BAB II DIPLOMASI JEPANG INDONESIA
Hubungan diplomasi yang terjalin antara Jepang dan Indonesia sudah berlangsung lama dan pada tahun 2008 yang lalu hubungan ini memasuki tahun emasnya. Umur hubungan kedua negara ini bahkan melebihi umur organisasi Internasional yang mengayomi negara-negara di Asia Tenggara yang kita kenal dengan sebutan ASEAN. Hubungan yang demikian lama terjalin menyebabkan hubungan keduanya sangat kompleks. Hal ini menimbulkan kesulitan untuk melihatnya dari satu sudut pandang saja. Kita tidak bisa melihat sudut pandang dari satu negara saja tetapi juga kedua negara tersebut. Setidaknya kita harus dapat melihat sudut itu dari sudut yang mungkin terlihat sangat sederhana. Untuk itulah pada bab II ini, akan dijelaskan mengenai hubungan diplomasi Jepang Indonesia dimulai dari pengertian diplomasi, kultur (budaya) yang dimiliki kedua negara yang pastinya memberikan pengaruh terhadap cara berdiplomasi kedua negara, dan sejarah yang megiringi hubungan kedua negara dalam hubungan diplomasi. 2.1 Pengertian Diplomasi Seperti yang telah dikemukakan pada bab yang terlebih dahulu, dipomasi memiliki banyak pengertian menurut banyak pakar. Pertma-tama sangatlah baik untuk mengetahui asal muasal dari kata diplomasi. Diplomasi diyakini berasal dari kata Yunani yaitu diploun yang berarti melipat. Menurut Nicholson (Roy, 1995:1), pada masa Romawi semua paspor, yang melewati jalan milik negara dan surata-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, yang dilipat dan dijahit menjadi satu dengan cara
Universitas Sumatera Utara
yang khas. Surat jalan logam ini disebut diplomos. Selanjutnya kata ini berkembang dan mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjin dengan bangsa asing diluar bangsa Romawi. Perjanjian-perjanjian ini semakin menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban dengan dokumen-dokumen yang tidak terhitung banyaknya. Oleh karena itu, dirasa perlu
untuk
memperkerrjakan
seseorang
yang
terlatih
untuk
mengindeks,
menguraikan, dan memeliharanya. Isi surat resmi negara yang dikumpulkan disimpan dalam arsip yang berhubungan dengan hubungan Internasional yang dikenal dengan sebutan diplomaticus atau diplomatique pada abad pertengahan. Siapapun yang berhubungan dengan surat-surat tersebut dikatakan sebagai milik res diplomatique atau bisnis diplomatik. Dari peristiwa ini lama kelamaan kata diplomasi dihubungkan dengan manajemen Internasional dan siapapun yang ikut mengaturnya dianggap sebagai diplomat. Penggunaan kata-kata yang memberikan gambaran diatas adalah baru-baru ini saja. Menurut Earnest Satow dalam Roy (1995: 1), Burke memakai kata ‘diplomasi’ untuk menunjukkan keahlian atau keberhasilan dalam melakukan hubungan Internasional dan perundingan di tahun 1796. Kemungkinan besar itu adalah pertmakalinya penggunaan kata dalam bahasa Inggris dengan arti yang kita ketahui saat ini. Ia juga mengatkan ‘lembaga dipomatik’ pada tahun yang sama contoh paling awal adalah pengguaan kata ‘jasa diplomatik’ yang menunjukkan cabang pelayana sebagai negara yang menyediakan personil-personil misi tetap diluar negri yang dijumpai dalam ‘Annual Registar’ tahun 1987. Para pakar memberi definisi yang berbeda terhadap kata diplomasi. The Oxford English Dictionary memberi konotasi sebagai berikut: ‘manajemen hubungan
Universitas Sumatera Utara
Internasional melalui negoisasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil buisnis atau diplomat’. Menurut The Chamber’s Twentieth Century Dictionary (Roy, 1995:2), diplomasi adalah ‘the art of negotiation, especially of treaties between statespolitical skill’ (seni berunding khususnya tentang perjanjian antara negara-negara ; keahlian politik). Sir Earnest Sartow mengatakan diplomasi adalah ‘the application of official relations between the government of independent states’ (penerpan dan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antara pemerintah negara-negara berdaulat (Roy, 1995:2). Harlord Nicholson, salah seorang pengkaji dan praktisi yang pandai dalm hal diplomasi di abad kedua puluh menegaskan bahwa dalam bahasa yang lebih mukathir, kata diplomasi diambil secara gegabah untuk menunjukkan palinhg tidak lima hal. Yang pertama menyangkut ; (1)politik luar negri, (2) negoisasi, (3) mekanisme pelaksanaan negoisasi tersebut, dan (4) suatu cabang dinas luar negri. Ia selanjutnya mengatkan bahwa interprestasi yang kelima adalah merupakan suatu kualitas yang abstrak pemberian, yang dalam arti baik mencakup keamana dalam pelaksanaan negoisasi Internasional ; dan dalam arti yang buruk mencakup tindakan taktik yang lebih licik. Tetapi akhirnya Nicholson menerima definisi yang diberikan oleh The Oxford English Dictionary yang ia anggap cukup luas untuk mencakup aspek-aspek yang berbeda dari diplomasi (Roy, 1995:3). KM Panikar dalm bukunya The Principle of Diplomacy menyatakan “Diplomasi
dalam
hubungannya
dengan
politik
Internasional
adalah
seni
mengedepankan kepentingan negara dalam hubungannya dengan negara lain”. Svarlien telah mendefinisikan diplomasi sebagai “seni dan ilmu perwakilan negara dan perundingan”. Kata yang sama juga telah dipakai untuk menyatakan secara umum
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan kompleks hubungan luar negrisuatu negara yaitu departemen luar negri termasuk perwakilan luar negrinya” (Roy, 1991: 3). Ivo D.Duchacek berpendapat, “diplomasi biasanya didefinisikan sebagai pelaksanaan politik luar negri suatu negara, kadang-kadang juga dihubungkan dengan perang. Oleh karena itulah, Clausewitz, seorang filsuf Jerman , dalam pernyataannya yang terkenal mengatkan bahwa perang merupakan kelanjutan dipomasi melalui sarana lain (Roy, 1995:3). Menurut Sukarwarsini Djelantik (2008: 3) diplomasi memiliki kaitan yang erat dengan politik luar negri karena diplomasi merupakan implementasi dari kebijakan luar negri yang dilakukan penjabat-penjabat resmi yang terlatih. S.L Roy (1995:5), mengajak melihat penegrtian diplomasi-diplomasi sebelumnya dan menyimpulkan pandangan mengenai diplomasi sebagai berikut: Diplomasi,
yang
sangat
erat
hubunagnnya
dengan
hubungan antar Negara adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara melalui negoisasi dengan caracara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan Negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh
tujuan
yang
diinginkan,
diplomasi
mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Seorang diplomat India pada zaman India Kuno yang bernama Kautilya Menekankan empat tujuan diplomasi yaitu acquistion (perolehan), preservation (pemeliharaan), augmentation (penambahan), dan proper distribution (pembagian yang adil). Menurutnya, tujuan dari diplomasi adalah untuk mencapai Siddhi yang memiki arti kebahagiaan.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Jepang dan Indonesia sebagai Dua Buah Negara di Asia 2.2.1 Letak negara Jepang dan Indonesia Jepang dan Indonesia adalah dua buah negara yang memiliki beberapa kesamaan. Jepang dan Indonesaia adalah dua buah negara yang sama-sama berada di Benua Asia dan mereupakan negara kepulauan. Kedua negara ini melakukan hubungan diplomasi yang sangat erat hingga saat ini. Sangat baik jika kita mengetahui sudut geografis negara ini. Berikut penjelasannya. a. Letak negara Jepang Jepang adalah suatu negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan kecil. Sebagai negar kepulauan, Jepang mempunyai persamaan dengna bangsa-bangsa lainnya yang berada di Asia Tenggara, khusunya Filipna dan Indonesia. Keadaan ini sedikit banyak memberikan pandangan hidup serta faktor-faktor geopolitik Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1). Kepulauan Jepang terletak di lepas pantai timur benua Asia, membentang seperti busur yang ramping seanjang 3.800 kilometer, dari 20° sampai 45°33´ lintang utara. luas totalnya adalah 377.815 kilometer persegi sedikit lebih banyak dari luas Inggris, hanya sepersembilan dari luas India dan seperduapuluh dari luas Amerika Serikat dan kurang dari 0,3% dari luas daratan bumi. Kepualuan ini terdiri dari empat pulau utama, Honshu, Hokkaido, Kyushu dan Shikoku (berturut-turut dari yang terbesar sampai yang terkecil) juga sejumlah gugusan pulau yang berjumlah sekitar 3900 pulau yan lebih kecil lagi. Pulau Honshu memiliki luas lebih dari 60% dari seluurh kepulauan Jepang (International Society for Educational Information, 1989:1). Hampir semua bagian daerah Jepang mengenal 4 musim yang berbeda. musim panas yang hangat dan lembab, mulai sekitar pertengahan bulan Juli. Sebelumnya terdapat musim hujan selam hampir satu bulan, kecuali di Hokkaido, pulau yang
Universitas Sumatera Utara
paling utara yang sama sekali tidak mengenal musim hujan, musim semi dan musim gugur adalah musim terbaik sepanjang tahun, dengan hari-hari yang berhawa lembut dan matahari yang cerah diseluruh negri. Akan tetapi, pada bulan September mungkin saja terjadi badaiu taufan yang mendera tanah daratan dengan hujan lebat dan angin dahsyat (International Society for Educational Information, 1989: 2). Topografi Jepang yang rumit berlainan dengan iklimnya yang relatif baik. Pulau-pulau Jepang merupakan bagian suatu deretan gunung yang panjang yang terangkai mulai dari Asia Tenggara sampai jauh ke Alaska. Hal ini yang menyebabkan negeri ini memiliki garis pantai yang panjang dan berbatu denga banyak pelabunhan yang kecil tetapi at baik. Tercipta banyak daerah pegunungna dengan sejumlah besar lembah, sungai yang deras dan danau yang jernih. Kawasan gunung meliputi sekitar 70% dari seluruh luas tanah Jepang menurut survai lembaga Survai Geografi Kementrian Pembanguna Jepang pada tahun 1972. lebih dari 532 gunung tersebut tingginya melebihi 2000 meter diatas permukaan laut, Gunung Fuji adalah gunung tertinggi dengan tinggi mencapai 3776 meter (International Society for Educational Information, 1989: 2). Topografi yang rumit ini memberikan Jepang pemandangan yang indah yang kadang-kadang dramatis. danau pegunungan yang bersalju, jurang berbatu-batu dan sungai yang bergelora, puncak gunung yang kasr dengan air terjun yang indah permai. Semua itu menjadi sumber inspirasi dan kesenangan yang tiada henti-hentinya baik bagi orang Jepang maupun bagi orang lain yang bukan berasal dari Jepang (International Society for Educational Information, 1989: 2)
Universitas Sumatera Utara
b. Letak negara Indonesia Indonesia memiliki 17.504 pualu besar dan kecil, sekitart 600 diantaranya tiak berpenghuni, yang menyebar disekitar khalustiwa, yang memberikan cucxa tropis. posisi Indonesia terletak pada koordinat 6ºLU-11º08´ dan dari 95ºBB-141º45´BT serta terletak di antara dua benua Asia dan benua Austarlia. wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570km² dan luas perairannya 3.257.483km². Pulau terpadat penuduknya adalah pulau Jawa, dimana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Batas utara Indonesia adalah Maklaysia, Sinagpura, Filipna dan Laut Cina Selatan. Batas selatan Indonesia adalah Australia, Timor Leste dan Samudera Indonesia. Batas di sebelah timur adalah Papua Nugini, Timor Leste dan Samudera Pasifik. Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonikj yang berarti Indonesia rawan dengan gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami. indonesia juga banyak memiliki gunung berapi, salah satu gunung berapi yang terkenal adalah gunung Krakatau yang terletak di selat Sunda antra pulau Sumatera dan Jawa (wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki.Indonesia: 1). Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar pulau Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini menjadi negar pengimpor minyak mentah. Hasil pertanian yang utama adalah beras, teh, kopi, rempah-rempah dan karet. Sektor jas adalah sektor yang menyumbang PDB terbesar, yang mencapai 45,3% dari PDB tahun 2005. sedangkan sektor industri menyumbang 40,7% dan sektor
pertanian
menyumang
14%.
