2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan Berkelanjutan Konsep
pembangunan
berkelanjutan
merupakan rumusan yang didasarkan
(sustainable
development)
pada laporan dari Brundtland Report
sebagai hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pembangunan
berkelanjutan
lebih
lanjut
didefinisikan sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk mewujudkan kebutuhannya (WCED 1987). Konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai dua arah yang harus diperhatikan yaitu pertama, mengingatkan pentingnya keterbatasan kendala sumberdaya alam dan lingkungan dalam mendukung pola pembangunan dan konsumsi dan pemanfaatan sumberdaya, dan kedua, menyangkut kebutuhan untuk kesejahteraan (well being) generasi kini dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga pilar tersebut akan saling berinteraksi tergantung kepada titik prioritas bersama yang akan terjadi saling tolak angsur (trade-off) antar tujuan (Munasinghe 1993). Konsep pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial (people), dan keberlanjutan ekologi. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi dan harus diperhatikan secara berimbang. Kerangka dimensi keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka tiga dimensi pembangunan berkelanjutan
10
Kerangka tiga dimensi pembangunan berkelanjutan menjelaskan, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kualitas sumberdaya alam terpelihara secara baik, dan penggunaan sumberdaya secara efisien, serta adanya distribusi hasil pemanfaatan yang berkeadilan diantara para pihak terkait. Pembangunan merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama, sehingga memberikan dampak terhadap aspek ekonomi, sosial, dan politik. Tujuan pembangunan yang merupakan vector dari berbagai aspek yang didukung
dengan
ketersediaan
sumberdaya
diarahkan
untuk
mencapai
kesejahteraan melalui (a) peningkatan pendapatan per kapita; (b) peningkatan kondisi kesehatan dan gizi masyarakat; (c) tingkat pendidikan; (d) akses terhadap sumberdaya; serta (e) distribusi pendapatan yang lebih merata dan lainnya. Keberlanjutan merupakan suatu syarat umum dimana karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sesuai dimensi waktu pemanfaatannya. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Cincin-Sain and Knecht 1998). Terkait dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Lebih lanjut, konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi. Pada tataran pengembangan konsep, keberlanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan
berkelanjutan
dengan
memadukan
keberlanjutan
ekologi,
11
keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung 4 (empat) aspek keberlanjutan yaitu keberlanjutan ekologi, sosial ekonomi,masyarakat/komunitas, dan kelembagaan (Fauzi dan Anna, 2005). Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu adanya upaya memelihara stok (biomass) sehingga tidak melebihi
daya
dukungnya,
serta
meningkatkan
kapasitas
dan
kualitas
ekosistemnya. Keberlanjutan sosio-ekonomi (socio-economic sustainability) harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat
individu
Keberlanjutan
dan
pencapaian
masyarakat/komunitas
kepada
kesejahteraan
(community
masyarakat.
