Lis Maulina
Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
1. Daftar isi ………………………………………………....... 4 2. Pengantar Penulis …………………………………..5 3. Kabut di Lontontour……………………………....8 4. Pijar Cahaya di Bumi Banjar .…….... 38 5. Selembut Awan, Sekokoh Karang…55 6. Permintaan Terakhir……..…………………. .71 7. Sejarah Berdarah.…………………………….....84 8. Tentang Penulis ……………………………….... 98
2
Epik 1
Menjelang Fajar, 22 Nopember 1859 DEWI malam masih menebar kelam ke permukaan Tanah Borneo, sementara sang bagaskara terlelap dalam selimut harizon. Kegelapan semakin pekat karena berbaur dengan kabut embun hasil uap air yang terhisap dari ribuan sungai dan anak sungai yang tertoreh di Bumi Kalimantan. Kabut yang melingkupi Sungai Teweh, salah satu sungai yang mengalir di pedalaman Kalimantan Tengah mendadak tersibak pendar cahaya terang benderang. Sungai Teweh terbelah. Sebuah kapal perang besar dan megah meluncur gagah, mengusir kegelapan di sepanjang sungai.
3
Sontak, keheningan terkuak. Seolah ikut terkejut, seluruh binatang penghuni sekitar Sungai Teweh terjaga. Nyaris bersamaan, mereka bersuara, seakan mengungkapkan kekaguman pada benda asing yang berenang menyusuri sungai. „Onrust‟, nama itu terukir indah di badan kapal yang tampak sangat kokoh. Bendera merah putih biru berkibar gagah di puncak layarnya. Sementara di geladak, berbaris deretan meriam yang siap menyalak, dijaga puluhan prajurit berkulit putih berseragam serdadu. Mereka mengawasi pemandangan sepanjang Sungai Teweh dengan tatapan waspada. Dalam kabin kapal yang mewah, berkumpul beberapa prajurit berpangkat tinggi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar, sedang serius berdiskusi. Mereka adalah Komandan Van der Velde, Letnan I Bangert, Van Perstel, dan Van der Kop yang ditugaskan memimpin ekspedisi ke Sungai Teweh guna menemui Temenggung Surapati untuk sebuah misi penting. “Letnan yakin, Temenggung Surapati mau membantu kita mengatasi Pangeran Antasari?” tanya Van der Kop yang bertubuh tinggi kurus, berhidung bengkok, dan bermata setajam elang. 4
“Saya optimis,” ujar serdadu berpangkat letnan menyahut mantap. Dia bertubuh lebih gempal. Berusia sekitar 40-an. Namun kumis dan jenggotnya yang tidak beraturan membuatnya kelihatan jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya. “Benarkah Letnan pernah menjalin hubungan persahabatan dengan Temenggung Surapati?” Kali ini Van Perstel yang bertanya. Dia adalah yang paling muda di antara mereka. “Itulah yang membuat saya yakin. Dua tahun lalu, Temenggung Surapati dan kita pernah menjalin persahabatan melalui hubungan dagang. Bahkan saya dan Komandan Militer Marabahan Stuurman JJ Meyer pernah dijamu olehnya.” “Berarti Letnan sudah sangat mengenal Temunggung Surapati. Bagaimana menurut pendapat Letnan orang itu?” tanya Van der Velde, sangat ingin tahu. “Selain seorang pemimpin, Temunggung Surapati seorang pengusaha dan saudagar. Bila kita memberikan tawaran yang menguntungkan, saya yakin, dia tidak akan keberatan membantu kita. Selain kita tawarkan hadiah, sebaiknya kita juga 5
