Daftar Isi Ringkasan Eksekutif ........................................................................................................................... 3 BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................... 6 1.1. Latar Belakang .................................................................................................................... 6 1.2. Tujuan Penyusunan Strategi Nasional REDD+ ..................................................... 7 1.3. Belajar dari Pengalaman ................................................................................................ 8 1.4. Struktur dokumen Strategi Nasional REDD+ ........................................................ 8 BAB 2 PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA .......................................................................... 10 2.1. Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia......................................................................................................................................... 10 2.2 . Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia .............................. 12 2.3. Skenario BAU dan Konsekuensinya .......................................................................... 15 BAB 3 KOMITMEN INDONESIA DAN REDD+ ..................................................................... 17 3.1. Komitmen Pemerintah Indonesia ........................................................................... 18 3.2. REDD+ di Indonesia ...................................................................................................... 20 3.2.1. Visi, misi, tujuan, dan ruang lingkup REDD+ ....................................................... 23 3.2.2. Dampak dan Potensi dari REDD+ ............................................................................ 29 3.2.4. REDD+, keanekaragaman hayati dan adaptasi perubahan iklim ................. 32 BAB 4 STRATEGI NASIONAL REDD+ ..................................................................................... 34 4.1 Kerangka strategi ................................................................................................................ 34 4.2. Membangun Kelembagaan REDD+ ............................................................................ 36 4.2.1. Badan REDD+ ............................................................................................................... 38 4.2.2. Lembaga dan Instrumen Pendanaan ................................................................. 41 4.2.3 Sistem MRV .................................................................................................................... 45 4.4.1. Pengelolaan landskap berkelanjutan .................................................................... 53 4.4.2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara berkelanjutan ... 55 4.4.3. Konservasi dan Rehabilitasi ...................................................................................... 57 4.5. Perubahan paradigma dan budaya kerja ............................................................. 61 4.6. Pelibatan masyarakat hutan dan berbagai pemangku kepentingan ....... 63 BAB 5 RENCANA KERJA UNTUK PELAKSANAAN ............................................................ 69 5.1. Fase‐fase pelaksanaan ...................................................................................................... 69 5.2. Provinsi percontohan ........................................................................................................ 72 5.3. Pendirian dasar hukum .................................................................................................... 74 BAB 6 PENUTUP .............................................................................................................................. 76 References ........................................................................................................................................... 77 1
Singkatan ............................................................................................................................................. 79 Istilah ..................................................................................................................................................... 81
2
Ringkasan Eksekutif Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) adalah sebuah pilihan ekonomi yang strategis bagi Indonesia dalam rangka mewujudkan komitmen Pemerintah RI untuk melakukan pengurangan emisi gas‐gas rumah kaca (GRK) dan mentransisikan perekonomian Indonesia menjadi ekonomi rendah karbon atau ekonomi hijau. Program REDD+ adalah bagian dari upaya pengurangan emisi GRK dari sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change, and Forestry) yang mencakup keseluruhan akitifitas ekonomi yang memanfaatkan lahan. Sektor ini menyumbang sekitar dua per tiga dari emisi GRK Indonesia. Disamping biaya penurunan emisi dari sektor ini relatif murah dibanding sektor‐sektor lain, Indonesia memiliki urgensi untuk menurunkan emisi dari LULUCF karena menjadi penyumbang emisi GRK kita yang terbesar dan karena Indonesia sendiri rentan terhadap risiko dampak perubahan iklim. Penurunan produksi pangan dan meningkatnya bencana alam akibat pergesaran pola dan intensitas musim adalah dampak perubahan iklim yang mulai kita rasakan. REDD+ juga menjadi sebuah pilihan ekonomi yang positif dalam transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon karena berpotensi mengurangi kandungan karbon dari pendapatan nasional Indonesia di masa depan. Emisi dari sektor LULUCF Indonesia bersumber pada deforestasi dan degradasi lahan hutan dan gambut. Karena itu arsitektur strategi pelaksanaan REDD+ di Indonesia diletakkan pada upaya pembenahan tata kelola sektor kehutanan dan lahan gambut dengan tujuan utama menurunkan deforestasi dan deforestasi. Sebagai negara berkembang dengan tutupan hutan tropis yang luas 136,8 juta Ha (RKTN, 2010), Indonesia tidak hanya dapat memperoleh manfaat finansial dari skema REDD+ tetapi juga dapat menggunakan kesempatan ini untuk membenahi tata ruang dan tata kelola hutan dan lahan. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan tata kelola, penyusunan regulasi dan memiliki sumberdaya untuk mengkoordinasikan pemangku kepentingan yang lain akan mengambil kepemimpinan untuk mempersiapkan dan menciptakan kondisi agar program‐program dapat diimplementasikan secara efektif. REDD+ akan diterapkan di Indonesia dengan cakupan: (1) Penurunan deforestasi; (2) Penurunan degradasi hutan; (3) Peningkatan konservasi stok karbon melalui konservasi, penerapan pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon. Pelaksanaan REDD+ juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sumber pendapatannya tergantung pada hutan dan meningkatkan konservasi keanekaragamanhayati yang berada dalam ekosistem hutan. Program REDD+ di Indonesia akan dilakukan di atas lahan hutan, lahan gambut dan juga lahan APL (Area Penggunaan Lain) sejauh itu relevan dengan cakupan dan tujuan di atas. Mitigasi emisi GRK yang berbasis lahan melalui REDD+ memerlukan tata ruang yang jelas disertai kepastian sistem tenurial atau hak menguasai lahan. Dengan kepastian ini tidak hanya hak tetapi juga tanggungjawab atas lahan menjadi jelas. Kepastian berusaha dan melakukan kegiatan ekonomi menjadi lebih terjamin. Di sekitar hutan terdapat 70 juta orang yang hidupnya tergantung pada keberadaan hutan. Menurut statistik terakhir saat ini (RKTN, 2010) terdapat 25,29 juta hektar Hutan Konservasi (HK), 30,96 juta hektar Hutan Lindung (HL), 33,96 juta hektar Hutan Produksi (HP), 25,94 juta hektar Hutan Produksi Terbatas (HPT), 20,64 juta hektar Hutan produksi yang dapat 3
dikonversi (HPK). Diantara kawasan ini terdapat 29,13 juta hektar hutan alam dan lahan gambut dengan berbagai kedalaman dan kondisi fisik lainnya. Di kawasan HK dan HL seluas 56,25 juta hektar dapat dikembangkan kegiatan konservasi untuk mempertahankan cadangan karbon, sekaligus memelihara keanekaragaman hayati dan meningkatkan potensi jasa lingkungan lainnya. Di kawasan HP dan HPT seluas 59,90 juta hektar usaha kehutanan yang telah berjalan akan terus dikembangkan sebagai hutan produksi yang lestari. Dengan praktek pengelolaan hutan lestari, maka emisi dari kawasan ini dapat dikurangi hingga 110 juta ton CO2/th. Di kawasan HPK dan APL yang mencapai luas 77,4 juta hektar dapat dikembangkan kegiatan rehabilitasi yang memiliki peluang untuk membatalkan emisi GRK. Jika rencana konversi, deforestasi dan degradasi di kawasan hutan yang masuk dalam kategori hutan sekunder tersebut dapat ditangguhkan melalui program REDD+, maka akan terdapat 21 juta ton CO2 yang batal diemisikan setiap tahunnya. Namun disadari bahwa kawasan HPK dan APL juga dicadangkan untuk pengembangan lahan bagi kegiatan ekonomi sektor lain seperti pertanian, perkebunan, dan infrastruktur. Cara yang efektif dan bertanggungjawab untuk mencapai target pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+ adalah dengan melakukan reklasifikasi dan tukar‐pakai (swapping) penggunaan hutan, dengan demikian akan diperoleh sejumlah kawasan berhutan (HPK dan HPL) yang direncanakan untuk dikonversi. Dalam pelaksanaannya pemerintah RI akan memanfaatkan peluang‐peluang melakukan reklasifikasi fungsi lahan dan pertukaran peruntukan sesuai dengan tujuan mengurangi emisi GRK melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Secara makro, 13 juta hektar lahan tanpa tutupan hutan yang terdapat di kawasan hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi dapat ditukarfungsikan dengan 18 juta hektar hutan primer yang masih baik di kawasan hutan produksi konversi dan APL. Delapan juta hektar dari hutan primer yang masih baik ini bahkan berada di lahan gambut.Upaya penurunan emisi melalui skema REDD+ yang didukung oleh penyelarasan tata ruang dan penguatan tata kelola hutan dan lahan memerlukan upaya yang terkoordinasi dengan tujuan utama:
Mengurangi emisi dari deforestatsi dan degradasi hutan Meningkatkan cadangan karbon di kawasan hutan Melindungi dan meningkatkan manfaat keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya Menjaga pertumbuhan ekonomi
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di dalam Strategi Nasional REDD+ dicanangkan 5 pilar yaitu: (1) Kelembagaan, (2) Kerangka hukum dan peraturan, (3) Pelaksanan Program Strategis, (4) Perubahan paradigma dan budaya kerja, serta (5) Pelibatan para pihak. Kelembagaan yang kuat (Pilar 1) diperlukan agar dapat bekerja secara lintas sektoral dan multi‐pihak dengan tata kelola yang transparan. Untuk itu akan dibentuk Badan REDD+ yang memiliki status setingkat Komisi atau Unit Kerja Presiden. Badan REDD+ bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Lembaga ini perlu dilengkapi dengan instrumen pendanaan yang akuntabel dan sistem MRV yang kredibel. Strategi Nasional REDD+ juga memprogramkan penguatan kerangka hukum dan peraturan (Pilar 2), proses, kapasitas dan kelembagaan untuk mengeliminer hambatan dicapainya 4
tujuan di atas. Mulai paruh awal tahun 2011 dilaksanakan kajian, definisi, perancangan dan perencanaan pembentukan kebijakan dan regulasi, penyelarasan insentif serta kelembagaan. Pengembangan kerangka hukum kehutanan yang berkesinambungan dengan perubahan iklim (climate friendly legal framework‐CFLF) mencakup sektor kehutanan dan lahan gambut di Indonesia sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan dan juga menjadi perangkat harmonisasi peraturan antar sektor. Pengembangannya akan dilakukan oleh lembaga REDD+ yang terbentuk. Hasil pekerjaan ini mulai diimplementasikan pada akhir paruh kedua tahun 2011. Untuk melaksanakan program strategis yang secara langsung terkait dengan pengendalian emisi, fokus pelaksanaan diarahkan untuk membantu pelaksanaan REDD+ di provinsi contoh yang telah siap. Program strategis ini difokuskan pada: (1) Pengelolaan lansekap berkelanjutan, (2) Pengembangan sistem ekonomi berbasis SDA, dan (3) Konservasi dan Rehabilitasi. Ketiga program strategis ini menjadi tumpuan untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon sekaligus mewujudkan kepastian hak dan akses masyarakat adat dan lokal lainnya terhadap pemanfaatan SDA. Nantinya seluruh provinsi berhutan mendapatkan dukungan parsial dari Badan REDD+ dan didorong untuk belajar dari dua provinsi percontohan yang telah berjalan sebelumnya. Program REDD+ akan dikembangan secara lebih sistematis pada tahun 2014 untuk seluruh Indonesia. Sebelum sampai pada pelaksanaan seluruh provinsi, Badan REDD+ juga membantu keahlian teknis dan sumber daya serta kebutuhan koordinasi terhadap proyek REDD+ dan mengambil pelajaran dari aktivitas ini. Disamping itu, strategi yang terkait perubahan paradigma dan budaya kerja (Pilar 4) dilaksanakan secepat mungkin agar masyarakat segera memahami kepentingan dan manfaat pelaksanaan program REDD+. Kampanye REDD+ melalui pendidikan, hubungan dengan negara‐negara yang sedang mengembangkan REDD+ dan pembelajarannya juga dikembangkan. Badan REDD+ juga akan melakukan kampanye perubahan budaya kerja di lingkungan birokrasi pemerintahan terkait dengan proses‐proses perencanaan pembangunan sektoral dan daerah dan mengefektifkan fungsi konsultasi publik pada setiap tahap yang diperlukan. Pada akhirnya pelibatan dan komunikasi dengan para pihak (Pilar 5) dilaksanakan dalam setiap proses pelaksanaan seluruh strategi di atas sebagai wahana untuk mewujudkan pelaksanaan partisipasi yang efektif guna mendapatkan input dan memperoleh legitimasi oleh para pihak serta menjamin prinsip keadilan dalam kebijakan REDD+ maupun pelaksanaannya.
5
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perubahan iklim adalah fenomena global yang telah menjadi perhatian berbagai pihak baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini mendorong komunitas internasional untuk mengatasi penyebabnya (mitigasi) dan mengantisipasi akibatnya (adaptasi). Penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), utamanya karbon dioksida (CO2) yang terjadi karena pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan, khususnya deforestasi hutan tropis. Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) melaporkan bahwa secara global dalam periode 2002‐2005 kontribusi kegiatan penggunaan lahan, alih guna lahan dan kehutanan (land‐use, land‐use change and forestry, LULUCF) adalah sekitar 17% dari total emisi per tahun sebesar 32.3 Gt CO2‐e (IPCC 2007). Sejak pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak ke‐13 (13th Conference of Parties, COP13) Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) di Bali tahun 2007 yang lalu, pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim berangsur‐angsur membaik. Apalagi ketika pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emission from deforestation and forest degradation, REDD) menjadi salah satu keputusan COP13 dan menjadi bagian penting dalam Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan, BAP) untuk mitigasi perubahan iklim. Hutan menjadi pokok pembicaraan yang menarik dalam konteks perubahan iklim. Biaya penurunan emisi dari sektor LULUCF yang relatif murah di negara berkembang (Stern 2007) menunjukkan bahwa mitigasi perubahan iklim melalui sektor LULUCF dapat diprioritaskan sambil tetap memanfaatkan peluang‐peluang ekonomi dalam sektor ini. Dalam pertemuan G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% berdasarkan skenario Business As Usual (BAU). Ditambahkan pula, jika negara‐negara industri bersedia membantu emisi tersebut dapat diturunkan lebih besar lagi menjadi 41%. Sejak saat itu, dalam tataran global Indonesia dipandang sebagai pelaku penting dalam isu perubahan iklim. Respon kebijakan yang terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara umum dan REDD secara khusus mulai dikembangkan. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) telah disusun, peraturan tentang tata cara dan perijinan pengurangan emisi melalui mekanisme REDD telah diundangkan.
6
Mengingat REDD adalah sebuah mekanisme yang baru, apalagi setelah berubah menjadi REDD+ karena memasukkan unsur konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan pengayaan cadangan karbon, sudah barang tentu Indonesia memerlukan perubahan paradigma yang cukup mendasar. Perubahan lintas sektoral ini akan melibatkan transformasi kelembagaan, aspek hukum dan kebijakan serta sistem tata kelola yang terkait dengan implementasi REDD+. Arsitektur REDD+ perlu dirancang bangun dengan strategi nasional yang utuh dan memberikan pilihan‐pilihan kebijakan yang mengutamakan efektivitas penurunan emisi dan peningkatan cadangan karbon hutan, efisien secara ekonomis sehingga memberikan keuntungan finansial, serta memberikan manfaat tambahan (co‐benefit) secara sosial dan ekologis. Bagi Indonesia, arsitektur REDD+ sebenarnya adalah desain ulang tata ruang dan tata kelola hutan. Oleh karena itu, disamping pengembangan beberapa lembaga baru, penyusunan Strategi Nasional REDD+ memberi arah solusi bagi tumpang‐tindih kewenangan lintas sektor dan benturan kepentingan antara pelaku bisnis dan masyarakat lokal, dan memperjelas kewenangan dan koordinasi antara kementerian/lembaga pusat dan antara pemerintah pusat dan daerah.
1.2.
Tujuan Penyusunan Strategi Nasional REDD+
Strategi Nasional REDD+ ini disusun dengan tujuan: 1. Mendukung pencapaian komitmen Presiden RI dari sisi kontribusi sektor kehutanan untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 26% di bawah prakiraan emisi tahun 2020 berdasarkan skenario BAU. 2. Menindaklanjuti Bali Action Plan, Copenhagen Accord dan Keputusan COP16 di Cancun. 3. Menyiapkan sistem kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan program REDD+. Sistem ini akan memastikan bahwa pengurangan emisi dapat dipantau, dilaporkan dan diverifikasi disertai dengan instrumen pendanaan yang dapat dipertanggunggugatkan (accountable). 4. Memberi dasar dan arahan bagi sistem tata kelola dan peraturan yang terintegrasi untuk menaungi pelaksanaan skema REDD+ yang dijalankan oleh masyarakat, korporasi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah. 5. Membangun proses dan pendekatan yang sistematis dan terkonsolidasi bagi upaya‐upaya penyelamatan hutan alam Indonesia dalam situasi perubahan nilai lahan dan harga komoditi yang sangat dinamis. 6. Memberikan acuan bagi pengembangan investasi swasta dalam bidang pemanfaatan lahan hutan dan gambut baik untuk komoditi kehutanan dan/atau pertanian serta jasa lingkungan (ecosystem service) termasuk sekuestrasi dan pemeliharaan stok karbon.
7
Secara keseluruhan, Strategi Nasional REDD+ menjadi acuan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia dan menjamin pencapaian target‐target penurunan emisi GRK nasional.
1.3.
Belajar dari Pengalaman
Sebelum pemerintah RI menyusun Strategi Nasional REDD+ ini, beberapa investor swasta dan lembaga bantuan bilateral (Australia, Inggris, Jepang, Jerman, Korea, dan Norwegia) dan multilateral (ITTO, UN‐REDD, World Bank) telah melakukan pengembangan kapasitas dan kegiatan uji coba REDD+ di lapangan. Proses ini merupakan pengalaman berharga untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung sistem Kelembagaan, MRV, dan aspek hukum dan sosial pada skala proyek dan relevansinya pada skala nasional. Sejauh ini terdapat sekitar 40 kegiatan uji‐coba REDD+ dengan situasi lapangan dan tantangan serta pola kemitraan yang berbeda. Sebagian telah secara resmi mendapatkan status tapak kegiatan uji coba (Demonstration Activities, DA). Proses pembelajaran dan pengembangan berbagai metodologi dan pendekatan implementasi dapat dijadikan pelajaran ketika proyek serupa hendak dikembangkan di tempat lain. Kegiatan pada tingkat sub nasional ini memberikan tantangan untuk melakukan agregasi pada tingkat nasional. Dalam aspek kebijakan, pemerintah juga sudah mulai melakukan pengembangan beberapa peraturan sejak 2009. Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan serangkaian peraturan menteri untuk mengatur perizinan, pedoman pengembangan tapak uji coba, dan pengembangan kebijakan terkait pembagian manfaat. Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Kehutanan telah pula mengeluarkan kebijakan anggaran pendukung yang disebut Dana Alokasi Khusus (DAK) Kehutanan dan Perubahan Iklim. Pengembangan Strategi Nasional REDD+ dan pembangunan sistem implementasinya mendapat manfaat dari berbagai pembelajaran dari kegiatan‐kegiatan lapangan dan pengembangan kebijakan terkait REDD+ yang telah muncul lebih dulu.
1.4.
Struktur dokumen Strategi Nasional REDD+
Setelah latar belakang dan tujuan penyusunan dokumen ini diuraikan dalam Bab 1. Sebagai pendukungnya Bab 2 menampilkan potret pemanfaatan lahan di dalam dan luar kawasan hutan, tren dan penyebab utama dari deforestasi dan degradasi hutan, tren emisi umum dan sektor penggunaan lahan di Indonesia, dan analisis potensi dan peluang pengembangan program REDD+. Bab 3 menjelaskan komitmen dan target penurunan emisi secara umum dan pembahasan yang lebih mendalam tentang komitmen Indonesia untuk melakukan pengaturan ulang tata ruang dan tata kelola hutan yang menjadi dua fondasi utama arsitektur strategi nasional ini. Bab ini juga menguraikan visi, misi, tujuan, ruang lingkup, dan potensi manfaat pengembangan REDD+. Sebagai bagian dari strategi, bab ini memandatkan sinkronisasi pengembangan strategi dengan berbagai program lain terkait upaya pemerintah dalam 8
penanganan perubahan iklim dan kebijakan pemanfaatan lahan. Bagian akhir bab ini menguraikan kesempatan untuk memastikan tujuan konservasi keanekaragaman hayati menjadi bagian dari pengembangan program/proyek REDD karena perannya yang sangat penting dalam dinamika ekosistem hutan, dan dalam memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Pengukuran keanekaragaman hayati secara konkret akan membuka peluang untuk mewujudkan nilai premium di atas harga karbon yang dihasilkan dan telah diverifikasi penurunannya. Bab 4 merupakan inti dari keseluruhan dokumen Strategi Nasional REDD+ ini dan memuat kerangka utama strategi yang terdiri dari 5 (lima) pilar utama, dan merinci arahan bagi pengembangan sistem yang diperlukan. Kelima pilar itu ialah (1) pengembangan kelembagaan tata kelola REDD+, instrumen pendanaan dan sistem MRV, (2) pengembangan hukum dan peraturan penunjang, (3) perencanaan program‐program strategis, (4) perubahan paradigma dan budaya kerja menuju partisipasi yang inklusif dalam pengembangan kebijakan, program/proyek dan mekanisme/protokol pelaksanaannya, dan (5) pelibatan masyarakat secara efektif melalui implementasi proses PADIATAPA/FPIC (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan/Free Prior Inform Consent), pengembangan sistem pengaman (safeguard), dan mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing) yang adil dan jujur. Kebutuhan pengembangan infrastruktur, penyiapan pra‐kondisi dan kondisi pemungkin (enabling condition), kapasitas kelembagaan dan profesional, dan perangkat lunak dijabarkan dalam bab ini. Bab 5 memberikan indikasi prioritas kegiatan yang perlu dilakukan oleh ketiga lembaga baru yang akan dibentuk (Badan Tata Kelola REDD+, Dana Kemitraan REDD+, dan Badan MRV REDD+) yang akan menjadi bagian dari rencana aksi untuk membangun berbagai perangkat kerja kelembagaan dan kapasitas yang diperlukan. Keseluruhan pengembangan sistem pendukung program REDD+ yang diamanatkan dalam Strategi Nasional ini akan memakan waktu 2‐3 tahun melalui tahap perancangan, inisiasi, pembentukan lembaga, pengembangan perangkat kerja, pembelajaran dan pengembangan kapasitas. Tahun 2014 ditargetkan sebagai tahun mulainya implementasi penuh REDD+ di Indonesia. Uraian mengenai implementasi REDD+ di Provinsi Percontohon diuraikan pada bab ini sebagai gambaran mengenai permasalahan nyata yang dihadapi dan indikasi pemecahannya.
9
BAB 2 PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
2.1. Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia Kegiatan tata guna lahan, alih guna lahan dan kehutanan (land‐use, land‐use change and forestry, LULUCF) merupakan penyumbang terbesar dalam emisi GRK di Indonesia. Dari seluruh emisi nasional pada tahun 2000 sebesar 1378 juta tCO2‐e, 821 juta tCO2‐e (60%) diantaranya berasal dari sektor LULUCF (MoE 2009). Angka ini menggambarkan bahwa mekanisme REDD+ memiliki potensi untuk mengatasi dua per tiga masalah emisi GRK di Indonesia. Oleh karena itu Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan dalam peran sektor LULUCF. Emisi GRK dari sektor yang berbasis lahan tidak hanya berasal dari perubahan luas atau tutupan hutan (forest cover) yang disebabkan oleh deforestasi atau kemerosotan biomassa di atas permukaan (above ground) , tetapi juga bersumber dari emisi dari oksidasi bahan organik di bawah permukaan (below ground) lahan gambut. Oksidasi tersebut terjadi karena proses pengeringan (drainase) dan kebakaran lahan gambut yang sudah mengering. Tabel 2.1 menunjukkan sumber‐sumber emisi GRK berbasis lahan yang terkait dengan biomassa di atas dan di bawah permukaan. Tabel 2.1. Perkiraan laju deforestasi dan emisi GRK pada berbagai periode yang diperkirakan oleh berbagai pihak Laju Sumber Kegiatan Periode Deforestasi Emisi (juta ha/th) (juta tCO2‐e/th) Penggunaan, alihguna 1990‐1996 1.87 1729 MoFo (2010) lahan, dan kehutanan 1997‐2000 3.51 3247 MoFo (2010) 999 MoFo (2010) (LULUCF) 2001‐2003 1.08 2004‐2006 1.17 1082 MoFo (2010) 2000‐2005 689 MoE (2010) Kebakaran lahan 1997‐2006 1400 Hooijer et al gambut 2000‐2006 903 (2006)* 2000‐2005 364 BAPPENAS (2009) MoE (2010) Drainase lahan 1997‐2006 632 Hooijer et al gambut (2006)* *) Termasuk emisi dari Serawak, Malaysia Fluktuasi deforestasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari faktor‐faktor kebutuhan atas lahan pertanian dan infrastruktur, dorongan pasar yang muncul dari dinamika harga dan kesempatan di sektor pertanian (seperti coklat dan sawit) dan pertambangan (khususnya batubara). Krisis moneter tahun 1997 juga membawa dampak yang serius ketika hutan 10
menjadi jaring pengaman (safety net) sosial (Sunderlin 2000). Tren dari deforestasi dalam kurun waktu 15‐20 tahun terakhir terlihat pada Gambar 2.1. Puncak deforestasi di Indonesia terjadi pada akhir dekade 1990‐an. Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut yang sangat luas dalam periode 1997‐98 yang menyumbang emisi sangat signifikan dipicu oleh kebijakan yang mendorong proses alih‐guna lahan dalam skala besar pada periode tersebut (Murdiyarso et al. 2004). Melalui kebijakan yang tepat dalam tata ruang dan perbaikan tata kelola lahan hutan dan gambut sebagai bagian dari strategi REDD+, Indonesia optimis dapat menekan laju deforestasi jauh di bawah angka rata‐rata sekarang sebesar 1.1 juta hektar pertahun.
Gambar 2.1. Tren deforestasi Indonesia, 1990‐2006 Dipahami bahwa deforestasi di Indonesia terjadi karena kegiatan‐kegiatan terencana untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan telah tertuang baik dalam rencana konversi hutan yang disetujui pemerintah melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), maupun kegiatan‐ kegiatan yang tidak terencana seperti bencana alam (misalnya kebakaran hutan, longsor), pencurian kayu, dan alih fungsi lahan hutan dan gambut secara liar untuk berbagai keperluan. Berbagai tipologi deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama 30‐40 tahun terakhir, diringkaskan dalam Tabel 2.2. berikut:
11
Tabel 2.2. Tipologi kegiatan penyebab deforestasi dan degradasi hutan
Sumber: Bappenas Konsekuensi utama dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut adalah lepasnya GRK ke atmosfir yang intensitasnya tergantung pada penyebabnya. Emisi GRK secara khusus menjadi lebih memprihatinkan jika bersumber dari kebakaran lahan gambut dan oksidasi yang terjadi jika mengalami pengeringan akibat pembukaan hutan dan pemanfaatan lahan di atasnya. Lahan gambut secara rata‐rata menyimpan lebih banyak karbon per meter kubik dibanding tanah mineral kering. Dengan pola deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut seperti digambarkan di atas, kunci dari pengurangan emisi dari sector LULUCF di Indonesia ialah dengan menurunkan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Strategi ini memberi arahan penanganan tata kelola faktor‐faktor dan kegiatan penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut tersebut.
