dan inovasi yang kreatif maka perjalanan manusia mengalami perubahan sekurangkurangnya ditunjukkan oleh perubahan budaya material. Yang dimaksud dengan budaya material adalah objek material yang dihasilkan dan digunakan oleh manusia mulai dari perlatan yang sederhana, peralatan rumah tangga,
mesin-mesin
otomotif,
hingga
instrument
yang
digunakan
dalam
penyelidikan/penelitian. Produk-produk itu merupakan bagian penting untuk mendukung aktivitas kehidupan manusia setiap hari. Dengan demikian, anggota budaya suatu masyarakat
selalu
berusaha
dengan
cara-cara
berbeda
untuk
meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilannya agar produk-produk material itu digunakan untuk mempertahankan hidup. Budaya material tidak hadir dengan sendirinya tetapi dia dibangun berdasarkan nilai tertentu. Kita dapat membedakan antara overt material yang merefleksikan benda nyata menjadi symbol kebudayaan. Sedangkan sebaliknya covert material merupakan nilai-nilai utama kebudayaan yang bersifat abstrak. Orang Yir Yoront di Australia menjadikan kapak batu sebagai symbol utama suku. Anggota suku itu begitu yakin atas kapak batu yang dapat menjaga tanaman, mengawal rumah dan menjauhkan pemiliknya dari hawa dingin. Pemilik kapak batu dinilai memiliki keberanian, kejantanan, hingga ke pengakuan atas seseorang yang patut dituakan. Kapak sebagai artefak adalah budaya material yang bersifat overt, sedangkan nilai keberanian dan kekuasaan adalah non material (covert). Status kapak batu bagi orang Yir Yoront mirip dengan badik bagi orang Makasar, keris bagi orang Jawa. Orang Sabu di pulau Sabu (NTT) mewarisi budaya material kepada anak-anak mereka dengan tenunan selendang dan sarung. Warna dasar sarung dan selendang Sabu adalah hitam kebiru-biruan atau coklat tua kemerah-merahan yang menonjolkan gambar kupu-kupu atau manusia yang dilindungi oleh krungan atau nalingu, atau motif binatang berwarna emas atau kuning. Tenunan Sabu terbagi atas tiga jenis, yaitu (1) Ei / sarung (ukurannya normal); (2) Higi /selimut yang berukuran lebih besar (seperti coverbed) terdiri dari wo tallu, wo lammi, wo pidu, dan wo heo; (3) Heleda / selendang (ukurannya normal sama dengan selendang toko) terdiri dari wo ahi dan wo due. Daya guna dari budaya material, termasuk selendang dan sarung yang ditenun orang Sabu, itu pun berbeda-beda antarsuku bangsa, antarkelompok masyarakat. Selembar selendang dari Sabu merupakan pakaian adapt bagi masyarakat setempat, namun dalam subkultur orang-orang berduit, selendang dari Sabu bahkan diberi bingkai
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya
yang bagus dan dipampang di dinding sebagai aksesoris pendopo. Sebuah periuk tanah produksi perempuan dari Belu oleh masyarakat setempat dipakai sebagai tempat menanak nasi, namun bagi masyarakat lainnya digunakan sebagai perhiasan atau vas bunga. Demikian pula sebuah system computer yang canggih dengan dukungan multi media oleh sebuah kebudayaan digunakan sebagai pusat informasi, namun bagi kebudayaan lain mungkin hanya dijadikan sebagai barang mewah yang tidak berguna. Jadi penggunaan objek material itu tergantung pada tingkat kesadaran terhadap objek yang diciptakan itu, apakah ia bermanfaat atau tidak (Alo Liliweri, 2007 : 48-50).
