SHAFIRA D
CHANGED (SIDE-B)
Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
CHANGED
CHANGED (Side-B) Oleh: Shafira D Copyright © 2015 by Shafira D
Penerbit Henya Publishing
[email protected]
Desain Sampul: Vidhian Bintang & Shafira D
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Shafira D
Ucapan Terima Kasih
Beribu sayang dan terima kasih untuk para pembaca setiaku di Wattpad yang selama ini selalu memberiku dukungan dalam menulis serta tiada hentinya mendorongku agar fan fiction ini diterbitkan dalam bentuk buku. Aku senang dengan keantusiasan kalian serta kritik dan saran kalian yang menolongku. Terima kasih juga kepada Vidhian, karena telah membantuku menyelesaikan tahap dalam pembuatan buku ini hingga siap terbit, mendengarkan seluruh cerita-ceritaku di saat aku sedang menghadapi keputus asaan dan hambatan, dan memberiku masukan dalam menyelesaikan buku ini. Terima kasih juga karena telah menjadi teman terbaikku, kau sungguh kreatif dan menghibur. Terima kasih juga untuk sepupuku, Ana, yang diam-diam membaca fan fiction ini dan memuji hasil karyaku yang tidak seberapa. Kuharap kau tetap menjaga ini sebagai rahasia. Selanjutnya, terima kasih untuk Novia, Dayanti, dan Indira yang selalu mengomentari setiap bagian dari buku ini. Juga terima kasih atas dorongan kalian yang membuatku pantang menyerah dalam menulis. Kalian memang pembaca dan teman yang terbaik. Terima kasih untuk seluruh Hendall Shippers (baik dari luar dan dari dalam negeri) yang selalu membangkitkan semangatku dalam menulis. Mikaela and Saloua, I really appreciated your effort when you kept trying to read this fan fiction by using Bing & Google Translate. Thank you so much and I love you, guys. Juga kau, Vindi, kau juga yang terbaik.
3
CHANGED Kemudian aku juga berterima kasih secara khusus pada seluruh pihak nulisbuku.com karena telah membantuku untuk menerbitkan buku ini secara mandiri. Aku sangat bersyukur atas kesediaannya untuk menyediakan fasilitas seperti ini bagi para penulis-penulis yang berbakat. Dan, akhirnya, terima kasih pada para musisi berbakat dan publik figur yang telah menginspirasiku, terutama One Direction. Aku memilih Harry Styles sebagai tokoh utama pria disini karena aku sangat mengidolakan sosoknya, begitu pula dengan Kendall Jenner yang kecantikan fisik dan hatinya tiada tara. Segenap cintaku untuk mereka berdua. Juga kepada Demi Lovato, The Script, Ariana Grande, Ed Sheeran, dan Ellie Goulding. Lagu-lagu mereka telah banyak menginspirasiku dan memudahkanku dalam menulis, dan yang paling penting mereka menghiburku melalui musik mereka.