Meskipun
demikian,
sektor
pertanian
memperkerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainny, yaitu 44,3% dari
Universitas Sumatera Utara
95 juta tenaga kerja. Sektor jasa memperkerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri sebesar18,8%. Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi sehingga disebut dengan istilah Mega Biodisvery atau kenekaragaman makhluk hidup yang tinggi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia menempati ranking keyiga setelah Brasil dan Zaire (wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki.Indonesia: 5). Secara historis, prosedur dan gaya runding yang berbeda-beda telah menimbulkan banyak kesulitan dalam tata hubungan antara Amerika serikat dengan Jepang dan, lebih umum lagi antara Timur dan Barat, baik dalam diplomasi Internasional maupun interaksi komersial. Ungkapan ’kenalilah musuhmu, kenalilah dirimu sendiri’ berlaku dalam sekian banyak dalam sekian banyak keadaan, termasuk dalam perundingan, dan kita perlu sekali menunjang usaha-usaha buat mendorong agar politik luar negri Jepang didasarkan pada suatu pemahaman yang memadai atas perbedaan berbagai kultural (Kinhide, 1981:2). Hal ini tidak hanya mempengaruhi hubungan Jepang dengan negara Barat tetapi juga hubungan Jepang dengan sesama negara Timur. Pengaruh kultur dalam hubungan diplomasi ini dicoba untuk disimulasikan pada Universitas Northwestern di Amerika Serikat. Usaha untuk mengembangkan suatu model tata hubungan Internasional telah melahirkan simulasi antar bangsa. Ada dua simulasi yang digunakan, yang pertama adalah simulasi antar bangsa yang melibatkan para peminat ilmiah atau diplomat yangberpartisipasi mengambil peranan sebagai perdana mentri dan mentri luar negri dari suatu negara yang berkecimpung dalam berbagai jenis perundingan kebudayaan Amerika tandingan (Kinhide, 1981; 23).
Universitas Sumatera Utara
Yang kedua adalah simulasi kebudayaan Amerika versus kebudayaan Amerika tandingan. Dalam simulasi itu, orang yang memiliki budaya non amerika dalam sebuah simulasi perundingan. Berbeda dengan simulasi pertam dimana para diplomat membawa kepentngan-kepentingan negara yang diwakilinya, simulasi kedua lebih mengungkapkan adanya pengaruh budaya dalam gaya runding
atau
perundingan dipomasi (Kinhide, 1981:3-5). Mushakoji Kinhide (1981:1) mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut; Taktala para perunding sudah berhadap-hadapan di depan meja, yang mereka bawa bukan hanya sekedar catatancatatan dan sekian kertas-kekerja penunjang. Suatu bagian intetgral dari bekal mereka adalah kepribadian, dan serangkum aturan permainan serta
amsumsi-amsumsi
kebudayaan yang telah membentuknya. Jepang adalah pewaris beberapa tipologi dalam masalah kebudayaan. Suatu contoh kalsik menyangkut perbedaan Jepang dengan Amerika Serikat, ialah pembedaan ”kultur rasa bersalah” (guilt culture) dan ”kultur rasa malu” (shame culture) yang dikembangkan oleh Ruth Benedict. Tipologi-tipologi yang lebih muktahir mencakup kultur yang membedaan ’masyrakat vertikal’ dan ’masyarakat horizontal’ yang diciptakan oleh Nakane Chie dari Universitas Tokyo. Kinhide sendiri mengungkapkan satu tipologi lagi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’ (Kinhide, 1981:2) Dalam diplomasi atau perundingan, sebagaimana yang dikatakan oleh Kinhide tidak dapat hanya melihat salah satu pihak yang melakukan perundingan. Kedua belah pihak harus diperhatikan karena kesepakatan dalam perundingan ditentukan oleh keduanya. Pada paragaraf yang terdahulu, sudah dibahas secara sederhana mengenai keberadaan beberapa kultur Jepang yang mempengaruhi diplomasi Jepang keluar negaranya. Sedangkan Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari Jepang.
Universitas Sumatera Utara
Jepang adalah negara homogen yang memiliki satu bahasa. Sedangkan Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dan bahasa yang lazim disebut heterogen. Oleh karena
itu
sulit
menentukan
kebudayaan
yang
mendasari
diplomasi
Indonesia. Supaya lebih jelas, dibuat penjelasan dan keterangan pada sub bab selanjutnya mengenai kultur yang dimiliki oleh kedua negara.
2.2.2 Kultur Jepang a. Kultur Awase Kinhide(1981:2) megungkapkan sebuah tipologi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’. Erabi diambil dari kata erabu (選ぶ) yang memiliki arti memilih, sedangkan kata awase diambil dari kata au (合う) yang memiliki arti memadukan dan juga menyesuaikan sesuatu dengan yang lain. Jepang adalah negara yang menganut kultur awase. Menurut pandangan ideal erabi, manusia bisa bebas memanipulasi lingkungannya untuk tujuan-tujuannya sendiri. Pandangan ini memiliki arti suatu rangkaian prilaku apbila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana untuk mencapai tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkungn itu sejalan dengan rencana dan kehendaknya. Pandangan erabi juga terdiri dari tatanan logis yang terdiri dari konsep-konsep dan lawan-lawannya; panas atau dingin, manis atau tak manis, besar lawan kecil dan seterusnya. Oleh karena itu ketika menyusun suatu rencana tindakan untuk mengubah lingkungan, adalah wajar mengambil keputusan dengan pertimbangan ” Apakah lebih baik hangat atau dingin? Apakah saya ingin manis atau tidak manis? Lumayan besar atau lumayan kecil?”. pemikiran seperti membuktikan kalau erabi adalah logika untuk memilih yang terbaik dari
Universitas Sumatera Utara
serangkaian alternatif yang terdiri dari serangkaian pilihan dari berbagai dichotomy (bercabang dalam dua bagian). Awase berbeda dengan erabi dimana awase adalah kultur yang menolak gagasan kalau manusia dapat memanipulasi lingkungannya dan sebagi gantinya mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Menurut jalur pikiran ini, lingkungan tidaklah ditandai dengan konsep-konsep dikotomi seperti panas lawan dingin. Yang dipandangnya benar, ialah bahwa bisa agak panas atau agak dingin, sedikit manis atau tidak manis, lumayan besar atau lumayan kecil; dengan kata lain, lingkungan terdiri dari satu kontinum gradasi yang tidak begitu kentara dan gampang berubah. Awase adalah logika yang berusaha memahami serta menyimak rangkaian gradasi perubahan yang tidak begitu kentara ini (Kinhide, 1981: 7). Orang Jepang biasanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dalam hubungan mereka sendiri, karenaitulah maka penolakan mereka atas pendikotomian logika erabi membuat pemikiran mereka menjadi kabur dan tidak jelas bagi orang Eropa dan Amerika. Daripada berkata Hon o kashite kure (Pinjami saya buku itu), orang Jepang boleh jadi berkata Chotto kashite kure (saya hanya ingin melihatnya) dan daripada berkata Ano shibai wa kunakatta (sandiwara itu tidak menarik), mereka akan bilang Sore hodo omoswanai (saya kira sandiwara tu tidak begitu menarik). Sebaliknya, orang Jepang merasa bahwa orang Amerika, dengan logika erabi-nya, cendrung membuat perbedaan dalam ukuran-ukuran tertentu yang sangat simplitis dan dikotomis (monogote o wakiru) (Kinhide, 1981:7). Dalam kebudayaan awase, orang tidak hanya menyesuaikan dirinya dengan lingkungan alamnya tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, orang berkebudayaan erabi berharap agar orang lain yang mengerti dan menyesuaikan diri dengan mereka. Dalam pembicaraan awase atau urusan dengan dagang, persetujuan
Universitas Sumatera Utara
diberi ruang gerak dan diperlakukan secara fleksibel dan longgar. Masyarakat Jepang hidup dengan tidak membuat waktu menjadi eskak dan tidak memberikan perhatian yang ketat atas keentuan-ketentuan kontrak. Pelanggaran kecil seringkali diabaikan (ome ni miru). Itulah yang menyebakan kencendrungan mencari dan memberikan perlakuan khusus bisa dilihat sebagai sesuatu yang pokok bagi masyarakat awase (Kinhide, 1981: 9). Dilihat dari sudut lain, bertentangan dengan standarisasi vokabuler dalam masyrakat erabi, logika awase tidaklah bergantung kepada arti-arti kata yang sudah dibakukan. Setiap ungkapan memiliki berbagai nuansa dan dipandang hanya sebagai tanda-tanda yang mengisyarakatkan realitas dan bukanya bukannya menerangkan realitas itu secara pasti. Kata-kata tidak ditangkap sesuai yang ada di permukaanya; kita perlu menafsirkan arti yang terkandung didalnya. Bertentangan dengan kebudayaan erabi yang nilai-nilai dipermukaan tidak dipercaya dan kita diharap berjalan sesuia dengan itu, didalam masyarakat awase mungkin kita dapat ”mendengar satu menangkap sepuluh” (sasshi ga hayai) dipandang sebagai kebajikan, dengan kata lain menyesuaikan dengan posisi seseorang sebelum itu secara logis dan jelas (Kinhide, 1981: 9-10). Duta besar Kurusu dalam Kinhide (1981:10) secara menarik mengingatkan kegagalan perundingan antara Jepang dengan Rusia sebelum pecahnya perang Pasifik dikarenakan masing-masing perunding susah mengambil posisi atau kedudukan yang tepat. Dia menggambarkan dengan analogi, orang Jepang mengundang orang Barat untuk naik ke ruang tingkat dua. Saat para tamu itu kelihatan ragu-ragu untuk naik, orang
Jepang
tetap
mengajak
mereka
naikkeatas,
karena
setidak-tidaknya
pemandangan akan lebih baik jika dilihat dari atas. Namun, orang Barat ingin mengetahui pemandangan apa yang mereka akan dapatkan terlebih dahulu sebelum
Universitas Sumatera Utara
mereka setuju naik tangga menuju ruang tersebut. Akibatnya, perundingan tersebut gagal. Dalam bentuk alegoris cerita ini, memperlihatkan suatu kesalahan pemanduan yang mendasar diman kebudayaan erabi saling beradapan dengan kebudayan awase dalam ahap pertama perundingan (Kinhide, 1981:10). Para ahli psikologi Amerika yang mengkhususkan diri dalam penelitian mengenai proses perundingan umumnya mengandaikan bahwa tahap pertama dari perundingan haruslah berupa perumusan masalh. Dengan kata lain, perundingan dimulai hanya jika para perunding atau kedua belah pihak telah mengetahui jenis ”pandangan” apa yang akan muncul. Ini9 tidaklah mesti demikian dalam kebudayaan awase. Di Jepang, sekalipun kedua belah pihak setidak-tidaknya sudah punya sedikit gambaran tentang apa yang akan dibicarakan sebelum prundinag dimulai, tetapi pemakaian umum dari ungkapan-ungkapan seperti, Tonikaku,ome ni kakatta ue de...(”Mari, begtu kita duduk bersama...”)dan ome ni kakaranakutte wa, kuwasii koto wa....(”Tanpa
