DIPLOMASI Tabloid
Media Komunikasi dan Interaksi
Duta Belia
No. 9, Tahun I, Tgl. 15 September - 14 Oktober 2008
Customer Service: (021) 686 63162 Email:
[email protected]
http://www.diplomasionline.net
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Melakukan Diplomasi Angklung
Mencari
Tempat Terhormat Indonesia Dino Patti Djalal :
Indonesia Semakin ”outward looking”
9
ISSN 1978-9173
www.diplomasionline.net
771978 917386
Presiden RI:
Memilih Pendekatan Rasional
DIPLOMASI
No. 9, Tahun I
Media Komunikasi dan Interaksi
DIPLOMASI
15 September - 14 Oktober 2008
Media Komunikasi dan Interaksi Daftar Isi 04
Fokus Foreign Policy Breakfast* Diplomasi di Tengah Lingkungan Dunia yang Bergejolak
06
06
Fokus Positive Image Akan Membantu Ruang Gerak Diplomasi
08
Fokus Indonesia Semakin Outward looking
14
Fokus Dewi Fortuna Puji Kebijakan Diplomasi Publik Deplu
16
Sorotan
Positive Image
Membangun Hubungan Indonesia – Malaysia Yang lebih Gemilang
20
Akan Membantu Ruang Gerak Diplomasi
Sorotan Soft Power Tidak Akan Berarti Jika Tidak Diimbangi Dengan Hard Power
Duta Belia Melakukan Diplomasi Angklung 06 Presidential Friends of Indonesia
22
29 Tokoh dari Berbagai Negara Menjadi “Sahabat Indonesia”
Teras Diplomasi
DIPLOMASI
No. 9, Tahun I
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Intensitas Diplomasi Dalam Ranah Global
S
aat ini, Indonesia terlihat semakin outward looking. Hal itu terefleksikan dari beberapa capaian diplomasi diantaranya; penyelenggaraan konferensi perubahan iklim di Bali, diundangnya Presiden SBY sebagai pemimpin Major Economy dalam KTT G-8 + 8. Indonesia juga mendapat kepercayaan sebagai anggota DK PBB untuk periode tahun 2007 dan 2008, menjadi anggota Dewan HAM PBB, Peace Building Council dan sebagainya, yang semuanya itu menunjukkan aktivisme diplomasi Indonesia yang melonjak dengan drastis dalam beberapa tahun terakhir ini. Aktivitas diplomasi Indonesia sebagai bagian dari polugri yang bebas dan aktif itu, saat ini sudah tidak lagi mendayung antara dua karang, sekarang ini kita berlayar di samudera yang bergejolak namun dalam situasi yang zero enemy and a millions friends. Sehingga dapat difahami bagaimana diplomasi Indonesia tidak bertumpu pada hard power, apalagi memang seringkali realita soft power ternyata lebih efektif sebagai media untuk berdiplomasi. Permasalahan global yang kita hadapi ternyata tidak bisa diselesaikan dengan hard power tapi dengan soft power. Masalah perubahan iklim, masalah energi, masalah krisis pangan, masalah hubungan
Islam dengan Barat, masalah terorisme, masalah kemiskinan dan lain-lain sebagainya, semuanya itu hanya bisa diselesaikan dan diperbaiki dengan soft power. Di dalam negeri sendiri kita juga baru bisa menyelesaikan persoalan di Aceh setelah kita merubah approach kita dengan menggunakan soft power. Untuk menjadikan tatanan dunia yang harmonis sehingga kondusif bagi penyelesaian berbagai permasalahan dunia, Indonesia juga memajukan interfaith dialog, global intermedia dialog dan ICIS yang bersifat universal. Sedangkan dalam lingkup kawasan regional Indonesia juga menyelenggarakan pertemuan EPG IndonesiaMalaysia. Penguatan aktivitas diplomasi Indonesia itu tidak hanya dilakukan melalui diplomasi formal yang disebut sebagai intelectual diplomacy tetapi juga diplomasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dan juga pemimpin-pemimpin pada civil society, sebagaimana penyelenggaraan ICIS, yang ternyata juga membuahkan hasil yang baik bagi diplomasi kita. Pencapaian itu sendiri tidak terlepas dari asset yang kita miliki didalam menunjang penerapan soft power seperti misalnya, Indonesia adalah negara demokrasi ke tiga terbesar di dunia, kita
sukses menjalankan transisi demokrasi. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar, dan itu berarti kita punya kredibilitas untuk menjembatani Islam dan Barat, memajukan Islam moderat dan hal-hal lainnya yang terkait dengan dunia Islam. Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang terbesar sehingga kita dipandang sebagai environmental super power, dan karena itu memiliki posisi penting didalam masalah penanganan perubahan iklim. Asset lainnya adalah budaya, Indonesia adalah bangsa yang paling pluralis di dunia sehingga ketika kita berbicara masalah toleransi, dunia akan percaya sepenuhnya karena itu merupakan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri. Aktivitas diplomasi yang kita lakukan haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan pendidikan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi, peningkatan stabilitas politik dan lain sebagainya. Diplomasi itu harus diarahkan sepenuhnya untuk menunjang kepentingan nasional dan programprogram pembangunan nasional melalui politik bebas aktif yang konsisten dan berprinsip.[]
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Meraih Kemenangan
Selamat Idul Fitri 1429 H Mohon Maaf Lahir dan Batin
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Khariri Ma’mun Redaktur Pelaksana P. Sadadi Staf Redaksi Cahyono Joni M. Achmad Fino Kardiono Saiful Amin Arif Hidayat Tata Letak dan Artistik Tsabit Latief Distribusi Mardhiana S.D. Kontributor Daniel Ximenes Alamat Redaksi Jl. Kalibata Timur I No. 19 Pancoran, Jakarta Selatan 12740 Telp. 021-68663162, Fax : 021-2301090 Cover : Presiden SBY Cover : dok.Abror/presidensby Abror/presidensby.info Website http://www.diplomasionline.net Email
[email protected] Diterbitkan oleh Pilar Indo Meditama bekerjasama dengan Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri Bagi anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim email:
[email protected] Wartawan Tabloid Diplomasi tidak diperkenankan menerima dana atau meminta imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber, wartawan Tabloid Diplomasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas. Apabila ada pihak mencurigakan sehubungan dengan aktivitas kewartawanan Tabloid Diplomasi, segera hubungi redaksi.
4
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Fokus
Foreign Policy Breakfast*
Diplomasi di Tengah Lingkungan Dunia yang Bergejolak Foreign Policy Breakfast merupakan sarana diskusi kebijakan luar negeri dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam suasana pagi hari yang segar dan tidak formal. Selain untuk mengkomunikasikan arah dan kebijakan luar negeri, diskusi yang bebas, terbuka dan konstruktif ini bertujuan untuk mendapatkan masukan.
F
oreign Policy Breakfast kali ini merupakan puncak acara peringatan Hari Ulang Tahun Departemen Luar Negeri ke-63. Sejak dimulai pada awal tahun 2002, ini adalah Foreign Policy Breakfast ke-45. Dalam satu bulan terakhir, misalnya tiga kali kami menyelenggarakan Foreign Policy Breakfast masing-masing untuk para tokoh media dan para tokoh hak asasi manusia, keduanya dalam kerangka sosialisasi hasil Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Dan yang terkahir, tiga hari lalu, dengan 29 peserta Presidential Friends of Indonesia dari 27 negara. Di Gedung Pancasila inilah, tepatnya di ruang inilah, 63 tahun yang lalu, para pendiri Negara kita – 66 orang tokoh – membahas dan merumuskan filosofi dan fondasi dasar negara Republik Indonesia merdeka. Di ruangan inilah, para pendiri Republik Indonesia dalam rangkaian sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat
merancang fondasi dasar negara; dasar falsafah Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Konsensus fundamental tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang menjadi pedoman kita 63 tahun lalu, saat ini, dan seterusnya ke depan. Departemen Luar Negeri mendapat kehormatan sekaligus tanggung jawab besar untuk memelihara dan melestarikan Gedung Pancasila. Guna menggelorakan semangat yang terkandung dibalik sejarah gedung ini, disini kami menerima kunjungan mitra kerja dari negara-negara lain, melakukan perundingan dan negosiasi, menandatangani perjanjian, melantik para pajabat, memberikan ceramah kepada para peserta pendidikan diplomatik berjenjang, dan melakukan komunikasi intensif dengan para tokoh nasional dari berbagai kalangan melalui forum Foreign Policy Breakfast dan Pejambon Coffee. Melalui upaya ini, kami berharap kiranya dapat memberikan
inspirasi kepada para diplomat Indonesia dalam mensukseskan misi diplomasi Indonesia, yang harus memperjuangkan tujuan-tujuan nasional (aspirational goals) yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Kepentingan nasional mendasar lainnya yang harus diperjuangkan adalah program dan prioritas Kabinet Indonesia Bersatu, untuk mencapai Indonesia yang aman, damai, adil dan sejahtera. Misi diplomasi itu semua harus dicapai dalam era globalisasi, dimana kita tidak bisa lagi hidup sendirian – apalagi menyendiri, dan dalam lingkungan dunia yang penuh gejolak. Menyadari tantangan tugas yang tidak ringan, dengan itulah sejak tahun 2001 kami mengajukan benah diri (internal reform) yang bertumpu pada tertib waktu, tertib administrasi – termasuk tertib administrasi keuangan dan tertib fisik, serta mengubah budaya kerja (institutional culture) yang berorientasi kepada pencapaian misi dan pelayanan publik yang lebih baik. Pembenahan profesi ke arah pembentukan diplomat profesional yang handal dari mulai proses rekrutmen hingga post-career planning merupakan prioritas kami. Melalui pembenahan sistem kepegawaian, dalam lima tahun terakhir Departemen Luar Negeri telah melakukan right-sizing yang berarti penurunan jumlah dari 3.600 orang (dengan perbandingan jumlah profesional dengan tenaga administrasi 1:2), menjadi 3.300 orang, namun dengan komposisi terbalik (profesional berbanding tenaga administratif adalah 2:1), yang menjadikan Departemen Luar Negeri menjadi departemen yang komposisi pegawainya paling profesional. Pada ulang tahun Departemen Luar Negeri yang ke-63, saya dapat berbangga bahwa melalui proses rekrutmen yang bersih, pada tahun 2007 misalnya, dari jumlah calon yang terus meningkat (17.000 orang untuk 100 kursi yang harus
diisi), kami mampu merekrut the best and the brightest. Tanpa mengurangi merit, 15% dari yang kami terima, kami rekrut secara khusus guna menampilkan ke-bhineka-an wajah diplomat Indonesia, seperti pula halnya ke-bhineka-an para pendiri Republik anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia. Satu hal yang juga ingin kami garis bawahi adalah pembenahan dan peningkatan sistem pelayanan warga, atau dikenal sebagai citizen service, yang pada bulan Juli tahun lalu telah kami mulai di 6 perwakilan dan kini diluaskan cakupannya di seluruh perwakilan RI di luar negeri. Upaya yang dilandasi dengan semangat kepedulian dan keberpihakan ini telah membuahkan banyak perbaikan dalam upaya kita memberikan pelayanan warga yang berkualitas: yang cepat, mudah, murah, dan ramah bagi warga kita – sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Bapak Presiden. Pada kesempatan peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tahun ini, Departemen Luar Negeri telah memberikan penghargaan kepada pejabat-pejabat perwakilan yang menjalankan pelayanan warga yang berkualitas. Dengan berbagai upaya benah diri tersebut, maka Departemen Luar Negeri menjadi lebih mampu beradaptasi pada perubahanperubahan yang mendasar di lingkungan nasional serta mampu meraih kesempatan dan menjawab tantangan-tantangan di era globalisasi – yang dalam kontradiksinya juga berwujud pada penguatan proses integrasi regional, termasuk di kawasan Asia Tenggara maupun di Asia Timur bahkan Asia pasifik secara keseluruhan. Proses integrasi regional ini menjadikan abad ke-21 sebagai abad Asia Pasifik![] * Diadopsi dari sambutan pengantar Menlu RI pada acara Foreign Policy Breakfast dalam rangka HUT Deplu ke 63, tanggal 19 Agustus 2008.
