Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
PLURALISME AGAMA DAN POLA KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DI INDONESIA Zaenal Abidin Fakultas Dakwah dan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri IAIN Mataram Email:
[email protected] Abstrak Istilah pluralisme dewasa ini menjadi isu yang selalu diwacanakan baik di kampus maupun di seminar-seminar. Kata pluralisme pada dasarnya memiliki pandangan bahwa realitas itu tidaklah tunggal, akan tetapi berlapis dan jamak. Sedangkan budaya merupakan bentuk jamak dari buddhi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi manusia. Dalam bahasa Inggris budaya disebut culture. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampain pesan yang dapat mengubah audience. Dalam tulisan akan membahas pluralisme agama dan mengaitkan dengan komunikasi antar budaya, karena antara kebudayaan dan komunikasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karenaya, tulisan ini menyimpulkan bahwa metode manusia dalam berkomunikasi selalu melintasi komunitas manusia-yakni bagaimana manusia menjajaki makna, model tindakan yang telah diartikulasikan oleh suatu kelompok sosial yang melibatkan interaksi antar manusia. Tidak hanya itu komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda secara kebudayaan seperti suku, bangsa, ras dan kelas sosial. Maka dari itu, pola komunikasi yang efektif apabila mampu menunjang keefektifan dari komunikasi yang sedang berlangsung sehingga pola komunikasi dapat memberikan model komunikator yang bisa mengkomunikasikan pesan-pesan kepada komunikan dalam membangun suatu interaksi sosial, keagamaan dan kebudayaan. Kata Kunci: Pluralisme, Pola Komunikasi, Agama, Budaya.
68
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
A. Pendahuluan
Islam telah mengajarkan kebebasan bagi manusia yang ada di muka bumi ini seperti dalam teks al-Qur’an “Islam agama rohmatan lil alamin”. Dengan dasar ini tidak ada paksaan bagi seorang dalam beragama, berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, terlebih lagi di Negara Indonesia yang terkenal dengan multicultural agama dan budaya dengan inilah muncul semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Konsep tersebut telah termaktub dalam UUD 1945 dan pasal 29 ayat 2 sudah sangat jelas di tuliskan tidak ada paksaan bagi seorang dalam memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Negara menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama oleh karena inilah Indonesia dikenal dengan negara pluralis. Dalam pandangan filosofis sosial pluralis keadaan masyarakat yang dalam notabene berbeda-beda dalam tingkah laku, sudut pandang dan segala yang berkenaan dalam kehidupan kermasyarakatan. Kita lihat hubungan Islam dan pluralisme memiliki dasar argumentasi yang
kuat. Menurut Nurcholish Majid hal itu berangkat dari semangat humanitas dan universalitas 1 Islam. Yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain citacita Islam sejalan dengan cita-cita manusia pada umumnya. Dan misi Nabi Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas Islam saja. Sedangkan pengertian universalitas Islam dapat dilacak dari term al-Islam yang berarti sikap pasrah pada Tuhan. dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat al-Islam. Tafsir al-Islam seperti ini bermuara pada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemanusiaan dalam urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.2 Istilah ‘pluralisme’ identik dengan ‘beragam’, pendapat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya, sesuatu dikatakan plural Ahmad Amir Aziz. Neo-Modernisme Islam Di Indonesia ( Jakarta: PT rineka cipta, 1999), hlm, 50. 2 Ibid. hlm, 51. 1
Zaenal Abidin
69
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
pasti terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang.3 Pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah die laborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konse ptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama dengan apa yang dikemu-kakan Aristoteles.4 Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia. Dalam khazanah kita dikenal dengan istilah “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda Syafa’atun Elmirzanah, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 7. 4 Perbincangan pluralisme menurut Amin Abdullah sesungguhnya tak lebih seperti put a new wine in the old bottle (memasukkan minuman anggur baru dalam kemasan lama). Baca M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000), hlm 68. 3
70
tapi tetap satu jua. Istilah ini untuk mendeskripsikan dan sebagai petunjuk bahwa akan keragaman bangsa Indonesia. Dalam istilah modern Bhineka (kemajmukan), ini kemudian sering diterjemahkan dengan pluralisme. Dalam wacana modernitas, pluralisme merupakan bentuk kesadaran baru yang mulai mengubah paradigma lama yang monolitik dalam doktrin agama, sosial, politik, dan lainnya yang dibutuhkan untuk perdamaian dan kerjasama serta menghilangkan prasangka dan truth claim. Ada dua hal yang dapat meredam terjadinya konflik keagamaan yang dikemukakan oleh C. Geertz, toleransi yang didasarkan atas “relativisme kontekstual” dan pertumbuhan mekanisme sosial bagi bentuk integrasi sosial non sinkretik yang majmuk, karena keduanya diibaratkan bagaikan dua sisi mata uang yang sama.5 Agama secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, kehusus dengan tuhannya, mengatur hubungan manusia Roland Robertson, Ed, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis,Terj, Ackhmad Fedyani Saifuddin, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet iv, 1995), hlm. 236. 5
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
dengan manusia, dan mengatur manusia dengan lingkungannya. Secara struktural-fungsional agama melayani kebutuhan manusia untuk mencari kebenaran, mengatasi dan menetralkan berbagai hal buruk dalam kehidupannya. 6 B. Pluralisme Agama, Sejarah dan Perkembangan Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu «pluralisme» dan «agama». Dalam bahasa Arab diterjemahkan «alta>addudiyyah al-diniyyah» dalam bahasa Inggris «religious pluralism». Oleh karena itu, istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk pada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti jama’ atau lebih dari satu.7 Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (1) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan. (2) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan atau non kegerejaan. Kedua pengertian Ibid, hlm. v-vii. Rifyal Ka’bah, Pluralisme dalam Perspekti Syariah, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), 68.
filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Ketiga pengertian sosio politis: adalah sesuatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karateristik diantara kelompok-kelompok ter sebut.8 Untuk mendefinisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan yakni dari segi fungsi, institusi, dan subtansi. Para ahli sejarah sosial cenderung mendefinisikan agama sebagai institusi historis atau pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis. Sementara para ahli bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu system kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompokkelompok social. Pendapat ini didukung oleh Durkheim, Robert N Bellah, Thomas Luckmann dan
6 7
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 12. 8
Zaenal Abidin
71
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Clifford Geertz.9 Kebanyakan para pakar teologi, fenomonologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek subtansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang sakral. Pendapat ini didukung oleh Rudolf Otto dan Mercia Eliade.10 Bila dikaji lebih mendalam pada hakikatnya ketiga pendekatan itu tidak saling bertentangan, melainkan menyempurnakan dan melengkapi, khususnya jika menginginkan agar pluralisme agama didefinisikan sesuai kenyataan obyektif di lapangan. Saat ini ada kecenderungan untuk mendefinisikan agama secara luas hingga mencakup semua jenis kepercayaan dan keyakinan serta idiologi. Dari uraian diatas definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis idiologi. Dan jika pluralisme dirangkai dengan agama sebagai predikatnya maka dapat dipahami bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama antar agama yang berbeda-beda dalamsatu komunitas dengan tetap Hasan Askari, Lintas Iman Dialog Spiritual, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 69. 10 Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, (Yogyakarta: Mataram Minang Lintas Budaya, 2004), 15. 9
72
mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.11 Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan Eropa tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang disebut sebagai masa kebangkitan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Di tengah hiruk pikuk pergloakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata dan luar gereja, muncullah suatu paham yang disebut dengan liberalisme yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keberagaman atau pluralisme. Meskipun hembusan angin pluralisme telah mewarnai pemikiran Eropa pada saat itu, namun belum secara kuat mengakar dalam kultur masyarakatnya. Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja. Ketika memasuki abad ke-20 gagasan pluralisme agama telah Nurcholis Madjid, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 175. 11
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat Seorang teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif ‘bahwa dalam semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agamapun yang memiliki kebenaran mutlak, konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak hanya satu.12 Selam dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu, gagasan pluralisme agama telah mencapai kematangannya dan pada gilirannya menjadi sebuah diskursus pemikiran tersendiri pada dataran teologi modern. Dalam kerangka teoritis pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh pemikirpemikir teologi modern dengan konsepsi yang bisa lebih diterima kalangan antar agama. Sementara itu dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar idiologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup pada wacan pemikiran Islam melalui karya-karya pemkir Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Isa Nuruddin Ahmad. 12
Ibid, 18.
Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam. Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah moderat merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional-suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah caliber dunia yang sangat bergengsi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti Ninian Smart, Jhon Hick dan Aniemarrie Schimmel.13 Pluralitas agama memang ke nyataan yang tidak bisa dihindari bahkan masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegakkan adanya untuk masingmasing pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing. Meskipun halnya demikian pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan sosial masih menimbulkan problematika dalam masyarakat bila dihadapkan dalam masalah teologi dan hak asasi manusia mengapa demikian? 13
Ibid, 22.
Zaenal Abidin
73
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Dikarenanakan setiap pemeluk agama menyakini bahwa ajaran agamanya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan ber bangsa. Dalam hal ini agama sering sekali dijadikan sebagai sumber konflik dalam masyarakat yang plural. 14 Dalam pengertian lain juga dinyatakan istilah pluralisme sering dikaitkan dengan sikap toleransi dimana masing-masing agama, ras, suku, dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing ke percayaan dan menghorati keper cayaan orang lain.15 Masyarakat harus menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal, artinya semua kepercayaan itu benar. Atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu paling benar. Pluralisme itu sesungguhnya sudah familiar dibicarakan oleh para pemikir diantaranya adalah Permenides berbeda dengan solusi yang disuguhkan oleh Heriklatos begitu juga solusi Plato berbeda dengan solusi yang diberikan