berdetil,...”),
menunjukkan
bahawa
orang
Jepang
umumnya
menginginkan pihak lain ”menaiki tangga” sebelum membicarakan persoalanpersoalan. Mereka menghedaki kesedaian kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri (awaseru) dalam hal situasui tanpa prasyarat dan prakonsepsi (Kinhide, 1981: 10). Saat kedua belah pihak sudah berada di meja perundingan, pendekatan ala barat (erabi) ialah mengemukakan secara langsung atau lebih tepatnya membicarakan persoalan-persoalan terlebih dahulu. Pendekatan awase tidaklah demikian. Dalam pendekatan awase, yang petama kali dilakukan adalah menetapakan apakah para perunding sudah sama-sama siap untuk saling menyesuaikan diri dengan posisi lawannya masing –masing. Aturan bisnis pertama di Jepang adalah menciptakan
Universitas Sumatera Utara
hubungna pribadi kedua belah pihak yang memungkinan mereka berbicara secara terbuka didalam suasan asaling memberi dan saling menerima (Kinhide, 1981:10-11). Perbedaan-perbedaan seperti yang dikatakan pada paragraf-paragaraf sebelumnya adalah di awal perundiangan. Perbedaan kedua adalah bagaimana perundiangan dilakukan. Pandangan erabi berasumsi bahwa perundingan akn berjalan melau pernyataan posisi yang jelas dari kedua belah pihak, hal ini bertentangan dengan pandangan awase yang lebih menyukai penafsiran atas posisi pihak sebaliknya tanpa keterangan yang jelas. Tentu saja dalam kebudayaan Amerika, meskipun tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dengan sepenuhnya mengabaikan masalah-masalah dari pihak lainnya. Meskipun demikian, menurut etiket dan etika perundingan erabi, kita tidaklah perlu bersimpati dengan pihak sana. Sebagai gantinya, sudah dipandang cukup untuk secara jujur dan sepenuhnya mengutarakan alasan-alasan posisi kita sendiri kepada pihak lainnya. Di Jepang, perasaan yang ada adalah ”Anda menyesuaikan diri dengan posisi saya dan saya akan menyesuaikan posisis saya dengan posisi anda”. Orang Jepang sering menggunakan ungkapan seperti Otachiba o jubun koryoshite (”dengan sepenuhnya mempertimbangkan posisi anda...”), atau Tokubetsu ni otorihokarai shimashou...(”Saya kan memberikan layanan-layanan khusus untukmu kali ini..”). Dari sis lainnya, oang Jepan juga menggunakan ungkapanseperti Watashikushi no tachiba o gokanno itadaitte...(”Pertimbangkanlah keadaan saya...) dan kochira no jijou mo gokensatsu kudasame, soko ohitotsu...(”Kasihilah keadaan saya dan jika mungkin berilah pengecualian..). Dalam kebudayaan erabi kontrak dipandang sebagi pilihan terakhir dari pihakpihak yang berundingdan dipandang mengikat, dalam kebudayan awase kontrak hanyalah suatu manifestasai dari hubungan awase yang akrab antar pihak-pihak yang
Universitas Sumatera Utara
bersangutan. Tata hubungan awase yang akrab memungkinkan para peserta untuk sling memberikan pengecualian dan kesimpulan kontarak yang sesungguhnya mendorong kedua belah pihak untuk mencari konsens-konsensi lebih jauh. Sehiingga tidak jarang, orang-orang Jepang tidak henti-hentinya berunding untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan setelah kontarak disepakati (Kinhide, 1981:11-12) Sejumlah perbedaan juga terlihat di dalam tatanan logika keseluruhan dari perundingan. Bertentangan dengan gaya erabi dimana tiap pihak berusaha menyempurnakan sertra menjelaskan posisinya secara resmi. Pihak-pihak yang berpran di dalam perundinna awase cendrung memisahkan dimensi formal dari hubungan dengan kandungannya yang sesungguhnya. Meskipun kata-kata diberi kridibilitaas formal tertentu dalam beberapa hal, makna luarnya trkadang ditolak demi saling-saling pengertian akan realitas situasi. Sementara gaya erabimenekankan hasl formal dari suatu perundingan, pola awase mencakup suatu pemahamn implisit akan jurang antara bentuk dengan hakikat (Kinhide, 1981:12). Dalam gaya awase, pendekatan pada masalah menyertakan asumsi bahwa ”dalam teori memang demikin caranya, tetapi kenyataannya..”. Gaya awase meletakkan tekanan pada sekian keadaan khusus yang membedakan tiap kasus konkrit dan berfungsi membuat prinsip-prinsip umum tidak bisa diterapkan. Pendekatan awase jika salah dikelola, bisa membat kita hanyut disepanjang rentetan pristiwa. Akan tetapi perundingan awase punya kelebihan yang memungkinkan pihak lain untuk menyesuaikan diri. Pendekatan awase juga memperhitungkan perbedaan teori antar teori dengan perubahan keadan. Sebab ia tidak mempersyaratkan adanya pernyatan posisi secara jelas, ia mmberikan cukup banyak pelonggaran untuk tidak hentinya menafsirkan pendirian seseorang. Ini adalah kelebihan yang jelas
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan keterus-terangan eabi yang bersahaja. Tentu saja ada batas. Begitu ketidak percayaan pihak lain mencapai suatu titik tertentu, perundingan pun gagal dan soal-soal poko sama-sama dikobankan dengan soal-soal tidak pokok.
b. Kultur Haji no Bunka Kultur haji no bunka adalah kultur Jepang yang dikemukakan oleh Ruth Benedict, seorang ahli antropologi yang berasal dari Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Cristnshium and the Sword, ia menggambarkan dengan jelas pola-pola kebudayaan Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungan diplomasi Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungna diplomasi Jepang terhadap negaranegara lain termasuk Indonesia. Haji no bunka (恥 の文化) terdiri atas dua kanji modern yaitu kanji haji (恥) dan bunka (文化). Kanji haji menurut kamus besar kanji (Nicholson , 2005: 734) memiliki arti malu. Sedangkan bunka menurut kamus kanji modern (Nicholson, 2005: 462) memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan secara harfiah memiliki arti shame culture atau budaya malu. Ada perbedaan pandangan yang cukup besar antara orang-orang Barat denga orang-orang Timur. Dalam masalah sejarah, orang Barat cendrung mengtakan kalu mereka adalah pewaris sejarah. Berbeda dengan orang-orang Timur yang mengatakan berutang kepada sejarah. Masyrakat Barat menilai pemujaan trehadap roh nenek moyang hanyalah pemujaan biasa kepada roh-roh yang sudah meninggal. Bagi masyarakat Timur, itu bukanlah pemujaan biasa tetapi hal itu juga merupakan pengakuan ritual bahwa manusia sangat berutang kepada segala sesuatu yang terjadi sebelumnya (Benedict, 1979: 104). Lagi pula orang tidak berutang kepada masa lampau saja; setiap kontak seharihari dengan orang lain menambah keberuntungannya di masa kini. Keputusan-
Universitas Sumatera Utara
keputusan dan tindakan-tindakannya bersumber dari utangnya ini. Keberuntungan ini adalah titik yang fundamental. Di Jepang, bergantung kepada pengakuan akan tempat seseorang di dalam jaringan besar dari saling keberutangan tersebut yang mencakup baik nenek moyang maupun oraang-orang sezaman. Hal ini terlihat sederahana tetapi rumit. Padanya pun diletakkan tanggung jawab yang besar (Benedict, 1979: 104-105). Bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya ”kewajiban”. Kata-kata itu bukanlah sinonim an kata-katanya yang spesifik tidak mempunyai terjemahan yang tepat dalam bahasa Inggris, karena gagasan yang diutrakan asing bagi orang Barat. Kata ”kewajiban”, yang mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil adalah on. Didalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ”kewajiban” dan ”kesetiaan” sampai ”keramahan” dan ”cinta kasih”, teaepi kata-kata ini mengubah pengertian yang sebenarnya (benedict, 1979: 105). Dalam semua pemakaianya, on mengandung arti sebagai beban, suatu utang, sesuatau yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang menerima on dari atasannya atau setidaknya orang setingkat, menimbulkan perasaan bahwa orang itu lebih rendah dari pada si pemberi on. Kalau mereka mengatakan, ”Saya mengenakan on terhadapnya” maka yang mereka maksudkan adalah mengatakan ” Saya memikul suatu beban kewajiban terhadapnya”, dan mereka menyebut kreditor atau dermawan itu sebagi ’orang on’-nya (Benedict, 1979: 105). ”mengingat on seseorang” mungkin merupakan
pencurahan
murni
dari
rasa
pengbdian
yang
timbal
balik. On selalu dipakai dalam pengertian pengabdian tanpa batas, kalau itu menyangkut utang yang terbesar dan terutama, yaitu ”on kekaisaran ” orang tadi. Ini adalah utang seseorang kepada kaisarnya, yang harus diterima orang itu dengan kasih yang mendalam. Orang Jepang merasa mustahil seseorang akan berterimakasih
Universitas Sumatera Utara
kepada negerinya, senang akan kehidupannya, senang akan hal-hal besar dan kecil yang menyangkut dirinya, tanpa mengingat mereka menerima-menerima keuntungan ini. Dalam seluruh Jepang, orang yang paling utama diantara sesamanya ini, pada siapa seseorang berutang, adalah atasan tertinggi dalam lingkup kehidupan seseorang tadi. Negara Jepang modern telah memakai semua cara untuk memusatkan perasaan ini kepada Kaisar. (Benedict, 1979: 107). Orang juga mengenakan on terhadap orang-orang yang lebih rendah tingkatnya dari pada Kaisar. Tentu saja ada on yang diterima dari orang tua masingmasing. Inilah dasar dari bakti dan hormat filial bangsa-bangsa Timur yang menempatkan orang tua pada suatu posisi yang strategis atas anak-anaknya. On ini dijabarkan sebagi utang anak-anak terhadap orang tuanya dan mereka berusaha matimatian untuk menebusnya. Karena itu, anak-anaklah yang harus berusaha untuk patuh (benedict, 1979: 108). Orang juga mempunyai on khusus kepada guru dan tuannya (nushi). Keduaduanya telah membantu dia untuk maju dan orang mengenakan on terhadap mereka, yang dimasa depan mungkin mengharuskan orang tersebut untuk memenuhi suatu permintaan mereka, pada saat mereka mengalami kesulitan, atau barangkali untuk memberikan bantuan kepada salah seorang sanak saudaranya yang muda, setelah mereka tiada. Orang harus berusaha keras untuk melaksanakan kewajiban itu dan utangnya tidak berkurang dengan berlalunya waktu. Bahkan sebaliknya, semakin lama utang itu semakin bertambah. On itu seakan mengumpulakn sejenis riba. On kapada siap saja adalah hal yang serius. Seperti yang biasa mereka katakan, ”Orang tidak pernah dapat menebus sepersepuluh ribu dari on-nya”. On adalah beban yang berat dan ”kekuasaan on”, meskipun senantiasa melanggar pilihan-pilihan pribadi, dianggap selalu
benar
(Benedict,
1979:
109).