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
5
Fokus
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI
P
untuk mencapai kepentingan kita. Kita sepakat bahwa war is a continuation of politics by other means, tetapi perang sendiri adalah jalan terakhir, apabila kita tidak ada pilihan lain dan manakala kedaulatan kita, integritas kita sebagai bangsa terancam. Ini penting saya sampaikan karena nanti akan ada isu-isu aktual yang memerlukan pilihan kita, our choice, our rational choice. Kita merasakan sekarang ini bahwa foreign-policy making sebagai sebuah proses, kita juga harus melihat current issues, isu yang terus berkembang, aktor dalam hubungan internasional kita. Kalau dulu nationstate sebagai aktor utama, sekarang telah berkembang begitu luas. Bukan hanya organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, NGOs, kelompok-kelompok agama yang bergerak lintas negara dan sebagainya. Dan kemudian interaksi atas segalanya, issues and actors. Semuanya itulah yang kita pertimbangkan secara masak ketika kita harus memilih, ketika harus mengembangkan foreign policy yang tepat menghadapi tantangan jaman dan tantangan dunia. Memelihara Hubungan dengan Negara Tetangga Kalau kita bicara policies, opsi, maka kita harus betul-betul meyakini bahwa yang kita pilih: Bagaimana kita memelihara hubungan dengan negara-negara tetangga kita? Bagaimana kita menyikapi perkembangan ini terutama yang terkait dengan international peace and security? Bagaimana kita menghadapi the new crisis, misalkan energy security, climate change dan lain-lain? Maka di atas segalanya kita harus menemukan, harus memilih rational choice. Kita akan merugi kalau yang kita pilih adalah emotional response meskipun politik luar negeri juga mengandung emosi. Sebagai bangsa, ketika dignity kita, kehormatan kita, harga diri kita tersentuh, kita tentu memiliki semuanya itu. Tetapi akhirnya yang kita pilih haruslah pilihan-pilihan yang rasional, pilihan yang realistik, pilihan yang didukung oleh kapasitas
Abror/presidensby.info
erjuangan bangsa kita merupakan perpaduan antara war and diplomacy. Dua-duanya penting. Dan sejarah telah mencatat upaya besar bangsa ini, bangsa pejuang, perjuangan di bidang diplomasi dan perjuangan di bidang militer. Saya kira itu menjadikan values, menjadikan prinsip-prinsip dasar yang mesti kita pahami dan kita aplikasikan di masa kini dan masa depan. Saat ini Kita hidup dalam dunia yang terus berubah, ever-changing complex world, betul-betul kompleks, juga yang disebut dengan crowded and warmer climate. Bumi yang hidup, sekitar 6,4 milyar manusia, yang sekarang cenderung memanas, karena terjadinya perubahan iklim yang berlangsung sejak revolusi industri ratusan tahun yang lalu. Tentu dunia dan bumi yang kita huni sekarang ini, memberikan tantangan, persoalan dan permasalahan tersendiri bagi kita, kepada manusia sejagat, dan tentunya kepada bangsa Indonesia. Inilah realitas yang kita hadapi sehingga pertanyaannya adalah, pertanyaan yang harus kita jawab, bagaimana kita dapat memperjuangkan kepentingan nasional kita dalam realitas global seperti sekarang ini. Inilah pentingnya foreign policy making yang tepat, yang disatu sisi bisa memenuhi kepentingan kita, di sisi lain bisa dilakukan dalam dunia yang penuh dengan tantangan seperti ini. Meskipun dunia amat dinamis dan kita sering harus merespon dalam waktu yang cepat, tetapi juga tidak boleh kehilangan orientasi yang jernih kepada nilai-nilai dasar, prinsip-prinsip, falsafah ataupun sejarah kita sendiri dalam diplomasi dan hubungan internasional. Dengan kata lain politik luar negeri harus diabdikan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional kita. Saat kita berhadapan dengan negara lain, manakala terjadi conflict of interests kita dengan negaranegara lain, maka pilihan kita adalah diplomacy first, kemudian yang lain ke dua. Kalau kita kaitkan dengan pilihan yang lain misalnya, menggunakan instrumen militer
Memilih Pendekatan Rasional
kita, kemampuan kita yang mampu untuk mewujudkan pilihan itu. Kita harus betul-betul memahami tujuan yang ingin kita capai. Means, resources, capacity yang ada di tangan kita, kita kalkulasikan supaya tidak miscalculated dengan pikiran-pikiran yang jernih, pikiran yang objektif dan pikiran yang rasional. Pernah dulu ketika hangat-hangatnya sengketa kita di perairan Ambalat, banyak yang sangat emosional. Saya mendengar statement, rapat-rapat, unjuk rasa yang mendesak agar kita harus perang dengan Malaysia. Tetapi dengan proses rational thinking akhirnya pilihan kita rasional. Wilayah itu kita artikan sebagai wilayah kita, bagian dari kedaulatan kita. Tidak bisa lepas di tangan negara manapun juga. Kita berjuang untuk itu, kita lakukan diplomasi untuk itu dengan tujuan pilihan yang terbaik. Ketika kita sedang emosional, saya bersama pimpinan TNI menggunakan kapal perang berlayar sampai border, sampai batas perairan kita dengan Malaysia, sehingga anekdot saya kalau saya kecemplung satu meter di depan itu sudah masuk Malaysia. Saya katakan waktu itu, kalau negara ini, bangsa ini
ingin perang, biar kita perang, ya kita perang. Dan saya di depan, sudah ada situ. Tapi apakah itu yang terbaik? Apakah cocok dengan era sekarang ini? Semangat ASEAN. Kemudian kita harus mengeluarkan imbangan dari alat tempur, sistem senjata yang dimiliki oleh Malaysia dan Indonesia dan seterusnya, dan seterusnya. Ini contoh, bagaimana kita bisa memilih antara emotional approach dengan satu rational thinking. Rational choice yang harus kita ambil. Demikian Juga dengan desakan yang meminta agar pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia ketika ada insiden saudara-saudara di Papua yang mencari suaka. Putuskan hubungan dengan Singapura ketika ada masalah dengan ekstradisi dan lain-lain, dan seterusnya. Saya memahami kegalauan dari saudara-saudara kita ketika melihat permasalahan yang menyentuh harga diri, kedaulatan dan sebagainya. Tapi kita tidak boleh mengambil keputusan dengan pendekatan emosional, harus tetap rasional sebagai pertanggungjawaban kita kepada sejarah, kepada bangsa dan kepada masa depan kita sendiri.[]
6
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Fokus
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI
M
Akan Membantu Ruang Gerak Diplomasi
Abror/presidensby.info
enyangkut dunia masa kini dan tantangantantangannya, maka kita dituntut memformulasikan apa sesungguhnya kepentingan kita, tujuan kita, our aspirational goals, our interests. Konstitusi telah memberikan gambaran dengan jelas. Ada 4 tujuan nasional yang hendak kita capai. Empat-empatnya berkaitan dengan kedaulatan, integritas negara ini, berkaitan dengan kesejahteraan, prosperity dan berkaitan dengan perdamaian. Sehingga kita memerankan peranan aktif dalam hubungan internasional. Kemudian kalau kita aplikasikan dalam apa interest kita, kepentingan kita pada era sekarang ini? Katakanlah pasca krisis ini maka kita akan terus setuju bahwa kita harus melanjutkan transformasi dan reformasi, kita bersetuju bahwa demokratisasi ini harus berwujud pada satu consolidated democracy yang mapan, yang pas dengan kehendak dan nilai-nilai Indonesia dan juga ekonomi yang bertambah membaik menjadi ekonomi yang tumbuh dan kuat pasca krisis ekonomi yang terjadi 10 tahun yang lalu. Itulah interest kita pada kurun waktu ini yang bersama-sama dengan aspirational goals harus terus kita perjuangkan. Kalau kita angkat isu-isu yang aktual, yang riil, yang menjadi misi, yang menjadi pekerjaan rumah dari para diplomat kita, semuanya termasuk jajaran pemerintah, termasuk para parlemen. Kita, agar ekonomi kita tumbuh dengan baik, kembali sebagaimana sebelum krisis atau lebih baik lagi. Investasi sangatlah penting, trade juga penting, technology transfer juga penting, international labour market. Ada tiga juta lebih labourers kita, pekerja kita yang bekerja di luar negeri. Oleh karena itu yang dulunya mungkin tidak menjadi interest kita, sekarang menjadi kepentingan kita: mencari peluang bagi pasar tenaga kerja putra-putri Indonesia yang oleh karenanya juga kontributif untuk pembangunan
Positive Image
bangsa meskipun mereka mengabdi di luar negeri. Regional security and order, tentu sangat penting bagi kita. Kawasan ASEAN, kawasan Asia Timur, kawasan Asia Pasifik dengan melihat makna geo-politik dan geo-ekonomi yang baru yang lebih relevan. Jangan dilupakan pula, bahwa interest kita, di forum global harus makin baik, makin terhormat dan makin tinggi. Positive image sangat membantu ruang gerak diplomasi kita, sangat menentukan keberhasilan mencapai tujuan dan sasaran diplomasi kita. Demokrasi yang makin mekar, human rights yang makin dihormati, citra Indonesia sebagai modern Muslims, kemudian aktivitas kita, peran aktif kita di berbagai belahan dunia – di ASEAN misalnya
– ekonomi yang terus tumbuh sekarang ini, better legal framework, dan lain-lain, itu rupanya diintip, diaudit, dan dipotret oleh masyarakat internasional. Standing kita secara bertahap makin tinggi, makin terhormat, makin mulia. Oleh karena itu, bukan serba kebetulan kalau sekarang ini Indonesia hampir menduduki semua organ-organ vital di Perserikatan Bangsa-Bangsa: Security Council, Human Right Council, Peace Building Commission dan sejumlah organisasi yang prestisius karena positive image dan standing kita yang pelan-pelan telah bergerak maju pada forum internasional. Semuanya itu adalah power national interest yang harus kita pertahankan dan perjuangkan. Sementara itu dunia juga, katakanlah memiliki
kepentingannya, global interest-nya yang sekarang kalau kita rasarasakan juga menjadi national interest kita. Tidak ada yang tidak khawatir dan cemas melihat climate change, melihat global warning yang terus berkembang dan belum ada tanda-tanda kesepakatan global yang betul-betul bulat. Untuk mengatasi itu, Bali Conference melahirkan Bali Road Map. Ketika saya hadir di kota Hokkaido di G8 + 8 Conference – pertama kali Indonesia diundang – saya mendapatkan opportunity untuk menyampaikan masalah climate change. Sebagai pembicara yang termasuk awal, kita punya kehormatan dan kebanggaan. Tetapi saya membayangkan ketika kita berdiskusi di antara para pemimpin dunia itu, masih cukup panjang
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI
7
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Fokus
Demokrasi yang makin mekar, human rights yang makin dihormati, citra Indonesia sebagai modern Muslims, kemudian aktivitas kita, peran aktif kita di berbagai belahan dunia – di ASEAN misalnya – ekonomi yang terus tumbuh sekarang ini, better legal framework, dan lain-lain, itu rupanya diintip, diaudit, dan dipotret oleh masyarakat internasional.
BERITA FOTO Abror/presidensby.info
untuk betul-betul ada global commitment, global consensus, global cooperation dalam menghadapi atau mengatasi climate change dan global warming. Energy Security. Banyak sekali kepentingan yang bertabrakan: oil producing countries, oil consuming countries, major oil companies masing-masing tentu punya kepentingannya sendiri-sendiri tapi satu hal bahwa akhirnya itu menjadi global problems, menjadi global interest. Bagaimana kita memiliki long term price stability dalam bidang energi ini, utamanya di bidang fosil based fuel. Food Security. 6,4 milyar akan menjadi 8,5 milyar. Tentu itu memerlukan sumber pangan yang luar biasa. Kita mulai tingkatkan “second wave of Green Revolution”. Kita telah melaksanakan revolusi hijau gelombang pertama membawa kebaikan tetapi juga menghadirkan beberapa ekses termasuk lingkungan. Ada keperluan meningkatkan produksi dan probibilitas pangan secara global agar kita memiliki ketahanan pangan global dan tentunya nasional. Kemudian WTO. Ini juga perkara yang masih belum ada tanda-tanda terselesaikan. Menteri Perdagangan frustasi, kemudian melapor kepada saya dengan sangat emosional “Why Geneva Negotiation failed?”. Tetapi belum terlambat,
sekarang sedang bekerja lagi, mudah-mudahan bisa kita inisiasi lagi putaran-putaran berikutnya, tapi simply, the conflict of interests. Kita sebagai negara berkembang, ingin memperjuangkan fair trade, akses yang lebih luas untuk produk kita, untuk komoditis kita, pertanian kita. Bagi kita, sesuap nasi, bagi negara maju sebuah Mercy, barangkali. Bagi mereka adalah mengurangi sedikit ”the pursuit of happines”. Bagi kita, mencegah bigger misery, penderitaan yang semakin besar lagi bagi negara berkembang, bagi Indonesia, dimana kemiskinan masih kita hadapi. Ini juga memerlukan moral approach, the real justice. Tetapi tentu kembali lagi kepada interest dari masingmasing negara. Climate change, energy security, food security, WTO negotiation, semua itu adalah global issues yang memerlukan global discussion, global concensus yang memiliki implikasi kepada keadaan dalam negeri ini, negeri kita dan bangsa-bangsa yang lain. Oleh karena itu, boleh kita mengatakan, “there are global interests”, tapi sesungguhnya juga kepentingan kita untuk kita bisa ikut menata agar membawa keadilan bagi semua bangsa, terutama bagi negara berkembang, terutama sekali bagi bangsa Indonesia.[]
Dirjen ASEAN, Dian Triansayah Jani, (kedua dari kiri) menyaksaikan pelepasan balon oleh Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan sebagai bagian dari penyelenggarakan acara ASEAN Community Day dalam rangka HUT ASEAN ke-41 di desa Kunjani, Parung Bogor. Acara ini diadakan pada tanggal 10 Agustus 2008 dan dihadiri oleh Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan serta wakil dari negara-negara anggota ASEAN.
8
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Fokus
Indonesia Semakin outward looking
Dino Patti Djalal , Juru Bicara Kepresidenan
P
residen SBY memiliki kapasitas untuk mengelola kebijakan luar negeri dan isu-isu global dengan baik. Dalam dunia diplomasi sering dibedakan antara seorang foreign policy president dan yang bukan. Foreign policy president itu adalah seorang presiden yang sangat menguasai dan memperhatikan diplomasi masalah-masalah internasional dan aktif memimpin usaha atau upaya diplomasi negara tersebut. Menurut saya Presiden SBY merupakan salah satu foreign policy president Indonesia yang terbaik. Dibawah kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia semakin outward looking, karena ada masa dimana setelah reformasi, kita dipandang oleh negara-negara kawasan sebagai negara yang inward looking, jadi terlalu dibebani oleh masalah-masalah dalam negeri sehingga kurang efektif untuk terlibat lebih jauh masalah internasional. Perubahan itu sebenarnya sudah dimulai semenjak ibu Megawati, dan semakin berubah terutama semenjak SBY menjadi presiden, apalagi dengan perhatian beliau yang begitu besar terhadap foreign policy, citra internasional Indonesia dan kiprah internasional kita itu semakin meningkat secara drastis. Dan kita lihat sendiri buktinya sekarang, Indonesia misalnya sukses menyelenggarakan konferensi perubahan iklim di Bali, itu adalah konferensi internasional PBB yang terbesar dan juga konferensi terbesar yang pernah diadakan di Indonesia,
dok.google
No. 9, Tahun I
dan nilai politisnya sangat penting. Presiden juga telah diundang untuk pertama kalinya hadir dalam KTT G-8 + 8 misalnya, leverage summit, dan beliau hadir sebagai pemimpin mewakili Negara yang diistilahkan Major Economy, ekonomi besar dunia. Indonesia juga menjadi anggota DK PBB untuk periode tahun 2007 dan 2008, tahun ini dan tahun lalu, Indonesia menjadi anggota dari Dewan HAM PBB, kemudian Peace Building Council dan sebagainya. Intinya aktivitas diplomasi Indonesia melonjak dengan drastis dalam empat tahun terakhir ini. Sasaran Diplomasi Saya kira yang ingin dicapai oleh presiden ada dua, dan dua-duanya itu adalah mandat dari konstitusi kita. Pertama adalah diplomasi kita tentu harus mengabdi pada kepentingan nasional, jadi tidak berdiri sendiri. Diplomasi kita harus bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat, membantu pendidikan, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan investasi, menggalakkan kerjasama iptek, meningkatkan stabilitas politik didalam negeri dan lain sebagainya. Jadi diplomasi diabdikan sepenuhnya untuk menunjang kepentingan nasional dan program-program pembangunan nasional. Kedua, kita juga mempunyai tanggung-jawab untuk menjalankan perdamaian dunia, jadi misalnya kita aktif di Lebanon dalam mendukung operasi UNIFIL, aktif di Conggo, aktif untuk masalah perubahan iklim yang tentunya juga mencakup kepentingan nasional kita, aktif dalam dialog antara Asia dan Eropa (Asem), bulan oktober nanti presiden akan ke Beijing untuk menghadiri KTT dan berbagai kegiatan lain. Jadi di satu sisi kita tetap melaksanakan diplomasi untuk menunjang kepentingan nasional, tetapi di sisi lain kita juga ikut aktif memantapkan perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi. Dua hal ini yang dilaksanakan oleh presiden
dalam melaksanakan politik bebas aktif. Soft Power Diplomacy Menurut saya presiden SBY itu adalah salah satu pemimpin dunia yang pertama mendengungkan konsep soft power diplomacy. Sebelumnya memang dikalangan akademisi banyak disebut mengenai soft power, tetapi itu hanya di kalangan akademisi. Pada tahun 2005 dalam pidatonya kepada AS, presiden menyatakan agar AS lebih mengandalkan soft power ketimbang hard power. Waktu itu belum banyak kita mendengar seorang pemimpin berbicara mengenai itu, dan kemudian mulai bergulir, mulai lebih banyak orang membahas, utamanya dikalangan policy making circle. Saya kira ini penting karena mencerminkan pemahaman bahwa kalau semakin banyak hard power ditonjolkan oleh negara-negara besar, menengah maupun kecil, dunia akan semakin kacau dan tidak akan damai, karena hard power itu adalah pemaksaan kehendak, penggunaan kekuatan militer, cara-cara keras. Dunia tidak akan menjadi semakin aman, semakin banyak konfrontasi, hubungan-hubungan konflik baru akan timbul dan lain-lain sebagainya, jadi hard power tidak akan menyelesaikan masalah. Di dalam negeri sendiri kita melihat Aceh, sudah lama kita mencoba menyelesaikan antara lain dengan hard power, tapi tidak selesaiselesai. Baru setelah kita merubah approach kita, masalah Aceh bisa diselesaikan secara permanen melalui MoU Helshinki. Pentingnya masalah soft power ini juga karena semua permasalahan dunia yang penting sekarang ini, tidak bisa diselesaikan dengan hard power dan hanya bisa dengan soft power. Kita lihat masalah perubahan iklim, masalah energi, masalah krisis pangan, masalah hubungan Islam dengan Barat, masalah terorisme,
masalah kemiskinan dan lain-lain sebagainya, ini hanya bisa diperbaiki dengan most of power, not less of power. Apakah soft power itu ?, soft power adalah diplomasi, pendidikan, pertukaran budaya, kerjasama ekonomi, investasi, dialog antar agama, dialog antar budaya dan lainlainnya. Hal-hal inilah sebetulnya yang secara riil akan memantapkan perdamaian, jauh lebih mantap daripada kalau menggunakan hard power. Filosofi presiden SBY adalah, kalau kita menggunakan hard power orang akan lebih melawan kita, tetapi kalau kita menggunakan soft power, yaitu persuasive, pendekatan budaya, psikologis dan lain sebagainya, orang akan lebih mudah menerima kita. Dan memang bagi Indonesia kita tidak ingin menerapkan hard power dalam hubungan luar negeri kita. Kekuatan militer kita terbatas dan hanya terfokus pada melindungi keamanan di wilayah kita, yang lebih banyak kita punya adalah asset soft power ketimbang asset hard power. Asset soft power itu misalnya, Indonesia adalah negara demokrasi ke tiga terbesar di dunia, itu berarti kalau kita berbicara mengenai demokrasi, kita punya kredibilitas karena kita sukses menjalankan transisi demokrasi. Asset soft power lainnya, kita adalah negara berpenduduk muslim terbesar, itu berarti kalau kita ingin menjembatani Islam dan Barat, kita ada kredibilitas. Kalau kita ingin memajukan Islam moderat kita juga ada kredibilitas, karena Islam di Indonesia terkenal moderat. Dan kalau kita ingin berbicara bahwa modernitas Islam dan demokrasi bisa berjalan bersama-sama, kita juga ada kredibilitas, karena hal itu sudah terjadi di Indonesia. Aset berikutnya adalah kita banyak dipandang sebagai environmental super power, karena kita punya hutan yang sedemikian besar. Masalah perubahan iklim tidak akan selesai dan tidak akan bisa ditangani kecuali kalau hutan-hutan bumi dijaga, terutama hutan-hutan di Indonesia, jadi orang semakin memandang Indonesia itu penting. Pada waktu 20-30 tahun yang lalu, mungkin hal ini dianggap tidak begitu penting, tapi dalam konteks sekarang itu menjadi lebih penting.