Aristoteles.16 Sedangkan istilah plura lisme pada zaman Nabi Muhammad bukan hanya dibicarakan secara konseptual tetapi dilakukan secara realitas empiris, statement ini bisa dilihat dari terbentuknya piagam madinah, tanpa masyarakat plural tidak akan terbentuk piagam madinah yang menjadi konstitusi masyarakat madinah waktu itu. Pada waktu piagam madinah dirumuskan dan disetujui, komunitas Islam masih merupakan minoritas komunitas terbesar adalah komunitas yahudi ditambah dengan komunitas kristen dan penganut kepercayaan pagan. Nabi berperan sebagai pemersatu dalam masyarakat yang plural, tanpa melebur kedalam satu masyarakat yang tunggal. Dalam kesepakatan plural itu diproklamasikan ter bentuknya “masyarakat yang satu”. Namun dalam konstitusi yang merupakan kontrak sosial (social contract) itu, identitas kelompok tetap diakui, namun mereka bersepakat untuk membentuk solidaritas, inilah hakekat pluralis yang merupakan reaktualisasi pluralitas di zaman klasik Islam. 17
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 68. 17 Budhy Munawar-Rachman, Sekulerisme, Liberalisme Dan Pluralisme: Islam Progresif Dalam 16
Tarmizi Tahir, Dkk, Ham Dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997), hlm. v. 15 Hamid Fahmy Zarkasyi, Op. Cit, hlm. 138. 14
74
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Begitu juga dalam perjumpa annya dengan budaya lokal seperti mesir, maghribi, persia, india, turki, asia tengah dan cina, penguasapenguasa muslim tidak memusnahka kebudayaan lokal karena semua sesuai dengan apa yang pernah dilakunan oleh nabi Nabi Muhammad, dalam kapasitasnya sebagai bembuat the maker law from new religion (pembuat hukum dari agama yang baru), banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat di dalam hukum Islam yang baru. Oleh karena itu Islam datang memiliki misi dan visi untuk membawa rahmat bagi sekalian umat dan alam semesta. Dunia Islam sejak, awal perkembangannya sudah merupakan pluralitas dan oleh sebab itu mendekatinya dengan pluralisme yang merayakan keragaman sebagai rahmat. Dalam menghadapi realitas mengenai pluralitas di dunia Islam telah berkembang pluralisme oleh sebab itu dalam dunia Islam terdapat berbagai macam kultur dan subkultur yang membentuk kesatuan pelangi Islam. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan berbagai fenomena pluralitas. Pluralitas warna kulit (kulit putih, Perkembangan Dan Diskursusnya ( Jakarta: PT Gramedia, 2010), hlm. XLIX
hitam, kuning, sawo matang, dan sebagainya), pluralitas etnik (tionghoa, arab, jawa, sunda, bugis, sasak, bali, dan sebagainnya), pluralitas agama (kristen-katolik, kristen protestan, hindu, budha, konghucu, Islam, dan sebagainya) pluralitas bahasa (Inggris, Jerman, Indonesia, Jepang, Mandarin, dan sebagainya).18 Daftar pluralitas dapat diperpanjang sesuai dengan kehendak dan kebutuhan yang ingin ditekankan disini adalah isu pluralitas bukanlah barang baru, membicarakan pluraralitas sekarang ini adalah “to put a new wine in the old bottle” (memasukkan minuman anggur yang baru kedalam botol yang lama), dalam arti isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada dan akan berkembang sesuai dengan ideologi manusia dalam memandang istilah pluralisme. Dunia Islam sejak awal per kembangannya sudah merupakan pluralitas oleh karena itu men dekatinya adalah dengan pluralisme yang merayakan keragaman sebagai rahmat. akan tetapi pluralitas yang lahir di zaman modern ini memang berbeda dengan pluralitas yang lahir sebelumnya, kebudayaan Islam menjadi payung atau tenda besar 18
A min Abdullah, Op. Cit, hlm. 69.
Zaenal Abidin
75
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
tenda besar terhadap kebudayaankebudayaan lokal. Sekarang Islam sebagai kebudayaan, merupakan bagian dari pluralitas global, dengan kebudayaan barat yang berintikan budaya yudeo-kristiani sebagai pemegang hegemoni yang mendominasi. Hal inilah yang barangkali menjadi latar belakang resistensi sebagian umat Islam (khususnya Islam-politik) terhadap pluralisme modern.19 Kurangnya eksistensi terhadap pluralitas dilatar belakangi oleh beberapa persepsi; Pertama, sementara pluralitas diakui sebagai sunatullah, pluralisme dianggap sebagai ancaman, yaitu ancaman bagi akidah. Pengakuan terhadap pluraitas dianggap sebagai alat untuk melemahkan iman. Kedua, pluralime dianggap sebagai ancaman terhadap identitas, sebab dalam pluralisme, identitas akan lebih ke dalam monlitas masyarakat. Dasar pemikirannya dalam pluralitas, kebenaran mutlak akan digantikan kebenaran relatif. Kebenaran tidak lagi tunggal melainkan plural. Ini berarti dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi tuhan, maka kini di ubah tuhanlah yang dikelilingi
agama, artinya dari banyak agama banyak tuhan menjadi banyak agama satu tuhan. 20 Di satu sisi, pemeluk semua agama atau penganut paham keagamaan memiliki pandangan bahwa tuhan adalah satu adanya dan ajarannya paling sempurna dan paling benar. Namun juga semua orang, baik ia memeluk agama tertentu atau tidak menyatakan memeluk satu agama, memiliki kesadaran tentang tuhan. Pemeluk satu agama memiliki keyakinan bahwa agama yang dia peluk adalah itu yang paling benar dan kebenaran itu hanya satu dan tunggal, yaitu yang diyakininya sendiri.21 Menyadari hal yang demikian bukan berarti akan mencela kepercayaan agama lain akan tetapi lebih menciptakan rasa saling menghormati antar umat beragama ini juga bisa diartikan pluralisme agama semua agama sama-sama valid yang berhak menilai kebenaran adalah Allah. Jika dilihat kehawatiran umat beragama pada umumnya dan terlebih-lebih umat Islam terhadap pluralitas adalah pada akibat yang 20
Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam Untuk Liberalisme Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya ( Jakarta: PT Gramedia, 2010), hlm. L. 19
76
Hamid Fahmy Zarkasyi, Op. Cit, hlm.
