D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
BAB II
STUDI PUSTAKA
Dalam perencanaan struktur jembatan, sering terjadi kegagalan struktur baik berupa kegagalan ringan maupun kegagalan berat yang dapat menyebabkan runtuhnya struktur jembatan tersebut. Kerusakan yang terjadi pada struktur disebabkan oleh beberapa penyebab, yaitu kesalahan dalam perencanaan berupa
pendimensi batang tarik, batang tekan, dimensi sambungan yang dibutuhkan, maupun dalam pengaplikasian data yang didapat pada perencanaan di lapangan, yang berdampak pada kerugian material dan korban jiwa (Hardiansyah,2011) 2.1
Perancangan Jembatan Adapun ketentuan yang harus diperhatikan untuk merancang jembatan
akan dijelaskan pada subab ini. 2.1.1 Material 2.1.1.1 Jenis Bambu Jenis bambu sebagai material dasar jembatan yang akan digunakan adalah bambu jenis Gigantochloa Apus (bambu apus) dan bambu jenis Gigantochloa verticilata (bambu gombong atau bambu temen) yang terdapat di daerah tinjauan. a. Dimensi Bambu ini hidup di ketinggian sekitar 1000 m di atas permukaan laut. Batangnya dapat mencapai tinggi antara 8 – 11 m dengan panjang ruas 45 – 65 cm, berdiamater 5 – 8 cm dan tebal dinding 13 – 15 mm (Johar,no date). b. Sifat Fisis dan Mekanik Sifat fisis dan mekanik merupakan informasi penting guna memberi petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat batang yang dihasilkan selain itu sifat mekanik bambu dapat dijadikan dasar untuk perancangan konstruksi. Hasil pengujian sifat fisis dan mekanik bambu telah diberikan oleh Ginoga (1977) dalam taraf pendahuluan dan dilakukan pada bambu apus (Gigantochloa Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-1
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
apusKurz). Beberapa hal yang mempengaruhi sifat mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau
ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Hasil
pengujian sifat fisis mekanik bambu apus dapat dilihat pada tabel 2.1 dan tabel
2.2 Tabel 2.1 Sifat Mekanik Bambu Apus dengan Buku
Sifat Mekanik
Satuan (MPa)
Kekuatan Tarik //
55
Kekuatan Tekan //
49.41
Kekuatan Geser
3.872
Kekuatan Lentur
80
Modulus Elastisitas
9901.96
Kekuatan Tarik Tegak Lurus Serat
2.77
(Sumber : Porwanto dan Johar, no date)
Adapun sifat fisis bambu apus dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Sifat Fisis Bambu Apus
Sifat Fisis
Kondisi
KA (%)
Berat Jenis
Biasa
19.11
0.69
Kering Tanur
16.42
0.58
(Sumber : Porwanto dan Johar, no date)
Tegangan ijin yang direkomendasikan di atas dapat dipakai pada perencanaan konstruksi yang menggunakan bambu apus. Lebih lanjut Morisco (1999) menambahkan bahwa untuk mendapatkan hasil perancangan yang baik, yaitu aman dan ekonomis, maka pengujian kekuatan bahan perlu dilakukan. Hasil yang diperoleh, sebelum dipakai untuk perancangan perlu dikombinasikan dengan faktor aman secukupnya. Selain sifat fisis dan mekanik bambu bulat yang telah disebutkan di atas, adapun sifat fisis dan mekanik dari bambu lapis atau bambu laminasi, dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-2
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.3 Sifat Mekanik Bambu Laminasi
Sifat Mekanik
Satuan (MPa)
Kekuatan Tarik //
191.91
Kekuatan Tekan //
32.5
Kekuatan Geser
3.9
Kekuatan Lentur
64
Modulus Elastisitas Lentur
13 117.23
(Sumber : Sindy,2012)
Tabel 2.4 Sifat Fisis Bambu Laminasi Sifat Fisis
Kondisi Biasa
KA (%)
Berat Jenis
16.561
0.687
(Sumber : Sindy,2012)
2.1.1.2 Bentuk Bambu Material rangka jembatan yang digunakan terdiri dari dua tipe yaitu bambu laminasi untuk bagian gelagar jembatan dan bambu utuh atau bambu bulat untuk rangka jembatan lainnya. Adapun alur proses pembuatan bambu laminasi di lapangan dapat dilihat pada Gambar 2.1
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-3
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.1 Alur Proses Pembuatan Bambu Laminasi (Sumber: Gambar Breakdown Structure Bambu Laminasi, Bogi Sukmono, Tugas Akhir FE UI, 2008)
Proses rinci pembuatan bambu laminasi ini dapat dilihat sebagai berikut (Bogi Sukmono,2006) : 1. Penebangan Bambu Sebelum memotong bambu, kita harus memperhatikan umur dari bambu tersebut. Pada umumnya waktu yang tepat untuk memotong bambu adalah setelah 1,5 - 2 tahun dan dilakukan pada waktu subuh pada saat bulan tua (seperempat terakhir
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-4
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
sebelum bulan genap), karena batang bambu pada waktu tersebut adalah yang paling kering.
Gambar 2.2.a Penebangan Bambu (Sumber : www.my-rainforest-adventures.com)
2. Pemotongan Batang Bambu Dalam proses ini, batang bambu dipotong dengan ukuran tertentu. Umumnya dari satu batang bambu diperoleh 17 potong bambu.
Gambar 2.2.b Pemotongan bambu (Sumber : www.genderswcu.blogspot.com)
3. Splitting (Bambu dirajang) Batang bambu yang telah dipotong-potong selanjutnya akan di rajang, yaitu membuat batang bambu menjadi bilah-bilah dalam arah memanjang. Untuk satu batang bambu yang telah dipotong sebelumnya, dirajang menjadi bilah-bilah berjumlah 6. Sehingga bila satu batang bambu pada awal pemotongan didapatkan menjadi 17 potong bambu, maka pada proses splitting ini didapatkan 102 bilah bambu. Setelah batang bambu dirajang menjadi bilah-bilah, maka perlu dilakukan Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-5
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
penyortiran mengenai ukuran dari hasil proses perajangan tersebut. Karena Ukuran diameter batang bambu bisa tidak seragam dalam pembelian ataupun
penyimpanannya. Tujuan dari penyortiran ini adalah memudahkan dalam proses
pengeleman nantinya. Sehingga dapat membantu kemudahan memperoleh ukuran
yang dibutuhkan dalam membuat bambu laminasi.
Gambar 2.2.c Proses Splitting (Sumber : www.flickr.com/photos/61315070%40N05/5856442424/&docid)
4. Pengawetan Bilah Bambu Untuk perawatan batang bambu secara tradisonal dapat dilakukan dengan merendam batang bambu sebelum digunakan selama 1 bulan didalam air tawar atau payau, baik yang tenang atau mengalir, sehingga kandungan kanji akan dicuci atau hilang. Karena didalam air, bakteri anaerob menyerang kanji dalam batang bambu dan mengubahnya menjadi zat yang kurang disukai hama ataupun jamur [Frick,Heinz. 2004].