Universitas Sumatera Utara
Kelancaran berfungsinya etika ini bergantung kepada kemampuan setiap orang untuk menganggap dirinya sebagai orang yang berutang banyak tanpa merasa tidak terlalu enak saat menebus kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya. Adat kebiasaan yang menyertainya dan dijalankan dengan giat memungkinkan bangsa Jepang untuk moral mereka sampai suatu taraf yang tidak masuk akal bagi seorang Barat (Benedict, 1979: 109). Orang tidak suka denga seenaknya menyandang arti utang budi yang terkandung dalam on. Mereka selalu berbicara ”membuat orang mengenakan on” dan sering terjemahan yang paling mendekai adalah ”memaksakan kepada orang lain”. Di Jepang istilah ini berarti memberi sesuatu kepada orang atau berbuat baik kepada orang itu. Orang Jepang paling tidak menyukai perbuatan-perbuatan baik dari orang yang tidak dikenalnya, karena dengan tetangga dalam hubungan-hubungan hirarkis yang sudah mantap, orang tahu dan telah menerima kerumitan on. Tetapi dengan kenalan biasa atau orang yang hampir setingkat, hal ini menyinggung perasaan (Benedict, 1979:110). Didalam hubungan struktural yang diterima, rasa berutang yang besar yang terkandung dalam on sering mendorong orang untuk meyerahkan segala-galanya yang ada dalam dirinya sebagai imbalan. Walaupun demikian, cukup berat menjadi orang yang berutang, dan karena itu orang mudah tersinggung (Benedict, 1979: 113). Dengan berbagai perasaan apapun, on dapat ditanggung selama ” si pemberi on” sebenarnya adalah dirinya sendiri; ia sudah diberi tempat dalam pola hirarki ”saya”, atau ia melakukan sesuatu yang dapat saya lakukan, seperti mengembalikan topi saya yang terbawa angin, atau ia seseorang yang mengagumi saya. Sekali indefikasiindefikasi ini runtuh on merupakan luka yang membusuk. Seremeh apa pun yang terjadi, terlebih baik jika menyukainya. Setiap orang Jepang mengetahui bahwa jika
Universitas Sumatera Utara
seseorang membuat on terlalu berat, apa pun situasinya, maka orang itu akan melakukan kesulitan (Benedict, 1979: 115). Setiap perbuatan baik yang diterima seseorang, menjadikan orang itu berutang. Seperti dikatakan oleh pribahasa mereka, ”diperlukan suatu tingkat kemurahan hati yang tidak terjangkau tingginya dan yang sudah dibawa sejak lahir, untuk menerima on” (benedict, 1979: 120). On adalah utang dan harus dibayar kembali; tetapi di Jepang, semua pembayran kembali dianggap berada dalam kategori lain. Untuk bangsa Jepang, rasa berutang yang utam dan yang selalu ada, yaitu on, berbeda sekali dengan pembayaran kembali secara aktif dan ketat yang disebut-sebut dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang (on) bukan merupakan kebajikan; pembayaran kembali itulah yang dianggap sebagai kebajikan. Kebajikan dimulai pada saat orang itu memusatkan dirinya secara aktif untuk menebus utang itu (Benedict, 1979: 121). Bangsa Jepang membagi kedalam kategori-kategori yang jelas, masing-masing denga peraturannya yang berlainan, pembayran kembali on itu, yang jumlah dan jangka waktu pembayrannya tidak terbatas, dan on mana yang sama secara kuantitatif, serta mana yang harus dibayar pada kesempatan-kesempatan yang khusus. Pembayaran tanpa batas atas utang ini disebut gimu dan tentang itu mereka mengatakan, ”Orang tidak dapat membayar dari sepersepuluh ribu dari on ini”. Gimu seseorang mengelompokkan dua jenis kewajiban yang berbeda: pembayran on kepada orangtua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kewajiban kedua gimu ini adalah suatu keharusan dan merupakan nasib universal seseorang; bahkan pendidikan dasar di Jepang dikatakan sebagai ”pendidikan gimu” karena tidak ada kata lain yang lebih tepat mengrtikan kata ”wajib”. Pristiwa-pristiwa dalam hidup seseorang dapat mengubah detail-detail gimu
Universitas Sumatera Utara
orang itu, tetapi secara otomatis, gimu terdapat pada pada semua orang dan berada diatas semua kejadian yang tidak disengaja. Kedua bentuk gimu itu adalah tanpa syarat (Benedict, 1979:122-123). Bangsa Jepang sangat tegas tentang hal ini; orang membayar kembali utangutang keapda nenek moyangnya dengan cara meneruskan kepada anak-anaknya, asuhan yang telah diterimanya sendiri. Tidak ada kata yang mengungkapkan ”kewajiban bapak terhadap anak-anaknya” dan semua tugas seperti itu dicakup oleh ko kepada oarang tuanya orang tau. Bakti filial meletakkan semua tanggung jawab yang banyak ke atas pundak kepala keluarga untuk mencari nafkah bagi anakanaknya, mendidik putra-putranya dan adik-adik lelakinya mengurus pengelolaan tanah keluarga, memberiakn tempat berlindung kepada sanak keluarga yang memerlukannya dan tugas sehari-hari yang serupa (Benedict, 1979: 130). Pembatasan yang ketat dari keluarga yang dilembagakan di Jepang, secara tajam membatasi jumlah orang terhadap siapa seseorang mempunyai gimu ini. Kaisar haruslah berupa bapak keramat yang jauh dari semua pertimbangan sekuler. Kesetiaan seseorang kepadanya, yaitu chu, yang merupakan kebajikan tertinggi, harus menjadi pikirang yang membahagiakan mengenai seorang bapak yang baik, yang tidak dinodai oleh
kontak-kontak
dengan
dunia
(Benedict,
1979:
130-
131). Semua usaha telah dilakukan di Jepang modern untuk mempersonifikasikan chu dan secara khusus menunjukkannya pada diri Kaisar. Kaisar pertama setelah restorasi adalah Kaisar yang konsekuen dan berwibawa dan selama pemerintahannya yang panjang dengan mudah ia menjadi
lambang pribadi bagi rakyatnya.
