Hanna Yastinika
Akankah Kita Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
BAB 1
Mandi Matahari 2
Sepasang bola mata menatap jalanan lengang dari balik jendela, jemari kedua tangannya terkait menopang dagunya, sesekali dia melirik jam tangan mungil berwarna cokelat tua yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam membentuk sudut 75 derajat, sudah jam setengah empat sore. Gadis itu memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, menyesapi aroma harum kopi yang begitu menenangkan pikiran. Dia meraih secangkir kopi yang ada di hadapannya, dirasaknnya cangkir tersebut sedikit panas, dia mendekatkannya ke mulut lalu dengan hati-hati menyeruputnya. “Hmm… pahit! Lupa belum kasih gula. Kemana ya tuh anak nggak kelihatan ujung rambutnya?!” gadis itu bergumam dan mengambil gula sachet lalu menyobek ujungnya. “Hayo lagi apa?!” teman gadis itu menepuk punggungnya untuk sengaja mengejutkannya, membuat sobekan kemasan gula menjadi besar dan menyemburkan isinya, tumpah berserakan. “Ya ampun… Karen! Kaget, lihat nih gulanya berserakan di meja.” “Iya iya, sini aku bantu bersihkan gulanya,” ujarnya sambil terkekeh. Karen langsung mengambil beberapa helai tisu, mengumpulkan gula yang berserakan di ujung meja dan menjatuhkannya pada tisu yang ditadahkan di bawah meja lalu membungkusnya. “Kenapa dibungkus? Mau dibawa pulang?” 3
“Hasita Ayunda… kalau langsung aku buang ke lantai kasihan petugas kebersihannya dong, belum lagi nanti semut dan koloninya datang.” Karen mengambil duduk di sebelah Hasita. “Ah… ya, kau memang selalu punya kebiasaan baik untuk hal itu, tapi kau selalu punya kebiasaan buruk nggak disiplin. Kau tahu sekarang jam berapa? Molornya sejam, bilangnya sudah di jalan dari 45 menit yang lalu, tapi kenapa baru sampai? Bukannya tempat ini cuma 10 menit saja dari rumahmu? Itupun jalan kaki. Kau kesini naik sepeda pancal kan? Harusnya nggak sampai 10 menit, Karen. Memangnya rumahmu sudah pindah?” “Astaga Hasita, kau mengomel seperti emak-emak. Iya beneran tadi lagi di jalan kok, jalan menuju kamar mandi,” ujar Karen cengengesan. Hasita gemas mencubit pipi Karen yang tembem dengan pelan tidak bermaksud menyakiti. “Tahu nggak, aku sudah seperti nunggu cinta sang pangeran pujaan hati yang tak kunjung datang?” “Oh my… God, jadi selama ini kau diam-diam jatuh cinta sama aku?” “Ih… ya ampun Karen, kenapa jadi begini ya nih anak? Kau sakit? Terlalu lama jomblo sih.” “Ih… lepas!” Karen menyingkirkan tangan Hasita, lalu memijat-mijat pipinya. “Kayak yang ngomong nggak jomblo saja.” “Iya juga sih” Hasita memutar bola matanya. “Kau bawa laptop kan? Kita ke sini kan mau kerjakan tugas kelompok.” Lanjutnya.
4
“Iya, bawa kok. Referensi kita kurang nih, kau cari referensi lain gih!” “Oke, kau tunggu di sini ya. Aku ke atas dulu cari buku.” “Sip…”
(!) Tempat
ini memang favorit Hasita untuk Hangout.
