SHAFIRA D
CHANGED (SIDE-A)
Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
CHANGED (Side-A) Oleh: Shafira D Copyright © 2014 by Shafira D
Penerbit Henya Publishing
[email protected]
Desain Sampul: Vidhian Bintang & Shafira D
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Ucapan Terima Kasih
Beribu sayang dan terima kasih untuk para pembaca setiaku di Wattpad yang selama ini selalu memberiku dukungan dalam menulis serta tiada hentinya mendorongku agar fan fiction ini diterbitkan dalam bentuk buku. Aku senang dengan keantusiasan kalian serta kritik dan saran kalian yang menolongku.
Terima kasih juga kepada Vidhian, karena telah membantuku menyelesaikan tahap dalam pembuatan buku ini hingga siap terbit, mendengarkan seluruh cerita-ceritaku di saat aku sedang menghadapi keputus asaan dan hambatan, dan memberiku masukan dalam menyelesaikan buku ini. Terima kasih juga karena telah menjadi teman terbaikku, kau sungguh kreatif dan menghibur.
Terima kasih juga untuk sepupuku, Ana, yang diam-diam membaca fan fiction ini dan memuji hasil karyaku yang tidak seberapa. Kuharap kau tetap menjaga ini sebagai rahasia.
Selanjutnya, terima kasih untuk Novia, Dayanti, dan Indira yang selalu mengomentari setiap bagian dari buku ini. Juga terima kasih atas dorongan kalian yang membuatku pantang menyerah dalam menulis. Kalian memang pembaca dan teman yang terbaik.
Terima kasih untuk seluruh Hendall Shippers (baik dari luar dan dari dalam negeri) yang selalu membangkitkan semangatku dalam menulis. Mikaela and Saloua, I really appreciated your effort when you kept trying to read this fan fiction by using Bing & Google Translate. Thank you so much and I love you, guys. Juga kau, Vindi, kau juga yang terbaik.
Kemudian aku juga berterima kasih secara khusus pada seluruh pihak nulisbuku.com karena telah membantuku untuk menerbitkan buku ini secara mandiri. Aku sangat bersyukur atas kesediaannya untuk menyediakan fasilitas seperti ini bagi para penulis-penulis yang berbakat.
Dan, akhirnya, terima kasih pada para musisi berbakat dan publik figur yang telah menginspirasiku, terutama One Direction. Aku memilih Harry Styles sebagai tokoh utama pria disini karena aku sangat mengidolakan sosoknya, begitu pula dengan Kendall Jenner yang kecantikan fisik dan hatinya tiada tara. Segenap cintaku untuk mereka berdua. Juga kepada Demi Lovato, The Script, Ariana Grande, Ed Sheeran, dan Ellie Goulding. Lagu-lagu mereka telah banyak menginspirasiku dan memudahkanku dalam menulis, dan yang paling penting mereka menghiburku melalui musik mereka.
BAB 1 Kenya
Sialan. Kata itu mungkin yang paling sering aku gumamkan seharian ini. Aku tidak pernah datang terlambat sebelumnya karena aku orang yang sangat menghargai waktu, tapi lalu lintas sore ini di Manhattan benar-benar tidak bersahabat. Ada jalan yang sedang diperbaiki dan itu menghambat semuanya. Dengan terburu-buru aku masuk ke dalam klub lewat pintu belakang saat aku tiba, mengejar ketertinggalanku dengan berlari menuju ruang ganti lalu menaruh tasku di atas meja rias. Mereka semua sudah pergi ke booth, hanya aku seorang yang masih kerepotan disini mencari pakaian yang kira-kira menarik, dan akhirnya aku memilih sebuah gaun berwarna merah menyala kemudian mengganti pakaianku secepat mungkin. Aku telah kehabisan waktu. Sialan. Cepat-cepat aku beranjak menuju meja rias dan memakai sedikit riasan di wajah. Tanpa menyisir rambutku terlebih dahulu, aku membiarkan rambutku sedikit berantakan karena kupikir dengan begini penampilanku jadi terlihat sedikit lebih seksi dan nakal, barulah aku menarik napas panjang dan memakai heels dengan warna yang senada dengan gaunku. Lalu perlahan-lahan aku berjalan menuju pintu, kemudian membukanya dan melenggakkan tubuhku menuju klub. Musik berdentum dengan kencang dan aku langsung menempati booth dimana beberapa rekanku sudah lebih awal datang. Vic menyodorkanku segelas anggur putih dan aku menyesapnya pelan. “Kenny, pakai lipstik-mu. Jika bibirmu seperti mayat hidup begitu, mana ada pelanggan yang tertarik padamu.” seru Spence yang kemunculannya mengejutkanku. Dia mengangkat daguku agar mendongak padanya. Rambut coklatnya yang disanggul rapih serta bulu-bulu angsa yang melilit di lehernya memberikan kesan glamor pada dirinya. Dia lah bosku. Kontan dengan segera aku beranjak dari booth-ku lagi dan bergegas pergi menuju toilet. Sial. Belum apa-apa dia sudah memarahiku. Begitu masuk ke dalam toilet, aku pun bercermin selama beberapa saat sebelum meraih sebuah lipstik berwarna merah menyala dari dalam dompetku dan memakainya. Sempurna. Kuharap hari ini aku tidak sesial kemarin. Well, entah apakah kemarin bisa dikatakan sebagai hari sialku atau bukan karena tak seorang pun pelanggan yang datang padaku. Melirik saja mereka tidak. Pun dentuman musik di klub langsung kembali memenuhi gendang telingaku ketika aku berjalan meninggalkan toilet. Mataku menyapu ke segala arah berharap bahwa ada beberapa pasang mata yang memperhatikanku. Dan oh! Seorang pria berjas putih tengah menontonku dari tempatnya yang berada tidak jauh dari booth kami tadi. Kulihat matanya yang tersapu oleh cahaya lampu diskotik bergerak memperhatikanku dari atas hingga ke bawah. Baiklah, ayo kita mulai, tuan mata keranjang. Aku pun tersenyum lebar dan berjalan hendak menghampirinya. Langkah demi langkah aku ambil, semakin dekat aku berjalan ke arahnya semakin senyumku mengembang lebih lebar. Tapi tiba-tiba saja sesuatu menghentikan langkah kakiku ketika seorang wanita berambut pirang beranjak dari tempatnya. Aku berharap bahwa kakinya akan membawanya ke bar atau mungkin tempat lain, yang jelas ia harus jauh-jauh dari pelangganku. Tapi oh, brengsek! Dewi fortuna tidak berpihak padaku lagi kali ini. Gadis batinku menggeram marah, mengacak-acak rambutnya dengan kaki yang menghentak-hentak di atas tanah. Sialan! Mengapa si pirang Brenda justru berjalan ke arah pria 500$-ku? Hey! Dia akan menjadi pelanggan pertamaku malam ini! Keparat!
Secara otomatis urat-urat leherku menegang ketika Brenda duduk dipangkuan pria tersebut. Apalagi ketika tangannya menyusuri kemeja hitam yang pria itu kenakan. Benar-benar brengsek! Mengapa selalu saja jadi seperti ini? Sontak aku berpaling ke meja bar sambil mengepalkan kedua tanganku yang sudah gemas ingin menjambak rambut pirangnya yang mengkilat itu. Brenda sialan! Dia selalu membuatku terlihat seperti pelacur yang tidak laku. Persetan dengannya. “Aku pesan seperti biasa.” tuturku geram pada salah seorang bartender setelah aku duduk di samping seorang pria berkaus hitam dengan tato di sekujur tangannya yang sedang meneguk sebotol bir di tangan. Hebat. Apa itu bir ketiganya? Kudapati ada dua botol bir kosong yang berada di hadapannya. Tsk. Aku tidak peduli. Yang penting sekarang adalah bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan uang. Dimana uangku? Merasa gemas, tak kuasa aku melirik ke belakang dan kulihat Brenda tersenyum menyeringai padaku. Pria yang harusnya menjadi pelangganku itu juga terlihat menikmati pelayanan yang Brenda berikan. Mungkin tidak lama lagi mereka akan ke hotel bersama. “Pesanan biasa untukmu, Cherry Vodka Sour, Kenny.” Jack si bartender langsung mengalihkan perhatianku darinya. Kontan aku berterima kasih padanya dan meneguk segelas vodka yang kupesan. Biasanya jika aku sudah memesan beberapa gelas minuman, kepercayaan diriku akan langsung meningkat. Tapi sayangnya, terkadang kepercayaan diriku juga menjadi terlalu berlebihan, dan yang ada para pria justru menertawaiku dan lebih memilih gadis-gadis penghibur lainnya yang lebih menarik. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja pada pelacur-pelacur yang lain. Aku bekerja di MCC karena suatu alasan yang pasti yaitu uang, dan tentu saja bukan karena keinginan pribadi. Meski aku jarang mendapatkan pelanggan, aku tetap memegang teguh prinsip hidupku sendiri bahwa segala sesuatu yang kukerjakan haruslah menimbulkan hasil. Aku tahu pekerjaan ini menjijikan, dan aku menyadarinya, namun keadaan yang memaksaku membuatku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak memiliki pilihan lain ketika Spencer datang padaku di suatu malam dan menawariku pekerjaan ini. Lagi pula, MCC adalah salah satu klub paling populer di kota New York. Hanya orang-orang berduit yang datang kemari, dan hal itu membuat kekhawatiranku berkurang karena aku dapat dengan tenang bekerja tanpa dibayang-bayangi oleh reputasiku sebagai mahasiswi teladan di NYU. Hingga saat ini aku masih melakukan pekerjaan yang sudah kulakukan empat bulan lamanya. Memang bisa terbilang aku ini pelacur yang payah karena kebanyakan dari para pelangganku lebih senang menyewaku untuk melakukan blow job ketimbang seks, dan itu sedikit mengganggu sebab kedua hal itu bayarannya berbeda. “Kau gagal lagi malam ini?” ujar Jack. Aku yakin ia akan kembali mencibirku. “Sudah kubilang seharusnya kau menjalani implan payudara, Ken! Kujamin jika kau mengubah ukuran dadamu menjadi ukuran 36-C, semua pria akan langsung memperebutkanmu di ranjang.” Brengsek. Bisakah ia tidak berkomentar layaknya para gadis-gadis murahan ini? Oh, aku lupa aku juga salah satunya. Aku gadis murahan. Semua pelacur itu murahan. “Terima kasih atas saranmu.” Ujarku sarkastik dan kembali menyesap vodka di dalam gelasku. Namun, tiba-tiba saja seseorang dengan kasarnya menyenggol punggungku hingga vodka yang kuminum tumpah sebagian ke gaun merah yang kugunakan. Bagus. Kesialan lain kembali datang menghampiriku. Dengan gemas aku beranjak dari tempat dudukku dan melirik sinis Jack yang sedang menahan tawanya. Jujur, terkadang aku menyukai sifatnya yang sering mentraktirku minum, tapi untuk sifatnya yang lain, aku sangat membencinya. “Hebat.” Aku tergelak miris dan berbalik ke arah pria yang kini sudah menghabiskan botol keempatnya. Jesus. Kuharap dia tidak pulang dengan mengendarai kendaraan seorang diri.
“Ada yang salah, nona?” tanyanya begitu ia menyadari bahwa aku menatapnya cukup lama dan menoleh. Suaranya begitu dalam dan cukup pelan, namun masih bisa terdengar meski agak semu akibat dentuman musik yang menderu. “Tidak.” Aku menggeleng cepat. Apakah aku sudah mabuk atau ia memang memiliki mata yang indah? Meski merah dan berair, tapi kilatan di matanya membuatku terpaku selama beberapa saat. Dia tergelak. Apa ada yang lucu? “Well, ada yang salah, tampan?” giliranku yang bertanya. Tentunya dengan nada yang memikat. Aku bahkan mengurungkan niatku untuk pergi ke toilet dan kembali duduk di tempat. Terlihat dia memicingkan mata ke arahku. Senyumannya yang miring langsung memperlihatkan lesung pipi yang kembali membuatku terpaku. Dia cukup tampan. Kuharap aku bisa mendapatkan yang satu ini. Tepat disaat tenganku bergerak hendak menyentuh pahanya, seseorang mencolek pundakku dan sontak membuatku berpaling. Clarissa. Ia salah satu partnerku juga. Ia melirikku sambil berjalan menjauh untuk memberi sinyal bahwa Spence memanggil. Lantas aku memalingkan wajah dan menarik tanganku kembali. Spencer memberikan sinyal bahwa aku mendapatkan pelanggan pertamaku malam ini. Tapi bagaimana dengan si tampan yang ada di hadapanku? Kontan aku kembali menoleh ke arahnya lalu berpaling lagi ke arah Spence yang kini tengah bersanding dengan seorang pria berjas hitam yang telah menungguku. Kini aku menimbang-nimbang. Melihat kedua pria ini, sepertinya tuan berjas hitam itu lebih memiliki banyak uang ketimbang dirinya. Maksudku, lihat saja jam tangan mahalnya yang mengkilat itu! Si tampan ini boleh saja memiliki lesung pipi indah dan rambut ikal yang menggoda. Tapi jika ia tidak mampu membayarku maka sama saja tidak akan ada hasilnya. “Permisi.” Ucapku seraya pergi meninggalkannya untuk melakukan tugasku. *** “Ahh, oke sudah cukup.” Ucapnya terengah, dan kepalaku tertarik ke belakang ketika dia menarik penisnya dari dalam mulutku. Lantas aku berdiri di kedua kakiku sambil menyeka sekitaran mulutku dengan punggung tanganku yang bebas, memutar bola mataku padanya karena jujur aku merasa kecewa karena tidak dibawa ke hotel. “Seratus dollar.” Dengan segera dia mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celananya dan memberikan apa yang aku minta. Tapi sudahlah, beruntung aku bisa mendapatkan uang hari ini ketimbang tidak membawa sepeser pun ke rumah. Dengan segera aku meninggalkan toilet untuk kembali ke meja bar. Sedikit berharap bahwa si tampan masih berada di tempatnya. Mungkin aku bisa mendapatkan sedikit uang tambahan setelah menghiburnya. Namun sial, yang ada justru kekacauan yang aku dapati sekarang. Tunggu dulu. Ada apa ini?? Beberapa wanita berteriak histeris ketika pria berambut ikal yang nyaris kugoda tengah memukul pelangganku barusan. Mengapa pula tiba-tiba ia memukulnya? Sontak aku bergeming di tempat dengan mulut yang terbuka lebar. Menonton aksi si pemuda tampan dengan pria yang kukira mungkin berumur sekitar 30-an saling memukul wajah satu sama lain. Tak seorang pun yang terlihat cukup berani untuk melerai keduanya padahal pelangganku itu sudah nyaris babak belur. Beberapa gelas dan botol juga jatuh berdentingan ke lantai sebelum akhirnya petugas keamanan datang untuk mengamankan keduanya. Dengan cara digusur tentu saja. Syukurlah. Namun, aku masih terpaku seorang diri. Baru kali ini aku melihat kejadian seperti tadi di sebuah klub terkenal yang hanya di datangi oleh orang-orang dari kalangan atas dan berduit. Tapi
jika spekulasiku benar, mungkin si pemuda berambut ikal itu lah yang mencari gara-gara dengan pelangganku. Tak lama, setelah aku tersadar dari kondisiku yang terbengong-bengong layaknya orang bodoh, aku pun beranjak ke meja bar dan bertanya pada Jack untuk menceritakan apa yang terjadi. “Pelangganmu tadi menumpahkan minuman ke bajunya. Si pemuda itu langsung naik pitam dan memukul wajahnya dengan keras.” Jack tergelak. “Kurasa si pemuda sedang frustasi dan mabuk berat.” “Oh.” Sudah kuduga ia yang memulai perkelahian. Dasar berandalan. Dalam sekejap persepsiku mengenai dirinya berubah drastis. Yang tadinya aku cukup memuja ketampanannya, sekarang jadi merasa terganggu oleh sifatnya. Ah, masa bodoh. Pun aku kembali terduduk di tempatku semula. Melirik ke tempat duduknya yang kosong oleh... tunggu... apa itu? Mataku mengedip beberapa kali, menatap sebuah benda berbentuk persegi dan berwarna hitam, terbuat dari kulit. Bodoh! Tentu saja itu sebuah dompet, Ken! Pasti pemuda berlesung pipi tadi tidak sadar bahwa dompetnya tertinggal. Tanpa berpikir panjang, aku pun melirik ke sekitar, memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat. Entah mengapa gerak-gerikku seperti seorang pencuri meski aku tidak memiliki niatan apapun kecuali setelah melihat isi dompetnya yang... Astaga! Ternyata aku salah menduga kali ini. Seratus, dua ratus, tiga ratus... dua ribu tiga ratus dollar? Uang sebanyak ini ada di dalam dompetnya? Siapa dia? Anak pejabat?? Lantas aku langsung melihat kartu tanda pengenalnya. Siapa tahu ia memang anak pejabat atau menteri. Jadi, jika aku mengembalikan dompetnya, mungkin ia akan memberiku sedikit tips? Dan disaat itu lah kulihat nama beserta fotonya.
Harry Edward Styles. Styles? Apakah ada seorang pejabat di Amerika yang bernama belakang Styles? Aku menggidikan bahu, tapi sekaligus menyadari sesuatu. Mungkin sebaiknya kusimpan dulu dompet ini sebelum memutuskan untuk mengembalikannya? Toh hanya sekedar untuk berjagajaga.