LAPORAN AKHIR
ANALISIS GENDER DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DIREKTORAT KEPENDUDUKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEDEPUTIAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS 2007
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNya, sehingga laporan akhir Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan Pembangunan ini dapat kami selesaikan. Laporan ini adalah hasil dari kegiatan kajian, yang merupakan salah satu fungsi Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan. Kajian ini memiliki dua tujuan, yaitu: pertama, melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih; yang dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan PUG. Tujuan kedua adalah melakukan analisis gender terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004-2009. Analisis gender tersebut dilakukan bersama-sama dengan Kementerian/lembaga terkait, dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP). Semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, dan untuk itu kami haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan dalam penyusunan kajian tersebut, khususnya kepada Ibu Dr. Yulfita Raharjo, MA dan Bapak Nardho Gunawan, MD, MPH; selaku konsultan yang membantu kami dalam pelaksanaan kajian ini. Di samping itu, masukan dan saran untuk kajian ini juga kami harapkan, sebagai bahan perbaikan untuk periode selanjutnya. Jakarta,
Desember 2007
Direktur Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan
2
DAFTAR ISI Kata Pengantar
2
RINGKASAN EKSEKUTIF
5
1. PENDAHULUAN
5
2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
10
2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA
10
a. Dukungan Politik
10
b. Program yang Responsif Gender
11
c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional
12
d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 13 e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
13
2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH
14
2.3. Lessons Learned
15
2.4. Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih
18
2.4.1.Hasil yang Diharapkan
18
2.4.2.Proses Analisis
19
2.4.3.Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih
21
2.4.4. Beberapa Isu Kritis
21
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
23
BAB 1. PENDAHULUAN
25
1.1. Latar Belakang
25
1.2. Tujuan Kajian
28
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan
28
1.4. Metodologi
29
1.5. Pengukuran
33
1.6. Hasil yang Diharapkan
35
1.7. Limitasi
36
3
1.8. Kesimpulan
38
BAB 2. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN/LEMBAGA: Tinjauan dari Perspektif gender 39 2.1. Dukungan Politik
42
2.2. Program yang responsif gender
51
2.3. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional
53
2.4. Peran Pokja Gender
60
2.5. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 62 2.6. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)
64
2.7. Kesimpulan
65
Bab 3. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/ KOTA: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER 67 3.1. Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi: tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis 68 3.2. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyarat
70
3.3. Tantangan pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan di Provinsi dan Kabupaten/Kota 86 BAB 4.
ANALISA GENDER DALAM PERENCANAAN PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN: KEMENTERIAN/LEMBAGA TERPILIH 91
4.1. Hasil yang Diharapkan
92
4.2. Proses Analisis
92
4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 95 4.4. Best Practice
96
4.5. Beberapa Isu Kritis
100
BAB 5.
102
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
102
5.2. Rekomendasi
103
4
RINGKASAN EKSEKUTIF 1. PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG Strategi pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam proses pembangunan dewasa ini semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu Instruksi Presiden kepada semua Menteri, Lembaga Tinggi Negara, Panglima Angkatan Bersenjata, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan PUG dalam keseluruhan proses perencanaan dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Sebagai hasil dari upaya pelaksanaan PUG, khususnya pada tahap perencanaan, dapat dilihat dari Propenas 2000‐2004, yaitu telah terdapat 19 program pembangunan yang responsif gender. Program‐program tersebut mencakup 5 sektor pembangunan yaitu bidang hukum, ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial budaya. Pada setiap Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) upaya PUG terus dilakukan, dan hasil nyata yang diperoleh adalah bertambahnya program yang responsif gender. Hingga Repeta 2004, jumlah program yang telah responsif gender bertambah menjadi 38 program, yang terdapat pada sektor‐sektor pembangunan: ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan UKM, politik, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004‐2009, peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Bahkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006 dan 2007, pengarusutamaan gender telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan oleh seluruh kegiatan pembangunan. Untuk keperluan kajian tersebut, terdapat 5 (lima) aspek yang dikaji. Kelima aspek tersebut dianggap merupakan prasyarat dalam proses melaksanakan PUG. Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) dukungan politik; 2) kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender; 3) tersedianya kelembagaan PUG; 4) data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin dalam sistem; dan 5) kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan dan mengawal PUG.1
Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP).
1
5
Hasil kajian pelaksanaan PUG (Bappenas, 2005) tersebut memperlihatkan bahwa: 1) implementasi 38 program Repeta 2001‐2004 yang responsif gender tersebut dapat dikatakan tidak semuanya dilaksanakan; dan 2) meskipun sudah cukup banyak kemajuan, namun secara umum pelaksanaan PUG belum berjalan optimal. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya, adalah sebagai berikut: - Payung hukum yang menyatakan tentang keharusan melaksanakan PUG di setiap sektor/lembaga baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, tidak tersosialisasi dengan baik. - PUG lebih dipahami sebagai proyek kegiatan untuk perempuan atau pemberdayaan perempuan semata, dan belum dipahami sebagai strategi pembangunan yang sifatnya cross‐cutting, menyeluruh dan terintegrasi; - PUG belum melembaga; - Data dan informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin masih terbatas. Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin, apalagi digunakan untuk keperluan analisis; dan - Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang mampu melaksanakan analisis gender dan mendukung pelaksanaan PUG di tingkat internal masing‐masing lembaga. Oleh sebab itu, sesuai dengan salah satu fungsi Bappenas yaitu melakukan koordinasi dan peningkatan keterpaduan dalam penyusunan rencana dan program pembangunan nasional (Surat Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 050/M.PPN/03/2002), Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas memandang perlu memperluas kajian gender dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaan PUG di beberapa bidang dalam RPJMN 2004‐2009. Untuk keperluan itu, di samping melakukan ‘revisit’ kepada 12 Kementerian/ Lembaga yang melaksanakan 9 bidang pembangunan (lama), juga menambah dengan 6 (enam) Kementerian/Lembaga (baru) di tingkat nasional. Untuk memperkaya gambaran pelaksanaan PUG di daerah, kajian juga dilakukan di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota terpilih, di luar 3 provinsi dan 3 kabupaten/kota yang telah dilakukan pada tahun 2005. Dengan demikian, kajian gender dalam perencanaan pembangunan pada tahun 2007 ini mencakup 18 Kementerian/Lembaga dengan fokus pada program‐program pembangunan dalam RPJMN 2004‐2009 (untuk nasional) dan di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota terpilih.
b. TUJUAN KAJIAN Tujuan pertama untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih.