memberinya gelar kebangsawanan--- Pangeran, misalnya. Pastinya dia semakin tidak bisa menolak,” tutur Letnan Bangert bersemangat. Komandan Van de Velde mengangguk-angguk sambil mengelus-elus kumisnya yang berwarna kepirangpirangan. “Baik. Sekarang, kita diskusikan isi surat untuk Temenggung Surapati agar dia tertarik dan mau membantu kita!” “Sebaiknya memang begitu.” Kemudian mereka kembali terlibat dalam diskusi serius. Sementara Kapal Onrust terus melaju, mendekati Desa Lontontour, sebuah kampung yang terletak di antara Muara Teweh dan Buntok. *** “ABAH mana, Ma?” Diang Azizah mendekati Ibunya yang sedang sibuk menghidupi dua tungku di dapur. Gadis remaja berambut panjang dan ikal mayang ini dari tadi mengitari rumah mereka yang berarsitektur Rumah Banjar Baanjung 1), mencari 6
Abahnya. Namun, dia tidak menemukan lelaki gagah yang menjadi panutannya itu. Dia hanya menjumpai Uma 2)nya sedang sibuk di dapur. “Ke rumah Temenggung Surapati,” jawab Umanya tanpa menoleh. “Bukannya tadi malam sudah pulang?” “Benar. Tapi subuh berangkat lagi. Katanya, dia akan ikut menemani Temenggung Surapati bersama beberapa pemuka lainnya menjumpai Pangeran Antasari di Guriyu.” “Apakah mereka bermaksud merundingkan masalah kedatangan Tentara Belanda dengan Kapal Onrust beberapa waktu lalu di kampung ini?” “Tampaknya begitu.” Diang Azizah mengangguk mengerti. Abahnya, Haji Ibrahim adalah orang kepercayaan Temunggung Surapati, orang Dayak Siang yang dipercaya memimpin di daerah di Sepanjang Sungai Teweh. Abahnya sendiri sebenarnya berdarah Banjar, namun sewaktu muda merantau dan bertemu jodoh gadis Bakumpai yang sekarang jadi ibunya. Akhirnya mereka sekeluarga menetap di 7
Lontontour. Di sinilah Haji Ibrahim mengenal Temenggung Surapati, kemudian memutuskan untuk mengabdi setelah tokoh Dayak Siang itu bertekad membantu perjuangan Pangeran Antasari melawan penjajahan kolonial Belanda.. Diang Azizah punya empat kakak laki-laki. Namun, sejak Perang Banjar dikobarkan tanggal 28 April 1859 dengan diserangnya Benteng dan Tambang Batubara Belanda di Pengaron oleh Pangeran Antasari dan ksatria Banjar lainnya, tak ada citacita lain di hati para pemuda Banjar dan Dayak, selain mengusir Belanda yang sudah begitu banyak menumpahkan darah saudara-saudara mereka. Demikian juga halnya dengan keempat kakak lelaki Diang Azizah. Ketika Temunggung Surapati yang menikahkan putranya, Temunggung Jidan dengan salah seorang cucu Pangeran Antasari, Haji Ibrahim membawa keempat putranya menghadap mereka untuk bergabung dengan pejuang lainnya di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Sekarang, menurut kabar, Kakak tertuanya, Abdul Latif dan kakak bungsunya, Ahmad Basit, bergabung dengan Pasukan Temenggung Jalil yang memimpin perlawanan di daerah Banua Lima. 8
Sementara kakak kedua dan ketiganya, Abu Hanifah dan Ali Hamzah, berjuang dibawah pimpinan Demang Lehman di sekitar Martapura dan Tanah Laut. Diang Azizah sangat bangga pada kakak-kakaknya. Bahkan dia sendiri sebenarnya juga berniat ikut berjuang, bergabung dengan pasukan wanita yang dipimpin Ratu Zaleha, cucu Pangeran Antasari. Tapi Umanya masih keberatan, dan Abahnya belum mengizinkan. Padahal, Diang Azizah rajin berlatih olah keprajuritan. Abah sendiri yang melatihnya. Hanya saja, menurut Abah, ilmunya masih belum cukup untuk dibawa terjun ke medan perang. Apa boleh buat. Terpaksa dia harus sabar menunggu. “Katanya, orang-orang Belanda itu berusaha membujuk Temenggung Surapati untuk mengkhianati Pangeran Antasari. Benar begitu, Ma?” “Iya.” “Apa Temenggung mau?”
9