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-6
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.2.d Proses Pengawetan Bambu (Sumber : www.griyacipta.wordpress.com)
5. Pengeringan Bambu Bilah bambu yang telah diawetkan dan direndam dengan pengawet, selanjutnya dikeringkan melalui proses pengeringan dengan cara dioven. Pada proses ini, bilah bambu dihaluskan dengan cara diserut dan disamakan ukurannya. Proses ini juga digunakan untuk menghilangkan kadar air pada bilah bambu.
Gambar 2.2.e Proses Pengeringan Bambu (Sumber : www.bamboocraft.net)
6. Penghalusan Bambu Sebelum dilakukan pengeleman, supaya mendapatkan permukaan yang rata untuk pengeleman, sehingga terjadi rekatan yang baik antara dua bidang rata pada bilah bambu yang dilaminasi maka dilakukan penghalusan.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-7
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.2.f Proses Penghalusan Bambu (Sumber : www.google.com)
7. Tahap Pengeleman Tahap pengeleman menggunakan jenis lem kayu putih.
Gambar 2.2.g Proses Pengeleman Bambu (Sumber : http://bamboeindonesia.wordpress.com)
Kemudian balok bambu lapis yang sudah dilem tersebut dijepit dengan klem dan didiamkan selama 24 jam (Gambar 13).
Gambar 2.2.h Penjepitan Dengan Klem (Sumber : Sindy,2012)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-8
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.1.1.3 Pengawetan Bambu
Menurut Purwito (2008), terdapat beberapa cara untuk membuat bambu
menjadi lebih awet, diantaranya :
1. Curing
Bambu dipotong (bagian bawah) tetapi cabang dan daunnya tetap disisakan.
Kemudian disimpan di dalam ruang khusus (waktu tertentu). Karena proses asimilasi daun masih berlangsung, kandungan pati ruas bambu akan berkurang.
Akibatnya, ketahanan bambu terhadap serangan kumbang
bubuk meningkat.
Tetapi, metode tidak baik untuk pencegahan jamur atau rayap.
2. Pengasapan Bambu diletakkan di atas Perapian (tungku) atau alm ruang pemanas (120 -150˚ C selama 20 menit) dalam waktu tertentu sampai pengaruh asap menghitamkan bambu. Proses pemanasan mengakibatkan senyawa pati dalam jaringan parenkim terurai. Perlakuan ini cukup efektif untuk mencegah serangan serangga. 3.Pelaburan Bambu dilaburi dengan kapur tohor (Ca[OH]2). Tujuannya untuk memperlambat penyerapan air, sehingga tahan bambu terhadap jamur meningkat. Efektivitas metode ini masih perlu dibuktikan,terutama menyangkut pengaruh senyawa alkali terhadap kekuatan bambu. 4. Perendaman dalam air Perendaman bambu dalam air selama 3 – 6 b ulan adalah, metode pengawetan untuk menurunkan kandungan pati bambu seperti bambu ampel sedangkan bambu apus relatif rendah. Tujuannya ; menekan serangan kumbang bubuk. 5. Perebusan Bambu direbus pada suhu 55-60˚C selama 10 menit menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sempurna (menjadi amilosa yang larut dalam air) (Matangaran, 1987). Perebusan pada 100˚C selama 1 jam cukup efektif untuk mengurangi serangan kumbang bubuk.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-9
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
6. Metode Butt Treatment Bambu yang baru dipotong diletakkan di dalam tangki yang berisi larutan
pengawet.Cabang dan daun pada batang tetap disisakan. Larutan pengawet
tersebut akan mengalir ke dalam pembuluh batang karena proses transpirasi daun
masih berlangsung. Karena proses memakan waktu yang lama, jadi hanya cocok
untuk bambu pendek. 7. Metode Tangki Terbuka
Metode ini cukup ekonomis, sederhana dan memberi efek perlindungan yang baik
karena tidak memerlukan teknik instalasi yang rumit. Perendaman dilakukan
selama selama 14 hari. Penggunaan bambu yang telah dibelah dapat mengurangi lama perendaman sebanyak satu setengah kali. 8. Metode Boucherie Bambu dipotong menurut ukuran tertentu kemudian, bambu dihubungkan dengan selang pendek yang dilengkapi kran. Jika dilakukan tanpa tekanan maka hanya mengandalkan gaya gravitasi dan perlu waktu cukup lama. Jika menggunakan tekanan (kompresor), cairan pengawet dengan konsentrasi tertentu dialirkan masuk ke dalam bambu dengan tekanan 0.8 - 1.5 kg/m2. Proses tersebut dianggap selesai bila konsentrasi cairan yang keluar dari bambu sama dengan konsentrasi bahan pengawet di tambang konsentrasi air. 9. Metode kimia sederhana Bambu segar yang baru ditebang, didirikan terbalik. Pada ujung bambu bagian atas, dimasukkan tabung yang berisi minyak solar. Karena gaya gravitasi, minyak solar ini akan mendesak keluar cairan yang terkandung dalam batang bambu dalam waktu kurang lebih satu minggu. Selain itu bahan pengawet bambu tidak bisa sembarangan. Adapun persyaratan bahan pengawet untuk bambu diantaranya : •
Tidak mengandung minyak atau kotoran
•
Mempunyai daya racun yang ampuh thd organisme perusak bambu dan mempunyai daya penetrasi yang tinggi sehingga
•
Tetap ada dalam bambu selama pemakaian Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-10
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
•
Senyawa mantap, tidak mudah terurai
•
Aman dipakai, tidak membahakan manusia
•
Bersih dalam pemakaian
•
Tidak bereaksi dengan bahan yang berhubungan dengannya
•
Bambu yang diawetkan masih dapat dipergunakan sesuai kondisi
penggunaan .
Contoh bahan pengawet bambu dapat dilihat pada Tabel 2.5:
Tabel 2.5 Bahan Pengawet Bambu (larut dalam air)
Senyawa
Sifat
Objek
contoh
Tembaga – chrom tcb, fc– agak tahan pelunturan
– boron (tcb)
tfc – tahan pelunturan
Tembaga – flor – bf, b – mudah luntur chrom (tfc)
tcb, fc– agak tahan pelunturan
Four-chrom (fc)
tfc – tahan pelunturan
Difusol; Jamur, serangga
Wolmanit cb; Garam wolman
Bi-flourid (bf) Bor (b) (Sumber : Purwito,2012)
Adapun manfaat pengawetan bambu dalam Purwito (2012) adalah sebagai berikut : Peningkatan keawetan bambu sehingga memperpanjang umur pemakaian; Biaya pemeliharaan bangunan dapat dihemat; Penghematan pemakaian bambu khususnya untuk pemeliharaan bangunan sehingga dalam jangka panjang mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Untuk lebih memperjelas cara pengawetan bambu, pada Tabel 2.6 akan dijelaskan pembuatan bahan pengawet bambu dengan cara perendaman :
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-11
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.6 Teknik perendaman
1.
