PARADOKS By: Jaune May Copyright © 2005 by Jaune May Edited 2012 by Jaune May
Publisher Twin Books Publishing, 2012 http://sanguines.wordpress.com
Cover Design by Renny Dee
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
paradox /’paeredaks/ n [C] statement which seems to contain two opposite facts but is or may be true.
I hate you because you’re way too gorgeous!
2
Prolog Anak itu sempat ragu, namun ia memberanikan diri untuk menghampiri Raisa yang hanya berdiri diam menatap temanteman sekelasnya bermain ayunan, menunggu Ibunya datang menjemput. “Raisa...” anak itu menyentuh pelan lengan Raisa. Raisa tersentak dari lamunannya. Ia sangat kaget saat tahu bahwa anak itulah yang menyentuhnya. Sikap defensif yang luar biasa langsung muncul. Ia tidak mengacuhkan anak itu dan berjalan menjauhinya. Namun anak itu tidak menyerah dan mengikuti Raisa. Sampai akhirnya Raisa menatapnya penuh kebencian dan berkata ketus, “Jangan dekati aku!” Kesedihan terpancar dari mata anak itu. “Kenapa... selama 6 tahun... Raisa tidak pernah hadir di ulang tahun saya?” Raisa benci sorot mata itu. Seolah ia adalah malaikat dan Raisa iblisnya. Seolah selama ini Raisa lah yang berbuat kejahatan padanya dan menyakiti hatinya. Raisa memandang anak itu penuh amarah. Akhirnya semua beban di hati Raisa selama enam tahun tumpah di depan orang yang paling dibencinya itu. Ia berteriak dan menangis di depan anak itu, memuntahkan alasan kenapa selama ini ia hanya menangis sendirian di rumah ketika semua orang menikmati pesta ulang tahun anak itu. Raisa terus berbicara di sela-sela tangisnya. Anak itu berusaha semaksimal mungkin untuk mengerti apa maksud Raisa. Kemudian dia meraih tangan Raisa dan menggandengnya lembut naik ke dalam mobilnya. Raisa tidak menolak dan tidak berkata apa-apa, hanya berusaha mengatur nafasnya dan berhenti 3
menangis. Tidak sampai lima menit, mereka sudah sampai di sebuah rumah yang adalah rumah paling besar yang pernah Raisa lihat seumur hidupnya. Anak itu kembali menggandeng tangan Raisa, dan anehnya, Raisa membiarkan itu terjadi. Mereka masuk ke dalam rumah anak itu, Raisa melihat beberapa ruangan besar nan megah, melewati lorong-lorong panjang lukisan yang dipigura dan akhirnya sampai di kamar anak itu. Sebuah kamar besar yang penuh dengan berbagai macam mainan. “Raisa bisa ambil semua barang yang ada di sini. Semua barang yang Raisa suka.” Anak itu berkata tulus pada Raisa. Raisa menatap anak itu tidak percaya. “Jadi kamu pikir— kamu pikir...” Raisa marah sampai kehabisan nafas. Lalu Raisa beteriak marah pada anak itu, memakinya dengan kesal. Raisa benci sekali dengan anak itu dan benci dengan hari ini, tidak mau mengingatnya. Ia mendorong anak itu sekasar mungkin dan lari keluar dari rumahnya. Raisa bukan hanya lari dari rumah besar itu, tapi juga dari seluruh masa lalunya.
4
Satu “Kuas nomor enam… Kuas nomor enam…” Raisa tidak berhentiberhentinya menggumamkan nama barang yang sedang ia cari di laci empat tingkat miliknya. Ia yakin masih memiliki satu buah kuas nomor enam yang pernah dipakainya sebelum ia menggunakan kuas nomor enam barunya yang sekarang tertinggal di kost Selphie, teman dekatnya. Sekitar 10 menit kemudian, Raisa sudah menyerah dan meraih telepon genggamnya, menghubungi Selphie. “Halo?” Suara diujung sana menjawab. “Sel, lo dimana?” “Di kost. Kenapa?” “Jangan kemana-mana yah, gue kesana sekarang. Gue mau ambil kuas gue yang ketinggalan kemaren.” “Ya udah. Tumben lo nelpon. Lagi banyak pulsa yah non...” “Gue tau lo lagi nggak ada pulsa, jadi kalo gue sms pasti nggak lo bales. Lagipula emergency pangkat 23 nih!” “Besok harus deadline, yah?” “He-eh, ya udah yah, Sel. Udah 25 detik nih!” “Kopet!” “Hemat! 28... 29. Dah!” Raisa menekan tombol merah. Raisa memang selalu mematikan telepon satu detik sebelum pulsa bertambah. 29 detik, 59 detik, 1 menit 29 detik, dan seterusnya. Tidak sampai lima menit, Raisa sudah berada di kost Selphie. Seorang cowok yang sedang menonton TV di ruang tengah menyapa Raisa, “Eh, Sa!”
5
“Hey, Ri! Gue ke Sephie dulu yah...” Raisa berbasa-basi dan segera jalan ke kamar Selphie. Raisa mengetuk pintu sekali dan langsung masuk ke kamar Selphie. “Sel, gue...” Raisa berhenti berkata-kata saat dia membuka pintu dan ternyata tidak ada siapapun di kamar itu. Tasha, teman sekamar Selphie juga tidak ada. Kemana sih Selphie?! Udah emergency nih... Raisa menggerutu dalam hati. “Sel—” Raisa hendak berteriak dan berbalik keluar dari kamar Selphie. Belum sempat dia menyelesaikan teriakannya, seorang makhluk berwajah David Beckham dengan senyuman a’la Tom Cruise sudah memandangnya setengah tertawa. Siapa cowok ganteng ini? God, You never told me you’ve created such a man! “Hai.” Cowok itu menyapa Raisa ramah. “Hai...” Raisa membalas. “Um, lo...?” “Gue Karisfi. Panggil aja Karis.” Cowok bernama Karis itu menjabat hangat tangan Raisa. “Raisa. Tapi orang-orang lebih sering panggil gue Sasa...” katanya mengenalkan diri. “Lo sendiri...? Lebih suka dipanggil Sasa atau Raisa?” “Um... Raisa, Sasa... Terserah aja.” “Lo teman sekamar Selphie?” Karis bertanya ramah. “Bukan kok, gue nggak tinggal di sini, cuma sering maen di sini bareng Selphie dan anak-anak. Lo...?” “Gue baru pindah tadi siang ke sini.” Lagi-lagi cowok bernama Karis itu dengan sigap menjawab pertanyaan Raisa. “Oh ya? Nempatin kamar siapa? Bukannya penuh, ya?” “Tuh, kamar di sebelah Ari.” 6
“Oh...” Raisa mengangguk-angguk sambil matanya terus menelusuri badan Karis yang nggak kalah oke dari wajahnya. “Dulu kalo nggak salah itu kamarnya Kak Sita. Dia anak arsitek jadi dinding kamarnya suka digambarin sama dia. Nggak tahu deh, udah di-cat ulang atau belum.” “Oh, ya? Gue juga kuliah arsitek. Dia angkatan berapa?” “2001. Lo?” “2002. Lo sendiri angkatan berapa?” “2004. Masih freshman nih. Tapi gue bukan arsitek lho...” “Jurusan apa?” “Hubungan Internasional. Bareng Selphie dan Ari.” “Nggak bosen kuliah politik?” “Nggak kok! Menurut gue menarik. Lo yang harusnya bosen, kerjaannya ngukur ubin!” Canda Raisa. Mereka berdua pun tertawa renyah. “Lagian kan nggak hanya belajar politik aja, Ris…Belajar ekonomi, hukum, sosiologi juga.” Raisa menjelaskan. “Belajar hukum juga?” tanya Karis. “Iya, tapi nggak detail banget, kok! Belajar hukum internasional tuh, yang paling penting. Kita kan, negara maritim, jadi harus ngerti banget hukum supaya wilayah kita nggak diambilin orang lain terus.” Kini Raisa mengoceh panjang lebar. “Kalau soal itu mah, nggak hanya butuh wawasan hukum, Raisa…Harus kuat militernya juga dong. Angkatan laut kita harus banyak, kan perbatasan laut kita luas banget…” “Sasa!” Suara Selphie tiba-tiba membuat Raisa sedikit kecewa, karena Raisa harus mengakhiri percakapan serunya dengan cowok lucu ini. 7
“Lo dari mana sih, Sel!” Keluh Raisa pura-pura kesal. “Sori, baru dari WC. Biasa, panggilan alam... Lo udah kenalan sama Karis, Sa?” tanya Selphie. “Udah kok.” Karis dan Raisa menjawab hampir bersamaan. “Cieh... kompak amat.” Selphie tersenyum usil dan berjalan masuk ke kamarnya. “Ya udah, Raisa... Gue ke kamar dulu yah. Masih harus beresberes. Kapan-kapan kita ngobrol lagi yah...” Cowok hasil kreasi Tuhan disaat prime time-Nya itu melempar senyum simpul ala Tom Cruise, menunduk sedikit dan berjalan pergi. Detik itu, senyuman itu, pandangan mata itu, dan ion-ion yang ada di udara sekitarku telah membuka suatu kotak pandora. Mengenal Karis terasa seperti dapat hadiah. Raisa masuk dan menutup pintu kamar Selphie. Selphie sudah memegang kuas sambil tersenyum usil, “Rating satu sampai sepuluh, Karis...?” “Sepuluh! Eh, engga deh, dua puluh tiga!”
