4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Lapangan 4.1.1 Gambaran umum Dusun Wael merupakan salah satu dari 8 Dusun nelayan yang berada di Teluk Kotania Seram Barat. Secara geografis Dusun Wael terletak di 30 03’ 90’’ LS dan 1280 03’ 90’’ BT atau ujung barat bagian utara Pulau Seram, sebelah barat berbatasan dengan Dusun Lupesy, sebelah timur dengan Dusun Kotania Pantai, sebelah selatan dengan Gunung Wael dan sebelah utara dengan Dusun Pulau Osi. Secara administratif Dusun Wael termasuk dalam Desa Piru Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku.
Dilihat dari bentuk
perairan dan geomorfologi pantai kawasan budidaya rumput laut di dusun Wael berada pada perairan teluk yang relatif tenang dan terlindung. Kondisi pantai landai dengan vegetasi mangrove yang lebat dan terdapat 7 muara sungai kecil. Kabupaten Seram bagian barat memiliki tipe iklim laut tropis dan iklim musim. Musim Barat terjadi pada Desember sampai Pebruari, musim Pancaroba pertama pada Maret sampai Mei, musim Timur terjadi pada Juni sampai Agustus, dan musim Pancaroba kedua terjadi pada September sampai Nopember. 4.1.2 Perkembangan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael (a) Kepemilikan usaha budidaya dan sistem pengelolaan Sebagian besar penduduk Dusun Wael mempunyai unit usaha budidaya rumput laut. Terdapat 172 KK pembudidaya rumput laut dimana tiap KK rata-rata mempunyai 5 unit rakit longline, total keseluruhannya adalah 860 unit dengan luas kepemilikan lahan 50 x 150 m2 tiap KK. Selain itu terdapat juga 3 kelompok pembudidaya yaitu kelompok budidaya Mitra Bahari, jumlah anggota 13 orang, kelompok budidaya Mae Topo Asa, jumlah anggota 31 orang, dan kelompok budidaya BSN, jumlah anggota 10 orang. Pengelolaan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael umumnya dengan sistem kekeluargaan. Suami biasanya yang merencanakan lokasi budidaya, penyiapan sarana budidaya, penempatan sarana budidaya di lokasi budidaya, penanaman bibit, sedangkan pemilihan bibit dan pengikatan bibit dilakukan oleh istri, anak-anak, dan kerabat yang lain.
Perawatan dan penyiangan tanaman melibatkan seluruh keluarga, suami, istri dan anak-anak, begitu pula dengan panen dan pascapanen. (b) Teknologi budidaya, panen dan pascapanen Terdapat 3 metode budidaya yang telah digunakan oleh pembudidaya rumput laut di Dusun Wael, yaitu metode lepas dasar, rakit, dan rakit longline, namun perawatan, teknik budidaya, teknologi panen dan pascapanen kurang mendapat perhatian. Selain itu produk rumput laut yang dihasilkan penjualannya terbatas hanya pada rumput laut kering saja dan belum ada diversifikasi produk olahan lain. (c) Kapasitas produksi dan pemasaran Produksi total rumput laut kering Kabupaten Seram bagian barat yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Seram bagian barat, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi total rumput laut kering Kabupaten Seram bagian barat Tahun 2003 2004 2005 2006
Produksi (ton) 15,0 17,5 230,2 1.676,8
Nilai (Rp) 75.000.000 100.000.000 783.000.000 5.028.300.000
Pemasaran rumput laut di Dusun Wael, biasanya pembudidaya menjual produknya langsung pada pedagang pengumpul yang telah ada atau datang langsung di Dusun Wael. Harga pembelian biasanya Rp. 3.250-Rp. 4250/kg pada 2003-2007. 4.1.3 Permasalahan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael (a) Aspek penataan kawasan Belum tertatanya penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masih terjadi tumpang tindih penggunaan lahan antara pembudidaya, nelayan penangkap dan pengguna jasa transportasi laut. Hal ini sering memunculkan permasalahan seperti kerusakan fasilitas sarana budidaya oleh pengguna jasa transportasi laut (katintin dan speed boat).
Selain itu akibat belum adanya penataan kawasan sesuai
peruntukannya, sering penangkap ikan melakukan penangkapan pada lokasi
budidaya rumput laut bahkan kadang dengan meggunakan bom dan potasium, akibatnya rumput laut disekitarnya menjadi rusak. (b) Aspek teknis, panen dan pascapanen Penguasaan terhadap teknologi budidaya oleh pembudidaya masih terbatas hanya pada metode budidaya sedangkan aspek lain seperti pemeliharaan dan teknik budidaya yaitu pemakaian bibit dan waktu panen yang belum efektif, penggunaan bibit yang sangat heterogen baik itu berat bibit maupun bagian thalus, sedangkan pemanenan dalam waktu yang sama. Semuanya ini belum dipandang sebagai bagian yang penting dari teknologi budidaya rumput laut. Permasalahan yang muncul adalah rendahnya kapasitas produksi rumput laut.
Penguasaan
terhadap teknologi panen dan pascapanen juga masih rendah.
Panen dan
pascapanen dilakukan seadanya saja, belum memperhatikan cara-cara panen dan pascapanen yang benar. (c) Hama dan penyakit Hama yang biasa menyerang rumput laut adalah ikan beronang, penyu dan lain-lain. Selain itu yang menjadi salah satu kendala terhadap perkembangan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael adalah adanya penyakit ice-ice. Akibat dari penyakit ice-ice, dapat membuat kerusakan rata-rata 70-75% rumput laut yang ada di Dusun Wael. Biasanya penyakit ice-ice ini muncul pada musim pancaroba baik pada saat pancaroba pertama pada Maret sampai Mei, maupun pancaroba kedua pada September sampai Nopember.
4.2 Faktor Lingkungan Perairan (a) Suhu permukaan laut Pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis disamping cahaya dan konsentrasi fosfat (Odum 1971). Perbedaan suhu terjadi karena adanya perbedaan energi matahari yang diterima oleh perairan. Suhu akan naik dengan meningkatnya energi matahari yang masuk ke dalam perairan. Hal ini dapat meningkatkan kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu. Hasil pengukuran suhu permukaan laut di lokasi penelitian berkisar antara 28-30 oC. Sulistijo (1994) menyatakan kisaran
suhu perairan yang baik untuk rumput laut Eucheuma adalah 27–30 oC. Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah 24-31oC (Sugiarto 1984 diacu dalam Eidman 1991).