2. Budaya Nonmaterial Suatu masyarakat berkebudayaan tidak hanya menciptakan budaya material yang dapat ditangkap indra, dipakai dimakan dan diminum; ada pula budaya nonmaterial yang digunakan sebagai rujukan perilaku kelompok masyarakat. Budaya nonmaterial itu hanya dalam bentuk gagasan atau ide-ide yang diikuti dengan penuh kesadaran bahkan dengan penuh ketakutan kalau tidak menjalankannya. Itulah yang kita sebut nilai, norma, kepercayaan, dan bahasa. 1. Nilai Nilai
merupakan standar atau kriteria untuk memandu tindakan, untuk
mengembangkan sikap terhadap objek dan situasi yang relevan, untuk menetapkan apa yang baik atau buruk, benar atau salah, layak atau tidak layak, bermanfaat atau tidak, tentang hubungan kita dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, alam, dan Tuhan. (Deddy Mulyana, 2004 : 44). Yang patut diperhatikan adalah bahwa setiap kebudayaan harus memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan system kepercayaan di mana semua pengikutnya berkiblat. Nilai dasar itu membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan mengatur bagaimana caranya mereka melihat keluar. Nilai dasar itu merupakan filosofi hidup yang mengantar anggotanya ke mana dia harus pergi. Mempunyai ladang sendiri adalah kewajiban bagi seorang bujang suku Sakai di Riau. Bahkan orang dewasa atau remaja yang masih bujangan pun harus mempunyai sebidang ladang. Bila bujangan itu tidak mampu mengerjakannya sendiri maka dia harus ikut membuat dan mengerjakan ladang bersama dengan kerabatnya yang terdekat. Kerabat tersebut bisanya saudara perempuan atau laki-laki yang sudah berkeluarga, atau saudara sepupunya. Karena hanya dari
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya
ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka sehari-hari. Juga karena di ladang itulah mereka hidup, yaitu membangun rumah, ketetangan ladang, membentuk keluarga, merasa aman, dan menemukan jati diri mereka. Mereka dibesarkan di ladang dan mereka juga membesarkan anak-anak mereka di ladang sebagai orang Sakai dengan segala hak dan kewajiban individual maupun social (Parsudi Suparlan dalam Koentjaraningrat, 1993). Kebersamaan dalam kekeluargaan, kemandirian, kedewasaan, jati diri, keamanan, dan ketentraman merupakan nilai yang di cari oleh orang-orang Sakai. Apakah kita akan berselera terhadap suatu jenis makanan atau akan jijik, bergantung pada nilai-nilai yang telah kita internalisasikan dalam budaya kita mengenai makanan tersebut. Jadi nilai membentuk sikap kita tentang sesuatu apakah itu bermoral dan tidak bermoral, baik atau buruk, benar atau salah, dan indah atau buruk. Dengan demikian nilai bersifat normative.
2. Norma Nilai dapat dibedakan dari norma. Kalau nilai hanya melihat penilaian tentang baik buruknya objek, peristiwa, tindakan, atau kondisi, sedangkan norma lebih merupakan standar perilaku. Teknik berbicara misalnya, diatur oleh nilai berapa jumlah orang yang seharusnya mendengarkan anda, sedangkan norma selalu mengatur tentang standar perilaku bagi anda untuk berbicara. Norma sebenarnya sedikit berbeda dengan aturan, karena norma mempunyai criteria moral atau etis, sedangkan aturan tidak. Kalau kita mencuri barang orang lain, kita melanggar norma dan tidak bermoral. Aturan lebih berdasarkan kesepakatan yang dapat berubah sewaktu-waktu tanpa mendatangkan sanksi social selama hal itu disepakati bersama. Contoh aturan (rules) adalah aturan berlalu lintas, aturan bermain sepak bola atau aturan bermain kartu. Misalnya, kalau kita sepakat, sekarang juga kita warga Indonesia dapat menggunakan jalur sebelah kanan untuk berlalu lintas, tidak di sebelah kiri lagi. Jadi, yang dipertukarkan oleh norma adalah nilai-nilai budaya yang merupakan standar kelompok, dasar dari kehidupan sebuah kelompok. Dengan kata lain norma budaya merupakan seperangkat nilai yang menetapkan cara-cara tertentu yang dianggap layak untuk mencapai suatu tujuan dalam kehidupan, yang harus dianut suatu komunitas: agama, etnis, social, politik, bisnis atau seni.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya
3. Cara Cara menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini mempunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan kebiasaan, yang menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Menggaruk-garuk tangan sewaktu bercakap-cakap merupakan cara-cara yang sangat pribadi, jika anda melakukannya maka anda tidak mendapat sangsi apa-apa dari orang lain.