4
Shafira D
BAB 12 Kenya Seorang perawat datang untuk memberitahuku bahwa aku sudah diperbolehkan untuk masuk melihat Will di ruang ICU. Suasana yang aku rasakan begitu masuk sungguh berbeda dibandingkan dengan dini hari tadi. Suhu ruangannya sangat dingin, seluruh mesin juga sudah di matikan. Tidak ada lagi bunyi nyaring yang teratur. Lalu langkah kakiku semakin pelan dan lambat ketika melihat sesosok tubuh kecil dan mungil yang sudah ditutupi oleh kain putih dari dari ujung kakinya hingga ke ujung kepala. Aku tidak tahu apakah aku memiliki kekuatan untuk membukanya atau tidak, tiba-tiba aku merasa enggan. Astaga. Aku masih belum mau percaya bahwa anak lelaki di hadapanku ini adalah Will. “Kenya...?” Ezra berbisik di dekatku. Tanganku sudah bergerak ke ujung kain putih di atas kepalanya, namun sekujur tubuhku bergetar kuat. Aku menghela napas panjang dan memejamkan mata sebelum menariknya perlahan. Oh. Ya Tuhan... Aku belum pernah melihat Will setenang dan sedamai ini sebelumnya. Dia tidak lagi merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dia tidak lagi menderita karena penyakitnya. Dan dia tidak perlu lagi menangis merindukan Jo, ibu kami yang sudah lebih dulu di surga. Namun, tetap saja aku masih belum bisa merelakan kepergiannya. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Rasanya sakit. Sangat sakit. Dia terkujur kaku tak bernafas. Tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk membuka matanya. Satu hal yang paling menyakitkan dari kehilangan seseorang yang sudah mati adalah mereka tidak bisa kembali lagi. “Ezra... bisa aku minta tolong sesuatu padamu?” “Ya, tentu. Apapun.” 5
CHANGED “Tolong beritahu Debbie mengenai ini.” Dia mengangguk pelan padaku, kemudian berlalu keluar sementara aku membutuhkan waktu berdua dengan Will. Aku mengusap lengannya, wajahnya, lehernya, dan sekali lagi mengecup wajahnya dari kening hingga ke dadanya. Aku megap-megap. Menarik napas panjang sekali lagi, aku mencoba mengaturnya agar bisa lebih teratur. Ya ampun, Will. Mengapa kau harus mendahuluiku? Mengapa kau harus mendahuluiku? Mengapa kau harus mendahuluiku? Berulang-ulang pertanyaan itu terlintas di kepalaku seperti sebuah kutukan bagi diriku sendiri. Kupikir dia jauh lebih layak mendapatkan hidup yang lebih panjang dan bahagia. Tak lama, salah seorang perawat laki-laki datang, meminta izinku untuk membawa Will ke tempat yang lebih nyaman karena mungkin ruang mayat akan terdengar memilukan untukku. Jadi sekali lagi aku mencium wajahnya lebih lama, memberikan salam perpisahan kemudian perawat menutupnya lagi dengan kain dan membawanya pergi. Aku lebih memilih untuk diam di tempat ketimbang mengikutinya. Aku memeluk diriku sendiri, berusaha untuk tenang dan menghentikan tangisanku. Mendelikkan mata, aku melihat sebuah beanie berwarna ungu di atas meja. Itu milik Harry. Hingga saat ini aku belum tahu apa alasan yang membuat Will memintanya. Sedikit mengherankan dan aku juga terkejut, jadi aku bergerak mengambilnya, membawanya ke hidungku dan aku menghirup bau obat-obatan yang tercampur dengan aroma rambut Harry. “Aku turut berduka.” Aku nyaris meloncat kaget. Mendengar suara serak itu aku tahu bahwa Harry ada di belakangku. Lantas aku memutar tubuh ke arahnya. Bersyukur air mataku sudah terhenti jadi aku tidak perlu menangis di hadapannya. “Setidaknya dia sudah tenang disana. Dia tidak perlu kesakitan lagi.” Aku merasakan sudut bibirku berkedut, antara ingin memasang senyum ikhlas dengan bersikeras menahan tangis. Tapi melihat wajah Harry yang prihatin terhadapku membuatku goyah. Dia maju selangkah dan menarikku dalam 6