sustainability)
yaitu
masyarakat harus menjadi perhatian utama dalam pembangunan perikanan. Keberlanjutan
kelembagaan
(institutional
sustainability)
yaitu
adanya
keberlanjutan pada aspek finansial dan administrasi yang sehat yang merupakan prasyarat untuk mencapai ketiga aspek keberlanjutan sebelumnya. 2.2
Pembangunan Berkeberlanjutan pada Perikanan Tangkap Pengelolaan sumberdaya perikanan lestari diawali dengan pendekatan
hasil tangkapan maksimum lestari atau maximum sustainable yield (MSY) yang ditunjukkan oleh produktivitas sumberdaya biologi semata (Fauzi 2002). Konsep ini belum mempertimbangkan pada spek sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat secara dinamis. Produktivitas setiap species biologis mampu berproduksi melebihi kapasitas prduksi (surplus), sehingga pemanenan dilakukan pada sejumlah surplus yang dihasilkan oleh produktivitas ini, dan sumberdaya perikanan tangkap akan terjaga kesinambungannya. Namun kondisi sosial ekonomi berkembang lebih cepat dari perkembangan biologis tersebut. Perikanan tangkap meruapakan suatu sistem agribisnis perikanan yang terdiri dari beberapa subsistem yang berpengaruh satu dengan yang lainnya. Subsistem-subsistem pada perikanan tangkap terdiri dari subsistem (a) sarana produksi; (b) usaha penangkapan; (c) prasarana pelabuhan; (d) unit pengolahan; (e) unit pemasaran; dan (f) unit pembinaan (Monintja 2001). Pembangunan berkelanjutan pada perikanan tangkap jika diperoleh kelima kondisi yang dapat diwujudkan, yaitu (1) tingkat kemanfaatan yang diperoleh masyarakat tidak mengalami penurunan di sepanjang waktu pemanfaatannya;
12
(2) sumberdaya dikelola secara baik untuk memberikan kesempatan produksi di masa yang akan datang; (3) kondisi sumberdaya alam yang dikelola tidak mengalami penurunan kualitasnya (non-declining); (4) sumberdaya yang dikelola dapat mempertahankan komoditas produksi yang dihasilkan; dan (5) kondisi minimal sumberdaya dapat dipertahankan dan daya lentur sumberdaya dapat dipertahankan (resilience) (Fauzi 2005). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pembangunan yang mampu menghasilkan kondisi ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya yang ada di dalamnya. Ambang batas bersifat luwes (flexible) tergantung pada kapasitas teknologi dan sosial ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam serta daya dukung (carrying capacity) terhadap dampak kegiatan manusia (Charles 2001). Pembangunan berkelanjutan (sustainability development) diartikan sebagai serangkaian aktivitas perikanan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep keberlanjutan adalah pemanfaatan sumberdaya yang dapat memenuhi masyarakat perikanan itu sendiri
dan
mampu
memelihara
kondisi
sumberdaya
perikanan
yang
dimanfaatkan (Fauzi dan Anna 2002). Pembangunan berkelanjutan paling tidak harus ada beberapa komponen yang harus diperhatikan, yaitu (1) ekologi berupa tingkat eksploitasi, keragaman ikan yang ditangkap, perubahan ukuran tangkap; discard dan bycatch serta produktivitas primer tangkapan; (2) aspek ekonomi, yaitu kontribusi perikanan terhadap pendapatan domestik wilayah (gross domestic product), penyerapan tenaga kerja, sifat kepemilikan, tingkat subsidi, dan pendapatan (income) alternatif; (3) teknologi meliputi lama trip, tempat pendaratan, selektivitas alat tangkap, FAD, ukuran kapal da efek samping dari alat tangkap; dan (4) etika, menyangkut kesetaraan, illegal fishing, mitigasi terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem, dan sikap terhadaplimbah dan bycatch (Fauzi dan Anna 2002). Keseluruhan
ini diperlukan sebagai prasarana
dari dipenuhinya
pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan Food Agricultural Organization (FAO) tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF (FAO 1995). Tujuan pembangunan perikanan pelagis berkelanjutan adalah memelihara stok sumberdaya perikanan dengan melindungi habitatnya. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis yang berkelanjutan, pemanfaatan dilakukan
13
dengan tetap mempertimbangkan berbagai aspek daripada aspek daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri. keberlanjutan
pada
perikanan
Namun demikian, prioritas utama
pelagis
adalah
menghindarkan
kondisi
pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak memperhatikan kelestariannya (FAO 2001). Lebih lanjut bilamana kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan tidak dapat dipenuhi maka sumberdaya perikanan akan mengarah pada degradasi lingkungan, over exploitation, dan praktek perikanan yang merusak (destructive fishing practices). Kondisi demikian diakibatkan oleh tingginya keinginan untuk memenuhi kepentingan saat kini, sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarhakan untuk memperoleh manfaat masa kini saja. Hal demikian berakibat diabaikannya kepentingan lingkungan dan penggunaan teknologi yang quick-yielding yang sering bersifat merusak (destructive) seperti penggunaan bom dalam penangkapan ikan
(fish bombing) dan penggunaan racun ikan
(poisoning) (Fauzi dan Anna 2002). 2.3
Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sebagaimana
ditetapkan oleh FAO pada tanggal 31 Okrober 1995 menjelaskan bahwa pedoman ini diharapkan diacu bagi para pelaku perikanan yang meliputi negaranegara anggota PBB maupun bukan anggota, komunitas nelayan, organisasi internasional, dan semua yang libat dalam aktivitas perikanan dalam penyusunan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan hasil dan pemasaran sumberdaya alam perikanan (Pasal 1 ayat 2). Code of Conduct tersebut mencakup 19 prinsip (pasal 6), yaitu : 1. Negara harus melestarikan ekosistem perairan. Penangkapan ikan harus disertai dengan tanggung jawab / kewajiban untuk melestarikan ekosistem laut. 2. Pengelolaan perikanan harus berkelanjutan pemanfaatan
generasi
saat
ini
dan
dengan mempertimbangkan
pemenuhan
kebutuhan
untuk
kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. 3. Negara berkewajiban mencegah penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) melebihi kapasitas / daya dukung lingkungan.
