8
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan potensi guna menambah kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya (Mulyanto 2008). Pengembangan wilayah harus didasarkan pada potensi sumber daya yang ada pada daerah tersebut untuk pertumbuhan wilayahnya. Menurut Rustiadi et al. (2011), terdapat dua strategi pengembangan wilayah. Pertama, strategi Demand Side, yaitu strategi pengembangan wilayah yang dupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal dengan tujuan meningkatkan taraf hidup penduduk. Kedua, strategi Supply Side, yaitu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar dengan tujuan untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumber daya alam lokal. Konsep pengembangan wilayah didasarkan pada prinsip: (1) berbasis sektor unggulan, (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah, (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu, (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan belakang dan (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Setiawan 2010). Menurut Riyadi (2000), terdapat tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah sebagai bentuk kesuksesan pembangunan daerah. Indikator pertama adalah produktivitas, yang dapat diukur dari perkembangan kinerja suatu institusi beserta aparatnya. Indikator kedua adalah efisiensi, yang terkait dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga adalah partisipasi masyarakat, yang dapat menjamin kesinambungan pelaksanaan suatu program di suatu wilayah. Ketiga indikator tersebut terkait erat dengan faktor-faktor yang menjadi ciri suatu wilayah dan membedakannya dengan wilayah lainnya seperti kondisi politik dan sosial, struktur kelembagaan, komitmen aparat dan masyarakat dan tingkat kemampuan/pendidikan aparat dan masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan pengembangan suatu wilayah bergantung pula pada kemampuan berkoordinasi, mengakomodasi dan memfasilitasi semua kepentingan serta kreativitas yang inonatif untuk terlaksananya pembangunan yang aspiratif dan berkelanjutan. Pengembangan wilayah melalui kebijaksanaan pewilayahan komoditi yang dikembangkan di Sulawesi Selatan pada Pelita V berakar pada salah satu teori pertumbuhan regional yang dikembangkan oleh Douglas C. North dan dilanjutkan kemudian oleh Tiebout yaitu “Export Base Models” dengan mendasarkan pandangannya dari sudut Teori Lokasi. Teori ini berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan lebih banyak ditentukan oleh jenis keuntungan lokasi yang selanjutnya dapat digunakan oleh daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumnya berbeda-beda setiap wilayah tergantung keadaan geografi. Ini berarti bahwa untuk dapat meningkatkan pertumbuhan
9 ekonomi suatu wilayah, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya (Bappeda Prov.Sul-Sel 1988).
2.2 Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk mengembangkan kapasitas masyarakat pertanian, khususnya memberdayakan petani, peternak dan nelayan agar mampu melaksanakan kegiatan ekonomi produktif secara mandiri dan selanjutnya mampu memperbaiki kehidupannya sendiri (Solahuddin 2009). Menurut Dillon (2004), sektor pertanian mempunyai 4 fungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa, yaitu: (1) mencukupi pangan dalam negeri, (2) penyediaan lapangan kerja dan berusaha, (3) penyediaan bahan baku untuk industri dan (4) sebagai penghasil devisa negara. Pembangunan pertanian di Kabupaten Bulukumba menurut Patedduri (2004) harus mencakup empat hal penting sebagai grand strategy, yaitu: 1. Pembangunan pertanian harus menjadi inti pembangunan Kabupaten Bulukumba, dengan kata lain program pembangunan harus menjadi skala prioritas dari keseluruhan rencana pembangunan di Kabupaten Bulukumba. 2. Pembangunan pertanian melalui pendekatan sistem agribisnis. Dalam kurun waktu lama, petani telah memperlihatkan keterampilan yang memadai pada komoditi tertentu namun untuk mencapai kesejahteraan perlu dibangun suatu interaksi terkait antara petani sebagai produsen hasil pertanian, pengusaha pengolah komoditas pertanian, pihak-pihak yang memasarkan produk-produk hasil olahan dan para pengusaha yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan, pengkreditan dan lain-lain. 3. Keberpihakan pemerintah daerah pada pembangunan sektor pertanian yang ditandai dengan membangun sistem koordinasi yang akurat untuk semua sektor pendukung lainnya. 4. Pengembangan agribisnis harus dalam upaya meningkatkan daya saing, membangun ekonomi kerakyatan dan berkelanjutan. Peran pemerintah daerah sangat penting untuk mencari pelaku pasar dan pelaku agribisnis lainnya.
