuran yang berbeda dilakukan dengan menggunakan metode uji DPPH. Prinsip kerja dari metode ini yaitu berdasarkan pada kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Selain itu radikal bebas DPPH juga stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar yaitu metanol dan etanol (Molyneux 2004). Metode DPPH ini dipilih karena metode ini sederhana, mudah, waktu pengujian singkat dan sampel yang digunakan sedikit serta tidak membutuhkan banyak reagen (Juniarti et al. 2009). Pengujian antioksidan dengan DPPH akan menghasilkan nilai IC 50 (Inhibitor Concentration) yang menyatakan seberapa besar konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas (DPPH) sebanyak 50%. Perhitungan nilai IC50 diperoleh dari penghambatan radikal bebas pada berbagai konsentrasi ekstrak. Larutan ekstrak diencerkan dengan etanol ditambah dengan DPPH. Warna awal larutan DPPH adalah ungu gelap. Penambahan ekstrak yang mempunyai sifat antioksidan akan menghasilkan perubahan warna menjadi kuning cerah. Perubahan warna ekstrak anemon laut setelah penambahan DPPH dapat dilhat pada Lampiran 5.
32
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH, yang
ditandai
dengan
perubahan warna
ungu
menjadi
kuning
pucat
(Molyneux 2004). Larutan tersebut kemudian dilihat intensitas warnanya menggunakan Elisa Reader yang akan menghasilkan nilai absorbansi. Nilai absorbansi tersebut yang digunakan untuk menghasilkan persen penghambatan yang dapat ditampilkan dalam bentuk kurva untuk menghasilkan suatu nilai IC 50. Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar anemon laut dari ketiga ukuran tubuh dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil perhitungan uji antioksidan dengan metode DPPH dapat dilihat pada Lampiran 6. 2,500 2,073.13
Rata-rata IC50 (ppm)
2,000 1,505.31
1,500 916.94
1,000 500 0
kecil
sedang
besar
Gambar 7 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar anemon laut menunjukkan bahwa ekstrak metanol pada ukuran kecil dapat menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebesar 50% pada konsentrasi 916,94 ppm, ekstrak ukuran sedang pada konsentrasi 1,505,31 ppm, dan ekstrak ukuran besar pada konsentrasi 2,073,13 ppm. Hasil terbaik adalah ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh besar karena menghasilkan
nilai IC50 paling kecil. Hal ini sesuai dengan
Molyneux (2004) yang menyebutkan bahwa sifat antioksidan lebih baik bila nilai IC50 lebih kecil. Hasil ini selanjutnya digunakan pada penelitian utama untuk memperoleh ekstrak yang lebih baik dengan ukuran tubuh yang besar.
33
Hasil dari Gambar 7 memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan semakin besar ukuran tubuh anemon makan semakin kecil nilai IC50. Pertumbuhan anemon ditandai dengan perubahan ukuran tubuh yang semakin besar sehingga ketika anemon telah mencapai ukuran maksimalnya maka pertumbuhan telah berhenti. Di fase stasionernya ini, anemon tidak lagi menghasilkan metabolit primer untuk pertumbuhan melainkan menghasilkan metabolit sekunder sebagai respon terhadap lingkungannya seperti sistem pertahanan diri. Metabolit sekunder diproduksi oleh organisme pada saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi atau strategi adaptasi lingkungan (fungsi penting dalam ekologi) (Muniarsih 2005). Metabolit sekunder inilah yang kemudian menghasilkan senyawa bioaktif melalui jalur biosintetiknya dan diantaranya ada yang bersifat sebagai antioksidan. Hasil ekstrak kasar anemon laut dari ketiga ukuran tubuh memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong lemah karena memiliki nilai IC 50 lebih besar dari 200 ppm. Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm. Bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan. 4.3 Penelitian Utama Penelitian utama yang dilakukan berupa penentuan kandungan gizi dari anemon laut, penentuan komponen bioaktif dengan uji fitokimia, dan penentuan ekstrak terbaik dari hasil penelitian pendahuluan yang dilanjutkan dengan perlakuan tingkat kesegaran yang berbeda dengan uji antioksidan menggunakan metode DPPH. 4.3.1 Kandungan gizi anemon laut (Stichodactyla gigantea) Kandungan gizi pada anemon laut dapat ditentukan dengan analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis kimia untuk mengindentifikasi kandungan nutrisi seperti kandungan air, protein, karbohidrat, lemak dan abu pada suatu bahan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai
34