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
9
Fokus Aset lainnya adalah kita memiliki politik bebas aktif yang konsisten berdasarkan prinsip, jadi orang respect dengan kita. Bahwa kita tidak mengikuti negara A atau B, tetapi kita mengikuti prinsip kita sendiri, baik dalam masalah nuklir Iran, masalah di Sudan, masalah di Kosovo, masalah di Georgia dan
lain sebagainya. Orang tahu bahwa Indonesia tidak ikut siapa-siapa, independent, mandiri dan prinsipil, itu yang membuat kita mempunyai harga diri dan martabat. Dan juga jangan lupa, bahwa asset kita lainnya adalah budaya, kita adalah bangsa yang paling differs, paling pluralis di dunia. Kalau kita
lihat bangsa-bangsa lain, mereka umumnya hanya punya satu kostum nasional saja, lihat misalnya Swedia, Jerman dan sebagainya, kalaupun mereka punya lebih dari satu, itu tidak lebih dari satu lusin, tetapi Indonesia mempunyai ratusan, benar-benar suatu bangsa yang sangat pluralis, jarang ada tandingannya di
dunia. Itu juga asset bagi kita, karena kalau kita bicara mengenai toleransi, pluralisme, kita ada kredibilitas dan orang percaya, karena itu adalah jati diri kita. Jadi intinya, soft power itu harus kita majukan dalam sistem dan pergaulan internasional dan juga dalam diplomasi Indonesia ke luar.[]
Menlu RI :
“Jabatan Wakil Menlu Merupakan Upaya Meningkatkan Kemampuan Deplu Dalam Menjalankan Tugas Visi dan Misi.” “Keperluan pengadaan jabatan Wakil Menteri Luar Negeri (Wakil Menlu) sesungguhnya merupakan upaya untuk menyempurnakan struktur dan organisasi guna meningkatkan kemampuan Departemen Luar Negeri dalam menjalankan tugas misi dan visi yang dibebankan oleh negara di bidang politik dan hubungan luar negeri. Jabatan tersebut diciptakan atas dasar pertimbangan keperluan tugas” Demikian disampaikan Menlu RI Dr. N. Hassan Wirajuda yang didampingi oleh Wakil Menlu, Triyono Wibowo pada saat pertemuan press briefing dengan media. Press briefing tersebut diselenggarakan setelah acara pelantikan Triyono Wibowo sebagai Wakil Menlu beserta enam pejabat eselon II Deplu pada tanggal 11 September 2008 di Gedung Pancasila, Deplu. Triyono Wibowo diangkat sebagai pejabat pertama yang menjabat Wakil Menlu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 20 dan No. 21 tahun 2008, tertanggal 10 Maret 2008. Acara tersebut dihadiri oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden dan Mantan Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas, Pejabat eselon I dan II Deplu dan sejumlah pejabat dari instansi terkait lainnya. Menlu RI menyatakan tugas pokok dari Wakil Menlu adalah membantu Menlu RI dalam menjalankan tugasnya. Secara vertikal, Wakil Menlu
dapat menggantikan fungsi Menlu dalam suatu pertemuan atau sidang internasional tingkat Menteri. “Salah satu yang sudah dipastikan oleh Presiden adalah Wakil Menlu dapat hadir pada sidang kabinet mewakili Menlu apabila karena tugas-tugas lainnya secara terpaksa berhalangan untuk hadir,” ujar Menlu. Sedangkan secara horizontal, tugas Wakil Menlu adalah membantu tugas Menlu yang cakupannya begitu luas, diantaranya di bidang
hubungan kerjasama ekonomi dalam menindaklanjuti komitmen yang telah Deplu raih di luar negeri. Selain itu, Wakil Menlu juga akan membantu mengimplementasikan dan menguatkan visi benah diri Deplu. Wakil Menlu Triyono sebelumnya merupakan salah satu pejabat yang berperan dalam membantu Menlu RI dalam menyusun konsep benah diri Deplu. Menlu RI berharap untuk ke depan jabatan Wakil Menlu
dapat tetap menjadi bagian dari Departemen Luar Negeri. Posisi Wakil Menlu tersebut telah dimasukan sebagai bagian dari struktur organisasi Deplu dalam rancangan undang-undang mengenai organisasi departemen pemerintah. Dengan adanya UU tersebut, struktur dan organisasi dari setiap departemen pemerintah akan lebih jelas dan tetap (HO)
10
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Sorotan
Eminent Persons Group Indonesia – Malaysia
Berupaya Meningkatkan Hubungan Masyarakat Kedua Negara
E
minent Persons Group (EPG) Indonesia – Malaysia diresmikan pada 7 Juli 2008, sebagai hasil pertemuan Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi di Putrajaya, Malaysia, 11 Januari 2008, yang menyepakati perlunya pembentukan EPG yang beranggotakan tujuh orang dari masing-masing negara. Dalam pertemuan informal EPG disepakati bahwa isu-isu prioritas yang akan dibahas oleh EPG adalah peningkatan hubungan antara masyarakat kedua negara (peopleto-people), misperception, kurangnya dipahami sejarah oleh generai muda (generation gap) dan sebagainya. Menurut Try Sutrisno, Ketua EPG Indonesia, dalam Press Briefing Mingguan Deplu RI yang berlangsung pada Jumat, 22 Agustus 2008, pukul 10.00 di Ruang Nusantara disampaikan bahwa EPG Indonesia –Malaysia akan mengadakan pertemuan perdana pada 29 – 30 Agustus 2008 yang akan dihadiri oleh 7 anggota EPG Indonesia yaitu Try Sutrisno, Ali Alatas, Quraish Shihab, Des Alwi, Musni Umar, Pudentia MPSS, dan Wahyuni Bahar. Sedangkan dari Malaysia akan dihadiri 7 anggota EPG Malaysia yaitu Tun Musa Hitam, Tan Sri Dato’ Seri Mohd Zahidi Haji Zainuddin, Tan Sri Dr. Khoo Kay Kim,
Tan Sri Abdul Halim Ali, Tan Sri Amar Dr. Haji Hamid Bugo, Datuk Dr. Syed Ali Tawfik Al-Attas, dan Datuk Seri Panglima Joseph Pairin Kitingan. Dalam pertemuan ini akan dibahas antara lain tinjauan kesejarahan kedua negara, kesenjangan persepsi antar generasi, pengelolaan warisan budaya bersama, dan isu pencitraan di media massa kedua negara. Diharapkan dari hasil pertemuan EPG Indonesia – Malaysia ini, menghasilkan sejumlah program aksi “People-to-people Contact Programs” antara lain tinjauan kesejarahan kedua negera dan mengatasi gap persepsi antar generasi melalui dialog antar pakar budaya dan sejarah, dialog antara organisasi mahasiswa, dan dialog antar organisasi pemuda. Sedangkan untuk program mengenai isu pencitraan di media massa kedua negara dilakukan melalui kegiatan dialog antar media. Melalui pembicaraan informal EPG Indonesia – Malaysia diharapkan hubungan masyarakat kedua negara semakin erat dan isu-isu sensitif dapat dibahas dimana hasilnya akan disampaikan kepada pemerintah masing-masing. Pada pertemuan tahunan kedua negara, masukanmasukan dari EPG selanjutnya dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi peningkatan hubungan kedua negara. (az)
H
ari ini kita masih berada pada bulan yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia karena pada tanggal 17 Agustus 2008 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, demikian juga dengan Malaysia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 21 Agustus 1957. Di penghujung bulan Agustus yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia kita berkumpul dengan harapan semoga semangat kemerdekaan dari kedua bangsa ini memberi motivasi, semangat dan tekad kepada kita untuk meningkatkan pengabdian dalam rangka membangun hubungan yang lebih harmonis, akrab, dan saling menghormati sehingga hubungan kedua bangsa ini terasa lebih manis dan penuh keselesahan. Sejak Presiden Indonesia Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Datuk Sri Abdullah Ahmad Badawi meresmikan EPG Indonesia-Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 7 Juli 2008 yang diberitakan secara luas oleh media cetak dan elektronik, masyarakat Indonesia pada khususnya telah banyak yang bertanya tentang EPG ini. Diantaranya mengenai apa maksud dan tujuan lembaga ini di dirikan atau ditumbuhkan, adakah EPG ini independent, apakah perlu dan bermanfaat bagi masyarakat, dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul. Pertemuan EPG IndonesiaMalaysia diharapkan dapat menjawab berbagai pertanyaan tersebut, bahwa lembaga ini penting diperlukan dan bermanfaat untuk membangun hubungan masa depan yang gemilang antara Indonesia dan Malaysia sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan damai diantara masyarakat kedua negara yang berimplikasi kepada terbangunnya hubungan ekonomi, sosial budaya, politik dan sebagainya yang saling memberikan keuntungan dan manfaat. Oleh karena itu saya menginginkan agar EPG Indonesia-Malaysia tidak hanya
Tri Soetrisno
Ketua Eminent Person Group Indonesia – Malaysia
Membangun Hubungan Indonesia – Malaysia Yang lebih Gemilang terbatas bertugas mengumpulkan bahan-bahan dan melaporkan kepada kedua pemimpin pemerintah masing-masing, tetapi juga harus mempunyai program aksi yang dapat dilihat oleh masyarakat dan dapat memberi manfaat dalam meningkatkan hubungan Indonesia-Malaysia. Untuk itu EPG IndonesiaMalaysia telah menyusun sejumlah kerangka kerja dan usulan program aksi tahun 2008 untuk dipertimbangkan dalam forum ini. Pada kesempatan pertemuan yang sangat penting kali ini saya mengharapkan agar keberadaan lembaga ini di Indonesia dan Malaysia benar-benar bermanfaat bagi kedua pemerintah, kedua bangsa dan negara terutama di bidang sosial budaya, ekonomi dan bidang-bidang lain bagi kedamaian kesejahteraan dan kejayaan bersama.[]
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI
11
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Sorotan
Hubungan Harmonis
Mengantarkan Kejayaan Indonesia - Malaysia
Anggota Eminent Person Group Indonesia – Malaysia
K
ita sudah melakukan pertemuan dengan sangat baik dimana seluruh anggota Anggota Eminent Person Group (EPG) berbicara mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan isu-isu people to people. Banyak yang disampaikan dalam pertemuan ini, bahkan kita juga masuk pada pembahasan people to people dalam segi budaya, ekonomi, dan kejayaan Indonesia-Malaysia. Kita berbicara mengenai kesejarahan Indonesia-Malaysia, kemudian bagaimana kita melihatnya, karena ini menyangkut masalah persepsi, dimana sebenarnya semua orang boleh berbicara dan itu tidak ada masalah, karena ini menyangkut persepsi masyarakat. Kita belum membicarakan masalah atau kasus khusus, hanya saja disampaikan bahwa budaya itu penting karena banyak pemikir yang menyatakan bahwa budaya itu sangat berperan mempengaruhi politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Seperti masalah kesenian, kalau kita lihat banyak sekali orang dari Jawa yang ada di Malaysia, dan yang membawakan tarian reog Ponorogo disana itu adalah orang Jawa itu sendiri. Persoalannya adalah Malaysia sering menampilkan kesenian dan budaya Indonesia dan hal ini dimungkinkan karena masalah kesejarahan. Karena itu muncul pemikiran mengenai pentingnya penelitian sejarah tentang kesenian yang seperti itu. Tetapi sepanjang yang saya tahu, Malaysia belum pernah mengklaim sebuah produk kesenian Indonesia itu sebagai miliknya, hanya saja dia menampilkan kesenian Indonesia itu dan mengambil manfaat atau menjual dari kegiatan itu. Dan itu berati kita harus memproteksi kalau ada budaya, culture heritage kita yang kira-kira
barangkali karena kita disini sudah sangat bagus demokrasi dan keberadaan persnya, sedangkan Malaysia itu masih dalam tahap proses ke arah itu. Itulah barangkali pentingnya kenapa harus ada dialog media, sehingga teman-teman bisa berbicara. Jadi saya kira ini bukannya belum memuaskan, tetapi karena ada perbedaan, kita di Indonesia ini berada dalam suasana yang sangat demokratis, sementara di Malaysia baru memulai sebagaimana yang terjadi di Indonesia, jadi kadangkadang ada pemberitaan yang kemudian secara tidak langsung rupanya belum bisa diterima oleh masyarakat kita ataupun masyarakat Malaysia. Kita ambil contoh misalnya ketika Inul konser ke Malaysia, tanggapan masyarakat di Malaysia, atraksi penampilan Inul itu dianggap tidak bagus dan media Malaysiapun memberitakan itu dengan mengatakan itu budaya Indonesia, padahal yang Inul tampilkan itu sama sekali bukan budaya Indonesia. Komponen berita yang seperti itu menyinggung kita, karena seolah-olah Inul itu cerminan budaya Indonesia, padahal bisa saja dia melakukan tarian atau hal lainnya yang dia tiru dari budaya lain. Hal-hal seperti ini selayaknya di dialogkan dan didekatkan antara satu pihak dengan pihak lainnya sehingga ada persamaan persepsi, dan persamaan pandangan. Jadi saya kira media itu tidak perlu dikontrol kalau ada saling pengertian, understanding antara masyarakat dan media, antara bagaimana membangun persahabatan, kekeluargaan, dan kebersamaan untuk masa depan yang lebih baik. Kita tidak mau mengontrol siapa-siapa, oleh karena itu pengertian itu penting sekali. Jadi persahabatan itu tidak hanya sebatas perkataan saja tetapi diimplementasikan dalam perbuatan, saling mengerti, memahami dan mendekatkan. Menurut kami hubungan pemerintah kedua negara itu tidak ada masalah, yang banyak masalah itu adalah antara masyarakat, karena disebabkan salah pengertian, itu yang kita sebut mis persepsion. Jadi kalau kita lihat permasalahan yang paling merisaukan itu sebenarnya adalah salah persepsi itu. Kesalahan persepsi dalam jangka pendek dapat