6
Tujuan ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan perundang‐ undangan lain yang berkaitan dengan PUG. Tujuan kedua untuk melakukan analisis gender terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004‐2009. Hasil yang diharapkan adalah bahwa melalui analisis gender tersebut dapat dihasilkan sejumlah program/kegiatan pembangunan yang responsif gender. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya capacity building dalam hal melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Lebih jauh lagi, diharapkan juga bahwa melalui upaya tersebut dapat dibangun rasa kepemilikan terhadap program yang sudah responsif gender. Analisis gender dilakukan bersama‐sama dengan Kementerian/lembaga terkait dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP).
c. METODOLOGI Kerangka Analisis Untuk tujuan pertama –yaitu evaluasi PUG–, metode yang dipakai dalam adalah kombinasi dari sejumlah piranti kajian baik kuantitatif maupun kualitatif. Sifat analisis kajian adalah deskriptif analisis. Dimulai dengan menelaah dokumen dasar perencanaan program pembangunan Kementerian/Lembaga yang tersedia. Ini termasuk rencana strategis, pedoman umum perencanaan program pembangunan, kebijakan pembangunan, meta analisis hasil kajian evaluasi 2005, dan dokumen lain yang relevan dari setiap sektor yang terpilih. Dari informasi dan gambaran yang terkumpul, disusun suatu framework dengan mengidentifikasikan beberapa variabel kunci yang kemudian dijabarkan pada pertanyaan‐pertanyaan yang relevan, untuk memandu proses kajian. Asumsinya adalah secara ideal pelaksanaan PUG dapat berjalan baik dalam suatu Kementerian/Lembaga jika tersedia paling tidak 6 (enam) aspek, yaitu: 1) adanya dukungan politik (komitmen) dari pimpinan/pengambil kebijaksanaan; 2) adanya program/kegiatan yang responsif gender sebagai suatu keniscayaan; 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di Kementeriaan/Lembaga yang bersangkutan; 4) tersedianya dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 5) tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memahami gender dan mampu
7
melaksanakan dan mengawal PUG; dan 6) tersedianya dana untuk pelaksanaan PUG2. Metode Pelaksanaan Kajian Dalam merancang kajian, telah disetujui bersama bahwa sifat kajian ini adalah partisipatori. Pada prinsipnya, pendekatan partisipatori lebih memberikan waktu dan ruang untuk berdiskusi dua arah antara tim kajian dengan para responden. (1)
Focus Group Discussion (FGD), forum FGD menjadi piranti yang penting dalam mengumpulkan data informasi;
(2)
Briefing dan konsultasi dengan para pimpinan, pengelola (unit) dan anggota staf (seperti dari Biro Perencanaan, Sekretaris/Ditjen yang berkaitan dengan kegiatan PUG, focal point gender, Pokja Gender, dll), untuk mendapatkan gambaran tentang budaya Kementerian/Lembaga, termasuk persepsi serta perlakuan lembaga terhadap isu gender pada umumnya, dan isu gender dalam perencanaan program pada khususnya;
(3)
Wawancara dilakukan dengan pengelola senior dari beberapa program dalam Kementeriaan/Lembaga terkait;
(4)
Telaah dokumen dilakukan secara sistematis terhadap dokumen perencanaan yang relevan, khususnya Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga yang memuat kebijakan, strategi, target/sasaran, termasuk program dan kegiatan pembangunan, framework dan piranti analisis dari beberapa Kementerian/ Lembaga terpilih;
(5)
Meta analisis terhadap hasil kajian perencanaan program yang responsif gender (2005);
(6)
Kuesioner sebagai kajian cepat untuk menjajagi dukungan, kelembagaan dan mekanisme PUG serta sumber daya manusia yang tersedia dan mampu melaksanakan analisis gender di Kementerian/Lembaga yang dikaji;
(7)
Debriefing dan konsultasi dengan para pengelola (unit) dan anggota staf (seperti Biro Perencanaan, Sekretaris (Ditjen) yang berkaitan dengan kegiatan PUG, gender focal point, Pokja Gender).
Untuk tujuan kedua –yaitu analisis gender terhadap program pembangunan– maka metode yang digunakan adalah learning by doing
Opsional sifatnya, anggaran untuk gender dan PUG masih perlu didiskusikan dan disepakati bersama para pemangku kebijakan. Sebab itu, hanya beberapa Kementerian/Lembaga yang melengkapi pertanyaan dalam kuesioner, tetapi kebanyakan tidak dapat melengkapi.
2
8
melalui lokakarya. Lokakarya Analisis Gender untuk Perencanaan Program tersebut menggunakan piranti (tool) analisis Gender Analysis Pathway (GAP). Program‐program yang dianalisa merupakan pilihan oleh wakil‐wakil dari Kementerian/Lembaga yang diambil dari program pembangunan RPJMN 2004‐2009. Data Data yang digunakan ada data sekunder (hasil pelaksanaan kajian PUG Tahun 2005 dan data‐data lainnya) dan data primer. Terdapat 3 (tiga) fokus pengumpulan data primer dan informasi yang digunakan yaitu: 1) Bagi Kementerian/Lembaga serta Provinsi/Kabupaten/Kota yang baru, kajian dilakukan dengan mengukur pada ketersediaan 5 (lima) aspek yang dianggap suatu keadaan ideal untuk melaksanakan PUG, ditambah satu aspek lagi yaitu ketersediaan gender budget; 2) Bagi Kementerian/Lembaga/Provinsi/ Kabupaten/Kota yang pernah dilakukan kajian, maka fokus kajian kali ini adalah dengan melihat dinamika dari 5 (lima) aspek tersebut di atas, serta aplikasinya; dan 3) Metode yang dipakai adalah kombinasi metode kuantitatif (kuesioner, desk review) dan kualitatif (interview mendalam dan FGD dengan nara sumber yang dianggap sebagai pengambil kebijakan, mengetahui/terlibat dengan perencanaan program/ kegiatan maupun pelaksanaan PUG). Diskusi partisipatif juga dilakukan dengan stakeholders terkait untuk mengidentifikasi masalah, tantangan, dan masukan/ rekomendasi. Sifat analisis adalah deskriptif.