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat
disimpulkan bahwa kondisi suhu perairan di Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku, sesuai untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. (b) Kecepatan arus Rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan membawa nutrien yang cukup pula dan sekaligus mencuci kotoran yang menempel pada thalus. Besarnya kecepatan arus yang ideal antara 15-50 cm/det (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2005). Kecepatan arus selama penelitian berkisar antara 22-48 cm/det. Pergerakan air mempengaruhi bobot, bentuk thalus dan produksi bahan-bahan hidrokoloid Eucheuma (Doty 1987).
Dengan demikian maka kecepatan arus
selama penelitian cukup baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii. Arus dan ombak yang berkekuatan besar dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman seperti patah, atau terlepas dari tali pengikat atau substratnya.
Selain itu
penyerapan unsur hara kurang optimal karena belum sempat diserap oleh rumput laut telah dibawa kembali oleh arus. Arus dan ombak yang besar di perairan pantai juga menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga mengganggu proses fotosintesis tanaman. Kecepatan arus yang lambat dapat menyebabkan kotoran yang menempel pada thalus tidak seluruhnya dapat dibersihkan, dan pasokan unsur hara semakin terhambat karena pergerakan air yang kurang optimal. (c) Salinitas Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang bersifat stenohaline, yaitu tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 30-37 ppt (Kadi dan Atmaja 1988). Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar dari sungai dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp. menurun. Salinitas hasil pengukuran di lokasi penelitian berkisar antara 33-35 ppt. Berdasarkan hal ini, maka perairan Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Propinsi Maluku sesuai untuk pembudidayaan rumput laut
Eucheuma cottonii.
Pertumbuhan rumput laut maksimum apabila salinitas di
perairan tempat budidaya cukup tinggi. Menurut Parker (1974) pertumbuhan alga Eucheuma cottonii optimum pada salinitas diatas 34 ppt. Hasil penelitian Iksan (2005) melaporkan bahwa kadar karaginan maksimum pada minggu keempat budidaya, dimana terjadi peningkatan salinitas sampai pada 35 ppt. (d) pH pH merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan alga laut, sama halnya dengan faktor-faktor lainnya.
Kisaran pH perairan selama penelitian
berkisar antara 7,5-8,0. Nilai pH perairan selama penelitian cukup baik untuk budidaya Eucheuma cottonii. Aslan (1998) menyatakan bahwa kisaran pH untuk kehidupan organisme laut adalah 6,5-8,5.
Chapman dan Chapman (1980)
menyatakan bahwa hampir seluruh alga menyukai kisaran pH 6,8–9,6, sehingga pH bukanlah masalah dalam pertumbuhannya.
Hasil penelitian Zatnika dan
Angkasa (1994) melaporkan bahwa derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma adalah antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2. (e) Kecerahan Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Kecerahan perairan
berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal adalah lebih dari 1 m. Air yang keruh, biasanya mengandung lumpur dan dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Disamping itu kotoran dapat menutupi permukaan thalus dan menyebabkan thalus tersebut menjadi busuk atau patah.
Secara
keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Hasil pengukuran kecerahan pada lokasi penelitian berkisar antara 2,50-5,25 m. Dapat disimpulkan bahwa kecerahan pada lokasi penelitian masih memungkinkan untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.
(f) Kedalaman perairan Kedalaman
perairan
yang
baik
untuk
budidaya
rumput
laut
Eucheuma cottonii adalah 0,3-0,6 m pada waktu surut terendah untuk lokasi yang berarus kencang dan untuk metode lepas dasar, 2-15 m untuk metode rakit apung, metode rawai (longline) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Kedalaman perairan di lokasi penelitian lapangan berkisar antara 7,65 m (pada saat surut) sampai 9,72 m (pada saat pasang). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedalaman perairan di lokasi penelitian sangat cocok untuk diterapkan metode longline untuk budidaya Euchema cottonii. (g) Substrat dasar perairan Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya Eucheuma cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Jenis dasar perairan dapat dijadikan indikator gerakan air laut.
Kondisi dasar perairan di lokasi
penelitian merupakan perairan yang berlumpur pasir dan karang.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kondisi dasar perairan di tempat penelitan, cocok untuk budidaya dengan sistem longline.
Lokasi ini tidak cocok untuk budidaya
dengan metode lepas dasar, mengingat kecerahan perairan maksimum hanya sampai pada kedalaman 5,25 m, sementara itu kedalaman maksimum perairan 9,72 m. Jadi apabila budidaya dengan metode lepas dasar diterapkan pada lokasi ini, pertumbuhan rumput laut akan terganggu sebagai akibat terhambatnya cahaya matahari sampai ke dasar perairan.
4.3 Laju Pertumbuhan Harian Eucheuma cottonii Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3,45-5,82%.
Laju pertumbuhan yang dianggap
menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat basah per hari (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2005).
Laju pertumbuhan harian terendah dan
tertinggi masing-masing diperoleh dari kombinasi perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 150 g, umur panen 40 hari, dan kombinasi perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit 50 g dan umur panen 50 hari. Bagian thalus, berat bibit,
dan umur panen memberikan pengaruh
yang nyata (p<0,05) terhadap laju
pertumbuhan harian rumput laut Eucheuma cottonii.
Laju pertumbuhan harian
Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit dan umur panen dapat dilihat pada Gambar 8.
Laju pertumbuhan (%)
7 6 5
5.45 4.16
5.82
5.80
4.75
4.49
5.06 4.34
4 3
3.95
4.19
4.13
45
50
3.89
2 1 0 40
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(a) Thalus ujung
Laju pertumbuhan (%)
7 6
5.20
5 4 3
3.74
5.56
5.47
4.59
4.28
3.87
3.96
45
50
4.94 4.10 3.76
3.45
2 1 0 40
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 8. Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Rata-rata laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii pada bagian thalus ujung dan pangkal menunjukkan peningkatan sampai umur panen 50 hari, kemudian mengalami penurunan pada umur panen 55 hari. Laju pertumbuhan harian tertinggi terjadi pada umur panen 50 hari, untuk semua berat bibit yang berasal dari bagian thalus ujung maupun bagian thalus pangkal.