4. Kebiasaan (Folkways) Sumner mengartikan kebiasaan sebagai aturan adat istiadat yang dapat dilihat dalam pelbagai situasi, namun tidak cukup kuat untuk mengatur kelompok, dia hanya kebiasaan-kebiasaan saja. Kebiasaan hanya berlaku untuk satu situasi dan waktu tertentu, misalnya standar untuk membuat percakapan kecil sebelum rapat dimulai merupakan kebiasaan. Jadi jika anda langgar tidak apa-apa. Kebiasaan mempunyai kekuatan yang sedikit lebih besar dari pada sekedar cara. Kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang karena perbuatan itu disukai semua orang. Seperti memberi selamat hari Lebaran atau Natal merupakan kebiasaan.
5. Tata Kelakuan (Mores) Tata kelakuan yang hidup dalam suatu kelompok manusia, berguna sebagai alat pengawasan, secara sadar atau tidak sadar. Tata kelakuan tersebut berisi perintah dan larangan sehingga secara langsung merupakan suatu alat agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Terdapat 3 (tiga) fungsi tata kelakuan, yaitu : -
Tata kelakuan memberi batas-batas pada kelakuan-kelakuan individu. Merupakan alat yang memerintahkan atau sekaligus melarang seorang anggota masyarakat melakukan suatu perbuatan.
-
Tata kelakuan mengindentifikasikan individu dengan kelompoknya. Tata kelakuan memaksa orang agar menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata kelakuan kemasyarakatan yang berlaku. Tata kelakuan juga mengusahakan
agar
masyarakat
menerima
seseorang
karena
kesanggupannya untuk menyesuaikan diri. -
Tata kelakuan menjaga solidaritas diantara anggota-anggota masyarakat.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya
Menurut ahli sosiologi W.G. Sumner menyebutkan Mores sebagai norma-norma yang berakibat panjang apabila di langgar, sehingga pelanggarnya bisa dituntut, diadili dan dihukum. Dengan demikian norma-norma dari golongan adat istiadat yang mempunyai akibat yang panjang juga merupakan “hukum”, walaupun mores seperti yang dikonsepsikan oleh Sumner hendaknya tidak disamakan dengan “hukum”, karena norma-norma yang mengatur upacara suci tertentu juga tergolong mores (dalam banyak kebudayaan, norma-norma sepeti itu dianggap berat, dan pelanggaran terhadapnya dapat menyebabkan ketegangan dalam masyarakat yang berakibat panjang, walaupun pelanggaran terhadap normanorma seperti belum tentu mempunyai akibat hokum). Dengan demikian perlu kita ketahui dengan cermat, perbedaan norma-norma yang tergolong hukum dan norma-norma yang tergolong hokum adat.
6. Adat Istiadat (Custom) Tata kelakuan yang kekal serta terintegrasi secara kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat. Anggota masyarakat yang melanggar adapt istiadat akan menerima sangsi yang keras yang kadang-kadang diberlakukan secara tidak langsung. Perkawinan incest (sedarah) atau melanggar perkawinan antar strata di Sumba dan Bali akan mendapat sanksi yang sangat keras, misalnya dengan mengeluarkan seseorang dari strata tersebut.
7. Kepercayaan (Believe) Kepercayaan atau keyakinan memang dimiliki oleh semua suku bangsa yang pada awalnya bersumber dari system kebudayaannya. Daniel E. Hebding dan Leonard Glick (1991, 48) mengemukakan belief dapat diartikan sebagai gagasan yang dimiliki orang tentang sebagian atau keseluruhan realitas dunia yang mengelilinginya. Dari definisi ini terlihat bahwa subjek dari kepercayaan kemanusiaan tidak terhingga dan meliputi gagasan tentang individual, orang lain, dan setiap atau semua aspek biologis, fisik, social, maupun dunia supernatural. Namun demikian, baik kepercayaan maupun nilai, mewakili gagasan yang dimiliki oleh manusia. Kebalikan dari kepercayaan adalah nilai yang dijadikan sumber sebagai standar untuk menentukan sesuatu itu baik atau buruk, sesuatu yang boleh atau tidak boleh. Kepercayaan memberikan langkah atau cara untuk
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya