KOMUNIKASI BUDAYA ANTARA JEPANG DAN INDONESIA Robihim Dosen Program Studi Bahasa Jepang, Universitas Darma Persada, Jakarta
Abstract This paper not only emphasizes how people of Indonesia and Japan differ in speech, but how they act anta rorang and how they follow the rules that govern the behavior of covert community members. It has been known for thousands of anecdotes about intercultural misunderstandings due to communication between people from different cultures. Because of the large number of pairs of cultures, and because of the possibility of misunderstandings based on the form of verbal and nonverbal behavior between each pair of culture as large, then there are many anecdotes about things that might be made about intercultural. One who successfully characterized the Japanese are Shinto and Buddhism teachings. Shinto is Japan's original teachings of Buddhism while originating from China is delivered to Japan by Chinese traders who came to Japan and Japanese students sent at that time to study Buddhism. However, strangely it is not Buddhism developed in China, but highly developed in Korea and Japan. Buddhism later gave birth to Confucian teachings, which further the doctrine is taught by a Chinese sage, named Kong Zui. He taught moral ethics of the ideal system to build relationships within the family and the state in a harmonious unity. Keywords: Communication, behavior, Japanese, Sundane
PENDAHULUAN Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam keba-nyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku non-verbal dalam budaya lain. Kadangkadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang
salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman. Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian ki-ta itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentukbentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing se-ring mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
169
melalui media massa merupakan peng-alaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaanperbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri de-ngan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bah-wa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal. Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khu-sus-nya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cen-derung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki peng-alaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998). Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara Indonesia dan Jepang ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan Jepang. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang Indonesia dan Jepang berbeda dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak anta rorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyarakat. PEMBAHASAN 1. Dimensi Ragam Budaya Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya an-tara orang-orang dari budaya yang berbedabeda. Karena besarnya jumlah pasangan b udaya, dan karen a kemun g ki n an kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan 170
memahami banyak-nya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.
a. Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyum-an, sentuhan, kontak mata, jarak yang de-kat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antar-personal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orangorang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orangorang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan. Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negaranegara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negara-negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.
b. Individualisme dan Kolektivisme Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka b e r k o m un i k a s i . K a j i an n y a t e n ta n g individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semua-nya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Ti-mur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Ting-kat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempu-nyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif ku-rang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980). Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai uta-ma dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara
nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.
c. Feminin dan Maskulin Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan. Ciri-ciri khas maskulin biasanya disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan ciri-ciri khas femi-nin dihubungkan dengan kasih sayang, pengasuhan, dan emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun ada varia-si yang cukup banyak dari ne-gara yang satu dengan yang lain (Hall, Edward T., 1976). Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan, sedangkan bu-daya feminin lebih mementingkan pengasuhan dan perasaan. Tidak heran, maskulinitas suatu budaya dihubungkan secara negatif dengan persentase wanita dalam pe-kerjaan teknis dan profesional serta dihubungkan secara positif dengan pemisahan kedua jenis kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan maskulinitas tertinggi adalah Jepang, Austria, Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas terendah adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia yang semuanya negara Skandinavia atau Ame-rika Selatan kecuali Thailand. Indonesia ditempatkan di urutan ke30 dan Korea di urutan ke-41.
d. Kesenjangan Kekuasaan Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan (IKK). Budaya dengan nilai IKK tinggi mem-punyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit orang daripada terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah Filipina, Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara tersebut semuanya negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali Perancis. Negara dengan
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
171
IKK terendah (mulai dari yang pa-ling rendah) adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru, dan Irlandia. Dalam hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat tinggi dan Jepang berurutan ke-27. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak sopan dan menenangkan atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa garis lintang dan iklim merupakan kekuatan utama dalam membentuk budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di iklim yang lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih banyak belajar dari orang lain daripada tokohtokoh penguasa. Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri, 2001). Senyum yang terus menerus yang dilakukan orang -orang Timur mungkin merupakan usaha untuk menenangkan atasan atau meng-hasilkan hubungan sosial yang lebih mulus mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber -IKK tinggi.