Laju
pertumbuhan harian Eucheuma cottonii tertinggi diperoleh pada umur panen 50 hari yaitu 5,82%, 4,75%, dan 4,13% masing-masing berasal dari berat bibit awal 50, 100, dan 150 g, untuk bagian thalus ujung dan 5,56%, 4,59%, dan 3,96%
masing-masing berasal dari berat bibit awal 50, 100, dan 150 g, untuk bagian thalus pangkal. Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii pada perlakuan bagian thalus ujung lebih tinggi dibandingkan dengan bagian thalus pangkal. Hal ini disebabkan oleh bagian thalus ujung mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan bagian thalus pangkal. Bagian paling ujung rumput laut menunjukkan laju fotosintesis yang paling besar dibandingkan bagian lain yang semakin jauh jaraknya dari ujung (Glenn dan Doty 1981).
Hasil penelitian Sulistijo dan
Atmadja (1977) melaporkan bahwa bibit bagian ujung merupakan bibit yang tumbuh lebih cepat dibandingkan bagian lainnya, bibit yang lebih muda tampak memberikan gambaran yang terbaik untuk dijadikan bibit. Berat bibit awal 50 g mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan berat bibit 100 dan 150 g. Semakin kecil berat bibit awal, persaingan untuk mendapatkan dan menggunakan unsur hara yang berasal dari perairan di sekitarnya semakin kecil, sehingga pertumbuhannya semakin cepat. Dengan semakin banyaknya unsur hara yang dikonsumsi oleh rumput laut maka laju pertumbuhannya semakin cepat. Sulistijo dan Atmadja (1977) mengatakan bahwa bibit awal yang lebih sedikit memberikan pertumbuhan yang lebih cepat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii yang di budidayakan di Dusun Wael menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan sampai pada umur panen 50 hari, kemudian mengalami penurunan pada umur panen 55 hari. puncak pertumbuhan.
Rumput laut dipanen setelah mencapai
Yunizal et al. (2000) melaporkan bahwa rumput laut
dipanen setelah tingkat pertumbuhannya mencapai puncak, yaitu beratnya mencapai ± 600 g/rumpun.
Lama pemeliharaan tergantung dari lokasi, jenis
rumput laut, serta metode penanaman
4.4 Berat Kering Eucheuma cottonii Rata-rata berat kering yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 62,13-191,37 g (Gambar 9). Berat kering rumput laut terendah dan tertinggi masing-masing diperolah dari perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 50 g, umur panen 40 hari, dan bagian thalus ujung, berat bibit 150 g, umur panen 50 hari. Bagian thalus, berat bibit, umur panen, dan interaksi berat bibit dan umur
panen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap berat kering rumput
Berat kering (g)
laut Eucheuma cottonii. 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
Berat kering (g)
(a) Thalus ujung 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 9. Berat kering Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Bertambahnya umur panen, berat kering rumput laut cenderung meningkat. Peningkatan berat kering ini terjadi seiring dengan peningkatan berat basah rumput laut pada setiap umur panen.
Dengan bertambahnya berat basah,
cenderung menyebabkan berat kering juga meningkat. Produksi berat kering ratarata rumput laut Eucheuma cottonii pada bibit bagian thalus ujung cenderung lebih tinggi, dibandingkan dengan bibit bagian thalus pangkal pada semua umur panen. Bagian thalus ujung memperlihatkan pertumbuhan berat basah yang lebih tinggi
dan akan menghasilkan berat kering yang lebih tinggi pula. Berat bibit awal yang lebih kecil menunjukkan persentase antara berat bibit awal dengan berat kering lebih tinggi dibandingkan dengan berat bibit yang lebih besar. Hasil penelitian Iksan (2005) melaporkan bahwa produksi bobot kering rumput laut Eucheuma cottonii selama 10 minggu pada bobot bibit awal yang berbeda umumnya meningkat dan mencapai puncak pada minggu ke 4, kemudian terjadi fluktuasi di minggu ke 5 dan 6, dan terjadi penurunan sampai minggu ke 10. Bobot awal 125 g memperlihatkan puncak produksi bobot kering yang lebih jelas dibandingkan dengan bobot awal lainnya (50 dan 200 g). Rumput laut asal thalus ujung dan tengah cenderung lebih tinggi produksi bobot kering dari asal thalus pangkal. Produksi berat kering rumput laut dipengaruhi juga oleh kandungan air yang terkandung dalam rumput laut tersebut. Permukaan thalus dengan diameter yang lebih besar atau luas permukaannya lebih besar, lebih lambat terjadi penguapan dibandingkan dengan diameter thalus yang lebih kecil pada waktu pengeringan yang sama. Bagian thalus yang muda lebih banyak kandungan air jika dibandingkan dengan bagian thalus yang lebih tua.
Kondisi ini sangat
mempengaruhi berat kering dari rumput laut itu sendiri.
4.5 Komposisi Kimia Eucheuma cottonii Rumput laut yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan karaginan diperoleh dari hasil budidaya di Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku, yang dibudidaya dengan menggunakan metode longline dengan tiga perlakuan utama yaitu bagian thalus (ujung dan pangkal), berat bibit (50, 100 dan 150 g) dan umur panen (40, 45, 50 dan 55 hari). Rumput laut hasil budidaya setelah panen kemudian dilakukan pencucian dengan air laut untuk menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian dijemur selama 4 hari, sehingga diperoleh rumput laut kering.
Rumput laut kering kemudian
dikemas dalam kantung plastik yang selanjutnya digunakan sebagai bahan baku untuk ekstraksi karaginan. Sebelum ekstraksi karaginan rumput terlebih dulu diuji komposisi kimianya, yaitu kadar air, abu, dan abu tidak larut asam.