Sediakan drum/ tangki
pengawet
2
Penghalusan
bahan
pengawet
3.
Perebusan
bahan
pengawet
4.
Perendaman bambu
(Sumber :www.google.com)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-12
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.1.2 Analisis Pembebanan Jembatan pejalan kaki dapat dikatakan kuat dan kaku jika mampu menahan
beban berikut ini :
Beban Vertikal
Beban Tambahan
Adapun rincian dari beban-beban yang telah disebutkan di atas dapat dilihat pada Tabel 2.7
Tabel 2.7 Beban Rencana Jembatan Pejalan Kaki
Kelompok Beban
Kasus Pembebanan 1. Beban Mati a. Beban Mati Permanen (SW-Self Weight)
1. Beban vertikal
b. Beban Mati Tambahan 2. Beban Hidup 1. Pengaruh Temperatur
2. Beban Tambahan
2. Gaya Angin 3. Gaya Gempa
(Sumber : "A Manual for Construction at Community an District Level")
2.1.2.1 Beban Vertikal 1. Beban Mati Permanen (Self Weight) Beban mati dari suatu jembatan adalah berat dari bagian jembatan tersebut dan elemen - elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non struktural yang dianggap tetap. Berat isi bambu hampir sama dengan kayu ringan untuk beban mati berdasarkan RSNI T-02-2005 adalah 7.8 kN/m3. Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-13
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Beban Mati tambahan (SDL)
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Nilai dari faktor beban dapat dilihat pada Tabel
2.8. Tabel 2.8 Faktor beban untuk beban mati tambahan
FAKTOR BEBAN
JANGKA
U;;MA;
WAKTU
Tetap
S ;; MA;
Biasa
Terkurangi
Keadaan umum 1,0 (1)
2,0
0,7
Keadaan khusus 1,0
1,4
0,8
CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas (Sumber : RSNI T-02-2005 )
2.1.2.2 Beban Hidup Asumsi dari beban hidup yang digunakan dalam perencanaan jembatan ini dirangkum pada Tabel 2.4.Beban terpusat sebesar 500 kg (5KN) dan beban merata sebesar 400kg/m2 . Spesifikasi beban hidup untuk jembatan dengan lebar 1,5 m dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9 Asumsi Beban Hidup di Jembatan Pejalan Kaki
Tipe Pengguna Pejalan Kaki
Beban Terpusat di Plat Lantai Berat orang 80 kg+beban bawaan 20kg ,total 100 kg. Beban Terpusat Diasumsikan semua beban terpusat pada 1 kaki x 1,2 (Faktor pengaruh) = 120 kg
Beban Merata di Struktur Jembatan Asumsi jembatan penuh dengan 4 orang/m2 Beban Merata = 400 kg/m2
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-14
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.9 Asumsi Beban Hidup di Jembatan Pejalan Kaki (lanjutan)
Tipe Pengguna
Ternak
Gerobak dan lembu
Kendaraan bermotor
Desain Pembebanan diasumsikan secara manual
Beban Terpusat di Plat Lantai
Beban Merata di Struktur Jembatan
Asumsi berat yang terjadi 800 kg Beban terpusat : Asumsi berjalan normal dengan total berat pada 2 kaki x 1,2 (Faktor pengaruh) = 400 x 1,2 = 480 kg
Asumsi berat terbagi 2 x 1m luasan Beban merata = 800/2 = 400kg/m2
Berat dari lembu 800 kg + berat dari beban gerobak 1200 kg = 2800 kg Beban Terpusat Untuk lembu, total berat pada 2 kaki x 1,2 (Faktor pengaruh) = 400 x 1,2 = 480 kg. Untuk gerobak, berat per roda = 600 kg Asumsi maksimum beban 3000 kg dengan 1800 kg pada roda belakang Beban Terpusat : Beban setiap roda belakang = 900 kg
Asumsi total berat terbagi 4,5 x 2 m luasan Beban Merata = 2800/9 = 310 kg/m2
Pejalan kaki + ternak Hanya = 500 kg Gerobak lembu tapi tidak berkendaraan motor = 600 kg Kendaraan bermotor = 900 kg
Semua kasus = 400 kg/m2
Asumsi total berat terbagi 4 x 2 m luasan Beban Merata 3000/8=375 kg/m2
(sumber : A Manual for Construction at Community an District Level)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-15
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.10 Ringkasan Spesifikasi Beban Hidup
Tipe beban
Lebar Jembatan 1,4m Lebar Jembatan 2,1m Beban Beban Beban Beban terpusat merata terpusat merata Vertikal 1 hewan, 560kg (5,6kN) 2 bagian kaki 800kg per m 500kg (5kN) per m panjang hewan, 2 x panjang 500kg yang terpisah 0,5m. Atau 1 roda kendaraan 900kg Batasan beban Tidak ada gerobak sapi atau 1. Batas berat kendaraan motor bermotor 3ton 2. Hanya satu kendaraan bermotor yang lewat pada satu waktu Beban tambahan: cek beban angin diterapkan pada seluruh panjang jembatan dan beban titik dari pengguna diterapkan ke bagian struktur (railing) 140kg/m2 x luasan samping
140kg/m2 x luasan samping
dari elemen jembatan
dari elemen jembatan
Beban
Beban terpusat 130kg pad
Beban terpusat 130kg pad
tambahan
ketinggian 1,25m diatas lantai
ketinggian 1,25m diatas lantai
lainnya dari
jebatan
jebatan
Beban angin
pengguana (Sumber : A Manual for Construction at Community an District Level)
2.1.2.3 Beban Tambahan 1. Pengaruh Temperatur Variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung pergerakan pada temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung beban akibat terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut. Perencana harus menentukan besarnya temperatur jembatan rata-rata yang diperlukan untuk memasang sambungan siar muai, perletakan dan lain sebagainya, dan harus memastikan bahwa temperatur tersebut tercantum dalam gambar rencana.(RSNI T-02-2005)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-16
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Bambu mulai mengalami penyusutan saat pengeringan / di atas titik jenuh
serat (TJS), tetapi tidak berlangsung secara seragam, berbeda dengan kayu.
Penyusutan berpengaruh terhadap ketebalan dinding batang dan diameter (Liese
1985).
Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) penyusutan radial pada bambu
lebih besar daripada penyusutan tangensial dengan perbandingan 7 % dan 6%, sedangkan penyusutan ke arah longitudinal tidak lebih dari 0,5%.
2. Gaya Angin
Gaya Nominal ultimate dan daya layan jembatan akibat angin tergantung
kecepatan angin rencana seperti berikut:
TEW 0,0006.Cw .(Vw ) 2 . Ab ,
tanpa kendaraan
TEW 0,0012.C w .(Vw ) 2 .Ab, dengan kendaraan
(1a) (1b)
Dengan pengertian : VW adalah kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau CW adalah koefisien seret - lihat Tabel 5. AB adalah luas equivalen bagian samping jembatan (m3) Sumber : RSNI T-02-2005
Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang masif dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka luas ekivalen ini dianggap 30 % dari luas yang dibatasi oleh batang-batang bagian terluar.
Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh
bangunan Nilai faktor beban untuk keadaan batas layan KsEW =1,0 dan nilai faktor beban untuk keadaan batas ultimate KuEW = 1,2. TEW diberlakukan pada permukaan atas dan bawah jembatan yang ditransfer sebagai beban pada titik-titik buhulnya. Koefisien seret CW dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tekanan angin Rencana (kPa) diberikan dalam Tabel 2.11.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-17
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.11 Koefisein Cw
(Sumber : RSNI T-02-2005) Tabel 2.12 Tekanan Angin Rencana
Keadaan batas
Lokasi Sampai 5 km dari pantai
>5 km dari pantai
Daya layan
30 m/s
25 m/s
Ultimit
35 m/s
30 m/s
(Sumber : RSNI T-02-2005)
3. Gaya Gempa Untuk aksi gaya gempa digunakan metode responspektra, dengan rencana kondsi tanah lunak pada zona daerah 3 sesuai dengan RSNI T-02-2005. Dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Koefisien Geser Dasar (C) Plastis Untuk Analisis Statis (Sumber : RSNI T-02-2005)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-18
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.1.2.4 Kombinasi Beban Kombinasi beban yang dipakai menurut RSNI T-02-2005 :
1.) Ps = 1 D + 1.3 SDL
Pu = 1.4D + 2 SDL + 1.2 W
2.) Ps = 1 D + 1.3 SDL + 1LL Pu = 1.4 D + 2 SDL + 1.8 L 3.) Ps = 1 D + 1.3SDL + 1 W
(2) (2) (2) (2) (2)
Pu = 1.4 D + 2 SDL + 1.2W
(2)
4.) Ps = 1 D + 1.3SDL + 1 W
(2)
5.) Ps = 1 D + 1.3SDL + 1 W
(2)
Pu = 1.4 D + 2 SDL + 1E 6) Pu = 1.4 D + 1E + 1.2W + 2SDL
(2) (2)
Pu adalah beban ultimate/ beban batas yang merupakan beban maksimal yang boleh dipikul suatu struktur. Dalam perencanaan struktur nilai Pu yang diambil adalah nilai terbesar dari kombinasi beban. Ps adalah beban layan. 2.1.2.5 Kriteria Desain Menurut (Ron Dennis, 2004) yang perlu diperhatikan untuk memastikan jembatan pejalan kaki aman dan nyaman, dilihat dari kriteria desain perencanaan jembatan adalah sebagai berikut : 1. Kekuatan : Bagian dari jembatan harus cukup kuat untuk menahan beban hidup dan beban mati yang disebutkan di atas dengan batas yang memenuhi syarat keamanan untuk mengizinkan beban yang tidak pasti, kualitas bahan dan kualitas dari pelaksanaan konstruksi dan perawatan. 2. Defleksi: Jembatan pejalan kaki seharusnya tidak mengalami lendutan yang berlebihan agar tidak menyebabkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan bagi pengguna atau menyebabkan kegagalan struktur. Batas lendutan maksimum jembata pejalan kaki yaitu L/180 (5,5m per m bentang jembatan) atau L/360 (2,75mm per panjang jembatan). Nilai tengah yang digunakan yaitu L/250 (4mm
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-19
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
per m panjang jembatan). Batas lendutab maksimum
merupakan lendutan
maksimum di tengah bentang jembatan ketika dibebani oleh beban hidup.
3. Beban dinamis: Getaran mungkin akan terjadi akibat angin dan orang yang
berjalan di atas jembatan.
2.1.2.6 Standar Lebar Pengguna Jembatan
Adapun standar lebar pengguna jembatan yang kami rencanakan,
dimisalkan seperti Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Standar Lebar Pengguna Jalan (Sumber : A Manual for Construction at Community an District Level)
2.2
Perencanaan Sambungan Ada beberapa metode penyambungan bambu yang telah digunakan dalam
pekerjaan konstruksi (Mishra, 1988) antara lain: a. Sambungan ikatan kawat Penyambungan ini dilakukan dengan mengeratkan kawat mengelilingi sambungan dengan mengikat batang-batang bambu secara bersama-sama. Setidaknya terdapat dua buah lubang pada masing-masing batang bambu dan kawat harus melewati lubang-lubang tersebut agar didapatkan hasil yang baik.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-20
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.5 Sambungan Ikatan Kawat. (Sumber: Stulz/Hidaigo, 1981 dalam INBAR Technical Report No. 16 dan Mishra, 1988)
b. Sambungan dengan pasak dan kawat
Pada sambungan ini, lubang-lubang pada batang bambu dibuat lebih besar sedemikian sehingga menghasilkan diameter yang sesuai dengan besar pasak yang akan dimasukkan kemudian kawat diikatkan mengelilingi pasak pada kedua sisinya dengan sedikit tambahan disekitar batang.
Gambar 2.6 Sambungan Dengan Pasak Dan Kawat. (Sumber: Siopongco, dkk., 1987 dalam INBAR Technical Report No. 16 dan Mishra, 1988)
c. Sambungan dengan pelat Gusset Sambungan ini dibuat dengan memasangkan plywood atau kayu padat sebagai pelat yang diletakkan di kedua sisi batang bambu yang akan disambung. Kemudian pelat dan batang-batang bambu tersebut dikencangkan dengan menggunakan paku melewati pelat dan bambu tersebut.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-21
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.7 Sambungan Plat Dengan Pasak Dan Kawat. (Sumber : www.google.com)
d. Sambungan laki-bini (horned/tongued joint)
Metode penyambungan ini dilakukan dengan membuat tonjolan pada bagian ujung salah satu bambu dan membuat lubang pada bagian bambu yang lain untuk mengakomodasi tonjolan bambu yang telah dibuat. Untuk memperkuat sambungan tersebut, kedua bambu diikat menggunakan kawat atau dipaku.
Gambar 2.8 Sambungan Horned (a) Dan Sambungan Tongued (b). (Sumber: Siopongco, dkk., 1987 (a) dan Stulz/Hidalgo, 1981 (b) dalam INBAR Technical Report No. 16)
e. Sambungan dengan baut dan pelat penyambung baja Pelat baja digunakan sebagai pelat penyambung pada sambungan perpanjangan atau pelat buhul. Bentuk bambu yang silindris berlubang menyebabkan gaya-gaya yang terjadi hanya bekerja pada baut yang kontak langsung dengan badan bambu, badan bambu itu sendiri dan pelat penyambungnya (Qoharrudin, 2003). Penelitian lebih lanjut menemukan cara penyambungan bambu dengan hasil yang lebih baik, yaitu: a. Sambungan bambu memakai baut dan pelat buhul dengan bahan pengisi kayu/mortar. Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-22
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sambungan ini dibuat dengan mengisikan bahan lain seperti mortar atau kayu pada rongga bambu sehingga menjadi struktur yang komposit dan gaya yang
disalurkan lewat alat sambung itu tidak sepenuhnya dipikul oleh kekuatan geser
bambu (Morisco, 2006).