Sebuah kedai kopi di lantai dasar dilengkapi dengan sebuah perpustakaan umum. Desain arsitektur modern minimalis, bersih, nyaman, tenang, asri, jauh dari keramaian kota. Menikmati secangkir kopi sambil membaca buku adalah suatu hal yang menyenangkan dan hebatnya lagi, membaca, menyewa dan menjadi anggota perpustakaan ini gratis. Hasita menaiki tangga menuju lantai dua, langkahnya melamban dan langsung terhenti saat kaki terakhir yang diangkatnya menyusul kaki yang lainnya di puncak anak tangga. Waktu terasa berhenti untuk sekian menit seperti adegan saat aktor Korsel Kim Soo Hyeon menghentikan waktu di serial drama aliennya. Otaknya seakan memerintahkan seluruh tubuhnya untuk mematung. Jantungnya berdesir, paru-parunya mendadak dipenuhi gas CO2, kembang kempis karena kekurangan pasokan gas O2. Meja dan bangku tertata rapi di ujung ruang lurus dengan arah tangga, biasanya para pengunjung enggan duduk di tempat itu dan lebih memilih duduk di sofa yang 5
empuk karena mereka tidak akan kepanasan oleh paparan sinar matahari. Namun kali ini berbeda, Hasita menangkap pemandangan yang sangat mempesona. Seseorang dengan headphone di kepalanya, pandangannya fokus ke layar monitor laptop, pria itu memakai kemeja putih dengan lengan baju dilingkis tiga perempat, tubuhnya seakan berseri bermandikan sinar matahari. “Indahnya…” hanya ada satu kalimat berdesis. Hasita menggeleng-gelengkan kepala, mengelus dada mencoba menormalkan desiran di jantung dan mengatur napasnya kembali. Dia mengeryitkan alisnya, mencari jawaban atas apa yang sebenarnya telah terjadi. Dia menggelengkan kepalanya lagi, sepertinya jawaban itu tidak ketemu. Hasita menyusuri rak-rak buku, mengambil beberapa buku kategori ekonomi. Dia duduk di lantai, membalikbalikkan halaman demi halaman, matanya fokus membaca dengan teknik skimming. “Let me see, hemm… memahami manajemen pemasaran, mengembangkan strategi pemasaran, menganalisis peluang-peluang pemasaran. Buku Philip Kotler ini rata tentang teori.” Hasita menutup buku terakhir dari tumpukan bukubuku yang diborongnya. Dia beranjak berdiri dan mulai menyusuri buku-buku lalu menemukan satu judul buku yang menarik perhatiannya. Tangan kanannya mencoba meraih buku itu namun tidak sampai, dia menjinjitkan kakinya hingga hanya jempol kaki yang menopang tubuhnya namun tetap saja tidak teraih. Tangan yang lain berhasil mengambil buku itu, Hasita melihat pada tangan 6
kirinya, bukan, ternyata bukan tangan kiri miliknya yang mengambil buku itu. “63 Kasus Pemasaran Terkini Indonesia.” Suara yang tiba-tiba itu membuat tubuh Hasita berjingkat. “Sorry, kaget ya?” Hasita menoleh ke arah asal suara yang mengejutkannya itu dan tak kalah terkejutnya saat berbalik badan dia menemukan seseorang yang tersenyum berseri padanya. Jantungnya berdegup kencang, kali ini terdengar seperti gemuruh sepatu kuda layaknya di arena pacuan kuda. “Pria bermandikan sinar matahari…” “Maaf?” “Ya?” “Tadi kau bilang sesuatu, hemm… lebih tepatnya berguman. Aku tidak bisa mendengarmu.” Suara beratnya mengalunkan kata-kata itu dengan tempo pelan, senyum manis menghiasi wajahnya yang tampan. “Oh, bukan, bukan apa-apa.” Hasita terkesiap, pria itu terus tersenyum, senyuman sangat manis, bukan hanya bibirnya yang tersenyum tapi juga matanya yang pastinya membuat setiap gadis terpesona olehnya. Dia melihat ke arah tumpukan buku di lantai. “Sedang cari referensi untuk tugas ya?” “Iya, tapi belum ketemu yang pas.” “Sepertinya buku ini oke, kau tadi berniat mengambil buku ini kan? Nih…” pria itu menyodorkan buku yang diambilnya tadi kepada Hasita. “Ah, iya. Terima kasih.”