e. Konteks Tinggi dan Rendah Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah konteks. Hall (1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil. Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “diatur, eksplisit, dan disampaikan”. Teman yang sudah lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pe-san implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, se-nyuman, atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan. Dalam situa-si atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari 172
lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa dida-patkan dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer me-nun-tut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja. Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupa-kan budaya-bu-daya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eks-plisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bah-wa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan po-kok masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984). Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR. Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih tampak dalam budaya KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orang-orang dari budaya KR sering dianggap terlalu cerewet, mengulang-ulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari bu-daya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal seperti budaya KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap lebih menarik oleh orang Amerika, tetapi orang yang ku-rang banyak bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu budaya berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak menggunakan komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR, dan khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak da-pat merasakan komunikasi nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi nonverbal memberikan konteks
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
untuk semua komunikasi, tetapi orang-orang dari budaya KT sangat dipengaruhi isyaratisyarat kontekstual. Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan, kecepatan interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal lainnya dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi orangorang dari budaya konteks tinggi. Terakhir, orang-orang dari budaya KT meng-harap-kan lebih banyak komunikasi nonverbal dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang dari budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami perasaan yang tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang dari budaya KR. 2. Struktur Sosial dan Nilai Masyarakat Jepang dan Indonesia Jepang dalam sepanjang sejarahnya sangat penting artinya dari sudut strategi. Hal tersebut dikarenakan kepulauan Jepang itu terletak di tengah tiga negara besar yaitu Korea, Cina, dan Rusia. Selain itu, sampai akhir masa abad ke-19 Kepulauan jepang sudah lama menjadi jembatan peng-hubung antara kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi dari daratan Cina dengan semenanjung Korea. Letak geopolitik kekaisaran Jepang sebagai sebuah kepualuan yang berfungsi sebagai jembatan peng-hubung itu telah memberikan keuntungan dan kerugian. Di satu sisi kekaisaran Jepang dapat dengan mudah menyerap seni budaya dari negara tetangga, tetapi sebaliknya senantiasa menjadi sasaran dari negara-negara tetangga yang agresif Salah satu yang berhasil dicirikan Jepang adalah ajaran Shinto dan Budhisme. Ajaran Shinto merupakan asli Jepang sedangkan Budhisme yang berasal dari Cina ini disampaikan ke Jepang melalui pedagang Cina yang datang ke Jepang dan pelajar-pelajar Jepang yang dikirim pada masa itu untuk mempelajari Agama Budha. Namun, anehnya justru ajaran Budha ini tidak berkembang di Cina, namun sangat berkembang di Korea dan Jepang. Ajaran Budha selanjutnya melahirkan ajaran Konghuchu, yang selanjutnya ajaran ini diajarkan oleh seorang bijak dari Cina, yang