14
4. Kebijakan eksploitasi dan konservasi perikanan didasarkan data yang akurat dan dengan memperhatikan kearifan tradisional yang telah berkembang di masyarakat. 5. Pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dilakukan dengan data yang akurat dan mengambil tindakan untuk tetap melindungi keberadaan sumberdaya perikanan walaupun kurang didukung dengan data dimaksud. 6. Penggunaan alat tangkap ikan secara selektif sehingga dapat memelihara keragaman biota, struktur populasi dan ekosistem perairan serta kualitas ikan terlindungi. 7. Eksploitasi sumberdaya perikana harus dilakukan secara baik (cara-cara tertentu) sehingga dapat dihindarkan menurunnya kualitas ikan hasil tangkapan dan praktik-praktik pemborosan serta dampak negative terhadap lingkungan. 8. Semua habitat perikanan baik habitat laut maupun daratan harus dilindungi untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan. 9. Negara menjamin pengelolaan sumberdaya alam perikanan yang terintegrasi dengan pengelolaan kawasan pantai untuk kepentingan sumberdaya perikanan. 10. Kerangka
kerja
penegakan
jaminan
pemenuhan
dan
pelaksanaan
pelestarian, manajemen dan mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol aktivitas-aktivitas kapal ikan. 11. Negara harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap perijinan kapalkapal ikan yang berperasi. 12. Peningkatan kerjasama sub regional maupun regional untuk mendorong pelestarian dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 13. Negara harus mempraktekkan secara transparan dan ketepatan waktu atas penyelesaian masalah yang bersifat mendesak. 14. Perdagangan internasional ikan segar harus sesuai dengan prinsip, hak dan kewajiban yang tercantum dalam kesepakatan WTO dan kesepakatan internasional. 15. Negara berkewajiban mencegah terjadinya sengketa dalam praktek dan aktivitas perikanan. 16. Negara berkewajibam meningkatkan kesadaran tanggung jawab (bagi pekerja perikanan dan nelayan) melalui pendidikan dan pelatihan.
15
17. Negara menjamin penyediaan prasarana perikanan (fasilitas, perlengkapan) yang memungkinkan kondisi kerja yang aman, sehat dan terbuka serta berstandar internasional. 18. Negara menjamin terpenuhinya hak nelayan dan pekerja perikanan, khususnya nelayan subsisten (menangkap ikan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari) maupun melindungi daerah tangkapan tradisional. 19. Negara dapat mengembangkan perikanan budidaya air sebagai sarana untuk diversifikasi pangan dan pendapatan, tanpa mengancam kelestarian lingkungan dan tidak berdampaknegatif bagi masyarakatlokal / tradisional. Disamping ke-19 prinsip tersebut, CCRF juga menekankan perlunya penanganan pascapanen, dan pengelolaan perikanan secara terpadu, serta perlindungan terhadap hak-hak khusus kepada masyarakat pantai atas daerah tertentu yang merupakan wilayah perairan di sekitar desa masyarakat lokal. Pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan memiliki karakteristik (Monintja 2001), yaitu : a.