7
“Ada beberapa buku karangan Ippho Santosa, bukunya bagus, tidak membahas tentang teori.” “Oh ya? Aku belum pernah tahu.” “Iya, judulnya ‘Marketing is Bullshit’, kebetulan beberapa hari yang lalu aku baru beli, maunya sih pinjam di sini tapi tidak ada. Kalau kau mau, aku bisa pinjamkan.” “Boleh, mas kuliah fakultas ekonomi juga?” “Bukan, aku ambil fakultas teknik.” “Oh…” Hasita menundukkan pandangannya. “Kau sering kesini? Sendirian?” “Huh? Emm… sering, aku sama temanku kok. Dia menunggu di bawah.” “Oke, besok Sabtu sore jam 3 aku tunggu di lantai bawah. Hemm… aku balik dulu ya.” “Besok ya? Oke deh.” Pria itu berlalu dari hadapan hasita meninggalkan senyumannya. Dia mengemasi laptopnya, menarik resleting tas lalu mencangklongkan tasnya. Sesaat kemudian pandangannya tertuju pada Hasita yang tengah sibuk dengan buku-bukunya, gadis itu berparas cantik, dia tidak terlalu tinggi kemungkinan hanya 155 cm, dia mengenakan dress selutut berwarna putih, lengan baju berkerut tiga perempat, rambut panjang ikalnya dikuncir setengah dengan pita berwarna senada, feminim.
(!) Tiga
menit berlalu, Hasita teringat sesuatu. Dia
menyusuri ruang penuh rak-rak buku, mempercepat langkah kakinya, langkahnya kini berlari-lari kecil 8
menuruni anak tangga, menelusuri seluruh ruang. Pandangan Karen mengikuti gerak tubuh sahabatnya, sesaat dia akan memanggil sahabatnya itu tapi niatnya diurungkan. “Ah, paling dia sedang mencariku. Apa aku nggak kelihatan duduk di sini?” gumam Karen kemudian mengambil sebuah biskuit dan bersiap memakannya. “Eh, ngapain tuh anak matung di situ? Apa dia kesambet?” “Hasita?” Karen berteriak. Hasita berlari kecil menghampiri meja Karen. “Kau lihat pria yang tingginya sekitar 180 cm pakai kemeja putih nggak?” “Pria? Hmmh… lihat, lihat.” “Di mana? “Tuh, lagi buat kopi.” Karen memutar badannya dan menunjuk seorang karyawan kedai di belakangnya. Hasita mencondongkan badan agar bisa melihat orang itu. “Kok bapak-bapak?” “Hei… meskipun bapak-bapak kan tetap saja pria, bapak itu juga pakai kemeja putih.” “Tapi kan tingginya nggak sampai 180 cm.” “Ya mana aku tahu, memang aku petugas posyandu yang kemana-mana bawa meteran?!” Hasita memanyunkan bibirnya dan merampas biskuit dari tangan Karen lalu memakannya dengan lahap. ‘Mungkin dia sudah pergi’
(!) 9
BAB 2
Bertemu Dia 10
Sabtu sore, berdiri di depan pintu rumah sangat klasik dengan nuansa tradisional khas rumah adat jawa. Hasita melihat jam tangannya, celingukan melihat sekeliling, rumah ini sangat sepi. Dia mengangkat tangannya kembali, memegang gagang bulat yang menempel di pintu lalu mengayunkannya. ‘DOK DOK DOK’ Ini bunyi ketukan pintu untuk yang kesekian dan sekian kalinya. Pintu itu berderit terbuka perlahan, Hasita heran melihat pintu rumah yang terbuka pelan namun tidak ada orang yang membukanya. Dia melangkahkan kaki memasuki rumah dengan sangat berhati-hati. Tiba-tiba pintu itu terbanting sangat keras, Hasita menoleh dengan sangat terkejut, seketika matanya membelalak dan seakan tidak percaya apa yang dilihatnya, dari balik pintu itu menampakkan sesosok wanita memakai piama putih, rambutnya tergerai panjang, wajahnya putih pucat. Hasita membuka mulutnya lebar-lebar, sosok wanita itu menghampiri Hasita yang berjarak satu meter darinya dan dengan cepat membekap mulutnya. Ditatapnya pupil mata Hasita yang mulai melebar kembali lalu wanita itu melapaskan bekapan tangannnya. “Leganya… aku pikir jantungku akan copot.” “Kau pikir aku kuntilanak? Keseringan nonton film horor sih.” “Kau, kenapa siang-siang begini dandan ala kuntilanak?”