9
2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
Tujuan pertama melakukan kajian gender dalam perencanaan pembangunan adalah mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/Lembaga serta provinsi/kabupaten/kota yang dikaji melaksanakan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 serta peraturan perundang‐undangan lain yang mengikutinya, dengan fokus utama pada isu‐ isu kritis dalam pelaksanaan PUG. 2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA
Sejumlah informasi telah terkumpul dari hasil kajian ini. Demi konsistensi dengan kajian serupa yang dilakukan pada tahun 20053 dan aggregasi temuan‐temuan, serta untuk keperluan diskusi dan melihat dinamikanya, maka data dan informasi dikelompokkan ke dalam lima aspek yang dikaji. Ke‐lima aspek tersebut dipilih karena merupakan prasyarat ideal untuk melaksanakan PUG, khususnya untuk suatu proses perencanaan pembangunan yang responsif gender4. Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) dukungan (Politik) dari pimpinan Kementeriaan/Lembaga; 2) ketersediaan wadah, baik struktural maupun fungsional yang memungkinkan PUG (berpotensi) terlembaga; 3) ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 4) SDM yang memahami dan mampu melaksanakan dan mengawal PUG; 5) jumlah program/kegiatan yang responsif gender. a. Dukungan Politik
Dukungan politik merupakan cerminan dari komitmen para pimpinan Kementerian/Lembaga, yang seringkali dituangkan dalam bentuk payung hukum untuk melaksanakan PUG di institusi masing‐masing, seperti Surat Keputusan, Instruksi, Surat Perintah, Surat Edaran, dan lain‐lain. Dari segi capaian pelaksanaan PUG diukur dari terlaksananya sosialisasi internal atas keberadaan payung hukum tersebut, terutama di antara jajaran pimpinan lembaga (horizontal) dan di antara penanggung jawab program/kegiatan (vertikal). Meskipun telah tersedia berbagai payung hukum sebagai dukungan politk terhadap pelaksanaan PUG, namun kurang tersosialisasi secara baik – Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan (2005) 4 Aspek ke ‐6 yaitu gender budget, tidak jadi dikaji, karena masih belum ada kesepakatan dalam memahami dan mendefinisikannya . 3
10
terutama di antara para pimpinan dan pembuat keputusan di Kementeriaan/Lembaga. Oleh karena itu keberadaannya seringkali hanya diketahui oleh orang‐orang yang tercantum namanya dalam SK tersebut. Umumnya para pimpinan/pengambil kebijakan banyak yang belum memahami konsep gender dan PUG serta manfaatnya5. Oleh sebab itu meskipun PUG telah dikuatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 dan dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004‐2009, akan tetapi karena pemahaman mengenai gender/PUG yang masih kurang, dan bahkan seringkali ‘keliru’, maka dukungan politik terhadap PUG masih lemah. Hambatan lain PUG adalah pendanaan yang kurang diperhitungkan saat perencanaan. SK yang dikeluarkan tentu berimplikasi pada pendanaan, yang karena bersifat ad hoc berarti alokasi dananya tidak direncanakan sebelumnya. Dari best practise seperti yang diperlihatkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, dan Departemen Pertanian, bahwa dukungan politik, payung hukum dan piranti lain (seperti Pedoman Pelaksanaan) bisa terbangun, jika ada prakarsa internal yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai komitmen tinggi, konsisten, dan didukung oleh orang‐orang yang kompeten. Data empirik memperlihatkan bahwa dukungan politik bisa tumbuh dari prakarsa (salah satu) unit kerja dengan program kegiatan yang responsif gender, dengan disertai upaya advokasi pada para pimpinan/pengambil kebijakan. Namun, perlu diwaspadai bahwa dukungan politik dapat melemah bila Surat Keputusan pelaksanaan PUG tidak efektif dipergunakan, sebagaimana halnya yang terjadi di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. b. Program yang Responsif Gender
Dari evaluasi PUG 2005, diketahui bahwa 38 program (Propenas) yang sudah responsif gender, hampir tidak ada yang dilaksanakan, kecuali beberapa bagian kegiatan hasil dari pelatihan analisis gender yang pernah dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya peralihan dari Propenas ke RPJMN 2004‐2009, sehingga masing‐masing Kementerian/Lembaga menyesuaikan dengan misi dan fokus RPJMN 2004‐2009. Penyebab lain adalah 38 program yang sudah dibuat gender responsif oleh individu‐ individu yang mengikuti pelatihan gender analisis, tidak otomatis menjadi dokumen resmi dari lembaga yang diwakilinya. Selain minimnya diseminasi internal hasil pelatihan gender, juga karena kedudukan individu tersebut di dalam lembaga yang diwakilinya tidak cukup kuat untuk meyakinkan 5
Banyak keluhan yang dilontarkan akan minimnya partisipasi para pimpinan dan pengambil keputusan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi PUG.
11
atasan/rekan kerjanya mengenai program/ kegiatan yang telah dibuatnya gender responsif. Yang sering tidak disadari adalah membuat rancangan program itu adalah suatu proses yang melibatkan banyak orang dan petahapan yang tidak selalu kondusif untuk menerima sesuatu yang baru seperti perspektif gender dalam perencanaan program. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan program pembangunan yang responsif gender: 1) Kementeriaan/Lembaga sudah semakin terbuka menerima perspektif gender kedalam program dan kegiatanya, tetapi teknis pelaksanaannya masih menjadi kendala, demikian juga dengan hierarki birokratis pengambilan keputusan; 2) pejabat eselon 3 dan 4 yang sudah dilatih gender analisis untuk perencanaan program merupakan focal point gender dan ujung tombak pelaksanaan PUG di unitnya masing‐masing. Namun menghadapi kesulitan dalam meyakinkan pimpinan dan rekan kerjanya yang masih bias/buta gender; dan 3) proses perencanaan program dan kegiatan melibatkan berbagai pihak, termasuk yang berada di luar unitnya dan wewenangnya. c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional
Tidak semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki wadah atau kelembagaan yang mengurusi gender, baik kelembagaan struktural maupun fungsional. Sebagai contoh DKP dan LAN tidak/belum mempunyai kedua kelembagaan tersebut. Bahkan di antara Kementerian/Lembaga yang secara eksplisit memiliki kelembagaan akan tetapi bentuk, struktur serta fungsinya beragam. Tiga pola teridentifikasi: 1) kelembagaan fungsional; 2) kelembagaan dengan wadah struktural kombinasi dengan wadah fungsional; dan 3) belum mempunyai keduanya, baik wadah struktural maupun fungsional. Beberapa isu penting berkaitan dengan Kelembagaan: 1) Kedudukan yang rendah secara struktural. Masalah yang dihadapi kegiatan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yaitu ketika yang mengurusi PUG berada di Eselon yang rendah. Secara struktural, di beberapa Kementerian/Lembaga yang mengurusi kegiatan PUG ditempatkan pada struktur eselon 3 (Departemen Sosial) atau echelon 4. Biasanya digabung bersama‐sama dengan urusan bidang lain, seperti agama, olahraga, dan seterusnya. Karena kedudukannya yang rendah secara struktural, sehingga tidak cukup kuat untuk melakukan pengawalan maupun melakukan terobosan‐terobosan kedalam sistim. Hal ini disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam memandang PUG. Umumnya PUG dianggap sebagai suatu program Wanita dalam Pembangunan. Hanya beberapa instansi seperti Depkes, Depdiknas, dan Deptan yang sudah mulai memperlakukan gender sebagai cross cutting issues dengan usaha melibatkan semua unit kerja vertikal dan horizontal; 2) 12
Wadah fungsional yang belum berfungsi optimal. Wadah fungsional seperti gender focal point, Dewan Pakar, gender fasilitator karena kedudukannya diluar struktur, bekerja lebih lentur sebab itu seharusnya lebih banyak berperan baik dalam mensosialisasikan gender dan PUG, maupun melaksanakannya. Tetapi tidak semua Kementerian/Lembaga memiliki wadah‐wadah fungsional ini. Wadah fungsional yang paling banyak dipunyai oleh Kementeriaan/Lembaga yang dikaji adalah focal point gender, meskipun tidak semuanya berfungsi optimal; 3) Peran serta keterlibatan Focal Point. Semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki focal point gender yang biasanya sudah terpapar dengan isu gender melalui seminar, sosialisasi, pelatihan, dan lain‐lain. Namun, mereka tidak mempunyai wewenang yang memadai untuk melakukan intervensi birokrasi, karena umumnya hanya merupakan eselon 3 atau 4; dan 4) peran Pokja Gender. Hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki SK untuk membentuk Pokja gender/PUG. d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin Permasalahan ketersediaan data terpilah merupakan masalah ‘lama’ yang belum terselesaikan di semua Kementerian/Lembaga yang dikaji. Depdiknas dan Depkes merupakan dua Kementerian yang sudah mempunyai data terpilah di tingkat dasar, yaitu di level sekolah dan Puskesmas. Akan tetapi seperti yang sering diutarakan dalam FGD maupun wawancara dengan responden, data yang sudah terpilah itu diagregat lagi di tingkat kecamatan. Alasan umum yang banyak disebutkan yaitu karena formulir dari ‘atas’ (provinsi/nasional) memang tidak terpilah menurut jenis kelamin. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan ketersediaan data terpilah: 1) isu yang menonjol sebenarnya adalah kurangnya komitmen politik pimpinan yang berwenang berkaitan dengan penyediaan dan penggunaan data yang terpilah menurut jenis kelamin dalam melakukan analisis untuk perencanaan; 2) kelangkaan data terpilah di hampir semua Kementerian/Lembaga merupakan suatu masalah serius yang sangat menghambat pelaksanaan PUG; dan 3) penggunaan data terpilah tersebut belum melembaga dalam perencanaan terbukti dari formulir standar masing‐ masing Kementerian/Lembaga yang tidak di disaggregasi. e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) SDM yang mau dan mampu melaksanakan dan mengawal pelaksanaan PUG masih amat sedikit. Berbagai kegiatan capacity building 13