142. Abdul Munir Mulkham, Satu Tuhan Seribu Tafsir (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 62. 21
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
ditimbulkan dan konsekuensi praktis dari wujud pengakuan pormal tersebut terhadap paham “relativitas” keberadaan reltivitas adalah salah satu akibat dan bahkan dapat dianggap saudara kembar dari pluralitas. Pada umumnya, umat beragama menganggap bahwa relativisme momok yang sangat ditakuti dan sekaligus dijauhi dikarenakan relativisme22 seolah-olah mesti diidentikan dengan nihilisme moral dan value vacuum. Secara implisit dan bahkan secara eksplisit, relativisme juga mengandung arti bahwa seluruh pendapat, pandangan dan keyakinan agama-agama mem punyai nilai yang sama. 23 Kebebasan adalah karunia tuhan. maka kita tidak berhak mengungkung dan merampas kebebasan tersebut alasan mengapa tuhan menganugrahi manusia kebebasan, supaya manusi tulus dan ikhlas dalam beriman dan beragama. Pandangan bahwa tidak ada kebenaran atau nilai mutlak dan nilai itu ditentukan oleh zaman, kebudayaan, mayarakat dan pribadi tertentu. Relativisme murni (bahwa segala klaim kebenaran selalu relatif ) sebenarnya bertentangan dengan nilainya sendiri. Bentuk relativisme yang lebih halus menekankan bahwa latar belakang sejara, kebudayaan, dan agama berperan dalam menetukan pemahan orang akan nilai kebenaran. 23 Amin Abdullah, Op. Cit, hlm. 82. 22
Itulah tujuan umum dari agama yang paling ideal dan mulia akan tetapi dalam wilayah empiris praktis, niscaya kita tidak bisa membuak keseragaman itu yakni di atas dunia dan kehidupan dengan wajah tunggal dikarenakan sesungguhnya dalam ranah publik, kita sesuangguhnya sedang mengamalkan tradition. Kebenaran atas agama terletak pada pemahaman yang rasional dan dapat terpuji, yang akan membuktikan kebenaran sebuah agama adalah sejarah. Kebenaran terletak pada sejarah yang teruji penelitan dan karya ilmiah. Menurut pendapat Tedius Batasina yang berbicara tentang agama (termasuk Islam di dalamnya): “Mempertahankan independensi agama di tengah-tengah hiruk-piuk pergulatan zaman bukanlah suatu yang mudah semudah membalikkan telapak tangan. Nilai-nilai dormatif keagamaan sedang memasuki gerbang pergumulan yang amat sangat. Namun demikian, tidak ada alasan yang akurat untuk mengatakan bahwa agama-agama harus menghindari diri dari wilayah keperihatinan, namun justru sebaliknya, agama-agama harus membuktikan komitmen dan konsistensinya utuk menjaga kewibawaannya yang sakral dan tetap sadar menyimak, mengkritisi, mengkaji secara aktif, bijak dan
Zaenal Abidin
77
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
cerdas yang pada gilirannya melahirkan dan merumuskan serta mengimplementasikan hakikat panggilan misionernya”.
Mungkin sekitar 60 tahun lalau isu pluralisme atau keberagaman agama belum begitu akrab terdengar dikalangan masyarakat santri24 yang masih kuat dengan dogma kesantriannya sehingga tidak menerima pluralisme agama, akan tetapi untuk saat ini seiring dengan perkembangan zaman, sebagaimana seorang anak yang dikawal ketat orang tuanya serta masyarakat seagama. Tidak akan pernah bisa menghindar dari isu pluralitas agama yang banyak ditayangkan melalui media massa baik itu media cetak,visual maupun audio visual bahkan sekarang lebih canggih lagi seperti media Internet. Kenyataan empiris ini harus menjadi sorotan organisasi keagamaan kontemporer agar para koleganya tidak salah dalam mengambil tindakan sosial kemasyarakatan. Di Indonesia sendiri istilah pluralisme agama menjadi marak Lihat. Clifford Geertz, The Religion Of Java (Illionis: Massachusetts Institute Of Technology, 1960). Terjemahan Indonesia, Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, Agama Jawa; Abangan, Santri, Proyayi Dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas Bambu, Cet, Ke II, 2014), hlm. 181. 24
78
diperbincangkan setelah di usung oleh Nurcholis Madjid, Mukti Ali, Djohan Efendi. Dan pada tahun terakhir ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Budhy Munawar Rahman dengan Paramadinanya, Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan dengan Jaringan Islam Liberalnya ( JIL). Di kalangan agamawan Islam, baik Islam maupun kristen, pluralisme agama juga direspon dan dimaknai secara berbeda-beda (terdapat pro dan kontra) bagi kelompok Islam radikal seperti; Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb Al-Tahrir Indonesi (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dengan tegas mereka menolak pluralisme agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ismail Yusanto, juru bicara HTI, bahwa pluralisme agama adalah absurd. Senada dengan Anis, Yusanto menegaskan, bahwa pluralisme agama adalah paham dari barat yang dikembangkan dari teologi inklusif yang bertentangan dengan QS. Ali Imran ayat 85 yang artinya “barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima dan di akhirat dia termasuk oran-orang yang merugi”. Berdasarkan ayat tersebut. Yusanto yakin kebenaran hanya milik dan monopoli umat Islam. Dikalangan kristen, pandangan ini telah dikenal lama bahkan sejak abad pertama, sehingga dikenal ungkapan
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja). Adapun tokohnya Karl Bath dan Hendrick Kraemer dan pada umumnya para teolog evangelis. 25 Menepis setandar ganda dalam pemahaman seorang bagaikan melawan arus sungai, setiap orang pasti lebih meninggikan pemahaman apa yang telah dianutnya padahal dalam ajarn agama, kita selalu diajarkan sikap saling hormat menghormati dan toleransi antara sesama umat beragama. Pluralisme agama jangan kita pahami secara negatif saja coba kita pahami secara positif. Keberagaman agama suatu wadah yang menjadikan agama itu ada dan menjadikannya keseimbangan, tidak akan ada hitam kalau tidak ada putih begitupun halnya agama tidak akan ada agama Islam jika agama kristen, hindu, budha tidak ada, atau agama lainya. Masalah perbedaan seperti ini seharusnya dijadikan suatu wadah untuk meraih kesuksesan dalam bermasyarakat dan bernegara dengan menciptakan perbedaan untuk menjadi alat membangun masyarakat yang lebih baek. Jangan kita hanya ribut-ribut tentang masalah furu’iyah saja tetapi