bernama Kong Zui. Beliau mengajarkan sistem etika moral yang ideal dengan membangun hubungan dalam keluarga dan negara dalam kesatuan yang harmonis. Kong Zui yang diperkirakan hidup pada abad 6 Sebelum Masehi mengungkapkan hubungan tersebut pada dasarnya adalah sebuah sistem subordinasi dari hubungan: 1. Ayah dan anak (orang tua dan anak) 2. Yang tua dan yang muda 3. Suami dan istri 4. Pertemanan 5. Penguasa dan Masyarakat Ajaran konfusianisme sangat menitikberatkan kesetiaan kepada raja dan kerajaan (negara), moral, dan pembaktian kepada orang tua. Di samping itu menekankan pada perbuatan yang sepatutnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara bermasyarakat dan cara mendidik. Bahkan, untuk tata cara bermasyarakat yang sangat tinggi. Masyarakat (bangsa) Cina memberi gelar masyarakat Korea dengan sebutan the country of eastern decorum atau orang ramah dari timur. Hal tersebut berkat ajaran konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata nilai yang ada dalam masyarakat Korea. Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah Indonesia, khususnya suku Sunda. Masyarakat Sunda sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan santun. Meskipun ada sebagian yang berasal dari daerah pesisir yang dipandang “kurang memenuhi syarat“ sebagai orang Sunda, namun suku Sunda tetap merupakan suku yang terkenal dengan keramahannya karena biasanya yang dipandang orang Sunda adalah orang Sunda yang bertempat tinggal di bagian te-ngah Jawa Barat (Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Sukabumi). Ada begitu banyak kesamaan dalam tata nilai masyara-kat, di antaranya selalu menempatkan orang lain sesuai dengan usianya, kedudukan sosial/ strata sosialnya, atau dengan kata lain pola hubungan yang berlaku lebih cende-rung vertikal daripada horizontal. Di samping itu, masyarakat Shintoisme Jepang dan masyarakat Sunda sangat mementingkan kekeluargaan. Walaupun dalam keadaaan tidak mampu, mereka tidak dapat melupakan rasa bakti me-re-ka terhadap
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
173
orang tua. Baik di saat orang tua hidup maupun ketika sudah meninggal. Begitu dekatnya hubungan ke-kerabatan sampai ada peribahasa Sunda yang menyatakan Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok yang berarti walaupun susah apabila dikerjakan terus dengan sungguhsungguh pasti bisa. Seperti motto orang Jepang yang selalu mengatakan Ganbare (berjuanglah) yang dipentingkan di sini adalah rasa kebersamaan hidup dan bersungguh-sungguh berjuang demi kehormatan keluarga dan negara. Namun demikian, ada kesamaan nilainilai yang sekarang dipandang tidak meng-hargai harkat perempuan, yaitu hubungan keluarga pada masyarakat shintoisme Jepang lebih berarti daripada hu-bungan suami istri. Dapat dikatakan bahwa suami lebih mendengar perkataan ibunya daripada istri-nya sendiri. Bahkan ada peribahasa Jepang yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih kental daripada air. Jadi, untuk masyarakat Konfusianis Jepang, istri masih dianggap sebagai orang lain. Begitupun masyarakat Sunda menganggap istri hanya sebagai batur sakasur atau teman setempat tidur, sedangkan perbedaan nilai-nilai di antara masyarakat Shintoisme Jepang dan ma-sya-ra-kat Sunda, yaitu: 1. Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal ini tidak terdapat dalam ma-syarakat Sunda, karena hubungan kekerabatan masyarakat SUnda dihitung dari pihak maternal dan pa-ternal, atau dengan kata lain bersifat bilateral descend. Sedangkan hubungan kekerabatan masyarakat Jepang bersifat paternal, dan begitu kuatnya prinsip konfusianisme ini sampai tercermin dalam “prefiks” bahasa Jepang. 2. Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar klan darahnya. Masyarakat Sunda tidak mengenal klan seperti Jepang. Namun pada masyarakat Sunda kuno, perkawinan justru diharapkan terjadi di antara kerabat jauh mereka. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan “tulang” yang tercerai berai agar utuh kembali. 3. Pernikahan diadakan sebagai perpanjangan dari keluarga yang ada. Prinsip ini biasanya me-rupakan salah satu 174
tujuan dari pernikahan selain membentuk keluarga baru. Namun, pada masyarakat Shintoisme Jepang lama atau kuno secara te -gas berprinsip bahwa kehadiran suatu pernikahan hanya untuk satu tujuan pokok, yaitu mempersembahkan anak lelaki sebagai penerus keluarga. Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama dalam ajaran konfusius, bila tidak melahirkan anak lelaki bagi suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Sunda tidak ada ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa tidak mengenal marga atau klan seperti masyarakat Shintoisme Jepang, namun memang sangat dihargai bila “si sulung” merupakan anak laki-laki, yang nantinya diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat keluar-ga.