mengakibatkan timbulnya kekisruhan, dan tentu saja itu adalah sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kesalahan persepsi dalam jangka panjang itu akan menjauhkan hubungan yang ada, jadi walaupun kita itu sebenarnya dekat tetapi terasa jauh. Padahal kalau kita lihat Malaysia dengan Indonesia itu seperti Australia dengan England, sangat dekat, karena pada umumnya masyarakat Malaysia itu berasal dari Indonesia. Seharusnya hubungan itu lebih baik lagi, tapi ini malah banyak masalah, jadi saya kira ini yang perlu kita bicarakan dari hati ke hati, pendekatan kekeluargaan dan sebagainya. Seperti masalah kehadiran kapalkapal perang di perairan Ambalat, itu sudah dibicarakan oleh pemerintah, dan pemerintah sudah banyak melakukan pertemuan. Mudahmudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama, permasalahan itu bisa diselesaikan karena memang sudah ada pembicaraan. Jadi EPG itu tidak akan masuk kepada hal-hal yang telah dibicarakan oleh kedua negara. Saya kira EPG ini telah dibahas oleh pemerintah Indonesia-Malaysia, penentuan anggota EPG ini saya kira dilihat dari kepakaran dan keilmuan masing-masing. Sementara ini kami tidak memberi prioritas pembahasan dan sebagainya, prioritas kami adalah bagaimana people to people, masyarakat Indonesia dan masyarakat Malaysia saling memahami. Oleh karena itu kami juga akan melakukan dialog dengan organisasi pemuda, mahasiswa dan sebagainya dalam rangka mendekatkan masyarakat kedua negara. Pada tahap pertama, sekitar enam bulan, kita akan menyampaikan rekomendasi dan melakukan sosialisasi di berbagai forum didalam masyarakat. Untuk memberi keyakinan kepada masyarakat, kita akan bekerjasama dengan berbagai institusi termasuk dengan rekan-rekan media. Dengan adanya pemberitaan pertemuanpertemuan ini, mudah-mudahan dengan demikian ada yang menyadari untuk memperbaiki hubungan yang kurang bagus selama ini, dan saya yakin peran media ini sangat penting. Tugas kita ini akan kita sampaikan kepada pemerintah Indonesia, dan juga kita sosialisasikan kepada masyarakat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Malaysia. []
dok.presidensby
Dr. Musni Umar
rawan di eksploitasi oleh negara lain. Mengenai hal-hal yang menyangkut pendiskreditan Malaysia terhadap Indonesia itu belum diputuskan didalam perbincangan dan memang juga tidak ada yang menyebutkan hal-hal seperti itu. Tetapi ini menarik, sebagaimana anda tahu di Pondok Indah Mal itu ada stan Selangor, dalam era globalisasi, hal ini memang bisa saja terjadi, tinggal bagaimana kita melihatnya. Apakah kita akan melihatnya sebagai perspektif yang lain, itu bisa saja karena memang globalisasi yang menyebabkan hal seperti itu terjadi. Seperti misalnya juga penyebutan Indon bagi WNI, sebenarnya orang kita yang bekerja disana juga menyebut dirinya Indon, bagi mereka itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa, tapi kemudian itu menyakitkan bagi kita. Pemerintah kita juga sudah mengatakan jangan lagi menyebut seperti itu. Jadi kalau nanti kita bertemu dengan wartawan-wartawan disana, kita sampaikan hal-hal yang tidak disukai oleh rakyat Indonesia agar jangan dimuat, bukan berarti kita membatasi kebebasan mereka, tetapi itu tidak memperbaiki hubungan kita. Pandangan orang Malaysia terhadap orang Indonesia sebenarnya bagus, saya merasakan itu karena saya pernah lama di Malaysia. Tapi yang perlu kita ingat adalah bahwa di Malaysia itu ada India, Cina dan Melayu. Kalau terjadi kasus yang menyentuh harga diri orang Indonesia, pemerintah Malaysia tidak mungkin menyatakan yang melakukan ini adalah warga negara asal India, Cina atau Melayu, karena itu merupakan hal yang sensitive di sana. Jadi kita perlu membicarakan ini dengan masyarakatnya dengan tokohtokohnya dan mencari jalan keluarnya. Saya kira orang Malaysia juga tidak pernah merendahkan masyarakat Indonesia, kalau mengenai kasus, di Indonesia juga banyak terjadi kasus, seperti pemerkosaan, perlakuan yang kurang baik dengan tenaga kerja, dan sebagainya. Ini merupakan kasus per kasus, jadi jangan di generalisir. Masalah penangkapan istri pejabat, saya kira seperti disini juga ada masalah salah tangkap. Intinya hal-hal seperti itu jangan di besar-besarkan karena tidak menguntungkan bagi hubungan kedua negara. Mengenai persepsi media,
12
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Sorotan
Soft Power Tidak Akan Berarti Jika Tidak Diimbangi Dengan Hard Power B panjang, khususnya bidang polugri, disitu tampak jelas tujuannya adalah bagaimana membangun citra ataupun identitas Indonesia sebagai negara demokrasi didalam percaturan ataupun tatanan dunia internasional, dimana tentunya juga menuntut soft power itu tadi. Pondasi Soft Power Masalahnya adalah bagaimana caranya kita bisa membangun citra demikian, kalau kemudian upaya untuk membangun citra sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan negara dengan populasi pemeluk Islam terbesar yang tolerans, kalau kemudian tidak di support oleh hard economy power. Saya kira itu tidak cukup hanya dari identitas yang bersifat cultural ataupun bersifat seperti itu, jadi tetap dia itu harus merupakan satu kesatuan. Kalau kita lihat contohcontohnya, misalnya Cina ataupun AS, yang namanya soft power AS sebelum Bush itu sangat berhasil karena mereka punya dukungan ekonomi dan militer yang cukup. Sekarang Cina juga kerap dikatakan menggunakan soft power, seperti misalnya membangun pusat studi Konghucu dimanamana, Konfusionisme center, dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan cultural, sehingga memunculkan Cina yang kelihatannya lebih ramah, itu juga membutuhkan hard economic power. Jadi tidak hanya sekedar nilai-nilai cultural, seni ataupun nilainilai yang ada didalam masyarakat yang ditonjolkan karena pada saat yang sama sebagaimana kita tahu kemampuan militer Cina juga juga cukup kuat. Jadi kesimpulannya adalah ilusi kalau misalnya Indonesia hanya ingin mengedepankan soft power didalam menjalankan diplomasi tanpa kemudian juga berupaya untuk menguatkan hard power baik ekonomi maupun militer, yang justru menjadi pondasi dari efektif atau tidaknya soft power sebuah negara.
Saya melihat bahwa dan juga dari pengamatan berbagai studi, soft power dan hard power itu hanya masalah pemilihan penggunaan, ist the matter of choice. Which dimention dari power itu yang mau dipergunakan untuk kepentingan yang mana, jadi tidak ada suatu negara yang karena dia lemah, kemudian terus-menerus menggunakan soft power, bisa habis juga dia. Jadi ini masalah pemilihan saja, pada saat dia butuh mengunakan soft power seperti misalnya dalam hubungan Cina dengan Asia Tenggara, dia mengedepankan soft power tetapi ketika memang harus menggunakan hard power mereka akan memakai kekuatan militer, hubungan dengan Taiwan misalnya, mereka menggunakan ancamanancaman kekuatan militer. That is the matter of choice jadi efektifitasnya itu akan tergantung dari kombinasi antara soft power dengan hard power. Soft power Indonesia itu mungkin memang merefleksikan adanya keterbatasan, tetapi pada saat yang sama kita juga harus bangga dengan nilai-nilai demokrasi yang sudah berkembang disini, juga dengan kenyataan bahwa kita adalah negara Islam terbesar di dunia dimana pada saat yang sama kita bisa menjadi moderating voice baik didalam hubungan antara barat dengan Islam ataupun didalam dunia Islam itu sendiri. Yang menjadi persoalan itu sebenarnya hanya masalah efektifitas, seberapa besar sebenarnya upayaupaya kita untuk mengedepankan citra demokrasi dan Islam moderat ini bisa efektif kalau tidak di back up dengan investasi ekonomi yang cukup untuk menggunakan soft power itu. Karena sebenarnya sayang kalau misalnya ini tidak dipergunakan dengan betul sebagai asset didalam diplomasi. Pengakuan dan penghargaan dunia internasional terhadap kedua asset ini sebenarnya sudah cukup
Rizal Sukma Peneliti CSIS
tinggi, oleh karena itu kegiatankegiatan yang dilakukan misalnya lewat diplomasi publik memang menjadi penting. Karena kalau kita bicara hard power terutama militer dan bentuk penggunaannya dalam soft power itu adalah seperti defence diplomacy, naval diplomacy, dan kunjungan, dimana seolah-olah kunjungan, tetapi membawa armada militer yang cukup banyak, jadi terlihat ini soft power bukan hard power. Tetapi walaupun upayaupaya kita sudah cukup baik untuk nilai-nilai seperti demokrasi, Islam moderat, dan tolerans lewat public diplomacy, untuk kedepan saya kira perlu lebih focus, karena kita harus tahu juga bahwa yang namanya soft power atau upaya untuk membangun citra Indonesia itu sebenarnya jauh lebih kompleks ketimbang hanya membawa rombongan kesenian ke dunia luar. Sebelum ini mungkin lebih banyak seperti itu, seperti pagelaran seni, Indonesian night dan sebagainya, untuk kedepan saya kira sudah harus lebih kompleks dari itu. Untuk mem back up soft power kita, saya kira prioritasnya adalah kekuatan ekonomi, karena pada akhirnya pembangunan bidang militer dan sebagainya akan tergantung dari seberapa besar kita mampu melakukan pembangunan ekonomi. Seperti Cina misalnya, pada tahun 1983 dia mulai fokus pada pembangunan ekonomi, kemudian dengan meningkatnya GDP, income masyarakat dan juga pertumbuhan ekonomi, mau tidak mau kemudian
dok.kapanlagi
ila berbicara mengenai gagasan tentang soft power, dimana seolah-olah bagi negara seperti Indonesia yang tidak memiliki modal ekonomi dan militer yang kuat, kemudian berusaha mencari sisi lain dari kekuatan nasional yang dimiliki, dalam konteks bahwa soft power itu adalah kemampuan suatu bangsa atau negara untuk menggunakan kekuatan-kekuatan yang tidak bersifat militer ataupun hard power dalam rangka untuk meyakinkan ataupun mencapai tujuan nasionalnya di luar negeri. Dalam hal ini umumnya orang menggunakan misalnya kekuatan budaya, daya tarik negara itu bagi negara lain dan sebagainya. Namun soft power apapun yang kita miliki terutama dalam konteks Indonesia, itu tidak akan berarti banyak kalau tidak di back up atau di support oleh hard power yang memadai, terutama dalam konteks kekuatan ekonomi dan tentunya juga pertahanan ataupun militer yang diperhitungkan orang, karena soft power semata-mata saja tidak akan pernah cukup untuk mencapai tujuan-tujuan polugri. Selama ini baik Presiden maupun Menlu sering mengatakan bahwa kita memiliki beberapa asset yang bisa dipergunakan atau dimanfaatkan sebagai elemen dari soft power Indonesia. Yang pertama adalah demokrasi, kedua Islam moderat dan yang ketiga yang berkaitan dengan Islam moderat, yaitu bahwa Indonesia adalah negara yang tingkat pluralistiknya sangat tinggi dan pada saat yang sama juga bisa menonjolkan the ideology of tolerans. Tiga hal ini yang paling tidak tentunya menjadi asset dalam polugri kita untuk membangun kembali citra Indonesia yang baik di dunia internasional, yaitu sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan pada saat yang sama juga merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar. Kalau kita lihat RUU tentang rencana pembangunan jangka
DIPLOMASI
No. 9, Tahun I
13
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Sorotan elemen-elemen hard power lainnya juga mengikuti, terutama untuk militer. Ekonomi kita sekarang ini masih belum membaik, terutama karena banyaknya persoalan-persoalan yang sulit diselesaikan dalam konteks investasi asing misalnya. Meskipun ada beberapa negara yang mungkin melihat bahwa Indonesia itu lebih baik dalam konteks keuntungan yang bisa diraih jika mereka investasi, tetapi persepsi internasional secara menyeluruh masih tetap melihat Indonesia sebagai negara yang terlalu rumit dalam hal investasi. Adanya persoalan-persoalan yang belum selesai seperti misalnya soal buruh, kepastian hukum, keamanan dan sebagainya masih menjadi hambatan yang besar, disamping juga persoalan tentang skill. Masalah ekonomi ini adalah masalah struktural, jadi siapapun presiden dan menterinya, kalau isuisu seperti misalnya nasionalisme yang berlebihan terutama dalam konteks is our internationalisme, kemudian juga korupsi yang tidak tertanggulangi dengan baik, dan penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan perselisihan, siapapun presiden dan menterinya itu tetap akan mengalami kendala-kendala yang sama.