Pemunculannya sekali-sekali di muka umum disambut dengan upacara pemujaan lengkap. Dengan segala cara ini, Kaisar dijadiakan sebuah lambang yang berada di
Universitas Sumatera Utara
luar jangkauan segala macam pertentangan di dalam negeri (Benedict, 1979: 135). Chu menyediakan sebuah sistem ganda dalam hubungan antara hamba sahaya dan Kaisar. Si hamba mengadah ke atas, langsung kepada Kaisarnya tanpa perantaraan siapa pun; secara pribadi, hamba ni ”menentramkan hati Kaisar” melalui tindakan-tindakannya. Di dalam pemerintahan sipil, chu mendukung apa saja, dari kematian sampai pajak. Pemungutan pajak, petugas polisi, pejabat-pejabat wajib militer adalah saluran-saluran melalui mana seorang hamba sahaya menyerahkan chu. Orang Jepang berpendapat bahwa patuh pada hukum merupakan pembayaran kembali atas utangnya yang terbesar, yaitu ko-on (Benedict, 1979: 136-137). ”Giri” begitu pepatah Jepang, ” adalah yang paling berat untuk ditanggung”. Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimanadia harus membayar kembali gimu, tetapi giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah serentetan keawjiban yang berlainan warnanya. Giri memiliki dua pembagian yang jelas yaitu giri kepada dunia dan giri kepada nama sendiri. Giri kepada dunia secar harfiah dikatakan dengan ” membayar kembali giri” adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya. Giri kepada nama sendiri adalah kewajiban untuk tetap membersihkan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah, semacam ’kehormatan” (Benedict, 1979: 141). Secara umum, giri kepada dunia dapat digambarkan sebagai dipenuhinya hubungan-hubungan yang bersifat kontrak, sangat kontras dengan gimu yang dirasakan sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan hubungan akrab yang dialami seseorang sejak lahirnya. Jadi, giri mencakup semua kewajiban yng menjadi tanggungan seesorang kepada keluarga mertuanya sedangkan gimu kepada keluarga kandungnya. Seperti dikatakan oleh seorang Jepang, ”Kalau seorang putra
Universitas Sumatera Utara
deawsa berbuat sesuatu untuk ibunya sendiri, itu adalah karena dia mencintai ibunya dan karena hal itu, itu bunkanlah giri. Seseorang tidak bekerja untuk giri kalau ia melakukan dengan tulus hati”. Akan tetapi orang memenuh kewajibannya terhadap mertuanya secara tepat karena bagaimanpun juga ia harus menghindari celaan yang ditakuti; ”orang yang tidak tahu giri” (benedict, 1979: 141-142). Giri memang cukup keras dan ”penuh keengganan”, sehingga pernyataan ”karena giri” saja sudah cukup bagi orang Jepang untuk menggambarkan hubungan yang membenani itu. Bukan saja kewajiban terhadap mertua merupakan giri; kewajiban terhadap paman, biib, keponakan pria dan wanita berada dalam kategori sama. Hubungan tradisional giri yang besar, yang oleh banyak orang Jepang bahkan dianggap lebih penting daripada giri terhadap mertua, adalah giri seorang pengikut terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit. Itu adalah kesetiaan yang diwajibkan atas seseorang terhadap atasannya dan rekan-rekannya yang setaraf. Kewajiban giri ini diagungkan dalam banyak bacaan tradisional. Ia diindetifikasikan sebagai kebajikan seorang samurai (Benedict, 1979: 144). Peraturan-peraturan giri merupakan peraturan-peraturan pembayaran kembali yang wajib. Kalau seseorang dipaksa untuk dengan giri , maka dianggap ia mungkinharus mengesampingkan rasa keadilannya dan seriang berakata, ” Saya tidak dapat berbuat benar(gi) karena giri. Peraturan-peraturan itu tidak mengharuskan orang berbuat baik dari dalam hatinya. Mereka mengatakan harus bahwa orang harus melakukan giri, karena kalau tidak, ia akan disebut orng tidak tahu giri dan akan dibuat malu didepan umum. Yang harus membuat giri ditaati adalah; apa kata orang tentang itu. Mem,ang. ” giri terhadapadunia” sering muncul dalam terjemahan Inggris dengan ”sejalan dengan pendapat umum”, dan kamus menterjemahkan dengan
Universitas Sumatera Utara
kalimat ”Memang harus begitu karena itu adalah giri terhadap dunia” dengan ”Orang yang tidak menerima tindakan yang lain” (Benedict,, 1979: 148). Bangsa Jepang menganggap seesorang telah bangkrut apabila tidak dapat membayar giri, dan setiap kontak dalam kehidupan dapat menimbulkan giri dengan satu atau lain cara. Pembayaran kembali giri dianggap sebagai suatu pembayaran kembali yang sama jumlahnya. Dalam hal ini, giri sangat berbeda dengan gimu, yang secara kira-kira pun tidak akn pernah dapat dilunaskan, apapun yang dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, giri tidak tanpa batas. Bangsa Jepang melarang pemberian hadiah yang bernilai lebih dari hadiah yang sebelumnya diterima. Orang tidak menjadi semakin terhoramat dengan mengembalikan ”beludru murni”. Salah satu komentar terburuk yang dapat dikatakan orang tentang suatu hadiah adalah bahwa si pemberi ”telah membayar emabali ikan teri dengan ikan kakap”. Begitu juga hal-hal dengan giri (Benedict, 1979: 148-149). Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga reputasinya supaya tidak bernoda. Giri ysang ini adalah sederetan kebajikan, seakan-akan saling bertentangan dalam pandangan orang Barat, tetapiyang dalam pandangan orang Jepang mempunyai suatu keastuan, karena merupakan kewajiban-keawjiban yang bukan pembayaran kemabali terhadap kebaikan yang diterima; kewajiban-keawjban itu berada ”diluar lingkup on”. Kewajiban-keawjiban itu adalah tindakan-tindakan yang tetap menjaga reputasai baik seseorang tanpa mendasarkannya kepada suatu utang tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain. Oleh karena itu, tercakup di dalamnya melaksanakan segala persyaratan etiket menurut ”tempat seseorang yang sesuai”, misalnya, kalau merasa sakit sama sekali tidak memperlihatkannya, dan mempertahankan reputasi dalam profesi atau keahlian. Giri terhadap nama juga menuntut tindakan-tindakan yang menghilangkan noda atau cela;
Universitas Sumatera Utara
noda itu mengotori nama seseorang dan karena itu harus dihilangkan. Noda itu dapat memaksa seseorang untuk membalas dendamkepada orang yang merugikan namanya ataumemeaksa seseorang untuk melakukan bunuh diri,dan diantara kedua ekstrem ini terdapat segala macam kemungkina tindakan. Akan tetapi, orang tidak dapat meremehakn sesuatu yang bersifat kompromi (Benedict, 1979: 152). Bangsa Jepang tidak memilik istilah tersendiri untuk apa yang dinamakan ”giri terhadap nama”. Mereka hanya melukiskannya sebagai giri ”diluar lingkup on”. Kalau orang mengorabanan miliknya. Keluarganya dan hidupnya sendiri demi kehormatan,maka ia seoran yang bajik dengan sesungguhnya. Akan tetapi giri terhdap nama, yang dalam kebudayaan didampingi rasa permusuahn serata menanti dengan waspada, bukanlah kebajikan khas Asia. Ini adalah kebudayaan yang murni hanya dimiliki oleh bangsa Jepang (Benedict, 1979: 152-154). Arti sepenuhnya dari giri terhadap nama tidak dapat dimengerti tanpa menempatkan dalam konteksnya semua kebajiakn nonagresi yang di Jepang disebut dengan giri ini. Pembalasan hanyala suatu kebajikan yang mungikn diwajibkan pada suatu kesempatan. Giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaaan, pengendalian diri yang diharuskan arti seorang Jepang yang mempunyai harga dri, merupakan bagian dari giri terhadap nama. Giri terhadap nama juga mengaruskan seseorang untuk hidup sesuai denga tempatnyadalam hidup ini. Kalau orang gagal dalam giri ini, ia tidak berahk untuk menghormati dirinya sendiri. (Benedict, 1979: 155-156). Giri terhadap nama juga berarti memenuhi banyak macam ikatan selain ikatan yang ada hubungnya deangan tempat yang sesuai. Seorang yang berutang daoat mempertaruhka giri terhadap namanya ketika ia meminta pinjaman; satu generasi yan glalu biasa dikatakn orang bahwa ”Saya setuju untuk ditertawakan di depan umum
Universitas Sumatera Utara
kalau saya gagal membayar jumlah ini”.n kalau ia gagal membayar kembali, ia tidak secara harfiah dijadikan bahan tertawaan umum; di Jepang tidak ada tiang cacian umum. Akan tetapi, menjelang Tahun Baru, yaitu tanggal jatuh tempo semua utang, orang yang tidak membayar utangnya itu, mungkin akan melakukan bunuh diri untuk ”membersihkan namanya”. Di Jepang giri terhadap nama seorang profesional sangat besar tuntutannya, tetapi giri tidak perlu dipelihara dengan standar profesinal yang tingi seperti di Amerika (Benedict, 1979: 158). Berbagai jenis tata krama diatur untuk menhindarkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan rasa malu dan yang mungkin menyangkut giri terhadap namanya. Situasi-situasi ini, yang diperkecil kemungkinannya seminimal mungkin, mencakup lebih banyak daripada persaingan langsung. Mereka berpendapat bahwa seorang tuan rumah harus menyambut tamunya dengan penyambutan ritual tertentu serta dalam busana yang baik. Karena itu, seseorang yang bertamu kepada petani yang sedang mengenakan pakaian pekerjaannya, harus menunggu beberapa saat. Si petani tdak akan memperlihatkan tanda bahwa ia mengenal tamunya sampai ia mengenakan pakaian yang baik dan mengatur tata cara yang patut (Benedict, 1979: 164). Di Jepang tujuan yang selalu didambakan adalah kehoramatan. Perlu sekali memiliki wibawa. Cara-cara yang dipakai untuk mnecapai tujuannya itu adalah alat yang diambil lalu diletakkan kembali sesuai dengan keperluan keadaan. Kalau situasi berubah, bangsa Jepang dapat mengubah orientasnya dan berjalan ke arah yang baru. Bagi mereka, mengubah halauan bukan merupakan masalah moral sebagaimana halnya denga bangsa Barat (Benedict, 1979: 180). Agresi bangsa Jepang lain sekali sumbernya. Mereka sangat membutuhkan penghoramtan di dunia. Mereka melihat bahwa kekuatan militer telah menghasilkan respek bagi negara-negara dan mereka mengambil halauan untuk menyamai negara-
Universitas Sumatera Utara
negara besar itu. Mereka harus lebih pada gurunya karena sumber-sumber daya mereka tidak banyak dan teknologinya primitif. Kegagalan mereka dalam usaha besar ini, berarti bahwa agresi bukanlah cara mencapai kehormatan. Giri selalu erarti penggunaan agresi atau menjalin hubungan-hubungan ketakziman, dan dalam kekalahan, bangsa Jepang beralih dari yang satu ke yang lain, jelasa tanpakekerasan psikis teradap dirinya sendiri. Tujuannya masih tetap nama baik mereka (Benedict, 1979: 181). Seperti bulan, giri mermiliki bagian yang gelap membuat Jepang menerima Undang-Undang Eksklusif Amerika dan Perjanjian Persamaan Angkatan Laut sebagai penghinaan nasional yang keterlaluan, dan yang merangsangnmya untuk membuat progaram perang yang mencelakakan itu. Bagiannya yang cerah memungkinkan itikad baik yang ditunjukkan untuk menerima akibat penyerahan di tahun 1945. Jepang tetapi berttindak sesuai dengan wataknya (benedict, 1979: 183). Setelah membahas keseluruhan mengenai on, gimu, dan giri mungkin ada kesulitan untuk memahaminya. Oleh karean itu, dibawah ini ada sebuah penjelasan yang dapat membantu pemahaman agar lebih jelas sehingga tidak menimbulkan kerancuan. On:
kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang “menerima on”,
seseorang “mengenakan on”, artinya: on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif. Ko on. On yang diterima dari kaisar Oya on. On yang diterima dari orangtua. Nushi no on. On yang diterima dari majikan atau tuan. Shi no on. On yang diterima dari guru.
Universitas Sumatera Utara
On yang diterima dalam semua hubungan dengan orang lain selam hidup si penerima. Catatan: semua orang dari siapa si penerima menerima on, menjadi on jin atau ”orang-on” dati si penerima. pemenuhan on. Si penerima on ”membayar kembali” utang–utang; ia ”memenuhi kewajiban ini” terhadap orang-on nya; artinya: ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayarannya kembali secara aktif. Ada dua jenis on: Gimu. Pembayaran kembali yang maksimal sekalipun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya. Chu.
Kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara.
Ko.
Kewajban terhadap orang tua dan nenek moyang (yang
dimaksud: terhadap keturunanya). Nimmu. Kewajiban terhadap pekerjaan seseorang . Giri. Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yangsama dengan kebaikan yang diterima, ada batas waktu pembayarannya 1. Giri terhadap dunia. Kewajiban terhadap tuan pelindung. Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh. Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu kelompok kerja Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman, bibi, kemenakn pria dan wanita) walaupun on yang doterima bukan berasal dari mereka, melainkan nenek moyang yang sama.
Universitas Sumatera Utara
2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre. Kewajiban seseorang untuk ”membersihakan” reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam. Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidak tahuannya dalam melaksanakan jabatan. Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua prilaku ketakziman, tidak hidup di atas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya.
c. Kultur Masyarakat Horizontaldan Masyarakat Vertikal Sebelumnya telah dibahasmengenai kultur awase dan kultur haji no bunka yang merupakan dua kultur yang dimiliki oleh bangsa Jepang. Selain kedua kultur tersebut ada sebuah kultur agi yang dikemukakan oleh Chie Nakane, seorang profesor yang berasal dari univertitas Tokyo. Ia mencoba menyusun suatu gambarn struktural mengenai masyarakat Jepang dengan cara memadukan ciri-ciri besar yang menonjol yang terdapat dalam kehidupan orang Jepang (Nakane, 1981: vii). Fakta-fakta tersebut diperolehnya dari sejumlah tipe persekutuan yang ada di Jepang. Persekutuan itu antara lain perusahaan-perusahaan industri, organisasiorganisqasi pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, persekutuan keagamaan, pertai-partai pollitik, persekutuan-persekutuan desa, rumah tangga-rumah tangga perorangan dan seterusnya yang terdapat di Jepang. Sepanjang penyelidikannya terhadap kelompok-keompok dalam bidang-bidang yang begitu beraneka warna, ia memusatkan analisanya pada tingkah laku perorangan dan hubungan antar manusia
Universitas Sumatera Utara
yang merupakan pangkaln baik bagi oerganisasi kelompok maupun bagi kecenderungan-kecenderungan struktural yang mengusai perkembangan kelompok (Nakane, 1981: viii). Daya hidup struktur sosial ini dapat dilihat jelas dalam cara hubungan sosial antar manusia, yang dapat menentukan keaneka ragaman yang mungkin terjadi dalam organisasi-organisasi kelompok dalam keadaan yang brubah-ubah. Daya hidup ini mengungkapkan uraian orientasinilai dasar yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang meruapkan tenaga pendorong perkembangan masyarakat. Ketabahan sosial itu tergantaung kepada taraf intergrasi dan jangka waktu sejarah suatu masyarakat (Nakane, 1981: xi). Chie Nakane melakukan pendekatan terhadap persoalan ini denagn sarana analisis struktural, dan bukan dengan memberikan penjelasan yang bersifat kultural maupun historis. Tema buku ini adalah penggarapan yang dinamakan olehnya dengan sebutan prinsip vertikal dalam masyarakat Jepang. Dalam pandangannya, ciri yang paling karakteristik dalam organisasi sosial Jepang timbul dari ikatan tunggal dalam hubungan tunggal yang distingtif dengan orang atau kelompok yang lain. Jalannya hubungan macam ini adalah sesuai dengan struktur masyarakat Jepang yang unk itu secara keseluruhan, yang berbeda dengan struktur masyarakat yang berkasta dan berkelas (Nakane, 1981: xii). Seperti dalam pembentukan rumah tangga, pembentukan kelompok atas dasar elemen kerangka menyangkut kemungkinan menerima anggota baru dengan atribut berbeda, dan dalam pada itu menyangkut kemungkina mendepak anggota dengan atribut yang sama. Pristiwa demikian sering terjadi, terutama didalam lingkungan pertanian tradisional dan pedagang. Orang luar, sekalipun ikatan
Universitas Sumatera Utara
kekeluargaannya sangat jauh dapat menjadi ahli waris dan pengganti. Bahkan seorang pelayan dapat menjadei ahli waris (Nakane, 1981: 1). Akan tetapi, hubungan kekeluargaan yang biasanya dianggap ikatan primer dan mendasar di Jepang tamaknya digantikan oleh hubungan kerjasama yang dasarnya adalah pekerjaan, dimana tersangkut segi-segi pokok kehidupan sosial dan ekonomi. Di sini akan kita temui lagi unit yang sangat p[enting dalam masyarakat Jepang, yaitu kelompok kerjasama berdasarkan kerangka. Inilah prinsip pokok yang menjadi dasar pembangunan masyarakat Jepang (Nakane, 1981: 3). Pendeknya, prinsip-prinsip struktur kelompok sosial Jepang jelas terpotret pada struktur rumah tangga. Konsep lembaga rumah tangga tradisional, ie, tetap bertahan dalam indetitas kelompok macam-macam yang disebut uchi, suatu bentuk ungkapan dari ie. Fakta itu menunjukkan bahwa pembentukan kelompok-kelompok sosial atas dasar kerangka yang tetap merupakan ciri struktur sosial dalam masyarakat Jepang. Di antara kelompok-kelompok yang lebih besar dari rumah tangga, ada kelompok yang digambarkan menurut konsep menengah, ichizoku-roto (satu kelompok keluarga dan mereka mempertahankannya). Ide struktur kelompok seperti yang diungkapkan dalam istilah itu merupakan suatu contoh istimewa dari kelompok sosial berdasarkan kerangka. Tentu saja konsep itu merupakan konsep suatu rumah tangga di mana para anggota keluarga dan orang-orang luar yang dijadikan anggota keluarga tidak dipisahkan melainkan membentuk suatu kelompok kerja terpadu. Hubungan in sama dengan hubungan antara anggota keluarga dan para kerani atau pembantu dalam suatu antitesis dari suatu kelompok yang secara eksklusif terbentuk berdasarkan garis kekeluargaan atau silsilah (Nakane, 1981: 4). Di dalam masyarakat modern yang dianggap sama dengan ie dan ichizokuroto adalah kelompok seperti ”keluaraga besar kereta api”, yang menojolkan Japanese
Universitas Sumatera Utara
National Railways, suatu himpunan yang mencakup baik para pekerja maupun manajemen yang menyebut kelmpok ini ”keselarasan buiruh dan manajemen”. Walaupun sering dikatakan bahwa lembaga keluarga tradisional ie telah lenyap, tetapi konsep ie masih bertahan dal masyarakat modern. Suatu perusahaan dianggap sebagai suatu ie, semua pekerjanya dianggap sebagai anggota rumah tangga, sedangkan majikan menjadi kepala rumah tangga (Nakane, 1981:4). Tentu saja industrialisasi menghasilkan suatu organisasi tipe baru yang struktur formalnya mungkin sama dengan yang terdapat dalam masyarakat barat modern. Akan tetapi, hal ini tidak harus berarti mengubah struktur informalnya yang sebagian besar mempertahan kan struktur tradisional seperti yang kita lihat dalam kasus Jepang ini. Hal ini menunjukkan bahwa struktur sosial dasar tetap berlaku kendati terdapat banyak perubahan besar dalam organisasi sosial (Nakane, 1981: 5). Disamping tuntutan awal akan kertangka yang kuat dan taahan lama, selanjutnya diperlukan usaha untu memperkokoh kerangka itu dan membuat unsur kelompok lebih kompak lagi. Secara teoritis hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah mempengaruhi para anggota dalam kerangka itu sedemikian rupa sehingga mempunyai perasaan kesatuan, cara yang kedua adalah menciptakan organisasi intern yang akan mengikat individu-individu dalam kelompok satu dengan yang lain dan kemudian memperkuat organisasi ini. dalam prakteknya kedua hal ini dilakukan bersama-sama (Nakane, 1981: 7). Orang-orang yang berbeda atributnya dapa dibuat merasa menjadi anggota elompok yangsama. Perasaan ini dikukuhkan, dengan menekankan kesadaran akan ”kita” terhadap ”mereka, yaitu orang–orang luar, dan dengan mempertajam rasa bersaiang dengan kelompok sejenis lainnya. Dengan cara ini dalam hati orang berkembang ikatan sebagai ”anggota dari himpunan yang sama” (Nakane, 1981: 7).
Universitas Sumatera Utara
Rasa perpaduan kesatuan kelompok seperti yang telah ditunjukkan dalam mekanisme oprasioanal keluarga dan perusahaan, merupakandasar yang ensesial bagi keikutsertaan emosinal dari orang perorang dalam kelompok itu; rasa perpaduan itu ikut membina suatu dunia yang tertututup dan menghasilakan pengasingan atau kebebasan kelompok yang kuat. Hal inilah yang menyuburkan adat kebiasaan rumah tangga dan perusahaan. Dua hal yang disebut terakhir itu pada gilirannya ditekankan dalam berbagai moto yang mempertebal rasa persatuan dan solidaritas kelompok itu. Jadi lebih memperkokoh kelompok itu (Nakane, 1981: 22). Selaras dengan itu kebebasan keompok dan stabilitas kerangka yang diperkuat oleh rasa persatuan itu menciptakan jurang pemisah antara orang–orang kelompok itu dengan orang–orang kelompok lain dari atribut yang sama tetapi berada di luar kerangka; sementara itu jarak orang-orang yang berbeda atributnya yang berada di dalam kerangka makin dipersempit dan berfungsinya setiap kelompok yang dibentuk atas dasar atribut yang sama dilumpuhkan. Para pekerja, suka atau tidak suka, harus tetap bersama kelompok (Nakane, 1981: 22). Satu contoh yang lebih ekstrem mengenai sikap prilaku kelompok adalah dinginnya orang Jepang (yang tidak semata-mata sikap acuh tak acuh, melainkan rasa bermusuan yang aktif) yang mengherankan, rasa jijik dan penolakan yangakan mereka tunjukakn pada orng asing dari pulau lain, atau pada mereka yang hidup dalam ”buraku” (dulu kelompok sosial yang dikucilkasn tetapi sekarang sudah dianggap secara hukum sama dengan yang lain meskipun masih juga didiskriminasikan). Disini sikap sempurna mengasingkan orang dari luar dunia ”kita” dilembagakan (Nakane. 1981: 23). Jadi dalam masyarakat Jepang tidak ada ikatan dalam kelompok individual satuterhadap yang lain, tetapi juga ikatan yang menghimpun individu-individu satu
Universitas Sumatera Utara
terhadap yang lain. Ciri satu ikatan dalam hubungan sosial merupakan dasar dari citacita berbagai kelompok yang bermacam-macam, dalam satu masyarakat keseluruhan (Nakane, 1981: 25). Dalam arti abstrak, tipe pokok hubungan antar manusia dapat dibagi-bagi menurut cara mengatur berbagai ikatan, menjadi dua ikatan yaitu kategori: vertikal dan horizontal. Kedua kategori ini bersifat linear. Konsep dasar ini dapat diterapkan pada macam-macam hubungan antarpribadi. Misalnya, hubungan antara anak dan orang tua adalah hubungan vertikal, hubungan antara saudara kandung adalah horisontal. Hubungan antara atasan dan bawahan disebut hubungan horisontal sedangkan hubungan antara rekan sejawat adalah hubungan horisontal. Kedua jenis hubungan ini merupakan faktor yang amat penting dalam tata huubungan dan merupakan inti struktur suatu kelompok. Bergantung kepada masyarakatnya, kelihatan bahwa salah satu jenis hubungan dalam masa tertentu memiliki fungsi yang lebih penting daripada jenis hubungan lainnya, tetapi kadang-kadang kedua faktor ini sama fungsinya (Nakane, 1981: 26-27). Nakane Chie (1981: 175-176) menjabarkan secara jelas bagaimana orang Jepang membutuhkan persahabatan. Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja, seksi atau lembaga. Diluar itu dapat dikatakan orang luar. Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan perasaan yang sesungguhnya. Bila seseorang kebetulan membuat kesalahan dalam pekerjaannya, kawankawan sekelompoknya akan melindunginya. Bahkan dalam hal-hal yang semakin serius, sekalipun sesungguhnya tidak ada alasan yang masuk akal untuk dapat
Universitas Sumatera Utara
mempertanggung jawabkan tindakan atau perbuatannya itu, kelompoknya akan tetap melindungi dengan kekuasaan yang mereka miliki dan mereka tidak segan-segan mencari alasan untuk membenarkannya, betapapun tidak masuk akal emosinalnya. Mereka pada tiap waktu memihak kepadanya secara gigih belum tentu karena dia benar, tetapi semata-mata atas dasar bahwa ia termasuk kelompok mereka (Nakane, 1981: 174).