2.3 Sektor dan Komoditas Unggulan Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan pengembangan wilayah. Wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan pada wilayah tersebut mendorong pengembangan sektor lainnya yang terkait sehingga membentuk suatu sistem keterkaitan antar sektor. Pengembangan.sektor inilah yang menjadi salah satu pendekatan yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan wilayah (Djakapermana 2010). Sektor basis yaitu sektor yang produksinya diekspor ke luar wilayahnya dan pendapatannya merupakan sumber pendapatan wilayah bersangkutan. Sektor non basis merupakan sektor yang kegiatannya melayani kebutuhan hidup penduduk di wilayahnya saja (Setiono 2011).
10 Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan baik pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagan (penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya manusia, infrastruktur dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan di suatu wilayah (Yulianti 2011). Kriteria komoditi unggul menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010) yang disesuaikan dengan analisis dalam penelitian ini yaitu: 1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan konstribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. 2. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lainnya (competitiveness) di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan. 3. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas intensif dan lain-lain. Keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan keunggulan suatu sektor/komoditi dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor/komoditi pada wilayah lainnya dalam suatu wilayah lebih luas. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan keunggulan suatu sektor/komoditi relatif terhadap sektor/komoditi lainnya dalam suatu wilayah (Djakapermana 2010). Metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) merupakan dua metode yang mengindikasikan sektor/komoditi basis yang selanjutnya digunakan sebagai indikasi sektor/komoditi unggulan. LQ menggambarkan keunggulan komparatif dan SSA menggambarkan keunggulan kompetitif (Rustiadi et al. 2011). LQ adalah rasio dari peranan sektor lokal tertentu terhadap sektor yang sama di tingkat ekonomi acuan yang lebih luas. Jika nilai LQ untuk suatu sektor di perekonomian lokal lebih besar dari satu maka dianggap produksi lokal pada sektor yang bersangkutan relatif lebih tinggi daripada produksi ratarata wilayah acuan. Oleh sebab itu, wilayah lokal memiliki potensi untuk mengekspor produk sektor bersangkutan (Setiono 2011). Differential shift (DS) merupakan komponen dari SSA yang menunjukkan daya saing yang dimiliki suatu sektor di suatu wilayah dibandingkan dengan sektor yang sama pada wilayah acuan (Daryanto dan Hafizrianda 2010). Kelemahan metode LQ mengasumsikan homogenitas suatu kegiatan dalam suatu perhitungannya sangat kuat. Perhitungannya didasarkan pada pola kegiatan basis ekonomi yang pada kenyataannya kegiatan ekonomi sering juga dipengaruhi oleh mekanisme perdagangan/pemasaran, aspek politik dan keamanan (Djakapermana 2010). Keunggulan SSA yaitu dapat memotret tingkat keunggulan kompetitif secara tepat dan memetakan sejauh mana pengaruh pergeseran sektor tertentu di wilayah agregat terhadap kinerja sektor tertentu di wilayah tertentu. Keterbatasan analisis ini yaitu tidak mempertimbangkan perbedaan tingkat sektor antar wilayah dan hanya mengidentifikasi keunggulan kompetitif wilayah berdasarkan kinerja sektor dalam dua titik waktu sehingga tidak mempertimbangkan keunggulan komparatif aktual wilayah (Pribadi et al. 2011). Analisis SSA dalam hal ini
11 differential shift digunakan untuk melengkapi analisis LQ dalam melihat keunggulan suatu sub sektor atau komoditi.