masalah kesejahtrakan masyarakat kita tidak pernah memikirkannya. Allah menjelaskan dalam al-Qur’an “jika tuhanmu menghendaki, niscaya dia menjadikan semua manusia sebagai satu kaum, tetapi mereka tetap bercerai berai”.26 Hal tersebut terkait dengan apa yang dikatakan oleh guru besar Filsafat Islam Amin Abdullah dalam bukunya dinamika Islam kultural: Relativitas di sini bukan hannya penolakan total adanya setandar umum, nilai-nilai fundamentalis keagamaan; prinsip-prinsip tauhid dan sebagainya. Relativisme se kaligus pluralitas di sini lebih dimaksudkan sebagai teknismetodologis yang justru sangat dibutuhkan dalam dunia pemaha man, penafsiran dan pemaknaan karena karena istilah tersebut dimaksud sebagai gambar betapa perbedaan, budaya, agama, bahasa dan tradisi memberikan gambaran tentang dunia, termasuk dunia realitas keagamaan yang juga berbeda yang juga satu dengan yang lainy. Kenyataan ada hubungan yang kukuh antara “pemikiran” dan “objek pemikiran” (yang plural) merupakan pengukuhan tentang perlunya langkan-langkah dan “prosedur” pemahaman yang harus dilalui dan bahkan simbol26
Zaenuddin, Pluralisme Agama Dalam Analisis Kontruksi Sosial (Malang: UIN Maliki Press, 2013), hlm. 8. 25
QS. Hud. 118
öqs9ur uä!$x© y7•/u‘ Ÿ@yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& Zoy‰Ïnºur ( Ÿwur tbqä9#t“tƒ šúüÏÿÎ=tGøƒèC
Zaenal Abidin
79
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
simbol kekosongan atau keputusan moral. Relativitas bukan hannya mengandug arti sebagai “ketiadaan makna” (nihilisme moral) atau juga merupakan kekosongan nilai (volue vaccum) dan lebih lagi bukan pula sebagai “kekosongan akidah” seperti yang biasa dipahami dan disuarakan oleh banyak orang. Akan tetapi, justru lebih merupakan upaya sungguh-sungguh dan autentik, khususnya bagi seluruh umat beragama untuk bersamasama memahami dan membangun sebuah “makna” dan “nilai” yang lebih mendalam yang dimiliki oleh berbagai suku, ras, agama, budaya, dan sebagainya. Memahami relaitivitas justru menolong kita untuk dapat berfikir, bertindak, dan bersikap yang lebih sakmadya (humility); tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas, tidak overacting dan tidak terlampau bersemangat sehingga melanggar batas-batas kewajaran dalam beragama. Bukankah al-Qur’an selalu menyindir dan menasehati manusia untuk tidak selalu berlebihlebihan dalam segala hal dalam istilah ghulw?27
C. Pluralisme Agama dan Pola Komunikasi Atar Budaya Sebab-sebab lahirnya pluralisme agama memang sangat komplek, namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor
utama yaitu internal (idiologis) dan eksternal, yang mana faktor yang satu dan lainnya saling memepengaruhi. Faktor internal ini muncul akibat dari tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-agama itu sendiri baik dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan.28 Faktor ini juga sering dinamakan dengan faktor idiologis. Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu faktor sosio-politis dan faktor ilmiah. Pertama, faktor idiologis, keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan paling superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal aqidah, madzhab dan idiologi. Dalam hal ini faktor idiologis atau aqidah terbagi menjadi tiga bagian: (1) Aqidah Ketuhanan, yaitu suatu keyakinan yang mengakui akan adanya Tuhan sbagai dzat yang maha segala-galanya, yang harus dsembah dan diyakini keberadaannya. (2) Aqidah “keterpilihan”, keyakinan sebagai sebagai bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan suatu aqidah yang hampir didapati dalam semua Ahmad Najib Burhan, Islam Dinamis, ( Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001) 4. 28
27
80
Amin Abdullah, Op. Cit. hlm. 85
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
agama.Aqidah ini termasuk aqidah yang sangat peka dan berperan penting dalam pembentukan kesadaran emosional suatu umat agama tertentu. Pada prinsipnya aqidah ini lebih dikenal di kalangan agama-agama samawi. (3) Aqidah pembebasan dan keselamatan, konsep aqidah ini pada dasarnya merupakankonsekuensi logis dari konsep teologi ketuhanan dan teologi keterpilihan. Oleh karena itu, konsep aqidah ini mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan salah satu dari kedua keyakinan tersebut di atas. Tidak dapat dipungkiri bahwa keyakinan terhadap suatu aqidah akan memberikan hak yang eksklusif kepada seseorang atas pembebasan dan skeselamatan. Dengan kata lain seseorang yang ingin mencapai keselamatan haruslah mengikuti suatu system tertentu sebagai way of life. Keyakinan ini ada dan ber kembang di setiap agama, baik agama yang mengakui Tuhan maupun agama yang tidak mangakui Tuhan. Masing-masing mengklaim keyakinannya yang paling benar, sehingga menimbulkan sikap saling menafikan.29 Kedua, faktor eksternal, Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, ( Jakarta: Gema Insani Press,
disamping faktor faktor internal, terdapat juga faktor eksternal yang kuat dan mempunyai peran kunci dalam menciptakan iklim yang kondusif dan lahan yang subur bagi berkembangnya teori pluralisme agama. yaitu faktor sosio politis. Di antara faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacanawacana sosio-politis, demokrasi dan nasionalisme yang telah melahirkan system ngara bangsa dan kemudian mengarah kepada apa yang sekarang ini disebut dengan globalisasi yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses social dan politis yang berlasngsung kurang lebih tiga abad. Proses ini muncul semenjak pemikiran manusia mengenal “liberalisme” yang menyuarakan kebebasan, toleransi, persamaan dan pluralisme. Liberalisme kemudian menjadi icon dan simbul setiap pergerakan sosio-politis dalam menentang segala bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan. Hingga muncul dalam kamus sosialpolitik suatu istilah yang disebut “demokrasi.” Proses liberalisme ini kemudian tidak lagi tidak terbatas hanya di Eropa saja akan tetapi menyebar keseluruh penjuru dunia dan menjadi fenomena global.