Proses penangkapan yang ramah lingkungan, yaitu (1) selektivitas tinggi, (2) hasil
tangkapan
yang
terbuang
rendah,
(3)
tidak
membahayakan
keanekaragaman hayati, (4) tidak menangkap jenis-jenis ikan yang dilindungi, (5) tidak membahayakan habitat, (6) tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target, (7) tidak membahayakan keselamatan nelayan, dan (8) memenuhi CCRF. b.
Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai seimbang).
c.
Adanya jaminan pasar.
d.
Usaha penangkapan ikan masih menguntungkan.
e.
Tidak menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat (konflik sosial) dan memenuhi persyaratan legal (ijin dari pemerintah). Penangkapan ikan telah berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi
dan
keterbatasan
kelimpahan
sumberdaya
perikanan
tangkap.
Metode
penangkapan ikan yang ramah lingkungan telah dikembangkan sesuai dengan tuntutan dunia internasional yang mulai mengecam danmengancam akan memboikot ekspor ikan dari negara yang penangkapannya masih merusak lingkungan. Mengingat sektor perikanan yang memberikan devisa yang cukup besar bagi Indonesia sudah seharusnya penerapan penangkapan yang merusak lingkungan dihapuskan di negara ini. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah
16
lingkungan terdiri dari
antara lan memilki (1) Selektifitas tinggi,
(2) Tidak
destruktif terhadap habitat, (3) Tidak membahayakan nelayan (operator), (4) Menghasilkan ikan bermutu baik, (5) Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, (6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) Dampak minimun terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, (8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah, (9) Diterima secara sosial. 2.4
Model Pengembangan Perikanan Tangkap Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi
dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubunganhubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Model juga diartikan suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi (response) dari sistem terhadap tindakan (intervensi) manusia. Model dapat berfungsi sebagai alat manajemen dan alat ilmiah. Umumnya model digunakan sebagai alat untuk mengambil keputusan tentang bagaimana pengolahan sumberdaya alam yang terbaik. Penggunaan model dalam penelitian umum merupakan cara pemecahan masalah yang bersifat umum (Eriyatno 2003). Model
perikanan
tangkap
dapat
diwujudkan
melalui
pengelolaan
sumberdaya yang terintegrasi. Artinya mengintegrasikan semua kepentingan dari pelaku sistem perikanan. Pengelolaan dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan, tidak dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten. Model perikanan juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan dukungan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan tangkap, khususnya kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, perizinan, penciptaan iklim berusaha yang kondusif, kebijakan standar mutu produk, kebijakan ekspor dan kebijakan terhadap lingkungan (Haluan et al. 2007). Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk
meningkatkan
produksi
dalam
bidang
perikanan
dan
sekaligus
meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan di wilayah perairan ditekankan pada
17
perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan perikanan dibutuhkan untuk penyediaan protein bagi masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis (Monintja 2000). Sistem perikanan menurut Charles (2001) terdiri dari tiga komponen, yaitu sistem alam (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan perikanan (fishery management system). Sistem alam terdiri dari 3 subsistem, yaitu ikan (fish), ekosistem biota (ecosystem) dan lingkungan biofisik (biophysical environment). Sistem manusia terdiri dari 4 subsistem yaitu nelayan (fishers), bidang pasca panen dan konsumen (post harvest sector and consumers), rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan (fishing households and communities) dan lingkungan sosial ekonomi budaya (social economic/cultural environment). Sistem manajemen dikelompokkan menjadi 4 subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan (fishery policy and planning),
manajemen
perikanan
(fishery
management),
pembangunan
perikanan (fishery development) dan riset perikanan (fishery research). Pengelolaan sumberdaya perikanan, haruslah dikelola secara terpadu, karena dalam proses pengaturan, para stakeholder yang umumnya anggota kelompok nelayan memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan
dan
pelaksanaan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
di
daerahnya. Saat ini, sudah banyak kelompok masyarakat nelayan yang sadar akan pentingnya keterlibatan mereka dalam merumuskan atau merencanakan kegiatan-kegiatan perikanan di wilayahnya (Kaplan dan Powell 2000). Umumnya masyarakat nelayan membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur tentang bagaimana
sebaiknya
memanfaatkan
sumberdaya
perikanan
yang
berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan, hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara terus menerus. Untuk itu, dukungan pemerintah untuk mengelola sumberdaya perikanan yang efesien dan berkesinambungan sangat dibutuhkan saat ini (Hauck dan Sowman 2001).