Gambar 2.9 Sambungan Bambu Memakai Baut Dan Pelat Buhul Dengan Bahan Pengisi Kayu/Mortar. (Sumber: www.moriscobamboo.com)
2.2.1
Analisis Kekuatan Perancangan sambungan ini mengacu pada peraturan SNI 03-xxxx-2000.
Pada prinsipnya suatu bangunan struktural memperhitungkan tiga unsur penting, yaitu kekakuan (stiffness), kekuatan (strength) dan kestabilan (stability) struktur. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketiga aspek penting tersebut adalah macam/jenis sambungan yang digunakan. Sambungan kayu merupakan titik kritis atau terlemah yang terdapat pada elemen atau titik hubung dari suatu bangunan struktural, yaitu bangunan yang memperhitungkan keamanan struktur (SNI 03xxxx-2000). Pada sistem perangkaan bangunan struktural maka seluruh komponen penyusun rangka batang (termasuk sambungan yang terdapat pada batang tersebut) harus diupayakan sedemikian rupa agar pada elemen tersebut hanya bekerja gaya uni-aksial tarik atau tekan saja. Macam sambungan kayu yang bersifat kritis dan perlu diperhitungkan berdasarkan kaidah ilmiah adalah sambungan tarik, geser dan momen. Hal ini disebabkan kekuatan sambungan kayu khususnya yang menerima gaya tarik luas bidang kontak dari batang utamanya digantikan oleh luas bidang tarik atau geser dari alat sambungnya Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-23
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
sehingga kekuatan sambungan tarik umumnya lebih rendah dan sulit menyamai besar kekuatan batang utamanya. Sambungan tarik pada kayu juga rentan terhadap
sesaran dan ini merupakan kelemahan berikutnya.
Sambungan-sambungan kayu sekarang ini dapat didisain dengan ketelitian
yang sama seperti bagian-bagian lain struktur. Suryokusumo et al.(1980)
mengatakan bahwa kekuatan sambungan kayu sangat dipengaruhi oleh komponen pembentuk sambungan, yaitu balok kayu yang akan disambung, alat sambung dan
macam atau bentuk sambungan.
Riset oleh Sucahyo Sadiyo, Naresworo
Nugroho, Surjono Surjokusumo, Imam Wahyudi (2010) menunjukkan bahwa
berat volume kayu berpengaruh pada kekuatan sambungan namun hal ini tidak berlaku secara umum. Karena riset ini mununjukkan bahwa diameter alat sambung paku yang lebih besar memberikan kekuatan lebih tetapi hal ini tergantung pada kualitas paku yang digunakan. Selanjutnya dilakukan analisa batang tarik dan batang tekan. Sebelum menganalisa kekuatan batang untuk sambungan, perlu diketahui mutu bahan dari nilai properties material dari nilai kuat acuan baku atau hasil uji yang meliputi nilai kuat tarik sejajar serat (Ft), kuat tekan sejajar serat (Fc), berat jenis (G), kadar air (m%), dan modulus elastisitas lentur (Ew). Untuk kadar air 15% dapat ditentukan dengan rumus perhitungan berikut: Ew
= 16000G0.71 (Tabel 3.2, SNI 03-xxx-2000)
(3)
2.2.1.1 Analisis Batang Tarik Komponen struktur tarik, direncanakan sebagai berikut: Tu ≤ λ φt T'
(4)
Keterangan : Tu = gaya tarik terfaktor, N λ = faktor waktu (Tabel 4.3-2, SNI 03-xxxx-2000) Фt = faktor tahanan tarik sejajar serat (Butir 6.1.2, SNI 03-xxxx-2000) T' = tahanan tarik terkoreksi Untuk mencari tahanan tarik terkoreksi, perlu diperhitungkan nilai kuat tarik sejajar serat terkorek
T'=Ft’ An
(5)
T'=Ft CM Ct CF An
(6)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-24
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Keterangan: Ft = kuat tarik sejajar serat terkoreksi CM = faktor koreksi layan basah (Tabel 1, Lampiran B SNI 03-xxxx-2000) Ct = faktor koreksi temperatur (Tabel 2, Lampiran B SNI 03-xxxx-2000) CF = faktor koreksi ukuran (Butir 5.6.2, SNI 03-xxxx-2000) An = luas penampang bersih, (Ag-Σ Alubang)
2.2.1.2 Analisis Batang Tekan Komponen struktur tekan direncanakan sebagai berikut:
Pu ≤ λ φc P'
(7)
Keterangan: Pu = gaya tekan terfaktor, N λ = faktor waktu (Tabel 4.3-2, SNI 03-xxxx-2000) Фc = faktor tahanan tekan sejajar serat (Butir 7.1.2, SNI 03-xxxx-2000) P' = tahanan tekan terkoreksi
Tahanan tekan kolom ditentukan berdasarkan kelangsingan penampang kolom pada arah yang paling kritis. Tahanan tekan kolom terkoreksi ditetapkan sebagai berikut: P’= Fc CM Ct CF CP An
(8)
Keterangan: Ft CM Ct CF CP Ag
= kuat tarik sejajar serat terkoreksi = faktor koreksi layan basah (Tabel 1, Lampiran B SNI 03-xxxx-2000) = faktor koreksi temperatur (Tabel 2, Lampiran B SNI 03-xxxx-2000) = faktor koreksi ukuran (Butir 5.6.2, SNI 03-xxxx-2000) = faktor kestabilan kolom = luas penampang bersih, (Ag-Σ Alubang)
Faktor kestabilan kolom, Cp, dihitung sebagai berikut: (9) Keterangan: (9a)
(8b) Po’= Fc CM Ct CF An
(9c)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-25
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
(9d)
E05’
(9e)
=
Keterangan: Pe = tahanan tekuk kritis (Euler) pada arah yang ditinjau, N Po = tahanan tekan aksial terkoreksi sejajar serat pada kelangsingan kolom sama dengan nol, N A = luas penampang bruto, mm2 c = 0,80 untuk batang massif (Butir 7.3.2, SNI 03-xxxx-2000) c = 0,85 untuk tiang dan pancang bundar (Butir 7.3.2, SNI 03-xxxx-2000) c = 0,90 untuk glulam (kayu laminasi struktural) dan kayu komposit struktural (Butir 7.3.2, SNI 03-xxxx-2000) Ke = faktor panjang tekuk untuk komponen tekan (Butir 7.2.1, SNI 03-xxxx-2000) L = panjang komponen balok yang ditinjau φc = faktor tahanan tekan = 0,90 (Butir 7.3.2, SNI 03-xxxx-2000) φs = faktor tahanan stabilitas = 0,85 (Butir 7.3.2, SNI 03-xxxx-2000) I = momen inersia r = jari-jari girasi Fc* = kuat tekan terkoreksi sejajar serat (setelah dikalikan semua faktor koreksi kecuali, CP), N E05’ = nilai modulus elastis lentur terkoreksi pada persentil ke lima, MPa = koefisien variasi nilai Ew, yaitu penyimpangan deviasi standar Ew dibagi dengan nilai rerata Ew. Diasumsikan nilainya sebesar 0.25
2.2.1.3 Analisis Sambungan Prinsip perencanaan kekuatan sambungan adalah sebagai berikut: Zu ≤ λ φz Z’
(10a) (Butir 10.1.1, SNI 03-xxxx-2000)
(10b)
Keterangan: Zu λ CM Ct Cg