Shafira D pelukannya. Oh, tangisku pecah lagi. Baru saja beberapa detik yang lalu aku berhenti menangis dan sekarang wajahku sudah banjir lagi dengan lebih deras. Harry memelukku erat. Tangannya berada di leher dan punggungku. Hidungnya di rambutku dan dia menghirupnya dalam-dalam, sementara aku terisak hebat dan melingkarkan kedua tanganku di punggungnya. Aku merintih, keluh kesahku seakan terlepas lewat tangisan yang disertai oleh kehangatan pelukannya. Seakan ada kesedihan dan kelegaan yang berangsur datang secara bersamaan. Dan aku tahu kelegaan itu timbul akibat dirinya ada disini menemaniku, mendekapku, menyampaikan bahwa aku akan baik-baik saja meski dia tidak mengatakannya. Pelukannya semakin erat. Sangat erat hingga aku tidak memiliki kekuatan lagi untuk menangis. Ini terlalu nyaman. Kemudian secara ajaib rasa tenang itu datang dalam sekejap, menyebabkan tangisanku terhenti secara penuh. Entah sudah berapa lama ini berlangsung dan aku masih belum mau lepas darinya. Getaran yang dia timbulkan membuatku kelewat nyaman, tapi aku tahu batasan dan sebelum aku melewati batas itu aku harus menarik diri darinya. “Terima kasih.” Bisikku. Mengingat bahwa beberapa saat sebelumnya dia membentak keras Christian, aku jadi tidak bisa memarahinya setelah pelukannya tadi. “Untuk apa?” “Membuatku merasa lebih baik. Aku senang kau disini, dan kuharap kau mau datang ke pemakamannya besok.” Harry tidak merespon. Entah apakah dia memang tidak bisa datang atau tidak tahu harus menjawab apa. Lalu aku mendengar suara seseorang berdeham, kontan aku memalingkan wajah dan melihat Ezra sudah berdiri di ambang pintu tengah memandangi kami. Sudah berapa lama dia disana? “Ezra?” aku berjalan menghampirinya. Wajahnya terlihat kusut dan dia seperti enggan menatap mataku. “Kau baik-baik saja?” “Ya, aku—aku sudah menghubungi Debbie. Dia berkata dia akan ke New York secepatnya.” “Lalu bagaimana reaksinya?” 7
CHANGED Ezra memijit pangkal hidungnya, masih membuang muka dariku. Dia terlihat bingung. Apa yang salah? Dalam hati aku bertanya. “Dia terdengar kaget... dan sedih. Dia menangis. Well, aku akan mengatur pemakamannya kalau begitu.” Aku mengangguk singkat padanya. Meski aku tidak tahu apa yang terjadi pada Ezra sehingga dia tiba-tiba bersikap seperti ini, aku tetap berterima kasih padanya. Di senin paginya kami semua mendatangi pemakaman. Semua dalam arti aku, Jules, Ezra, bibi Debs, dan beberapa tetangga beserta guru-guru di sekolah lama Will. Christian juga datang di upacara pemakaman, namun aku tidak melihat Harry di sekitaran. Selama pendeta membacakan doanya aku justru menangis memandangi peti mati Will beserta batu nisan yang sudah disiapkan. Ada namanya yang tertera disitu, William Alexander Sharp. Nama yang indah kupikir. Mungkin jika Will masih hidup dia akan tumbuh menjadi pria yang tampan. Sayangnya, aku tidak akan melihatnya tumbuh dewasa. Aku mulai merasa bahwa aku lalai menjaganya. Aku tidak bisa seperti Joselyn, menggantikan sosok ibu sekaligus ayah yang baik untuknya. Padahal aku sudah mengerahkan segala hal untuk menjaganya. Aku rela mengorbankan apapun hanya untuk kesembuhannya. Ini sungguh disayangkan. Sangat disayangkan. Dan aku patut menyalahkan diriku sendiri. Seusai upacara pemakaman berakhir, Debbie masih berdiri di dekat pusara sambil