8
Dua “Warnanya tepat seperti yang saya harapkan. Nggak perlu terlalu mencolok, tapi bisa berkesan tegas. Dan seperti biasa, karakter gambar ini khas seorang Sasa.” Komentar Sandy, editor majalah politik-sosial-dan-kebudayaan, dimana Raisa bekerja sebagai salah satu ilustratornya. “Saya lega banget kalau anda puas. Saya sempat bingung dengan tema terorisme yang emang sensitif banget ini.” Jelas Raisa. “Ya sudah, saya ada kuliah jam satu. Saya pamit dulu, yah, Mas Sandy...” Raisa lalu berpamitan pada Sandy dan kru-kru lain yang ada di ruangan dan berjalan agak terburu-buru ke luar gedung untuk kemudian melakukan to-do-list lainnya hari ini, kuliah Pengantar Hubungan Internasional atau disingkat PIHI. Jika saja tidak ada mata kuliah sepenting PIHI, sebenarnya Raisa lebih memilih tinggal di kantornya yang homie itu dan berkonsentrasi mengerjakan ilustrasi untuk edisi selanjutnya. Tidak sampai semenit, angkot yang ditunggu Raisa pun datang dan lagi-lagi kepala Raisa hampir terbentur langit-langit angkot ketika masuk maupun keluar dari angkot. Untuk ukuran cewek, Raisa memang terbilang cukup tinggi. Ketika masih SMP, Ia sempat berpikir untuk menjadi pramugari dengan tingginya yang telah mencapai 150cm, namun Ia tidak pernah percaya diri jika mengenakan rok mini. Menurutnya, bekas luka di kakinya terlalu banyak untuk ditutupi. Hingga sekarang pun, Raisa tetap lebih nyaman memakai celana jeans belel yang jarang dicuci dan sepatu sneakers nya. Raisa sudah menjadi ilustrator sejak SMP. Bermulai dari majalah sekolah, Raisa lalu mulai mencoba menjual gambar-gambarnya ke majalah-majalah dan koran-koran lokal di Lampung, kota dimana ia tinggal sejak kecil. Saat SMU Raisa menjadi free-lancer di sebuah majalah anime. Tidak lama bekerja di sana, sebuah majalah yang 9
cukup kuat memintanya sebagai ilustrator bagian forum massa. Semenjak itu Raisa bisa menabung untuk membiayai kuliahnya. Saat pindah dari Lampung ke Bandung, Raisa khawatir akan kehilangan pekerjaannya, namun mereka malahan memperkenalkan Raisa pada redaksi bagian Bandung. Sekarang Raisa sudah merasa cukup. Raisa tidak perlu menyusahkan Ayahnya yang kini seorang pensiunan polisi. Raisa membiayai sendiri uang untuk kuliah, bayar kost dan kebutuhannya dari hasil kerjanya. Kadang Ia menyisakan sedikit untuk memberikan pada Pap, panggilan sayang untuk Ayahnya. Raisa memiliki satu kakak laki-laki bernama Restu dan satu adik laki-laki bernama Wilhaem. Restu pindah ke Padang setelah lulus SMU, kuliah di sana sambil bekerja di pabrik Pamannya. Belum sempat menyelesaikan kuliahnya, Restu sudah menikah dengan seorang gadis kaya raya bernama Delilah dan kini ia menjalankan perusahaan milik Ayah Delilah. Raisa tidak menyukai Delilah, Delilah terlalu posesif terhadap Restu. Sejak kecil Raisa dekat sekali dengan Restu yang hanya 4 tahun lebih tua darinya. Dan sejak Restu pacaran dengan Delilah, Delilah melarang Restu untuk terlalu sering menelepon Raisa. Dasar cewek psycho! Itu yang selalu Raisa bilang tentang Delilah. Kini Restu hanya mengirimkan uang untuk Pap dan Wil. Jangankan menengok, menelepon saja ia jarang sekali. Sudah satu setengah tahun sejak Raisa bertemu Restu yang terakhir kali. Apalagi kini ia kuliah di Bandung, dan tidak pernah pulang ke Lampung, ia makin kehilangan kontak dengan Restu. Wil masih kelas 6 SD dan sebenarnya memerlukan Raisa untuk melewati transisi masa remajanya karena Mama sudah meninggal sejak Wil kelas 2 SD. Pada awalnya Raisa merasa khawatir meninggalkan Wil, tapi Wil adalah seorang remaja luar biasa, yang dengan umurnya yang masih sangat muda, memiliki jalan pikiran yang dewasa. Mungkin karena sejak kecil ia sudah terbiasa 10