= tahanan perlu terfaktor = faktor waktu (Tabel 4.3-2, SNI 03-xxxx-2000) = faktro reduksi (Tabel 4.3.2, SNI 03-xxxx-2000) = faktor koreksi layan basah (Tabel 1, Lampiran B SNI 03-xxxx-2000) = faktor koreksi temperatur (Tabel 2, Lampiran B SNI 03-xxxx-2000) = faktor koreksi aksi kelompok = faktor koreksi geometri (Tabel 10.5.4.2, SNI 03-xxxx-2000) = jumlah total pengencang dalam sambungan = asumsi tahanan lateral acuan Asumsi pada tahanan lateral acuan (Z) adalah sebagai berikut:
Kontak permuaan alat penyambung
Beban bekerja tegak lurus dengan sumbu alat penyambung Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-26
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jarak tepi, jarak alat penyambung memenuhi persyaratan harga minimum Kedalaman penetrasi alat penyambung memenuhi persyaratan
Nilai tahanan lateral acuan (Z) menggunakan model batas leleh (yield limit
model) merupakan fungsi dari:
Mode kegagalan
Diameter alat sambung (D)
Panjang tumpu alat sambung (l) Jenis kayu
Arah beban terhadap serat (θ)
Kekuatan alat sambung terhadap lentur (Fyb)
Kekuatan alat sambung (Fe) Macam-macam mode kegagalan pada alat sambung adalah sebagai berikut
(SNI 03-xxxx-2000, 2010): a. Mode I kegagalan tumpu yaitu alat penyambung merusakan elemen kayu pada bidang kontaknya. Kehancuran pada elemen utama mode Im atau pada elemen penyambung. b. Mode II karena alat sambung berputar pada elemen kayu (alat sambung belum leleh). Adanya kerusakan local pada serat kayu pada sisi elemen kayu. c. Tipe kegagalan hanya terjadi pada alat sambung geser tunggal. d. Mode III kegagalan pada elemen utama mode Im atau kegagalan pada elemen penyambung mode Is, tipe kegagalan hanya terjadi pada alat sambung geser tunggal. e. Mode IV kegagalan alat sambung dengan terjadinya dua sendi plastis dan kerusakan pada serat kayu karena geser. Tahanan lateral acuan pada bagian ini berlaku untuk sambungan dengan komponen utama yang terbuat dari kayu, baja, beton, atau pasangan batu, dan komponen sekunder yang terdiri dari satu atau dua komponen kayu atau komponen dengan pelat baja sisi. Tahanan lateral acuan sambungan ditentukan dengan mengambil nilai minimum dari persamaan pada Tabel 2.13.a atau Tabel
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-27
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.13.b (untuk pasak atau baut), atau Tabel 2.13.c (untuk sekrup kunci), atau Tabel 2.13.d dikalikan jumlah alat pengencang pada sambungan tersebut, nf
Tabel 2.13.a
Tahanan lateral acuan untuk baut atau pasak (Z) untuk satu alat pengencang dengan satu irisan
yang menyambung dua komponen
Moda Kelelehan
Persamaan yang Berlaku
Im
(2.10)
Is
(2.11)
II
(2.12a) Dengan k1= (-1) +
(2.12b) (2.13a)
dengan k2 = (-1) +
(2.13b) (2.14a)
dengan k3 = (-1) +
(2.14b)
IIIm
IIIs
IV
(2.15)
Catatan: Rt = tm/ts Re = Fem/Fes Kθ = 1 + 0,25(θ/90°) Sumber: SNI 03-xxxx-2000
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-28
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.13.b
Tahanan lateral acuan untuk baut atau pasak (Z) untuk satu alat pengencang dengan dua irisan
Im
Is
yang menyambung tiga komponen
Moda Kelelehan
Persamaan yang Berlaku (2.16) (2.17)
IIIs
(2.18a)
Z = dengan k3 = (-1) +
(2.18b) (2.19)
IV Catatan: Rt = tm/ts Re = Fem/Fes Kθ = 1 + 0,25(θ/90°) Sumber: SNI 03-xxxx-2000
Tabel 2.13.c Tahanan lateral acuan untuk sekrup kunci (Z) untuk satu alat pengencang dengan satu irisan yang menyambung dua komponen
Is
Moda Kelelehan
Persamaan yang Berlaku (2.20)
Is IIIs
(2.21) Z =
(2.22a)
dengan k3 = (-1) + (2.22b)
IV
(2.23)
Catatan: Re = Fem/Fes Kθ = 1 + 0,25(θ/90°) Sumber: SNI 03-xxxx-2000
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-29
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.13.d Tahanan lateral acuan untuk paku dan pasak (Z) untuk satu alat pengencang dengan satu irisan yang menyambung dua komponen
Persamaan yang Berlaku
(2.24)
IIIm
(2.25a)
Is
Moda Kelelehan
dengan k1 = (-1) + (2.25b) (2.25a)
IIIs
dengan k2 = (-1) + IV
(2.25b) (2.26)
Catatan: Re = Fem/Fes D = Diameter Paku (Tabel 2.14) Kd = 2.2 untuk D ≤ 4.3 mm = 0.38D + 0.56 untuk 4.3 mm < D < 6.4 mm = 3.0 untuk D ≥ 6.4 mm Fem = kuat tumpu kayu main ( kayu utama ) = 114.45 G 1.84 Fes = kuat tumpu kayu sekunder = 114.45 G 1.84 Re = Fem/Fes D = diameter alat pengencang ( paku atau pasak ) p = kedalaman penetrasi efektif batang alat pengencang pada komponen pemegang. Fyb = tahanan lentur alat pengencang ( paku atau pasak ) Untuk Nilai Fyb paku dapat dilihat pada tabel 2.15 ts = tebal penampang pelat penyambung Untuk titik kumpul sambungan paku yang terdiri dari tiga komponen sambungan dengan dua irisan, tahanan lateral acuan diambil sebesar dua kali tahanan lateral acuan satu irisan yang terkecil. Sumber: SNI 03-xxxx-2000
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-30
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.14 Spesifikasi Ukuran Paku
SPESIFIKASI PAKU
Ukuran
Ukuran
Panjang
Panjang (
( Inch )
cm )
½“
Toleransi
Diameter
( mm )
( mm )
2
±0.2
Ø1,23
18
1”
2,5
±0.2
Ø1,7
16
1 1/4 “
3
±0.2
Ø2,2
13
1 ½”
4
±0.2
Ø2,2
13
2”
5
±0.2
Ø3
11
2½“
6
±0.2
Ø3,4
10
3“
7
±0.2
Ø4,2
10
3½“
9
±0.2
Ø5
8
4“
10
±0.2
Ø5
8
5“
12
±0.2
Ø5
6
6“
15
±0.2
Ø5
6
BWG
(Sumber : www.steelindonesia.com)
Tabel 2.15 Kuat Lentur Paku Untuk Berbagai Diameter Paku Bulat
DIAMETER PAKU
KUAT LENTUR PAKU, Fyb
≤ 3,6 mm
689 N/mm2
3,6 mm < D ≤ 4,7 mm
620 N/mm2
4,7 mm < D ≤ 5,9 mm
552 N/mm2
5,9 mm < D ≤ 7,1 mm
483 N/mm2
7,1 mm < D ≤ 8,3 mm
414 N/mm2
D > 8,3 mm
310 N/mm2
(Sumber : Awaludin, 2002)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-31
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2.2
Pemasangan Alat Pengencang Pasak,Sekrup Kunci,Pen dan Baut Berdasarkan SNI 03-xxxx-2000 untuk baut, sekrup kunci, pasak, dan pen,
jarak tepi baut yang diperlukan, jarak ujung, dan spasi alat pengencang yang
diperlukan untuk mengembangkan tahanan acuan harus sesuai dengan nilai
minimum pada Tabel 2.16. Spasi tegak lurus arah serat antar alat-alat pengencang
terluar dalam suatu sambungan tidak boleh lebih besar daripada 127 mm kecuali bila ada ketentuan mengenai perubahan dimensi kayu.