2.2 . Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia Deforestasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai kegiatan terencana seperti pemekaran wilayah, konversi hutan di dalam areal yang disetujui (dalam RTRW), konversi hutan pada area penggunaan lain (APL), serta ijin kuasa pertambangan dan perkebunan di kawasan hutan. Deforestasi juga terjadi akibat berbagai kegiatan yang tidak direncanakan seperti 12
perambahan dan kebakaran hutan serta klaim lahan hutan yang berujung pada konversi. Adapun degradasi hutan yang terencana dapat terjadi akibat kegiatan pemegang IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman yang berlokasi di hutan alam yang masih baik. Degradasi hutan yang tidak terencana dapat berupa pemanenan di luar lokasi tebangan, illegal logging, kebakaran hutan kecil baik oleh faktor alam maupun akibat pembukaan lahan. Berdasarkan hasil identifikasi melalui analisis tulang ikan (fishbone) yang diperoleh dari konsultasi publik di tujuh wilayah, diperoleh faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan yaitu: (1) perencanaan tata ruang tidak efektif dan tenurial yang lemah, (2) manajemen hutan yang tidak efektif, serta (3) tata kelola (governance) dan penegakan hukum lemah (Gambar 2.2.). TATA RUANG YANG LEMAH
MASALAH TENURIAL Konflik Lahan Tidak pernah selesai
Tidak Menerapkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Tidak adanya alternative mata pencaharian
Partisipasi Rendah Paradigma Pembangunan Belum Patuh Pada prinsip SD Lack of Leadership
UNIT MANAGEMEN HUTAN TIDAK EFEKTIF
Stok data dan Informasi lemah
Sistem Penguruhan Hutan lemah Kapasitas Individu Pekerja Kehutanan/Pengelolaan
Masyrakat Adat belum daiakui Batas kawasan tidak pernah mantap
Perencanaan Sektoral tdk Terpadu
Organisasi Pengelolaan Tidak Performe DEFORESTASI
Konversi Terencana (perkebunan dan pertanian, tambang, infrastruktur, dll) Konversi Tidak Terencana (perambahan, kebakaran), Illegal logging, Target Pertumbuhan Ekonomi Kesenjangan Supply & Demand Kayu & Oil Palm
Koordinasi yang lemah Ketidakadilan distribusi pendapatan dari sektor Hutan
Penagakan Hukum Lemah
DEGRADASI
Efektivitas dan Efisiensi Rendah Transparansi, Partispasi & akuntabilitas rendah Pengelolaan tidak bekerja di lapangan
GOVERNANCE
Dasar Hukum Lemah
DASAR DAN PENEGAKAN HUKUM LEMAH
Sumber: Diolah dari hasil konsultasi regional Bappenas tahun 2010
Gambar 2.2. Identifikasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan dengan analisis tulang ikan (fishbone analysis) Perencanaan Tata Ruang tidak efektif dan tenurial yang lemah. Penyusunan RTRW bertujuan mengoptimalkan penggunaan ruang yang seimbang antara penggunaan ruang untuk peningkatan pertumbuhan daerah, kebutuhan pembangunan, dan daya dukung lingkungan (Siagian dan Komarudin 2009 dalam Bappenas, 2010). RTRW disusun sebagai pedoman bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk pelaksanaan pembangunan jangka panjang sekaligus mewadahi kepentingan penggunaan ruang oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swasta, dan masyarakat. Namun demikian, instrumen RTRW belum efektif mewadahi berbagai kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan karena ketersediaan data dan informasi yang kurang 13
akurat, dan perencanaan pembangunan sektor pengguna lahan yang tidak berkelanjutan dan tidak terpadu. Hal ini diperparah oleh masalah tenurial karena status dan batas kawasan hutan yang tidak jelas, tidak jelasnya pengakuan hak masyarakat adat dan lokal lainnya serta budaya produksi penduduk yang diperparah oleh terbatasnya sumber pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Sebagai akibatnya muncul berbagai masalah seperti konflik pengggunaan hutan dengan pertambangan dan pertanian, penerapan praktek budidaya pertanian yang tidak ramah lingkungan, serta terbatasnya produksi kayu untuk pembangunan. Konflik dan sengketa lahan sering berlangsung berkepanjangan karena berbagai masalah dalam pendekatan resolusi konflik dan penegakan hukum. Manajemen hutan yang kurang efektif. Pengelolaan hutan sesuai fungsinya yaitu hutan konservasi, lindung dan produksi telah dilakukan, namun belum cukup efektif, akibat lemahnya organisasi pengelolaan hutan. Untuk kawasan konservasi yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah, masih belum didukung oleh dana, prasarana dan sarana serta jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai kebutuhan. Demikian pula dalam pengelolaan hutan lindung. Bahkan dalam banyak lokasi, hutan lindung yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah Daerah, tidak ada pengelolanya. Sementara itu, untuk hutan produksi seluruhnya dikelola oleh para pemegang ijin dengan pengawasan yang sangat lemah oleh pemerintah. Akibatnya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak mempunyai informasi cukup sebagai dasar pengambilan keputusan. Berbagai bentuk rekomendasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan perencanaan dan pemanfaatan hutan lebih bersifat administratif, sebaliknya kurang berdasarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Tata kepemerintahan (governance) dan dasar penegakan hukum lemah turut mempengaruhi timbulnya deforestasi dan degradasi hutan. Di dalam proses perijinan, kurangnya koordinasi antar pihak‐pihak yang memiliki kewenangan mengakibatkan konflik penggunaan kawasan hutan. Hal ini juga memicu ketidakadilan dalam pemanfaatan dan penggunaan sumber daya hutan karena pelibatan masyarakat lokal dalam proses pemberian ijin pemanfaatan hutan masih sangat terbatas. Hal demikian baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi penyebab terjadinya konflik di lapangan sehingga berkontribusi sebagai penyebab iklim berusaha yang tidak kondusif. Dasar penegakan hukum, terutama terhadap keterlanjuran penggunaan kawasan hutan, tidak dapat menopang penyelesaian masalah tersebut akibat interpretasi atas isi Undang‐ undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang‐undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak sinkron. Akibatnya, peluang terjadinya deforestasi, baik yang direncanakan maupun tidak, tetap terbuka lebar. Penjabaran berbagai undang‐undang yang memanfaatkan sumber daya hutan dan lahan dalam bentuk Peraturan Pemerintah juga menimbulkan masalah ketidakselarasan dan ketidakjelasan hukum. Ketidakselarasan hukum secara horisontal terjadi antara peraturan di sektor kehutanan dengan peraturan di sektor pengguna lahan hutan seperti perkebunan dan pertambangan. Selanjutnya ketidakselarasan juga terjadi secara vertikal, antara peraturan di tingkat Pemerintah, dengan di tingkat Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketidakselarasan peraturan juga disebabkan ketidaksejalanan dengan prinsip‐prinsip Hak Asasi Manusia dan keadilan yang telah diakui dalam kesepakatan global seperti UNDRIP (UN Declaration on the Right of Indigenous People) dan Covenant ECOSOC dimana Indonesia turut menandatanganinya. 14
Dalam konteks penegakan hukum, terjadi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Kelemahan penegakan hukum di sektor kehutanan terjadi baik pada saat sebelum dan setelah terjadinya perkara. Pada saat sebelum ada perkara, modus yang terjadi mulai dari proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, perizinan, sampai dengan pada saat eksploitasi sumber daya hutan (pemberian dan pelaksanaan izin). Pada saat setelah ada perkara, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pengambilan putusan, juga rentan terhadap masalah penyalahgunaan kewenangan. Kelemahan penegakan hukum ini telah mengakibatkan angka tindak pidana kehutanan yang dihukum masih sangat sedikit, dan mayoritas pelaku terpidana adalah pelaku di lapangan. Penegakan hukum yang ada belum mampu menjangkau aktor intelektual dan/atau oknum pejabat yang melakukan penyalahgunaan kewenangan.
2.3. Skenario BAU dan Konsekuensinya Dengan skenario Business As Usual (BAU) diperkirakan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia akan mencapai 2,95 GT (Giga Ton) pada tahun 2020, atau hampir 40% lebih tinggi dari tingkat emisi tahun 2005, dan 71% lebih tinggi dari emisi tahun 2000 (Gambar 2.3.). Tren kenaikan emisi ini dapat dipahami sesuai dengan peningkatan usaha pembangunan ekonomi di semua sektor. 2,950 Agriculture Industry Wastes
2,120
Energy & transportation
1,720
2000
Forestry1 & peat
2005
2020
Sumber: Diolah dari Indonesia Second National Communication, 2010
Gambar 2.3. Profil emisi sektoral tahun 2000, 2005 dan 2020 dengan skenario BAU Dalam analisisi tren emisi berdasarkan skenario BAU, sektor pengguna lahan, yaitu kehutanan, lahan gambut dan pertanian terus menjadi penyumbang utama bagi emisi GRK sampai dengan 2020. Namun secara proporsional, terjadi penurunan porsi yang signifikan. Kehutanan dan lahan gambut yang secara bersama‐sama menyebabkan lebih dari 70% emisi GRK di tahun 2005, pada tahun 2020 porsinya menurun menjadi sedikit di atas 50%. Dalam masa ini porsi kontribusi emisi sektor pengguna lahan secara keseluruhan menurun karena bergeser ke sektor energi yang dalam skenario BAU akan didominasi pertumbuhannya oleh 15
pembangunan pembangkit tenaga listrik berbasis batubara. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan emisi di sektor energi, industri dan transportasi diperkirakan terjadi lebih cepat dari pertumbuhan emisi di sektor lain; bahkan lebih cepat dari pertumbuhan sektor industri dan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (World Bank, 2010). Pertumbuhan sektor energi yang masih mengandalkan bahan bakar fosil, dan dominasi sektor kehutanan dan lahan gambut dalam tren emisi berdasarkan skenario BAU sampai dengan 2020 menimbulkan kekhawatiran meningkatnya kandungan karbon dalam perekonomian Indonesia dan makin tingginya kontribusi Indonesia pada penyebab perubahan iklim global. Kekuatiran pertama didasarkan pada tren pengembangan produk‐produk industri di pasar internasional yang menuju pada produk dengan kandungan karbon yang rendah. Keterlambatan Indonesia dalam mengadopsi langkah‐langkah menuju Ekonomi Rendah Karbon (low carbon economy) dapat mengurangi daya saing produk Indonesia di masa depan dan membatasi pengembangan pasar produk. Kekuatiran kedua, tingginya kontribusi Indonesia pada emisi GRK sebagai penyebab perubahan iklim secara global, juga meningkatkan resiko Indonesia menerima dampak dari perubahan iklim. Di samping sebagai penyumbang emisi yang signifikan, Indonesia adalah negara yang rentan terhadap berbagai dampak perubahan iklim. Pergeseran musim hujan dan panas dan meningkatnya intensitas hujan dan panas dalam musimnya berpotensi menimbulkan penurunan produktifitas sektor pertanian, terutama pangan, sehingga memunculkan isu ketahanan pangan dalam jangka panjang. Hal yang sama juga meningkatkan resiko terjadinya bencana alam yang terkait dengan musim seperti banjir, longsor, dan kekeringan yang kita lihat makin sering terjadi dan menimbulkan kerugian jiwa dan materi yang signifikan. Sebagai negara kepulauan yang penduduknya terkonsentrasi di dataran rendah, terutama wilayah Pantai Utara pulau Jawa, puluhan juta penduduk Indonesia rentan terhadap resiko tergenangnya sebagian lahan hidup dan usaha secara permanen (MoE, 2010). Besarnya potensi emisi GRK Indonesia di masa depan berdasarkan skenario BAU, potensi dampak negatif terhadap daya saing produk Indonesia di masa depan, dan meningkatnya resiko dampak fisik akibat perubahan iklim yang dipicu oleh emisi GRK, memberi dasar yang kuat bagi pemerintah RI memberikan komitmen yang progresif dalam upaya menurunkan emisi GRK dari Indonesia.
16
BAB 3 KOMITMEN INDONESIA DAN REDD+ Dari sudut pandang pembangunan, perubahan iklim terjadi karena pilihan model pembangunan yang gagal untuk mewujudkan keseimbangan antara kemampuan alam dan proses produksi konsumsi. Sebagai hasilnya akumulasi gas rumah kaca yang disebabkan pengeluaran emisi dari pola produksi dan konsumsi terus meningkat. Melalui berbagai pengaturan di bawah UNFCCC, dunia berusaha memperbaiki kegagalan ini dengan mewajibkan negara‐negara industri maju untuk menurunkan emisinya melalui berbagai kegiatan mitigasi, adaptasi dan alih teknologi dan bergerak menuju jalur pembangunan rendah karbon. Negara‐negara berkembang yang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi, mendapat tawaran berbagai bentuk dukungan pendanaan dan teknologi jika bersedia mengubah jalur pembangunan ekonominya menuju pembangunan rendah karbon. Bagi negara seperti Indonesia yang menjalankan pembangunan dengan prinsip “pro‐growth, pro job, pro‐poor and pro‐environment” berbagai kesempatan ini perlu ditimbang dengan urgensi penurunan tingkat kemiskinan dan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi. Indonesia menjadi negara berkembang (Non‐Annex I) pertama yang menyatakan komitmen pengurangan emisinya secara sukarela. Keputusan ini menjadi suatu terobosan di tengah ketidakpastian negosiasi UNFCCC, sekaligus menjadi contoh nyata bahwa negara berkembang juga mampu untuk berkontribusi mengurangi emisi sebagai upaya menanggulangi perubahan iklim global. Dalam pengurangan emisi tersebut, Indonesia akan melakukannya tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain serta kesejahteraan masyarakat. Pemerintah mentargetkan perkembangan ekonomi sebesar 7% per tahun. REDD+ pada dasarnya merupakan mekanisme insentif ekonomi yang diberikan kepada negara berkembang dalam kerangka pengelolaan hutan berkelanjutan yang dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi. Indonesia sebagai negara yang memiliki luas hutan 70% dari luas daratannya tentu memiliki peluang besar untuk menerapkan REDD+. Dengan mekanisme REDD+, Indonesia bisa menjadi garda terdepan dalam memberikan solusi bagi permasalahan perubahan iklim dunia. Sebagai konsekuensi logis menjadi negara berkembang yang ada dalam masa transisi dan daratan Indonesia yang didominasi kawasan hutan, maka tentu terdapat kompleksitas pengelolaan sektor kehutanan dan pengelolaan lahan gambut. Biaya yang diperlukan untuk dapat mewujudkan target Indonesia untuk berkontribusi terhadap pengurangan emisi juga merupakan suatu tantangan yang tidak mudah. Melihat pada kompleksitas tersebut, diperlukan suatu strategi yang tepat sasaran, terukur dan jelas sehingga tujuan untuk mencapai komitmen pengurangan emisi dapat dicapai.
17
3.1. Komitmen Pemerintah Indonesia Target penurunan emisi sebanyak 26‐41% menjadi komitmen resmi pemerintah Indonesia melalui pendaftaran secara resmi sebagai Voluntary Emission Reduction kepada UNFCCC tanggal 31 Januari 2010. Selain komitmen pengurangan emisi, Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk mewujudkan Ekonomi Rendah Karbon sebagai bagian dari transisi menuju ekonomi hijau (Green Economy). Setelah komitmen ini disampaikan, pemerintah berusaha mengarusutamakan kebijakan perubahan iklim dengan memadukan target penurunan emisi 26% ini dan dokumen Roadmap sektoral ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010‐2014 dan prioritas kerja pemerintah. Kebijakan penurunan emisi sebesar 26% dari BAU tahun 2020 ini dianggap sangat progresif oleh dunia dan memberikan peluang bagi pembenahan pembangunan nasional di semua sektor yang selama ini menjadi tantangan Indonesia Untuk Indonesia yang kehidupan masyarakatnya bersinggungan erat dengan kondisi alam dan perekonomian yang berbasis sumber daya alam, disamping upaya‐upaya yang terfokus pada mitigasi, Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan adaptasi berbasis ekosistem (ecosystem‐based adaptation) yang selain meningkatkan ketahanan ekosistem (ecosystem resilience) secara tidak langsung juga memiliki manfaat mitigasi. Rehabilitasi hutan lahan gambut yang rusak, atau rehabilitasi hutan bakau yang rusak misalnya, memberikan manfaat adaptasi dan mitigasi sekaligus, disamping dampak kenaikan produktifitas sumber‐sumber ekonomi yang akan muncul dari ekosistem yang menjadi lebih baik itu. Secara keseluruhan Indonesia memerlukan strategi adaptasi nasional yang berimbang dan komplementer bagi strategi mitigasi. Keduanya perlu terintegrasi dengan prioritas pembangunan dan mekanisme pendanaan yang jelas. Dalam rangka menuju implementasi komitmen target penurunan emisi sebesar 26% dari BAU 2020, pemerintah telah menetapkan sektor‐sektor yang akan berkontribusi mencapai target penurunan tersebut. Empat sektor utama yang diharapkan memberikan kontribusi terbesar ialah kehutanan, pengelolaan lahan gambut, energy, dan pengelolaan sampah. Terkait hal tersebut, sektor kehutanan dan lahan gambut menyumbang emisi yang sangat besar hingga mencapai lebih dari separuh emisi Indonesia. Total emisi Indonesia sebesar 1
1,415,988 Gg dan 821,173 Gg berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut . Sumber emisi dari kehutanan adalah deforestasi (59%), tanah (oksidasi gambut) (18%), kebakaran 2
gambut (14%) dan kegiatan pemanenan kayu (9%) . Tiga sektor lain yang akan ikut menyumbang ialah pertanian, transportasi dan industri. Meskipun ketika tulisan ini dibuat rencana implementasi sektoral belum tuntas dan Peraturan Presiden sebagai dasar hukum pelaksanaannya belum keluar, dari informasi yang tersedia, target penurunan emisi 26% dari BAU akan mentransisikan tingkat emisi netto Indonesia seperti dalam gambar di bawah ini.
1 2
Second National Communication, Hal 6 Ibid, hal 6
18
Gambar 3.1. Transisi tingkat emisi dengan skenario penurunan emisi 26‐41% di bawah BAU 2020 Dengan komitmen penurunan emisi sektor kehutanan dan lahan tersebut, Presiden juga menyatakan bahwa pada tahun 2030, hutan Indonesia akan berubah dari net emitter sector menjadi net sink sector. REDD+ menjadi peluang besar untuk mewujudkan komitmen tersebut. Disamping itu, penerapan REDD+ di Indonesia dapat menjadi bagian dari upaya pelestarian keanekaragaman hayati yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya penurunan emisi dari sektor kehutanan perlu ditempatkan dalam konteks mentransisikan perekonomian Indonesia menjadi green economy yang bercirikan proses produksi hingga hasilnya memiliki tingkat pelepasan emisi yang rendah dan secara dinamis didasarkan pada keunggulan kompetitif sumber daya ekonomi secara keseluruhan yang mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Sumber daya alam yang terdapat di Indonesia merupakan suatu modal alami (natural capital) yang memiliki berbagai nilai dan manfaat baik di masa kini dan terlebih di masa yang akan datang. Nilai ekonomi dari modal alami yang dimiliki Indonesia ini bukan hanya semata berasal dari melakukan ekstraksi atau pemanfaatan secara langsung sumber daya alam tersebut. Nilai ekonomi dari jasa lingkungan (environmental services) juga menjadi sangat penting dan berharga di masa yang akan datang. Indonesia memiliki potensi dan peluang yang signifikan dalam bidang pengembangan (a) berbagai komoditas pangan utama (staple food) dan protein hewani, (b) produk hortikultur, (c) obat‐obatan, dan (d) kosmetik. 19
Pengembangan potensi jasa lingkungan di sektor kehutanan ini dapat dikaitkan langsung dengan inisiatif REDD+ yang sejatinya bertujuan memastikan hutan alam Indonesia dikelola secara berkelanjutan. Penyusunan RPJM Nasional berikutnya seyogyanya juga mempertimbangkan secara matang potensi modal alami ini.
3.2. REDD+ di Indonesia Kementerian Kehutanan semenjak tahun 2007 telah memberikan perhatian kepada rencana implementasi skema REDD di Indonesia (REDDI). Oleh karena itu, dimunculkan kebijakan mengenai fase implementasi bertahap dari REDD yang mencakup persiapan, transisi/pilot activities, dan implementasi penuh. Untuk mempersiapkan pembahasan REDD di Bali (pada saat COP 13), Departemen Kehutanan membentuk Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) yang juga didukung dengan bantuan dari negara‐negara donor serta berbagai pihak dari pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat sipil.3 Kelahiran IFCA juga tidak terlepas dari peran Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di bawah Kementerian Kehutanan yang mengkonsultasikan dengan beberapa pihak perumusan kerangka acuan bagi IFCA. Perhatian sektor kehutanan ini menunjukkan bahwa Indonesia memandang skema REDD sebagai sebuah momentum titik balik perbaikan sektor kehutanan di Indonesia, sekaligus menjadi peluang baru untuk meningkatkan potensi kehutanan serta lahan gambut yang juga meliputi keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan andil besar Indonesia untuk memasukkan 3 elemen penting dalam konsepsi REDD+ pada dokumen Bali Action Plan, 1) Penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan, 2) Mengakui peran penting konservasi, dan 3) Pengayaan simpanan karbon.4 Ketiga elemen tersebut yang kemudian 5
berkembang menjadi “REDD+”. Andil besar Indonesia tersebut perlu disertai dengan upaya pengembangan kebijakan dan perangkat aturan untuk mendukung pelaksanaan REDD di Indonesia. Semenjak tahun 2008 telah dikeluarkan berbagai peraturan dan gagasan, antara lain: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan demonstration activities pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. 2. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). 3. Peraturan Menteri 36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
3
4
IFCA terbentuk sebelum terbentuknya ICCTF. IFCA didukung oleh World Bank, Inggris, Jerman dan Australia. Lihat
diakses pada tanggal 8 Maret 2010
FCCC/CP/2007/6/Add.1 (Decision 1/CP.13, paragraph b(iii))
5
Konsepsi kegiatan semacam REDD sudah mulai masuk ke dalam meja perundingan secara resmi pada COP 11 UNFCCC (2005) melalui inisiasi dari koalisi negara‐negara berhutan, dan terus berkembang. Pada awal kemunculannya (2005) skema ini masih dipandang sebagai kegiatan untuk pengurangan deforestasi semata (reducing emission from deforestation – RED). Namun pada keputusan COP 13 di Bali, disepakati bahwa aspek degradasi hutan juga perlu untuk dimasukkan, sehingga menjadi REDD. Secara eksplisit, COP 13 belum memberikan istilah “REDD+”, namun esensi dari keputusan COP 13 kemudian menjelma menjadi REDD+ pada pertemuan COP 14 di Poznan. (Carbon Planet White Paper “The History of REDD Policy, 4 December 2009)
20
4. Keputusan Presiden No.19 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+. 5. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia (REDDI): Readiness Strategy 2009‐2012. 6. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 64 tahun 2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Hutan dan Perubahan Iklim, yang bertugas memberikan input kebijakan dan memfasilitasi proses penyiapan perangkat implementasi REDD+. 7. Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional : Penanganan Perubahan Iklim Sektor Kehutanan. Berbagai inisiatif pelaksanaan REDD+ secara sukarela (voluntary) telah dilakukan di Indonesia, sampai dengan tahun 2010 lokasi pelaksanaan kegiatan dapat dilihat pada gambar berikut.
21
Gambar 3.2. Kegiatan inisiatif REDD+ di Indonesia
22
Selain berbagai peraturan, gagasan dan demonstration activities yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, maka terdapat juga kegiatan pendukung lainnya yang sedang dikerjakan berbagai pihak, antara lain : 1. ICRAF : estimasi dinamika simpanan karbon yang kredibel pada tingkat nasional selama 20 tahun terakhir yang menaati pendekatan Tier 3. 2. Proposed Forest Carbon Partnerhip Facilities (FCPF): penentuan PSPs (permanent sample plots) yang mewakili berbagai jenis hutan untuk pemantauan karbon hutan di atas permukaan tanah sesuai dengan pendekatan Tier 3. 3. JICA : peningkatan system pemantauan dan penilaian melalui penggunaan citra satelit dan kapasitas untuk mengestimasi biomassa dan karbon. 4. UN‐REDD : Kajian standar dan metodologi MRV. 5. DNPI: melakukan kajian Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia dan Strategi Pembangunan Rendah Karbon di tiga provinsi yaitu Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. 6. Kementrian kehutanan: pengembangan system informasi geografis (webgis), jaringan data spasial kehutanan yang diluncurkan Menteri Kehutanan tanggal 30 Juli 2010. Webgis yang dibuat Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi dapat memperlihatkan perubahan penutupan hutan setiap periode. Institusi ini telah berusaha untuk meningkatkan kualitas, mendukung pertukaran dan menyebarluaskan sajian data / informasi sepasial kehutanan baik dalam bentuk buku, peta dan website. Data spasial adalah data hasil pengukuran, pencatatan dan pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional No 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional. Niat Indonesia untuk mempersiapkan dan melaksanakan REDD+ juga dapat terlihat dari jumlah dana yang didapatkan dari berbagai inisiasi proyek di tingkat nasional yang mencapai 6
jumlah lebih dari US$ 62.610.000. Jumlah tersebut menunjukan bahwa perhatian dunia Internasional dan potensi Indonesia dalam konteks implementasi REDD+ sangat besar. Namun potensi besar tersebut juga perlu untuk dibarengi dengan kejelasan visi, misi dan cakupan dari pelaksanaan REDD+ di Indonesia.
3.2.1. Visi, misi, tujuan, dan ruang lingkup REDD+ Visi Pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut 7 yang berkelanjutan dan berkesinambungan sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
6
7
Estimasi yang diolah dari berbagai sumber, antara lain: Sarsito (2010), Executive Summary Strategic Plan of Berau Forest Carbon (2010) dan Indonesia Timber Market Report Vo. 15 No.15, 1st‐15th August 2010 hal.4.
Sumber daya alam dalam pemahaman ini diartikan sebagai tanah, air, udara sebagaimana termaktub di dalam pasal 33 Undang undang Dasar 1945.
23
Misi Memastikan bahwa institusi, regulasi, proses dan praktek pengelolaan kekayaan alam mendukung pencapaian visi dari strategi nasional REDD+. Tujuan Dengan berbagai kompleksitas kondisi yang ada di Indonesia, terdapat tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang dari pelaksanaan strategi REDD+ di Indonesia. Secara garis besar, tujuan jangka pendek (2011‐2013) pelaksanaan REDD+ adalah memperbaiki kondisi tata kelola kehutanan secara keseluruhan untuk dapat mencapai komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi sebesar 26 – 41% pada tahun 2020. Tujuan jangka menengah (2013‐2020) adalah untuk mempraktekan mekanisme tata kelola dan pengelolaan hutan secara luas yang telah ditetapkan dan dikembangkan dalam tahap sebelumnya. Sedangkan tujuan jangka panjangnya (2020‐2030) adalah merubah peran 8
hutan Indonesia dari net emmiter sector menjadi net sink sector pada tahun 2030.