29
2005), 34.
Zaenal Abidin
81
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Meskipun pada awalnya dasar-dasar liberalisme semula tumbuh dan berkembang sebagai proses sosiopolitis dan secular, akan tatapi pada akhirnya paham ini tidak hanya terbatas pada masalah-masalah politis belaka akan tetapi menjadi lebih universal yang didalamnya meliputi hak beragama dan berkeyakinan. Dalam hal ini agama kemudian tak berdaya lagi dan harus tunduk kepada kekuatan system di luar agama. Jika pluralisme itu given, semen tara konflik adalah sesuatu yang inhern di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik yang ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada. Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami pluralitas), ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara apatis dan pasif. Memahami pluralisme meski melibatkan sikap diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati, memahami
82
dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri. Demikian juga dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Alwi Shihab, memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan pluralisme agama. Menurutnya, “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan per samaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”.30 Melalui pe mahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewu judkan kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia. Mazahab idealisme-spritualisme bahkan lebih jauh menyatakan bahwa sejarah adalah lokus bagi kehadiran asma-asma Tuhan untuk mengekspresikan dirinya dalam Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), cet. VII, hlm. 340. 30
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
wajah budaya. Tak ada peristiwa budaya dan peristiwa sejarah tanpa kehadarian dan keterlibatan tuhan di dalamnya. Budaya adalah tempat Tuhan berinkarnasi melalui asma, kehendak dan ilmu-Nya untuk mengaktualkan dirinya. Dan manusia adalah agen tuhan yang menghubungkan antara kehendak khalik di langit dan realitas makhluk di bumi. Oleh karena itu, akhlak manusia selalau mengorientasikan diri pada kualitas illahi di satu sisi dan berbuat baik pada sesama penduduk di bumi disisi yang lain. Dimana bumi bersifat feminin yang menunggu pembuahan dari langit yang bersifat maskulin. Begitu juga agama mengandung dogma dan ajaran keselamatan yang jelas dan tegas, yang bersifat maskulin, namun ketegasan agama harus diformulasiakan oleh bahasa budaya yang penuh bijak, lembut, feminin, dan beradab. Oleh karenanya, ketika agama bertemu dengan sebuah masyarakat yang tingkat peradabannya masih rendah, pesan mulia agama bisa terkalahkan oleh sikap-sikap mereka yang vulgar dan penyebarannya lalu mengandalkan kekuatan fisik, bukannya keunggualan intelek dan seni.31 M. Thoybi, Dkk, Sinergi Agama dan Budaya: Dialektika Muhammadiyah dan Seni 31
Tradisi berbicara pada manusia bukan hanya melalui kata-kata tetapi juga bentuk seni yang lain. Pesannya tertulis bukan hanya pada buku dan dalam fenomena utama, tetapi juga terdapat pada bentuk karya tradisional dan khususnya seni suci.32 Cipta, rasa dan karsa manusia itulah budaya, budaya sering diedintikkan dengan cara hidup manusia. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut untuk budayanya. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.33 Lokal, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hlm. 7. 32 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj, Suharsono, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 294. 33
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j& q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CEgQFj AA&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2 Fbitstream%2F123456789%2F3785%2F1%2Fkom
Zaenal Abidin
83
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Pada dasarnya, antara komunikasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan itu terletak pada variasi langkah dan cara serta metode manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial, bagaimana menjajaki makna, model tindakan dan bagaimana makna serta model-model itu diartikulasi sebuah kelompok sosial yang melibatkan interaksi antar manusia.34 sehingga komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang‐orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya antar suku bangsa, antar etnik, ras dan kelas sosial.35 Oleh karenanya, dengan adanya model komunikasi sekaligus dapat mereduksi fenomena komunikasi, artinya ada nuansa komunikasi
unikasilusiana.pdf&ei=2QUbUI3TMtHyrQf8mIE 4&usg=AFQjCNGRNDsFeKfi3jDmXSZ8qwSb8n o28A&sig2=s4wgot5F2TjzRoNCAXVdMQ. 6:53--3/8/15
http://f ajardawn.blogspot. com/2010/11/definisi-komponen-dan-modelkomunikasi.html 6:26 ---3/8/2015 http://fajardawn.blogspot.com/2010/11/ definisi-komponen-dan-model-komunikasi.html 6:26 ---3/8/2015 34
Alo Liliweri. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009), hlm.10. 35
84
lainnya yang mungkin terabaikan dan tidak terjelaskan oleh model tersebut. Berikut pengertian model komunikasi menurut beberapa ahli:36 1. Model komunikasi merupakan deskripsi ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. 2. Model komunikasi adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsure, sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Dari pengertian model komu nikasi yang ada, maka peneliti menyimpulkan bahwa model komunikasi itu merupakan suatu penjelasan singkat yang berupa gambaran formal atas suatu fenomena komunikasi agar lebih mudah untuk dipahami dari pada teorinya. Pola komunikasi dapat diliahat dan diamati dari berbagai macam aspek.37 Berdasarkan model komunikasi, Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss Deddy mulyana, Ilmu komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 132 37 Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi: Teory Pradigma dan Diskusi Teknologi Komunikasi, (jakarta: kencana, 2007), hlm. 253-254 36