Tabel 2.16 Jarak tepi, jarak ujung, dan persyaratan spasi untuk sambungan dengan baut, sekrup kunci, pen, dan pasak
Beban Sejajar Arah Serat Jarak Tepi (bopt) lm/D≤6 (lihat Catatan 1) lm/D>6
Jarak Ujung (aopt): Komponen Tarik Komponen Tekan
Ketentuan Dimensi Minimum 1,5D yang terbesar dari 1,5D atau 1/2 jarak antar baris alat pengencang tegak lurus serat 7D 4D
Spasi (sopt) Spasi dalam baris alat pengencang Jarak antar baris alat pengencang
4D 1,5D<127 mm (lihat Catatan 2 dan 3)
Beban Tegak lurus Arah Serat
Ketentuan Dimensi Minimum
Jarak Tepi (bopt) Tepi yang dibebani Tepi yang tidak dibebani
4D 1,5D
Jarak Ujung (aopt) Spasi (sopt) Spasi dalam baris alat pengencang
4D Lihat Catatan 3
Jarak antar baris alat pengencang: lm/D ≤2 2,5D (lihat Catatan 3) 2
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Diperlukan spasi yang lebih besar untuk sambungan yang menggunakan ring. 3. Untuk alat pengencang sejenis pasak, spasi tegak lurus arah serat antar alat-alat pengencang terluar pada suatu sambungan tidak boleh melebihi 127 mm, kecuali bila digunakan pelat penyambung khusus atau bila ada ketentuan mengenai perubahan dimensi kayu. Sumber: SNI 03-xxxx-2000 Keterangan: bopt = Jarak tepi minimum alat pengencang aopt = Jarak ujung minimum alat pengencang sopt = Spasi minimum alat pengencang
Penempatan alat pengencang menurut SNI 03-xxxx-2000 adalah sebagai berikut: a. Jarak tepi adalah jarak antara tepi suatu komponen struktur terhadap alat
pengencang terdekat diukur dalam arah tegak lurus serat kayu. Bila suatu
komponen struktur dibebani tegak lurus arah serat, tepi yang memikul beban didefinisikan sebagai tepi beban. Tepi yang tidak memikul beban didefinisikan sebagai tepi tanpabeban (Gambar 2.10). b. Jarak ujung adalah jarak yang diukur sejajar serat dari garis potong siku komponen struktur ke pusat alat pengencang yang terdekat (Gambar 2.10). c.
Spasi adalah jarak antar pusat alat pengencang yang diukur sepanjang garis yang menghubungkan pusat-ke-pusat alat pengencang (Gambar 2.10).
d.
Sebuah baris alat pengencang didefinisikan sebagai beberapa alat pengencang yang terletak satu baris dalam arah garis kerja beban (Gambar 2.10).
e. Spasi dalam baris alat pengencang adalah jarak antar alat pengencang di dalam satu baris; dan jarak antar baris alat pengencang adalah jarak antar baris-baris alat pengencang.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-33
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.10 Geometri Sambungan (Sumber: SNI 03-xxxx-2000)
2.2.3 Pemasangan Alat Pengencang Paku Berdasarkan SNI 03-xxxx-2000 untuk
paku, jarak tepi baut yang
diperlukan, jarak ujung, dan spasi alat pengencang yang diperlukan untuk mengembangkan tahanan acuan harus sesuai dengan persyaratan seperti di bawah ini : 1.) Spasi dalam satu baris (a) : pada semua arah garis kerja beban lateral terhadap arah serat kayu, spasi minimum antar alat pengencang dalam suatu baris diambil sebesar 10 D bila digunakan pelat sisi dari kayu. 2.) Spasi antar baris (b) : pada semua arah garis kerja beban lateral terhadap arah serat kayu, spasi minimum antar baris adalah 5D
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-34
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
3.) Jarak ujung (c) : jarak minimum dari ujung komponen struktur ke pusat alat pengencang terdekat diambil sebagai berikut :
a. Untuk beban tarik lateral, 15 D untuk pelat sisi dari kayu
b. Untuk beban tekan lateral, 10D untuk pelat sisi dari kayu
4.) Jarak tepi (jarak tepi dengan beban (d) dan jarak tepi tanpa beban (e) ) : jarak
minimum dari tepi komponen struktur ke pusat alat pengencang terdekat diambil sebesar :
a. 5D pada tepi yang tidak dibebani
b. 10 D pada tepi yang dibebani
Adapun penempatan alat pengencang paku dapat dilihat pada Gambar 2.11
Gambar 2.11 Geometri Sambungan Paku (Sumber :Dokumen Pribadi)
2.3
Perekat Menurut (Misdarti. 2004), perekat ialah bahan yang mampu menyatukan
benda sejenis atau tidak sejenis dan menjadikan benda tersebut memiliki sifat saling mengikat dan tahan terhadap usaha pemisahan. Perekat juga digunakan pada konstruksi kayu, baik sebagai perekat sambungan maupun untuk pelapisan kayu majemuk, hal ini akan berpengaruh juga terhadap umur struktur.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-35
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gaya-gaya yang mempengaruhi daya lekat lem, yaitu:
a. Pelekatan mekanis.
b. Adhesi, gaya tarik-menarik antara molekul-molekul yang tidak sejenis, yakni
daya lekat lem dengan bahan.
c. Kohesi, gaya tarik menarik antara molekul-molekul yang sejenis, daya lekat lem itu sendiri.