8
Pidato Presiden SBY pada pertemuan G 20, 29 September 2009 (paragraph 21)
24
Tabel 3.1. Tujuan Strategi Nasional REDD+ di Indonesia Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2011‐2013) (2013‐2020) (2020‐2030) Peningkatan dan penyempurnaan perencanaan terutama terkait dengan penataan ruang, penatagunaan lahan, dan proses perijinan pemanfaatan ruang pada tingkat provinsi dan Kabupaten/kota.
Penurunan emisi GRK, khususnya dari sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dan menciptakan sebuah pijakan bagi pengurangan emisi yang lebih substansial dengan investasi lebih lanjut.
Peningkatan nilai produksi hutan (kayu dan non‐kayu) dengan menggunakan sistem pengelolaan hutan lestari dengan menggunakan pendekatan insentif.
Peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya manusia maupun pendanaan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam progam pengelolaan hutan secara lestari dan pelestarian kawasan lindung.
Pemeliharaan dan peningkatan simpanan karbon (carbon stock) melalui kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem dan rehabilitasi hutan.
Pemeliharaan fungsi hutan Indonesia sebagai penyerap dan penyimpan karbon (net sink sector)
Perbaikan sistem tata kelola serta reformasi birokrasi pada institusi kehutanan maupun sektor lain yang terkait kehutanan.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaan kawasan hutan.
Peningkatan pengelolaan sumberdaya alam hayati melalui pelestarian ekosistem yang bernilai tinggi, melindungi keanekaragaman hayati dan terjaganya fungsi daerah aliran sungai
Peningkatan kepercayaan investor untuk melaksanakan kegiatan/usaha di Indonesia khususnya sektor yang berbasis penggunaan lahan.
Untuk dapat mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di atas, maka implementasi REDD+ di Indonesia harus memenuhi prinsip efektivitas, efisiensi, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Kelima unsur tersebut akan menjadi pilar utama pelaksanaan REDD+ di Indonesia serta dilaksanakan dengan mengedepankan inklusifitas untuk menjamin
25
akuntabilitas dalam pelaksanaannya. Kelima prinsip tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Efektivitas: Kegiatan REDD+ merupakan momentum untuk memperbaiki kondisi kehutanan di Indonesia secara utuh. Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan efektivitas yang dapat terukur baik dari segi penurunan emisi secara ril, maupun dari segi perbaikan tata kelola implementasi kegiatan dan pemerintahan, penyusunan kebijakan dan penegakan hukum. 2. Efisiensi: kegiatan REDD+ di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kegiatan jangka panjang yang mendatangkan keuntungan finansial, ekologis dan sosial namun tetap menjaga efisiensi dari konteks pelaksanaan program. Secara umum hal ini diartikan sebagai pelaksanaan program yang mengedepankan perencanaan yang matang dan dapat menjawab berbagai tantangan. Hal ini juga berarti bahwa pelaksanaan REDD+ harus dilaksanakan dengan biaya yang efisien dan efektif dalam penggunaannya. 3. Keadilan: Dalam melaksanakan REDD+, prinsip kesetaraan bagi semua orang dan mengedepankan perlindungan hak asasi manusia dalam pengelolaan hutan harus menjadi pegangan utama. Hal ini mencakup penghitungan dampak ekonomi‐sosial‐ budaya dalam penerapan REDD+ di Indonesia. 4. Transparansi: Transparansi akan memberikan pemahaman yang utuh kepada para pemangku kepentingan sehingga terdapat suatu keterlibatan yang didasari pada pemahaman yang utuh. Pada akhirnya penerapan REDD+ dapat menjadi akuntabel dan memenuhi aspek keadilan dalam konteks pengelolaan hutan. 5. Akuntabilitas: Pelaksanaan REDD+ akan mampu untuk dipertanggungjawabkan secara utuh kepada seluruh masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat internasional, baik dari sisi pelaksanaan, pendanaan, maupun hasil yang diperoleh. Ruang lingkup Ketika konsep pengurangan emisi dari deforestasi (Reducing Emission from Deforestation, RED) dari negara berkembang diusulkan oleh Costa Rica dan Papua New Guinea di COP11 di Montreal tahun 2005, tujuannya mirip dengan upaya menghindari deforestasi. Dua tahun kemudian dalam COP13 di Bali muncul konsep REDD yang memperhitungkan degradasi hutan sebagai sumber emisi yang kemudian menjadi pendorong terjadinya deforestasi. Selanjutnya menjelang COP15 di Copenhagen muncul konsep REDD+ yang memperhitungkan kegiatan konservasi hutan yang dapat memperbaiki jasa ekosistem, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan simpanan karbon hutan. Proses global yang demikian cepat berubah memerlukan strategi yang tepat sehingga mekanisme REDD+ tetap menarik dalam konteks solusi pengurangan emisi gas rumah kaca. Perkembangan ini juga berimplikasi luas terhadap ruang lingkup atau cakupan sektor LULUCF dalam hal tipologi lahan yang akan dilibatkan. Untuk mencapai berbagai tujuan REDD+ yang diuraikan di atas, program/proyek REDD+ di Indonesia akan mencakup seluruh komponen REDD+ yang terdiri dari: 1. Pengurangan deforestasi. 2. Pengurangan degradasi hutan. 26
3. Pemeliharaan simpanan karbon (carbon stock) melalui: a. Kegiatan konservasi. b. Pelaksanaan pengelolaan hutan lestari (sustainable management of forest). c. Rehabilitasi/Restorasi hutan. Program/proyek REDD+ secara spesifik akan memuat upaya menghasilkan manfaat tambahan (co‐benefits) yang utama, yaitu: 1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. 2. Peningkatan kelestarian sumber keanekaragaman hayati, baik yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Dari sudut pandang hukum, seperti yang telah ditetapkan dalam Undang‐undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai "suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohinan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan" (pasal 1(b)). Karena itu dalam konteks ini hutan dipandang dari sisi satuan bofisik, bukan pada statusnya. Namun dalam pasal 1(c) disebutkan bahwa kawasan hutan adalah "wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap". Dalam definisi ini hutan dapat dilihat juga dari sisi status kawasannya. Dari kedua definisi tersebut, maka di Indonesia berkembang dualisme mengenai definisi "hutan". Pertama, hutan sebagai satuan ekologi (ekosistem). Kedua hutan sebagai kawasan (ruang), yang dilekatkan dengan status "kawasan hutan" melalui berbagai proses administrasi. Atas kedua pemahaman hukum tersebut, maka penerapan REDD+ di Indonesia harus mencakup semua jenis hutan (baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan). Dengan kata lain, yang menjadi fokus dalam penerapan REDD+ di Indonesia adalah hutan dari sisi ekosistem. Artinya ruang lingkup REDD+ dalam konteks bentang alam dapat memasukkan kawasan dalam kategori APL termasuk yang bergambut. Mengingat luasnya lahan gambut di Indonesia (hampir 22 juta ha) dengan berbagai macam kedalaman, maka implementasi REDD+ perlu memberi prioritas yang tinggi pada ekosistem ini, khususnya yang berada di kawasan hutan. Dari studi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) laju deforestasi di hutan gambut terbesar dari tahun 2000‐2005 terjadi di area untuk penggunaan lain (APL) sebesar 36% diikuti oleh hutan produksi, HP (31%), Hutan Produksi untuk Konversi, HPK (15%), Hutan Lindung, HL (10%) dan Hutan Produksi Terbatas, HPT (8%) (MoFo, 2008). Pada prinsipnya, perencanaan program dan target‐target REDD+ di Indonesia perlu memperhatikan seluruh klasifikasi penggunaan lahan hutan, lahan gambut dan APL (area penggunaan lain) dan kualitas vegetasi yang terdapat diatasnya. Dilengkapi dengan data tutupan vegetasi yang lebih detail, informasi tentang distribusi luas lahan hutan dan APL menurut jenis lahan gambut dan non gambut, serta kualitas vegetasi di atasnya, menjadi 27
basis perencanaan arah pemanfaatan lahan hutan dan APL di Indonesia untuk masa depan, termasuk untuk pengembangan program dan proyek REDD+. Dengan mencermati status kualitas tutupan hutan atau vegetasi di atas lahan hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan APL, dapat dijajaki kesempatan melakukan pertukaran peruntukan dan reklasifikasi fungsi lahan, baik di dalam kawasan hutan sendiri antara berbagai fungsi/peruntukan, maupun antara kawasan hutan dengan kawasan APL. Kawasan APL yang masih memiliki kualitas tutupan hutan yang baik, misalnya, dapat dipertukarkan dengan kawasan hutan alam yang dalam kondisi kritis. Berdasarkan data yang ada saat ini, diperoleh kualitas biofisik tutupan hutan dan lahan gambut yang berada di tiap klasifikasi kawasan hutan (Gambar 2.1.), dimana ditemukan adanya kawasan hutan konservasi (HK) maupun hutan lindung (HL) yang sudah tidak memiliki tutupan hutan. Data ini menjadi sangat penting dalam upaya konsolidasi tata ruang dan pemanfaatan lahan sebagai acuan bagi proses tata kelola kawasan yang lebih baik. Sumber: Diolah dari peta tutupan hutan 2009 (Kemenhut, KLH), lahan gambut (Wetlands International, RePPProT)
Gambar 3.3. Kualitas tutupan hutan dan lahan gambut berdasarkan klasifikasi kawasan hutan dan area penggunaan lain Dengan visi, misi, tujuan dan ruang lingkup sebagaimana tersebut diatas, REDD+ dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program pembangunan rendah karbon di Indonesia. REDD+ juga tidak hanya dipandang sebagai sebuah program jangka pendek. Tapi lebih dari itu, REDD+ menjadi awal dari restrukturisasi dan revitalisasi sektor kehutanan
28
Indonesia untuk keberlanjutan perannya mendukung kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
3.2.2. Dampak dan Potensi dari REDD+ REDD+ sebagai suatu mekanisme yang baru akan memberikan berbagai kemungkinan. Ini menjadikan REDD+ memiliki beberapa kemungkinan potensi (positif) maupun dampak (negatif). Terlebih lagi dengan berbagai tantangan atas pengelolaan hutan di Indonesia. Banyak harapan maupun kekhawatiran yang dirasakan berbagai pemangku kepentingan di sektor kehutanan. Namun demikian, REDD+ harus tetap dianggap sebagai momentum yang perlu untuk disikapi. Terdapat berbagai kekhawatiran yang berkembang mengenai REDD+, diantaranya adalah: 1. Menurunnya aspek produksi kehutanan, karena REDD+ berpotensi untuk mengurangi jatah tebangan. 2. Masyarakat kehilangan aksesnya kepada hutan, karena REDD+ memberikan pembatasan akses kepada hutan (kegiatan konservasi). 3. Menurunnya pendapatan daerah dari industri sektor kehutanan (usaha berbasis kayu). 4. Terganggunnya usaha diluar sektor kehutanan yang memiliki keterkaitan dengan kehutanan seperti pertambangan dan perkebunan (sawit). 5. Menurunnya investasi dari industri sektor kehutanan akibat penerapan REDD+. Berbagai tantangan dan kekhawatiran tersebut perlu diimbangi dengan pemahaman bahwa juga terdapat peluang dalam pelaksanaan REDD+, yaitu peluang untuk pembenahan berbagai aspek dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup agar sesuai dengan prinsip berkelanjutan dan ekonomi hijau (green economy). Peluang dari pelaksanaan REDD+ di Indonesia dapat berupa: 1. Momentum untuk melakukan pembenahan pengelolaan hutan secara lestari dan percepatan rehabilitasi/restorasi hutan. 2. Pembenahan tata ruang penggunaan hutan untuk berbagai kepentingan, termasuk 9
keseimbangan penggunaan tangible dan intangible secara matang. 3. Pembenahan pendataan dan pengukuran serta berbagai instrumen untuk mendorong proses produksi kehutanan, baik kayu dan non‐kayu, yang rendah karbon, instrumen insentif untuk proses produksi yang rendah emisi karbon serta sistem disinsentif untuk proses produksi yang beremisi tinggi. 4. Peningkatan kebijakan hukum di sektor kehutanan secara luas dan penegakan hukum yang lebih efektif. Sementara itu peluang untuk pembentukan perekonomian yang hijau selain penerapan
9
Pemahaman terhadap pengertian tangible (materil) dan intangible (non materil), dapat dipahami sebagai nilai fungsi dari sumber daya alam (termasuk hutan) yang dapat dinilai dari sisi ekonomi (nilai jual). Terdapat beberapa bentuk potensi hutan yang bersifat intangible seperti jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyerapan/penyimpanan karbon, sumber daya genetic dan kekayaan budaya. Sedangkan nilai hutan yang dikatakan tangible adalah produk hutan berbasis kayu dan produk ekstraktif lainnya.
29
proses produksi yang rendah emisi karbon dan lebih berkelanjutan antara lain adalah: a. Pengembangan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mendorong pemanfaatan jasa lingkungan dari hutan. Selain jasa penyerapan dan penyimpanan karbon, jasa lingkungan dari hutan mencakup juga tata air, keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah, produksi oksigen, dan jasa ekowisata dari keindahan bentang alam. Seluruh jasa lingkungan hutan akan ada hanya jika hutan alam lestari. b. Pengembangan metoda pengukuran dan penilaian (valuation) produk jasa lingkungan dari sektor kehutanan perlu dilakukan agar mekanisme insentif dan disinsentif dapat dilaksanakan secara obyektif, transparan dan adil. c. Pengembangan produk teknologi ramah lingkungan yang dapat membuka peluang ekonomi lebih besar lagi, terutama untuk mengembangkan pemanfaatan sumber daya hutan secara maksimal dan berkelanjutan.
3.2.3. Rekonsiliasi dengan program lain Program nasional terkait dengan upaya‐upaya penanggulangan perubahan iklim dimulai dengan penyusunan dan penerbitan Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Dokumen ini merupakan pengejawantahan dari hasil‐hasil negosiasi di tingkat internasional melalui UNFCCC dan juga secara tidak langsung menerjemahkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional / Daerah yang terkait perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam. Secara umum, terkait upaya nasional dalam menjawab tantangan perubahan iklim maka ICCSR diterjemahkan dalam Rencana Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK). RAN GRK disini dimaksudkan sebagai dokumen yang memberikan arahan konkrit (step by step) untuk melaksanakan ICCSR. Khusus dalam konteks kehutanan, ICCSR diterjemahkan melalui peyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN 2011‐2030). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan perencanaan yang lebih konkrit dan terarah kepada sektor kehutanan (bukan hanya REDD+). RKTN juga mempertimbangkan berbagai program yang telah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Khusus untuk kegiatan REDD+, RKTN kemudian mengartikulasikan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk dapat mengimplementasikan REDD+ melalui Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+). Secara bersamaan, Stranas REDD+ tidak dapat dipisahkan dengan RAN GRK karena mengejawantahkan dokumen yang sama, yaitu ICCSR. Oleh karena itu, antara Stranas REDD+ dengan RAN GRK sifatnya adalah saling melengkapi. Cakupan Stranas masih bersifat umum terkait implementasi REDD+ di Indonesia, sehingga perlu untuk diperinci dalam tataran teknis kedalam dokumen Rencana Aksi Nasional REDD+ (RAN REDD+). Sebagai dokumen teknis, maka RAN REDD+ mempertimbangkan berbagai program yang terdapat dalam Rencana Kerja Pembangunan Nasional (RKPN). Hal ini diperlukan agar kebutuhan anggaran yang dibutuhkan dalam implementasi REDD+ dapat terkonsolidasi dengan baik. Pada tingkat daerah, hal yang serupa juga dilakukan. RAN GRK di terjemahkan melalui Rencana Aksi Daerah (RAD GRK), dimana keduanya masih bersifat umum terkait penanggulangna perubahan iklim di daerah. Sedangkan khusus untuk REDD+, RAD GRK akan 30
menerjemahkannya ke dalam Strategi Daerah untuk REDD+ (Strada REDD+). Strada REDD+ akan tidak terlepas dari sisi substansi dari Stranas REDD+. Dengan demikian, apa yang direncanakan di tingkat nasional dapat terlaksana dengan baik di tingkat lapangan. Idealnya, setiap proses perencanaan strategis akan berujung pada proses penganggaran (budgeting). Dalam hal ini, maka akan terdapat dua sumber pendanaan yang akan menjadi sumber dana bagi pelaksanaan rencana aksi (di tingkat nasional maupun daerah). Sumber tersebut adalah APBN/D dan sumber dana lain yang bersifat kontributif10. Mekanisme ini akan sangat sesuai dengan penerapan program REDD+ yang akan diimplementasikan di Indonesia pada tataran persiapan (readiness) hingga transisi. Dengan ini pelaksanaan REDD+ di Indonesia akan sarat dengan semangat kepemilikan nasional (national ownership). Dengan demikian, implementasinya akan menjadi kontribusi ril Indonesia kepada penurunan emisi gas rumah kaca secara global. RPJPN 2005‐2025
RKPN RAN REDD+
RPJMN
RKTN 2011 ‐ 2030
APBN
Stratnas REDD+
Global Warming ICCSR 2010‐2030 IPCC Model
RAN GRK
Hibah, CSR, dan sumber lain yang sifatnya kontribu f
RAD GRK
RAD REDD+
RPJMD
RKPD
APBD
Gambar 3.4. Skema Kaitan Strategi Nasional REDD+ dengan Program Nasional Lainnya Secara konkret, implementasi strategi nasional perlu diselaraskan dengan program‐program pembangunan yang sedang berjalan dalam hal pengembangan kebijakan, aktivitas‐aktivitas uji coba yang telah berjalan (demonstration activities atau DA) dan pengembangan sistem MRV. Dalam implementasinya, rekonsiliasi dengan program‐program eksisting juga perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang melaksanakan pembangunan, termasuk lembaga internasional (donor), instansi pemerintah (nasional maupun daerah), dan masyarakat luas (termasuk LSM). Terkait dengan perkembangan mekanisme ekonomi/pendanaan terhadap jasa penyerapan dan penyimpanan karbon dari REDD+ di masa mendatang, maka diperlukan suatu persiapan
10 Sumber pendanaan yang bersifat kontributif untuk tahap persiapan REDD+ didapatkan dari berbagai hibah FCPF, DFID, GIZ, NORAD, Netherland, AUSAID, USAID dan sumber pendanaan lain seperti kewajiban CSR dan pengembangan trust fund.
31
yang matang untuk memberikan kejelasan mengenai mekanisme yang akan diterapkan oleh 11
Indonesia terkait dengan perkembangan REDD+.
3.2.4. REDD+, keanekaragaman hayati dan adaptasi perubahan iklim UNFCCC telah menyatakan bahwa implementasi program REDD+ hendaknya dilakukan supaya co‐benefit yang nyata untuk keanekaragaman hayati tercapai, selain untuk menurunkan emisi yang bisa diverifikasi. UNCBD melalui Aichi Biodiversity Target 2011‐2020 yang diadopsi oleh COP 10, 2010, antara lain bertujuan meningkatkan kontribusi keanekaragaman hayati untuk meningkatkan simpanan karbon melalui konservasi dan restorasi, termasuk restorasi minimum 15% dari ekosistem terdegradasi, sehingga kontribusi terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim meningkat. Pada COP 16 di Cancun, pertimbangan untuk menjaga keanekaragaman hayati telah menjadi salah satu poin dalam lampiran terkait dengan kerangka pengaman (safeguards). Namun mekanisme untuk mencapai co‐benefit belum diartikulasikan dengan baik dalam kesepakatan UNFCCC. Pada skala global, simpanan karbon hutan dan keanekaragaman hayati berkorelasi positif (Strassburg et al., 2010), akan tetapi pada skala sub‐nasional dimana REDD+ akan diimplementasikan korelasi ini tidak selalu terpenuhi. Beberapa resiko yang bisa ditimbulkan adalah: 1. Program REDD+ cenderung diterapkan pada ekosistem dengan simpanan karbon tinggi, walaupun banyak terdapat ekosistem dengan simpanan karbon rendah yang juga mendukung tingkat keanekaragaman hayati yang sama atau bahkan lebih tinggi (Mikes 12
and Kapos, 2008, Stickler et al., 2009, ATBC and STE, 2009). 2. Untuk peningkatan simpanan dan serapan karbon program REDD+ akan mengarah peningkatan penanaman spesies monokultur yang cepat tumbuh di areal dengan simpanan karbon yang relatif rendah yang kemungkinan memiliki tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Konsekuensinya adalah tingkat keanekaragaman hayati justru turun meskipun simpanan karbon meningkat.13
11
Kemungkinan akan kebutuhan pendekatan pasar dalam pelaksanaan REDD+ tidak dapat dihindari, kalau memang pada akhirnya diperlukan. Sehingga kesiapannya perlu untuk dipikirkan. Dalam konteks ini, persiapan pasar karbon di Indonesia bisa mempertimbangkan Partnership for Market Readiness (PMR) untuk mengantisipasi dukungan awal dari fasilitas pendanaan pembelian kredit karbon.
12
13
Sebagai contoh, hutan gambut dengan kerapatan karbon tinggi lebih menarik sebagai proyek REDD dibandingkan hutan dataran rendah dengan keanekaragaman hayati tinggi pada tanah mineral (Paoli et al., 2010). Selain itu lahan agroforestri yang ramah terhadap wildlife (Wildlife Friendly Farming) akan mengalami tekanan untuk berubah menjadi lahan pertanian intensif karena berkurangnya area disebabkan oleh implementasi REDD+ (Ghazoul et al., 2010)
Penggunaan hutan yang mengakibatkan penurunan stok karbon 40% berasosiasi dengan pengurangan tingkat keanekaragaman kurang dari 20% (Murdiyarso et al, 2002). Hutan yang sudah mengalami tebang pilih, dan seringkali diidentifikasi sebagai hutan terdegradasi, masih memiliki nilai keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis tinggi (Edwards et al., 2010), sehingga dengan mengkonversikan menjadi HTI akan menyebabkan kehilangan habitat dan fungsi ekologi yang berdampak negative terhadap tingkat keanekaragaman hayati
32
3. Pendekatan REDD+ yang hanya menekankan pada penurunan emisi dan peningkatan simpanan tidak mempertimbangkan fungsi ekologis antara lain tingkat konektivitas antar 14
sumber keanekaragaman hayati. Observasi ini sangat merekomendasikan perlunya mekanisme pengaturan untuk menjamin bahwa REDD+ menghasilkan co‐benefit keanekaragaman hayati yang nyata di Indonesia. Selain itu, usaha untuk membangun strategi konservasi keanekaragaman hayati yang bisa diimplementasikan harus diprioritaskan. Selain itu implementasi dari penurunan GRK bisa dilakukan terlebih dahulu selagi analisa konservasi keanekaragaman hayati masih dilakukan dengan memberlakukan safeguards untuk keanekaragaman hayati. Indonesia telah memiliki beberapa dokumen terkait konservasi sumber daya alam hayati. Tahun 1993 Indonesia mengeluarkan Biodiversity Action Plan for Indonesia (BAPI). Pada tahun 2003, BAPI diperbaiki dan diganti oleh Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), yang dilakukan dengan proses yang lebih terbuka dan inklusif. Ada pelajaran penting yang perlu diambil dari penerapan BAPI maupun IBSAP. Kedua dokumen tersebut, tidak dibarengi dengan dasar hukum yang kuat sehingga tidak menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan maupun rencana aksi pembangunan. Selain itu kedua dokumen tersebut juga tidak memiliki keterukuran pencapaian sehingga pelaksanaannya tidak bisa terlihat secara nyata. Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dikatakan terdapat dua hal yang perlu dilakukan untuk membawa masuk keanekaragaman hayati dalam strategi REDD+ untuk Indonesia. Pertama, Indonesia perlu menetapkan target terukur untuk konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dalam berkontribusi untuk mencapai Aichi Biodiversity Target serta perlu merumuskan Stranas dan RAN untuk keanekaragaman hayati yang bersinergi dengan Stranas REDD+ dan RAN GRK. Kedua, Indonesia perlu membangun mekanisme yang efektif dan fleksibel dalam mensinergikan implementasi REDD+ pada tingkat proyek maupun program di area spesifik untuk mencapai target nasional keanekaragaman hayati maupun penurunan emisi GRK. Dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi melalui penerapan REDD+ di Indonesia sebagai salah satu caranya, maka perlu ditentukan apa saja program strategis dan strategi yang efektif, efisien dan berkeadilan untuk dapat melaksanakan REDD+ di Indonesia. Bagian selanjutnya akan menjelaskan mengenai beberapa kegiatan strategis yang akan menjadi landasan penerapan REDD+ di Indonesia.
14
Sebagai contoh, pada landskap multifungsi, hutan sekunder dan agroforestri dengan pengelolaan yang tidak intensif, bisa berfungsi sebagai koridor penghubung antar sink dari keanekaragaman hayati; dengan dialih‐ fungsikannya lahan‐lahan ini untuk meningkatkan produktivitas silvikultur maupun pertanian/perkebunan, tingkat keanekaragaman hayati pada skala landskap akan berkurang.