penilaian kualitas pakan atau bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya. Analisis proksimat yang dilakukan pada anemon laut meliputi uji kadar air, abu, abu tidak larut asam, protein, lemak sedangkan karbohidrat dihitung dengan by difference. Pengujian kadar abu tidak larut asam dilakukan karena habitat anemon laut hidup di perairan yang dangkal dengan substrat pasir, lumpur, atau campuran dari keduanya. Oleh karena itu, adanya dugaan bahwa anemon laut mengandung abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam lumpur atau pasir yang masuk ke dalam tubuhnya. Hasil analisis proksimat anemon laut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji proksimat anemon laut Parameter Kadar air Lemak Protein Kadar abu Kadar abu tidak larut asam Karbohidrat
Anemon laut (%) 83,61 0,58 0,4 3,43 0,75 11,23
Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan, karena air dapat memberikan pengaruh kepada penampakan, tekstur serta cita rasa. Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang terkandung dalam anemon laut. Kadar air berpengaruh terhadap keawetan suatu bahan. Apabila kadar air tinggi maka bahan tersebut akan cepat mengalami penurunan mutu. Hal ini dikarenakan kandungan air mempengaruhi penampakan, karakteristik maupun daya awet suatu bahan yang mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang sehingga mempercepat kebusukan (Winarno 2008). Hasil analisa kadar air pada anemon laut menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung pada anemon laut sebesar 83,61%. Kandungan air yang tinggi tersebut dapat disebabkan karena habitat anemon laut seluruh hidupnya terdapat di perairan. Selain itu, anemon laut merupakan hewan berongga sehingga hampir di seluruh tubuhnya dipenuhi oleh air. Jika bandingkan dengan kadar air dari ubur-ubur segar sebesar 87,50% (Aji 2011) maka hasil kadar air ini tidak jauh berbeda.
35
Lemak merupakan zat yang penting dan merupakan sumber energi yang lebih efektif bagi tubuh dibandingkan karbohidrat dan protein. Lemak memberi cira rasa dan memperbaiki tekstur pada makanan juga sebagai sumber pelarut bagi vitamin A, D, E dan K. Selain itu, lemak merupakan cadangan makanan dalam tubuh, karena kelebihan karbihidrat diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adiposa (Winarno 2008). Menurut bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak dua kali lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Kadar lemak yang diperoleh dari uji proksimat anemon laut adalah sebesar 0,58%. Hasil ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan kadar lemak dari ubur-ubur segar sebesar 2,03% (Aji 2011). Perbedaan kadar lemak ini diduga karena pengaruh beberapa faktor yaitu umur, ukuran, dan habitat. Lemak akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena sifat fisiologis hewan yang akan menuju fase perkembangbiakan. Hewan akan membutuhkan lebih banyak energi yang disimpan dalam bentuk lemak untuk berkembang biak. Adanya variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies dan antar individu dalam satu spesies (Suzuki 1981). Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Budiyanto 2002). Protein merupakan makromolekul yang dibentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Selain itu, protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang dan ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam yaitu besi dan tembaga (Winarno 2008). Kandungan protein yang terdapat pada anemon laut adalah sebesar 0,4% sangatlah rendah jika dibandingkan dengan kandungan protein ubur-ubur segar yaitu sebesar 5,31% (Aji 2011). Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Mineral memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Kadar abu yang terdapat pada anemon laut adalah sebesar
36
3,43%. Kadar abu ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu ubur-ubur segar sebesar 1,76% (Aji 2011). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan habitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup didalamnya. Selain itu juga, masing masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbansi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing masing bahan (Susanto 2010). Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Hasil uji kadar abu tidak larut asam pada anemon laut sebesar 0,75%. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses penanganan dan pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003). Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi hewan dan manusia. Karbohidrat berfungsi untuk mencegah terjadinya pemecahan protein yang berlebihan, kehilangan mineral dan membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008). Kadar karbohidrat pada anemon laut sebesar 11,23%. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat dari ubur-ubur segar sebesar 3,40% (Aji 2011). Karbohidrat yang tinggi dapat disebabkan adanya perbedaan kandungan air yang terdapat pada bahan. Penurunan kadar air yang terdapat pada bahan akan diikuti oleh peningkatan kandungan gizi lainnya secara proporsional. Selain itu, kadar karbohidrat yang tinggi juga dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan di alam. 4.3.2 Senyawa fitokimia Ekstrak terbaik hasil ekstraksi anemon laut adalah ekstrak dengan ukuran tubuh besar diuji fitokimia untuk mengetahui senyawa bioaktif yang terdapat dalam tubuhnya. Senyawa bioaktif adalah senyawa aktif yang dihasilkan oleh organisme melalui jalur biosintetik metabolit sekunder (Khatab et al. 2008). Anemon laut menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk
37
menghadapi serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi, dan mencegah sengatan sinar ultra violet (Harper et al. 2001). Uji fitokimia adalah analisis yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah, dan fungsi biologisnya. Alasan dilakukannya analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa yang terdapat pada suatu bahan yang mempunyai efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diiuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, tanin, dan saponin. Pemilihan pelarut perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan zat kimia tertentu yang diinginkan. Ekstraksi dengan pelarut metanol mampu mengekstrak senywa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid dan tanin (Harborne 1987). Metanol merupakan pelarut polar, namun dapat juga mengekstrak senyawasenyawa
yang
bersifat
nonpolar
seperti
lilin
dan
lemak
(Houghton dan Raman 1998). Hasil uji fitokimia dari ekstrak anemon laut dengan ukuran tubuh besar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji fikomia hasil ektrak kasar terbaik anemon laut Standar (warna) Uji Fitokimia Anemon laut besar Alkaloid a. Dragendroff ++ Endapan merah atau jingga b. Meyer + Endapan putih kekuningan c. Wagner ++ Endapan coklat Perubahan dari merah menjadi Steroid ++ biru/hijau Perubahan dari merah menjadi Triterpenoid ++ biru/hijau Lapisan amil alkohol Flavonoid + berwarna merah/kuning/hijau Fenol hidrokuinon ++ Warna hijau atau hijau biru Perubahan warna dari hijau Tanin menjadi biru hingga hitam Saponin ++ Terbentuk busa Keterangan: +++ sangat kuat, ++ kuat, + lemah, -tidak terdeteksi
38
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar terbaik anemon laut dengan ukuran tubuh besar mengandung senyawa kimia yang merupakan golongan alkaloid, steroid, triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan saponin. Diantara organisme yang hidup di laut bangsa Cnidaria termasuk organisme penghasil komponen bioaktif yang terbesar. Menurut Baker (2001), anemon laut menghasilkan 26 asam amino (peptida dan alkaloid) sebesar 60%, 13 isoprenoid
(terpenoid,
steroid,
karotenoid,
hidrokuinon)
sebesar
30%,
2 acetogenin (asam lemak, polifenol, prostaglandins), dan 2 turunan asam nukleat. Selain anemon laut, salah satu organisme yang termasuk dalam bangsa Cnidaria yang kaya akan senyawa kimia adalah karang lunak (soft coral). Elyakov dan Stonik (2003) melaporkan bahwa karang lunak menghasilkan beberapa dari golongan senyawa hasil metabolit sekunder seperti alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid, fenol, saponin dan peptida. Alkaloid
pada
umumnya
mencakup senyawa
bersifat
basa
yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid banyak yang mempunyai kegiatan fisiologis sehingga secara luas digunakan dalam bidang pengobatan (Harbone 1987). Alkaloid memiliki efek farmakologi sebagai analgesik (pereda nyeri) dan anestesi (pembius) (Hardiningtyas 2009). Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar anemon laut ukuran besar mengandung senyawa alkaloid. Hanani et al. (2005) menyatakan bahwa senyawa kimia dalam spons yang mempunyai aktivitas antioksidan secara kualitatif dan lanjutan yaitu alkaloid. Senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan dapat diprediksi dari golongan fenolat, flavonoid dan alkaloid, yang merupakan senyawa-senyawa polar (Suratmo 2009). Steroid/triterpenoid
pada
ekstrak
anemon
laut
terdekteksi
dengan
terbentuknya warna biru-hijau pada larutan. Triterpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis dan terdistribusi secara luas dalam dunia tumbuhan dan hewan (Sirait 2007). Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa
39
tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif. Steroid merupakan golongan golongan senyawa triterpenoid. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena yaitu, lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harbone 1987). Beberapa steroid, seperti fukosterol, diisolasi dari sumber daya hayati laut bersifat non toksik dan mempunyai khasiat menurunkan kolesterol dalam darah dan mendorong
aktivitas
antidiabetes.