sudah banyak dilakukan di sebagian besar Kementerian/Lembaga dengan mengundang pakar, dari Kemeneg. PP maupun dari sumber internal dan eksternal, akan tetapi hasilnya belum cukup memadai. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan kurangnya SDM yang handal melakukan dan mengawal PUG: 1) mengingat kekurangan tersebut karena seringnya rotasi pejabat dan masih banyaknya pejabat yang belum memahami konsep gender dan aplikasinya, maka sosialisasi dan capacity building untuk tiap‐tiap Kementerian/Lembaga perlu ditingkatkan; 2) materi dan metode penyampaian yang diberikan dalam capacity building harus disesuaikan dengan keperluan dan latarbelakang peserta; dan 3) advokasi mengenai gender dan PUG sangat esensial bagi para pimpinan lembaga agar mereka lebih responsif, aspiratif dan akomodatif terhadap isu gender dan pelaksanaan PUG. 2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH
Isu gender dalam pembangunan di daerah tepat waktu dan tepat asas, tetapi berpotensi luput menggunakan kesempatan. Tepat waktu, karena Inpres No. 9 Tahun 2000 datang bersamaan dengan adanya pergeseran dari sentralistik ke desentralistik melalui otonomi daerah. Kesempatan besar itu sekaligus merupakan tantangan luar biasa bagi daerah, karena daerah diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan terobosan‐terobosan, melalui program/kegiatan pembangunan – termasuk pelaksanaan PUG – yang lebih cocok dengan keadaan dan aspirasi daerah. Namun harapan besar ini kemungkinan besar luput dimanfaatkan daerah. PUG di telah dilengkapi dengan sejumlah payung hukum, yaitu: 1) KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah; 2) Surat Edaran Mendagri No. 411 Tahun 2006 tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dan PUG di Daerah; dan 3) Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Indikator Kinerja (meskipun tidak spesifik, tetapi relevan bagi pelaksanaan PUG). Masing‐masing daerah pun telah menindaklanjutinya dengan kesepakatan politik dalam berbagai bentuk.6 Semua provinsi, kabupaten/kota yang dikaji sudah memiliki wadah struktural dan fungsional mengelola/mengawal pelaksanaan PUG. Akan tetapi pada tatanan praksis, ‐‐kecuali di beberapa provinsi/kabupaten/kota‐‐, implementasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Secara umum pelaksanaan PUG di tatanan perencanaan pembangunan belum terlaksana baik. Akan tetapi beberapa daerah telah menunjukkan kesungguhannya. Desentralisasi yang dinyatakan efektif per tanggal 1 Januari 2001 telah secara nyata berpengaruh terhadap pelaksanaan PUG di daerah. Lihat bagian Kesepakatan politik
6
14
Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dengan hampir tanpa limitasi dan kondisi, bukan tanpa konsekuensi. Sementara itu, pemahaman mengenai gender dan PUG masih rancu. Demikian juga halnya dengan detail prosedur standar operasional untuk melaksanakan PUG juga belum tersedia, meskipun sebenarnya sudah dikeluarkan KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah. Hasilnya adalah tanggapan daerah beragam dalam interpretasi dan bersikap terhadap pelaksanaan PUG ini. Pada umumnya, pemahaman mengenai gender dan PUG direduksi sebagai suatu program, khususnya program yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Sebab itu dalam struktur administrasi ditempatkan bercampur bersama‐sama dengan program‐program lain pada satu unit kerja (eselon 4 atau 3). Karena umumnya, karena pemahaman yang kurang tersebut, maka gender dan PUG tidak ditempatkan sebagai prioritas dalam rancangan pembangunan. Hal ini bertolak belakang dengan RPJMN 2004‐2008 yang menekankan PUG sebagai suatu strategi pembangunan yang harus diarusutamakan ke dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Namun ada beberapa daerah yang lebih tanggap dan menempatkan isu gender dalam proses perencanaan secara bermakna dan menempatkan wadah yang mengurusi PUG pada struktur yang lebih instrumental yaitu di eselon 2. Dalam proses melaksanakan PUG di era desentralisasi yang kedua‐ duanya relatif baru di Indonesia ini sulit untuk mendokumentasikan semua isu dan pengalaman yang mempunyai dampak yang luas dan berjangka panjang. Lagipula, masih terlalu dini untuk menilai apakah pelaksanaan PUG di daerah sudah berjalan sebagaimana diharapkan, mengingat umur keduanya (PUG dan desentralisasi) belum cukup 8 tahun. Beberapa butir penting yang (berpotensi) berdampak terhadap jalanya pelaksanaan PUG didaerah. 2.3. Lessons Learned
Lessons Learned yang harus dicermati: 1) pemahaman yang masih sering keliru tentang pelaksanaan desentralisasi dan PUG, sangat berpotensi mereduksi PUG menjadi program atau bahkan menjadi kegiatan; 2) sosialisasi gender dan pelatihan analisis gender diperlakukan seperti proyek dengan waktu pelatihan yang kurang memadai, sehingga hasilnya pemahaman mengenai gender dan kemampuan analisis gender rendah/kurang memadai; 3) dukungan politik pelaksanaan PUG (SK Gubernur, Bupati, Walikota) tidak disosialisasikan; (4) ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin masih belum terlembaga dan kurang mendapat dukungan politik untuk melembagakannya. Konsekuensinya kebijakan dan perencanaan program pembangunan dibuat tidak berdasarkan data yang memadai; 5) keharusan
15
melakukan analisis gender dalam perencanaan masih belum melembaga; 6) orang yang mendapatkan pelatihan analisis gender dan sosialisasi gender tidak selalu orang yang terlibat dalam proses perencanaan program/kegiatan pembangunan, bahkan juga bukan orang yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan, sehingga tidak bisa memastikan program/kegiatan pembangunan yang dihasilkan telah responsif gender; 7) di beberapa daerah yang dikaji, fokus PUG masih terlalu luas dan bersifat umum, sehingga berpotensi gagal. Beberapa daerah menyikapi keadaan ini dengan lebih bijak, yaitu berfokus pada isu strategis yang menjadi kepedulian bersama. Misalnya di Provinsi Sumatera Utara berfokus pada beberapa isu yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hak asasi anak, serta trafficking; dan 8) tidak semua Pokja Gender di daerah berfungsi, misalnya tidak ada agenda kerja, tidak ada pertemuan (rutin). Namun di sebagian daerah seperti Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah, Pokja berfungsi dengan baik, sesuai tujuannya. Di Provinsi Sumatera Utara misalnya, Pokja dibagi ke dalam beberapa gugus‐tugas sesuai dengan isu yang ditangani. Dengan demikian, Pokja bekerja dengan fokus yang lebih jelas dan terukur dalam menangani permasalahan. Bentuk kelembagaan fungsional seharusnya melibatkan stakeholders internal maupun eksternal sehingga menciptakan jejaring kerja yang luas dan beragam. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyaratan. SKPD Walaupun suatu Kementerian/Lembaga atau provinsi/kabupaten/ kota telah memiliki sebagian besar dari 5 prasyarat PUG, namun pelaksanaan PUG tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, terdapat instansi yang telah melaksanakan PUG meskipun baru pada program/kegiatan terbatas, tanpa kelengkapan prasyaratan ideal. Proses pelaksanaan PUG umumnya dapat dibagi ke dalam 3 pola umum7. Pola pertama adalah yang masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal seraya tetap melanjutkan program/kegiatan Perempuan dalam Pembangunan (WID). Pola kedua adalah yang masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal tetapi sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan dengan mengaplikasikan strategi PUG, walaupun masih bersifat ad hoc. Pola ketiga adalah kondisi prasyaratan ideal masih 7
Ketiga pola tersebut bersifat arbitrar, yaitu bertolak dari opini umum. Dalam kajian ini bentuk kategorisasi tersebut dipakai untuk kepentingan diskusi. Karena dalam kenyataan tidak terjadi kategorisasi yang eksklusif, selalu saja ada proses serta unsur masing-masing pola bercampur satu dengan lainnya.