4.5.1 Kadar air Kadar air pada rumput laut merupakan komponen yang penting karena berhubungan dengan mutu rumput laut. Rata-rata kadar air rumput laut kering Eucheuma cottonii berkisar antara 28,94–33,35% (Gambar 10). 40 35 Kadar air (%)
30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(a) Thalus ujung 40 35 Kadar air (%)
30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 10. Kadar air Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Kadar air rumput laut cenderung mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen. Hal ini diduga karena sifat hidrofiliknya sehingga rumput laut dapat menyerap air yang cukup banyak dalam bentuk air terikat, seiring dengan bertambahnya umur panen.
Kadar air hasil penelitian masih
memenuhi standar mutu rumput laut kering yang dikeluarkan oleh SNI 1992 yaitu maksimum 35%.
4.5.2 Kadar abu Kandungan
abu menunjukkan
besarnya
kandungan
mineral
pada
rumput laut kering yang tidak terbakar selama pengabuan. Kadar abu rumput laut terutama terdiri dari garam natrium yang berasal dari air laut yang menempel pada thalus rumput laut (Hirao 1971). Hasil analisis kadar abu pada penelitian ini berkisar antara 6,67-28,81% (Gambar 11). 35
Kadar abu (%)
30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(a) Thalus ujung 35
Kadar abu (%)
30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 11. Kadar abu Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Dengan bertambahnya umur panen, kadar abu rumput laut cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan dengan semakin lama rumput laut berada dalam suatu perairan maka semakin besar garam-garam mineral yang diserap oleh rumput laut. Rumput laut dengan perlakuan berat bibit awal 50 g mengandung lebih banyak kadar abu. Hal ini diduga karena semakin kecil berat
bibit rumput laut maka proses penyerapan garam-garam mineral semakin besar, karena persaingan untuk mendapatkan unsur hara dan garam-garam mineral semakin rendah. Bobot awal thalus memiliki pengaruh terhadap persaingan antar thalus dalam suatu tanaman, baik dalam memanfaatkan ruang, sinar matahari maupun zat-zat hara yang diperlukan. Kadar abu hasil penelitian belum memenuhi kisaran yang ditetapkan oleh FAO, yaitu sebesar 15-40%. Kisaran kadar abu yang dihasilkan dari penelitian ini, secara umum pada umur panen 50 dan 55 hari sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan oleh FAO, tetapi pada umur 40 dan 45, masih dibawah standar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa diduga rumput laut yang dipanen pada umur 40 dan 45 hari belum banyak menyerap garam-garam mineral baik yang berasal dari air hujan, air dari sungai yang masuk ke laut tempat budidaya ataupun yang ada di perairan sekitar lokasi budidaya. 4.5.3 Kadar abu tidak larut asam Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut dalam asam pada suatu produk. Hasil analisis kadar abu tidak larut asam berkisar antara 1,02-5,82% (Gambar 12). Hasil analisis kadar abu tidak larut asam yang dihasilkan dari penelitian ini belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh EEC yaitu maksimum 2%, FAO dan FCC maksimum 1%. Hal ini diduga disebabkan oleh proses penanganan bahan baku yang kurang baik, ataupun terkontaminasi pada saat penjemuran. Oleh karena proses pengeringan menggunakan cahaya matahari dalam keadaan terbuka sehingga sangat berpeluang untuk terkontaminasi.
Kadar abu tidak larut asam (%)
7 6 5 4 3 2 1 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 150 g
Berat bibit 150 g
Kadar abu tidak larut asam (%)
(a) Thalus ujung 7 6 5 4 3 2 1 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 12. Kadar abu tidak larut asam Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. 4.6 Karaginan Eucheuma cottonii Karaginan merupakan getah rumput laut dari jenis Eucheuma cottonii yang diekstrak dengan air atau larutan alkali panas.
Rumput laut jenis
Eucheuma cottonii yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan karaginan berasal dari hasil budidaya di perairan Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku dengan perlakuan bagian thalus, berat bibit dan umur panen. Penelitian pada tahap ini bertujuan menentukan kondisi terbaik dari hasil ekstraksi karaginan. Penentuan kondisi terbaik dipilih
berdasarkan parameter rendemen, kekuatan gel, viskositas, kadar air, dan kadar abu yang sesuai dengan standar mutu karaginan. 4.6.1 Rendemen karaginan Rendemen karaginan adalah berat karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering dan dinyatakan dalam persen. Rata-rata rendemen karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 25,02-31,16% (Gambar 13). Rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar persyaratan minimum rendemen karaginan yang ditetapkan oleh Departemen perdagangan (1989), yaitu sebesar 25%. 35
Rendemen (%)
30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(a) Thalus ujung 35
Rendemen (%)
30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 13. Rendemen karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen.
Nilai rendemen tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada kombinasi perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit 150 g, umur panen 50 hari dan kombinasi perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 100 g dan umur panen 40 hari. Bagian thalus dan umur panen memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan (Lampiran 9b). Umur panen 50 hari memberikan nilai rendemen tertinggi, dan berbeda nyata dengan umur panen 40, 45 dan 55 hari (Lampiran 9c). Rendemen karaginan mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen sampai pada umur panen 50 hari tetapi mengalami penurunan pada umur panen 55 hari. Hasil rata-rata rendemen berdasarkan umur panen menunjukkan bahwa umur panen 50 hari menghasilkan rendemen lebih tinggi.
Hal ini
disebabkan karena semakin tua umur panen maka kandungan polisakarida yang dihasilkan semakin banyak sehingga kandungan karaginannya juga semakin tinggi (Syamsuar 2006).
Pada umur 55 hari rendemen yang dihasilkan mengalami
penurunan. Penambahan umur panen akan meningkatkan berat basah dan diikuti dengan penambahan kadar karaginan sampai batas tertentu dan cenderung menurun seiring dengan penambahan berat basah dan umur panen. Berdasarkan hasil laporan penelitian BPPT (1985) diacu dalam Mukti (1987) bahwa pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu pada saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum. Perlakuan bagian thalus juga mempengaruhi rendemen karaginan yang dihasilkan. Perlakuan bagian thalus ujung menghasilkan kandungan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian thalus pangkal. Hal ini diduga karena bibit bagian ujung merupakan bibit yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan bagian lainnya.