Pemulihan Ekonomi Sebenarnya sejak 1998 kita ini kembali kepada reinstarting state, menata kembali negara, dan ini adalah proses yang tidak mudah karena kita melakukan penataan politik dalam konteks kesulitan ekonomi yang sangat luar biasa, kita yang paling buruk mengalami krisis ekonomi pada 1997. Ketika ekonomi kita sangat buruk, pada saat itulah kita memutuskan untuk melakukan penataan politik secara dramatis, ini tantangannya luar biasa. Tetapi kalau kita lihat hanya dalam waktu 10 tahun kita sudah seperti ini, bagi saya kita still on the right track. Padahal orang meramalkan dalam 3-4 tahun Indonesia akan kolaps, bubar menjadi dua belas negara dan sebagainya. Jadi memang slow faithfull tetapi pada saat yang sama juga progress terutama di bidang politik. Saya kira terselenggaranya pemilu 2004 dengan damai tanpa tetesan darah itu luar biasa, disamping kemudian juga terjadi adanya penataan lembagalembaga politik. Meskipun itu tidak seperti apa yang diharapkan oleh orang banyak, tetapi paling tidak progress itu muncul. Kembali dalam konteks polugri, belakangan ini kita mencoba untuk menjelaskan perkembanganperkembangan seperti ini kepada
Penyerahan Hadiah
masyarakat internasional and that is the part of the use of the soft power pada dunia internasional. Dan saya kira tugas diplomasi ekonomi Deplu itu sifatnya hanya membantu, pada akhirnya semua itu ditentukan oleh keadaan di dalam negeri dimana Deplu tidak memiliki kontrol untuk itu. Deplu tidak bisa mengatur misalnya bagaimana undang-undang perburuhan itu harus diperbaiki, tidak punya kekuasaan untuk bisa memastikan bahwa kepastian hukum berjalan di Indonesia. Tetapi memang disaat yang sama Deplu itu selalu menjadi target yang sangat mudah untuk dikritik, ketika misalnya tingkat investasi yang masuk itu kecil, kemudian dianggaplah seolah-olah para diplomat Indonesia itu bodoh tidak mampu menarik investasi dari luar. Padahal sekarang ini ketika orang ingin tahu misalnya sebuah negara itu menguntungkan atau tidak, baik atau tidak untuk tujuan investasi, dia tidak perlu ke sebuah kedutaan, cukup melalui internet mereka sudah bisa tahu. Bahwa apapun yang disampaikan oleh perwakilan kepada investor, apabila kemudian keadaan dalam negerinya ternyata buruk, dia tidak akan bisa meyakinkan investor, dia hanya bisa menjalankan
peran untuk membantu penyediaan informasi ataupun membantu memfasilitasi pemberian penjelasan tentang bagaimana keadaan di Indonesia. Fokus pada perubahan strategis Tetapi saya kira fokus polugri kita tetap dan tidak pernah berubah, bahwa bagaimana kita memanipulasi dan mengkondisikan lingkungan eksternal sehingga kemudian menjadi kondusif untuk upayaupaya kita mencapai tujuan-tujuan nasional. Itu yang saya kira justru perlu dirumuskan, misalnya untuk mengantisipasi berbagai perubahan yang akan terjadi dalam waktu 10 tahun kedepan dalam lingkup global maupun regional, Indonesia harus merumuskan polugri itu seperti apa. Menurut saya langkah strategis dan fokus langkah kita kedepan itu adalah bagaimana kita menempatkan diri didalam perubahan strategis yang sedang berlangsung, baik pada tatanan global maupun khususnya pada tatanan regional kawasan di Asia Timur, dimana indikasi-indikasi bahwa negara-negara besar akan membangun sebuah consentration of power. Indikasi tersebut sudah mulai kelihatan. Indonesia harus ikut didalam proses itu untuk mendefinisikan dan juga membentuk tatanan Asia Timur seperti apa yang menguntungkan buat kita.[]
Tabloid Diplomasi Meraih Juara ke-3 Lomba Jurnal dan Penulisan Artikel Bertempat di kantor Direktorat Diplomasi Publik Deplu, ketua Tim Juri Lomba Jurnal dan Penulisan Artikel, Dian Wireng Jurit yang juga menjabat sebagai Direktur KIK Amerop menyerahkan hadiah kepada Tabloid Diplomasi yang berhasil mendapat juara ketiga lomba jurnal dan penulisan Artikel dalam rangka memperingati HUT RI dan HUT Deplu ke- 63. Hadiah ini diterima oleh Umar Hadi, Direktur Diplomasi Publik. Dalam sambutannya sebelum menerima hadiah ini, Umar Hadi menyampaikan bahwa Tabloid Diplomasi baru terbit 9 edisi dan usianya belum genap satu tahun, meski demikian sudah mendapat apresiasi dari berbagai kalangan dan mampu meraih juara 3 pada lomba yang diselenggarakan Deplu. Prestasi ini diharapkan dapat memicu dan mendorong seluruh redaksi tabloid untuk dapat menyajikan tampilan dan berita mengenai kebijakan luar negeri yang lebih berkualitas dan berbobot. []
DIPLOMASI
14
Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Fokus
Dewi Fortuna Puji Kebijakan Diplomasi Publik Deplu
Dewi Fortuna Anwar
P
engulas politik Dr. Dewi Fortuna Anwar dalam satu seminar di Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, memuji kebijakan diplomasi publik Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang diluncurkan sejak 2002. “Sejak dibentuknya Direktorat Jenderal (Dirjen) Informasi dan Diplomasi Publik Deplu pada 2002,
Deplu telah berhasil membuat beberapa kemajuan ihwal kebijakan diplomasi Indonesia,” kata Dewi. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mencontohkan keberhasilan diplomasi publik Deplu itu antara lain ialah penyelenggaraan “Dialog Lintas Keyakinan”, Beasiswa Seni Budaya Indonesia untuk menciptakan “Friends of Indonesia”, Diseminasi Informasi dan membangun konstituen diplomasi di kalangan peruruan tinggi dan Temu Budaya. Senada dengan Dewi, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dr. Rizal Sukma, menilai positif kebijakan diplomasi publik Deplu. “Peluncuran diplomasi publik Deplu sangat mewarnai kebijakan luar negeri Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini,” kata Rizal. Kendati demikian, Dewi dan Rizal menggarisbawahi bahwa keberhasilan
itu belum maksimal. “Meskipun ada kemajuan, tentu masih perlu dilihat kelanjutannya ke masa depan, sejauh mana efektifitas dari pelaksanaan diplomasi publik tersebut,” kata Rizal. Menurut Rizal, di satu sisi, kebijakan diplomasi publik mencerminkan reformasi di Deplu, tetapi di sisi lain reformasi di lembaga itu belum sepenuhnya berjalan. “Saya baru melihat reformasi telah dijalankan oleh Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik, ada pun DirjenDirjen Deplu lain masih setengah hati menjalankan reformasi itu,” katanya. Ia mengatakan reformasi di Deplu tersebut mulai berjalan setelah peralihan generasi dari Orde Baru ke Orde Reformasi dengan tampilnya tokoh-tokoh muda yang dipelopori Menteri Luar Negeri Dr. Nur Hassan Wirajuda. Menurut Rizal, di masa lalu, kebijakan luar negeri hanya ditentukan “apa kata presiden dan menteri luar negeri”, tetapi sekarang misi itu telah meluas dan melibatkan semua pihak sehingga mencerminkan pelaksanaan reformasi.
Rizal menceritakan pengalamannya ketika ia pernah diajak seorang pejabat Deplu untuk misi diplomasi ke Selandia Baru. “Di Selandia Baru, ada seorang wanita pegiat hak asasi manusia yang anti-TNI dan munuduh terjadi korupsi di lembaga itu. Namun pejabat Deplu itu menanggapinya secara profesional sehingga mengalihkan persoalan yang disoroti sang pegiat anti-TNI itu,” katanya. Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Deplu Andri Hadi menjelaskan, kebijakan dipomasi publik luar negeri Indonesia memiliki dua sasaran. Sasaran pertama adalah menampilkan wajah Indonesia baru yang moderat, demokratis dan progresif, sedangkan sasaran kedua membangun konstituen diplomasi dengan bekerjasama dan merangkul semua kalangan seperti ulama, cendekiawan dan masyarakat umum. “Misi diplomasi Indonesia sekarang telah meluas menjadi kontak antar `masyarakat Indonesia ke masyarakat` di negara lain,” kata Andri. (*) Sumber : Antara
Dr. Makarim Wibisono Pimpin “Conference on Interfaith” di Jenewa
M
antan Duta Besar / Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Dr. Makarim Wibisono, dalam kapasitasnya sebagai Presiden dan co-founder dari Geneva Interfaith Intercultural Alliance (GIIA), telah memimpin “Geneva Conference on Interfaith Cooperation and the Protection of Human Rights and Dignity” pada tanggal 1-2 September 2008 bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Konperensi ini selain dimaksudkan untuk membangun jembatan perdamaian dan solidaritas antar agama guna meningkatkan perlindungan hak asasi dan martabat manusia, juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih kepada PBB, khususnya Dewan HAM PBB, berupa pesan perdamaian dan solidaritas. Turut berpartisipasi dalam Konperensi tersebut 12 orang tokoh muda yang mewakili berbagai kelompok agama. Mereka merumuskan deklarasi berjudul Deklarasi Antarkepercayaan mengenai Perdamaian dan HAM “Interfaith Declaration on Peace and Human Rights” yang antara lain menghimbau agar para pemimpin pemerintah dunia dapat bekerjasama dengan pemimpin rohani
dari seluruh agama dan kepercayaan guna menciptakan perdamaian dan toleransi antar-umat beragama. Selain itu, Deklarasi juga menghimbau agar pemerintah memperkenalkan kurikulum pelajaran mengenai pentingnya menerapkan hubungan antar-agama dan kepercayaan berdasarkan perdamaian dan toleransi. Deklarasi tersebut menurut rencana akan dikirim ke Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB serta badan-badan PBB lainnya. Selain mengesahkan Deklarasi, Konperensi juga telah mengeluarkan Rencana Aksi (plan of action). Benang merah yang dapat ditarik dari Konperensi ini adalah perlunya menurunkan tembok yang memisahkan umat agama, kepercayaan dan kebudayaan di dunia serta mengupayakan untuk melibatkan pemimpin-pemimpin agama dalam proses perdamaian di dunia sehingga dapat memberikan perspektif yang baru. Konperensi dibagi dalam enam sesi yakni pembahasan dewan antar-agama (Interreligious Council); Perserikatan Bangsa-Bangsa, Perdamaian dan Agama (United Nations, Peace and Religion);
Perspektif Kepercayaan terhadap Kerjasama Perdamaian dan HAM (Faith Perspectives on Cooperation for Peace and Human Rights); Perspektif Kawasan terhadap Kerjasama Antar-Kepercayaan untuk Pedamaian dan HAM (Regional Perspectives on Interfaith Cooperation for Peace and Human Rights) serta Peran Kerpercayaan dalam Perlindungan dan Martabat HAM (Role of Faith in Protection of Human Rights and Dignity). Sebagian besar dari 23 panelis yang hadir terdiri dari tokoh rohaniawan, akademisi dan teolog antara lain: Dr. William McComish (rohaniawan Nasrani dan Dean of Geneva’s St Pierre Cathedral), Dr. Bongkott Sitthipol (rohaniawan Budha dari Thailand), Mr. Hafid Ouardiri (Tokoh dan rohaniawan Islam di Jenewa), Dr. Charles Graves (Interfaith International), Dr. Thomas Walsh (Sekrtaris Jenderal Universal Peace Federation), Dr. Rabin Izhak Dayan (rohaniawan Yahudi di Jenewa), Dr. Satish Joshi (Hindu Forum), Mr. Willy Fautre (Direktur Human Rights without Frontiers) dan Mr. Peter Zohrer (Presiden Forum Religious Freedom Europe). Hasil konperensi perdana ini
yang terdiri dari Interfaith Declaration on Peace and Human Rights dan Program of Action diharapkan dapat memberikan nilai perdamaian dan toleransi dari perspektif interfaith dan keagamaan. Konperensi ini diharapkan dapat dilanjutkan kembali dengan memberikan penekanan pada “acceptance” atas perbedaan. Konperensi ini difasilitasi oleh PTRI di Jenewa bekerjasama dengan Perutap Filipina, Universal Peace Federation (UPF) dan Geneva Interfaith Intercultural Alliance (GIIA). Pertemuan selama dua hari tersebut dihadiri sekitar 180 peserta dari kalangan diplomat di Jenewa, tokoh rohaniawan, akademisi, teolog dan masyarakat internasional yang berbasis di Jenewa. Sehari menjelang Konperensi, telah dilakukan acara temu muka dengan tokoh-tokoh agama muda bertempat di PTRI Jenewa. Acara Konperensi juga dimeriahkan dengan acara resepsi untuk seluruh peserta yang diselenggarakan oleh PTRI Jenewa.[] (Sumber: PTRI Jenewa)
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI
15
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Sorotan Yasmi Adriansyah Sekretaris Kedua PTRI
D
alam wacana kebijakan luar negeri dan diplomasi, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pernah menyampaikan sebuah parnyataan menyengat. Ia mengatakan bahwa untuk menjadi negara yang dihargai (respectable), Indonesia masih kedodoran.(Kompas 13 Maret 2008). Basis argumentasi Kalla yang disampaikan pada seminar di Universitas Indonesia bertajuk “ Mencari Identitas Politik Luar Negeri Indonesia” tersebut sejatinya sangat sederhana. Bahwa selama pendapatan perkapita rakyat Indonesia masih jauh dari angka 5000 dollar AS, atau dengan kata lain masih banyak rakyat yang miskin, selama itu pula postur Indonesia dalam konstelasi antarbangsa tidak begitu dipandang mata. Menurut Kalla, terdapat persyaratan tiga komponen jika suatu negara ingin disebut sebagai sebuah adidaya (superpower). Komponenkomponen dimaksud adalah kekuatan militer, ekonomi dan ilmu pengetahuan – teknologi. Amerika Serikat (AS) dipanggil adidaya karena mempunyai ketiga komponen tersebut. Eks- Uni Soviet sebelumnya masuk dalam kategori ini. Namun sejak perekonomiannya rapuh, status adidaya pun ikut runtuh. Jepang adalah contoh lain. Negara tersebut secara jelas mempunyai kekuatan ekonomi dan ilmu pengetahuan – tekologi. Namun Jepang tidak dapat diklasifikasikan sebagai negara adidaya karena kapasitas militer mereka yang semata ditujukan untuk pertahanan (defense). Kalla selanjutnya berargumentasi bahwa komponen terpenting dari kekuatan sebuah bangsa adalah ekonomi. Kekuatan ekonomi adalah basis utama yang diperlukan sebuah negara jika ingin mendapatkan kehormatan dunia. Dan hal inilah yang menjadi tantangan utama Indonesia. Indonesia belum terhormat Mendengar argumentasi Kalla, awalnya penulis tidak sepenuhnya sependapat. Alasannya, jika Indonesia memfokuskan kebijakan luar negeri
Mencari Tempat Terhormat Indonesia* dan diplomasinya hanya untuk tujuan mencapai kesejahteraan, bukankah hal itu terlalu disederhanakan (simplification)? Bukankah Indonesia telah mencapai status terhormat dalam konstelasi dunia walaupun di dalam negeri masih berjuang dengan pembangunan ekonomi dan bahkan kemiskinan? Sebagai contoh, mari kita lihat sejumlah capaian diplomasi Indonesia. Saat ini Indonesia memainkan peran di dalam Dewan Keamanan PBB, sebuah institusi 15 negara yang digdaya karena mempunyai mandat dan tugas utama mengendalikan keamanan dunia. Sebelumnya di tahun 2005, Indonesia memimpin Dewan Hak Asasi Manusia, sebuah lembaga yang tak seorangpun akan menyangkal keprestisiusannya. Contoh lain adalah kepemimpinan Indonesia dalam pertemuan bersejarah Konferensi 50 tahun Asia Afrika pada tahun 2005, dimana sekitar 50 kepala negara dan pemerintahan bertandang ke Indonesia. Dan masih banyak capaian lain, khususnya terkait peran kepemimpinan Indonesia di sejumlah
badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan sejumlah catatan capaian tersebut serta dikaitkan dengan argumentasi Kalla, kita kemudian dapat mengajukan sebuah pertanyaan esensial : apakah semua capaian tadi belum cukup untuk menempatkan Indonesia dalam jajaran negara terhormat? Validitas Argumentasi Kalla : Amerika Serikat Setelah sedikit berkontemplasi, penulis beranggapan bahwa argumentasi Kalla mengandung sejumlah validitas. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kesejahteraan suatu bangsa memang merupakan gerbang untuk masuk kedalam kategori negara terhormat. Logikanya adalah dengan adanya kekuatan ekonomi, suatu negara tidak harus bergantung kepada negara lain. Dengan kata lain, tidak ada satupun negara yang dapat mendikte negara yang kuat perekonomiannya. Kita pun dapat menggunakan pisau analisa teoritis, sebagaimana pendapat didalam Globalization of world Politics (Baylis & Smith,
2005). Menurut Baylis dan Smith, ada dua paradigma utama yang dapat digunakan untuk menganalisa hubungan internasional : realisme dan liberalisme (atau idealisme, menurut sejumlah pakar lainnya). Kaum pendukung realisme berargumentasi bahwa hanya negara yang kuat yang dapat mengendalikan dunia. Dengan kata lain, negara yang mempunyai kekuatan akan mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding negara yang biasa-biasa saja (mediocre). Adapun kaum pendukung liberalisme berpandangan lain. Menurut mereka, hubungan antarbangsa harus didasarkan pada prinsip-prinsip kerjasama dan penghormatan antara satu negara dengan yang lainnya. Dengan kata lain, dunia harus dikendalikan secara setara oleh semua negara, tidak hanya oleh sejumlah negara kuat atau bahkan oleh sang adidaya semata. Liberalisme memang terlihat sebagai paradigma yang ideal. Sayangnya, kita tidak hidup di dunia yang selalu ideal. Perpolitikan di dalam hubungan internasional dalam berbagai praksisnya justru sangat
Keluarga Besar Departemen Luar Negeri RI mengucapkan:
Minal Aidin wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin
Selamat Idul Fitri 1429 H
16
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
dok.google
Validitas Argumentasi Kalla;
China Salah satu contoh betapa pengaruh kekuatan ekonomi bagi kehormatan suatu negara adalah China. Sekitar 15 atau 20 tahun yang lalu, China adalah negara pariah alias masih dipenuhi oleh orang – orang miskin. Walaupun China mempunyai kekuatan nuklir dan telah jamak dideklarasi sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia, namun karena keterbelakangan ekonominya, China belum dapat dimasukkan ke dalam bagian entitas negara-negara terhormat. Namun kini, melalui kapasitas kekuatan ekonomi terbesar di dunia setelah AS dengan produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10,21 triliun dollar (dalam perhitungan paritas daya beli tahun 2006), siapapun tak akan menyangsikan bahwa China saat ini merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia. Bahkan dalam skala tertentu, perekonomian AS pun sangat menggantungkan diri pada mitra timur-jauhnya tersebut. Dengan kekuatan yang besar, khususnya kekuatan ekonomi dan persenjataan nuklir, tidak mudah bagi suatu negara, termasuk AS, untuk mendikte China mengenai bagaimana mereka harus bersikap. China memang mempunyai masalahmasalah HAM, seperti kasus Tibet atau pandangan-pandangan kritis atas rejim pemerintahan yang tidak demokratis. Namun sampai saat ini, China tetap mendapatkan rasa hormat dari negara lainnya. Atau paling tidak, sekalipun terdapat perbedaan yang cukup prinsipil, tidak ada satupun negara yang dapat menjatuhkan sangsi kepada China.