11
BAB 3
Gerak Cepat 12
Cahaya
berkilauan
menerpanya,
dia
mengulurkan
tangannya membantunya untuk berdiri, dirasakannya hangat memeluk tubuhnya, memaksa mengernyitkan alis untuk bisa memandangnya. “Hasita!” suara samar memanggilnya. Dia membuka matanya perlahan dengan masih mengernyitkan alisnya. “Sampai kapan kau akan menutup matamu? Bangun, Nak!” “Bunda?” Hasita mengucek matanya. “Iya, kau kira siapa? Ponselmu berdering, apa kau tidak dengar?” tanya Bunda sembari membuka jendela membiarkan udara segar masuk ke ruangan. Hasita segera mengecek ponselnya, empat panggilan tak terjawab, dari Karen dan… “Shin?” “Ya…?” tanya Bunda yang membalikkan badannya saat akan keluar dari kamar Hasita. “Bukan Bunda, aku hanya bergumam.” “Cepatlah mandi, meskipun hari Minggu tetaplah mandi pagi, lalu sarapan!” “Iya Bunda.” “Jangan lupa bereskan tempat tidurmu sebelum kau keluar dari ruangan ini!” “Iya Bunda…” jawab Hasita malas. ‘KLUNTING’
13
BAB 4
Menghilang 14
Shin membalikkan berkas-berkas bergambar rangkaian mesin mobil, memasukkannya kembali ke dalam map lalu meletakkannya di meja. Badannya terasa sangat pegal, dia memijat-mijat bahunya. “Lelah, Shin?” “Oh, papa. Ya… sangat.” Shin menggeser duduknya, memberikan ruang untuk papanya duduk di sebelahnya. “Mr. Takeda bilang kau sangat cepat memahami apa yang beliau ajarkan.” “Ya, aku sudah diajarkan di kampus tentang gambar mesin dan juga sudah belajar langsung dengan Artha di bengkel papa. Tapi lumayan juga, mr. Takeda mengajarkan mesin yang lebih canggih.” “Bagus, nak. Memang tujuan papa membawamu kemari agar kau bisa belajar dengan peralatan yang lebih canggih.” “Papa terlalu mendadak membawaku ke sini, aku pikir kita hanya berkunjung beberapa hari.” “Lebih efektif dan efisien bila kau langsung belajar tanpa bolak-balik Indonesia-Jepang. Bagaimana rintisan usahamu?” “Aku masih perlu banyak belajar, Pa. Mungkin aku akan belajar ke Amerika Serikat karena untuk urusan modifikasi mobil mereka lebih unggul.” “Boleh juga. Kau tahu, mengapa papa selalu menanamkan pada anak-anak papa bahwa kalian harus sukses dan mandiri tanpa menunggu keistimewaan dari papa? Kau dan Airin.” “Ya…” 15
BAB 5
Membawa Cinta 16
Shin
memasuki ruang santai di rumah Dilon, ruangan
yang luas berlantai marmer dengan jendela kaca besar yang menghadap ke taman belakang rumah. Di sudut ruang terdapat grand piano berwarna hitam, dari balik piano itu Dilon memainkan piano sambil bernyanyi. <> Seems like yesterday when she first said hello Funny how time flies when you’re in love It took us a life time to find each other It was worth the wait cause I finally found the one Never in my dreams did I think that this would happen to me... As I stand here before my woman I can fight back the tears in my eyes Oh how could I be so lucky I must’ve done something right And I promise to love her for the rest of my life >< Shin berdiri di ambang pintu dan bertepuk tangan setelah satu lagu Rest of My Life milik Bruno Mars yang dimaikan itu selesai. “Thank you…” Dilon berdiri dan membungkukkan badan, “sejak kapan kau di sini?” “Lima menit yang lalu, mungkin?” Shin melangkahkan kakinya menuju sofa. “Kapan kau datang?” Dilon berjalan menuju mini bar yang berada satu ruang dengan ruang santai itu, mengambil dua minuman kaleng di kulkas kecil.