2.2.3 Kultur Indonesia Negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak keunikan. Sebagai negara yang berada diantara dua samudra dan dua benua, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis baik secara geografis dan ekonomi. Hal ini lebih ditunjang lagi dengan iklim tropis yang dimiliki Indonesia. Iklim ini menyebabkan negara Indonesia memiliki kesuburan yang menunjang pertanian dan kehutanan. Sejak dahulu kala, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki hasil alam dengan harga yang sangat tinggi dan dincar oleh negara-negara Asing dimulai dari kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia. Hal ini juga yang mendorong negara-negara tersebut datang dan menjajah negara ini. Indonesia sama seperti Jepang adalah negara kepulauan yang terdiri atas banyak pulau dan dipisah oleh lautan. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau. Tetapi berbeda dengan Jepang yang homogen (satu ras atau suku), Indonesia adalah negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan bahasa. Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini terjadi mungkin dikarenakan keadaan iklim dan geografis Indonesia. Indonesia adalah negara tropis yang memiliki banyak areal hutan yang lebat. Hal ini menyebabkan sekelompok orang disuatu wilayah bisa saja tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan sekelompok orang di wilayah lain dalam areal hutan yang sama. Setiap kelompok akhirnya membentuk bahasa dan kebiasaannya sendiri walaupun mungkin memilki kesamaan tetapi tidak ada yang memiliki kesamaan sampai seratus persen. Hal ini dapat dilihat di pulau Irian dan Kalimantan. Dua pulau ini terkenal dengan areal hutannya yang luas dan juga jumlah suku yang banyak. Suku dayak di Kalimantan saja misalnya, memiliki banyak variasi walaupun mereka mengatakan diri mereka sebagi suku dayak. Contoh lainnya adalah suku Batak yang berada di Sumatera, terdiri atas 5 suku batak seperti Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global (Wurianto, 2008:2). Dapat dibayangkan bahwa Indonesia yang dijadikan sebagi bahasa nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk indonesia yang bermukim di
Universitas Sumatera Utara
daerah urban. Indonesai sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyatan Jawa mncakup 8% penduduk urban. Satu contoh sak mengenai sebuah kalimat yaitu “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit” yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya Minangkabau (Wurianto, 2008: 2). Semua contoh diatas dapat menunjukkan keberagaman Indonesia. Hal diatas masih menyangkut bahasa yang dimiliki tiga suku yang berada di Indonesia. Dalam penerjemahan itu pun harus mempertimbangkan aspek budaya setiap suku. Bagaimana dengan budaya diplomasi Indonesia? Bagaimana menyampaikan kebulatan pendapat seluruh Indonesia di kancah internasional? Jika diplomat yang dikirim berasal dari suku Batak, apakah ia hanya akan membawa indetitasnya sebagai suku Batak di dunia Internasional? Sangatlah sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut, tetapi Indonesia memiliki Pancasila sebagai permesatu Indonesia. Pancasila memang bukan budaya Indonesia tetapi ideologi Indonesia. Keduanya memiliki kekuatan yang sama. Pancasila, selama NKRI ada tetaplah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia. Dia adalah indetitas Indonesia dan mencakup cita-cita bangsa Indonesia dan tentu saja memiliki pesan dari
Universitas Sumatera Utara
setiap suku di Indonesia yang menginginkan kedamaian dan kesejahtraan di Indonesia dan Dunia. Maka pertanyaan diatas dapat dijawab. Setiap diplomat Indonesia pergi ke Dunia Internasional dengan membawa indetitasnya sebagai seorang warga negara Indonesia, bukan sebagai orang Batak ataupun orang Jawa, bukan sebagai orang Papua ataupun orang Dayak, ia murni seorang manusia Indonesia. Dalam undang-undang Republik Indonesia No.37 tahun 1999 ditetapkan dasar dari politik luar negri Republik Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang 1945. sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan hubungan luar negeri didasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, seperti yang tersirat di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan itu Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah melaksanakan hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional maupun internasional. Pelaksanaan kegiatan hubungan luar negeri, baik regional maupun international, melalui forum bilateral atau multilateral, diabadikan pada kepentingan nasional berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif (
[email protected] diakses 2009). Pada pasal satu sampai pasal empat dalam undang-undang tersebut menjelaskan dasar hubungan diplomasi Indonesia. Berikut kutipan dari pasal satu samapi empat undang-undang tersebut: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG
Universitas Sumatera Utara
HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia. 2. Politik Luar Negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. 3. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. 4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri. 5. Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah. Pasal 2
Universitas Sumatera Utara
Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri didasarkan pada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara. Pasal 3 Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional. Pasal 4 Politik Luar Negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan.
Melihat kutipan tersebut sangatlah jelas kalau Indonesia menjadikan Pancasila dan Undang-undang 1945 sebagai dasar negara dan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam hubungan luar negri atau dengan kata lain hubungan diplomasinya. Undang-undang dikutip dari sumber terpercaya yaitu Direktur Jendral. Peraturan Perundang-undangan yang diakses dari
[email protected] sebagai situs resminya. Indonesia juga menyatakan kembali Prinsip Politik Indonesia Dalam Partisipasinya Pada ITU (International Telecomunication United) atau Organisasi Telekomunikasi Internasional di Plenipotentiary Conference ITU 2006 di Antalya , Turki dikutip dari Departemen Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi yang berada dalam situs resminya http://www.postel.go.id/update/id/baca_info.asp?id_info=496. Maka Sangatlah jelas disini kalau dalam politik luar negrinya Indonesia tidak mengenakan indetitas kesukuan bahkan agama.
2.3 Sejarah Diplomasi Jepang Indonesia Hubungan diplomasi yang dijalin oleh negara Indonesia dengan negara Jepang sudah mencapai umur setengah abad. Hubungan yang demikian lama tentu saja
Universitas Sumatera Utara
memiliki sejarah yang sangat panjang. Seperti yang dikatakan oleh Nevins dalam Nazir (1988 :55) sejarah adalah pengetahuan yang tetap terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Hal ini sangat penting untuk diketahui untuk mengntisipasi kesalahankesalahan yang terjadi di masa lalu agar tidak terjadi di masa kini dan di masa yang akan datang. 2.3.1 Awal Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia Pada abad kesembilan belas sampai tahun 1920-an, negara Jepang adalah negara yang belum lama mengalami restorasi. Pengalihan kekuasaan dari shogun (pejabat militer tertinggi di Jepang) kepada kaisar juga pembukaan diri besar-besaran kepada dunia luar setelah kurang lebih 350 tahun menutup diri memberikan dampak yang cukup besar. Banyak pemuda-pemudi Jepang yang mencari kehidupan ekonomi yaang lebih baik di Hindia Belanda (Indonesia dalam masa penjajahan Belanda). Didominasi oleh pekerja wanita Jepang yang bekerja sebagai wanita penghibur bagi pekerja perkebunan (Anonim, 2008: 34). Orang Jepang, yang semula merupakan warga kelas dua di Hindia Belanda bersama-sama dengan orang China dan Arab (Timur Asing), berubah statusnya pada akhir abad ke-19 menjadi “The Most Favoured Nation” yang sejajar dengan bangsa Barat. Kemudian pemerintah Hindia Belanda pun mengeluarkan larangan pekerjaan prostitusi karena merebaknya berbegai penyakit. Hal ini mengubah sikap dan mata pencarian orang Jepang di Hindia Belanda menjadi “lebih terhormat”, sebagian beralih dari menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi nyai pejabat Belanda. Perdagangan
Jepang
terus
berkembang
dengan
munculnya
toko-toko
dan
berkembangnya perusahaan besar Jepang yang membuka cabang di Hindia Belanda.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Indonesia
yang
masih
merupakan
jajahan
Belanda
mengalami
kesengsaraan. Pada tahun 1830-1870 Indonesia memasuki masa Culture stelsel. Pada tahun 1870-1900, Indonesia memasuki masa ekonomi liberal (Anonim, 2008: 34). Pada tahun 1930-an sampai awal 1940, dilatar belakangi oleh paham ultra nasionalisme, munculah generasi muda militer Jepang yang menduduki posisi strategis, dengan karakater “anti-Barat” yang sangat kuat. Dunia Internasional pada masa itu memberikan tekanan yang kuat terhadap Jepang secara ekonomi dan militer. Sedangkan latar belakang di Indonesia pada saat itu, pemerintahan Hindia Belanda bertindak dengan sangat represif terhadap gerakan radikal pemuda Indonesia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi bersifat kooperatif terhadap Pemerintahan Hindia Belanda (Anonim, 2008: 34). Pada masa yang sama, Jepang melakukan gerakan ekspansif yang politis. Jepang melakukan kegiatan propaganda melalui pers di Hindia Belanda dan memberikan dukungan terhadap pemuda Indonesia dengan beasiswa belajar ke Jepang. Jepang memberikan perhatian terhadap kelompok dan organisasi Islam. Jepang juga melakukan gerakan spionese (mata-mata) untuk mengamati keadaan masyarakat Indonesia dan system pertahanan Hindia Belanda (Anonim, 2008: 34). Secara ekonomi, pada tahun 1930-an Jepang juga melancarkan ekspansinya ke Hindis Belanda dengan berbagai cara. Jepang mendominasi pasar Hindia Belanda dengan menjual produk-produknya yang murah ke pasaran. Jepang menguasai rute pelayaran dan perdagangan strategis. Beroperasinya perusahaan Jepang yang mengolah hasil hutan dan hasil laut Hindia Belanda. Banyak Bank Jepang yang mendukung kegiatan perekomian Jepang di Hindia Belanda. Jepang juga melakukan diplomasi ekonomi dengan mengirim dua delegasi ekonominya ke Hindia Belanda pada tahun 1940 dan 1941 karena kebutuhan mendesak Jepang akan hasil bumi dari
Universitas Sumatera Utara
Hindia Belanda, terutama minyak. Karena banyaknya upaya yang dilakukan Jepang termasuk dukungannya kepada organisasi pemuda menimbulkan “good image” (imej baik) terhadap Jepang di Hindia Belanda di mata Indonesia. Karakter baik orang Jepang tersebut dikenal lewat interaksi orang Indonesia dengan pedagang atau tuan toko Jepang yang tampak ramah dan baik (Anonim, 2008: 34). Dilatar belakangi ideologis Jepang, Jepang memiliki cita-cita menjadi pemimpin
bangsa-bangsa
di
Asia.
Secara
ekonomis,
Jepang
berambisi
memenangkanperang Asia Timur Raya melawan Barat untuk menjamin tersedianya bahan mentah untuk kepentingn industry dan operasi militernya. Jepang pada akhirnya berhasil menduduki wilayah-wilayah Asia Pasifik. Kemenangan Jepang atas wilayah Asia Pasifik dan kedatangannya di Indonesia pada awlanya diterima dengan sangat baik oleh bangsa Indonesia. Hal ini dilatar belakangi oleh imej baik yang dibawa Jepang saat pemerintahan Hindia Belanda juga adanya ramalan kalau Jepang adalah negara yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan (Anonim, 2008: 34). Pada akhirnya, “good image” yang ditunjukkan Jepang pada masa pemerintahan Belanda hilang dan digantikan dengan kenyataan yang menyakitkan. Jepang datang layaknya negara-negara lain yang datang ke Indonesia yang tergila-gila dengan kekayaan melimpah negara Indonesia, menjajah Indonesia dengan sangat kejam. Jepang menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun tetapi penderitaan yang ditimbulkan melebihi kesengsaraan 350 tahun dijajah Hindia Belanda. Selama masa penjajahan itu, secara politik Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah administrasi yang beerdiri sendiri, dengan penguasa militr sebagai pemegang kekuasaab tertinggi. Jepang melakukan penataan kembali pemerintahan dalam negeri dari tingkat keresidenan (Shu) hingga rukun tetangga (Tonarigumi). Didalam
Universitas Sumatera Utara
kemiliteran, Jepang merekrut dan melatih pemuda-pemuda Indonesia secara militer, dengan membentuk satuan-satuan semi militer maupun militer yang beranggotakan para pemuda maupun pemudi Indonesia. (Anonim, 2008: 34) Di bidang ekonomi, Jepang menerapkan ekonomi perang (“War Economic Policy”) di Indonesia dengan tujuan untuk mengerahkan semua sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berada di Indonesia untuk kepentingan memenanggkan perang dan bukan untuk kepentingan Indonesia. Di segi social, Jepang mengrahkan sumber daya manusia u ntuk tenaga romusha (tenaga kerja paksa) dan jugun ianfu (pekerja tuna susila). Jepang juga menggunakan masyarakat, baik dari kalangan elite maupun tingkat bawah untuk dijadikan tenaga propagandis Jepang melalui organisasiorganisasi bentukan mereka. Di segi budaya, Jepang melarang kebudayaan Barat dan berupaya mengembangkan kebudayaan tadisional Indonesia untuk tujuan propaganda (Anonim, 2008: 34). Pada tahun 1945, Jepang menyatakan kalah dalam perang yang kita kenal sebagai Perang Dunia II. Pernyataan kalah ini tidak lama setelah penjatuhan bom nuklir diatas kota Hiroshima danNagasaki. Pernyataan kalah perang ini menandai akhir penjajahan Jepang di Indonesia. Indonesia yang mendengar pernyataan ini lewat radio segera memprokalmirkan kemerdekaan. Pada pertengahan tahun 1945 sampai dengan 1950-an, keadaan Jepang sangat parah setelah kekalahannya dalam perang tersebut. Mereka melakukan upaya pembangunan dan pemulihan di dalam negri setelah kekalahan yang meluluh lantakkan negara dan ekonomi mereka. Sedangkan Indonesia saat itu sedang disibukkan oleh perang melawan kedatangan tentara Belanda dan pergolakanpergolakan daerah, serta pertentangan antar elite nasional. Dikarenakan kekejaman Jepang selama penjajahannya, memberikan imej buruk terhadap Jepang di mata
Universitas Sumatera Utara
indonesia. Walaupun demikian, memang ada kesadaran, bahwa penjajahan Jepang itu memberikan dampak positif terhadap kehidupan bangsa Indonesia, terutama secara militer dan mental dalam menghadapi kedatangan tentara sekutu dan Belanda saat revolusi 1945-1949. Pada awal 1950-an, kedua negara mulai membahas masalah pampasan perang sebagai bentuk penggantian kerugian yang diakibatkan oleh Jepang di Indonesia pada masa perang. Indonesia membuka kantor perwakilan Indonesia di Tokyo dilanjutkan dengan Konsulat Jendral sebagai langkah awal mempermudah perundingan mengenai pampasan perang (Anonim, 2008: 34) Sejak bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1956, Jepang telah memainkan peranan penting sebagai anggota masyarakat Internasional. Jepang juga menjadi anggota G8. Hubungan dengan negara-negara Asia lain merupakan prioritas khusus bagi Jepang. Jepang aktif terlibat dalam berbagai kegiatan yang ditunjukkan untuk mencapai perdamaian, kemakmuran, dan stabilitas di dunia. Jepang memberikan konstribusi bagi penyelesaian isu-isu global, misalnya memerangi terorisme, membantu menjamin pertumbuhan ekonomi dunia, dan melindungi lingkungan. Pada bulan April 1958, diadakan penandatangan pembukaan hubungan diplomatik antara Jepang dengan Indonesia. Sejak 1958, kedua Negara banyak melakukan penandatangan persetujuan dan pertukaran nota, yang mengatur tentang kerja sama ekonomi. Kedua negara menyepakati pampasan perang sebesar lebih kurang 400 juta dollar AS. 223,08 juta dollar AS, dalam bentuk barang, modal dan jasa, sisanya dalam bentuk pinjaman lunak. Beberapa kategori program yang disepakati dalam perjanjian pampasan perang antara lain; transportasi dan
Universitas Sumatera Utara
komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan dan jasa atau pelayanan (Anonim, 2008: 34).
2.3.2 Permasalahan dalam Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia Hubungan Diplomasi Jepang dengan Indonesia memang sudah berlangsung lama. Tetapi tetap saja tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahan yang terjadi sangat banyak tetapi tidak sampai membawa keduanya dalam hubungan paling buruk berupa pemutusan hubungan diplomatik kedua Negara. Buktinya, kedua negara masih tetap menjalin hubungan diplomatik hingga saat ini. Permasalahan yang paling awal dalam hubungan kedua negara adalah imej buruk yang ditinggalkan Jepang di masa penjajahannya. Catatan masa lalu itu dengan segala eksesnya, termasuk yang masih sering digugat sampai saat ini. Seperti yang dikatakan sebelumnya, penjajahan Jepang di Indonesia sangatlah menyengsarakan rakyat Indonesia. Mulai dari kekejaman yang dialami para pekerja paksa yang dikenal dengan nama romusha sampai dengan pelecahan seksual yang dialami perempuan Indonesia yang dihimpun dalam jugun ianfu. Permasalahan ini tidak akan pernah dapat dilupakan bahkan dihapus oleh sejarah hubungan diplomatik kedua negara. Hal tersebut akan selalu diingat oleh rakyat Indonesia (Sukarjapura, 2008: 33). Permasalahan yang lain adalah tragedi 15 Januari tahun 1974 yang dikenal dengan Pristiwa Malari. Tragedi Malari adalah salah satu lembaran hitam hubungan Indonesia denag Jepang, yang juga terkait denga sejarah masa lalu kedua Negara. Ekspansi ekonomi Jepang yang luar biasa di Indonesia diasosiasikan kembali dengan penjajahan Jepang terhadap Republik Indonesia, tetapi dalam bentuk lain, yaitu penjajahan ekonomi (Sukarjapura, 2008: 33).
Universitas Sumatera Utara
Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan (Anonim, 2008:1). Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan (Adam, 2008: 1). Pristiwa Malari tidak terlepas dari potret hubungan kedua negara yang tetap saja asimetris. Jepang dengan dana bantuan pembangunannya (ODA) sangat berperan besar dalam proses pembangunan di Indonesia. Sebaliknya, kekayaan alam Indonesia dalam bentuk gas, minyak, dan lainnya sebagian besar dijual ke Jepang (Sukarjapura, 2008: 33). Di sisi lain, ODA Jepang itu pun sebagian besar diberikan dalambentuk pinjaman (berkisar antara 65-68 persen) sehingga Republik Indonesia praktis terus menumpuk utang kepada Jepang untuk membiyai pembangunannya, terutama pada era pemerintahan Soeharto. Dalam kondisi demikian, “perlawanan” dilakukan sejumlah warga Indonesia dengan membuat dan menampilkan film yang
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan kekejaman Jepang saat menjajah Republik Indonesia. Hasilnya hubungan Republik Indonesia dengan Jepang praktis terganggu karena banyak politisi Jepang yang gerah dan menganggap ada “aksi perasaan anti Jepang” di Indonesia pada akhir 1983 hiungga awal 1984. Akan tetapi, hubungan ekonomi kedua Negara yang sangat kuat tidak lantas membuat hubungan kedua Negara terganggu (Sukarjapura, 2008: 33) .
Universitas Sumatera Utara