Selain
itu,
sterol
dapat
mengurangi
kecenderungan pembentukan dan penumpukan lemak yang berlebihan dalam hati (Bhakuni dan Rawat 2005). Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol yang larut dalam air. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene terikat pada suatu rantai propane membentuk susunan C6-C3-C6. Flavonoid diklasifikasikan menjadi sebelas golongan yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar anemon laut ukuran besar mengandung komponen flavonoid walaupun tergolong lemah, yakni dengan terbentuknya warna kuning pada lapisan amil alkohol. Flavonoid dapat digunakan untuk mengurangi resiko berberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-proliferasi (Chen dan Blumberg 2007). Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon (Pratt dan Hudson 1990). Flavonoid diketahui sebagai antioksidan yang baik karena mempunyai sedikitnya dua gugus hidroksil pada posisi orto dan para (Winarno1996). Senyawa flavonoid pada umumnya bersifat aromatik, sehingga dapat menyerap spektrum ultraviolet (UV) secara intensif. Gugus fungsi pada senyawa flavonoid dapat berperan sebagai penangkap radikal bebas hidroksi (OH) sehingga tidak mengoksidasi lemak, protein, dan DNA dalam sel. Kemampuan flavonoid dalam menangkap radikal bebas 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan vitamin E (Harborne 1987). Mekanisme antioksidan oleh flavonoid sendiri sebelumnya masih belum terlalu jelas. Namun
40
secara umum, antioksidan mempunyai struktur inti yang sama, yaitu cincin benzen tidak jenuh disertai gugus hidroksil (-OH), asam amino (-NH2), ataupun hidrogen (-H). Gugus-gugus inilah yang bertugas untuk berikatan dengan radikal bebas sehingga menghasilkan komponen yang tidak reaktif lagi (Winarno 1996). Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne 1987). Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon,
naftokuinon,
antrakuinon,
dan
kuinon
isoprenoid
(Suradikusumah 1989). Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak anemon laut ukuran besar mengandung komponen fenol hidrokuinon. Hal ini ditandai dengan adanya warna hijau atau hijau biru pada ekstrak anemon laut. Peranan beberapa golongan fenol sudah diketahui, misalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel, antosianin sebagai pigmen bunga. Selain itu, dengan mengkonsumsi fenol dipercaya dapat mengurangi resiko beberapa penyakit kronis karena bersifat sebagai antioksidan, anti-inflamansi, detoksifikasi karsinogen, dan antikolesterol (Chen dan Blumberg 2007). Tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur (Shut 2002). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak anemon laut ukuran besar tidak mengandung komponen ini. Ini dapat terlihat dari hasil uji yang menunjukkan hasil yang negatif. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Saponin termasuk golongan triterpenoid yang mempunyai kerangka karbon berdasarkan isoprena. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, dan sering mempunyai titik lebur tinggi (Harborne 1987). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak anemon laut ukuran besar mengandung komponen saponin. Hal ini ditandai dengan terbentuknya busa pada ekstrak anemon laut. Saponin bersifat toksik terhadap
41
ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007). Selain itu, saponin merupakan golongan senyawa yang dapat menghambat atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol (Zoblowics et al. 2002). 4.3.3 Aktivitas antioksidan berdasarkan tingkat kesegaran Perlakuan yang dilakukan pada tahap penelitian utama adalah tingkat kesegaran yang berbeda dengan ukuran tubuh anemon yang didasarkan pada hasil penelitian pendahulun. Ukuran terbaik hasil dari penelitian pendahuluan adalah anemon dengan ukuran tubuh besar. Tingkat kesegaran yang digunakan pada tahap ini adalah anemon dalam keadaan segar dan anemon dalam keadaan mati. Anemon dalam keadaan segar dalam penelitian ini adalah anemon dalam keadaan segar atau hidup langsung dihaluskan kemudian diekstrak untuk mendapatkan rendemennya. Anemon dalam keadaan segar memiliki ciri-ciri fisik seperti tidak adanya mucus yang keluar, keadaan tentakel yang mengembang, warna yang cerah, dan kondisi mesenterial filaments yang normal (tidak mengembung pada bagian mulut). Anemon dalam keadaan mati yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemon hidup dengan ukuran tubuh besar yang didiamkan tanpa air selama 2-3 hari hingga tubuhnya menunjukkan tanda kematian yakni tidak bergerak dan menunjukkan ciri-ciri fisik seperti cukup banyaknya (sedang) keluarnya mucus, keadaan tentakel yang mengembang, warna agak pucat, dan abnormalnya mesenterial filaments. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga mengakibatkan kematian. Setelah itu, anemon tersebut dihaluskan kemudian dilakukan proses ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak kasarnya. Proses ekstraksi yang digunakan untuk anemon mati sama seperti yang dilakukan pada penelitian pendahuluan yakni ekstraksi tunggal dengan pelarut metanol. Rendemen ekstrak yang diperoleh dari anemon mati sebesar 5,05% dan anemon segar sebesar 5,45%. Ekstrak anemon laut mati kemudian di uji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metode uji DPPH seperti yang dilakukan pada penelitian
pendahuluan. Data yang dihasilkan berupa nilai IC50 yang
menunjukkan reduksi radikal bebas (DPPH) oleh ekstrak sebesar 50%. Hasil
42
antioksidan anemon segar dan mati dibandingkan dengan permbanding dari antioksidan alami lainnya yaitu vitamin C. Vitamin C dalam penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Vitamin C merupakan vitamin yang penting dalam diet manusia. Vitamin ini banyak ditemukan pada jaringan tanaman. Vitamin C berbentuk kristal putih, merupakan suatu asam organik dan terasa asam, tetapi tidak berbau. Vitamin C (asam askorbat) merupakan salah satu antioksidan yang larut dalam air. Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Antioksidan vitamin C mampu bereaksi dengan radikal bebas kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil. Senyawa radikal terakhir ini akan segera berubah menjadi askorbat dan dehidroaskorbat (Lesser 2006). Kebutuhan vitamin C yang dianjurkan adalah sebesar 30-60 mg per hari. Pengujian aktvitas antioksidan terhadap vitamin C yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005) memiliki nilai IC50 sebesar 3,81 ppm, sedangkan pada penelitian ini dihasilkan nilai IC50 sebesar 1,95 ppm. Hasil ini membuktikan bahwa aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh vitamin C sangat tinggi. Pengujian antioksidan vitamin C menghasilkan hubungan antara konsentrasi vitamin C dan
% Inhibisi
persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 8. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 7.209x + 36.04 R² = 0.800
0
2
4
6
8
10
Konsentrasi (ppm) Gambar 8 Grafik hubungan konsentrasi vitamin C dengan persen inhibisinya; n=2 Aktivitas antioksidan ekstrak anemon laut dinyatakan dengan presentase penghambatan (% inhibisi) dan nilai IC50. Sampel ekstrak anemon besar segar dan mati dibuat menjadi 4 konsentrasi yaitu 200, 400, 600 dan 800 ppm diiukur nilai
43
absorbansinya menggunakan Elisa Reader. Presentase penghambatan adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan
dengan
konsentrasi
suatu
bahan.