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
dalam buku Human Communication menjelaskan tiga model komunikasi yaitu: Model komunikasi linier yaitu komunikasi satu arah (one-way view communication). Komunikasi dua arah adalah komunikasi intraksional. Model komunikasi transaksional, komunikasi yang hanya dipahami dalam konteks hubungan (relationship) antara dua orang atau lebih. Pola komunikasi berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi yaitu: komunikasi intra pribadi, kominikasi diadik, komunikasi antar pribadi, komunikasi publik, komunikasi organisasi, dan kominikasi masa.38 Pola komunikasi dapat harus memahami simbol-simbol dalam beritraks (itraksi simbolik) agar bisa mengefektifkan komunikasi. Dan juga dipresentasikan secara sedemikian rupa (dramaturgi) sehingga menarik. Itarsionisme simbolik sediri dapat diartikan sebagai “cara pelaku komunikasi menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan sekitar melalui cara kita berintraksi dengan orang lain”.39 Sedangkan dramaturgi
sendiri adalah pola komuniksai yang digunakan sebagai pengelolaan pesan untuk mencapai tujuan tertentu, sehingga dalam berkomunikasi dia menggunakan pola (gaya) tertentu untuk menefektifkan komunikasi. Sehingga ada ungkapan “people are actors, structuring their performances to make impressions on audiences”.40 Berdasarkan pembahasan ter sebut maka model komunikasi antar budaya bisa dijelaskan secara sederhana melalui gambar brikut ini:
Gambar 1 Model Deddy Mulyana dan Jalalludin R.41
Jika dilihat dari perilaku yang nampak pada proses komunikasi seseorang, bentuknya tidak akan 100% sama dengan bentuk budaya yang ia anut. Pengaruh budaya terhadap proses penyandiandan penyandian balik dalam komunikasi interpersonal terlihat pada gambar. Engkus Kuswarno, Fenomenologi, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 116 40
Deddy mulyana, Ilmu komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 78. 39 Muhammad Mufid, Etika Dan Fisafat Komunikasi, ( Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 53. 38
41
Deddy Mulyana; Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya,(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.2005) hlm, 21.
Zaenal Abidin
85
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Gambar tersebut menunjukkan adanya tiga budaya yang berbeda yang diwakili oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Bentuk budaya A dan budaya B hampir serupa, namun lain dengan budaya C yang bentuknya jauh berbeda. Dalam setiap budaya ada bentuk lain individu yang agak serupa dengan bentuk budaya itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini menggambarkan adanya pengaruh pengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu dan sekalipun budaya itu dominant dalam mempengaruhi individu, orang-orang dalam suatu budaya pun memiliki sifat-sifat yang berbeda. Sementara model Gudykunst dan Kim mengasumsikan bahwa dua orang yang terlibat dalam kegiatan komunikasi ini mempunyai kedudukanyang sama, sama-sama sebagai pengirim sekaligus penerima pesan, serta sama-sama melakukan enconding dan deconding. Hal tersebut mengakibatkan pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi pihak lainnya yang ditunjukkan oleh adanya garis dari penyandian seseorang kepenyandian balik orang lain dan dari penyandian orang kedua
86
kepenyandian balik orang pertama. Sedangkan kedua garis umpan balik ataupesan itu menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara bersamaan kita melakukan penyandian dan penyandian balik. Dengan kata lain, komunikasi yang terjadi itu tidak statis. Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian dan penyandian balik terhadap pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor kultur, sosiokultur dan psikokultur yang nampak pada lingkaran dengan garis putus-putus. Garis putus-putus itu sendiri menggambarkan bahwa ketiga factor ini saling berhubungan dan mempengaruhi. Selain itu, kedua individu yang terlibat juga terletak dalam suatu kotak dengan garis putus-putus yang berarti mewakili pengaruh lingkaran. Hal ini sekali lagi menggambarkan bahwa lingkaran tersebut bukanlah suatu sistem tertutup. Manusia di dunia telahir dengan fitrah (potensi beragama),42 sehingga bapak dan ibunya yang menjadikanya beragama Islam, Kristen Hindu, dan Budha. Agama juga dikatakan Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam , ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 5. 42
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
sebagai candu rakyat (religion is the opium of the people) yang merupakan teks Karl Mark yang paling terkenal.43 Dalam kehidupan, agama sangat penting bagi manusia karena agama mengajarkan tentang nilai kemanusiaan, kebaikan, dan jalan hidup yang senantiasa membimbing manusia kearah yang lebih baik.44 Agama sendiri berasal dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” yang berarti “kacau”. Maksudnya, orangorang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya, hidupnya tidak akan kacau. Dalam bahasa arab agama sering sebut din yang mengandung arti menguasai, patuh, utang, menundukan, balasan, dan kebiasaan. Adapun lain yang bermakna agama adalah religi yang berasal dari kata relegare yang berarti mengikat.45 Menurut Elizabet K. Nottingham agama adalah usahausaha manusia untuk mengukur makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.