Glenn dan Doty (1981) diacu
dalam Iksan (2005)
menyatakan bahwa bagian paling ujung rumput laut menunjukkan laju fotosintesis yang paling besar dibanding bagian lain yang jaraknya jauh dari ujung. 4.6.2 Kekuatan gel karaginan Salah satu sifat penting karaginan adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible. Kemampuan inilah yang menyebabkan karaginan sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun non-pangan.
Kekuatan
gel karaginan yang
dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 113,33-273,33 g/cm2 yang masing masing dihasilkan dari perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit 50 g, umur panen 50 hari dan bagian thalus ujung, berat bibit 100 g, umur panen 40 hari (Gambar 14). Kekuatan gel yang dihasilkan dari penelitian ini masih di bawah standar, yaitu 900-1200 g/cm2. Berat bibit, umur panen dan interaksi berat bibit dan umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kekuatan gel karaginan (Lampiran 10b). Interaksi berat bibit 150 g dan umur panen 50 hari, memberikan nilai kekuatan gel tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan interaksi berat bibit 50 g dan umur panen 50 hari (Lampiran 10c).
Kekuatan gel (g/cm 2)
300 250 200 150 100 50 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(a) Thalus ujung
Kekuatan gel (g/cm 2)
300 250 200 150 100 50 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 14. Kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit dan umur panen.
Kekuatan gel karaginan yang dihasilkan secara umum cenderung mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen. Pertambahan umur panen akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa yang merupakan senyawa yang berperan penting dalam pembentukan gel karaginan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Friedlander dan Zelokovitch (1984) diacu dalam Syamsuar (2006), bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan banyaknya kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya.
Selanjutnya
menyebabkan
sifat
menurut
beraturan
Moirano
dalam
(1977),
polimer
yang
3,6-anhidrogalaktosa akan
menyebabkan
meningkatnya potensi pembentukan heliks rangkapnya sehingga pembentukan gel lebih cepat dicapai. Interaksi antar perlakuan juga berpengaruh terhadap kekuatan gel karaginan. Interaksi berat bibit 50 g dengan umur panen 50 hari memberikan nilai kekuatan gel tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan interaksi berat bibit 150 g dengan umur panen 50 hari. 4.6.3 Viskositas karaginan Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan karaginan sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu.
Viskositas
o
karaginan biasanya diukur pada suhu 75 C dengan konsentrasi 1,5% (FAO 1990). Rata-rata viskositas karaginan yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 14,56-42,83 cP, yang masing-masing dihasilkan pada perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 150, umur panen 40 hari dan bagian thalus pangkal, berat bibit 150, umur panen 55 (Gambar 15).
Berat bibit, umur panen dan
interaksi berat bibit dan umur panen memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap viskositas karaginan (Lampiran 11b). Perlakuan berat bibit 150 memberikan viskositas karaginan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan berat bibit 50 dan 100 g. Hal ini diduga berat bibit 150 g memiliki kandungan sulfat yang tinggi. Interaksi berat bibit dan umur panen berpengaruh juga terhadap viskositas karaginan. Interaksi berat bibit 150 g dengan umur panen 40 hari memiliki nilai viskositas tertinggi dan berbeda nyata dengan interaksi lainnya (Lampiran 11c).
Viskositas (cP)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
Viskositas (cP)
(a) Thalus ujung 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 14. Viskositas karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Nilai
viskositas
karaginan
cenderung
menurun
sejalan
dengan
bertambahnya umur panen. Penurunan viskositas dengan bertambahnya umur panen disebabkan karena penurunan kandungan sulfat. Menurut Guiseley et al. (1980), viskositas pada karaginan disebabkan oleh adanya daya tolak menolak antar grup sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya, sehingga menyebabkan molekul tersebut dikelilingi oleh air yang tidak bergerak dan hal inilah yang menyebabkan nilai viskositas karaginan meningkat.
4.6.4 Kadar air Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam karaginan. Ratarata kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 9,70-11,90% (Gambar 16). Umur panen dan interaksi perlakuan berat bibit dan umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar air karaginan yang dihasilkan (Lampiran 12b), dimana perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 50 g dan umur panen 55 hari memiliki kadar air tertinggi (11,90%). 14
Kadar air (%)
12 10 8 6 4 2 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(a) Thalus ujung 14
Kadar air (%)
12 10 8 6 4 2 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus pangkal Gambar 16. Kadar air karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Pertambahan umur panen menyebabkan kandungan air meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena semakin tua umur panen jumlah air yang
diserap oleh rumput laut semakin banyak baik sebagai air bebas maupun air terikat, sehingga jumlah air pada umur panen 55 hari lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur panen 50, 45 dan 40 hari. Meningkatnya kandungan air rumput laut berkorelasi positif dengan meningkatnya kandungan air karaginan. Kandungan air pada karaginan yang dihasilkan diduga merupakan air terikat (fisik dan kimia), sedangkan air bebas kemungkinan telah menguap. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO yaitu maksimum 12%. Interaksi berat bibit 50 g dan umur panen 55 hari menghasilkan kadar air tertinggi. Hal ini dapat diduga bahwa semakin kecil berat bibit dan semakin lama rumput laut berada di perairan akan semakin banyak kadar air yang diserap oleh rumput laut untuk mensintesis karbohidrat, sehingga menyebabkan kadar air pada karaginan dalam rumput laut cenderung lebih tinggi. 4.6.5 Kadar abu Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut (Apriyantono et al. 1989). Rata-rata kadar abu karaginan yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 12,89-21,43%. Kadar abu karaginan hasil ekstraksi masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO, EU dan ECC yaitu sekitar 15–40%, sedangkan FCC menetapkan kadar abu maksimum 35%. Pengaruh bagian thalus, berat bibit dan umur panen terhadap kadar abu karaginan Eucheuma cottonii yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 17.