Benang Merah Dari fenomena AS dan China sebagaimana terpapar diatas, dapat kiranya ditarik benang merah konklusif bahwa argumetasi Jusuf Kalla memang mengandung sejumlah validitas. Kesejahteraan sebuah bangsa atau kekuatan ekonomi memainkan peranan sangat signifikan di dalam meletakkan status suatu negara. Eksistensi kekuatan ekonomi tak pelak lagi merupakan sebuah kondisi penting, atau bahkan terpenting, bagi suatu negara untuk masuk dalam golongan negara yang terhormat. Namun demikian, apakah argumentasi Kalla juga dapat diartikan bahwa kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia harus memarginalkan area lainnya? Bagaimana dengan upaya Indonesia dalam penciptaan dan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional? Bagaimana dengan kontribusi Indonesia di dalam upaya perlindungan lingkungan hidup dunia? Bagaimana dengan area penting lainnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup logis. Akan tatapi, tampaknya yang menjadi esensi argumentasi Kalla adalah fokus kebijakan yang Indonesia harus jadikan pegangan. Jika kita dapat menyepakati bahwa kekuatan ekonomi adalah komponen utama untuk masuk ke dalam jajaran negara-negara terhormat, maka seyogyanya kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia haruslah dijalankan dalam substansi dan arahan yang sama. Lebih jauh lagi, argumentasi
kalla sejatinya tidaklah bersebrangan dengan tujuan-tujuan utama dari duet pemerintahannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak hari-hari awal pemerintahan, pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat telah dijadikan sebagai priorotas duet SBY-_Kalla. Oleh karena itu, sebagai perpanjangan dari kebijakan nasional, kebijakan luar negeri dan dplomasi Indonesia haruslah berada dalam jalur dan dimensi tersebut. Berdasarkan benang merah konklusif ini, tidak terlalu salah jika diargumentasikan bahwa mayoritas bangsa Indonesia akan sangat mendukung kebijakan luar negeri yang difokuskan pada penciptaan kesejahteraan. Dan lebih jauh lagi, hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas warga bumi pertiwi akan menyambut dengan gegap gempita jika Indonesia akhirnya masuk dalam jajaran negara terhormat di jagat antarbangsa. Kelak, di suatu hari, setiap anak negeri akan menyatakan kebanggaannya sebagai warga Indonesia. Kehormatan mereka adalah kehormatan sebagai wakil negerinya. Atau, jika meminjam ucapan John Adams, salah seorang bapak bangsa berpengaruh di AS, “There never was yet a people who must not have somebody or something to represent the dignity of the state”. * Artikel ini meraih juara I lomba penulisan artikel yang diselenggarakan oleh Deplu dalam rangka HUT RI dan HUT Deplu ke -63.
dok.google
realistis dimana negara-negara yang kuat kerapkali mengendalikan negaranegara yang lemah. Sejumlah contoh menunjukkan realita dimaksud. Salah satu contoh terkemuka dan paling kasat mata adalah aksi unilateral invansi Amerika Serikat ke Irak sejak tahun 2003 dan proses dominasi yang terus berjalan sampai saat ini. Dunia menyaksikan betapa intitusi sekaliber Dewan Keamanan PBB tidak mampu mencegah aksi dan dominasi tersebut. Lebih menyedihkan lagi, alasan invansi bahwa Irak mempunyai senjata pemusnah masal ternyata sama sekali tidak terbukti. Nyatanya, proses dominasi AS atas Irak telah berjalan sekitar lima tahun, dan tidak ada satupun negara yang mampu, apalagi mendikte AS, untuk menghentikan invansi dan dominasi. Kaum pendukung realisme akan berargumentasi bahwa demikianlah realita hubungan antarbangsa. Dengan status sebagai satu-satunya negara adidaya maka AS dapat melakukan apapaun yang dikehendakinya. Pertanyaan lebih lanjut, bukankah dengan segala kebijakan dan prilaku yang agresif tersebut telah menyebabkan AS semakin kehilangan pamor dan kehormatan dalam konstelasi hubungan internasional? Secara terang-terangan ataupun sayup-sayup, hal itulah yang mungkin terjadi. Namun, dalam praksis diplomasi dilapangan, suka atau tidak suka , AS masih mempunyai kendali dan kekuatan dan dominan.
dok.google
Sorotan
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI
17
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Sorotan
Presidential Friends of Indonesia
29 Tokoh dari Berbagai Negara Menjadi “Sahabat Indonesia” infomed.doc
I
nisiatif Direktorat Diplomasi Publik Deplu untuk mengundang tokoh-tokoh dunia dari berbagai negara yang dirangkum dalam program “ Presidential Friends of Indonesia “ merupakan langkah diplomasi yang tepat. Indonesia harus merangkul tokoh-tokoh berpengaruh diberbagai negara untuk lebih meningkatkan citra Indonesia dan mempromosikan kemajuan yang telah dicapai. Disamping itu, kehadiran para tokoh tersebut ditanah air, membuat mereka dapat merasakan dan melihat sendiri kondisi di tanah air dan perkembangan, kemajuan, serta tantangan yang kita hadapi. “Kelak apabila mereka kembali dari kunjungan yang bermakna ini, saya harap mereka bisa menjadi `duta besar` Indonesia di negera tersebut. Jadi ini jembatan antara Indonesia dan negara dimana mereka tinggal,” ujar Dino Patti Jalal, juru bicara Presiden untuk masalah luar negeri. Presidential Friends of Indonesia yang baru pertama kali diadakan ini mengundang 29 tokoh dari 27 negara. Acara tersebut diselenggarakan pada 13 Agustus hingga 19 Agustus. 29 tokoh terkemuka dunia, yang dinamakan Friends of Indonesia, ini berlatar belakang berbeda, mulai dari akademisi, jurnalis, pengusaha, mantan pejabat, tokoh LSM, dan lain-lain. ”Program ini merupakan
suatu usaha dari pemerintah Indonesia, untuk mengedepankan soft power Indonesia dalam berhubungan dengan negara lain dan juga untuk mengembangkan net working dengan negara-negara sahabat. Kita sudah punya cukup banyak Friends of Indonesia, baik di Asia, Afrika, dan negara-negara Barat. Dengan mengundang para tokoh tersebut, kita ingin lebih mengembangkan jaringan Friends of Indonesia ini. “Agar mereka dapat merasakan dan melihat sendiri kondisi di tanah air dan perkembangan, kemajuan, serta tantangan yang kita hadapi,” ujar Dino. “Kelak apabila mereka kembali dari kunjungan yang bermakna ini, saya harap mereka bisa menjadi `duta
besar` Indonesia di negera tersebut. Jadi ini jembatan antara Indonesia dan negara dimana mereka tinggal,” Dino menambahkan. Selama di Indonesia, para tokoh dunia ini telah mengikuti berbagai rangkaian kegiatan HUT ke-63 RI. Antara lain, pembacaan Pidato Kenegaraan Presiden di Gedung DPR/MPR, bertemu Ketua Kadin, Malam Resepsi Kemerdekaan, mengunjungi kawasan Industri Jababeka, dan berkunjung ke Nanggroe Aceh Darussalam, serta mengikuti Presidential Friends of Indonesia Program. Berkunjung ke Nangoroe Aceh Darussalam Kunjungan Friends of Indonesia ke NAD dimaksudkan untuk melihat langsung kemajuan pembangunan pasca tsunami. Mereka mengunjungi beberapa lokasi seperti Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok di Neuheun-Aceh Besar, Taman Edukasi Tsunami, Pusat Mitigasi Bencana, Desa Lambung di kawasan Uleelhue, serta beberapa landmark Banda Aceh
infomed.doc
seperti PLTD Apung dan Mesjid Raya Baiturrahman. Tamu Negara ini tiba di Banda Aceh pada tanggal 18 Agustus sore dan bertemu dengan jajaran Pemerintah Provinsi NAD serta mengikuti jamuan makan malam di Meuligo. Selanjutnya keesokan harinya mereka dipandu oleh BRR NAD-Nias untuk mengikuti rangkaian kunjungan ke lokasilokasi utama hasil rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami yang dijalankan BRR NAD-Nias beserta seluruh pemangku-kepentingan lainnya. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Pelaksana BRR NAD-Nias, mengatakan program Presidential Friends of Indonesia ini mengikutsertakan kunjungan ke Banda Aceh atas dasar reputasi baik Pemerintah Indonesia di luar negeri berkenaan dengan kemajuan dalam pemulihan pasca tsunami. Kita berharap, kunjungan ini bisa memberikan gambaran nyata tentang pemulihan pascatsunami, tambahnya. Setelah megunjungi lokasilokasi penting hasil rehabilitasi dan rekonstruksi di Banda Aceh dan Aceh Besar, seluruh peserta program terkesan dengan hasil yang dicapai. Ke-27 negara asal para tokoh itu adalah Afrika Selatan, Arab Saudi, Amerika Serikat, Australia, Azerbaijan, Belanda, Brunei Darussalam, Ceko, Filipina, India, Inggris, dan Italia. Kemudian Jepang, Kanada, Korea Selatan, Laos, Myammar, Norwegia, Pakistan, Perancis, Rusia, Selandia Baru, Singapura, Spanyol, Uni Emirat Arab, Vietnam, dan Jordania. []
DIPLOMASI
18
Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Sorotan Lensa
Kesan Friends Of Indonesia Kunjungan ke Aceh ini sungguh membuka mata saya akan kerja luar biasa yang telah dilakukan oleh Pak Kuntoro dan tim-nya. Ada banyak pelajaran dan pengalaman yang dapat dibagi kepada dunia dalam hal mitigasi bencana,” tukas Ramesh C.Chopra, CEO TATA Group India. Ia juga sangat terkesan dengan kunjungan ke Pusat Mitigasi Bencana di Uleelheu.
Ramesh C.Chopra, CEO TATA Group, India
Pedro Deon Diederichs, Afrika Selatan
Pedro Deon Diederichs, Kepala Departemen Jurnalisme, Tshwane, University of Technology-Pretoria, Afsel, terkesan dengan kerja raksasa di bidang kemanusiaan yang terjadi setelah bencana gempabumi dan tsunami di Aceh.”Saya amat kagum dengan dukungan Pemerintah RI dalam pekerjaan besar ini sehingga proses rehab-rekon ini dapat berjalan dengan baik,” tambahnya lagi.
Jesse Mathijs Kuijper dari Belanda menyatakan bahwa rakyat Aceh dan Pemerintah Indonesia telah meraih hasil yang luar biasa dalam rekonstruksi di Aceh. Ditambah lagi dengan keberhasilannya meraih dukungan internasional dalam melaksanakan kerjasama yang besar ini. Mungkin pendekatan ala BRR bisa diterapkan untuk proyek-proyek berskala besar di masa depan seperti reformasi sistim sekolah, pembangunan monorel Jakarta atau program perubahan iklim, ujar Chairman of the Board, Forest Steawardship Council-Netherlands ini. Jesse Mathijs Kuijper, Belanda
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI
19
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Lensa
Asia Pacific Interfaith Youth Camp 2008 Bekerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya dan organisasi kepemudaan yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan hidup, Departemen Luar Negeri RI menyelenggarakan Asia Pacific Inter Faith Youth Camp (APIFYC) 2008, pada tanggal 27 – 31 Juli 2008. Dengan mengusung tema “.......We Care for The World”, acara kepemudaan se-Asia Pasifik yang mensinergikan konsep penghormatan atas keberagaman agama dan kepedulian atas perlindungan lingkungan hidup ini, diikuti 11 negara (Australia, Brunei Darussalam, Fiji, Filipina, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapura, Selandia Baru, Thailand, dan Timor Leste) dengan 68 peserta yang rata-rata berusia 18 – 25 tahun. Selain itu, juga hadir beberapa pemantau dari Kementerian Luar Negeri Thailand, Timor Leste, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan. Pada forum tersebut, dilakukan diskusi yang mengarah pada pendekatan agama-agama di dunia dalam memandang pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam diskusi tersebut juga hadir beberapa tokoh agama antara lain Prof. Philip K. Wijaya (Buddha), Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA (Islam), Putu Artama (Hindu), Budi Wijaya (Khonghucu) dan Simon Filatropa (Kristen). Para peserta juga mendapat kesempatan mengenal keharmonisan
kehidupan antarumat beragama di Kota Surabaya yang diwujudkan berupa program “homestay” di keluarga-keluarga terpilih di Kota Surabaya. Para peserta juga melakukan observasi pada beberapa daerah di Kota Surabaya tentang dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang sudah nampak dan bagaimana seharusnya setiap individu bersikap. Daerah yang dikunjungi antara lain perkampungan nelayan di kawasan pantai, perkampungan penduduk di bekas tempat pembuangan sampah, kawasan pembuangan sampah akhir dan pusat perbelanjaan. Aksi nyata para pemuda seAsia Pasifik tersebut dituangkan
dalam Deklarasi Surabaya (Surabaya Declaration) yang merupakan janji dan kebulatan tekad untuk terlibat langsung dalam perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup dengan berpegang teguh pada penghormatan atas ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Para peserta meyakini solusi untuk mengatasi perubahan iklim dapat ditemukan dalam tindakan dari setiap individu dalam masyarakat sebagaimana organisasi swasta dan publik bekerja sama dengan erat secara utuh. Dialog yang dilaksanakan diantara kelompok-kelompok, terutama antar agama dan kepercayaan yang berbeda akan memiliki posisi dan makna yang vital dalam menerapkan,
Agung Laksono: Sebagai Negara Demokratis Terbesar Ketiga di Dunia,Indonesia Siap berperan Lebih Besar bagi Peningkatan Peran IPU
K
etua DPR RI Agung Laksono dan rombongan mengadakan kunjungan resmi ke Chile pada 15 September 2008. Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPR RI mengadakan pertemuan dengan Ketua Parlemen (Camara de Diputados) Chile, Francisco Encina Moriamez dari Partai Sosialis (PS). Pertemuan dihadiri pula oleh Duta Besar RI Ibrahim Ambong, Priyo Budi Santoso (Fraksi Partai Golkar), Endin Akhmad J. Soefihara (Fraksi PPP), Sjarifuddin Hasan (Fraksi P-Demokrat), Abdillah Toha (Fraksi PAN) dan beberapa staf KBRI Santiago. Kunjungan selain dimaksudkan
untuk mendapatkan dukungan bagi pencalonan Indonesia sebagai Ketua IPU, juga dimanfaatkan untuk membahas perkembangan hubungan bilateral, masalah internasional serta saling tukar informasi mengenai sistem dan perkembangan parlemen kedua negara. Khusus mengenai pencalonan Indonesia sebagai Ketua IPU, Agung Laksono menambahkan bahwa sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia Indonesia siap untuk berperan lebih besar bagi peningkatan peran IPU di masa mendatang. DPR RI meminta dukungan pemerintah
dan parlemen Chile dalam pemilihan Ketua IPU mendatang di Jenewa. Ketua Parlemen Chile menanggapi positif pencalonan Indoensia. Menyangkut hubungan bilateral Indonesia - Chile, kedua belah pihak menyambut dengan gembira kemajuan yang telah dicapai di berbagai bidang seperti politik, ekonomi dan sosial budaya sejak dibukanya hubungan diplomatik kedua negara. Saling kunjung antar anggota parlemen kedua negara diharapkan dapat menjadi pelaksana second track diplomacy dalam meningkatkan hubungan ke dua