menitikan air matanya. Aku yang tidak mau lagi berlarut dalam kesedihan memilih untuk berterima kasih pada tamu yang sudah berbaik hati untuk datang, terutama Christian. Tidak sulit mencarinya di antara sekumpulan orang yang berbaju hitam. Rambutnya yang sudah seluruhnya memutih memudahkanku untuk menemukannya. “Christian.” Dia berbalik ke arahku. “Terima kasih sudah mau datang. Ini berarti banyak bagiku.” Terlihat ada jejak senyum di wajahnya yang ramah itu. “Ini kali kedua aku mendatangi pemakaman pasienku sendiri. Yang pertama adalah pasienku yang juga menderita leukimia akut dan meninggal satu tahun yang lalu. Dia seorang pasien yang gigih. Dia hampir 8
Shafira D sama seperti Will, benci dengan obat-obatan, senang menghibur dirinya dengan berdiam diri di kamar ketimbang berada di bangsal. Kenya, sebaik mungkin aku selalu menjalin hubungan erat dengan setiap pasienku, aku ingin tahu sejauh mana mereka ingin bertahan hidup dan bagaimana aku bisa membuat mereka merasa lebih baik. Dan jika pada akhirnya mereka gagal terkadang aku lah yang justru merasa gagal. Aku sempat berpikir bahwa Harry benar mengenai ucapannya.” “Tidak, dia tidak benar. Christian, kumohon jangan menyalahkan dirimu sendiri.” “Aku tidak menyalahkan diriku sendiri, Kenya. Aku hanya merasa kecewa, mungkin seharusnya aku bisa melakukan yang lebih baik lagi.” “Kau sudah melakukan yang terbaik, Christian. Aku percaya padamu, sungguh. Tuhan sudah memberikan yang terbaik untuknya, aku yakin itu. Sekali lagi terima kasih atas segala upaya yang sudah kau berikan. Aku berhutang banyak terhadapmu.” “Kau tidak perlu memikirkannya.” Dia tersenyum ramah, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menghentakkan napasnya satu kali. “Bibimu terlihat sangat terpukul.” “Ya, dia menangis semalaman. Well, bagaimana Harry? Kulihat dia tidak datang, apa dia ada urusan?” “Aku sudah mengajaknya untuk kemari tapi dia menolak. Dia tidak berbicara banyak mengapa dia tidak mau datang, tapi aku yakin pasti ada alasannya. Maafkan aku.” “Tidak apa-apa.” ujarku cepat, mencoba menutupi rasa kekecewaanku karena ketidakhadirannya disini, dan setelah itu Christian pamit dariku. Aku diam sejenak merasakan hembusan angin yang membuat rambut dan gaun pendek hitamku berkibar. Namun, begitu aku menoleh ke sebelah kiri, aku melihat sebuah motor di ujung jalan—tepatnya di dekat mobil-mobil yang terparkir rapih—dan disana ada dia yang tengah duduk dan memandangiku dari kejauhan. Untuk sesaat aku merasa tidak percaya, akan tetapi setelah melihatnya untuk waktu yang cukup lama, barulah aku yakin bahwa itu benar-benar dia. Aku berjalan menghampirinya, 9
CHANGED menyisipkan rambutku yang terbawa angin di balik telinga kemudian berdiri di hadapannya. “Kau datang.” “Kupikir kau yang memintaku kemarin.” Aku tersenyum dan menunduk. Dalam sepersekian detik kekecewaanku tergantikan oleh perasaan senang sekaligus haru. Dia peduli. Dia masih peduli terhadapku. “Kupikir kau tidak akan datang.” “Awalnya aku juga berpikir seperti itu.” Aku tergelak, kemudian melirik ke arah tangannya yang memegang stang. Mendapati cincinku yang masih melingkar di jari kelingkingnya membuatku lega bukan main. “Bagaimana kabarmu?” “Buruk. Terkadang bahkan aku masih tidak mau percaya pada kenyataan.” Gumamku muram, dan aku menyisipkan lagi rambutku di balik telinga. Harry menatapku dalam-dalam. “Kau akan baik-baik saja.” “Kuharap juga begitu.” Aku mengintipnya dari bulu mataku. Dia