17
BAB 6
Bola Basket 18
Jam tiga sore, perkuliahan telah usai sepuluh menit yang lalu. Ketukan keras pada lantai menggaung di lorong tangga dengan tempo yang semakin cepat, ketukan sepatu hak tinggi, siapapun si pemilik langkah kaki itu pasti akan terkilir bila tidak berhati-hati dan dia pasti sangat tergesa-gesa saat ini. “Hasita…” suara yang terdengar sangat familiar memanggilnya dari belakang. “Tunggu!” lanjutnya dengan napas yang sedikit terengah. “Karen? Aku pikir kau sudah pulang.” “Tadi aku ke toilet sebentar, ini…” “Apa ini?” “Itu kunci.” “Aku sudah tahu ini kunci, tapi kunci apa?” “Mungkin kunci loker atau kunci harta karun.” “Kau nggak yakin ini kunci apa? Terus kenapa kau berikan padaku?” “Tadi aku lihat Bu Sari keluar dari toilet dan aku temukan kunci ini di lantai, aku pikir ini miliknya. Aku memanggilnya tapi sepertinya nggak dengar, aku berniat mengejarnya tapi aku sudah nggak tahan mau pipis. Sekarang aku minta tolong, kau mau kan kembalikan kunci itu ke Bu Sari?” “Bu Sari petugas koperasi yang ada di belakang kampus itu?” “Yak, betul.” “Kenapa bukan kau saja?”
19
BAB 7
Masa Lalu 20
Hasita
melompat
turun
dari
kotak
besi
besar,
memijakkan kakinya pada tanah berpaving. Orang-orang yang turun bersamanya telah berlalu mendahuluinya. Berjalan dari halte ke kampus yang hanya berjarak sekitar 100 meter sudah terbiasa dia lakoni setiap hari. Dia melihat Karen turun dari mobil putih yang selalu mengantar jemputnya, Karen melihat Hasita dan melambaikan tangannya. Hasita langsung menyodorkan buku yang dibawanya kemarin tanpa berkata apa-apa sambil tetap berjalan memasuki kampus. “Terima kasih loh Hasita, sudah mau repot-repot bawakan bukuku.” Karen menyengir. “…” “Hai… nona jutek, diam saja? Oke, sorry kemarin aku seenaknnya, kau pasti cape sekali bawa buku sebanyak itu.” “Nah itu tahu. Sebenarnya bukan masalah bukumu itu, nggak masalah kau titip apapun padaku, tapi karena terlalu banyak yang aku bawa, aku melupakan buku jurnalku.” “Memangnya di mana buku jurnalmu?” “Kalau aku tahu pasti aku nggak akan bingung mencarinya, Karen. Isinya itu tentang aktivitasku dan catatan penting selama satu setengah tahun ini.” “Oh… mungkin ketinggalan di suatu tempat, coba diingat-ingat lagi. Nanti aku bantu cari deh…” “Harus, secara nggak langsung kau juga ikut bertanggungjawab.”
21