2.3.1 Syarat-Syarat Konstruksi Sambungan dengan Lem
Berikut ini adalah syarat-syarat konstruksi sambungan dengan lem pada
kayu menurut buku Pedomen Konstruksi Kayu PEDC 1982 (Polytechnic
Education Development Center), yang akan diterapkan pada proses pengeleman untuk bambu lapis: a. Kayu yang direkatakan harus dalam keadaan kering atau harus mempunyai kadar lengas ≤ 15%, dan perbedaan kadar lengas antara masing-masing kayu harus ≤ 3%. b. Kedua bidang sambungan harus rata dan saling menepel satu sama lainnya. c. Kedua bidang sambungan harus bersih dari kotoran dan minyak. 2.3.2 Jenis Perekat Untuk Konstruksi Dalam (Purwito,2012) jenis lem perekat yang biasa digunakan untuk lem kayu di Indonesia yaitu menggunakan UF (Urea Formaldehid) dan VF (Venol Formaldehid) namun yang lebih banyak digunakan adalah lem perekat UF (Urea Formaldehid) yang hasil dari limbah petroleum dari hasil tambak. Dalam konstruksi kayu sendiri terdapat dua jenis lem yang dibedakan berdasarkan jenis pelarutnya. Jenis yang pertama ialah pelarut lem dengan menggunakan air, dan untuk jenis lainnya yaitu lem yang menggunakan pelarut alkohol, lem jenis ini terbuat dari synthetic rubber. 2.3.3 Pengaruh Jenis Perekat Terhadap Kekuatan Bambu Lapis Menurut Misdarti (2004), hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan macam perekat berpengaruh tidak nyata terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi yang dibuat dari bilah bambu hitam dan bambu parring. Bambu laminasi dengan menggunakan lem epoxy cenderung memiliki nilai MOE dan keteguhan Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-36
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
rekat yang lebih baik dibanding lem fox dan lem tiger. Efisiensi perekatan terbesar terjadi pada bambu laminasi parring dengan lem epoxy seperti pada Tabel 2.17.
Tabel 2.17. Pengaruh jenis perekat terhadap kekuatan bambu lapis Sifat/jenis bambu
Kadar air (%): Bambu Hitam Bambu Parring Kerapatan (g/cm2): Bambu Hitam Bambu Parring Modulus elastisitas/MOE (kg/cm2) : Bambu Hitam Bambu Parring Modulus patah/MOR (kg/cm2): Bambu Hitam Bambu Parring Keteguhan rekat (kg/cm2) : Bambu Hitam Bambu Parring Efisiensi perekatan (%) : Bambu Hitam Bambu Parring (Sumber: Misdarti, 2004)
Kontrol (sebelum dilaminasi)
Macam perekat Fox
Tiger
Epoxy
9.95 10.00
9.38 9.26
11.39 9.78
9.28 9.53
0.66 0.66
0.60 0.69
0.56 0.66
0.55 0.68
4287.71 4366.63
1394.12 1747.31
1324.89 1512.50
1606.86 1815.93
1253.92 1359.41
820.48 828.46
731.50 859.38
808.86 843.60
-
81.80 117.85
69.78 112.89
70.42 121.25
-
32.51 40.02
30.90 34.64
37.48 41.59
2.4 Perencanaan Pondasi Menurut (Braja M.Das,1985) pondasi adalah suatu konstruksi pada bagian dasar struktur/bangunan (sub structure) yang berfungsi sebagai penerus beban dari bagian atas struktur/ bangunan (upper structure) ke lapisan tanah dibawahnya yang diharapkan bisa menghindari terjadinya Keruntuhan Geser Tanah dan Penurunan (settlement) tanah yang berlebihan. Secara umum Pondasi ada dua yaitu Pondasi dangkal (shallow fondation) dan Pondasi dalam (deep foundation). 2.4.1 Pondasi Dangkal Penentuan penggunaan pondasi dangkal disesuaikan dengan beban yang akan dipikul oleh pondasi itu sendiri. Adapun gaya pondasi pada tanah dapat dilihat pada Gambar 2.12.a.
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-37
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Pengaruh Gaya : -
Gambar 2.12.a Gaya Pondasi Terhadap Tanah (Sumber : Braja M.Das,1985)
Diperhitungkan mulai dari bidang kontak antara Dasar Pondasi dengan Tanah
-
Pengaruh Gaya akan berakhir pada kedalaman 5B dari Dasar Pondasi
-
Daya Dukung Tanah adalah akibat gesekan dengan dasar Pondasi Secara Teoritis (Terzaghi) qult =
c.Nc + q.Nq + 0,5. B.N
(P.Menerus)
(27)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-38
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
(P.Setempat)
(28)
qult = 1,3 c.Nc + q.Nq + 0,3. B.N
(P.Lingkaran)
(29)
-
Nilai Nc,, Nq ,N tergantung dari (lihat tabel atau grafik)
-
q adalah tekanan tanah (overburden) di dasar
-
Pondasi B adalah lebar pondasi terkecil atau diameter lingkaran
qult = 1,3 c.Nc + q.Nq + 0,4. B.N
2.4.2 Pondasi Dalam Penentuan penggunaan pondasi dalam disesuaikan dengan beban yang akan
dipikul oleh pondasi itu sendiri. Adapun gaya pondasi terhadap tanah dapat dilihat
pada Gambar 2.12.b
Gambar 2.12.b Gaya Pondasi Terhadap Tanah (Sumber : Braja M.Das,1985)
Pengaruh gayanya dimulai dari permukaan tanah, dan akan berkurang seiring dengan kedalamannya. Daya Dukung Tanah : -
Akibat gesekan Ujung Bawah tiang
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-39
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
-
1 Qe Ab. c.Nc q.Nq . .B.N 2.
(30)
Dimana : Ab = Luas dasar pondasi (penampang tiang) c = Kohesi tanah q’ = Tekanan tanah efektif (effective overburden pressure) B = Diameter tiang Nc, Nq, Ng = Faktor Bearing capacity Akibat gesekan selimut tiang a. Pada tanah homogen: Qs = As . f = p . L . f
(31)
Dimana: As : Luas selimut tiang P : Keliling penampang L : Panjang tiang f : tahanan friksi b. Pada tanah berlapis:
QS = ∑(p . ∆L . f)
c. Bila penampang konstan : QS = p . ∑ (∆L . f )
(32) (33)
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-40
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Nurlita Dewi Utami, Prianggi Nugraha Iryana, Perencanaan Jembatan Pejalan .....II-42