4. Perceraian tidak hanya “dilakukan” oleh suami/isteri. Perceraian dapat disebabkan bebe-rapa macam, namun yang berbeda bagi masyarakat Sunda adalah perceraian dapat “dilakukan” oleh selain suami/isteri. Yang dimaksudkan di sini adalah ini-siatif perceraian dapat diberikan oleh ayah suami, bahkan kakek suami pada jaman Jepang lama. Hal tersebut jarang terjadi pada ma-syarakat Sunda, itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan pihak “yang sok berkuasa” . 5. Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan . Bila mendamba-kan seorang anak laki-laki untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya yang terjadi pada masyarakat Sunda adalah “mengambil isteri baru”. Dengan adanya pernikahan baru tersebut diharapkan “isteri muda” dapat dipersembahkan “sang pene rus keluarga”. Namun, berbeda dengan masyarakat Shintoisme Jepang yang melakukan upa-ya adopsi untuk mencari penerus keluarga. Namun, adopsi yang dilaku-kan pun berbeda, hanya dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat yang mempunyai anak laki-laki pada zaman Jepang lama pula. 3. Sopan Santun dan Kebiasaan di Jepang dan Sunda
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
Sopan santun merupakan jalan bagaimana seseorang dapat mendisiplinkan diri mereka dan bagaimana dapat diterima dalam menjalin suatu hubungan. Di Jepang, rasa hormat dan sopan santun menjadi aspek penting dalam kehidupan. Di Sunda kerukunan dan kehormatan menjadi aspek penting dalam pergaulan. Seseorang diharapkan agar tidak memacu konflik dalam bersikap, dan dalam cara berbicara serta membawa diri dituntut untuk selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain se-suai dengan de-rajat dan kedudukannya. Orang Korea menjunjung tinggi senioritas, sedangkan di Sunda lebih menekankan status. Baik di Sunda maupun di Jepang mengetahui secara rinci me-nge-nai lawan bicara adalah hal yang wajar dalam pembicaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status lawan bicara dan bagaimana kita bersikap. Menolak untuk memberi jawaban juga bukan merupakan hal yang tidak sopan jika kita melakukannya dengan sikap sopan pula. Orang Jepang dan orang Sunda pada dasarnya adalah orang yang ramah. Akan tetapi, orang Jepang tidak begitu mudah mengekspresikan perasaan mereka dan sangat membatasi kontak fisik. Ketika bertemu dengan seseorang, orang Jepang hanya mengangguk secara sopan atau membungkuk. Berjabat tangan bukanlah hal yang biasa sedangkan di Sunda hal ini biasa terjadi. Akan tetapi, bila seseorang telah mengenal orang Jepang dengan dekat, rasa kekeluargaan akan lebih te-rasa, dan akan lebih sering terjadi kontak fisik antarteman atau antar kenalan.
a. Sopan Santun di Muka Umum Membuang ingus di tempat umum, adalah hal yang tidak sopan di Jepang. Te-ta-pi, bersenda-wa, masih bisa diterima. Di Sunda, baik membuang ingus maupun ber-sen-dawa di depan umum adalah hal yang tidak sopan. Di Jepang, mendorong-dorong dari belakang ketika berada di tempat ramai ada-lah hal yang biasa. Akan tetapi, bila ini dilakukan di Sunda, kadang bisa menyulut keributan. Apabila seseorang bermaksud untuk lewat atau terburuburu, perlu untuk mengucapkan kata “Punten” atau “Permisi”.
Di Sunda dan Jepang terdapat fenomena yang dianggap wajar jika laki-laki saling berangkulan atau wanita saling bergandengan tangan. Hal ini merupakan ekspresi keakraban atau bila melihat dua orang pria dewasa berjalan sambil berangkulan. Adapun wanita yang berjalan bersama sambil bergandengan ta-ngan adalah hal yang biasa. Baik di Jepang maupun di Sunda, bila ada sepasang kekasih berpelukan atau berciuman di depan umum dianggap tidak sopan.