terlihat tenggelam dalam pikirannya, memancarkan keheningan yang mematikan. “Apa kalian sudah membicarakannya?” aku mengamatinya menatap ke kejauhan, dan begitu aku mengikuti kemana arahnya, aku mengerti bahwa orang yang sedang dia bicarakan adalah aku dan Ezra. Jadi aku mengangguk. “Lalu?” “Lalu apa?” “Kalian kembali? Apa dia memintamu kembali?” Aku menggeleng pelan, “Tidak.” “Jika dia memintamu untuk kembali padanya, kau tidak boleh mengabulkannya.” “Mengapa? Bukankah kau yang dulu menyuruhku untuk tidak putus dengannya?” “Aku salah saat itu. Aku berkata seperti itu karena kupikir dia jauh lebih baik untukmu.” Tiba-tiba rahangnya mengeras. “Dan sekarang kau pikir dia tidak?” Harry memutar bola matanya dariku. Aku benar-benar tidak mengerti dengan pria ini. Dia selalu ingin mengontrolku untuk
10
Shafira D suatu alasan yang tidak jelas, padahal kami sama-sama tahu apa keinginannya yang sesungguhnya. “Aku... aku sudah berusaha untuk menjauh darimu. Aku mencoba untuk tidak peduli padamu dan mengabaikanmu, Ken. Aku mengerahkan banyak cara untuk itu tapi entah mengapa pada akhirnya aku selalu berakhir dengan datang menemuimu. Kupikir ada yang salah denganku.” Ya, awalnya aku juga berpikir bahwa ada yang salah denganmu, Harry. Dan sekarang setelah kau berbicara seperti ini aku seakan bisa melihatmu berdiri di atas sebuah lempeng tektonik yang retak. Kau mulai goyah. “Harry, apa kau ingat kau pernah berkata padaku bahwa dalam filsafat adalah tentang menarik kesimpulan dari sebab dan akibat? Aku terpukau pada penjelasanmu saat itu. Kau menjelaskan dengan panjang lebar dan membuatku merasa seperti orang awam yang tidak tahu apa-apa. Kau mengintimidasiku. Namun sesungguhnya bukan itulah arti yang sebenarnya. Kau salah. Filsafat mengajarimu untuk mencari kebenaran, bukan hanya sebuah kesimpulan dari premispremis yang kau kumpulkan.” Dia tertegun mengamatiku. Lantas aku menghentakkan napas satu kali sambil berharap agar kali ini aku berhasil meyakinkannya. Aku tidak tahu apakah ini bisa mengubah cara berpikirnya atau tidak. “Sekarang cobalah kau pikirkan apakah kesimpulan yang sudah kau tarik adalah benar? Karena bisa saja kau salah.” “Jadi menurutmu ini wajar? Wajar jika aku tidak bisa lepas darimu sementara aku tidak bisa bersamamu?” Aku menggeleng lagi padanya. “Aku tidak tahu. Hanya kau yang punya jawabannya.” “Kenya!” Seseorang berteriak dan aku menoleh ke belakang. Melihat Ezra datang menghampiri kami sontak membuat Harry memakai helmnya dan mengengkol pedalnya. “Kau sudah mau pergi?” ada nada kegelisahan dalam suaraku. “Mengapa pula aku harus berlama-lama disini?” “Ken, Debbie meminta pulang.” Kata Ezra di sebelahku. Jika sudah begini maka aku tidak bisa berbuat banyak. “Sampai jumpa.” Gumamku pelan.
11
CHANGED Harry mengangkat sebelah alisnya padaku kemudian motornya melaju kencang meninggalkan kami berdua. *** Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan Harry. Jika aku ingin menyimpulkan masalah yang kami hadapi sekarang, Harry seakan enggan melihat kebenaran yang ada. Dia terus berada dalam penyangkalannya dan menaruhku dalam posisi yang tidak bisa mendatangkan keuntungan apapun. Aku seolah digantung pada sebuah tiang yang tidak bisa berayun untuk memilih sisi mana yang bisa menyelamatkanku. Jika aku terus menerus menekannya, aku takut dia akan pergi. Dan jika aku memilih untuk pergi darinya, aku takut aku yang akan tersiksa. Sebutlah aku orang yang menyedihkan, dan itu memang