33
BAB 4 STRATEGI NASIONAL REDD+
4.1 Kerangka strategi Kerangka Strategi REDD+ perlu mengaitkan antara kelembagaan dan program yang didukung oleh faktor‐faktor yang memungkinkan keberhasilannya (enabling conditions), termasuk kerangka hukum/peraturan dan tata kelola kegiatannya. Sistem kelembagaan dan pendanaan dalam tataran nasional akan mengalami evolusi sesuai dengan pemahaman dan kesiapan para pemangku kepentingan. Dalam fase persiapan (readiness) kerangka strategi REDD telah berkembang dengan dukungan dana publik baik yang tersedia secara global (UNFCCC) maupun nasional (APBN). Selanjutnya dana swasta akan berangsur‐angsur menggeser peran dana publik pada fase transisi sebelum pasar akan sepenuhnya menentukan mekanisme perdagangan kredit karbon yang berbasis kinerja. Agar tujuan pengurangan emisi GRK dan tujuan lainnya melalui skema REDD+ dapat dicapai secara efektif, maka kegiatannya harus dilaksanakan secara lintas‐sektoral dan multi‐pihak dengan pendekatan bertahap atau phased approach (Angelsen et al 2008). Hal ini harus ditempuh mengingat emisi GRK dari kegiatan yang berbasis lahan merupakan akumulasi dari kebijakan berbagai sektor sehingga masalah yang kompleks ini dapat ditangani secara menyeluruh. Oleh karena itu strategi nasional skema REDD+ memerlukan pendekatan multi‐ dimensi seperti yang digambarkan dalam Gambar 4.1. Untuk mencapai tujuannya, kerangka strategi REDD+ mempertimbangkan banyaknya lembaga dan pihak yang terkait. Karena itu kelembagaan REDD+ perlu memiliki kewenangan khusus yang jelas dan kuat, lebih dari sekedar koordinasi. Kewenangan khusus yang dimaksud adalah kewenangan yang dapat meningkatkan sinergi lintas‐sektoral dan lintas‐ wilayah, namun tetap memperhatikan kewenangan yang telah mengalami desentralisasi. Kekhususan wewenang ini sangat diperlukan agar mobilisasi sumberdaya yang tersedia dapat dilakukan secara optimum dengan tata kelola yang efisien, transparan dan akuntabel. Kelembagaan REDD+ juga akan memastikan terjadinya keadilan atas hak dan tanggungjawab berbagai pihak yang timbul dari penerapan kebijakan dan tata cara pengelolaan lahan. Oleh karena itu lembaga ini akan diperlengkapi dengan sistem monitoring, pelaporan dan verifikasi (monitoring, reporting and verification, MRV) yang baik, disertai dengan instrumen pendanaan yang transparan. Kerangka strategi REDD+ juga mempertimbangkan perangkat hukum sebagai pilar penting agar secara maksimum dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi berbasis lahan, memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut agar tetap membawa manfaat ekonomis secara berkelanjutan. Namun disadari pula adanya peraturan yang tumpang tindih dan memiliki potensi menghambat dan perlu diselesaikan pada saat kegiatan REDD+ diimplementasikan, khususnya yang terkait dengan tata ruang dan hak atas lahan. 34
1
2 Kelembagaan dan proses
Kerangka hukum dan peraturan
▪ Badan Khusus REDD+ ▪ Instrumen dan Lembaga Pendanaan ▪ Sistem dan Lembaga MRV o Pemantauan o Pelaporan o Verifikasi
Meninjau hak-hak atas lahan dan mempercepat perencanaan tata ruang Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsi Menangguhkan ijin baru untuk hutan dan lahan gambut selama 2 tahun Memperbaiki data tutupan dan perijinan di hutan dan lahan gambut Penyelarasan sistem insentif
3 a
Programprogram strategis
b
c
4 Perubahan paradigma & budaya kerja 5
Pengelolaan lansekap yang berkelanjutan
Perenc. dan pengel. lansekap/ ekoregion/DAS multif ungsi Perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan Akselerasi pembentukan organisasi dan operasional KPH Pengendalian & pencegahan kebakaran hutan & lahan
Sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara lestari
▪ ▪ ▪ ▪
Memacu praktek pengelolaan hutan secara lestari Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan Mewujudkan praktek pertambangan ramah lingkungan Mempromosikan industri hiilir dengan nilai tambah tinggi
Konservasi dan rehabilitasi
▪ Memantapkan fungsi kawasan lindung ▪ Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut ▪ Restorasi hutan dan rehabilitasi gambut
Penguatan tata kelola sektor kehutanan Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan Kampanye nasional untuk aksi “Penyelamatan Hutan Indonesia” Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok (pemerintah regional, sektor swasta,
Pelibatan para pihak
organisasi non pemerintah, masyarakat adat /lokal dan internasional)
Mengembangkan sistem pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adil
Reduksi emisi
Simpanan karbon hutan meningkat
Keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan terpelihara
Pertumbuhan ekonomi 0
Gambar 4.1. Kerangka strategi REDD+ dengan dengan pilar utama kelembagaan dan kerangka hukum untuk menunjang pelaksana program‐program strategis yang melibatkan para pemangku kepentingan Program‐program strategis yang akan dijalankan dalam kerangka REDD+ sangat terkait dengan sektor‐sektor dan para pihak yang beraktivitas dengan basis sumberdaya hutan dan lahan, baik secara teknis (konservasi, usaha, rehabilitasi), maupun non teknis (perijinan, sosial dan ekonomi/ keuangan). Disadari pula bahwa implementasi REDD+ juga dapat menimbulkan dampak yang terkait dengan lapangan kerja. Oleh karena itu pengembangan alternatif mata pencaharian dan sumber pendapatan masyarakat akan menjadi program strategis dalam implementasi REDD+. Budaya kerja diartikan sebagai paradigma baru yang menekankan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program‐program strategis. Oleh karena itu tidak hanya lembaga REDD+ harus memiliki staf yang handal dan mampu melaksanakan kekhususan wewenang di atas, tetapi mitra kerja di setiap sektor dan daerah perlu memiliki paradigma yang sama. Selain kemampuan teknis yang tinggi, mereka yang akan terlibat dalam implementasi REDD+ juga diperlengkapi dengan kemampuan bernegosiasi dengan berbagai kalangan di dalam maupun di luar negeri. Budaya yang terbuka terhadap pendapat pihak lain, inklusif, adaptif, dan transparan sangat diperlukan bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi program strategis. Pelibatan para pemangku kepentingan akan memastikan bahwa kegiatan REDD+ bersifat lintas sektoral, terjadi kerjasama pusat‐daerah, pemerintah‐masyarakat sipil baik dalam hal memperoleh hak maupun dalam menunjukkan tanggung jawab.
35
Pengembangan kelembagaan REDD+ dan proses pelembagaannya akan berlangsung secara bertahap mulai dari sejak dibangunnya lembaga tersebut di tahun 2011 untuk melaksanakan mandat dan fungsinya. Proses pengembangannya akan berlangsung hingga tahun 2013 saat Kelembagaan ini benar‐benar dapat beroperasi secara penuh dan membuktikan adanya pengurangan emisi yang diverifikasi pihak independen. Proses penegakan hukum, penyelarasan peraturan yang menunjang tata ruang dan tata kelola hutan dan lahan gambut akan beriringan dan proses pelembagaan REDD+ melalui kegiatan uji‐coba dan pengambangan REDD+ di Provinsi percontohan. Pada saat yang bersamaan program‐program strategis yang mengarah ke pengelolaan lansekap berkelanjutan untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi juga berlangsung dalam koridor yang mengarah pada pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pelibatan semua pihak sangat penting untuk meningkatkan kepemilikan (ownership) pihak‐pihak yang terkait mulai dari kalangan swasta dan masyarakat sipil.
4.2. Membangun Kelembagaan REDD+ Sistem kelembagaan REDD+ perlu dirancang dengan mengutamakan azas tata kelola yang baik (good governance) dan partisipasi dari para pemangku kepentingan untuk memastikan efektivitas pencapaian pengurangan emisi, efisiensi biaya (cost efficiency) dan akuntabilitas dari pelaksanaan program REDD+ di Indonesia. Skema berikut menggambarkan kerangka umum sistem kelembagaan REDD+:
36
Global governance level
Perwakilan
Presiden RI
Donor
Joint Consultative Group (JCG)
Independent Review Group
Implementation governance level
REDD+ Agency
Funding Instrument
MR+V Regional REDD+
Lembaga Pelaksana Program, Proyek,Kegiatan
Gambar 4.2. Sistem kelembagaan REDD+ Kewenangan pengelolaan tertinggi dalam gambar di atas berada pada tataran ‘global governance level’ yang beranggotakan Presiden Republik Indonesia dan Perwakilan tingkat tinggi negara‐negara donor yang bersama‐sama duduk di dalam Kelompok Konsultasi Bersama (Joint Consultative Group, JCG). Kerangka acuan (terms of reference) JCG ini akan ditetapkan dalam bentuk produk hukum yang menjadi dasar pembentukan sistem kelembagaan REDD+. JCG akan membentuk Kelompok Penilai Independen (Independent Review Group), yang beanggotakan individu‐individu yang bertanggung jawab melakukan penilaian kinerja Badan REDD+ secara berkala dan melaporkan hasilnya kepada JCG. Pada tingkat ‘implemention governance level’ dibentuk Dewan Pengarah (governing council) untuk Badan REDD+, Instrumen Pendanaan, dan Lembaga MRV. Pengembangan sistem kelembagaan REDD+ akan dilakukan melalui tahapan dan proses sebagai berikut: 1. Persiapan dalam bentuk pengembangan lembaga dan sistem implementasi tata kelola pelaksanaan, sistem pendanaan REDD+, dan sistem MRV.
37
2. Pendirian Badan Tata Kelola REDD+ (REDD+ Agency) oleh Satgas REDD+, diikuti segera dengan perumusan/finalisasi Rancana Aksi Badan REDD+. Badan ini akan didirikan dengan dasar hukum PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐ undang) dan berstatus Komisi Nasional atau paling kurang Unit Kerja Presiden. 3. Pendirian Dana Kemitraan REDD+ Indonesia (Indonesian REDD+ Partnership Fund) dan lembaga MRV Nasional untuk REDD+ dan finalisasi Rencana Aksi di kedua lembaga.15 4. Operasionalisasi dan adaptasi pelaksanaan sistem tata kelola, sistem pendanaan REDD+ dan sistem MRV dengan target: a. Januari 2013, Indonesia siap dengan pelaksanaan sistem MRV tier 2 pada tingkat tapak (site) dan landscape untuk kebutuhan agregasi sub‐nasional di kedua provinsi pilot. b. Januari 2014, semua sistem sudah siap untuk Indonesia mewujudkan VER dengan sistem MRV tier 3 di semua tingkat tapak (site) dan dengan sistem MRV tier 2 pada tingkat landscape untuk agregasi sub‐nasional dan nasional untuk 9 (sembilan) provinsi berhutan yang diprioritaskan. 4.2.1. Badan REDD+ Lembaga yang secara khusus menangani pelaksanaan program REDD+ dengan sebutan Badan Tata Kelola REDD+ (REDD+ Agency) dibangun sebagai: 1. Lembaga yang memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia, 2. Focal point antara Indonesia dengan pihak di dalam dan di luar negeri terkait berbagai inisiatif, kebijakan dan pengembangan program/proyek REDD+ di Indonesia, 3. Badan hukum yang bertanggungjawab (Lead agency) dalam pengembangan posisi Indonesia untuk forum‐forum internasional terkait inisiatif REDD+. Mandat Badan REDD+ Untuk dapat menjalankan ketiga peran tersebut dengan efektif, Badan REDD+ memiliki mandat untuk: 1. Menjalankan fungsi‐fungsi strategis terkait dengan pelaksanaan program REDD+ yang selama ini belum ada: a. Penetapan strategi, kebijakan dan program REDD+ Nasional. Badan REDD+ akan secara periodik melakukan kajian atas strategi, kebijakan dan program‐program terkait dengan REDD+. b. Membangun dan melakukan tata kelola sistem integrasi data dan peta, sistem persetujuan dan registry untuk program/proyek REDD+ dan VER/CER (Verified
15 Sebagai alternatif, Dana Kemitraan REDD+ dan Lembaga MRV Nasional untuk REDD+ dibentuk bersamaan dengan pendirian Badan Tata kelola REDD+ (Badan REDD+/REDD+ Agency) melalui Perpres/Keppres dengan menyatakan secara eksplisit bahwa kedua lembaga Dana dan lembaga MRV bekerja dibawah kordinasi dan arahan Badan REDD+.
38
Emission Reduction/Certified Emission Reduction), dan validasi informasi dari sistem MRV. Badan REDD+ akan mengembangkan protokol‐protokol yang diperlukan untuk konsolidasi data dan peta yang merupakan pra‐kondisi bagi implementasi program REDD+ yang kredibel, proses persetujuan dan registrasi proyek REDD+, dan pendaftaran VER/CER. c. Membangun lembaga dan sistem pelaksanaan MRV (Monitoring, Reporting, Verification). Badan REDD+ akan duduk juga sebagai bagian dari governing board lembaga MRV yang dibentuk dan mengembangkan mekanisme validasi hasil‐hasil verifikasi yang akan dilakukan oleh pihak/lembaga independen yang memiliki kualifikasi untuk melakukan verifikasi. Kedalam sistem MRV Indonesia akan diadopsi juga ukuran‐ukuran yang mencerminkan bahwa implementasi fiduciary, social and environmental safeguards. Khusus untuk environmental safeguard dan keperluan membuat dasar penilai bagi program “+” (plus) dari REDD+, sistem MRV akan memuat indikator terkait dengan keanekaragaman hayati. d. Membangun lembaga dan sistem pengelolaan pendanaan REDD+ yang disebut “Dana Kemitraan REDD+ Indonesia”. Ketua Badan REDD+ akan duduk sebagai anggota wajib (ex‐officio) governing council dari Dana Kemitraan REDD+. Dewan Wali yang fungsinya menetapkan seluruh komponen sistem tata kelola pendanaan REDD+, dan memastikan pelaksanaan sistem integritas dari program/proyek REDD+ yang dijalankan. e. Membangun dan mengkordinasikan pelaksanaan sistem integritas (safeguard dan audit) untuk bidang keuangan, sosial dan lingkungan hidup untuk pelaksanaan program/proyek REDD+. Sistem safeguard bagi REDD+ Indonesia akan dirancang dengan tujuan mengantisipasi resiko‐resiko yang terkait dengan pengelolaan aspek‐ aspek fiduciary (keuangan), serta dampak sosial dan lingkungan hidup dari kegiatan REDD+ yang dilakukan, dan merumuskan langkah‐langkah penanganan resiko yang diantisipasi tersebut untuk kemudian dijalankan sesuai dengan pelaksanaan proyek dan dinilai secara berkala. Perumusan dan penetapan standar‐standar safeguard dan sistem audit yang dilakukan bersama dengan pihak donor, lembaga‐lembaga keuangan internasional dan para pihak yang relevan akan menghasilkan sistem yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan di lapangan. Jika diperlukan, Badan REDD+ dapat membentuk semacam ”Safeguard Steering Group” yang berada di luar Badan REDD+ dan secara independen memonitor pelaksanaan safeguard untuk program dan proyek REDD+. Safeguard Steering Group terdiri dari profesional yang relevan dan beberapa perwakilan para pihak, termasuk lembaga donor, masyarakat sipil, dan Badan REDD+. 2. Mengefektifkan fungsi‐fungsi kordinasi antar lembaga pemerintah dan trouble shooting/de‐bottlenecking terkait pelaksanaan program REDD: a. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program antar lembaga/sektor pemerintah pusat, dan antar pusat dengan daerah, terutama tetapi tidak terbatas pada hal‐hal terkait dengan penataan ruang dan perizinan pemanfaatan lahan 39
b. Koordinasi penegakan hukum untuk menangani kejahatan dalam bidang kehutanan, terutama tetapi tidak terbatas pada hal‐hal yang mencakup pembalakan liar (illegal logging), pemanfaatan lahan, dan penggunaan api dalam pembukaan lahan. Fungsi ini bisa dikatakan serupa dengan fungsi yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun fungsi kordinasi penegakan hukum dalam kelembagaan REDD+ lebih difokuskan pada isu kejahatan kehutanan. c. Mendukung dan mengkordinasikan dukungan bagi pelaksanaan provinsi percontohan. Badan REDD+ mendukung pelaksanaan REDD+ di provinsi percontohan dalam bentuk memfasilitasi penyediaan dana penyiapan beberapa pra‐kondisi untuk pelaksanaan REDD+, pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM daerah, dan perangkat operasional penyelenggaraan urusan terkait REDD+. Dengan intensitas yang lebih rendah Badan REDD+ juga mendukung pelaksanaan program REDD+ di 8 (delapan) provinsi berhutan lain yang memiliki potensi besar dalam pelaksanaan program REDD+. d. Mengkordinasikan pelaksanaan moratorium atau penundaan pemberian izin baru pemanfaatan lahan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak dikeluarkannya kebijakan pemerintah. Dalam masa jeda pemberian izin baru, Badan REDD+ akan mengkordinasikan proses konsolidasi informasi dan peta izin‐izin pemanfaatan lahan, pemanfaatan atau rasionalisasi lahan‐lahan berizin yang ditelantarkan, penataan ulang proses perizinan pemanfaatan lahan, dan proses penyelesaian konflik penguasaan lahan dan tumpang tindih alokasi penggunaan lahan. e. Koordinasi upaya‐upaya penyelarasan sistem insentif (re‐alignment of incentive system) untuk memastikan sinergi antar kebijakan/program pemerintah/pemerintah daerah terkait implementasi REDD+. Badan REDD+ akan mengkordinasikan proses peninjauan ulang (review) dan jika diperlukan, revisi berbagai mekanisme transfer fiskal dari pusat daerah yang sekarang berlaku (Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus Kehutanan dan Perubahan Iklim). Tujuan dari penyelarasan ini ialah agar pada tahap implementasi penuh REDD+, terdapat struktur insentif finansial yang koheren dan konsisten antara transfer fiskal ke daerah dan pembayaran untuk proyek implementasi REDD+. Badan REDD+ akan menginisiasi pembuatan kebijakan insentif dan de‐bottlenecking faktor‐faktor yang menghambat pemberian dan efektivitas insentif bagi: Pemda yang mendukung perluasan dan pengelolaan kawasan konservasi. Pengusaha hutan yang mendapatkan sertifikat pengelolaan lestari, misalnya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Pemda yang berkomitmen menjadikan wilayahnya sebagai kabupaten konservasi dengan kriteria‐kriteria tertentu. d. Menginisiasi pengembangan mekanisme pendanaan untuk REDD+ dengan melaksanakan: Melakukan penghitungan terperinci terkait kebutuhan finansial secara ril untuk mendanai pembenahan tata kelola hutan di Indonesia dengan efektif dan efisien. Menyusun dan memastikan sistem revenue dapat berjalan. Sehingga dana dari sektor kehutanan dapat dimaksimalkan. 40
Menyiapkan skenario terukur untuk pendanaan REDD+ di Indonesia. 3. Menjalankan komunikasi dan pelibatan para pemangku kepentingan yang efektif dengan para pemangku kepentingan di dalam dan luar negeri a. Membangun sistem dan menjalankan program komunikasi yang efektif dengan pemangku kepentingan di dalam negeri. b. Mengkordinasikan pengembangan kebijakan dan positioning Indonesia terkait REDD+ untuk menghadapi forum‐forum internasional dan strategi dalam menjalankan international affairs. c. Memastikan komunikasi yang sistematis dan efektif dengan lembaga REDD+ daerah untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di lapangan. Tata kelola Badan REDD+ Secara struktural Badan REDD+ bertanggung jawab kepada Presiden RI dan akan dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, dari Dana Kemitraan REDD+, dan sumber dana lain yang bersifat kontributif. Secara tatakelola, Badan REDD+ memiliki governing council atau Dewan Pembina yang terdiri dari menteri dari berbagai kementerian yang relevan dan Ketua UKP4 mewakili kantor kepresidenan. Untuk menjalankan kegiatan sehari‐hari, Badan REDD+ memiliki executing agency atau Badan Pelaksana. Integritas kelembagaan Badan REDD+ secara struktural akan diawasi Dewan Pengawas. Dewan Pembina dapat membentuk Komisi Penasihat yang terdiri dari wakil‐wakil pemerintah dan individu‐individu yang secara profesional memberikan masukan‐masukan strategis kepada Dewan Pembina dan Badan Pelaksana. 4.2.2. Lembaga dan Instrumen Pendanaan Lembaga keuangan atau instrumen pendanaan “Dana Kemitraan REDD+ Indonesia” (Indonesian REDD+ Partnership Fund) dan sistem implementasinya dibangun dengan tujuan memfasilitasi penyelanggaraan program REDD+ di Indonesia secara permanen melalui penyaluran dana yang melingkupi seluruh sumber, baik publik maupun privat, dari dalam dan luar negeri. Dana Kemitraan REDD+ akan mulai bekerja dengan mengelola dana bantuan yang berasal dari pemerintah Norwegia yang akan dikembangkan dengan usaha‐usaha penambahan dana dari berbagai sumber di atas. Pengembangan lembaga dan instrumen keuangan khusus ini diperlukan untuk: 1. 2.
3.
Mendukung pengembangan berbagai program/proyek REDD+ sesuai dengan potensi reduksi emisi Indonesia dari sektor kehutanan dan pengelolaan lahan gambut; Menyediakan mekanisme penyaluran dana yang kredibel secara internasional bagi calon donor dan investor yang tertarik untuk mendorong dan/atau mendapatkan manfaat dari program/proyek REDD+; dan Mendorong efisiensi pemanfaatan dana dan keadilan distrubusi manfaat dari pengembangan program/proyek REDD+.
41
Sistem pendanaan REDD+ akan dibangun secara fleksibel dengan memungkin penerimaan dana publik dan swasta dari dalam dan luar negeri, tipe dana yang beragam baik untuk input, investasi ataupun untuk pembayaran output/kinerja, penyaluran yang memiliki beberapa jenis penerima seperti pihak pengembang proyek, masyarakat, pemerintah daerah dan Badan REDD+. Dana akan digunakan untuk tujuan mengurangi deforestasi dan degradasi dalam rangka penurunan emisi dan penyerapan karbon, dan menciptakan manfaat tambahan (co‐benefit) seperti kelestarian keanekaragaman hayati. Mandat Lembaga pendanaan akan bekerja di bawah arahan Badan REDD+. Untuk dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendanaan REDD+ yang kredibel, Dana Kemitraan REDD+ akan mengemban mandat sebagai berikut: 1. Mengelola dana REDD+ secara independen, professional dan kredibel di luar sistem keuangan pemerintah (APBN/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) berdasarkan standar safeguard dan akuntabilitas yang diterima secara global. Untuk dana pendukung REDD+ yang berasal dari pemerintah RI dan disalurkan melalui Dana Kemitraan REDD+, setelah dikeluarkan dari kas negara dana akan dikelola secara off‐treasury (di luar sistem pelaksanaan APBN). Untuk dana publik lainnya yang bersifat bantuan dari pemerintah negara sahabat kepada pemerintah RI (G to G), misalnya dana dari pemerintah Norwegia, pengelolaannya akan bersifat on‐budget, off‐treasury atau di catat dalam APBN sebagai ‘dana lewat’, tetapi diterima langsung dan dikelola oleh Dana Kemitraan REDD di luar sistem perbendaharaan negara. [Catatan: Pendekatan ini tetap memberi peluang bagi pemerintah pusat untuk secara langsung menyalurkan dana pendukung REDD+ melalui APBN kepada pemerintah daerah yang menerima dan menggunakannya lewat mekanisme APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)]. 2. Mobilisasi dana dari berbagai sumber publik dan privat di dalam dan luar negeri melalui program fund raising secara sistematis, terprogram dan profesional. Pengembangan dana juga akan dilakukan oleh Pengelola Dana (Fund Manager) dari pemanfaatan berbagai instrumen pasar uang dan modal, serta menerbitkan instrumen investasi masyarakat jika situasinya mendukung untuk itu. Dengan kredibilitas yang tinggi, Dana Kemitraan REDD+ akan memiliki akses yang luas terhadap sumber‐sumber dana nasional dan global. 3. Menyalurkan/menyediakan dana untuk: a. Mendukung pelaksanaan kegiatan REDD+ yang terkait secara langsung dengan pengembangan tapak (site) proyek REDD+. b. Pembayaran atas kinerja pelaksanaan proyek atas dasar verifikasi penurunan emisi yang sudah dilakukan. c. Pembiayaan investasi kegiatan penyiapan pra‐kondisi (misalnya penuntasan tataruang, pelaksanaan SVLK di tingkat propinsi) atau pembangunan infrastruktur (misalnya large scale canal blocking) yang secara langsung berkontribusi pada usaha penurunan emisi dan/atau pelaksanaan proyek REDD+.
42
d. Pembayaran atas kinerja pemerintah daerah atas capaian/kinerja dalam menyiapkan kondisi pemungkin (enabling condition) bagi tercapainya hasil dari upaya penurunan emisi di wilayah cakupan baik untuk kegiatan strategis maupun pembuatan kebijakan pendukung. Pembayaran ini dapat juga diberikan sebagai insentif atas terpenuhinya suatu tingkat kepatuhan tertentu terhadap kebijakan pusat, misalnya tercapainya pengesahan RTRW oleh parlemen. e. Mendukung kegiatan REDD+ Agency dalam menjalankan kegiatan administrasi sebagai REDD+ national governing body dan melaksanakan fungsi‐fungsi yang dimandatkan. f. Mendukung implementasi Strategi Nasional REDD+. g. Mewakili pemangku kepentingan dalam proses konsultasi terkait dengan tata kelola dari mekanisme pendanaan. h. Mendukung program/kegiatan pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan yang secara langsung mendukung kegiatan REDD+. i. Bersifat dana pendamping (matching fund) atas komitmen investasi REDD+ yang dilakukan pemerintah daerah atau investor swasta. 4. Memastikan adanya protokol fiduciary safeguards dan implementasinya pada tahap sebelum program/proyek REDD+ disetujui dan pemenuhan implementasi safeguards pada saat penilaian program/proyek sebelum menerima pencairan dana. 5. Menyelaraskan aturan‐aturan pelaksanaan pendanaan dan pembayaran terkait dengan pengembangan aturan‐aturan penyelenggaraan pasar karbon yang diharapkan muncul ketika Indonesia siap memasuki tahap implementasi penuh strategi nasional REDD+. Lembaga dan instrumen pendanaan akan dibangun dengan mengemukakan prinsip‐prinsip transparansi, accountability, good governance, professionality, timely, dan peningkatan bertahap peran lembaga keuangan domestik. Agar pendanaan program/proyek REDD+ dapat berkembang dan berhasil mendorong pengembangan CER/VER dari sektor kehutanan dan lahan gambut, sistem pendanaan akan dikembangkan dengan: a. Membangun rasa kepemilikan dari pemangku kepentingan dalam negeri agar dapat memanfaatkan dan mengembangkan dana secara bertanggung jawab. b. Memaksimum efektifitas pencairan dana yang akan bertumpu pada fleksibilitas dari mekanisme pendanaan tanpa mengorbankan prinsip‐prinsip fiduciary, social dan environmental safeguards. c. Memastikan adanya mekanisme monitoring dan evolusi yang transparan dan dapat diandalkan. Impelementasi dari mandat dari Dana Kemitraan REDD+ di atas dalam melakukan pengembangan dana, pengelolaan dana, dan pencairan dana untuk pembayaran dapat digambarkan dalam skema berikut. Skema ini mencerminkan sistem pengelolaan dana yang bersumber banyak (multi sources), dengan beberapa tujuan (multiple outlets/windows), dan banyak tipe penerima (multi recipients ‐ swasta, masyarakat, pemerintah daerah) dan banyak manfaat (untuk input, untuk output/investasi, dan untuk keberhasilan membuat kebijakan atau inisiatif strategis – semuanya untuk mencapai tujuan REDD+.
43
2 3 1
1
Transfer fiskal dari APBN ke Pemda (Bagi Hasil, DAU, DAK) = insentif dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan lahan
2
APBN dapat menyumbang/ mendanai Dana Kemitraan REDD+
3
Dana Kemitraan REDD+ dapat memberikan reward dan/atau policy/program‐ based financing bagi Pemda untuk mendukung pelaksanaan REDD+
Gambar 4.3. Skema Penerimaan dana dan Pembayaran REDD+ Keputusan tentang program/proyek/kegiatan/kinerja yang akan menerima pembayaran dari Dana Kemitraan REDD+ diambil oleh Dewan Pengarah sebagai badan tertinggi di dalam struktur tata kelola lembaga pendanaan. Keputusan pembayaran atas program/proyek/ kegiatan/kinerja hanya dapat diambil setelah semua persyaratan integritasnya terpenuhi yang dibuktikan dengan hasil audit dan pemenuhan persyaratan safeguards. Dewan Pengarah menunjuk badan pengelola dana (Fund Manager) sebagai implementing agent yang secara profesional bekerja mengembangkan dan mengelola dana serta melakukan pencairan dana kepada pihak‐pihak yang berhak menerima pembayaran. Keanggotaan Dewan Pengarah Dana Kemitraan REDD+ Indonesia terdiri dari: 1. Kepala Badan REDD+ sebagai ex‐officio mewakili struktur tata kelola tertinggi dalam sistem implementasi REDD di Indonesia. 2. Beberapa wakil negara dan lembaga donor (melalui collective representation, misalnya 1 dari MDB, 1 dari donor bilateral, 1 dari international commercial financial institution). 44
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Wakil pemerintah Indonesia. Wakil stakeholders daerah. Wakil lembaga keuangan Indonesia. Wakil masyarakat adat. Wakil organisasi masyarakat sipil. Dua Wakil Administrator Dana, sebagai ex‐officio mewakili konsorsium badan implementasi yang ditunjuk oleh Board of Trustees.
Secara keseluruhan, lembaga/instrumen pendanaan termasuk Dewan Pengarah dan Peneglola Dana sebagai badan implementasinya, menjalankan 4 (empat) fungsi utama: pencairan dana (disbursement), pengembangan dana (fund development), pengelolaan dana (fund management), dan fiduciary safeguards yang merupakan tanggung jawab Dewan Pengarah secara kolektif. Keikutsertaan para pihak internasional di dalam Dewan Wali Amanah ditujukan untuk mendapatkan kontribusinya dalam penyusunan mekanisme pengawalan integritas program REDD (fiduciary, sosial dan lingkungan hidup) dalam design dan pengawasan, dan aksesnya terhadap dana‐dana pembangunan bilateral yang secara potensial dapat disalurkan untuk pengembangan REDD+ di Indonesia. Pada masa inisiasi, lembaga keuangan domestik akan menjalankan sebagian saja dari peran disbursement, development dan fund management. Transisi penambahan peran lembaga keuangan domestik akan dilakukan secara konkrit dan terukur setiap tahun dengan target setelah 4 (empat) tahun sejak berdirinya Dana Kemitraan REDD+, seluruh fungsi disbursement, development dan management dana akan dilakukan oleh lembaga keuangan domestik. 4.2.3 Sistem MRV Pemantauan, pelaporan dan verifikasi (monitoring, reporting and verification, MRV) pengurangan emisi GRK merupakan proses penting dalam kegiatan REDD+. Melalui proses ini efektivitas upaya dan efisiensi biaya pengurangan emisi akan terukur secara kuantitatif, dan pembagian manfaat akan terlaksana secara adil. Oleh karena itu sistem MRV harus dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang terkait dengan lembaga yang melaksanakan instrumen pendanaan. Untuk menjaga kualitas data dan hasil perhitungan pengurangan emisi, lembaga MRV harus memastikan bahwa metodologi pemantauan dan pengukuran cadangan karbon hutan dan perubahanya mengikuti kaidah ilmiah, misalnya seperti yang telah digariskan oleh Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC). Sistem MRV harus memenuhi prinsip‐prinsip dasar IPCC: 1. Taat azas (consistent). Penetapan tingkat emisi rujukan (reference level, RL) menjadi tolok ukur pelaksanaan REDD+. Karena itu Lembaga MRV harus menjamin tersedianya metodologi secara konsisten dari waktu ke waktu dan berlaku di seluruh lokasi kegiatan REDD+. 45
2. Terbuka (transparent). Untuk menjamin kredibilitas, Lembaga MRV harus terbuka terhadap tuntutan publik dan proses verifikasi dari lembaga independen 3. Lengkap (complete). Kelengkapan informasi cadangan karbon di semua komponen ekosistem, baik yang di atas tanah (batang, ranting, daun) dan di bawah tanah (akar), serta biomassa yang telah terurai sebagian atau seluruhnya (nekromassa, serasah, gambut). 4. Teliti (accurate). Ketelitian data merupakan unsur penting yang terkait dengan efektivitas penurunan emisi. Secara finansial data yang teliti relatif lebih murah dibanding data yang tepat (precise). Prinsip‐prinsip tersebut harus dipegang teguh sehingga hasil laporan dapat diperbandingkan (comparable) dengan laporan dari waktu atau lokasi yang berbeda. Fungsi Lembaga MRV berfungsi sebagai clearing house yang mengumpulkan data dan informasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, mengelompokkan, dan mendistrubusikan kepada pihak‐pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu Lembaga MRV harus memiliki sistem pencatatan (registry) pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang teratur dan diverifikasi oleh lembaga independen yang bersifat transparan dan mudah diakses publik. Mandat Secara nasional lembaga MRV memiliki beberapa mandat untuk: 1. Merumuskan standar nasional yang sesuai dengan protokol internasional dan cara terbaik (best practice) untuk mengukur perubahan cadangan karbon hutan. 2. Mengembangkan mekanisme koordinasi dan harmonisasi perhitungan karbon hutan dengan teknologi yang tersedia pada berbagai tingkatan secara transparan. 3. Mengelola data spasial dan non spasial serta informasi yang terkait sehingga dapat diakses oleh para pemangku kepentingan. 4. Mengembangkan mekanisme pelaporan kepada lembaga‐lembaga nasional dan internasional yang sesuai serta para pelaku pasar. 5. Mengembangkan sistem MRV non‐karbon untuk menilai kinerja pengaman sosial dan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya. 6. Memberikan informasi kepada Pengelola Dana terkait dengan hasil MRV untuk proses pembayarannya. Langkah‐langkah implementasi Lembaga MRV perlu segera memberdayakan sistem perhitungan karbon Indonesia (Indonesia National Carbon Accounting System, INCAS) yang merupakan jejaring simpul‐ simpul informasi yang dihasilkan oleh berbagai lembaga pemerintah. Melalui jejaring ini lembaga MRV dapat mendorong penyempurnaan kualitas dan aliran data, khususnya dalam rangka perbaikan faktor emisi (emission factors) dan data aktivitas (activity data) alihguna lahan. 46
Penyempurnaan data dan informasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber informasi lain yang tersedia di ranah publik dan dapat dipertanggungjawabkan kredibilitas ilmiahnya. Dengan demikian perhitungan emisi karbon dapat dilakukan dengan tingkat ketelitian yang makin baik dari Tier 1 ke Tier 2 dan dari Tier 2 ke Tier 3 menurut ketentuan IPCC. Upaya ini akan memiliki dampak positif baik terhadap pengembangan kapasitas internal maupun dalam rangka peningkatan kepercayaan pasar. Melalui kerjasama dengan Tim Ahli yang dibentuk oleh Lembaga REDD+, lembaga MRV dapat menentukan tingkat emisi rujukan (Reference Emission Level, REL) dengan berbagai pendekatan, antara lain: 1. Emisi historis. Menggunakan informasi laju emisi dari beberapa periode (5‐10 tahunan) sebelum kegiatan REDD+ dimulai. 2. Emisi berbasis skenario. Menggunakan proyeksi emisi dengan model ekonomi yang mempertimbangkan permintaan komoditi pertanian atau produk lain yang berbasis sumber daya lahan serta faktor‐faktor demografi (penyebaran dan pertumbuhan penduduk). 3. Target emisi. Menentukan target emisi di waktu yang akan datang sehingga diperlukan upaya sejak dimulainya kegiatan REDD+ hingga saat itu. Lembaga MRV di tingkat nasional perlu segera berkoordinasi dengan lembaga‐lembaga REDD+ di tingkat sub nasional untuk membangun sistem MRV di tingkat sub nasional yang fungsinya identik dengan lembaga MRV nasional. Langkah ini diperlukan untuk mempersiapkan prosedur agregasi data dan informasi dalam sistem MRV dengan pendekatan berjenjang (nested approach). Selanjutnya bersama dengan lembaga REDD+ sub nasional membangun REL interim untuk tingkat sub nasional dengan memanfaatkan berbagai inisiatif baik yang dilaksanakan oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah sendiri. Lembaga MRV perlu segera mengambil langkah strategis dalam tahap‐tahap sebagai berikut: 1. Pelembagaan. Setelah Badan REDD+ dibentuk, Lembaga MRV harus segera dibangun dengan mandat seperti diuraikan di atas. Kelengkapan personalia dengan SDM yang handal dan jaringan kerjanya efisien akan terwujud pada pertengahan 2011. 2. Rancang‐bangun sistem MRV. Menghubungkan simpul‐simpul informasi menjadi jaringan yag efektif perlu segera dilaksanakan dan diuji‐coba selama periode 2011‐ 2013. 3. Implementasi sistem. Dengan adanya Provinsi percontohan Lembaga MRV dapat segera memulai bekerjasama dengan pengembang, Badan REDD+ Daerah dan verifier independen. 4.3. Menelaah dan memperkuat kebijakan dan peraturan Kebijakan dan peraturan‐perundangan sangat penting ditelaah karena berperan secara signifikan sebagai dasar maupun mekanisme untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan maupun lahan gambut secara berkelanjutan. Pengendalian deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut sangat tergantung pada penyelesaian masalah penataan ruang ,
47
tenurial, pengelolaan hutan dan lahan gambut di tingkat tapak/lapangan, maupun pemantauan perijinan dan penegakan hukum. Dalam penyelesaian berbagai masalah tersebut seringkali terkendala oleh adanya kebijakan maupun peraturan perundangan yang tidak lagi sejalan dengan kondisi di lapangan atau tidak sejalan dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Disamping itu, untuk menyelesaikan masalah‐masalah tertentu, isi berbagai peraturan perundangan dapat bertentangan satu sama lain sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi. Tantangan tersebut perlu dijawab dengan mewujudkan kerangka hukum yang berkesinambungan dengan konteks perubahan iklim (Climate Friendly Legal framework – CFLF). Kerangka hukum tersebut akan memuat prinsip‐prinsip serta acuan pembuatan kebijakan maupun peraturan perundang‐undangan pada sektor yang terkait perubahan iklim (termasuk hutan) agar dapat sejalan dengan kondisi perubahan iklim. Prnsip‐prinsip tersebut juga akan menjadi penyelaras terhadap semua peraturan perundang‐undangan pengelolaan sumber daya alam yang saat ini berlaku. Kerangka ini pula yang akan mendasari penilaian serta pelaksanaan berbagai strategi di berikut ini. 4.3.1. Penataan dan penggunaan ruang Penyelesaian masalah penataan dan penggunaan ruang yang terkait dengan penguatan kerangka hukum dan peraturan perundangan dilaksanakan melalui 3 komponen berikut ini: 1.
Penetapan lembaga dan kewenangannya untuk melakukan sinkronisasi data dan informasi yang dipergunakan untuk penetapan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan berbasis hutan dan lahan berdasarkan daya dukung dan daya tampungnya;
2.
Telaah perijinan dan kebijakan dan peraturan‐ perundangan dengan mengacu kepada CFLF yang telah disusun sebelumnya sebagai sebagai perangkat penelaah untuk upaya penyelesaian konflik penggunaan ruang, terutama untuk kepentingan sektor kehutanan, pertanian dan pertambangan serta pemukiman;
3.
Percepatan pembentukan lembaga pengelola hutan dan lahan di tingkat tapak/lapangan (Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH) sebagai pelaksana pengelola sumberdaya hutan serta penetapan kerangka hukum dan peraturan dalam pelaksanaan transisi dari dari tanpa dan dengan keberadaan KPH terutama terhadap keberadaan perijinan kehutanan.
Lembaga MRV yang dibentuk, sebagaimana diuraikan di atas, akan mengkoordinasikan pengumpulan dan penggunaan data oleh Kementerian maupun Pemerintah Daerah serta mengelola pusat database dimana data dikumpulkan dan diperbaharui. Penetapan protokol pengumpulan dan penggunaan data dan peta dibentuk untuk meningkatkan kesamaan penggunaan informasi dan peta bagi pengambilan keputusan semua sektor. Informasi penting yang akan dihimpun mencakup kondisi bio‐fisik lahan seperti tutupan hutan dan kedalaman gambut, keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya, peta wilayah kelola adat, perkembangan penggunaan lahan, lahan kritis, penetapan kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaan serta hutan dan lahan yang perlu dilindungi. Diharapkan dengan menggunakan data dan peta yang sama, baik untuk penetapan penataan ruang maupun untuk menentukan lokasi izin pemanfaatan dan penggunaan hutan dan lahan, tidak lagi dijumpai 48
konflik penggunaan ruang. Selain itu dasar dari peta juga memberikan pengakuan terhadap peta yang dibuat berdasar pada inisiatif lokal (pemetaan partisipatif. Untuk menyelesaikan masalah penggunaan ruang di masa lalu, perlu ditelaah perijinan dan dilakukan terobosan kebijakan dan peraturan‐perundangan sebagai upaya penyelesaian konflik penggunaan ruang guna mencari solusi seadil‐adilnya tanpa mengorbankan hutan dan lahan yang potensial sebagai lokasi REDD+. Adanya tumpang tindih penggunaan ruang saat ini dengan skala luas memerlukan terobosan kebijakan dan peraturan dengan melakukan harmonisasi kebijakan dan peraturan yang terkait dengan penggunaan lahan dan hutan di satu sisi menempatkan seluruh izin sesuai dengan fungsi hutan dan lahan atau pola ruang yang telah ditetapkan, dan di sisi lain kepastian usaha dalam jangka panjang dapat terwujud. Untuk memastikan terwujudnya pola ruang yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) maupun integrasi Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) berdasarkan UU RPPLH No 32/2009 perlu ditekankan. Agar permasalahan penggunaan ruang tidak terulang lagi di masa yang akan datang, diperlukan lembaga yang melakukan pengelolaan kawasan hutan di tingkat tapak/lapangan (KPH). Meskipun perangkat peraturan perundangan telah tersedia untuk melaksanakan pembangunan KPH tersebut, namun dalam pelaksanaannya perlu dipercepat seiring dengan kebutuhan melestarikan fungsi hutan. 4.3.2. Tenurial Keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya beserta budaya‐historis, sumber daya maupun adat‐istiadat yang dianutnya adalah suatu fakta historis yang tidak dapat dinafikan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hal ini, masalah tenurial adalah masalah pengakuan masyarakat adat dan lokal lainnya yang terkait dengan penetapan tata ruang, pelaksanaan tata batas kawasan hutan, serta belum efektifnya penyelesaian konflik penggunaan hutan dan lahan. Strategi penyelesaian masalah tenurial pada dasarnya menjalankan mandat UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara harus “mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat serta hak‐hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik”. Pelaksanaan amanat UUD tersebut belum berjalan sesuai yang diharapkan, terutama terkait dengan pengembangan investasi pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu strategi tersebut dijalankan melalui: 1.
Menunjuk atau menetapkan lembaga tertentu melalui peraturan untuk melaksanakan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya termasuk adat‐istiadat, sumberdaya dan historis budaya maupun wilayah pemanfaatan sumberdaya alam. Hasil inventarisasi tersebut dipetakan secara partisipatif;
2.
Menginventarisasi keberadaan masyarakat adat/lokal dan memetakan wilayah kelola adat, serta penggunaan lahan lainnya;
3.
Membangun mekanisme registrasi, pengakuan, dan penetapan hak masyarakat adat dan lokal lainnya terhadap sumber daya alam, serta menetapkan kerangka peraturan
49
dan mekanisme untuk menyelesaikan apabila terjadi konflik penggunaan hutan dan lahan; 4.
Memastikan bahwa Free and Prior Informed Consent (FPIC) digunakan dalam penetapan perijinan yang memanfaatkan sumber daya alam serta menyesuaikan isi beberapa undang‐undang yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan tidak sesuai dengan pelaksanan FPIC.
4.3.3. Pengelolaan hutan dan lahan gambut Pengelolaan hutan dan lahan gambut adalah kegiatan menyiapkan hutan dan lahan gambut untuk dapat dimanfaatkan dan/atau dilindungi (oleh pemegang izin) tanpa menimbulkan konflik dan dapat dihasilkan manfaat hutan dan lahan gambut secara berkelanjutan. Sesuai dengan undang‐Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, pengelolaan hutan dan lahan gambut—yang berada di dalam kawasan hutan—pada dasarnya menjadi kewajiban pemerintah, sedangkan yang berada di luar kawasan hutan, belum ada ketentuannya. Memperkuat pengelolaan hutan dan lahan gambut yang telah ada atau mewujudkan pengelolaan baru bagi hutan dan lahan gambut menjadi keharusan agar tujuan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut dapat diwujudkan. Upaya ini dapat ditempuh melalui 3 komponen utama, yaitu: 1. Melakukan telaah, terobosan dan harmonisasi kebijakan serta peraturan yang akan memperkuat pengelolaan kawasan konservasi, mempercepat pengembangan keberadaan kesatuan pengelola hutan (KPH) pada kawasan hutan produksi dan lindung, serta memperjelas kewenangan pengelolaan lahan gambut di luar kawasan hutan; 2. Melakukan alih fungsi hutan dan lahan di luar kawasan hutan yang potensial sebagai lokasi REDD+ menjadi kawasan hutan tetap melalui mekanisme dan peraturan‐ perundangan tertentu (land swap) berdasarkan prinsip keadilan dan keterbukaan; 3. Melakukan telaah dan penyederhanaan peraturan dan kejelasan birokrasi maupun administrasi agar terwujud efisiensi pelayanan publik dan iklim investasi yang kondusif, terutama bagi pengembangan usaha kecil dan menengah bagi masyarakat lokal. Memperkuat kebijakan dan peraturan perundangan dalam pengelolaan kawasan konservasi antara lain ditujukan untuk memberi peran dan manfaat secara nyata bagi Pemerintah Daerah serta masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Sementara itu dalam wilayah tertentu terdapat hutan dan lahan gambut yang perlu dikelola sejalan dengan skema REDD+, namun berada di luar kawasan hutan dan oleh karenanya tidak ada peraturan yang membatasi penggunaan hutan dan lahan seperti itu. Land reclassification dan land swap pada dasarnya dilakukan untuk mengubah fungsi hutan dan lahan tersebut melalui insentif atau tukar menukar lokasi hutan dan lahan dengan lahan lain. Berdasarkan data tutupan hutan pada Gambar 2.1. luas hutan produksi (HP) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak berhutan seluas 13,3 juta Ha. Kawasan hutan yang tidak berhutan tersebut dapat digunakan sebagai lahan pertanian dengan menukar luas hutan di APL dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) serta di lahan gambut dengan luas masih 18,1 juta Ha.
50
Memperkuat pengelolaan hutan dan lahan juga perlu dilakukan melalui efisiensi pelayanan publik serta penyempurnaan peraturan yang diberlakukan bagi semua pemegang izin agar terdorong untuk dapat menjalankan usahanya secara berkelanjutan. 4.3.4. Pemantauan hutan dan penegakan hukum Pemantauan hutan ditujukan untuk merespon secara cepat apabila terdapat kelemahan kebijakan dan peraturan sebagai penyebab menurunnya kinerja pengelolaan hutan. Di sisi lain hasil pemantauan hutan juga menjadi informasi penting dalam melakukan penegakan hukum terhadap obyek atau kegiatan tertentu yang masih lemah. Telaah dan penguatan kebijakan dan peraturan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemantauan hutan dan penegakan hukum dapat dilakukan melalui: 1. Peningkatan peran evaluasi kinerja pemegang izin oleh pihak ketiga seperti dalam pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan lestari (PHL) melalui telaah dan penyempurnaan peraturan untuk meningkatkan insentif bagi yang lulus sertifikasi; 2. Penegakan hukum administratif secara tegas dan konsisten terhadap pelanggaran‐ pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang izin pemanfaatan kayu dari hutan alam dan tanaman yang tidak melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan lestari dan kewajiban‐ kewajiban lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. 3. Telaah kebijakan dan peraturan untuk mempercepat pelaksanaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan pengelolaan hutan lestari (PHL) termasuk pelatihan bagi lembaga verifikasi dan auditor. 4. Penegakan hukum secara tegas dan konsisten atas pelaku tindak pidana kehutanan untuk menimbulkan kepastian hukum dan efek jera. 5. Penilaian secara indipenden (pihak ketiga) maupun internal (melalui Inspektorat Jendral Kementrian) dengan menggunakan kriteria dan indikator tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance). 6. Pencegahan pelanggaran hukum melalui kajian kebijakan dan peraturan yang terindikasi sebagai penyebab terjadinya pelanggaran, sebagaimana saat ini dilaksanakan melalui kerjasama KPK dan Kementerian Kehutanan. 7. Pembentukan jaksa dan polisi lingkungan satu atap (One Roof Enforcement System / ORES) yang dipilih berdasarkan integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu menjadi garda depan penerapan UU terkait untuk memberantas kejahatan kehutanan. 8. Pembentukan hakim khusus yang akan memutuskan perkara‐perkara lingkungan termasuk kehutanan (Green Bench) yang dipilih berdasarkan integritas dan pemahaman yang prima atas paradigm pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektorkehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu memberi keadilan dan kepastian hukum di sektor pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. 9. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum secara umum agar memahami berbagai aturan serta metode penyelidikan dan penyidikan yang dapat digunakan untuk memberantas kejahatan kehutanan. 10. Pelaksanaan reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum, terutama yang terkait dengan sektor kehutanan. 51
4.3.5. Penangguhan izin selama 2 tahun Penangguhan pemberian izin baru (moratorium) pada hutan dan lahan gambut dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekonomi nasional serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) dengan penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut. Untuk mengawali proses ini diperlukan waktu 2 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Selama kurun waktu penangguhan izin tersebut akan dilakukan langkah‐langkah sebagai berikut: Tahap penangguhan izin 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Melakukan identifikasi spesifik atas potensi land reclassification and land swaping antara hutan rusak di kawasan hutan tetap dengan hutan yang masih dalam keadaan baik di hutan produksi untuk konversi dan di kawasan APL. Melakukan kaji ulang dan perbaikan tata kelola bagi izin‐izin yang telah dikeluarkan dan kebijakan yang mendasari penerbitan izin tersebut. Penyempurnaan kerangka hukum dan peraturan mengenai tata kelola bagi izin pinjam pakai, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK‐HA) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK‐HT), izin pemanfaatan kayu, izin usaha pertambangan pada hutan dan lahan gambut yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Moratorium (PIM). Menerbitkan landasan hukum untuk melakukan penyitaan atas semua hasil hutan yang berasal dari kejahatan kehutanan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan social. Mengembangkan strategi untuk pemenuhan kebutuhan kayu domestik. Memastikan kejelasan dan penunjukan lembaga penanggungjawab pengelolaan lahan gambut dan menetapkan aturan pengelolaannya.
Tahap penyelamatan hutan yang paling terancam 1. 2. 3.
Melakukan inventarisasi wilayah terdegradasi dan menyiapkan sistem data base terkait dengan kebutuhan MRV. Pelaksanaan pembangunan KPH khususnya di wilayah‐wilayah yang tidak/belum terdapat pemegang izin. Melakukan klasifikasi dan pembagian ulang kawasan dan status hutan, serta melakukan delineasi dan mengharmonisasikan dengan RTRW. Mengedepankan praktek konservasi berbasis kearifan lokal.
4. Tahap penyelesaian konflik 1. 2.
3.
Penguatan kebijakan dan peraturan yang memungkinkan penyelesaian berbagai konflik terkait kehutanan. Pelaksanaan secara efektif mekanisme penyelesaian konflik penggunaan lahan khususnya yang diatur PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, diikuti dengan penertiban lahan‐lahan terlantar. Pelibatan masyarakat dalam setiap proses perencanaan, penerapan, hingga evaluasi selama penundaan izin. 52
4.4. Meluncurkan Program‐program Strategis Berdasarkan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi GRK dengan tanpa mengurangi target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan sebesar 7%, strategi nasional REDD+ dijabarkan menjadi tiga program strategis sebagai berikut: 1. Pengelolaan lansekap berkelanjutan. 2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. 3. Konservasi dan rehabilitasi. Ketiga program strategis di atas dapat merupakan program sektoral terutama sektor kehutanan, pertanian, pertambangan, serta program Pemerintah Daerah; atau dapat pula merupakan program terpadu dengan pendekatan lansekap; berlandaskan ekoregion dengan pengelolaan lahan multifungsi, sesuai dengan mandat UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan REDD+ dapat mencapai target pengurangan emisi, peningkatan cadangan karbon, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan pembangunan ekonomi dalam jangka panjang dan pada skala nasional, apabila kondisi pemungkin (enabling conditions) bagi pelaksanaan ketiga program strategis di atas dapat diwujudkan. Berdasarkan kerangka strategi nasional REDD+ pada Gambar 4.1, kondisi pemungkin tersebut tidak terpisahkan dan menjadi bagian integral dari pelaksanaan program strategis REDD+. Demikian pula dalam pelaksanaan program strategis tersebut juga diperlukan program perubahan paradigma, budaya kerja serta pelibatan para pihak dalam semua pelaksanaan program. Karena kondisi pemungkin tersebut sebagian besar belum terwujud, dalam perumusan program strategis diperlukan pula upaya untuk mewujudkannya. Manfaat terciptanya kondisi pemungkin tersebut tidak terbatas bagi pelaksanaan program REDD+, melainkan dapat menunjang pelaksanaan pengelolaan SDA pada umumnya dan dapat dicapai dengan efektif apabila peran Badan REDD+ dalam melaksanakan koordinasi dan kerja sama lintas‐sektor berhasil. Sinergi kebijakan, peraturan dan program antar sektor dan Pemerintah Daerah sangat penting dalam menentukan keberhasilan implementasi REDD+, sehingga terjadi pengurangan emisi secara permanen akibat pelaksanaan suatu program. Uraian penjabaran program strategis nasional REDD+ diuraikan di bawah ini. 4.4.1. Pengelolaan lansekap berkelanjutan Dalam strategi ini, pendekatan yang diambil adalah berbasis pada sistem pengelolaan lansekap yang memadukan beberapa sektor dan kepentingan dalam jangka panjang. Pembangunan secara terpadu di berbagai sektor, khususnya industri, kehutanan, pertanian dan pertambangan, menuju ekonomi hijau (green economy) yang menghasilkan emisi karbon rendah merupakan suatu tujuan. Masyarakat lokal yang tinggal di lansekap tersebut merupakan beneficiary. Kendala utama adalah lemahnya kapasitas masyarakat, kelangkaan alternatif pendapatan dan lemahnya produktivitas serta akses masyarakat terhadap pasar. Dengan penghilangan kendala ini, kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi akan meningkat. a. Perencanaan dan Pengelolaan lansekap/ekoregion/Daerah Alitan Sungai multifungsi Hal ini dapat dilakukan melalui: 53
1. Perencanaan terpadu penggunaan lahan dan pembangunan yang mengacu pada wilayah ekosistem dan wilayah administrasi secara inklusif, berdasarkan informasi dan data yang sahih dan sejalan dengan: a. Pembentukan kelembagaan terpadu dan lintas wilayah untuk pengelolaan data dan informasi spasial dan non‐spasial sebagai pusat dan penanggung jawab untuk pengumpulan, analisis, dan penyiapan rekomendasi perencanaan dan evaluasi tata ruang sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagai basis perencanaan pembangunan daerah dan nasional. b. Penetapan komponen sosial‐budaya yang memberikan fasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta memberikan peluang untuk mendapatkan ruang bagi beragam kebutuhan sosial budaya. c. Pembangunan mekanisme dan proses keterlibatan pemangku kepentingan dalam penetapan rencana tata ruang wilayah mulai dari tingkat desa, kabupaten, provinsi, dan pusat dengan memperhatikan keseimbangan aspek pertumbuhan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan serta daya dukung lingkungan. d. Pembuatan indikator keberhasilan yang terukur dalam proses monitoring dan evaluasi, yang merupakan bagian dalam siklus perencanaan. e. Memadukan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. 2. Pengembangan kapasitas lokal dan meningkatkan 5 kapital yaitu: fisik, finansial, sumber daya alam, sosial dan manusia. 3. Menyelaraskan insentif antara Dana Alokasi Khusus (DAK) kehutanan, perubahan iklim, Dana Bagi Hasil (DBH) kehutanan dan penghargaan untuk jasa lingkungan yang lebih luas di luar mitigasi perubahan iklim, seperti pemeliharaan Daerah Aliran Sungai dan keanekaragaman hayati, baik dalam bentuk kompensasi finansial maupun dalam bentuk lainnya. b. Perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan Hal ini dapat dilakukan dengan: 1. Penetapan kawasan‐kawasan pusat kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan dan pemberian izin investasi yang patuh pada asas pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dalam kerangka konsep pembangunan ekonomi rendah karbon. 2. Mendorong migrasi dari kawasan dengan nilai konservasi hutan tinggi ke wilayah‐ wilayah yang sudah dirancang untuk menjadi pusat kegiatan ekonomi. 3. Menyiapkan program‐program pelatihan untuk tenaga teknis menengah sesuai dengan investasi yang akan ditanamkan. 4. Menggali dan mengembangkan potensi ekoturisme. c. Akselerasi pembentukan organisasi dan operasional Kesatuan Pemangkuan Hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) merupakan organisasi pengelolaan di tingkat lapangan/tapak yang selama ini, khususnya bagi pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa, belum ada. Disamping pemerintah dan pemerintah daerah akan mengetahui potensi sumber daya hutan, dengan adanya KPH dimungkinkan upaya pencegahan penggunaan kawasan hutan secara illegal maupun deteksi dini kebakaran hutan dan lahan. Meskipun perangkat peraturan untuk melakukan pembangunan KPH saat ini telah tersedia, namun pelaksanaan 54
pembangunan KPH masih menghadapai hambatan. Untuk menanggulangi hambatan ini, dapat diupayakan melalui: 1. Melaksanakan monitoring dan evaluasi pembangunan KPH yang telah berjalan sebagai input penyempurnaan kebijakan untuk mempercepat pembangunan KPH; 2. Mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia bagi pelaksanaan operasional KPH; 3. Menjalankan sistem insentif bagi pemerintah daerah yang telah membangun KPH melalui penempatan investasi pemerintah dan swasta di dalam kawasan KPH yang telah dibangun; 4. Meningkatkan sosialisasi dan pengembangan kapasitas pemerintah daerah agar terdorong berinisiatif dalam membangun KPH; 5. Mengembangkan sumber pendanaan pembangunan KPH diluar APBN/APBD. d. Pengendalian dan pencegahan kebakaran Pengendalikan kebakaran hutan harus dilakukan secara preventif maupun reaktif. Usaha preventif untuk mencegah kebakaran hutan mencakup berjalannya sistem pendeteksi kebakaran dan sistem early‐warning, sedangkan usaha reaktif menyangkut peningkatan kapasitas penanganan kebakaran. Peningkatan kewaspadaan publik mengenai biaya ekonomi dan sosial serta cara menanggulangi perlu diupayakan. Kebijakan nir pembakaran dalam penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, penanaman hutan produksi dan pembangunan infrastruktur harus ditegakkan. Program ini harus diikuti dengan sistem penalti bagi pelanggar. Adanya KPH memungkinkan pelaksanaan pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan ini. Pencegahan pembakaran sisa tanaman dalam konversi hutan dan gambut, terutama untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit seluas 400,000 ha/tahun dan HTI, HTR/HKm seluas 500,000 ha/tahun akan menurunkan emisi sebesar 20.42 Gt CO2e pada tahun 2020 dengan biaya $ 0.50 per ton (Kemenhut 2008). 4.4.2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara berkelanjutan Strategi ini bertumpu pada cara‐cara terbaik (best practices) dari pengelolaan lahan pertanian, perkebunan, penebangan dan silvikultur serta pertambangan dengan prinsip meningkatkan produktivitas per unit luasan tanpa menambah emisi atau resiko kerusakan lingkungan lainnya serta tanpa mengurangi manfaat jangka panjang sehingga kebutuhan perluasan lahan dapat ditekan. a. Memacu Praktek Pengelolaan Hutan Lestari Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) didorong untuk dilaksanakan oleh berbagai pihak baik dalam pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman skala besar maupun pada hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa serta hutan rakyat. Prinsip keseimbangan antara manfaat ekonomi, manfaat ekologi dan keadilan sosial menjadi dasar pelaksanaan PHL tersebut. Meskipun faktor penentu untuk mencapai PHL dari setiap jenis pemanfaatan hutan tersebut berbeda‐beda, namun memiliki kesamaan umum, yaitu: 1. Terdapat kepastian kawasan hutan. Hal ini dapat dipercepat melalui pelaksanaan penataan hutan dalam rangka pelaksanaan KPH yang terdiri dari tata batas,
55
2.