b. Sopan Santun di Meja Makan Pada umumnya sopan santun di meja makan antara orang Jepang dan Sunda dapat dikatakan hampir sama. Ketika sedang makan, kita tidak boleh bercakap terlalu banyak, tidak boleh mengunyah hingga menimbulkan suara, dan berusaha jangan sampai ada makanan yang tercecer. Tunggulah orang yang lebih tua untuk duduk terlebih dahulu, dan orang muda tidak boleh mendahului orang tua ketika makan. Akan tetapi, di Sunda, tuan rumah biasanya mempersilahkan tamu untuk memulai hidangan terlebih dahulu. Apalagi, jika tamu adalah orang yang lebih tua atau dihormati. Tidak seperti di Jepang dan Cina, negara tetangga Korea, yang menggunakan sendok untuk makan nasi dan sup, dan sumpit hanya digunakan untuk mengambil hidangan sampingan atau lauk pauk lainnya yang tersedia. Ketika makan, orang Jepang mengangkat mangkuk tempat sup atau nasi. Tidak seperti orang Korea tidak mengayun-ayunkan sumpit, dan tidak menancapkan sendok atau sumpit di atas nasi karena dianggap seperti memberi makan orang mati. Jika hal ini dilakukan tamu, dianggap mempermalukan orang yang menjamunya. Bila selesai makan, sendok dan sumpit diletakkan secara rapi di samping mangkuk, jika sendok dan sumpit diletakkan di mangkuk nasi atau sup, dianggap belum selesai makan. Orang Sunda makan dengan dua cara. Ada yang menggunakan sendok, dan ada pula yang menggunakan tangan. Aturan makan dengan sendok sama seperti kebiasaan orang barat, hanya saja per-alatan-nya lebih sederhana, terbatas sendok nasi dan garpu saja.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
175
c. Kebiasaan yang Berhubungan dengan Senior Baik orang Sunda maupun Jepang, sangat menghormati orang tua. Kita tidak boleh berbicara sambil membelakangi atau menatap mata mereka ketika berbicara, karena hal ini tidak sopan. Bila menerima atau memberikan sesuatu kepada orang tua, kita harus menggunakan kedua tangan kita. Di Jepang, dalam hal berjabat tangan, orang mu-da harus menunggu ajakan orang yang lebih tua, sedangkan di Sunda kebalikannya, orang yang lebih mudalah yang mengajak berjabat tangan. Kemudian, orang Sunda bila berjalan di hadapan orang yang lebih tua akan membungkukkan badan, sedangkan di Jepang tidak perlu. Saat minum, di Jepang orang yang lebih muda harus memiringkan tubuhnya ketika minum agar tidak dilihat secara langsung oleh orang yang lebih tua. Akan tetapi, jika berhadapan dengan orang yang beda usianya tidak terlalu jauh, mereka tidak perlu melakukannya, sedangkan di Sunda, hal ini tidak perlu dilakukan.
d. Kebiasaan Bertamu dan Mengundang Saat berkunjung ke rumah orang Jepang, pengunjung perlu untuk membuka alas kaki dan merapikan dengan posisi alas kaki menghadap keluar rumah, sebaiknya tamu menggunakan kaos kaki atau stoking karena bertelanjang kaki di hadapan orang tua dianggap tidak sopan. Di Jepang juga terdapat kebiasaan untuk membawa bingkisan bila berkunjung ke rumah seseorang. Di Sunda juga ada kebia-saan melepas alas kaki bila berkunjung ke rumah seseorang, tetapi bertelanjang kaki di hadapan orang tua tidak menjadi suatu masalah yang dianggap serius. Di Jepang tidak ada kebiasaan “go Dutch” atau membayar sendiri-sendiri. Apabila kita berada di Jepang, kita harus siap untuk menjamu atau dijamu. Akan tetapi, di sana ada kebiasaan bahwa orang yang lebih tua yang akan menjamu yang lebih muda karena mereka merasa bertanggung jawab kepada yang lebih muda dan merasa perlu untuk menjaga yang lebih muda. Di Sunda juga tidak dikenal budaya 176
“go Dutch”, yang mengundang atau yang mengajak adalah yang ber-kewajiban untuk membayar atau menjamu.
e. Kebiasaan Lain Di Jepang, orang tidak menulis dengan tinta merah ketika memberikan alamat, atau pesan kepada seseorang. Tinta merah memiliki arti kemarahan atau ketidakramahan. Bagi orang Jepang, angka 4 adalah angka sial. Angka ini berarti “mati”. Oleh karena itu, bila kita mengundang tamu orang Jepang, jangan memesan kamar no 4 atau kamar yang berada di lantai 4. Bagi orang Sunda, tidak ada angka sial, tetapi mungkin karena adanya pengaruh barat, ada orang Sunda yang menganggap angka 13 sebagai angka sial. Akan tetapi, orang Jawa menganggap hari-hari tertentu sebagai hari keramat, seperti Jumat dan Selasa Kliwon, serta malam 1 Suro. 1 Suro dianggap sebagai hari para raja, karena itu biasanya pada hari-hari itu orang Sunda tidak mengadakan pesta pernikahan atau syukuran. 4.