25
Kadar abu (%)
20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(a) Thalus ujung 25
Kadar abu (%)
20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari) Berat bibit 50 g
Berat bibit 100 g
Berat bibit 150 g
(b) Thalus Pangkal Gambar 17. Kadar abu karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Semakin tua umur panen kadar abu karaginan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin lama rumput laut berada dalam suatu perairan, maka semakin banyak kandungan garam-garam mineral yang diserap oleh rumput laut yang dapat menyebabkan kadar abu karaginan juga meningkat. Suryaningrum
et
al. (1991) menyatakan bahwa tingginya kadar abu karaginan karena sebagian besar berasal dari garam dan mineral lainnya yang menempel pada rumput laut, seperti
K,
Mg,
Ca,
Na
dan
ammonium
galaktosa
serta
kandungan
3,6-anhidrogalaktosa. Faktor lain yang menyebabkan tingginya kadar abu, diduga disebabkan oleh air hujan dan air dari sungai yang masuk ke perairan tempat
budidaya. Ahmadi (2004) mengatakan bahwa kadar abu karaginan yang diperoleh terutama terdiri dari kalium, natrium, magnesium dan kalsium, karena karaginan merupakan hidrokoloid yang terutama terdiri dari ester sulfat, kalium, natrium, magnesium,
kalsium
dan
amonium
dari
galaktosa,
dan
3,6 anhidro-D-galaktosa. 4.7 Karakteristik Karaginan Terbaik Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diperoleh empat kombinasi perlakuan terbaik yang akan dianalisis lebih lanjut karakteristik fisiko-kimia karaginannya. Parameter mutu yang dijadikan kriteria utama dalam penentuan perlakuan terbaik adalah kecepatan pertumbuhan berat basah rumput laut dan kekuatan gel karaginan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perlakuan bagian thalus ujung memiliki laju pertumbuhan dan kekuatan gel tertinggi, sedangkan perlakuan berat bibit menunjukkan bahwa berat bibit 50 g memiliki laju pertumbuhan dan kekuatan gel tertinggi. Pada penelitian tahap ini ditetapkan kombinasi perlakuan yang dipilih adalah bagian thalus ujung, berat bibit 50 g pada berbagai umur panen yaitu, 40, 45, 50, dan 55 hari.
Hubungan antara laju
pertumbuhan harian rumput laut dan kekuatan gel kombinasi perlakuan terbaik
Kekuatan gel (g/cm 2)
5.82
5.80
300
5.45
250,00
250
273.33
200 173.33
150 100
5.06
116.66
50 0 40
45
50
6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Laju pertumbuhan (%)
dapat dilihat pada Gambar 18.
55
Umur panen (hari) Kekuatan gel
Laju pertumbuhan
Gambar 18. Hubungan antara laju pertumbuhan harian rumput laut dan kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii.
Laju pertumbuhan harian rumput laut dan kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii akan meningkat seiring dengan pertambahan umur panen, dan akan menurun setelah mencapai puncak pertumbuhan. Rumput laut Eucheuma cottonii yang dibudidayakan di Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat mempunyai puncak pertumbuhan pada umur panen 50 hari. 4.7.1 Sifat fisik karaginan Sifat fisik karaginan Eucheuma cottonii yang dianalisis pada penelitian tahap ini adalah: kekuatan gel, viskositas, titik jendal, titik leleh, dan derajat putih. 4.7.1.1 Kekuatan gel Karaginan memiliki kemampuan membentuk gel saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan. Adanya selulosa pada produk akhir dapat mengakibatkan gel yang terbentuk akan lebih rapuh (Imeson 2000). Nilai kekuatan gel tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen 50 hari dan 40 hari dengan nilai berkisar antara 196,66-330 g/cm2 (Gambar 19). 330.00d
Kekuatan gel (g/cm 2)
350 300
266.66c 236.66b
250 196.66a
200 150 100 50 0 40
45
50
55
Umur panen (hari)
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 19. Kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.
Umur panen memberikan pengaruh
yang nyata (p<0,05) terhadap
kekuatan gel karaginan. Umur panen 50 hari memberikan nilai kekuatan gel tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 40, 45, dan 55 hari. Semakin tua umur panen kekuatan gel karaginan cenderung meningkat. Pertambahan umur panen akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan menurunnya kandungan sulfat.
Keadaan ini sesuai dengan pernyataan
Friedlander dan Zelokovitch (1984) diacu dalam Suryaningrum (1988) bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Moirano (1977) menjelaskan bahwa 3,6-anhidrogalaktosa menyebabkan sifat beraturan dalam polimer dan sebagai akibatnya akan mempertinggi potensi pembentukan heliks rangkapnya. Lebih lanjut Zabik dan Aldrich (1967) diacu dalam Suryaningrum (1988) menjelaskan bahwa pembentukan gel pada karaginan merupakan pengendapan yang melibatkan ikatan ionik antara kation logam tertentu dengan muatan negatif dari gugus ester sulfat. Apabila jumlah grup ester sulfat lebih banyak, maka sulfat tersebut akan berikatan dengan air. Oleh karena itu, jika kandungan sulfat pada karaginan tinggi, maka kerangka tiga dimensi yang terbentuk banyak menyerap air. Gel karaginan yang demikian ini apabila diberi tekanan akan sulit untuk mempertahankan bentuknya sehingga nilai kekuatan gelnya rendah. 4.7.1.2 Viskositas Viskositas merupakan faktor kualitas yang penting untuk zat cair dan semi cair (kental) atau produk murni, dimana hal ini merupakan ukuran dan kontrol untuk mengetahui kualitas dari produk akhir (Joslyn 1970).
Menurut Towle
(1973), viskositas karaginan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi, suhu, tingkat dispersi kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, tipe dan berat molekul. Rata-rata
viskositas
karaginan
yang
dihasilkan
berkisar
antara
30,13-44,00 cP (Gambar 20). Nilai viskositas tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen 40 hari dan 55 hari.
Umur panen memberikan
pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap viskositas karaginan. Umur panen
40
hari memberikan nilai viskositas tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 45, 50, dan 55 hari.
50
44.00d
45 Viskositas (cP)
40
35.60c
35
30.73b
30.13a
50
55
30 25 20 15 10 5 0 40
45
Umur panen (hari)
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 20. Viskositas karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen. Semakin tua umur panen viskositas larutan karaginan cenderung menurun. Hasil penelitian Suryaningrum (1988) dilaporkan bahwa peningkatan umur panen menurunkan viskositas larutan karaginan. Penurunan viskositas ini disebabkan oleh penurunan kandungan sulfat.