3. 4. 5.
inventarisasi hutan, pembagian ke dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan pemetaan. Percepatan penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek di setiap KPH, guna memberi kepastian adanya peluang investasi dalam jangka panjang. Penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), dan sertifikasi PHL di hutan produksi yang dikelola oleh pemegang izin . Perlindungan hutan dari kebakaran, baik yang disebabkan oleh kegiatan manusia maupun oleh alam. Pembangunan mekanisme pemberian insentif kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan hutan secara lestari melalui program sertifikasi.
Implementasi RIL pada area IUPHHK‐HA/HPH seluas 25 juta hektar memberikan potensi penurunan emisi sebesar 43.5 GtCO2e sampai tahun 2020, dengan biaya $ 1.10 per ton (Kemenhut). Berdasarkan estimasi DNPI, SFM secara keseluruhan mempunyai potensi menurunkan emisi sebesar 118 GtCo2e pada tahun 2020, dengan biaya relative murah, yaitu $ 2 per ton CO2e. Sertifikasi SFM juga berlaku untuk HTI dengan menjamin keberlangsungan suplai bahan mentah untuk industri pulp and paper yang memberikan kontribusi devisa sebesar $5 milyar/tahun dan menyerap tenaga kerja sebesar 2 juta orang yang tinggal di sekitar hutan. e. Peningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan Tingginya produktivitas lahan usaha pertanian dan perkebunan sangat menentukan kesejahteraan warga masyarakat di sekitar hutan dan kelestarian hutan. Layanan publik pada usaha pertanian tanaman pangan dapat mengikuti program dinas terkait. Peningkatan produksi perkebunan sawit rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh perkebunan sawit di Indonesia, memerlukan penganan khusus. Menurut penilaian KPPU (2006) produktivitas CPO perkebun rakyat hanya mencapai 1.80 ton/ha, sedang perkebunan besar negara dapat mencapai 2.77 ton/ha. Perbedaan yang sangat mencolok ini menunjukkan bahwa:
Intensifiasi perkebunan sawit rakyat dapat didorong melalui pembinaan oleh perkebunan besar Ekstensifikasi atau ekspansi perkebunan sawit besar (termasuk swasta) dapat dikendalikan dengan Perbaikan infrastruktur (transportasi dan pengolahan buah segar) dapat diperbaiki untuk meningkatkan efisiensi dan mengurang limbah
Khususnya untuk kelapa sawit, penerapan standar praktek RSPO ataupun ISPO (yang sedang dalam proses penyusunan oleh Kementan) dijadikan sistem insentif dan disinsentif. f.
Pengendalian kerusakan lahan dari pertambangan
Pertambangan biasanya dilakukan secara sangat terfokus sehingga area operasi biasanya tidak luas, akan tetapi proses eksplorasi pada umumnya mencakup area yang luasnya berlipat ganda daripada luas operasi. Dengan teknologi dan perencanaan eksplorasi yang
56
lebih baik, kerusakan yang ditimbulkan selama proses ekplorasi bisa ditekan. Selain itu pembangunan pertambangan rendah emisi dapat dilakukan melalui: 1. Penyempurnaan peraturan perundang‐undangan di bidang pertambangan, antara lain terkait larangan pemberian izin Kuasa Pertambangan (KP) di lahan gambut berketebalan lebih dari 3 m dan perlindungan terhadap lahan gambut di kawasan pertambangan, serta kewajiban pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang. 2. Penyempurnaan perencanaan pertambangan, antara lain eksplorasi dan eksploitasi dihindari pada kawasan hutan dan kawasan lain yang memiliki hutan dalam keadaan masih baik, perlindungan kawasan‐kawasan bernilai konservasi tinggi, penguatan sistem monitoring. 3. Peningkatan perizinan dan pengawasan pertambangan, antara lain pemberian izin KP di kawasan hutan melalui penetapan ambang batas emisi dan kewajiban peningkatan cadangan karbon pada areal bekas tambang, serta penaatan terhadap rencana peruntukan kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditetapkan didukung oleh penegakan hokum. 4. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan. 5. Penegakan hukum untuk kegiatan tambang yang merusak. 6. Perlu ditetapkan kawasan‐kawasan no‐go zone. 7. Penerapan standard Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) . g. Mempromosikan industri hilir dengan nilai tambah tinggi Peningkatan nilai tambah dengan: 1. Investasi, yang diprioritaskan pada investasi lokal, untuk membangun industri hilir. 2. Berbasis pada sumber daya lokal dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan sumber daya alam lokal. 3. Pengembangan teknologi lokal dan penerapan teknologi serapan tepat guna untuk meningkatkan nilai produksi masyarakat 4. Membangun atau mengembangkan lembaga‐lembaga ekonomi di tingkat masyarakat lokal untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat. 5. Menciptakan dan melancarkan proses pemasaran yang lebih menguntungkan bagi masyarakat lokal sekitar hutan. 4.4.3. Konservasi dan Rehabilitasi Konservasi Konservasi ditujukan untuk menghentikan/mengurangi deforestasi dan degradasi yang menyebabkan emisi dari cadangan karbon yang ada. Keanekaragaman hayati dan beberapa jasa ekosistem yang lain akan terjaga dengan program strategis yang terfokus pada konservasi. Wilayah cakupan adalah kawasan hutan maupun kawasan APL dengan lahan gambut atau tutupan hutan alam. Prioritas hendaknya ditujukan pada hutan dan lahan gambut dengan nilai konservasi tinggi (high value conservation forest, HVCF). Peta revisi RTRWP yang disetujui bersama dan telah merekonsiliasi antara kenyataan lapangan dengan kebijakan yang berlaku sebelumnya merupakan enabling condition utama.
57
Konservasi pada hutan alam tidak terganggu seluas 45 juta hektar dan juga pada area hutan yang sudah pernah ditebang‐pilih dan masih dalam kualitas baik dalam kawasan HPH/KHTI sebesar 31.9 juta hektar akan menjaga cadangan karbron sebesar 465 GtCO2e pada tahun 2020 (Kemenhut 2009). Program strategis terfokus pada konservasi: a. Memantapkan fungsi kawasan lindung Area hutan dan lahan gambut dengan cadangan karbon dan tingkat keanekaragaman hayati tinggi dilindungi dengan mengubah statusnya menjadi kawasan lindung. Diperlukan data akurat dan kesepakatan para pihak untuk mendelineasi area ini sebagai bagian dari proses perencanaan tata ruang. Untuk ini diperlukan analisa manfaat dan biaya ekonomis, sosial dan politik yang dilakukan pada masing‐masing area yang akan diubah statusnya. Mekanisme penetapan perencanaan tata ruang wilayah dapat digunakan untuk pelaksanaan program ini. Sejalan dengan langkah di atas, diperlukan penguatan pengelolaan area hutan dan lahan gambut dalam kawasan lindung baik pada tingkat lapangan/tapak, KPH atau bentuk organisasi lainnya, maupun sumber daya manusia untuk menjamin tidak terjadinya emisi karbon dari kegiatan perambahan dan maupun konversi. Untuk itu perlu dilakukan telaah dan penyempurnaan peraturan‐perundangan untuk mewujudkan dan memperkuat pengelolaan kawasan lindung tersebut. b. Pengendalian konversi dan pembalakan hutan Di luar kawasan lindung, dimana deforestasi dan degradasi sudah dimulai, beberapa program strategis yang dapat dilakukan yaitu: 1. Perlindungan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi pada kawasan hutan produksi. 2. Perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan perkebunan. 3. Revisi dan peninjauan ulang kebijakan pemberian izin usaha pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter. Selain itu pada area yang tidak dibebani hak dimana deforestasi dan degradasi hutan belum dimulai, dapat dilakukan: 1. Penyempurnaan perencanaan pembangunan pertanian mencakup antara lain proyeksi perluasan usaha pertanian dan pemberian izin tidak pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik (cadangan karbon di atas 35 ton/ha) 2. Perbaikan perencanaan kawasan‐kawasan bernilai konservasi tinggi, seperti kawasan perkebunan, dan gambut, dan penguatan sistem monitoring dan evaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit. Pada area dimana konversi belum dimulai akan tetapi izin baru sudah diberikan, diterapkan kebijakakan tukar‐fungsi (land swap) pada kawasan APL di tanah mineral dan pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan kegiatan dari lahan berhutan alam dengan nilai konservasi tinggi ke area dengan hutan yang telah terdegradasi. Kalau izin belum digunakan seluruhnya, maka dapat digunakan, 58
seluruh atau sebagian izin dapat dicabut. Untuk area yang sudah diberikan izin dan tidak dioperasionalkan dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan, baik pada HTI maupun kebun kelapa sawit, dilakukan pencabutan izin. Untuk melaksanakan program ini diperlukan terciptanya enabling condition terutama penegakan hukum yang kuat selain RTRW. Selain itu, illegal logging juga bisa diberantas melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Rehabilitasi Rehabilitasi ditujukan untuk mengurangi emisi dengan meningkatkan penyerapan dan cadangan karbon maupun penataan kembali lahan gambut yang telah terdegradasi. Wilayah cakupan utama adalah kawasan hutan dengan tutupan hutan alam atau lahan gambut yang telah terdegradasi serta kawasan APL dengan lahan gambut terdegradasi. Terlepas dari program strategis yang diusulkan, strategi ini tidak akan memberikan sumbangan terhadap mitigasi perubahan iklim dan ecosystem services yang lain apabila pada saat program dimulai salah satu dari tiga hal di bawah ini benar: 1. Cadangan karbon dari biomasa di atas permukaan tanah lebih tinggi dari 35 tC/ha. 2. Lahan Gambut. 3. Merupakan ekosistem dengan nilai konservasi tinggi. Adanya pedoman teknis untuk penentuan hutan dan lahan terdegradasi merupakan enabling condition yang diperlukan oleh program rehabilitasi.Program penanaman bisa dilakukan dengan tujuan untuk peningkatan cadangan karbon semata ataupun untuk merestorasi ekosistem. Untuk tujuan kedua, co‐benefit dengan pemeliharaan keanekaragaman hayati dimungkinkan. Reforestasi dan rehabilitasi dari hutan yang terdegradasi pada DAS kritis seluas 500,000 ha/tahun akan menurunkan emisi sebesar 0.37 GtCO2e pada tahun 2020 dengan biaya sebesar $ 5.5 / ton (Kemenhut 2009). Di luar program reforestasi, diidentifikasi sekitar 10 juta ha area dengan hutan terdegradasi dan area yang tidak berhutan merupakan area berpotensi tinggi untuk ditanami pohon. Apabila area ini dialokasikan untuk konservasi, emisi akan direduksi sebanyak 148 Gtons CO2e pada tahun 2020 dengan biaya antara $5‐6 per t CO2e. Penanaman spesies kayu dengan nilai ekonomis tinggi mempunyai potensi untuk mereduksi emisi akan tetapi karena pada akhir periode rotasi (yang seringkali cukup pendek) akan terjadi pemanenan, sehingga cadangan karbon akan hilang, potensi pengurangan emisi terbatas. c. Penguatan pengelolaan dan rehabilitasi lahan gambut Program yang dapat dilakukan: 1. Rehabilitasi hidrologi (misalnya bloking kanal) dan penerapan pengelolaan tata air yang baik. 2. Penanaman kembali spesies lokal. 3. Penerapan penggunaan ameliorian dalam mengkonservasi tanah di lahan gambut di dalam hutan. 4. Pengembangan pencegahan dan penanggulangan kebakaran gambut.
59
5. Melakukan review keabsahan izin/konsesi terhadap seluruh kegiatan yang dilaksanakan di atas lahan gambut dan melakukan penegakan hukum terhadap izin‐ izin yang tidak sah. 6. Pelaksanaan inventarisasi lahan gambut yang ada di kawasan hutan, lahan gambut yang berhutan dan tidak berhutan, yang meliputi kondisi biofisik (termasuk ketebalan), sosial ekonomi yang lengkap, sahih, transparan dan akuntabel. Potensi pengurangan emisi yang bersumber dari restorasi dan rehabilitasi lahan gambut adalah sebesar 0.732 Gt CO2e pada tahun 2020 dengan biaya $ 5.5 / ton (Kemenhut 2009). Menurut DNPI (2010), biaya penutupan saluran drainase cukup rendah, yaitu $1 per tCO2‐e, sedangkan penanaman kembali cukup mahal, yaitu $ 3‐5 per t CO2e. Regenerasi alami mungkin masih bisa diharapkan untuk mengurangi biaya penanaman kembali. Estimasi pengurangan emisi adalah sebesar 83 Gt CO2‐e pada tahun 2020. d. Aforestasi/reforestasi hutan dan lahan gambut Program ini bisa dikembangkan melalui pemberian insentif untuk: 1. Peningkatan cadangan karbon di daerah yang terdegradasi dan lahan bekas bakar. 2. Pelaksanaan pengkayaan (enrichment planting) pada kawasan terdegradasi, terutama di dalam kawasan hutan. 3. Peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove secara transparan, akuntabel dan partispatif, terutama di dalam kawasan hutan. 4. Pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang secara transparan, akuntabel dan partisipatif, terutama di dalam kawasan hutan. 5. Peningkatkan produktifitas hutan per luasan lahan tanpa menambahkan emisi dari pemupukan. Kegiatan bisa berupa penanaman pengayaan, penjarangan antar siklus, pemupukan, pemilihan bibit dan teknik pemuliaan yang baik. Biaya silvikultur intensif adalah sekitar $10 per tCO2e, dan berpotensi mereduksi emisi sebesar 39 MtCO2e pada tahun 2020 (Kemenhut 2009). 6. Pengembangan Hutan Kota yang meskipun dalam hal luasan dan besaran emisi yang bisa direduksi mungkin tidak signifikan, akan tetapi manfaat majemuk dalam bentuk co‐benefit cukup berperan dalam hal ecosystem services yang lain seperti keanekaragaman hayati, kualitas lingkungan hidup dan regulasi air sebagai bagian dari adaptasi 7. Peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan agroforestry. Di Indonesia, luasan lahan dengan tutupan pepohonan dengan spesies majemuk adalah 15 juta ha pada tahun 2005 dengan rata‐rata kerapatan karbon yang cukup tinggi (>35 C/ha) (Ekadinata and Dewi, 2011). Sebagian besar dari luasan ini adalah agroforestri yang dikelola masyarakat lokal. Dengan komposisi pepohonan multi‐umur, multi‐strata dan multi‐species, co‐benefit yang dihasilkan dalam hal keanekaragaman hayati, manfaat ekonomis, regulasi air dan pencegahan longsor cukup besar. Peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan terdeforestasi secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, terutama di dalam kawasan hutan bisa dilakukan program HTR, HTI, Hutan Desa, Hutan Kemasyrakatan, dan sebagainya. Pengembangan perhutanan sosial melalui fasilitasi penetapan areal kerja dan pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm),
60
fasilitasi pembangunan hutan rakyat kemitraan, fasilitasi penetapan areal kerja hutan desa diharapkan menjadi skema pemberian hak yang efektif dalam melindungi cadangan karbon. e. Restorasi Ekosistem Bertujuan lebih luas dari pengurangan emisi, deforestasi dan degradasi, program ini berpotensi tinggi untuk bekontribusi terhadap REDD+ dan co‐benefit jasa ekosistem pada kawasan hutan. Mekanisme perijinan yang transparan serta evaluasi yang terukur terhadap program yang dilakukan merupakan elemen utama. Pelaksanaan restorasi ekosistem pada hutan lindung, kawasan konservasi, dan pada kawasan IUPHHK‐RE, khususnya pada kawasan yang kaya karbon seperti gambut dilakukan seefektif mungkin dengan merujuk pada best practices dan peraturan yang ada.
4.5. Perubahan paradigma dan budaya kerja Dengan belajar dari kondisi perubahan iklim yang merupakan akumulasi dari dampak atas pola pembangunan yang jauh dari keberlanjutan, maka sektor kehutanan perlu untuk merubah pola pembangunan yang menjadi pilihannya selama ini. Pola sektoral, ekslusif, ekspansif dan eksploitatif cenderung membawa sektor kehutanan Indonesia menjauh dari mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Demikian juga halnya dengan kapasitas pada tingkat individu mancakup kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan perilaku (attitude), dan integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa kepemimpinan yang kuat dari orang‐orang yang bekerja dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di lapangan menjadi tantangan tersendiri. Apabila budaya kerja dan paradigma atas pengelolaan hutan berkelanjutan dianggap sebuah kerangka, maka selama ini yang terjadi adalah paradigma pengelolaan berada di luar kerangka. Atas dasar itu, yang diperlukan adalah "memaksa" para pihak yang berada di luar kerangka paradigma pengelolaan hutan berkelanjutan untuk masuk ke dalam kerangka tersebut. Sedangkan pada sisi lain juga diperlukan "stimulan" untuk membuat setiap pihak tertarik secara sukarela masuk ke dalam kerangka pengelolaan hutan berkelanjutan. Dengan demikian, ketika semua pemangku kepantingan tersebut telah berada di dalam kerangka pengelolaan hutan berkelanjutan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan dapat menjadi tepat sasaran. Dalam perubahan mendasar ini, prinsip yang harus menjadi acuan adalah 1) inklusivitas, 2) koordinasi / kolaborasi, 3) transparansi, 4) adaptif, 5) antisipatif, serta 6) sensitif gender. Setiap prinsip ini akan mendasari pelaksanaan: a. Penguatan tata kelola sektor kehutanan Penguatan tata kelola sektor kehutanan akan menenentukan keberhasilan dari program strategis yang dilakukan (lihat 4.4). Penguatan tata kelola ditujukan untuk memastikan bahwa setiap pengambilan keputusan dalam konteks pengelolaan hutan dan lahan gambut memenuhi aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sehingga menjamin bahwa pengambilan keputusan bebas dari konflik kepentingan dan didasari pada keberadaan informasi yang akurat. Penguatan akan dilakukan melalui: 1. Peningkatan transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas dalam (a) proses pembuatan peraturan perundang‐undangan, (b) proses pengambilan kebijakan, serta (c) proses 61
2.
3.
4.
5.
6.
pemberian izin di sektor kehutanan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan mengatur secara eksplisit peraturan perundang‐undangan mengenai mekanisme partisipasi yang bersifat operasional serta kewajiban akuntabilitas pengambil keputusan atas keputusan yang diambil dalam peraturan perundang‐undangan terkait. Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi secara khusus pada kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak. Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub‐nasional akan peran penting pelibatan pemangku kepentingan agar keputusan yang diambil lebih obyektif dan berkualitas karena didasarkan atas informasi yang memadai serta meminimalisasi konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people), khususnya pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak untuk (i) memahami informasi yang ada serta (ii) dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks mendorong transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat sebagai bahan untuk berpartisipasi, diperlukan adanya program untuk memastikan implementasi secara konsisten UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terutama pada instansi pemerintah di sektor terkait, yaitu kehutanan, pertanian, energi, pekerjaan umum, dan lain‐lainmelalui upaya peningkatan kapasitas badan publik terkait untuk memenuhi kewajiban sesuai UU dimaksud. Menyediakan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.
b. Pemberdayaan ekonomi lokal Pengelolaan hutan yang berkelanjutan tidak mungkin untuk menegasikan peran dari masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan. Seringkali masyarakat tersebut dipersalahkan atas deforestasi yang terjadi. Namun hal tersebut tidak terlepas dari minimnya pilihan atas sumber penghidupan mereka. Ketidakjelasan status kawasan kelola masyarakat menambah panjang kesulitan yang harus dihadapi masyarakat. Atas dasar itu, untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya pemberdayaan ekonomi lokal melalui: 1. Penyediaan jaminan terhadap keberlanjutan dan kepastian berusaha masyarakat yang mengedepankan produktifitas sumber daya lokal dan mengedepankan prinsip‐prinsip keberlanjutan. 2. Perlindungan pasar (market protection) atas hasil produksi masyarakat dan komoditas yang dihasilkan oleh kelompok masyarakat. Perlindungan bisa berbentuk mekanisme insentif ekonomi (pengurangan pajak, kemudahan perijinan, dan sertifikasi). 3. Pengembangan teknologi berbasis lokalitas yang tepat guna untuk meningkatkan nilai produktifitas masyarakat. c. Kampanye nasional untuk aksi “penyelamatan hutan Indonesia” Peningkatan pengetahuan masyarakat luas terhadap pentingnya nilai hutan di Indonesia, 62
perlu untuk menjadi salah satu poin penting dalam rangka perubahan paradigma. Masyarakat luas dari semua tingkatan dan umur perlu untuk mengetahui nilai pentingnya keberadaan hutan sebagai penyeimbang kehidupan. Selain itu kampanye nasional penyelamatan hutan juga ditujukan untuk membuat kegiatan perusakan hutan menjadi "musuh bersama", sebagaimana korupsi menjadi musuh bersama. Dengan demikian, dukungan publik terhadap upaya penyelamatan hutan secara utuh dapat terlaksana. Kegiatan ini akan dilakukan oleh lembaga REDD+ bekerja sama dengan pihak‐pihak yang memang memiliki keahlian di bidang komunikasi massa. Kampanye akan dilakukan melalui : 1. Pembuatan perangkat informasi populer (popular information kit) yang akan menjadi bahan informasi di berbagai kalangan. 2. Penyusunan kurikulum pendidikan usia dini terkait dengan aspek kehutanan melalui pendidikan formal maupun non formal. 3. Kerjasama dengan media massa (cetak maupun elektronik) terkait dengan penyiaran informasi yang objektif dari berbagai perspektif (pemerintah, masyarakat, pengusaha, praktisi, dan perempuan) terkait dengan penyelanggaraan pengelolaan hutan di Indonesia.