18
Pengembangan perikanan tangkap membutuhkan kaidah-kaidah tata ruang khususnya tata ruang wilayah pesisir dan laut yang umumnya selalu berubahberubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas wilayah perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation zone)
atau
pengelolaan
keseharian
(day-today
management).
Wilayah
perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk dikembangkan. Untuk wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau pembangunan yang dilakukan oleh manusia (Dahuri 2001). Lebih lanjut, pengembangan perikanan tangkap memerlukan keterlibatan berbagai pihak, yaitu nelayan, pemerintah, dan stakeholder lainnya dalam pengembangan perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan diperlukan untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik sekarang atau masa yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab. 2.5
Kapal Perikanan Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang
dipergunakan
untuk
pengangkutan
ikan,
melakukan
penangkapan
pengolahan
ikan,
ikan,
pembudidaya
ikan,
perikanan
dan
pelatihan
penelitian/eksplorasi perikanan (Diniah 2008). Berdasarkan Statistik Kelautan dan Perikanan, kapal perikanan terdiri atas kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan. Kapal penangkap ikan dikelompokan menjadi: 1. Perahu Tanpa Motor (PTM) – Non powered motor, adalah perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak dayung atau layar. 2. Perahu Motor Tempel (PMT) – Outboard motor, adalah kapal atau perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak mesin atau motor yang dipasang di perahu pada saat akan dioperasikan dan dilepaskan kembali pada saat selesai dioperasikan. 3. Kapal
Motor
(KM)-Inboard
motor.
Kapal
motor
dikelompokan
lagi
berdasarkan bobotnya, bobot kapal dinyatakan dalam Gross Tonnage (GT).
19
Kapal motor berdasarkan bobot dikelompokan menjadi kapal motor < 5 GT, 5-10 GT hingga >200 GT. Mesin kapal diletakkan di ruang mesin di dalam bangunan kapal. Berdasarkan fungsinya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 34 mengelompokan kapal ikan menjadi: 1. Kapal penangkap ikan 2. Kapal pengangkut ikan 3. Kapal pengolah ikan 4. Kapal latih perikanan 5. Kapal penelitian/eksplorasi perikanan 6. Kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidaya ikan 2.6 2.6.1
Alat Penangkapan Ikan Purse seine Purse seine biasanya disebut jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut
waktu dioperasikan menyerupai kantong. Purse seine kadang-kadang juga disebut jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi, dengan cara menarik tali kolor tersebut (Sadhori, 1985). Alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara aktif, yaitu dengan cara mengejar dan melingkarkan jaring pada suatu gerombolan ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa purse seine terdiri dua jenis yaitu tipe Amerika dan Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk empat persegi panjang dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi jaring. Purse seine tipe Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian bawah berbentuk busur lingkar. Bagian pembentuk kantong pada purse seine tipe Jepang terletak ditengah jaring (Brandt 2005). Prinsip penangkapan dengan menggunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan sehingga ikan tujuan penangkapan akan terkurung pada bagian kantong, atau dengan memperkecil ruang lingkup gerakan ikan, sehingga ikan tidak dapat melarikan diri. Oleh sebab itu, jika ikan belum terkumpul pada suatu catchable area atau berada diluar kemampuan tangkap jaring, maka dapat diusahakan ikan
20
datang atau berkumpul dengan menggunakan lampu atau rumpon (Ayodhyoa, 1981). Bentuk alat penangkapan ikan jenis purse sein ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Alat tangkap purse seine 2.6.2
Bagan perahu Bagan (lifnet) merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara
menarik waring ke permukaan air pada posisi horisontal. Pada saat pengangkatan waring ke permukaan terjadi proses penyaringan air, ikan yang berukuran lebih besar dari ukuran mata waring akan tersaring pada waring (Fridman, 1986).