Perilaku Nonverbal Indonesia dan Jepang
a. Bentuk Ekspresi Metode hubungan sosial orang Indonesia dan Jepang di mana orang berpurapura menyukai sesuatu walaupun jelek dan berpura-pura tidak menyukai sesuatu wa-laupun bagus, tentunya mempunyai implikasi yang berbeda dengan metode orang Ame-rika yang membedakan dan menganalisa semua hal di muka umum. Orang Indonesia cenderung bergerak dari hal-hal yang khusus dan kecil ke hal-hal yang umum dan lebih besar. Mereka mulai dari masalah-masalah pribadi dan lokal dan berkembang ke masalah-masalah yang menyangkut negara dan bangsa. Namun orang Korea cen-de-rung melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak untuk memulai dari bagian yang umum atau besar dan kemudian menyempit ke fakta-fakta yang khusus. Orang Jepang menulis alamat mulai dari nama negara, propinsi, kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor rumah dan nama orang. Namun, di Indonesia, mulai dari nama orang,
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama negara. Dalam hal nama pun, orang Jepang meletakkan nama keluarganya lebih dulu dan baru diikuti namanya sendiri, sedangkan di Indonesia sebaliknya. Adapun baik orang Indonesia maupun orang Jepang menjawab “ya”, ini tidak selalu berarti mengiyakan, tetapi hanya berarti “saya mengerti keadaanmu, silakan lanjutkan ...”, tidak berarti persetujuan atau niat untuk menuruti si pembicara. Jika seseorang menerima jawaban ‘ya’ dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda persetujuan, sering timbul kesalahpahaman, dan tampak bahwa orang itu belum cukup mengerti pikiran lawan bicara. Ini sama halnya sewaktu seseorang mengatakan “Anda tidak perlu melakukan ini” atau “Silahkan terima hadiah ini” ketika ada orang lain yang mem-bawakan hadiah atau benda berharga lainnya. Jika dia menerima begitu saja ha-diah itu, dia dianggap tidak sopan. Selain itu, kedua msyarakat memiliki persamaan tentang cara berpikir yang lebih cenderung ke emosional dibandingkan rasional. Orang Indonesia dan Jepang memecahkan masalah berdasarkan emosi. Ketika orang minta tolong pada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa orang yang dimintai tolong harus memecahkan persoalan tersebut walaupun tanpa memperhitungkan akal sehat. Maksudnya, walaupun orang yang minta tolong mengetahui bahwa hal itu tidak sah atau bertentangan dengan aturan masyarakat, dia mengharapkan masalah atau kesulitan itu bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan menggunakan “alfa”-nya. Dalam hal ini, orang berorientasi rasional mungkin menolak dengan mengatakan hal itu tidak sah atau mustahil, tetapi dalam masyarakat Indonesia dan Jepang, seseorang mungkin berpikir bahwa satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah, dan biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan dipecahkan dengan cara atau metode “alfa”-nya. Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam diri manusia, sedangkan alam hanya merupakan latar belakang bagi umat manusia. Namun sebaliknya de-ngan orang
Indonesia dan Jepang. Sebagai contoh, dalam lukisan Renaissance sumber dari sebagian seni Barat, alam adalah latar bela-kang yang kabur bagi manusia di masa mudanya. Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Jepang atau Indonesia meng-alamkan manusia. Hampir semua sampul majalah Time bergambar manusia, sedangkan sebagian besar sampul majalah Jepang bergambar alam tanpa manusia di latar belakangnya. Dari segi hubungan kekerabatan, terdapat konsep persamaan di antara orang Indonesia dan Jepang. Hubungan lebih cenderung vertikal daripada horisontal. Tiap orang relatif lebih tinggi atau lebih rendah. Dalam keluarga pun semua dalam hubu-ng-an vertikal: kakak laki-laki terhadap adik laki-laki, kakak perempuan terhadap adik pe-rem-puan. Bahkan, anak kembar pun tidak sederajat, yang lahir lebih dulu adalah ka-kaknya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Di dalam kedua masyarakat tiap orang dianggap sebagai individu yang memiliki seluruh hubung-an ma-nusia mirip dengan hubungan keluarga. Hal itu dapat dicontohkan dengan memanggil orang yang lebih tua kakek, nenek, kakak, paman, atau bibi, dan mereka memanggil orang yang lebih muda adik.