4.6. Pelibatan masyarakat hutan dan berbagai pemangku kepentingan Sebagai bagian dari prinsip inklusif dan kolaboratif, pelibatan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan menjadi sesuatu yang harus dilakukan dalam konteks pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Pelibatan ini dilakukan pada level horizontal dan vertikal antar instansi pemerintah dan secara horizontal antara pemerintah dengan aktor lain di luar pemerintahan. Sehingga pelibatan berbagai pihak dalam hal ini mencakup pemerintah daerah, masyarakat di dalam dan sekitar hutan, masyarakat adat, swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Dengan memperhatikan potensi kompleksitas akibat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan REDD+, sejak awal perlu dirancang mengenai format pelibatan para pemangku kepentingan tersebut. Strategi pelibatan peran masyarakat diuraikan sebagai berikut: 1. Peningkatan pemahaman, kesadaran, kesepahaman/kesepakatan dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+ melalui proses PADIATAPA/FPIC. 2. Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah, termasuk kelompok‐kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, dan perempuan. Peningkatan peran ini dapat dilakukan melalui: a. Kerja sama Kontributif (Contributory Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya support sharing di mana kontributor menyepakati usulan dan memutuskan untuk menyalurkan dana pada program atau proyek REDD+. Kontributor dapat sebagai pemerintah, swasta, atau lainnya. b. Pembangunan Kerja sama Operational (Operational Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya working sharing di mana para pihak yang terdiri dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat bersepakat bekerja sama dan bertukar sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. c. Pembangunan Kerja sama Konsultatif (Consultative Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya advisory di mana pihak‐pihak tertentu yang dianggap berkompeten 63
memberikan masukan kebijakan, strategi, rancangan, evaluasi dan penyesuaian untuk melancarkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. d. Pembangunan Kerja sama Kolaboratif (Collaborative Partnership), yaitu kerja sama dalam decision making process, di mana para pihak bekerja sama dalam perumusan kebijakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyesuaiaan pelaksanaan REDD+ dengan kewenangan, pemilikan, dan risiko yang dibagi bersama. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) / Free prior and 16
informed consent (FPIC) FPIC/PADIATAPA adalah hak masyarakat untuk memberikan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan. Prinsip PADIATAPA telah diadopsi ke dalam kerangka aturan UNFCCC untuk pelaksanaan REDD+ berdasarkan kesepakatan di COP XVI di Cancun, Mexico, Desember 2010 (Annex 1 dari decision CP.16 Cancun agreement). Sebelum diadopsi oleh UNFCCC, PADIATAPA telah menjadi bagian dari aturan yang mengatur interaksi negara dengan masyarakat adat. Aturan ini dicantumkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia, UNDRIP (UN Declaration on Rights of Indigenous People/Deklarasi PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat/DHMA) yang juga telah diadopsi oleh pemerintah RI. Aturan ini juga dicantumkan di dalam Konvensi ILO No.169 yang di Indonesia masih menunggu ratifikasinya. UU no.11/2005 tentang ratifikasi Covenant Tentang Hak‐hak Ekonomi, Sosial dan Kultural dari ECOSOC juga dapat digunakan sebagai dasar implementasi FPIC dalam program/proyek REDD+. Box di bawah ini menunjukkan beberapa artikel penting dari UNDRIP (DHMA) yang menjadi referensi bagi adopsi PADIATAPA dalam pelaksanaan REDD+. Badan REDD+ akan menetapkan bahwa prinsip dan pelaksanaan PADIATAPA (FPIC) menjadi bagian pelaksanaan program dan proyek REDD+ di Indonesia, dan akan mengkordinasikan pengembangan protokol pelaksanaannya bersama dengan pihak‐pihak yang relevan. PADIATAPA diterapkan dalam pelaksanaan program/proyek REDD+ di Indonesia dengan tujuan memastikan fairness dan accountability dari pelaksanaan program/proyek REDD+ bagi masyarakat adat/lokal yang kehidupan dan propertynya akan terkena pengaruh. Beberapa prinsip berikut menjadi dasar pengembangan protokol implementasi PADIATAPA dalam program/proyek REDD+: 1. Aplikasi PADIATAPA mencakup proses konsultasi dengan masyarakat adat yang relevan dengan keberadaan program/proyek REDD+ dan masyarakat lokal yang terkena dampak program/proyek REDD+. 2. Konsultasi dengan masyarakat adat dan masyarakat yang potensial terkena dampak program/proyek dilakukan tanpa paksaan, intimidasi atau manipulasi dan tekanan dalam bentuk apapun 3. Konsultasi dengan masyarakat dilakukan dalam waktu yang cukup sebelum pengesahan izin apapun atau dimulainya kegiatan dan dilakukan berdasarkan
16 Sebagian materi ini di adopsi dari Panduan Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat, Tetteba Foundation, Philippines, 2010 dan materi issue paper dan hasil‐hasil Dialogue on FPIC yang dimotori oleh The Forest Dialogue di Pekanbaru bulan Oktober 2010.
64
4.
5.
6.
7.
penghormatan yang ditunjukkan terhadap kepatuhan atas persyaratan‐persyaratan atau tata waktu yang diperlukan bagi proses konsultasi/konsensus berbasis adat maupun lokal Konsultasi dilakukan dengan informasi yang lengkap, berimbang, jujur, tidak bias dan dapat dimengerti oleh masyarakat. Informasi mencakup penyampaian alternatif‐alternatif pilihan yang tersedia bagi masyarakat dan pelaksana program/proyek dan konsekwensi dari setiap alternatif pilihan tersebut. Tujuannya agar tercipta ruang keputusan yang cukup luas bagi kedua belah pihak berdasarkan kesempatan‐kesempatan yang ada. Konsultasi dilakukan dengan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat dan komunitas lokal pada setiap tahap dari tindakan apapun yang dapat mempengaruhi mereka secara langsung ataupun tak langsung. Partisipasi dari masyarakat adat dapat melalui otoritas tradisional mereka atau sebuah organisasi perwakilan yang diputuskan berdasarkan sistem tradisional mereka sendiri. Konsultasi ditujukan untuk mencapai kesepakatan yang luas (broad concensus) atau persetujuan yang dapat bervariasi seperti: Persetujuan penuh, Persetujuan sebagian, Persetujuan sementara, Persetujuan bersyarat atau Opsi lain. Persetujuan atau kesepakatan maupun opsi‐opsi dari masyarakat diputuskan sesuai dengan mekanisme hukum dan praktik‐praktik adat atau kebiasaan mereka.. Proses PADIATAPA mengawali proses konsultasi dan komunikasi yang berkesinambungan atau berkala antara masyarakat dan penyelenggara program/proyek REDD+. Karena itu, proses tersebut juga akan menyepakati protokol atau mekanisme konsultasi antara masyarakat dengan penyelenggara program/proyek REDD+. Selain itu juga disepakati mekanisme/protokol resolusi konflik dan mekanisme penyampaian keberatan terhadap informasi, proses dan berbagai tahapan program/proyek REDD+ .
Penyiapan sistem pengaman Kerangka pengaman (safeguards) merupakan sebuah kriteria dan indikator yang tercakup di dalam kebijakan nasional untuk memastikan bahwa pelaksanaan REDD+ tidak keluar dari tujuan awalnya. Pada dasarnya sistem pengaman diterapkan dengan tujuan untuk mengidentifikasi resiko‐resiko yang terkait dengan isu sosial, isu tata kelola keuangan dan isu dampak terhadap lingkungan hidup. Setelah evaluasi pengaman awal, pelaksana proyek/program menyusun langkah‐langkah mitigasi resiko yang diidentifikasi, dan menjalankannya bersamaan dengan pelaksanaan proyek/program. Pengaman bukan merupakan suatu hal yang baru karena saat ini telah tersebar pada beberapa peraturan perundang‐undangan di Indonesia dan diterapkan dalam berbagai proyek pembangunan fisik. Dalam konteks implementasi REDD+, diperlukan beberapa hal spesifik yang harus dilakukan untuk menerapkan kerangka pengaman tersebut dalam implementasi REDD+. Penyiapan sistem safeguard meliputi: 1.
Penyusunan prinsip, kriteria dan indikator kerangka pengaman
Penyusunan prinsip, kriteria dan indikator ditujukan untuk dapat memperoleh mengenai landasan hak bagi masyarakat dan kriteria lingkungan yang perlu untuk diletakkan sebagai bagian dari kerangka pengaman. Penyusunan kriteria dan indikator ini minimal harus 65
memuat: a. Jenis‐jenis hak mendasar dari masyarakat untuk mendapatkan informasi yang mudah dipahami, berpartisipasi dan hak untuk mengajukan keberatan (sebagai bagian dari prinsip free and prior informed consent) atas keputusan publik yang berkaitan dengan proyek REDD+. b. Jaminan bahwa proyek atau program REDD+ melindungi dan mengakui hak masyarakat adat/lokal atas sumber daya alam yang tidak hanya berbasis pada bukti formal tetapi juga penguasaan dan klaim secara historis c. Indikator yang menjamin pengakuan terhadap hak‐hak dasar masyarakat adat dan lokal untuk menyatakan keputusannya atas sebuah kegiatan REDD+ di wilayah mereka. d. Jenis‐jenis prinsip tata kelola pemerintahan dan tata administrasi yang baik (good governance), mencakup berbagai prinsip yang menjamin transparansi dan akuntabilitas publik dari pelaksana pengelolaan kehutanan. e. Indikator yang menjamin kesetaraan gender dan kaum rentan dalam berperan serta dalam pelaksanaan REDD+. f.
Indikator untuk memastikan bahwa sebelum kegiatan REDD+ dilaksanakan, terdapat suatu mekanisme penyelesaian konflik apabila terdapat konflik dan untuk mengatasi apabila terjadi konflik di masa yang akan datang.
g. Kriteria atas segala kemungkinan dampak maupun keuntungan yang akan ditimbulkan dari penerapan REDD+ termasuk jaminan atas penentuan pembagian keuntungan yang akan timbul sebagai konsekuensi REDD+. h. Kriteria jaminan yang memastikan REDD+ tidak bertentangan dengan upaya penyelamatan keanekaragaman hayati dan standar lingkungan hidup yang berkelanjutan. i. 2.
Indikator yang menjamin adanya tindakan pemulihan bila terjadi pelanggaran atau pengabaian terhadap hak maupun standar lingkungan.
Penyusunan prosedur penilaian dan pelaksanaan kerangka pengaman
Setelah melaksanakan penentuan prinsip, kriteria dan indikator dari kerangka pengaman, perlu melakukan penyusunan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) untuk memastikan bahwa prinsip, kriteria dan indikator yang telah di susun dapat dinilai dan diterapkan. Penyusunan juklak dan juknis dilakukan oleh lembaga REDD+ dan minimal memuat: a. Prosedur dan sistem informasi dan free and prior informed consent (termasuk mekanisme mengajukan keberatan) dalam proses persetujuan kegiatan REDD+. b. Prosedur dan sistem informasi yang menjamin pengakuan terhadap hak masyarakat atas tanah dan hutan yang tidak hanya mengacu pada bukti penguasaan formal tetapi juga penguasaan secara adat atau secara historis. c. Prosedur dan sistem due dilligence dan pengawasan internal maupun eksternal 66
dalam hal pelaksanaan REDD+. d. Prosedur dan sistem untuk resolusi konflik dan pengajuan keberatan. e. Prosedur dan sistem penentuan pembagian keuntungan yang timbul dari penerapan REDD+. f.
Prosedur penindak lanjutan apabila terjadi kerugian (materil maupun imateril) yang diterima oleh masyarakat akibat dari pelaksanaan REDD+.
g. Prosedur dan sistem penilaian keselamatan dan keberlanjutan lingkungan dalam wilayah yang akan menjadi areal penerapan REDD+. 3. Penggabungan indikator‐indikator safeguard ke dalam instrument MRV untuk peninjauan berkala. MRV safeguard setidak‐tidaknya mencakup hal‐hal sebagai berikut: a. Akuntabilitas yang berkaitan dengan cara dan proses dalam pengumpulan data sosial dan lingkungan untuk menyusun kebijakan maupuan dokumen proyek REDD plus. b. Fakta dan data yang tersaji dalam laporan pelaksanaan kebijakan, program atau proyek REDD plus hingga evaluasi. c. Pemenuhan safeguards dalam kebijakan hingga kegiatan REDD beserta proses dan cara pemenuhannya. d. Penilaian mengenai akuntabilitas hasil verifikasi dan distribusi manfaat REDD+. Safeguard keanekaragaman hayati Adopsi ukuran‐ukuran keanekaragaman hayati di dalam proyek/program REDD+ akan dilakukan untuk memastikan bahwa upaya penurunan emisi dan peningkatan dan pemeliharaan stok karbon berjalan searah dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati. Selain menjadi bagian dari dinamika ekosistem hutan tropis, keanekaragaman hayati cenderung menjadi bagian penting penyangga pendapatan riil masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Keanekaragaman hayati flora dan fauna di hutan adalah bagian dari sumber protein, karbohidrat, obat‐obatan dan bahan pembuat artifak kebudayaan masyarakat hutan. Karena itu, perumusan sistem safeguard keanekaragaman hayati untuk REDD+ perlu dilakukan bersama pemangku kepentingan yang mewakili masyarakat hutan dan sejauh mungkin mendasarkannya pada pengetahuan mereka tentang manfaat sumber keanekaragaman hayati tersebut. Pengembangan sistem safeguard REDD+ untuk keanekaragaman hayati yang terkait dengan kepentingan masyarakat dapat dilakukan misalnya dengan mengadopsi pendekatan CCBS (The Climate, Community and Biodiversity Standard) yang sudah diterapkan di beberapa tempat. Penyelenggara proyek dapat menggunakan standard ini untuk memandu dan memastikan bahwa program/proyek REDD+: (a) konsisten dan menyumbang pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau green economy; (b) adanya manfaat bagi ekosistem dan keanekaragaman hayati; dan (c) adanya manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Selain menggunakan pendekatan kriteria dan indikator, CCBS didasarkan pada pendekatan independensi dan tranparansi. Penilaian atas program/proyek akan dilakukan pada dua tahap: 67
1. Validasi rancangan program/proyek untuk memastikan integritas dan efektifitas pelaksanaan program/proyek. 2. Verifikasi, yaitu evaluasi kesesuaian hasil‐hasil kinerja program/proyek dengan tujuan dan target‐target yang ingin dicapai sesuai dengan kriteria dan indikator. Hasil dari kedua proses ini akan disampaikan secara terbuka kepada stakeholders dan pihak otoritas yang terkait.
68
BAB 5 RENCANA KERJA UNTUK PELAKSANAAN Dalam rangka pelaksanaan REDD+, penetapan provinsi percontohan dan penundaan ijin baru (moratorium) dilaksanakan pada tahun 2011. Bersamaan dengan itu implementasi 5 pilar strategi akan dicanangkan dalam proses perencanaan nasional .
5.1. Fase‐fase pelaksanaan Keseluruhan proses perencanaan, persiapan, pembentukan lembaga, perumusan tata kerja, kebijakan dan prosedur, sampai keseluruhan sistem siap menjalankan pembayaran pelaksanaan hasil verifikasi pengurangan emisi diperkirakan akan memerlukan waktu selama 3 tahun. Implementasi Strategi Nasional REDD+ dimulai tahun 2011 dan sudah akan menjalankan pembayaran untuk sistem pengurangan emisi yang telah diverifikasi pada tahun 2014. Waktu pelaksanaan berbagai komponen Strategi Nasional REDD+ tergantung pada kemampuan dan kondisi awal, serta waktu yang dibutuhkan untuk menyusun perencanaan dan koordinasi serta keterkaitan antar strategi. Pilar pertama dari Strategi Nasional REDD+ dilaksanakan dengan membangun lembaga yang kredibel dan efektif. Untuk tahun 2011, dengan Keputusan Presiden akan dibangun Badan Tata kelola REDD+ (REDD+ Governing Agency) yang disingkat dengan sebutan Badan REDD+ (REDD+ Agency), Dana Kemitraan REDD+ Indonesia (Indonesian REDD+ Partnership Fund) dan Lembaga MRV REDD+. Ketiga lembaga tersebut diharapkan sudah berdiri pada bulan Juni 2011, dan berjalan untuk membangun berbagai mekanisme kerja yang diperlukan sambil meningkatkan kapasitasnya sampai akhir 2013. Januari 2014, ketiga lembaga tersebut diharapkan dapat berfungsi penuh. Badan REDD+ akan mengambil alih tanggung jawab Satgas REDD+ untuk pengembangan sistem pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Badan REDD+ akan membentuk kelengkapan perangkat organisasinya (Dewan Pembina/governing council, Dewan Pengawas, Sekretariat dengan staff yang direkrut dari kalangan profesional). Kepala UKP4 akan duduk sebagai Ketua Dewan Pembina mewakili Seketariat Kepresidenan. Untuk mendukung implementasi provinsi percontohan, pada tahun 2011 juga, Badan REDD+ akan memfasilitasi pembentukan dan penguatan kapasitas Badan REDD+ provinsi Kalimantan Tengah. Berkaitan dengan kegiatan pada tingkat nasional, ketiga lembaga tersebut menjalankan program‐program strategis yang dibutuhkan oleh provinsi‐provinsi percontohan dalam tahun 2011‐2012, sekaligus untuk mengukur efisiensi pelaksanaan program oleh ketiga lembaga tersebut, belajar dari pelaksanaan program di lapangan sebagai dasar peningkatan kinerjanya. Pada tahun 2011, Badan REDD+ juga menjalankan program yang sangat penting seperti konsultasi dan komunikasi dengan pemangku kepentingan, pengembangan berbagai mekanisme dan protokol seperti PADIATAPA/FPIC dan pembagian manfaat (benefit sharing). Dana Kemitraan REDD+ akan mulai bekerja dengan melengkapi berbagai perangkat pelaksanaan tugas dan fungsinya yang ditargetkan untuk selesai akhir 2011. Januari 2012 Dana Kemitraan REDD+ akan mulai mengambil alih pengelolaan dana tahap kedua dari 69
bantuan pemerintah Norwegia. Sejalan dengan ini, pendanaan investasi atau pengembangan proyek REDD+ serta investasi pendukungnya yang dapat diprakarsai oleh Pemerintah Daerah atau Badan REDD+ akan mulai dilakukan. Selama tahun 2012 sampai akhir 2013, Dana Kemitraan REDD+ juga akan memfokuskan diri pada penyiapan kapasitas kelembagaan dan mulai melakukan kampanye pengembangan dana dan memastikan kesiapan pelaksanaan pembayaran berdasarkan kinerja yang akan dimulai awal 2014. Pilar kedua dari Strategi Nasional REDD+ terfokus pada penguatan kerangka hukum dan peraturan, proses, kapasitas dan kelembagaan. Keberhasilan Strategi Nasional REDD+ sangat tergantung kemampuan pemerintah menjalankan strategi ini secara efisien dan tepat waktu. Mulai paruh awal tahun 2011 dilaksanakan kajian, definisi, perancangan dan perencanaan pembentukan kebijakan dan regulasi, penyelarasan insentif serta kelembagaan. Hasil pekerjaan ini mulai diimplementasikan pada akhir paruh kedua tahun 2011. Pilar ketiga merupakan pelaksanaan program strategis yang secara langsung terkait dengan pengendalian emisi. Keberhasilan pelaksanaan pilar ini ditentukan oleh keberhasilan pelaksanaan pilar pertama dan kedua. Oleh karena itu, fokus pelaksanaan pilar ketiga ini pada tahun 2011 diarahkan untuk membantu pelaksaan REDD+ di provinsi contoh yang telah siap. Pada tahun 2012 dikembangkan propinsi percontohan kedua. Tujuh provinsi berhutan lainnya tetap mendapatkan dukungan parsial dari Badan REDD+ dan didorong untuk belajar dari dua provinsi percontohan. Program REDD+ akan dikembangan secara lebih sistematis pada tahun 2014 untuk seluruh Indonesia. Sebelum sampai pada pelaksanaan seluruh provinsi, Badan REDD+ juga membantu keahlian teknis dan sumber daya serta kebutuhan koordinasi terhadap proyek REDD+ dan mengambil pelajaran dari aktivitas ini. Pilar keempat dilaksanakan secepat mungkin agar masyarakat segera memahami kepentingan dan manfaat pelaksanaan program REDD+. Kampanye REDD+ melalui pendidikan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2011 dan diutamakan pada propinsi contoh. Hubungan dengan negara‐negara yang sedang mengembangkan REDD+ dan pembelajaran, seperti dari Brazil, telah dilakukan oleh delegasi Indonesia melalui kunjungannya pada September 2010 dan Maret 2011. Badan REDD+ juga akan melakukan kampanye perubahan budaya kerja di lingkungan birokrasi pemerintahan terkait dengan proses‐proses perencanaan pembangunan sektoral dan daerah dan mengefektifkan fungsi konsultasi publik pada setiap tahap yang diperlukan. Pilar kelima dilaksanakan bersamaan dengan seluruh pilar di atas. Pelibatan dan komunikasi dengan para pihak dilaksanakan sebagai proses dari pelaksanaan seluruh pilar pertama sampai keempat. Pelaksanaan pilar kelima ini sebagai wahana untuk mewujudkan pelaksanaan partisipasi yang efektif guna mendapat legitimasi oleh para pihak terhadap kebijakan REDD+ dan pelaksanaannya. Rincian pelaksanaan strategi nasional REDD+ disajikan dalam Tabel 5.1.
70
Tabel 5.1. Rincian Pelaksanaan Strategi Nasional REDD+
WAKTU PELAKSANAAN Strategi Nasional REDD+ KELEMBAGAAN DAN PROSES
FASE‐1 2010 ‐ 2011
SETELAHNYA
• Menyusun strategi REDD+ nasional.
• Mendirikan Badan REDD+.
• Implementasi penuh sistem REDD+.
• Merancang lembaga REDD+, instrumen pendanaan, dan kerangka MRV independen.
• Meluncurkan instrumen pendanaan.
• Melanjutkan program pengurangan emisi.
• Meluncurkan sistem MRV.
• Menyerahkan program untuk tinjauan dan verifikasi independen.
• Merancang cakupan moratorium. • Memilih provinsi percontohan.
• Meluncurkan program provinsi percontohan pertama dan kedua (2011 dan 2012). • Membangun kapasitas dan perangkat kerja. • Menuntaskan prakondisi hukum dan legislasi.
KERANGKA HUKUM DAN PERATURAN
FASE‐3 2014 DAN
FASE‐2 2011 ‐ 2013
• Menjalankan sistem MRV sesuai standard UNFCCC. • Verifikasi untuk reference level UNFCCC.. • Melakukan pembayaran berdasarkan Verified Emissions Reductions (VER).
Meninjau kerangka hukum bagi hak‐hak atas lahan dan mempercepat pelaksanaan penataan ruang. Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsi. Tinjauan kerangka hukum dan penetapan insentif dan/atau disinsentif bagi sektor swasta.
Penetapan kerangka hukum untuk sinkronisasi data & peta untuk penetapan ruang dan perijinan. Telaah perijinan dan penyelesaian konflik penggunaan hutan dan lahan.
PROGRAM‐PROGRAM STRATEGIS 1. Pengelolaan Lansekap Berkelanjutan
Menangguhkan ijin baru untuk hutan dan lahan gambut selama 2 tahun.
▪ Perencanaan dan pengelolaan lansekap/ ekoregion/DAS multifungsi. ▪ Perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan. ▪ Akselerasi pembentukan organisasi dan operasional KPH. ▪ Pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
71
WAKTU PELAKSANAAN Strategi Nasional REDD+
FASE‐1 2010 ‐ 2011
▪ Penyelesaian tata ruang di propinsi contoh.
FASE‐3 2014 DAN
FASE‐2 2011 ‐ 2013
SETELAHNYA
▪ Pelaksanaan land swap.
▪ Pemetaan dan penetapan wilayah adat dan masyarakat lokal lainnya.
2. Sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara lestari
▪ Memacu praktek pengelolaan hutan secara lestari. ▪ Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan. ▪ Mewujudkan praktek pertambangan ramah lingkungan. ▪ Mempromosikan industri hilir dengan nilai tambah tinggi.
3. Konservasi dan Rehabilitasi
▪ Memantapkan fungsi kawasan lindung. ▪ Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut. ▪ Restorasi hutan dan rehabilitasi gambut.
▪ Kepastian keberadaan dan penguatan pengelola hutan lindung dan lahan gambut.
▪ Penguatan tata kelola sektor kehutanan.
PERUBAHAN PARADIGMA DAN BUDAYA KERJA
▪ Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan.
PELIBATAN PARA PIHAK
▪ Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok (pemerintah regional, sektor swasta, organisasi non pemerintah, masyarakat adat /lokal dan internasional).
▪ Kampanye nasional untuk aksi “Penyelamatan Hutan Indonesia”.
▪ Mengembangkan sistem pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan. ▪ Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adil.
5.2. Provinsi percontohan Pada tahap awal implementasi REDD+ ditetapkan satu provinsi contoh yang akan melaksanakan REDD+ secara penuh. Tujuan penetapan provinsi contoh ini adalah untuk mengkonsentrasikan sumber daya dalam pelaksanaan REDD+ dan memahami seperti apa nantinya pelaksanaan REDD+ secara penuh dilaksanakan pada tingkat nasional. Dalam pelaksanaan pengembangan REDD+ di provinsi contoh ini, lembaga REDD+ dan MRV akan mengikuti pelaksanaannya dari dekat untuk mengambil pelajaran guna meningkatkan peluang keberhasilan pada tingkat nasional. Pemilihan provinsi contoh didasarkan pada kriteria sebagai berikut: 1. Kondisi biofisik yang memenuhi pelaksanaan REDD+ (luas hutan dan lahan gambut, 72
ancaman deforestasi dan degradasi hutan). 2. Kondisi sosial ekonomi (nilai ekonomi sumberdaya hutan, ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan). 3. Ketersediaan data dan kapasitas SDM terkait pelaksanaan REDD+. 4. Kondisi tata kelola terkait hubungan antara program ekonomi dengan REDD+ serta kepemerintahan yang efektif, efisien dan transparan. Provinsi percontohan yang terpilih akan mendapat manfaat dalam bentuk bantuan keuangan dalam pelaksanaan REDD+, transfer pengetahuan, peningkatan kapasitas serta pembaruan data maupun kelembagaan. Proses adopsi Strategis Nasional REDD+ ini diharapkan menjadi inovasi bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Kalimantan Tengah (Lihat Box 5.1.)
Box 5.1. Implementasi Strategi Nasional REDD+ bagi Kalimantan Tengah Propinsi Kalimantan Tengah dengan luas 15,356 juta Ha mempunyai kekayaan alam berupa hutan, keaneka-ragaman hayati, tambang, lahan pertanian melimpah. Propinsi dengan penduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini sampai dengan naskah ini disusun, penataan ruang berdasarkan UU No 26/2007 belum ditetapkan. Dengan kondisi demikian, masalah tumpang tindih penggunaan kawasan hutan dan lahan gambut oleh ijin-ijin kehutanan, pertambangan, perkebunan serta klaim masyarakat adat dan lokal lainnya belum diketahui kepastian arah penyelesaiannya. Perkembangan ekonomi Kalimantan Tengah, meskipun ditopang oleh kekayaan alamnya, namun masih terhambat persoalan kerangka hukum dan peraturan mengenai hak dan fungsi atas hutan dan lahan maupun keadilan distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat. Tantangan Kalimantan Tengah sebagai provinsi contoh adalah mewujudkan visi dan misi pelaksanaan REDD+. Oleh karena itu penataan kelembagaan dan kebijakan serta kerangka hukum dan peraturan pengelolaan SDA perlu dilakukan. Hal ini terkait kepastian hukum atas ijin-ijin yang ditengarai tidak sesuai peruntukan lahan, efisiensi pelayanan publik bagi pengembangan ekonomi berbasis SDA, kepastian status kawasan lindung, serta hak atas SDA bagi masyarakat adat dan lokal lainnya di propinsi ini. Pembentukan Komda REDD+ di Kalimantan Tengah diharapkan dapat menjadi penyelaras dan pendorong pelaksanaan penguatan kelembagaan pemerintah propinsi, sehingga terjamin keberhasilan pelaksanaan program pengelolaan landskap berkelanjutan, sistem ekonomi pemanfaatan SDA serta konservasi dan rehabilitasi SDA. Proses pelaksanaan program ini perlu melibatkan masyarakat yaitu pihak yang menerima akibat dari dampaknya, pembuat kebijakan maupun pihak-pihak yang dapat memberikan inovasi maupun membantu adaptasi berbagai program oleh semua pelaku: swasta, BUMN, Koperasi, maupun individu masyarakat. Situasi demikian itu diharapkan pula mendapat dorongan dari upaya-upaya untuk mengubah paradigma dan budaya kerja melalui pendidikan dan berbagai pelatihan akan makna keseimbangan manfaat ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial bagi masa depan Kalimantan Tengah.