Hubungan
persentase
penghambatan dengan konsentrasi ekstrak kasar anemon laut disajikan pada
% Inhibisi
Gambar 9. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 0.048x + 5.987 R² = 0.958
y = 0.023x - 3.289 R² = 0.961
0
200
400
600
800
1000
Konsentrasi (ppm) Gambar 9 Grafik hubungan antara ekstrak anemon laut dengan rata-rata persen inhibisnya ( ) anemon segar, ( ) anemon mati; n=2 Gambar 9 menunjukkan hubungan antara ekstrak daging dan jeroan anemon laut dengan persen inhibisinya. Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata kemampuan menghambat radikal bebas terendah terdapat pada konsentrasi 200 ppm, yaitu 17,41% untuk ekstrak anemon besar segar dan 2,41% untuk ekstrak anemon besar mati. Ratarata kemampuan menghambat radikal bebas tertinggi terdapat pada konsentrasi 800 ppm, yaitu 46,79% untuk ekstrak anemon besar segar dan 15,79% untuk ekstrak anemon besar mati. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasinya maka semakin tinggi pula tingkat penghambatan suatu bahan terhadap aktivitas radikal bebas. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005) yang menyatakan bahwa penghambatan ekstrak terhadap aktivitas radikal bebas meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Nilai IC50 merupakan parameter konsentrasi dari senyawa antioksidan yang dapat menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Secara spesifik suatu
44
senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC 50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004). Nilai rata-rata IC50 pada ekstrak kasar anemon laut dari tingkat kesegaran yang berbeda, dapat dilihat pada Gambar 10.
Rata-rata IC50 (ppm)
2,500
2,316.91
2,000 1,500 1,000
916,94
500 0 Segar
Mati
Gambar 10 Nilai rata-rata IC50 anemon laut dengan tingkat kesegaran berbeda Gambar 10 menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi pada anemon laut terdapat pada ekstrak kasar anemon segar dengan nilai IC50 sebesar 916,94% yang menunjukkan 50% radikal bebas DPPH dapat dihambat aktivitasnya pada konsentrasi 916,94 ppm. Aktivitas antioksidan terendah anemon laut terdapat pada ekstrak anemon mati dengan nilai IC50 sebesar 2.316,91% yang menunjukkan 50% radikal bebas DPPH dapat dihambat aktivitasnya pada konsentrasi 2.316,91 ppm. Aktivitas antioksidan menunjukkan hasil yang berbeda antara anemon segar dengan anemon mati. Adanya dugaan senyawa bioaktif yang terdapat anemon mati hilang atau berkurang seiiring dengan adanya proses penguraian atau pembusukan dari anemon laut. Hal ini dapat dikarenakan ketika anemon laut memasuki fase kematian maka fungsi dari bagian tubuh anemon tidak lagi melakukan proses metabolisme baik metabolisme primer maupun sekunder. Dari data yang dihasilkan dapat dilihat bahwa semakin segar kondisi anemon laut maka aktivitas antioksidannya semakin tinggi.
45
Aktivitas antioksidan kedua ekstrak kasar anemon laut dapat digolongkan lemah, karena nilai IC50 lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Aktivitas antioksidan ini jauh berbeda dengan antioksidan alami viamin C karena ekstrak anemon laut yang digunakan pada pengujian masih berupa ekstrak kasar (crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi. Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi karena memiliki komponen bioaktif yang merupakan senyawa yang mengandung aktivitas antioksidan, yaitu alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan fenol hidrokuinon. Perbedaan kondisi lingkungan seperti tingginya kekuatan ionik pada air laut, intensitas cahaya yang kecil, rendahnya temperatur, dapat juga memungkinkan anemon laut menghasilkan metabolit yang mempunyai sruktur kimia yang spesifik dan bervariasi yang sangat berpengaruh terhadap bioaktifitasnya (Muniarsih 2005). Senyawa bioaktif anemon laut berbeda baik intra spesies maupun inter spesiesnya. Faktor ekologis turut pula menentukan produksi senyawa biokatif sehingga dapat dikatakan bahwa anemon laut yang tumbuh pada lingkungan yang sangat tinggi tingkat kompetisi alaminya akan memiliki kandungan toksin atau hasil metabolit sekunder yang lebih tinggi daripada anemon laut yang ditumbuhkan pada lingkungan buatan contoh di dalam akuarium (Dykens et al. 1992) . Kelemahan dari antioksidan diantaranya adalah sifatnya yang mudah rusak bila terpapar oksigen, cahaya, suhu tinggi dan pengeringan. Penggunaan bahan pelarut yang tidak tepat dapat merusak aktivitas antioksidan yang ada. Jan et al. (2001) diacu dalam Suryaningrum et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan pelarut yang sama dapat memberikan hasil yang sangat berbeda walaupun partikel dan stabilitas substrat yang diekstraksi hampir sama.