16
belum terpenuhi, sudah melaksanakan PUG dengan fokus pada isu‐isu tertentu. Akan tetapi kegiatan masih terisolasi sebagai kegiatan Pokja atau unit kerja yang berinisiatif. PUG belum dipakai sebagai strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam perencanan program pembangunan dan juga belum dilihat sebagai isu lintas bidang/unit kerja (cross‐cutting issue). Pola pertama, merupakan pola yang paling umum ditemukan di daerah. Pelaksanaan PUG di daerah umumnya masih pada tahap proses kelengkapan prasyaratan, belum sampai pada aplikasi pelaksanaan PUG. Semua daerah yang dikaji, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, telah memiliki SK Gubenur/Bupati/Walikota yang berkaitan dengan pembentukan tim (koordinasi) Pokja Gender.8 Namun tidak selalu semua stakeholders terkait‐bahkan di kalangan internal lembaga/unit kerja baik vertikal maupun horizontal‐‐ mengetahui keberadaan payung hukum tersebut. Umumnya, hanya orang‐orang yang terlibat langsung atau namanya tercantum dalam Surat Keputusan tersebut yang mengetahui keberadaannya. Pola kedua tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Keduanya masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan. Masalah‐masalah yang ditengerai pada pola pertama, juga merupakan masalah di pola kedua. Perbedaannya adalah pada pola kedua sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan PUG meskipun seringkali masih bersifat ad hoc. Di beberapa Pemerintah Daerah dan juga SKPD, tanpa menanti terpenuhinya 5 prasyaratan tersebut, telah melakukan pengarusutamaan gender di beberapa program/kegiatan pembangunannya. Kementerian/Lembaga terkait serta lembaga donor memegang peran penting dalam proses ini yaitu melalui program block grant (Kementerian/Lembaga) maupun melalui lembaga donor dalam bentuk proyek ujicoba. Depdiknas misalnya memberikan block grant untuk beberapa kegiatan program pembangunan pendidikan yang responsif terhadap isu gender pada satuan kerjanya di daerah9. Program/kegiatan yang responsif gender juga dibawa oleh lembaga donor/agensi internasional seperti misalnya dalam bentuk proyek ujicoba ataupun bantuan teknis lainnya, melalui Pemda atau SKPD terpilih. Sebagai contoh Kabupaten Bogor dari ADB; Kabupaten Wonosobo dari UNFPA; Propinsi Sulawesi Selatan dari CIDA; kabupaten‐kabupaten Gowa, Lebak, dan Jayapura dari UNDP. Selain itu, Kemeneg PP sudah 3 tahun terakhir ini memberikan dana stimulan ke daerah. Pada mulanya dana 8
9
Di beberapa Daerah disebut TP4 (Tim Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan, dikeluarkan dengan SK Gubernur. Berkaitan dengan PUG, Depdiknas memberi prioritas pada beberapa isu kritis, yaitu: kebijakan, bahan ajar, dan capacity building.
17
stimulan dimaksudkan untuk mendorong daerah mengaplikasikan Inpres No.9 Tahun 2000. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, masing‐masing kedeputian Kemeneg PP juga mempunyai dana stimulan yang dipakai sesuai dengan masing‐masing misi kedeputian. Pola ketiga diwakili oleh Depkes, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Kedua provinsi ini termasuk yang telah maju dalam usaha melaksanakan PUG.10 Dengan atau tanpa bantuan block grant, dana stimulan dan sejenisnya, Biro Pemberdayaan Perempuan sudah menjadi ‘motor’ untuk pelaksanaan PUG. Fenomena yang menarik untuk disebutkan adalah bahwa kemajuan yang dicapai itu pada umumnya tidak lepas dari tokoh (‘the singer) yang menahkodai kegiatan ini, yang pada umumnya faham terhadap apa yang mau dilakukan, penuh inisiatif, percaya pada apuhnya jejaring dengan melibatkan stakeholders yang terkait. Selain itu, semua instansi yang dimasukkan kedalam pola ketiga, semuanya menempatkan pengelola PUG ada dalam struktur birokrasi yang cukup tinggi (eselon 2). 2.4.
Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih
Tujuan kedua dari kajian adalah menghasilkan beberapa perencanaan program/kegiatan pembangunan terpilih yang responsif gender dari beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji. Beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji tersebut sebenarnya sudah mempunyai beberapa program yang responsif gender sebagai hasil dari kegiatan capacity building yang pernah diadakan oleh Bappenas dan KPP di tahun 2001‐2002 di 9 Kementerian/Lembaga terpilih. Sebagai hasilnya, dalam REPETA (2001‐2004) yang kemudian diganti menjadi PROPENAS (2001‐ 2004), tercatat 38 program pembangunan – yang merupakan tanggung jawab dari 9 Kementerian/Lembaga tersebut – yang sudah responsif terhadap isu gender.11 2.4.1. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari kegiatan bersama menganalisa gender ini adalah: 1) Kementeriaan/Lembaga terpilih memiliki beberapa (rancangan) program pembangunan yang responsif gender; 2) adanya transfer of knowledge, karena kegiatan bersama menganalisa gender ini sekaligus dimaksudkan sebagai bagian 10
Keduanya mendapatkan Parahita Eka Praya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kemeneg PP berkaitan dengan pelaksanaan PUG di daerah masing-masing. 11 Lihat Bab 1
18
dari capacity building melalui learning by doing, melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam program/program kegiatan mereka sendiri; 3) membangun kepemilikan melalui keterlibatan langsung, sehingga pengalaman dan keterampilan yang didapat dari kegiatan bersama ini membangun rasa kepemilikan (sense of ownership); dan 4) membangun jejaring, sebab bekerja bersama dengan stakeholder lainnya akan membangun jejaring kuat yang diperlukan dalam melaksanakan PUG. 2.4.2. Proses Analisis Kegiatan analisis gender dirancang dalam bentuk suatu lokakarya pelatihan analisis gender berdurasi 3 hari. Dari 18 Kementerian/Lembaga peserta lokakarya, 9 diantaranya (Kemeneg KUKM, Kemeneg LH, Dephukham, Depdiknas, Depkes, Deptan, Depnakertrans, dan Depsos) adalah ‘alumni’ dari dari kegiatan piloting PUG Bappenas‐KPP 2001‐2002. Peserta dari masing‐masing Kementerian/Lembaga yang diundang sebanyak 2 orang dan diharapkan berasal dari atau mereka yang berkaitan dengan perencanaan program. Masing‐masing peserta membawa dan bekerja dengan menggunakan program/kegiatan atau tema yang dipilih. Beberapa Kementerian/Lembaga peserta lokakarya membawa program/kegiatan yang akan dianalisa, yaitu: 1) Depkes (Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Sumber Daya Kesehatan melalui Inisiatif Desa Siaga ); 2) Depdiknas (Program Pendidikan Non Formal melalui Inisiatif Pemberantasan Buta Aksara); 3) Depsos (Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya melalui Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Usaha Kesejahteraan Sosial); 4) Deptan (Program Peningkatan Kesejahteraan Petani melalui Inisiatif Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan); 5) Kemeneg KUKM (Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro melalui Inisiatif PERKASA); 6) Depnakertrans (Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja melalui perlindungan TKW); 7) LAN (Program Sumber Daya Manusia Aparatur melalui Kegiatan Peningkatan kemampuan manajerial dan kepemerintahan). Waktu. Kesulitan pertama adalah mencari waktu yang tepat bagi fasilitator dan peserta dari 18 Kementerian/Lembaga. Kesibukan‐ kesibukan rutin dan yang bersifat ad hoc di internal lembaga masing‐masing, membuat waktu mereka terbatas untuk menghadiri pelatihan; hari pelatihan yang telah ditetapkan itupun tidak dapat dipenuhi oleh sebagian peserta. Sehingga diputuskan 19
masing‐masing kelompok hanya akan mengikuti lokakarya dalam 1 hari saja, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lokakarya untuk 3 kelompok itu diadakan tanggal 2,3 dan 5 Oktober 2007. Penyajian dari para peserta tidak dapat dilakukan semuanya, sehingga sebagian luput dari komentar para fasilitator. Beberapa Kementerian/Lembaga terutama yang sudah terpapar dengan pelatihan analisis gender sudah mempersiapkan program yang sudah dianalisis sebelumnya, sehingga waktu dilokakarya dipakai untuk diskusi dengan fasilitator. Bagi yang tidak selesai, pekerjaan itu dibawa kembali ke instansi masing‐masing untuk dibahas secara internal. Hasilnya kemudian diserahkan kepada fasilitator untuk mendapat komentar dan perbaikan. Akan tetapi, tidak semua pekerjaan kembali lagi ke fasilitator. Beberapa matriks hasil program/kegiatan yang sudah responsif gender terlampir (lihat lampiran). Peserta. Ada 2 Kementerian/Lembaga (PAN dan Depdagri) yang tidak mengirimkan wakilnya dalam lokakarya. Dengan demikian, hanya ada wakil dari 16 Kementerian/Lembaga yang berpartisipasi dalam lokakarya. Meskipun telah diminta dalam undangan untuk mengirimkan wakilnya dari Biro Perencanaan, akan tetapi peserta yang datang dan berpartisipasi tidak selalu orang yang tepat. Pemahamaan tentang gender dan analisisnya juga masih terbatas, sehingga harus dilakukan penjelasan mengenai konsep‐konsep dasar gender dan PUG, mengapa perlu dilakukan analisis gender. Waktu lokakarya terpaksa dibagi sebagian untuk sosialisasi gender, dan sisanya untuk analisis gender. Dengan demikian, telah mengurangi waktu untuk melakukan analisis gender yang memang sudah terbatas itu. Akibatnya hasil analisis gender menjadi kurang optimal. Fasilitator. Hanya tersedia 2 fasilitator untuk memfasilitasi para peserta dari berbagai Kementerian/Lembaga setiap hari selama lokakarya. Keterbatasan ini turut mengurangi efektivitas lokakarya, sebab para peserta harus ‘antri’ dalam mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan fasilitator. Materi. Masing‐masing peserta lokakarya diharapkan untuk membawa program/ kegiatan ataupun kebijakan yang dipilih berikut data‐data yang diperlukan. Akan tetapi seperti disebutkan diatas tidak semua peserta membawa program/kegiatannya. Fasilitator menyiapkan materi yang berkaitan dengan PUG serta menyajikannya berserta piranti analisis gender GAP. Fasilitator menerangkan lebih lanjut tentang piranti analisis gender GAP ketika mendampingi dan membantu peserta selama mereka 20
bekerja dalam kelompok. Hasil analisis berupa matriks yang sebagian besar masih memerlukan perbaikan‐perbaikan. 2.4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih Dari hasil lokakarya sehari melakukan analisis gender pada program/kegiatan yang diikuti oleh wakil dari 15 Kementerian/Lembaga, memperlihatkan ada beberapa Kementerian/Lembaga lebih siap dalam melakukan analisis gender. Tampaknya ada hubungan yang positif antara kesiapan melakukan analisis gender dengan faktor keterpaparan (expose) Sumber Daya Manusia/ kementerian/Lembaga yang bersangkutan dengan analisis gender. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Kementerian/Lembaga antara lain seperti Depkes, Depdiknas, Depsos, Deptan, Kemeneg KUKM, Depnakertrans, LAN. Kementerian/Lembaga yang disebutkan tadi ‐kecuali LAN‐ adalah ‘alumni’ dari kegiatan piloting PUG yang diprakarsai oleh Bappenas dan KPP dengan difasilitasi CIDA melalui Women Support Project II (2001‐2002). Namun demikian, tidak semua Kementerian/ Lembaga ‘alumni’ piloting PUG tersebut melanjutkan keterampilan yang sudah didapat sebelumnya. Kemeneg LH dan Dephukham, misalnya, yang juga merupakan alumni model pilot PUG Bappenas‐KPP tidak memperlihatkan keterampilan analisis itu dalam lokakarya. 2.4.4. Beberapa Isu Kritis Tujuan utama dari mengadakan lokakarya pelatihan analisis gender bagi Kementerian/Lembaga adalah menghasilkan (beberapa) program/kegiatan yang responsif gender. Hasil lokakarya memperlihatkan beberapa program sudah tanggap terhadap isu gender, meskipun masih harus disempurnakan. Sebagian besar masih memerlukan perbaikan‐perbaikan. Agar hasil dari lokakarya itu bermanfaat dan operasional, beberapa isu kritis ditengerai: 1) Diseminasi dan ’pengawalan’ program/kegiatan yang sudah digenderkan harus dilakukan. Analisis gender adalah salah satu langkah pelaksanaan PUG dalam siklus perencanaan program; 2) perlu mengetahui dan memahami bagaimana proses dan mekanisme perencanaan program dibuat. Pengarusutamaan gender itu masuk dan terintegrasi pada tiap tahapan perencanaan itu dibuat. Analisis gender pada program/kegiatan adalah salah satu tahapan. Sering dipahami rancu, seolah‐olah dengan selesainya suatu program/kegiatan menjadi gender responsif, PUG telah dilaksanakan; dan 3) melibatkan banyak aktor. Tahapan‐tahapan sebelum dan sesudah melakukan analisis gender, melibatkan banyak aktor yang belum tentu sudah gender sensitif. Hal ini yang sering luput dari perhatian. Sebab itu
21
membangun kepemilikan (ownership) dari program/kegiatan yang sudah responsif gender itu menjadi penting.