Kontruksi bagan perahu terdiri dari waring, perahu, rumah
bagan (anjang-anjang), lampu, serok, dan roller yang berfungsi untuk mengangkat dan menurunkan waring (Subani dan Barus, 1989). Lebih lanjut, Von Brandt (2005), mengklasifikasikan bagan ke dalam klasifikasi jaring angkat (lifnet) karena proses pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal, berdasarkan teknik yang digunakan untuk memikat perhatian ikan agar berkumpul pada area, maka bagan diklasifikasikan dalam light fishing yang menangkap ikan dengan menggunakan atraktor cahaya untuk mengumpulkan ikan. Bentuk alat penangkapan ikan jenis bagan perahu ditampilkan pada Gambar 4.
21
Gambar 4. Alat tangkap bagan perahu 2.6.3
Hand line Hand line atau pancing ulur adalah salah satu alat tangkap yang paling
dikenal oleh masyarakat umum, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing terdiri dari dua komponen utama yaitu : tali (line) dan pancing (hook). Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing terdiri satu atau lebih mata pancing. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989). Pancing ulur adalah sistem penangkapan yang mempergunakan mata pancing dengan atau tanpa umpan yang dikaitkan pada tali pancing dan secara langsung dioperasikan dengan tangan manusia. Ciri khas dari alat ini adalah bisa dioperasikan di tempat yang alat tangkap lain sukar dioperasikan, misalnya tempat-tempat yang dalam, berarus cepat atau dasar perairan yang berkarang. Alat ini dapat dioperasikan oleh satu atau dua orang. Bentuk alat penangkapan ikan jenis hand line ditampilkan pada Gambar 5..
Gambar 5 Alat tangkap hand line
22
2.6.4
Payang Payang digolongkan kedalam boat seine. Disainnya terdiri atas dua sayap,
badan dan kantong mirip trawl. Jaring ini dioperasikan dari kapal dan ditarik dengan dua tali selembar. Menurut klasifikasi Von Brandt (2005) payang termasuk kelompok seine net yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara melingkari wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau pantai. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta dilengkapi pelampung dan pemberat. Bentuk alat penangkapan ikan jenis payang ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Alat tangkap payang 2.6.5
Bubu Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu
dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury, 1996). Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasanya terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendirisendiri (Subani dan Barus, 1989). Unit penangkapan bubu terdiri atas perahu atau kapal, bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989). Bentuk alat penangkapan ikan jenis bubu ditampilkan pada Gambar 7.