2.4 Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian Agribisnis adalah bisnis yang berbasis pertanian yang dilaksanakan secara terpadu mulai dari hulu sampai ke hilir sesuai dengan sistem-sistem input produksi dan keluaran. Lingkup kegiatan usaha agribisnis mulai dari sub sistem input, sub sistem produksi, sub sistem agroindustri dan sub sistem pemasaran (Pasaribu 2012). Potensi komoditi pertanian di Indonesia cukup besar dan beberapa jenis komoditi sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri sehingga peranannya dalam ekonomi nasional dapat ditingkatkan. Upaya pengolahan komoditi pertanian menjadi beberapa produk sangat penting dalam rangka meningkatkan nilai tambah daya guna dari komoditi tersebut serta meningkatkan taraf hidup petani secara tidak langsung (Tambunan et al. 1993). Berkembangnya sektor pertanian yang kuat akan memberikan landasan bagi pengembangan industri berdaya saing tinggi dengan dukungan sumber daya yang memadai. Industri yang tumbuh pesat akan mampu menyerap dukungan sektor pertanian sekaligus meningkatkan nilai tambahnya (Sastrosoenarto 2006). Agroindustri berbasis sumber daya lokal pada era globalisasi akan berprospek cerah sehingga dimungkinkan akan menjadi leading sector. Pembangunan pertanian ke depan, strategi pembangunan agroindustri harus menjadi pilihan utama karena merupakan upaya peningkatan kesempatan kerja, peningkatan ekspor, pertumbuhan, pemerataan, pengentasan kemiskinan dan ketahanan nasional dapat terjamin sehingga agroindustri dapat dipandang sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Antuli 2007).
2.5 Partisipasi Petani Proses pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat dimulai dari aktivitas pemilihan komoditi dan jasa beserta keahlian dan cara-cara produksi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai potensi untuk dikembangkan dan menjadi prime mover dari kegiatan masyarakat tersebut. Karena itu, diharapkan dapat terciptanya nilai tambah mulai dari sisi bahan baku hingga sisi produknya. Dengan tujuan akhir bahwa penciptaan nilai tambah tersebut mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (Fitria 2004). Kaitannya dengan pembangunan, menurut Slamet (2003), untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yaitu: 1. Kemauan berpartisipasi Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktorfaktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan faktor penggerak perilaku manusia. Dalam proses pembangunan, faktor-faktor yang akan
12 mempengaruhi segi emosi dan perasaan itu adalah obyek pembangunan, pemrakarsa pembangunan, penggerak pembangunan serta kondisi-kondisi lingkungan tempat proses pembangunan itu berlangsung. 2. Kemampuan berpartisipasi Tingkat kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan tergantung banyak faktor yang saling berinteraksi, utamanya faktor pendidikan, keterampilan, pengalaman dan ketersediaan modal. 3. Kesempatan berpartisipasi Tingkat kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan tergantung banyak faktor yang saling berinteraksi, utamanya faktor ketersediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pembangunan, kelembagaan yang mengatur interaksi antar warga masyarakat dalam proses pembangunan. Birokrasi yang mengatur ramburambu serta menyediakan kemudahan-kemudahan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan serta faktor sosial budaya masyarakat akan sangat menentukan corak perilaku masyarakat dalam proses pembangunan. Faktor-faktor lainnya adalah kesesuaiannya dengan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat, ketersediaannya pada saat dibutuhkan. Menurut Sahidu (1998), partisipasi masyarakat dalam pembangunan hanya dapat ditingkatkan melalui peningkatan kemauan, kemampuan dan kesempatan karena sesungguhnya perilaku partisipasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor kemauan, kemampuan dan kesempatan. Ketiga faktor tersebut bagi masyarakat dapat ditingkatkan melalui peningkatan penyediaan dan pelayanan sarana dan prasarana pertanian, peningkatan “demokrasi pertanian” (pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada semakin berperannya petani dalam mengambil keputusan usaha taninya) serta peningkatan pemanfaatan potensi sumber daya lokal (tokoh masyarakat dan kelembagaan petani yang tumbuh dan berkembang di kalangan warga masyarakat setempat). Salah satu ciri daerah yang mandiri adalah peranan masyarakat yang tinggi dalam pembangunan. Mayarakat akan semakin terbuka, makin berpendidikan dan makin tinggi kesadarannya dengan demikian makin tanggap dan kritis terhadap segala hal yang menyangkut kehidupannya. Dalam masyarakat yang semakin maju dan berkembang, rakyat akan semakin aktif ikut serta dalam menentukan nasibnya sendiri. Peran masyarakat yang aktif akan lebih menumbuhkan potensi daerah, sehingga dapat mempercepat proses pertumbuhan daerah (Sumodiningrat 2011).