22
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Inpres No. 9 tahun 2000 mengenai keharusan semua sektor pembangunan untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG), merupakan tonggak penting dalam sejarah terhadap segala usaha untuk mencapai kesetaraan gender yang merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial. Hampir satu dekade telah berlalu sejak dikeluarkannya Inpres tersebut telah cukup banyak hasil yang diperlihatkan, akan tetapi masih lebih banyak lagi yang harus dilakukan. Salah satu keberhasilan pelaksanaan PUG dalam pembangunan adalah bahwa Kementerian/Lembaga, Provinsi serta Kabupaten/Kota yang dikaji sebagian besar telah memiliki empat atau lima unsur ideal PUG, yaitu dukungan politik, kelembagaan, program yang responsif gender, data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, dan SDM yang handal gender Akan tetapi, hasil kajian ini –dan juga merujuk dari hasil dua kajian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Bappenas dan KPP tahun 2005 dan 2007– mengindikasikan bahwa baik di tingkat nasional (Kementerian/Lembaga) maupun di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, ditemukan beberapa masalah utama yang menghambat/memperlambat PUG. Walaupun sosialisasi gender relatif sering dilakukan, bahkan sejumlah Kementerian/Lembaga yang sudah melaksanakan pelatihan analisis gender, namun pemahaman sebagian besar para pejabat Kementerian/Lembaga mengenai konsep gender dan PUG masih kurang, bahkan rancu. Seringkali kerancuan itu berkaitan dengan rendahnya pemahaman tentang beberapa konsep dasar, seperti ‘gender’ dan kesetaraan gender’, dimana gender diartikan sama dengan perempuan; kerancuan dalam penggunaan istilah‐istilah keadilan gender, kesetaraan gender, responsif gender, perspektif gender, dan seterusnya.
Rekomendasi -
Direkomendasikan untuk melakukan evaluasi secara berkala setiap tahun mengenai dampak serta metode sosialisasi dan pelatihan gender.
-
Penguatan dasar hukum PUG baik di tingkat nasional maupuan daerah dengan regulasi dan peraturan daerah yang lebih memadai.
-
Perencanaan bertahap yang menjelaskan dengan cukup rinci kegiatan‐ kegiatan dan sasaran capaian yang diharapkan dalam kurun waktu tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah.
-
Data terpilah menurut jenis kelamin dilembagakan di semua program dan kegiatan Kementerian/Lembaga dan Pemda/SKPD.
23
-
Sebaiknya KPP –didukung oleh Bappenas dan pakar gender– dapat menerbitkan telaah berbagai piranti yang ada dengan memberi penjelasan mengenai tujuan dan kegunaannya.
-
Pengawalan dari KPP, Bappenas, Biro PP serta Bappeda, dan juga dibantu oleh Pokja Gender diperlukan saat penyusunan RKP dan saat pengalokasian anggaran, hingga pelaksanaan program yang responsif gender dapat terwujud, dengan melibatkan legislatif dan Civil Society Organisations (CSOs).
-
Direkomendasikan adanya fasilitasi bagi pakar Gender, ahli komunikasi dan ahli yang relevan lainnya untuk menyusun materi dan mendesain metode KIE yang paling efektif untuk setiap target audience.
-
Dalam sosialisasi PUG dan pelatihan analisis gender, diperlukan narasumber dari bagian perencana (Bappenas dan Bappeda), selain narasumber gender. Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa target audience sosialisasi/ pelatihan adalah yang dapat menindaklanjuti hasil sosialisasi/ pelatihan.
-
Rekomendasi untuk perencanaan pembangunan 5 (lima) tahun mendatang dalam rangka PUG:
-
•
Data terpilah menurut jenis kelamin menjadi mandatori di semua bidang pembangunan
•
Keluaran dan sasaran dari setiap program pembangunan mencerminkan perspektif gender
Rekomendasi PUG di Bappenas: •
Memasukkan analisis gender dengan piranti GAP dalam kurikulum peningkatan kapasitas SDM perencana.
•
Advokasi dan sosialisasi gender di lingkungan Bappenas.
24
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Strategi pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam proses pembangunan dewasa ini semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu Instruksi Presiden kepada semua Menteri, Lembaga Tinggi Negara, Panglima Angkatan Bersenjata, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan PUG dalam setiap tahap pembangunan dari seluruh kebijakan dan
program pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
monitoring hingga evaluasi. Adapun peraturan lain yang berkaitan dengan PUG, antara lain adalah: •
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025;
•
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, yang antara lain menyebutkan tentang peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; dan
•
Perpres No. 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006, dan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang RKP Tahun 2007, yang menetapkan PUG sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan dalam seluruh kegiatan pembangunan.
Sejak tahun 2001, pelaksanaan PUG pada tahap perencanaan program telah mulai berjalan. Sejumlah sosialisasi dan pelatihan analisis gender dilakukan di tingkat pusat yang menghasilkan 19 program pembangunan (Propenas
2000-2004)
pembangunan,
yang
yang meliputi
responsif
gender
ketenagakerjaan,
25
di
5
(lima)
pendidikan,
bidang hukum,
pertanian, dan koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM). Jumlah program tersebut di atas bertambah menjadi 38 program (hingga Repeta 2004), dengan menambahkan lagi 4 (empat) bidang lainnya yaitu: kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup12. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh implementasi dari perencanaan 38 program Repeta 2001-2004 yang sudah responsif gender tersebut, pada tahun 2005 Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) melakukan kajian di 9 (sembilan) sektor pembangunan yang mencakup 12 Kementerian/Lembaga terpilih. Selain itu, kajian juga diperluas dengan menambah kajian pelaksanaan PUG di daerah,
yaitu
kabupaten/kota
dengan yang
mengambil dipilih
3
(tiga)
secara
acak.