23
Gambar 7. Alat tangkap bubu 2.6.6
Gillnet Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat tangkap ini disebut jaring
insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya (Sadhori, 1985). Martasuganda (2002), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, dimana mata jaring dari bagian jaring utama ukurannya sama dan jumlah mata jaring ke arah horisontal lebih banyak dari pada jumlah mata jaring arah vertikal. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pemberat dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sehingga adanya dua gaya yang berlawanan. Bentuk alat penangkapan ikan jenis gill net ditampilkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Alat tangkap gill net
24
2.6.7
Sero Sero adalah alat penangkap ikan yang dioperasikan di perairan pantai,
bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan yang melakukan gerakan ke pantai atau ikan yang habitatnya di pantai. Sifat ikan sasaran, umumnya adalah berenang menyusuri pantai karena pola ruayanya dan pada waktu tertentu akan kembali mendekati pantai (Martasuganda, 2002). Unit penangkapan sero, umunya terbuat dari kombinasi antara jaring dan bambu yang disusun menyerupai pagar. Bentuk alat penangkapan ikan jenis sero ditampilkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Alat tangkap sero 2.7
Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu
kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi 1999). Manusia menetapkan suatu kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu. Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan pribadi (privat policy). Salah satu kebijakan publik adalah pengelolaan perikanan tangkap. Mustodidjaja (1992) mendefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara formal dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hogwood dan Gun (1984) menjelaskan kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat
25
atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (public). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang lain atau lembaga lain. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah masalah kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998). Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan. Analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran kebijakan. 2.8
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan mempunyai topik mengenai model pengelolaan
perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Komponen yang dilakukan kajian
meliputi
:
1)
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
tangkap;
2)
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap; merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Adapun penelitian terdahulu yang telah dilakukan, terkait dengan penelitian yang dilakukan sebagai berikut :
26
Tabel 1. Hasil penelitian terdahulu Peneliti Metcalf, Gaughan dan Shaw (2009)
Judul Conceptual models for Ecosystem Based Fisheries Managemnt (EBFM) in Western Australia
Metode Risk Assessment Method dan Qualitative Modelling Method
2.
Pomeroy, Garces Pido, Geronimo (2009)
Ecosystem-based fisheries management in small –scale tropical marine fisheries: Emerging models of governance arrangements in Philippines
Pendekatan analisis yang telah dilakukan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dalam level multi-jurisdictional
3.
Rusmilyansari, Wiryawan, Haluan dan Simbolon (2011)
Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Periran Kalimantan Selatan
Survei PISCES (participatory institutional survei and conflict evaluated exercise) dan survei persepsi
4.
Astariani, Haluan, Sugeng (2009)
Survey purposive
5.
Hamdan, Monintja, Purwanto, Budiharsono, Purbayanto (2007)
Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Code of Conduct For Responsible fisheries (CCRF) di Perairan Ternate Provinsi Maluku Utara Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu
1.
secara
Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) dan Data Envelope Analysis (DEA)
Hasil Diperoleh lima sistem pengelolaan yang merupakan bagian dari ekosistem, yang diidentifikasikan dalam kondisi resiko tinggi dan atau merupakan prioritas utama sebagai model yang akan dihasilkan. Model yang dihasilkan mengilustrasikan kebutuhan informasi terkait pengaruh terhadap perubahan dalam perikanan dan ketersediaan ikan yang berakibat pada pengelolaan perikanan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada lima perbedaan dalam susunan pemerintahan, yaitu: kluster dan aliansi kotamadya untuk integrasi pengelolaan sumberdaya pesisir; seluruh kota FARMC dan kluster Barangay FARMC; Integrasi perikanan dan Dewan pengelolaan Aquatic; Dewan Pengelolaan Teluk; IFARMC daerah Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan secara efektif setelah penyebab konflik dan teknik resolusi konflik teridentifikasi Strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis CCRF dapat dilakukan melalui penentuan kriteria – kriteria unit penangkapan Status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak berkelanjutan baik ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika maupun kelembagaan
dilanjutkan
27
Tabel 1 (lanjutan) Peneliti Suherman. Murdiyanto, Marimin, Wisudo (2007)
Judul Rekayasa Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap
Metode Metode surplus produksi model Schaefer dan Fox, NPV, EIRR dan Net B/C, Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP).
7.
Firman . Fahrudin dan Sobari (2008)
Metode surplus produksi model Schaefer dan Fox
8.
Danial, Haluan, Mustaruddin, Darmawan (2007)
Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan Model Pengembangan Industri Perikanan Berbasis Pelabuhan Perikanan di Kota Makassar Sulawesi Selatan
6.
,
Survey secara purposive dan SEM (structural equation modelling)
Hasil Model pengembangan PPSC melalui suatu paket program yang diberi nama SISBANGPEL; (2) model pengembangan PP yang dirancang dapat digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam merencanakan pengembangan PP Model bioekonomi pengelolaan sumberdaya rajungan
Model pengembangan industri perikanan