b. Bentuk Perilaku Nonverbal Perilaku nonverbal yang terdapat antara masyarakat Jepang dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dirinci sebagai berikut. • Orang Indonesia maupun orang Jepang menganggap kontak mata sebagai tantang -an dan tidak boleh dilakukan kepada orang yang dihormati atau lebih tua. • Di Indonesia, acungan jempol berarti ‘bagus’ atau ‘oke’ dan mengacungkan jempol ke arah bawah berarti ‘jelek’ atau ‘merendahkan’, sedangkan di Jepang acungan jempol berarti ‘punya pacar’ bagi wanita. • Orang jepang menghitung dengan melipat jarinya dari ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan satu tangan, sedang orang Indonesia dengan cara membuka tangan dari ibu jari berurutan
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
177
•
•
•
•
•
•
•
• 178
ke arah kelingking dengan dua tangan. Terdapat konotasi seksual antara Indonesia dan Jepang dalam menggunakan jari dan tangan. Di Indonesia, tabu untuk menunjuk dengan jari tengah. Di jepang, meletakkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah pada tangan yang sama atau menggosokkan telapak tangan yang terbuka di atas kepalan tangan yang lain berarti hubungan seksual. Di Jepang, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk berarti ‘uang’, sedang di Indonesia, ini berarti ‘beres’. Adapun melambaikan tangan dengan telapak meng-hadap keluar dan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’. Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan (menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua) menggunakan ibu jari, sedangkan di Korea menunjuk sesuatu dilakukan dengan jari telunjuk. Di Indonesia, meletakkan jari telunjuk miring menempel di jidat menyatakan ‘gila’, sedangkan di Jepang hal itu dinyatakan dengan membuat lingkaran berkali-kali de-ngan jari telunjuk di jidat. Orang Jepang menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan menunjuk dadanya dengan jari jempol, sedangkan orang Indonesia untuk menunjuk pada dirinya sendiri menepuk atau menunjuk pada dadanya. Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Jepang menyatukan jempol dan telunjuk kemudian digerakkan, sedangkan bagi orang Indonesia hal tersebut dianggap sebagai pernyataan bahwa orang yang melakukan hal tersebut sedang menyepelekan sesuatu, atau menganggap sesuatu itu mudah sekali. Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak punya uang, cukup de-ngan menggabungkan jempolnya dengan telunjuk dan kemudian digerak-gerakkan. Melambaikan tangan dengan telapak
•
•
•
•
menghadap ke luar dengan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’ di Indonesia, sedang di Jepang itu berarti mengundang orang untuk mendekat. Berbeda dengan Amerika, baik orang Jepang maupun Indonesia menggunakan telapak tangannya untuk menulis. Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua dengan sedikit membungkukkan punggung ketika berjalan melewati orang yang lebih tua, sedangkan di Jepang tidak terdapat hal seperti itu. Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti ‘uang’, sedangkan di Jepang ‘uang’ ditunjukkan dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk. Sebagai bentuk salam, umumnya orang Indonesia menggunakan jabat tangan dan cium pipi, sedangkan di Jepang membungkukkan badan. Dalam hal membungkuk terdapat perbedaan pula antara Indonesia dan Jepang. Di Indonesia umumnya yang muda mengajak mengangguk atau mendahului jabat tangan kepada yang lebih tua, di Jepang menunggu orang tua terlebih dahulu melakukannya.
SIMPULAN Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan atau mengingkari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka belajar membaca bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa kedua negara mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda. Diketahui pula bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara kedua negara itu mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang lain aneh dan lebih rendah. Namun, ti-dak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras standar, atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar dalam hidup di mana pun sama saja. Hal-hal tersebut bukannya sama sekali berbeda, hanya
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 1, Juni 2011
cara orang mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat salah, dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi berusaha memahami satu sama lain, karena keba-nyakan masalah ini timbul dari perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena unsur kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang harus mengenal adat kebiasaan negara yang dimaksud. DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta: Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan. Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc.
Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden City, N.Y.: Anchor Press Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International Differences in Work-Related Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of Pennsylvania Press Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Tahun 10, No. 2, Juli 2011
179