benar adanya. Aku menyedihkan. “Kita sampai.” Ezra memecahkan lamunanku. Di kursi penumpang, Debbie langsung turun tanpa mempedulikan riasan wajahnya yang rusak oleh air mata. Baru saja aku hendak menyusulnya turun, tiba-tiba Ezra menahanku. “Temani aku minum kopi, oke?” Aku diam sejenak. Menatap ke dalam matanya, aku pun tahu bahwa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Jadi aku mengiyakan dan menutup pintu mobilnya lagi. Ezra mengemudi hingga ke sebuah kedai kopi di dekat lampu merah. Tidak jauh, hanya beberapa puluh meter dari apartemenku. Setelah kami mendapatkan tempat duduk di dalam kedai dan memesan dua cangkir kopi, aku memulai pembicaraan karena Ezra terus diam. “Ada apa?” Butuh waktu cukup lama baginya untuk menjawab. Dia terlihat berpikir keras. “Aku sudah memikirkan semuanya. Apa yang terjadi pada kita sejauh ini, aku sudah memikirkannya baik-baik. Kenya, aku... aku tahu aku salah dengan membentakmu kala itu, dan aku minta maaf. Seharusnya aku mau mendengarkan dan mengerti keadaanmu. Dan seharusnya aku bisa melakukan hal yang
12
Shafira D jauh lebih baik untuk menolongmu dengan kondisimu yang begitu sulit saat itu—“ “Ezra.” Aku memotongnya, kupikir aku mengerti apa yang ingin dia sampaikan. “Aku tidak marah padamu, menurutku hal yang wajar jika saat itu kau membentakku dan tidak mau mendengarkanku. Kau tidak perlu minta maaf.” “Well, aku hanya sedikit khawatir bahwa kata-kataku sudah menyakitimu. Lalu soal Harry...” Harry? “Aku tidak tahu harus memulainya dari mana, yang jelas aku tidak menyukainya sejak awal.” “Aku tahu.” “Kenya, aku ingin melupakan ini semua. Aku ingin menganggap bahwa ini semua tidak pernah terjadi dan aku berjanji aku akan melindungimu darinya.” Tunggu. Dia bilang apa? “Melindungiku darinya? Apa maksudmu?” Keningku mengernyit, bingung. “Kenya, aku tahu apa yang sudah dia perbuat padamu. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku tahu dia orang yang berbahaya, dia tidak baik berada di dekatmu. Dia menekanmu, memaksamu melakukan hal yang tidak kau inginkan, dia mengambil keuntungan darimu. Bukankah itu yang dia lakukan?” “Ezra, itu tidak benar. Aku tidak pernah berkata seperti itu.” well, awalnya memang, ya, aku sempat merasa seperti itu. Aku ingat bagaimana dulu Harry selalu bersikap kasar terhadapku dan memaksakan kehendaknya tapi itu tidak lagi! “Aku tidak mengerti, mengapa kau tiba-tiba berkata seperti ini?” “Kopi hitam dan vanila latte?” salah seorang pelayan wanita tiba-tiba datang menginterupsi kami. Sempat aku menyadari bagaimana pelayan ini tersenyum padaku dan Ezra ketika dia menaruh kopinya untuk kami. Dia menunjukkan senyuman yang berbeda. Senyuman untuk Ezra jauh lebih lebar dan terkesan genit. Tapi aku tidak memiliki waktu untuk menggunjing hal itu. “Aku sudah memaafkanmu.” Tiba-tiba dia melanjutkan ketika tanganku bergerak mengaduk vanila latte di cangkirku. “Semuanya. Kebohonganmu dan perbuatanmu di belakangku dengannya, semua itu sudah aku maafkan, Ken. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku sendiri kaget dengan reaksiku yang tidak bisa 13