Dikaitkan dengan provinsi Kalimantan Tengah sebagai provinsi contoh, beberapa hal berikut menjadi perhatian berbagai pihak: 1. Perlu pemahaman terhadap substansi Strategi Nasional REDD+ untuk dapat diadopsi 73
sebagai Strategi Daerah REDD+ berdasarkan situasi dan permasalahan nyata di lapangan; 2. Strategi Daerah REDD+ yang akan disusun harus dapat disinkronkan dengan RPJMD dan untuk program‐program tertentu dapat menjadi acuan penetapan kegiatan dan anggaran pembangunan daerah; 3. Pelaksanaan REDD+ di Kalimantan Tengah seharusnya membuka kesempatan lebih luas untuk memastikan hak dan akses bagi masyarakat adat dan lokal lainnya terhadap pemanfaatan sumber daya alam; 4. Keberhasilan pelaksanaan REDD+ Kalimantan Tengah sangat tergantung penyelesaian kondisi pemungkin (enabling conditions) seperti penyelesaian konflik penggunaan lahan maupun keterlanjuran penggunaan kawasan hutan bagi pembangunan perkebunan dan tambang.
5.3. Pendirian dasar hukum Terdapat 5 pilar yang menjadi prinsip dasar dalam pelaksanaan Strategi Nasional REDD+ ini, yaitu : 1) penyiapan kelembagaan, 2) kerangka legislatif dan regulasi, 3) penentuan program strategis, 4) perubahan paradigma dan budaya kerja, dan 5) pelibatan semua pemangku kepentingan sektor kehutanan dan lahan gambut (termasuk masyarakat adat). Untuk dapat membuat pilar tersebut dapat terlaksana, maka diperlukan suatu reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, dan harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan lahan gambut (mencakup sektor lain yang terkait kehutanan) melalui: 1. Pengembangan kerangka hukum kehutanan yang berkesinambungan dengan perubahan iklim (climate friendly legal framework‐CFLF) mencakup sektor kehutanan dan lahan gambut di Indonesia sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan dan juga menjadi perangkat harmonisasi peraturan antar sektor. Pengembangannya akan dilakukan oleh lembaga REDD+ yang terbentuk. 2. Pelaksanaan pengkajian seluruh peraturan perundang‐undangan yang terkait dengan sumber daya hutan dengan menggunakan kerangka CFLF yang telah disusun sebelumnya. Pengkajian ini harus mencakup pada aspek kelembagaan, koordinasi antar instansi, pengawasan dari implementasi, distribusi kewenangan dan reformasi birokrasi. 3. Menyempurnakan seluruh peraturan perundang‐undangan yang dianggap mendesak atas dasar pengkajian ulang yang dilakukan sebelumnya, dengan tujuan untuk menciptakan peraturan perundang‐undangan yang sejalan dengan semangat pelaksanaan sektor kehutanan yang berkelanjutan. 4. Menyempurnakan peraturan perundang‐undangan di sektor penggunaan lahan lain (Undang‐undang pertambangan, pertanian/perkebunan, dan tata ruang) dalam konteks pemanfaatan lahan yang termasuk dalam hutan (bukan hanya kawasan tapi kondisi biofisik). 74
5. Penyusunan peraturan khusus yang memberikan landasan hukum bagi pengelolaan lahan gambut di semua kawasan (hutan dan non kawasan hutan) yang berdasarkan pada kerangka hukum kehutanan dan iklim yang telah disusun. 6. Amandemen terhadap berbagai peraturan teknis penegakan hukum (hukum acara) dengan menginternalisasi berbagai model kejahatan yang terkait dengan kehutanan seperti pencucian uang, korupsi, lingkungan hidup; termasuk memungkinkan mekanisme pembuktian terbalik bagi para pelaku korupsi serta perlindungan saksi (justice collaborators) yang memadai.
75
BAB 6 PENUTUP Membangun kelembagaan REDD+ memerlukan proses dengan berbagai pemangku kepentingan di berbagai tingkat. Hal ini akan berlangsung secara bertahap untuk memastikan efektivitas MRV dan efisiensi instrument pendanaan serta kesetaraan dalam pembagian manfaat. Pilihan arsitektur kelembagaan REDD+ harus dapat mengharmoniskan strategi mitigasi secara nasional dan menata arah pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon. Badan REDD+ di Indonesia diharapkan akan terbentuk pada tahun 2011 dan akan beroperasi penuh menjelang akhir 2013. Keuntungan mengimplementasikan REDD+ secara bertahap memberi kesempatan kepada semua pemangku kepentingan di Indonesia untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia. Oleh karena itu partisipasi multi‐pihak dan multi‐level sangat diperlukan sejak awal sebagai bagian dari strategi nasional. Meskipun tahap‐tahapnya sama, tidak semua aspek akan berkembang dengan tantangan yang sama. Aspek‐aspek hukum dan perijinan mungkin akan lebih lambat pada awanya dibanding aspek‐aspek Kelembagaan dan teknis lainnya. Oleh karena Badan REDD+ akan memastikan terjadinya pertukaran informasi secara intensif, baik dengan pemangku kepentingan di dalam maupun di luar negeri. Reformasi kebijakan yang mendukung implementasi REDD+ hanya mungkin dilakukan dengan mengkaji ulang kerangka peraturan dan hukum ada. Dari sini dapat ditemukenali hambatan yang timbul, tindak reformasi yang diperlukan, dan penambahan peraturan yang mendesak perlu. Bagi Indonesia isu tata ruang dan hak atas lahan merupakan masalah yang kronis dan memerlukan penanganan segera agar mekanisme REDD+ dapat segera diimplementasikan. Segala bentuk peraturan dan perijinan yang memberi peluang korupsi perlu segera dikenali dan dieliminasi. Program‐program strategis yang inklusif memerlukan budaya baru yang mengutamakan integritas sosial dan lingkungan, sementara kesempatan berusaha lebih terbuka luas bagi para pemangku kepentingan. Pelibatan masyarakat hanya dimungkinkan jika hak‐hak mereka jelas dan kewajibannya dapat dipertanggungjawabkan. Keuntungan karbon meskipun merupakan hasil yang dapat dipantau, dilaporkan dan diverifikasi bukanlah satu‐ satinya tujuan dalam REDD+. Keutuhan fungsi ekosistem yang ditandai oleh tingginya nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya merupakan co‐benefit dari implementasi REDD+. Pengalaman yang telah diperoleh dalam proses nasional maupun sub nasional melalui interaksi dengan komunitas global dan masyarakat lokal merupakan pelajaran berharga. Kegiatan uji coba di tingkat lokal dan percontohan di tingkat provinsi perlu dicermati sehingga kesalahan yang dijumpai tidak perlu diulang dan keberhasilan yang dicapai dapat dikembangkan. 76
References
Ahmad, Mubariq. 2010. Ekonomi Perubahan Iklim: Dari Kegagalan Ekonomi Pasar hingga Ekonomi Rendah Karbon, PRISMA, April 2010. Angelsen, A., ed. 2008. Moving ahead with REDD: issues, options and implications. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. Angelsen, A., ed. 2009. Realising REDD+: National strategy and policy options. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. ATBC and STE: Association for Tropical Biology and Conservation and the Society for Tropical Ecology: The Marburg Declaration. Marburg, Germany; 2009. BAPPENAS. 2009. Reducing carbon emissions from Indonesia’s peat lands Interim Report of a Multi‐Disciplinary Study. 20p. Ebeling J, Yasué M: Generating carbon finance through avoided deforestation and its potential to create climatic, conservation and human development benefits. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series B 2008, 363:1917‐ 1924. Edwards, D.P., T.H. Larsen, T.D.S. Docherty, F.A. Ansell, W.W. Hsu, M.A. Derhé, K.C. Hamer, D.S.. Wilcove. Degraded lands worth protecting: the biological importance of Southeast Asia's repeatedly logged forests. Proc. R. Soc. B published online 4 August 2010. doi: 10.1098/rspb.2010.1062. Ghazouli, J., Koh, Lian Pin and Butler, R.A., 2010. A REDD light for Wildlife‐friendly farming, Conservation Biology 24(3) :644‐645. Grainger A, Boucher DH, Frumhoff PC, Laurance WF, Lovejoy T, McNeely J, Niekisch M, Raven P, Sodhi NS, Venter O, Pimm SL: Biodiversity and REDD at Copenhagen. Current Biology 2009, 19:R974‐R976. Hooijer A, Silvius M, Wösten H et al. 2006. PEAT‐CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943. IUCN: IUCN Red List of Threatened Species, Version 20102. (http://www.iucn.redlist.org). Downloaded on 15 August 2010. Miles L, Kapos V: Reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation: global land‐use implications. Science 2008, 320:1454‐1455. MoFo (Ministry of Forestry). 2008. Consolidation Report. Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation In Indonesia.
77
MoFo (Ministry of Forestry). 2010. Strategi Nasional REDD+ Versi 4 November 2010. Jakarta. MoE (Ministry of Environment). 2010. Indonesia Second National Communication Under The United Nation Framework Convention On Climate Change. Jakarta. Murdiyarso, D., Van Noordwijk, M., Wasrin, U.R., Tomich, T.P., Gillison, A.N. 2002. Environmental benefits and sustainable land‐use options in the Jambi transect, Sumatra. Journal of Vegetation Science 13: 429‐438 Murdiyarso, D, Lebel, L, Gintings, AN, Tampubolon, SMH, Heil, A, Wasson, M. 2004. Policy responses to complex environmental problems: Insights from a science‐policy activity on transboundary haze from vegetation fires in Southeast Asia. J. Agric. Ecosystems and Environment. 104:47‐56. Paoli GD, Wells PL, Meijaard E, Struebig MJ, Marshall AJ, Obidzinski K, Tan A, Rafiastanto A, Yaap B, Slik JWF, Morel A, Perumal B, Wielaard N, Husson S and D’Arcy L. Biodiversity in the REDD. Carbon Balance and Management 2010, 5:7 (Available for download at www.cbmjournal.org) Strassburg BBN, Kelly A, Balmford A, Davies RG, Gibbs HK, Lovett A, Miles L, Orme CDL, Price J, Turner RK, Rodrigues ASL: Global congruence of carbon storage and biodiversity in terrestrial ecosystems. Conservation Letters 2010, 3:98‐105. Stickler CM, Nepstad D, Coe MT, McGrath DG, Rodrigues HO, Walker WS, Soares‐Filho BS, Davidson EA: The potential ecological costs and cobenefits of REDD: a critical review and case study from the Amazon region. Global Change Biology 2009, 15:2803‐2824. Sunderlin WD. 1998. The Indonesian economic crisis implies immense changes in the forest sector. Working Paper. CIFOR, Bogor, Indonesia The World Bank. 2010. Low Carbon Economy series. Jakarta,
78
Singkatan APL
Area untuk Penggunaan Lain
APBN
Anggaran Pendapatan Belanja Negara
BAU
Business As Usual
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional CCBS
Climate, Community, and Biodiversity Standard
CER
Reduksi emisi tersertifikasi (Certified Emissions Reduction)
COP
Konferensi Para Pihak dari UNFCCC
DA
Kegiatan uji coba (demonstration activities)
DAK
Dana Alokasi Khusus
DAU
Dana Alokasi Umum
G20
Kelompok menteri keuangan dan bank sentral dari 20 negara perkonomian utama di dunia
GRK
Gas Rumah Kaca
FORDA
Badan litbang Kementerian Kehutanan (Forestrey Research and Development Agency)
FPIC
Free, Prior Informed Consent (PADIATAPA)
HL
Hutan Lindung
HPK
Hutan produksi yang dapat dikonversi
HPT
Hutan Produksi Terbatas
HTI
Hutan Tanaman Industri
HTR/ HKm Hutan Tanaman Rakyat / Hutan Kemasyarakatan IFCA
Indonesian Forest Climate Alliance
IPCC
Panel antar negara untuk perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change)
ISPO
Indonesia Sustainable Palm Oil System
IUCN
International Union for Conservation of Nature
KPH
Kuasa Pertambangan
KPH
Kesatuan Pengelolaan Hutan
LULUCF
Tata guna lahan, alih guna lahan, dan kehutanan (land‐use, land‐use change, and forestry)
MoE
Kementerian Lingkungan Hidup 79
MoFo
Kementerian Kehutanan
MRV
Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measuring, Reporting, and Verification)
PADIATAPA Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) PBB
Persatuan Bangsa‐Bangsa
RAN
Rencana Aksi Nasional
REDD
Reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradattion
REL
Tingkat referensi emisi (Reference Emissions Level)
RIL
Reduced‐Impact Logging
RL
Tingkat referensi (Referene Level)
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJP
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RSPO
Rountable on Sustainable Palm Oil
RTRW
Rencana Tata Ruang Wilayah
SFM
Pengelolaan hutan secara lestari (Sustainable Forest Management)
SVLK
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Tier
TIngkatan
UNCBD
Konvensi antar bangsa tentang keanekaragaman hayati (United Nations Convention on Biological Diversity)
UNFCCC
Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim
UN‐REDD
Inisiatif kerja sama antar negara untuk pengurangan emisis dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang (United Nations Reducing Emissions from Deforestation and Degradation)
VER
Reduksi emisi yang dapat dibuktikan (Verified Emissions Reduction)
80
Istilah Adat, adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan, yang menjadi tingkah laku seharihari.
Adat Istiadat, adalah sistem nilai budaya; pandangan hidup dan ideologi mengenai apa yang dianggap bernilai berharga dan penting di dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan (warga yang bersangkutan).
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
BAU, adalah Rujukan kebijakan yang tidak berpihak atas emisi atau peniadaannya pada masa mendatang yang ditaksir dengan memakai proyeksi laju emisi atau peniadaannya pada masa mendatang jika tanpa kegiatan REDD+. Benefit sharing atau pembagian manfaat dan tanggung jawab, adalah mekanisme distribusi benefit serta biaya dan resiko dalam REDD+ adalah salah satu komponen yang harus dipersiapkan dalam tahap readiness, yaitu dalam komponen pertama: management of readiness. Di tingkat internasional, arah pembicaraan atas mekanisme pembayaran akan berbasiskan kinerja suatu Negara khususnya dalam upaya menurunkan tingkat deforestasi, degradasi serta peningkatan simpanan karbon (carbon sink) maupun efektivitas pencapaian co‐benefit dari program REDD+ tersebut. Disyaratkan pula agar mekanisme tersebut mengintegrasikan prinsip akuntabilitas, transparansi, memiliki manajemen resiko, mekanisme transfer benefit yang memadai, dan mekanisme administrasi yang efektif dan efisien. Adanya mekanisme distribusi benefit yang demikian akan memberi nilai positif yang kompetitif bagi Indonesia dalam menarik dana‐dana internasional untuk mempersiapkan REDD+ di tingkat nasional. Biomassa, adalah jumlah massa kering bahan organik hidup. Cadangan karbon, adalah Jumlah karbon yang ada di dalam lokasi penampungan karbon. Dampak (Impacts), adalah ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan.
Deforestasi, “Deforestasi” umumnya didefinisikan sebagai konversi lahan dalam jangka panjang atau secara tetap dari hutan menjadi bukan hutan. Menurut Persetujuan Marrakesh, “deforestasi” didefinisikan sebagai “konversi dari lahan berhutan menjadi lahan tidak berhutan yang disebabkan langsung oleh manusia”. FAO mendefinisikan “deforestasi” sebagai “konversi hutan menjadi penggunaan lahan lain atau 81
pengurangan tutupan tajuk pohon menjadi kurang dari ambang minimum 10%”. (CIFOR) Deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain atau pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10% untuk jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m (in situ) dan areal minimum 0,5 ha (FAO). (BAPPENAS) Degradasi, merupakan perubahan di dalam hutan yang merugikan susunan atau fungsi tegakan hutan atau kawasan hutan sehingga menurunkan kemampuannya untuk menyediakan berbagai barang atau jasa. Dalam hal REDD+, “degradasi” paling mudah diukur dalam hal berkurangnya cadangan karbon di hutan yang dipertahankan sebagai hutan. Belum ada definisi resmi “degradasi” yang dipakai karena banyak cadangan karbon hutan berfluktuasi oleh penyebab alami yang rutin terjadi atau praktik pengelolaannya. (CIFOR) (FAO dan submisi Indonesia ke Sekretariat UNFCCC ‐ Maret 2008), Perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa/produk hutan. Dalam konteks REDD+, degradasi dapat diartikan sebagai penurunan stok carbon (carbon stock degradation) hutan. (BAPPENAS) Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yg berlaku serta berdasarkan azas kelestarian.
Hasil Hutan adalah benda‐benda hayati, non hayati, dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan.
Hutan, FAO mendefinisikan “hutan” sebagai lahan yang memiliki tutupan tajuk minimum 10%, ketinggian tegakan pohon minimum 5 meter, luas minimum 0,5 hektar, dan pertanian bukan merupakan penggunaan lahan dominan. Konvensi PBB mengenai Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) mengijinkan definisi “hutan” yang lebih luwes, yaitu: tutupan tajuk minimum 10‐30%, ketinggian pohon minimum 2‐5 meter, dan luas minimum 0,1 hektar. Setiap negara mempunyai definisi sendiri. (CIFOR) Menurut UU No 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (BAPPENAS) Adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Kementerian Kehutanan)
Hutan Lindung (HL)/ Protection forest adalah hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan yang fungsi pokok sebagi perlindungan system penyangga kehidupan untuk 82
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan Mangrove, Hutan yang tumbuh di daerah pantai yang dipengaruhi pasang surut air laut.
Hutan Produksi adalah areal hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan dan berfungsi untuk menghasilkan hasil hutan bagi kepentingan konsumsi masyarakat, industri dan eksport.
Hutan Produksi Terbatas (HPT) merupakan hutan yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih.
Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) adalah Kawasan hutan dengan faktor kelas lereng jenis, tanah dan intensitas hujan setelah masing‐masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai nilai 124 atau kurang di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam b. Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman pertanian dan perkebunan.
Hutan Sekunder, Kondisi hutan yang sudah dieksploitasi tampak pada foto udara dengan adanya jalan angkutan kayu.
Hutan Tanaman (Ht/2006), Seluruh kawasan hutan tanaman baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran HTI.
Kebocoran, dalam kaitannya dengan perubahan iklim, kebocoran karbon terjadi ketika kegiatan pengurangan emisi di suatu wilayah (subnasional atau nasional) mengakibatkan peningkatan emisi di daerah lain. Kebocoran karbon juga disebut sebagai “perpindahan emisi”. Kesiapan, kegiatan REDD+ di setiap negara, termasuk penguatan kemampuan, perumusan kebijakan, konsultasi dan pembuatan kesepakatan, dan pengujian dan penilaian strategi REDD+ nasional, sebelum pelaksanaan REDD+ secara keseluruhan. Konferensi Pihak Terkait (COP), Badan pengatur dalam Konvensi PBB mengenai Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) yang melakukan sidang sekali setahun. LULUCF, merupakan singkatan dari “penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan”. Kegiatan LULUCF dijelaskan pada Pasal 3 (ayat 3 dan 4) dan Pasal 6 dan 12 Protokol Kyoto. Lihat juga AFOLU.
83
Manfaat (Benefits) Adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.
Masyarakat di sekitar hutan adalah masyarakat yang bermukim di desa terdekat dengan bagian tepi/luar hutan, yang memanfaatkan Sumber Daya Hutan untuk kegiatan budidaya pertanian/perladangan serta melakukan pemungutan hasil hutan untuk keperluan sehari‐hari.
Masyarakat asli/adat/tradisional (indigenous/traditional communities), tidak ada definisi “masyarakat adat” yang disepakati di seluruh dunia walaupun beberapa lembaga hukum internasional telah menetapkan definisinya. Menurut PBB, daripada mendefinisikan ”masyarakat adat”, cara yang paling bermanfaat bagi mereka ialah mengenali diri mereka sendiri sesuai dengan hak dasar untuk pengenalan diri seperti telah ditetapkan pada deklarasi hak asasi manusia. Masyarakat lokal, adalah kelompok sosial yang mendiami suatu lokasi atau daerah tertentu yang sifatnya mengembara atau menetap, yang belum sepenuhnya terjangkau atau sebagian terjangkau oleh pelayanan pembangunan, dan umumnya terdiri dari suku masyarakat etnis asli setempat, berbicara bahasa setempat dan berbudaya lokal yang tertutup atau sebagian tertutup (belum/sudah ada pengaruh luar) Ciri‐ciri masyarakat lokal lainnya adalah mata pencahairannya umumnya meramu, berburu, menangkap ikan, berladang berpindah, sistem pemasaran barter, kepercayaannya sebagian besar animisme dan kesehatannya masih rendah. (DEPHUT)
Tidak ada definisi internasional “masyarakat lokal” yang disepakati di seluruh dunia walaupun beberapa lembaga hukum internasional telah menetapkan definisinya. Dalam kegiatan REDD+ khusus, istilah ini biasanya disebut sebagai “masyarakat di dalam daerah pengaruh kegiatan”. (CIFOR) Mitigasi, adalah tindakan untuk mencegah penumpukan GRK lebih lanjut di atmosfer dengan mengurangi jumlah GRK yang dilepas atau dengan menyimpan karbon yang diserap. MRV (Measuring, Reporting and Verifying), MRV merupakan bagian dari sistem monitoring dan evaluasi dari aksi mitigasi termasuk REDD+ yang akan dilaporkan oleh negara‐ negara kepada UNFCCC. Kegiatan REDD+ harus dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi. Dengan perkataan lain pengumpulan data dan laporan yang disampaikan kepada UNFCCC harus mengikuti metoda ilmiah yang baku dan konsisten dengan Keputusan COP. Pasar karbon, adalah pasar tempat pengurangan emisi karbon diperdagangkan yang biasanya dalam bentuk “kredit karbon”. Pasar karbon dapat bersifat sukarela (yaitu sasaran pengurangan emisi tidak diatur) atau kepatuhan (yaitu “kredit karbon” diperdagangkan untuk memenuhi sasaran pengurangan emisi sesuai aturan). Pada waktu ini, pasar karbon terbesar ialah Sistem Perdagangan Emisi (ETS) dari Uni Eropa.
84
Pemanfaatan Hutan merupakan bentuk kegiatan pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pembalakan ramah lingkungan (RIL), adalah pemanenan kayu yang terencana dan seksama oleh pekerja terlatih untuk mengurangi dampak pembalakan yang membahayakan. Pembuktian atau verifikasi, adalah istilah yang digunakan dalam arti untuk memeriksa ketelitian perkalian, penjumlahan, pembukuan, pemilikan dan eksistensinya. (DEPHUT)
Merupakan penilaian oleh pihak ketiga yang independen mengenai pengurangan emisi yang diharapkan atau nyata dari suatu kegiatan mitigasi tertentu.(CIFOR) Pengelolaan hutan secara lestari (sustainable forest management/SFM), istilah SFM memiliki arti berbeda bagi perorangan dan organisasi. Menurut Sidang Umum PBB, SFM ialah “konsep dinamis dan berkembang yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai sosial dan lingkungan dari seluruh jenis hutan demi kemaslahatan generasi sekarang dan mendatang”. Dalam perdebatan REDD+, beberapa organisasi membuat perbedaan antara “pengelolaan hutan secara lestari” (SFM) dan “pengelolaan lestari dari hutan” (SMF). SFM kemudian digunakan untuk pembalakan untuk industri sedangkan SMF merupakan istilah yang lebih luas. Dalam buku ini, digunakan SFM sebagai istilah umum yang mencakup kegiatan peningkatan dan pemeliharaan barang dan jasa yang disediakan oleh hutan (misalnya, penyimpanan karbon). Penggunaan Kawasan Hutan adalah kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan.
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD dan REDD+), REDD merupakan mekanisme yang sedang dirundingkan dalam proses Konvensi PBB mengenai Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang. REDD+ mencakup peningkatan cadangan karbon hutan, yaitu “tanpa degradasi” atau “peniadaan emisi” pada lahan yang tergolong sebagai hutan. Seperti digunakan di dalam buku ini, REDD+ tidak mencakup penghutanan atau penghutanan kembali (A/R). Lihat Kotak 1.1 untuk pembahasan lebih terinci. Pengurangan Emisi Tersertifikasi (CER), istilah teknis untuk hasil dari proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM). CER ialah satuan pengurangan GRK yang dihasilkan dan disertifikasi berdasarkan ketentuan Pasal 12 Protokol Kyoto yang menggambarkan CDM. Satu CER sama dengan satu ton setara karbon dioksida (CO2e). Dua jenis CER dapat diterbitkan untuk peniadaan emisi neto dari proyek CDM penghutanan dan penghutanan kembali (A/R): 1) pengurangan emisi tersertifikasi sementara (tCER); dan 2) pengurangan emisi tersertifikasi jangka panjang (lCER). 85
Pengurangan emisi yang dapat dibuktikan (VER), adalah satuan pengurangan emisi GRK yang telah dibuktikan oleh auditor independen, tetapi belum menjalani prosedur pembuktian, sertifikasi dan penerbitan berdasarkan Protokol Kyoto, dan mungkin belum memenuhi persyaratan hukum berdasarkan Protokol ini. Satuan ini diperdagangkan di pasar karbon sukarela. Penyimpanan karbon, merupakan pemindahan karbon dari atmosfer ke penyimpanan jangka panjang yang tersimpan melalui proses fisik atau biologi, misalnya fotosintesis. Perkebunan (Pk/2010), Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran Perkebunan (Perkebunan Besar). Lokasi perkebunan rakyat mungkin tidak termasuk dalam peta tsb sehingga memerlukan informasi lain.
Pertambangan (Tb/20141), Tanah terbuka yang digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka (open pit – seperti ; batubara, timah tembaga dll.). Tambang tertutup seperti minyak, gas dll. Tidak dikelaskan tersendiri, terkecuali mempunyai areal luas sehingga dapat dibedakan dengan jelas pada citra.
REDD+, Definisi REDD Plus (REDD+) berdasarkan pada Bali Action Plan paragraf 1 b (iii), yaitu ‘pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu‐isu yang berkenaan denganhutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang.pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan. Sertifikasi, dalam kaitannya dengan REDD+ sekarang ini, sertifikasi ialah proses pembuktian bahwa proyek telah memenuhi standar penggantian kerugian secara sukarela (misalnya, Standar Karbon Sukarela atau Standar Iklim, Masyarakat, dan Keanekaragaman Hayati) melalui pemeriksaan (audit) oleh pihak ketiga. Sertifikasi juga dapat merupakan pembuktian terhadap Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), yaitu Pengurangan Emisi Tersertifikasi (CER). Silvikultur, praktik, ilmu dan seni memelihara hutan untuk diambil barang dan jasanya, termasuk hasil hutan kayu dan nonkayu. Sistem Informasi adalah system yang dibangun untuk tujuan‐tujuan pengumpulan pemrosesan, perlindungan dan pengkomunikasian suatu informasi kepada para penggunanya.
Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Tingkatan, tingkatan menurut Pedoman Praktik yang Baik dari IPCC ialah tingkat kerumitan metodologi. Tingkat 1 merupakan tingkat paling dasar dan menggunakan nilai otomatis global untuk cadangan karbon. Tingkat 2 merupakan tingkat menengah dan 86
menggunakan nilai nasional. Tingkat 3 paling menantang dalam hal kerumitan dan kebutuhan data, dan menggunakan nilai khas‐lokasi untuk cadangan karbon.
87