Moirano (1977) menambahkan bahwa
viskositas pada karaginan disebabkan oleh adanya daya tolak menolak antara grup sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya, sehingga menyebabkan rantai polimer kaku dan tertarik kencang, sehingga molekul-molekul air terikat pada molekul karaginan yang mengakibatkan meningkatnya viskositas. 4.7.1.3 Titik jendal dan titik leleh Titik jendal adalah suhu larutan karaginan dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel, sedangkan titik leleh merupakan kebalikan dari titik gel yaitu suhu larutan karaginan ini mencair dengan konsentrasi tertentu. Rata-rata nilai titik jendal dan titik leleh karaginan yang dihasilkan berkisar antara
30,53-
33,20 oC dan 41,30-43,26 oC masing-masing dihasilkan pada umur panen 50 hari dan 40 hari (Gambar 21).
Umur panen memberikan pengaruh
yang nyata
(p<0,05) terhadap titik jendal dan titik leleh karaginan. Umur panen 50 hari memberikan nilai titik jendal dan titik leleh tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 40, 45, dan 55 hari.
40
Titik jendal ( o C)
35
32.13b
30.53a
33.20c
32.43bc
50
55
30 25 20 15 10 5 0 40
45
Umur panen (hari)
(a) Titik jendal karaginan 50 41.30a
45
42.73a
43.50b
43.26b
45
50
55
Titik leleh ( o C)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 40
Umur panen (hari)
(b) Titik
leleh Karaginan
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 21. Titik jendal dan titik leleh karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen. Titik jendal dan titik leleh karaginan mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen.
Pertambahan umur panen akan meningkatkan
kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan menurunnya kandungan sulfat.
Semakin
tinggi kandungan 3,6-anhidrogalaktosa nilai titik jendal dan titik leleh semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suryaningrum (1988) bahwa suhu titik jendal dan
titik
leleh
berbanding
lurus
dengan
kandungan
3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Selanjutnya Reen (1986) diacu dalam Syamsuar (2006) menyatakan bahwa adanya
sulfat cenderung menyebabkan polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga suhu titik gel sulit terbentuk. 4.7.1.4 Derajat putih Warna kecoklatan pada karaginan bisa disebabkan masih adanya selulosa, pigmen fikoeritin, dan fikosianin. Selain sebagai komponen yang tidak larut air, selulosa juga menyebabkan warna karaginan menjadi keruh (Imeson 2000). Penyaringan dengan saringan nilon mesh berfungsi untuk mengurangi kandungan selulosa pada karaginan. Rata-rata nilai derajat putih karaginan berkisar antara 35,54-41,36%. Nilai derajat putih tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen hari dan 55 hari.
Umur panen memberikan pengaruh
40
yang nyata (p<0,05)
terhadap derajat putih karaginan. Umur panen 40 hari memberikan nilai derajat putih
tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 45, 50, dan 55 hari.
Histogram derajat putih karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen
Derajat putih (%)
dapat dilihat pada Gambar 22.
45 40 35
41.36d 39.10c
38.36b 35.54a
30 25 20 15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari)
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 22. Derajat putih karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen. Pertambahan umur panen cenderung menyebabkan nilai derajat putih karaginan mengalami penurunan.
Hal ini diduga, dengan pertambahan umur
panen akan meningkatkan kandungan selulosa, yang merupakan komponen yang dapat mempengaruhi warna karaginan. Adanya selulosa dalam karaginan dalam
jumlah yang tinggi tidak diharapkan karena dapat menyebabkan warna karaginan menjadi keruh (Bixler dan Jhondro 2000).
4.7.2 Sifat kimia karaginan Sifat kimia karaginan Eucheuma cottonii yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, kadar abu tidak larut asam dan kadar sulfat. 4.7.2.1 Kadar air Kadar air menyatakan jumlah air serta bahan-bahan volatil yang terkandung dalam karaginan. Kadar air suatu produk biasanya ditentukan oleh kondisi pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan. Kondisi penyimpanan dan pengeringan yang kurang baik menyebabkan kandungan air pada produk tinggi sehingga bahan lebih cepat mengalami kerusakan.
Demikian pula kondisi
pengemasan yang kurang baik akan meningkatkan kandungan air pada produk sehingga mutu produk yang dihasilkan menjadi menurun. Rata-rata kadar air tepung karaginan yang dihasilkan berkisar antara 9,43-11,28% berturut-turut diperoleh pada umur panen 40 hari dan 55 hari (Gambar 23). Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar air karaginan. Umur panen 55 hari memberikan kadar air tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 40, 45, dan 50 hari.
10.86b
12
Kadar air (%)
10
11.28b
10.19ab 9.43a
8 6 4 2 0 40
45
50
55
Umur panen (hari)
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 23. Kadar air karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.
Kadar air karaginan mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen.
Hal ini diduga karena sifat hidrofiliknya sehingga rumput laut dapat
menyerap air yang cukup banyak ketika semakin lama di perairan. Tingginya kadar air rumput laut menyebabkan kadar air karaginan yang dikandungnya juga tinggi. Kandungan air karaginan yang terukur merupakan air terikat terutama yang terikat secara kimia, sedangkan air bebas kemungkinan telah menguap. Kadar air karaginan yang diperoleh dari penelitian ini memenuhi kisaran yang ditetapkan oleh FAO, FCC, maupun ECC yaitu maksimum 12%.
4.7.2.2 Kadar abu Sebagian besar bahan makanan, yaitu 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yang juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 1977). Nilai kadar abu tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen 55 hari dan 40 hari dengan nilai masing-masing sebesar 25,30% dan 16,60% (Gambar 24). Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar abu karaginan. Umur panen 55 hari memberikan kadar abu tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 40, 45, dan 50 hari. 30 25.30c 22.76b
25 Kadar abu (%)
20.44b
20
16.60a
15 10 5 0 40
45
50
55
Umur panen (hari)
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 24. Kadar abu karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.