CHANGED marah terlalu lama padamu. Seberapa besar luka yang kau timbulkan padaku, aku tetap tidak bisa melupakanmu. Aku sangat mencintaimu, Ken, dan aku ingin kita memulainya lagi dari awal.” Untuk sesaat aku tertegun, berpikir bahwa betapa beruntungnya aku memiliki seseorang seperti Ezra di dalam kehidupanku. Tapi lagi-lagi aku sadar bahwa aku tidak layak untuknya. Dan aku juga sadar bahwa aku tidak ingin lagi menjalani hubungan yang dipaksakan, dalam arti aku tidak menginginkan hubungan yang dijalani secara sepihak karena aku tidak memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Aku menyayangi Ezra. Ya, aku menyayanginya, namun hanya sebatas teman, bahkan mungkin saudara, tidak lebih. “Maafkan aku.” “Kenya...?” “Aku menghargai perasaanmu, sungguh. Aku senang kau memaafkanku dan mencoba untuk melupakannya karena aku tidak akan berbohong kalau aku juga mengharapkan hal itu. Tapi aku juga sudah memikirkan hal ini dari jauh-jauh hari. Aku tidak bisa lagi menjalani hubungan denganmu, Ezra, maafkan aku.” Dengan gelisah aku menggigit bibir dan menunduk, menatap jari-jari tanganku sementara Ezra justru mematung dan belum memberikan respon. “Me-mengapa kau tidak bisa?” nada suaranya hampir terluka. Oh, ya Tuhan. Bagaimana aku harus menjelaskannya? “Aku lelah, Ezra. Aku sangat lelah dengan menjalani hubungan sepihak. Ini menyiksaku.” “Aku tidak mengerti, apa maksudmu dengan hubungan sepihak?” aku mendongak ke arahnya, melihat ada keresahan di kedua bola mata abu-abunya yang indah. Kupikir Ezra cukup tahu apa maksudku tapi sialnya dia memaksaku untuk menyakitinya lagi. “Aku tidak memiliki perasaan yang serupa terhadapmu.” Itu dia. Reaksi itu muncul seperti dugaanku. Dia menunduk sedikit, melihat ke bawah dan rasa putus asa langsung tersirat di raut wajahnya yang terluka. Sial. Sial. Sial! Ezra, jangan salahkan aku. Salahkan dirimu sendiri yang menginginkan jawaban jujur dariku! “Menurutku menjalin hubungan seperti itu hanya akan membuatku jenuh dan lelah. Aku tidak bisa melakukannya lagi.” 14
Shafira D “Omong kosong.” Katanya, masih enggan menatapku secara langsung. “Kau menolakku karena si brengsek itu, bukan?” Oh, ayolah! Julukan brengsek bahkan terlalu bagus untuknya! “Bukan, ini bukan tentang dia.” Suaraku berubah bergetar. Ini sulit. Terlalu sulit. “Aku memang mencintainya tapi aku bersumpah bahwa ini bukan karena dia. Aku sepenuhnya berkata jujur padamu.” Ezra langsung melirikku dari balik bulu matanya. Mulutnya separuh terbuka. Dia seakan hilang dan nyaris hancur. Lalu perasaan bersalah itu muncul lebih kuat lagi dalam diriku. Sialan. “Aku lebih memilih sendiri ketimbang harus menjalani masamasa itu lagi.” “Kalau begitu belajarlah untuk mencintaiku, kau dulu mencintaiku. Lakukan itu lagi.” Aku tergelak ironi. Rupanya Ezra Mills masih belum mengerti bahwa aku tidak akan pernah bisa mencintai orang sebaik dirinya. “Aku bahkan tidak tahu apakah perasaanku terhadapmu dulu adalah cinta atau hanya sebatas rasa kagum, tapi aku sudah berusaha semampuku, Ezra. Aku mencoba untuk mencintaimu, mengalihkan seluruh perhatianku padamu, tapi aku tetap tidak bisa. Aku bersumpah aku sangat ingin bisa membalas perasaanmu, namun aku selalu gagal. Aku menyanyangimu, sungguh, namun tidak dalam cara yang kau harapkan aku untuk bisa merasakannya.” “Lalu apa?” dia merintih. Aku mengangkat bahuku, “A-aku tidak tahu. Mungkin teman, kerabat, atau keluarga? Apapun itu tidaklah penting, Ezra, yang jelas aku senang memilikimu di dekatku, namun bukan sebagai seorang kekasih.” Kali ini dia menatapku. Benar-benar menatapku sehingga aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Oh, ya Tuhan, teganya aku berkata seperti ini terhadapnya. “Apa tidak ada kesempatan untukku?” “Tidak.” Aku memohon. Memohon dalam hati agar dia tidak melanjutkan ini lagi. “Tapi aku—“
15