melaksanakan, dan memperluas tindakan penanganan isu lingkungan ini. Para pemuda menyerukan kepada pemerintah dan perusahaan dalam skala internasional untuk memposisikan diri sebagai pemimpin dalam aksi pergerakan lingkungan dan tindakan yang bertanggung jawab secara sosial dan ekologis. Peserta juga menekankan pentingnya tindakan berkelanjutan dalam perjalanan menuju pelestarian lingkungan. Peserta juga mengutip sebuah pernyataan Roger Payne, “kita seharusnya melihat masalah kita saat ini sebagai kesempatan strategis untuk mencapai keagungan yang pernah ditawarkan kepada generasi manapun dalam peradaban yang ada di sejarah manusia. Apabila kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan tersebut dan aktif bertindak, maka generasi kita akan menjadi generasi gagal. Namun, bila kita memutuskan untuk bertindak, maka generasi kita akan menjadi pahlawan yang akan terus dikenang hingga akhir masa.” APIFYC merupakan langkah awal Pemerintah RI dalam mewujudkan Waitangi Declaration yang mendukung keterlibatan seluruh lapisan komponen masyarakat dari berbagai agama dan kepercayaan untuk memiliki kepedulian akan isuisu bersama tanpa dibatasi perbedaanperbedaan agama, keyakinan, suku bangsa dan negara.[]
bangsa dan negara di berbagai bidang, termasuk dalam upaya meningkatkan “people-to-people contacts”. Dalam kesempatan tersebut Ketua DPR RI juga menjelaskan mengenai sistem parlemen di Indonesia, perkembangan proses demokratisasi termasuk proses transformasi politik dan hukum serta upaya – upaya demokratis menuju good governance yang tengah berlangsung di Indonesia dewasa ini. Dalam kunjungan tersebut, Ketua DPR RI juga berkesempatan melakukan wawancara dengan jaringan televisi Camara Diputados Television (CDT) yang merupakan salah satu stasiun televisi yang menyiarkan berita-berita kegiatan parlemen Chile. [] (Sumber: KBRI Santiago)
DIPLOMASI
20
Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Lensa
enyelenggaraan lokakarya Meningkatkan Toleransi Beragama, Peliputan dan Penulisan di daerah Konflik, pada tanggal 25 – 28 Agustus 2008 di hotel Santika, Jakarta pada intinya adalah karena kita sadar bahwa disebuah wilayah konflik, media itu bisa berperan positif maupun negatif. Peran negatifnya adalah menjadi corong bagi pihak yang bertikai, sehingga membuat suasana pertikaian semakin meningkat atau membuat konflik semakin meruncing. Tugas wartawan di daerah konflik itu memang agak sulit, karena bisa saja seorang wartawan yang barang kali disebabkan oleh keluarganya, saudaranya atau tetangganya menjadi ikut terlibat dalam suatu konflik. Tujuan lokakarya itu memang untuk menjembatani, dimana sebagian besar peserta adalah para wartawan yang ikut terlibat konflik. Jadi setelah konfliknya reda, kita ingin dengan lokakarya tersebut kita saling mendiskusikan tentang pengalamanpengalaman mereka dan bisa menarik pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan di masa lalu untuk kemudian nanti tidak terulang kembali di masa depan. Bagaimanapun wartawan itu adalah manusia biasa juga, jadi walaupun idealnya mereka harus netral, tetapi sebagai manusia ketika sebuah konflik terjadi di wilayahnya dan kemudian tetangganya atau keluarganya ada yang menjadi korban, maka siapa yang tidak akan terpengaruh, ini adalah situasi dilemma yang sulit untuk dihindari. Dalam acara diskusi itu disepakati bahwa kalau mengalami hal seperti itu, solusinya adalah sebaiknya dia berhenti dulu menjadi wartawan. Hal ini agar karya jurnalistiknya tidak terlibat untuk memanas-manasi situasi, karena bisa dipastikan bahwa dalam situasi seperti itu, secara emosi diriya tidak stabil. Kalau kemudian dia membuat laporan, pasti hasil laporannya akan terbawa suasana emosi, sehingga karya jurnalistik atau hasil laporannya itu menjadi tidak seimbang. Solusinya adalah ketika seorang wartawan dalam situasi emosi yang tidak memungkinkan untuk meliput, sebaiknya dia menolak seandainya dia ditugaskan oleh atasannya untuk meliput. Oleh karena saya sedang ada persoalan, lebih baik saya tidak meliput, demikian kita sarankan kepada wartawan yang menghadapi situasi seperti itu. Harian Kompas misalnya, pernah membebas tugaskan wartawan koresponden yang berada di wilayah
konflik, dan kemudian mengirim wartawan dari Jakarta agar liputannya tetap independent. Itulah antara lain salah satu wacana yang mengemuka dalam acara diskusi tersebut. Sebenarnya banyak sekali wacanawacana lainnya yang muncul karena diskusi itu kita format seperti semacam diskusi panel, dimana kita mengundang narasumber dari agama yang berbeda yaitu Kristen Katolik dan Islam, dan juga tokoh-tokoh agama dari Kristen Katolik dan Islam yang kemudian berbicara mengenai pentingnya toleransi beragama. Dari wacana yang mengemuka itu, wartawan bisa menarik banyak pelajaran, yaitu sebagai ilmu baru mengenai pentingnya toleransi beragama. Selain diskusi dan pelatihan mengenai jurnalisme, kita juga memperkenalkan mengenai teori apa yang dimaksud dengan jurnalisme damai, apa yang membedakannya dengan jurnalisme biasa atau bahkan dengan jurnalisme perang. Lokakarya ini terdiri dari 20 peserta dari 11 media lokal, yaitu media dari wilayah Maluku, Ternate, Ambon, Flores dan Sulawesi. Kegiatan
Media Di Tengah Situasi Konflik ini adalah hasil kerjasama Kedubes New Zealand dengan LPDS. Sebenarnya kita menawarkan bukan hanya untuk media dari wilayah-wilayah tersebut, tetapi karena kebetulan New Zealand itu fokusnya ke Indonesia Timur maka mereka mengajak untuk melaksanakan acara ini dimulai dari wilayah Indonesia Timur dulu. Ke depan kita akan coba melakukan kerjasama kembali dengan New Zealand atau dengan lembaga lainnya, untuk wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Baik itu wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah atau mungkin digabung secara nasional. Bahkan barangkali tidak ada salahnya Deplu yang akan membantu LPDS, karena di Deplu ada program pembinaan media semacam ini, jadi tidak ada salahnya menyelenggarakan lokakarya semacam ini di daerah-daerah tertentu, dimana kita sedang mengadakan penjajakan mengenai hal ini dengan Deplu. Konflik itu macam-macam, dan kebetulan dalam lokakarya itu khusus mengenai konflik agama khususnya
Lukas Luwarso Dewan Pers
agama Islam dengan Kristen Katolik, karena itu khas hanya ada di daerah itu. Kalau di Papua lain lagi, karena konflik yang ada disana itu separatisme, di Aceh juga lain, kalau di Pontianak Kalimantan isunya adalah konflik etnis, jadi memang setiap wilayah itu berbeda-beda.[]
Perubahan ASEAN Mendorong Pendidikan Murah dan Bermutu I
ndustri pendidikan di Malaysia saat ini, mencanangkan kebijakan baru. Pemerintah Malaysia telah berupaya meningkatkan jumlah pelajar dari manca negara dengan target 100.000 orang pelajar. Saat ini dari 45.000 mahasiswa luar negeri yang ada di Malaysia, mahasiswa asal Indonesia masih relatif sedikit. Kami sendiri dari UNISEL (Universiti Industri Selangor ) pada tahun ini menargetkan pelajar Indonesia yang mendaftar pada program pendidikan S2 dan S3 sebanyak 200 mahasiswa, tidak termasuk untuk jenjang pendidikan yang lainnya. Kami mengharapkan Indonesia menargetkan mahasiswa yang belajar ke luar negeri adalah 10 berbanding100, dan karena itu kami menargetkan 150 sampai 200 mahasiswa. Saat ini Malaysia telah menggarap industri pendidikan dengan serius. Sehingga tidak mustahil jika saat ini pendidikan di Malaysia menjadi bagian dari pusat pendidikan terbaik di Asia. Hal ini dibuktikan dengan
Prof. Dato’ Dr. Ab. Rahim bin Selamat AMN, DSM, DMM
(Dekan Fakulti Pendidikan UNISEL)
diberlakukannya sistem pendidikan Inggris yang merupakan tradisi pendidikan Malaysia. Disisi yang lain, kondisi politik dan ekonomi Malaysia, relatiF stabil. Ini merupakan salah satu
faktor yang menarik bagi investor maupun pelajar asing untuk datang ke Malaysia. Perkembangan pendidikan di Malaysia berjalan dinamis. Sistem pendidikan di Malaysia adalah sistim pendidikan yang sangat terbuka, dimana semua orang bisa masuk ke industri pendidikan, mendirikan sekolah, akademi atau universitas. Sehingga institusi pendidikan Malaysia berkompetisi menyediakan program pendidikan yang kompetitif dan bermutu. Dalam Konteks ASEAN, kami senantiasa memantau dinamika perubahan ASEAN sebagai satu komunitas, itu berarti kita mempunyai pasar yang sangat besar. Dari 300 juta populasi yang ada, jika separuhnya saja itu digarap sebagai education industry dalam konteks ASEAN untuk ASEAN, ASEAN bekerja untuk ASEAN, biayanya akan lebih murah dan kualitasnya juga lebih bagus dibanding negara-negara di kawasan lain.[]
dok.google
P
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
21
Kilas
UNISEL Tertarik Mengembangkan Industri Perkebunan di Indonesia
Halid Hasbullah Boestamam (Associate Derector UNISEL)
I
ndustri perkebunan di berbagai daerah di Indonesia berkembang sangat pesat. Banyak daerah yang mengambil kebijakan membuka lahan baru untuk perluasan industri pekebunan tersebut. Perkembangan ini menarik kalangan akademisi Malaysia dan melihatnya sebagai peluang baru bagi dunia pendidikan. Universiti Industri Selangor (UNISEL) termasuk salah satu universitas yang tertarik untuk memanfaatkan perkembangan Industri perkebunan disejumlah daerah di Indonesia. Menurut Halid Hasbullah Boestamam, Associate Director UNISEL yang sedang berkunjung di Jakarta mengatakan bahwa peluang untuk memajukan industri perkebunan di Indonesia sangat besar. Karena itu UNISEL tertarik untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah di Indonesia untuk menggarap industri ini secara lebih serius melalui kajian akademis dan meyiapkan SDM handal sebagai penopang kemajuan Industri perkebunan yang sedang tumbuh pesat. Pendekatan Industri Ketertarikan UNISEL terhadap industri perkebunan di Indonesia dikarenakan Universitas ini sejak awal berdirinya berorientasi pada base learning industry. Selangor merupakan negara bagian di Malaysia yang termaju dan berkembang sangat pesat. Selangor juga menjadi negara bagian pertama yang berhasil mendirikan Universitasnya sendiri yaitu Universiti Industri Selangor (UNISEL).
Pendirian yang pertama ini juga didukung oleh keberhasilan sektor industri dinegara bagian ini. Sebagai sebuah Universitas yang berorientasi pada keunggulan dunia Industri, UNISEL merancang kurikulum dan extra-kurikulernya mengacu pada kepentingan dan kebutuhan dunia industri. Keunggulan UNISEL adalah, base learning industry, oleh karena itu semua program pendidikan menjurus kepada kebutuhan dari industri. Apa yang industri butuhkan, kami menyediakan. Kedua, Selangor adalah suatu negeri bagian di Malaysia yang menjadi pusat industri dan sudah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Parameter sebagai sebuah negara maju adalah memiliki infrastruktur yang baik, populasi penduduk, pendapatan penduduk
perkapita, memiliki industri pendidikan sendiri (universitas, college). UNISEL adalah intitusi terbaik dalam industri pendidikan dan telah berhasil mencapai predikat sebagai industri pendidikan terbesar di Malaysia dan sebagai institusi pendidikan terbaik, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Hal itu disebabkan karena sistim pendidikan yang kami terapkan mampu menciptakan tenaga-tenaga professional yang handal dalam bidangnya masingmasing. Berkembangnya Malaysia dalam bidang plantation industry, kemudian juga sekarang ini kalau kita lihat Petronas yang telah menjadi the biggest player in the world atau nomor lima terbesar di dunia dalam industri petroleum hanya dalam
jangka waktu yang pendek, ini disebabkan karena sistem pendidikan yang telah diterapkan dengan baik. Perlu kami tambahkan bahwa industri pendidikan telah memiliki hubungan yang sangat bagus dengan dunia industri lainnya, sehingga kami mampu memberikan tempat pelatihan kerja dan menyediakan research center yang di istilahkan sebagai we work to industry, dan dalam waktu yang bersamaan kami juga memasukkan industry players menjadi tenaga pengajar. Dengan filosophy approach industri ini, maka kami menjadi lebih baik di bidang pendidikan. Kami menjamin bahwa satu orang lulusan dari Universitas Selangor akan mampu merubah pemikiran dalam suatu organisasi/perusahaan. Hal tersebut dijadikan sebagai acuan penilaian terhadap kualitas lulusan UNISEL, karena sesuai dengan kebutuhan industri. Saya sangat optimis dengan kemajuan yang telah di capai oleh Indonesia. Itu sebabnya saya datang kemari dengan tujuan memperluas kerjasama pendidikan. Sebagai cermin dari optimisme dan apresiasi kami terhadap otonomi daerah di Indonesia, dimana daerah-daerah itu nantinya bisa lebih berkembang lagi.Kunjungan UNISEL di Jakarta kali ini, merupakan hasil kerjasama dengan Kampusku dan Infomaya Group yang telah berkhidmah untuk kemajuan dunia pendidikan baik di Malaysia maupun Indonesia. (KaEM)
22
DIPLOMASI Media Komunikasi dan Interaksi
No. 9, Tahun I
15 September - 14 Oktober 2008
Kilas
U
ntuk yang ke-6 kalinya, Departemen Luar Negeri kembali menyelenggarakan program Duta Belia. Program yang berlangsung pada tanggal 20 hingga 29 Agustus 2008, ini dirancang untuk menciptakan konstituen diplomasi dikalangan generasai muda. Peserta Duta Belia Indonesia 2008 terdiri dari 66 anggota PASKIBRAKA, 10 siswa berprestasi dan teladan nasional, 4 pemenang olimpiade Fisika dan Matematika, 2 santri tauladan dari Pesantren Darunajah, dan 3 peserta dari Saung Angklung Udjo. Tema Program Duta Belia 2008 adalah ”Friendship Today, Partnership Tomorrow.” Peserta Duta Belia selain mendapat pembekalan di Indonesia, juga melakukan kunjungan ke tiga negara, Filipina, Jepang dan Korea Selatan pada tanggal 23-27 Agustus 2008 untuk menambah wawasan dunia internasional serta pemahaman mengenai diplomasi Indonesia. Tujuan program tersebut selain untuk memperkenalkan kebijakan luar negeri Indonesia dan masalahmasalah luar negeri, serta cara kerja diplomat Indonesia, juga sekaligus untuk mempromosikan Visit Indonesia Year 2008. Pengukuhan Duta Belia dilaksanakan oleh Menteri Luar Negeri, Dr. Hassan Wirajuda, di Gedung Pancasila, Deplu pada tanggal 22 Agustus 2008. Dalam sambutannya Menlu berpesan kepada peserta Duta Belia agar dapat menciptakan teman sebanyak mungkin baik di dalam negeri maupun di luar negeri untuk nantinya di masa mendatang dijadikan rekan yang dapat saling berbagi informasi, tukar gagasan dan menciptakan jejaring. Kunjungan Ke Filipina Delegasi tiba di Manila, tanggal 24 Agustus 2008. Pada hari yang sama, Duta Belia Indonesia tampil dalam pertunjukan angklung di mall terbesar di Asia Tenggara, Mall of Asia. Pertunjukan tersebut mendapat respons yang positif berdasarkan jumlah pengunjung yang menonton sekitar 2000 penonton. Puncak dari pertunjukan tersebut adalah angklung interaktif di mana penonton mendapat kesempatan untuk turut belajar memainkan angklung di akhir acara.
Duta Belia Melakukan Diplomasi Angklung
Kunjungan-kunjungan resmi dilakukan pada hari Selasa, 26 Agustus 2008, dimulai dengan kunjungan ke Kemlu Filipina. Para Duta Belia disambut oleh Ms. Jocelyn Batoon-Garcia, Plt Direktur Foreign Service Institute (FSI) Kemlu Filipina dan berkesempatan untuk bertemu dengan staf Kemlu baru yang sedang mengikuti pelatihan awal (setingkat dengan Sekdilu) serta mengunjungi perpustakaan FSI. Kunjungan dilanjut dengan kunjungan ke National Youth Commission (NYC) Filipina, di mana Duta Belia disambut oleh beberapa Commissioner yang mewakili berbagai wilayah Filipina. Selanjutnya Duta Belia menuju ke Universitas Filipina, di mana Duta Belia mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan mahasiswa Filipina di Center for International Studies dan Center for Islamic Studies. Kunjungan diakhiri
dengan jamuan makan malam di KBRI Manila yang diisi dengan pertunjukan angklung serta nyanyian oleh beberapa Duta Belia. Pada saat itu juga dilakukan penyerahan secara simbolis angklung dari Duta Belia ke KBRI Manila, dan ditutup dengan angklung interaktif. Kunjungan ke Jepang Setelah tiba di Tokyo pada tanggal 24 Agustus 2008, delegasi langsung melanjutkan perjalanan ke pulau Enoshima, yang berjarak lebih kurang 2 jam dari Narita. Di pulau Enoshima, delegasi menampilkan pertunjukkan angklung, yang merupakan bagian dari acara ”Bali Sunset Summer Festival” yang diadakan di pulau Enoshima pada tanggal 23-24 Agustus 2008. Penampilan Duta Belia Indonesia 2008 tersebut mendapat respons yang positif dari para pengunjung, terutama dengan adanya angklung
interaktif dengan para pengunjung. Pada hari kedua, melakukan berbagai Kunjungan diantaranya adalah ke Kemlu Jepang, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jepang. Dan kunjungan ke ”Honjo Life Safety learning Center”. Dalam kunjungan ini peserta diberikan pemaparan dan ilustrasi secara langsung bagaimana pencegahan dini apabila terjadi gempa, kebakaran dan badai hujan. Kunjungan ke Korea Selatan Dalam kunjungannya ke Korea Selatan, delegasi berkesempatan mengadakan courtesy call ke KBRI Seoul dan diterima oleh KUAI, Foster Gultom. Selanjutnya, delegasi Tampil bermain angklung dalam rangka resepsi ASEAN Committee in Seoul (ACS) dan HUT RI ke63. Acara tersebut dihadiri oleh para Duta Besar dan diplomat dari Negara-negara Anggota ASEAN di Seoul, serta tamu-tamu KBRI Seoul. Permainan angklung tersebut telah mendapat sambutan yang sangat baik, khususnya pada saat “Angklung Interaktif ” yaitu, para tamu diberi kesempatan untuk belajar memainkan angklung bersamasama. Dalam kesempatan tersebut, seorang presenter dari radio lokal Arirang Radio, radio berbahasa Inggris Korea yang cukup terkenal, Ms. Dorothy Nam, yang terkesan dengan penampilan angklung Duta Belia dan telah meminta mereka untuk tampil secara live pada acara radio Evening Groove, 26 Agustus 2008, yaitu suatu program bertema budaya, makanan dan tempat-tempat wisata yang dapat diakses melalui website www.arirangradio.com. Pertunjukkan tersebut berlangsung hampir 1 jam dengan menampilkan juga Muhammad Hasnan (siswa berprestasi), dan Tesya Tri Suci (Saung Mang Ujo) sebagai pembicara utama. Selain mengadakan kunjungan resmi ke beberapa instansi pemerintah dan non-pemerintah, rombongan Duta Belia juga berkesempatan mengadakan kunjungan ke beberapa objek wisata Korsel seperti Istana Kyungbuk, istana lama raja Korea, National Central Museum, dan Demilitarized Zone (DMZ), daerah perbatasan Korea Selatan-Utara.
No. 9, Tahun I
DIPLOMASI
23
Media Komunikasi dan Interaksi
15 September - 14 Oktober 2008
Lensa
Menjaga Stabilitas Hubungan Indonesia- Malaysia
T
erlebih dulu saya mengucapkan terima kasih kepada pihak EPG Indonesia yang telah bersedia menyambut dan menjadi tuan rumah pada pertemuan EPG IndonesiaMalaysia yang pertama ini secara formal. Sebenarnya keberadaan dan aktivitas EPG ini sudah dilakukan sejak di Kuala Lumpur, yaitu didalam pertemuan antara dua kepala negara Indonesia-Malaysia baru-baru ini. Dan bagi kami sebagai pihak yang telah ditunjuk oleh pemerintah masing-masing, ini adalah pertama kali kedua belah pihak menerima fakta dan realitas bahwa walaupun hubungan antara Indonesia-Malaysia sudah terjalin begitu lama namun masih ada permasalahan. Berbagai persoalan menyangkut sentimen dan cultural telah disampaikan untuk dibahas bersama dan diupayakan untuk menjadi lebih baik agar dapat membantu memperkukuh hubungan yang erat diantara kedua negara. Realitas bahwa ditengah terjalinnya hubungan yang begitu erat semenjak kemerdekaan kedua negara, ternyata bahwa tiap-tiap komponen dari negara kita ini telah berjalan dengan caranya masingmasing, dengan cara-cara kita sendiri, dimana masing-masing kita memiliki perbedaan pendekatan dan cara pandang. Di era globalisasi ini dimana teknologi telah berkembang dengan begitu pesatnya segala sesuatunya menjadi berjalan dengan cepat. Kalau dulu nenek saya yang keturunan dari Sulawesi ingin berkunjung ke kampung asalnya, itu membutuhkan waktu satu bulan dengan menggunakan kapal laut, tetapi sekarang hanya dalam waktu 2-3 jam saja dia sudah bisa sampai dengan menggunakan pesawat terbang. Kalau hendak mengirim surat kepada keluarga atau family, dulu juga memerlukan waktu berbulanbulan baru tiba, tapi sekarang kita bisa menggunakan internet dan dengan cepat kita akan mendapat khabar diantara sesama kita. Dan hubungan diantara pemerintah dan rakyat kedua negara ini sebenarnya memang tidak ada masalah, masalahnya itu bukan dari
baik atau buruknya hubungan kita, tetapi ialah bahwa dengan begitu cepatnya informasi ,dimana dengan seketika kita dapat memperoleh berita, telah menyebabkan timbulnya persepsi dan pemahaman yang berbeda, terlebih lagi didalam era demokrasi sekarang ini. Ketika saya bertemu dengan pemimpin-pemimpin Indonesia baru-baru ini, dengan berkelakar saya mengatakan the good news is that Malaysia is coming here to Indonesia as a free democratic country, where Indonesia has been quit democratic for quit some times, but the bad news is they seem Malaysia has be come more democratic they are going to respons to yours representative and your press reporting in the same timene as you respons to them. Dengan kata lain bahwa respon itu sebetulnya didasari oleh persepsi intermedia, kalau dikatakan bahwa si A mengatakan demikian, maka responnya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh intermedia, disinilah awal permasalahannya. Jadi sekarang yang harus diperbaiki atau diluruskan adalah bagaimana kita dapat mengerti dan memahami suatu permasalahan, misalnya di level para pemimpin kita. Hubungan para wakil rakyat di parlemen dari kedua pihak juga harus kita galakkan agar semakin erat. Kalau ada perbedaan pendapat itu harus berdasarkan kepada educated this agreement bukan ignoren this agreement based on iqnolen. Kalau dikatakan bahwa persepsi diantara masyarakat itu seperti apa yang saya sebutkan, lalu bagaimana kita akan dapat mengerti dan memahami kebijakan wakil rakyat, bukan dari sisi politisnya tetapi dari segi civil societynya. Ini mestinya saling terkait agar persepsi -persepsi yang ingin diluruskan ini dapat dilakukan dengan pro aktif bukan sebagai reaksi, jadi lebih kepada upaya antisipasi. Menurut saya kalau kita dapat bersama-sama mengerti dan memahami permasalahan dari suatu isu yang berpotensi mengakibatkan persepsi negatif itu, kita bisa membuat ataupun
mengusulkan upaya-upaya yang proaktif ketimbang reaktif. Jadi sebagai sahabat dari Malaysia, saya mengharapkan dengan semangat kebersamaan, kita duduk bersama-sama secara lebih santai bukan dengan kami disini dan anda disana, us and them, tetapi bersamasama kita berupaya untuk mengerti dan memahami suatu persoalan, sehingga dengan demikian kita dapat mengemukakan pandanganpandangan yang mungkin dapat membantu mereka yang bertanggung jawab untuk memperbaiki dan juga menghindari kemungkinankemungkinan negatif yang akan terjadi. Percayalah saudara-saudari sekalian, kita ini hidup di dunia bukan di alam baka ataupun di akhirat kita duduk dalam dunia ini sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kesalahan yang berarti bahwa we can never be love for ever and ever without any this agreement, ini realitasnya. Itulah harapan dan doa kita bersama, dan insya Allah kita dapat menjalankan tugas ini dengan niat dan tujuan yang baik, sebab kalau
Datuk Tun Musa Hitam Ketua EPG Malaysia
Malaysia dan Indonesia tidak dapat saling mengerti dan memahami, maka kita tidak akan mampu menjaga stabilitas hubungan kita. Dan kalau itu terjadi, saya kira Asia Tenggara ini akan bergolak dan berimplikasi kepada hubungan negara-negara Asia lainnya. Sebagai seorang aktifis tentunya saya dan teman-teman dari Malaysia dan Indonesia menghendaki agar ASEAN stabil, sehingga dengan begitu kita akan dapat memainkan peranan untuk membangun kedua negara kita.[]
Lomba Menulis Cerpen Tentang
ASEAN
Dalam rangka memperingati ASEAN DAY tanggal 8 Agustus 2008 dan sekaligus untuk mendekatkan ASEAN kepada masyarakat terutama kepada generasi muda guna meningkatkan kesadaran mereka akan keberadaan ASEAN dan diharapkan peranan mereka dalam kerjasama ASEAN di masa mendatang, maka Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN menyelenggarakan Lomba Menulis Cerpen tentag ASEAn untuk tingkat SMP dan SMA yang bertema “ Indonesia-ku, ASEAN-ku” yang berlangsung dari tanggal 1 September -31 Oktober 2008
Resensi
M
emasuki abad ke-21 hubungan internasional di Afrika berkembang lebih positif meskipun krisis kemanusiaan akibat konflik internal, krisis ekonomi, sosial dan politik belum teratasi. Begitu pula berbagai kendala yang hampir serupa 40 tahun sebelumnya masa dekoloni benua itu mencapai integritas tinggi. Jika MDGS dan HDI menjadi tolak ukur maka Afrika masih jauh dari target dan ketinggalan dari benua-benua lain. Kemiskinan dan keterbelakangan belum begitu membaik. Bahkan segala macam penyakit yang mematikan cenderung menigkat, termasuk malaria dan HIV/AIDS. Afrika merupakan benua tertua. Tua dalam arti geolog dan tua ditilik dari peninggalan fosil yang berumur dari empat juta tahun. Sekitar 100.000 tahun yang lalu, sejumlah kelompok manusia hijrah dari Afrika ke benua lain, seperti Asia, Australia, dan Eropa. Waktu itu, Afrika diperkirakan hanya dihuni satu juta orang. Sampai tahun 2000 penduduk Afrika hanya berkembang menjadi 20 juta, sedangkan di benua lain telah berlipat ganda. Apabila peradaban
Data Buku Judul Buku :
Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika
Penulis : Dr. Abdul Hadi Adnan Penerbit : Penerbit ANGKASA Bandung Tahun : Desember 2007 Jumlah halaman : 254
Perkembangan Hubungan Internasional di
Afrika
modern dan kebudayaan teknologi diukur sebagai pencapaian manusia, cara hidup material masa kini mungkin tidak semaju jika orang-orang Afrika tersebut tidak meninggalkan benua itu. Dalam perkembangannya seluruh tanda kemajuan peradaban justru tumbuh lebih pesat di luar Afrika. Sejak 1990-an, negaranegara di kawasan benua Afrika menunjukkan perkembangan yang positif melalui proses demokratisasi yang memunculkan kesadaran bersama dan solidaritas dalam menyelesaikan berbagai konflik secara damai dan penanggulangan masalah sosial ekonomi yang dihadapi seperti kemiskinan. Kehadiran dan peran Afrika di dunia internasional juga meningkat secara signifikan, didorong oleh pandangan dan kenyataan bahwa tidak akan ada perdamaian dan kemakmuran di dunia selama Afrika masih dililit permasalahan sosial
Tabloid Diplomasi dapat diakses melalui:
http://www.diplomasionline.net
Bagi Anda yang berminat menyampaikan tulisan, opini, saran dan kritik silahkan kirim ke:
[email protected]
ekonomi. Kawasan Afrika mempunyai arti yang strategis bagi Indonesia. Hubungan Indonesia – Afrika memasuki babak baru setelah penyelenggaraan KTT Asia-Afrika 2005 dan peringatan 50 tahun KAA 1955 pada tahun 2005 lalu, yang telah memberikan peluang bagi negara-negara Asia-Afrika untuk mereformasikan gagasangagasannya secara konstruktif, tidak saja untuk memajukan kedua benua tetapi lebih luas bagi kepentingan masa depan peradaban dunia yang damai dan sejahtera. KTT Asia-Afrika 2005 berhasil memunculkan suatu kerangka dialog dan kerjasama antar kawasan yang kokoh dan berkesinambungan menuju suatu kemitraan strategis baru Asia-Afrika. Kemitraan strategis ini dibangun atas dasar kepentingan bersama, pemikiran-pemikiran yang bisa diterapkan secara konkrit,
serta program-program praktis yang dapat menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan, kemajuan dan perdamaian di kedua benua. Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia juga perlu menata dan mempersiapkan diri untuk mengambil keuntungan dari kemajuan ekonomi Afrika. Buku yang berjudul Perkembangan Internasional di Afrika ini menjadi sangat berharga karena literatur tentang Afrika masih relative jarang ditemui di Indonesia . terlebih lagi buku ini ditulis oleh seorang praktisi hubungan internasional yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Sudan, sehingga informasi didalamnya bersifat ‘first hand’. Pengalaman penulis selama berkecimpung dalam diplomasi dan hubungan Internasional tentunya menjadi nilai lebih dalam penulisan buku ini. Buku ini dibagi dalam tujuh bab. Bab pertama mengupas tentang kolonisasi dan dekolonisasi di Afrika. Bab Kedua membahas perkembangan hubungan internasional di Afrika, konflik internal dan faktor eksternal. Bab ketiga, berbicara mengenai tantangan dan harapan kerjasama antar negara Afrika. Bab Kelima, mengupas tentang hubungan internasional negara-negara Afrika dengan negara-negara berkembang. Bab keenam membahas hubungan Indonesia dengan negar-negara Afrika dan Bab ketujuh ditutup dengan analisa mengenai masa depan Afrika. Membaca buku ini pembaca akan mendapat gambaran yang utuh dan unik mengenai Afrika khusunya menyangkut aspekaspek hubungan internasional, politik luar negeri dan diplomasi negara-negara Afrika.[]
Direktorat Diplomasi Publik Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta 10110 Telepon : 021-3813480 Faksimili : 021-3513094