Bertambahnya umur panen cenderung menyebabkan kadar abu karaginan mengalami peningkatan. Rumput laut termasuk bahan pangan yang mengandung mineral cukup tinggi karena kemampuannya dalam mengabsorb mineral yang berasal dari lingkungannya. Perairan dengan salinitas yang tinggi menyebabkan rumput laut banyak mengandung garam-garam mineral. Mineral makro seperti Na, Ca, K, Cl, Mg, P, S dan trace element seperti I, Mn, Cu, Fe banyak dijumpai pada rumput laut (Ensminger et al. 1995; Santoso et al. 2004; Santoso et al. 2006). Kadar abu karaginan yang diperoleh dari penelitian ini masih memenuhi standar spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO sebesar 15-40%. 4.7.2.3 Kadar abu tidak larut asam Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan (Basmal et al. 2003). Rata-rata kadar abu tidak larut asam tepung karaginan yang dihasilkan berkisar antara 0,60-0,91% (Gambar 25).
Nilai kadar abu tidak larut asam
tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen 55 hari dan 40 hari.
Kadar abu tidak larut asam (%)
1
0.88b
0.91b
0.8 0.60a
0.63a
0.6 0.4 0.2 0 40
45
50
55
Umur panen (hari)
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 25. Kadar abu tidak larut asam karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.
Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar abu tidak larut asam karaginan. Umur panen 55 hari memberikan kadar abu tidak larut asam tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 40, 45, dan 50 hari. Rendahnya kadar abu tidak larut asam ini menunjukkan karaginan yang dihasikan pada penelitian ini tidak banyak terkontaminasi selama proses penanganan bahan baku dan pengolahan. Kadar abu tidak larut asam yang diperoleh dari penelitian ini masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh EEC sebesar maksimum 2%, sedangkan FAO dan FCC menetapkan maksimum 1%. 4.7.2.4 Kadar sulfat Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno 1996). Hasil ekstraksi rumput laut bisa dibedakan berdasarkan kandungan sulfat.
Agar-agar
mengandung sulfat tidak lebih dari 3-4% dan karaginan minimal 18% (Moirano 1977). Kadar sulfat tertinggi dihasilkan pada umur panen 40 hari, sedangkan yang terendah pada umur panen 50 hari dengan nilai berturut-turut sebesar 30,05% dan 27,43% (Gambar 26). Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar sulfat karaginan. Umur panen 40 hari memberikan kadar sulfat tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 45, 50, dan 55 hari.
35
30.05d
29.36c
Kadar sulfat (%)
30
27.43a
28.13b
50
55
25 20 15 10 5 0 40
45
Umur panen (hari)
Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05).
Gambar 26. Kadar sulfat karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.
Pertambahan umur panen cenderung menyebabkan kadar sulfat karaginan mengalami penurunan.
Kandungan sulfat berbanding lurus dengan viskositas
karaginan. Rendahnya kadar sulfat pada karaginan dapat menyebabkan viskositas karaginan menurun. Syamsuar (2006) melaporkan bahwa bertambahnya umur panen dapat menurunkan viskositas karaginan, hal ini disebabkan karena penurunan kandungan sulfat. Kadar sulfat yang dihasilkan dari penelitian ini masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh EEC dan FAO yaitu berkisar antara 15-40%, sedangkan FCC menetapkan 18-40%.
4.8 Logam Berat Dewasa ini pencemaran lingkungan khususnya perairan oleh logam berat bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi juga internasional. Pencemaran logam berat dapat berasal dari kegiatan industri maupun alam. Pencemaran air dapat berupa garam dari logam berat dan logam berat yang membentuk senyawa toksik. Logam berat yang sering terdapat dalam pencemaran air adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Kromium (Cr), dan Seng (Zn) dalam bentuk senyawa toksik. Faktor lain sebagai salah satu sumber pencemaran di laut saat ini adalah penggunaan cat antiorganisme penempel (antifouling). Ternyata cat antifouling telah menimbulkan pencemaran logam berat yang serius di laut serta sedimen di dok dan tempat sandar kapal. dikandungnya
adalah
tembaga,
timbal,
timah,
zink
Senyawa yang dan
air
raksa
(Mukhtasor 2007). Karaginan yang dianalisis logam beratnya adalah karaginan dari kombinasi perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit 50 g dan umur panen 50 hari, yang merupakan kombinasi perlakuan terbaik. Hasil pengukuran logam berat (timbal, tembaga, dan seng) dari karaginan Eucheuma cottonii terbaik dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan logam berat karaginan Eucheuma cottonii. Jenis logam (ppm) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn)
Karaginan Eucheuma cottonii 0,0177 0,0076 0,0266
Karaginan yang dihasilkan mengandung logam berat Timbal, Tembaga dan Seng masing masing sebesar 0,0177 ppm, 0,0076 ppm dan 0,0266 ppm. Dibandingkan dengan unsur logam berat Merkuri dan Kadmium, maka unsur Timbal ini tidak begitu beracun, tetapi unsur ini bersifat kronis dan kumulatif (Mukhtasor 2007). Tembaga termasuk dalam kelompok logam esensial dan dalam kadar yang rendah diperlukan oleh mikroorganisme perairan sebagai
ko-enzim
dalam proses metabolisme tubuh dan sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Syamsuar (2006) menyimpulkan bahwa adanya kandungan logam berat Timbal dan Tembaga diperairan menunjukkan adanya pencemaran di lokasi budidaya rumput laut, karena rumput laut mampu menyerap logam berat dari perairan melalui proses absorbsi. Adanya seng dalam karaginan disebabkan oleh akumulasi seng oleh rumput laut melalui absorbsi atau proses pertukaran ion. Proses ini terjadi melalui dinding sel rumput laut, yang kemudian bersenyawa dengan protein dan polisakarida. Kandungan logam berat tepung karaginan hasil penelitian sangat kecil sehingga memenuhi standar mutu karaginan yang ditetapkan oleh EEC untuk Pb maksimum 10 ppm, Cu maksimum 50 ppm, dan Zn maksimum 25 ppm (A/S Kobenhvns Pektifabrik 1978).