Muhammad Mufid, Etika Dan Fisafat Komunikasi, ( Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 51 44 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan, ( Jakarta: Prenada, 2011), hlm. 16. 45 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 9. 43
Kesimpulan Dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”. Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia. Pada dasarnya, antara komunikasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan itu terletak pada variasi langkah dan cara serta metode manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial, bagaimana menjajaki makna, model tindakan dan bagaimana makna serta model-model itu diartikulasi sebuah kelompok sosial yang melibatkan interaksi antar
Zaenal Abidin
87
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
manusia. sehingga komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya antar suku bangsa, antar etnik, ras dan kelas sosial. Dalam komunikasi, komunikasi yang efektiflah yang akan mampu membangun proses komunikasi baik dan lancar antra komunikator dan komunikan. Pola komunikasi yang baik akan menunjang keefektian dari komunikasi yang akan maupun yang sedang berlangsung. Pola komunikasi adalah model, format, atau bentuk komunikasi yang dapat terlihat melalui bagai mana komunikator (baik individu maupun kelompok) mengkomunikasikan pesan-pesan komunikasi terhadap komunikan di dalam berintraksi.
Daftar Pustaka Abdullah, Amin, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000) Askari, Hasan, Lintas Iman Dialog Spiritual, (Yogyakarta: LKiS, 2003) Aziz, Amir, Ahmad, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999) Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi: Teory Pradigma dan Diskusi Teknologi Komunikasi, ( Jakarta: Kencana, 2007) Burhan, Najib, Ahmad, Islam Dinamis, ( Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001) Daya, Burhanuddin, Agama Dialogis, Yogyakarta: Mataram Minang Lintas Budaya, 2004. Elmirzanah, Syafa’atun, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian
88
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Ka>bah, Rifyal, Pluralisme dalam Perspekti Syariah, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005)
Geertz, Clifford, Agama Jawa; Abangan, Santri, Proyayi Dalam Kebudayaan Jawa, Cet. Ke II, (Depok: Komunitas Bambu, 2014)
Kuswarno, Engkus, Fenomenologi, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009)
Harahap, Syahrin, Teologi Kerukunan, ( Jakarta: Prenada, 2011) h t t p : / / f a j a r d aw n . b l o g s p o t . c o m / 2 0 1 0 / 1 1 / d e fi n i s i komponen-dan-modelkomunikasi.html 6:26 ---3/8/2015 h t t p : / / f a j a r d aw n . b l o g s p o t . c o m / 2 0 1 0 / 1 1 / d e fi n i s i komponen-dan-modelkomunikasi.html 6:26 ---3/8/2015 http://www.google.co.id/url?sa=t &rct=j&q=&esrc=s&source= web&cd=1&ved=0CEgQFjAA &url=http%3A%2F%2Frepos itory.usu.ac.id%2Fbitstream% 2F123456789%2F3785%2F1% 2Fkomunikasilusiana.pdf&ei= 2QUbUI3TMtHyrQf8mIE4&u sg=AFQjCNGRNDsFeKfi3jD mXSZ8qwSb8no28A&sig2=s 4wgot5F2TjzRoNCAXVdMQ. 6:53--- 3/8/15
Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) Madjid, Nurcholis, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) Mufid, Muhammad, Etika Dan Fisafat Komunikasi, ( Jakarta: Kencana, 2010) Mulkham, Munir, Abdul, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) Mulyana, Deddy, Ilmu komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010) Munawar-Rachman, Budhy, Argumen Islam Untuk Liberalisme Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, ( Jakarta: PT Gramedia, 2010) ----------------------, Budhy, Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme: Islam Progresif Dalam Perkembangan dan Diskursusnya, ( Jakarta: PT Gramedia, 2010)
Zaenal Abidin
89
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Nasr, Hossein, Seyyed, Pengetahuan dan Kesucian, Terj, Suharsono, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) Rakhmat, Jalaluddin, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005) Robertson, Roland, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis, terj, Ackhmad Fedyani Saifuddin, Cet. Ke. IV, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
90
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999) Tahir, Tarmizi, dkk, Ham Dan Pluralisme Agama, (Surabaya: PKSK, 1997) Thoybi, M., dkk, Sinergi Agama dan Budaya: Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003) Toha, Malik, Anis, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2005) Zaenuddin, Pluralisme Agama Dalam Analisis Kontruksi Sosial, (Malang: UIN Maliki Press, 2013)
Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di Indonesia