provinsi Ketiga
dan
3
provinsi
(tiga) dan
kabupaten/kota tersebut adalah: Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat, Provinsi Kalimantan Barat dan Kota Pontianak, serta Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo. Untuk keperluan kajian tersebut, terdapat 5 (lima) aspek yang dikaji. Kelima aspek tersebut dianggap merupakan prasyarat dalam proses melaksanakan PUG. Aspek-aspek tersebut adalah: a) dukungan politik; b) kebijakan/program/kegiatan
yang
responsif
gender;
c)
tersedianya
kelembagaan PUG; d) data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin dalam sistem; dan e) kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan dan mengawal PUG.13 Hasil kajian pelaksanaan PUG (Bappenas, 2005) tersebut memperlihatkan bahwa: 1) implementasi dari perencanaan 38 program Repeta 2001-2004 yang sudah responsif gender tersebut dapat dikatakan sebagian besar belum terlaksana; 2) meskipun sudah ada kemajuan, akan tetapi secara umum pelaksanaan PUG belum berjalan dengan baik. Beberapa penyebab utamanya adalah sebagai berikut: 12
13
Sebanyak 38 program pembangunan dari 9 sektor ini merupakan bagian kegiatan pemula pengintegrasiaan gender ke dalam perencanaan program pembangunan yang dilakukan Bappenas bersama dengan sektor terkait. Sektor-sektor tersebut dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain: 1) dianggap sudah siap untuk pelaksanaan PUG; dan/atau 2) dianggap cukup banyak mengandung isu gender; dan/atau 3) dianggap sektor yang sangat instrumental/mempunyai daya ungkit tinggi. Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP).
26
•
Adanya perubahan dari Repeta 2001-2004 menjadi RPJMN 2004-2009, berdampak terhadap operasionalisasi ke-38 program yang sudah responsif
gender
itu,
karena
tidak
lagi
menjadi
program
yang
diusulkan. •
Inpres No. 9 tahun 2000 yang merupakan payung hukum pelaksanaan PUG di setiap instansi baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, tidak tersosialisasi dengan baik.
•
PUG lebih dipahami sebagai proyek kegiatan untuk perempuan atau pemberdayaan perempuan semata, dan belum dipahami sebagai strategi pembangunan yang sifatnya cross-cutting, menyeluruh dan terintegrasi;
•
Dampak otonomi daerah yang mengindikasikan bahwa sebagian besar pemerintah daerah tidak menempatkan kesenjangan gender sebagai isu utama, dan tidak memprioritaskan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pelaksanaan PUG.
Yang patut untuk dicatat juga adalah: •
Data dan informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena tidak ada keharusan bagi setiap instansi untuk mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin, apalagi digunakan untuk keperluan analisis.
•
Masih
kurangnya
sumber
daya
manusia
(SDM)
yang
mampu
melaksanakan analisis gender dan mendukung pelaksanaan PUG di masing-masing lembaga. Oleh sebab itu, sesuai dengan salah satu fungsi Bappenas yaitu melakukan koordinasi dan peningkatan keterpaduan dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan program pembangunan nasional (Surat Keputusan
Menteri
050/M.PPN/03/2002),
Negara Direktorat
PPN/Kepala Kependudukan
Bappenas dan
No.
Pemberdayaan
Perempuan Bappenas memandang perlu memperluas kajian analisis gender
dalam
perencanaan
pembangunan
dengan
mengevaluasi
pelaksanaan PUG di beberapa program pembangunan yang tercantum dalam RPJMN 2004-2009.
27
1.2. Tujuan Kajian Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan Pembangunan mempunyai dua tujuan yang hendak dicapai, sebagai berikut: Tujuan pertama untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih. Tujuan
ini
dimaksudkan
untuk
mengetahui
sampai
seberapa
jauh
Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah
melaksanakan
Inpres
No.
9
Tahun
2000,
serta
peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan PUG. Tujuan kedua untuk melakukan analisis gender terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004-2009. Hasil yang diharapkan adalah bahwa melalui analisis gender tersebut dapat dihasilkan sejumlah program/kegiatan pembangunan yang responsif gender. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya capacity building dalam hal melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Lebih jauh lagi, diharapkan juga bahwa melalui upaya tersebut dapat dibangun rasa kepemilikan terhadap program yang sudah responsif gender. Analisis gender dilakukan bersama-sama dengan Kementerian/lembaga terkait dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP).14 1.3. Ruang Lingkup Kegiatan Untuk keperluan tujuan pertama: •
Dilakukan revisit terhadap 12 Kementerian/Lembaga yang pernah dievaluasi di tahun 2005 (Bappenas, 2005), yaitu Kementerian Negara Lingkungan
Hidup,
Kementerian
Negara
Koperasi
dan
UKM,
Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, Departemen Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kepolisian RI, Kejaksaaan Agung, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
14
Piranti GAP dikembangkan di tahun 1998 oleh Bappenas bersama KPP dengan bantuan teknis dari CIDA melalui Women’s Support Project II.
28
Nasional dengan fokus pada: 1) updating data; dan (2) dinamika pelaksanaan PUG dalam 2 tahun terakhir, yaitu sejak kajian 2005; •
mengkaji 6 Kementerian/Lembaga lainnya, yaitu Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi Negara, dengan fokus pada pelaksanaan PUG serta kelengkapan data pendukung;
•
mengkaji 7 (tujuh) provinsi terpilih yaitu Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara, juga dengan fokus pada kelengkapan data pendukung serta pelaksanaan PUG; dan
•
mengkaji 7 (tujuh) kabupaten/kota terpilih (yang ditetapkan oleh provinsi yang bersangkutan), yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bogor, Kabupaten Semarang, Kabupaten Lombar, Kota Banjarmasin, dan Kota Manado, dengan fokus pada kelengkapan data pendukung serta pelaksanaan PUG.
Sedangkan untuk keperluan tujuan kedua yaitu analisis gender, ruang lingkup
kegiatan
adalah
wakil-wakil
dari
18
Kementerian/Lembaga
melakukan analisis gender terhadap program-program pembangunan yang diambil dari RPJMN 2004-2006 sesuai pilihan masing-masing Kementerian/Lembaga. 1.4. Metodologi Metode yang digunakan untuk tujuan pertama kajian ini adalah kombinasi dari sejumlah piranti kajian baik kuantitatif maupun kualitatif. Sifat kajian adalah deskriptif analisis, yang dimulai dengan menelaah dokumen dasar perencanaan tersedia. pedoman
program
pembangunan
Dokumen-dokument umum
tersebut
perencanaan
Kementerian/Lembaga termasuk
program
rencana
pembangunan,
yang
strategis, kebijakan
pembangunan, meta-analisis hasil kajian evaluasi PUG 2002 dan 2005, dan dokumen lain yang relevan dari setiap sektor yang terpilih.
29
Dari informasi dan gambaran yang terkumpul, disusun suatu framework dengan mengidentifikasikan beberapa variabel kunci yang kemudian dijabarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang relevan, untuk memandu proses kajian. Asumsinya adalah secara ideal pelaksanaan PUG dapat berjalan baik dalam suatu Kementerian/Lembaga jika telah terdapat paling tidak 5 dari 6 (enam) aspek pelaksanaan PUG, yaitu: 1) adanya dukungan politik (komitmen) dari pimpinan/pengambil kebijaksanaan; 2) adanya
program/kegiatan
yang
responsif
gender
sebagai
suatu
keniscayaan; 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yang bersangkutan; 4) tersedianya dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 5) tersedianya sumber daya manusia
(SDM)
yang
memahami
dan
mampu
melaksanakan
dan
mengawal PUG; dan 6) tersedianya jumlah dana untuk pelaksanaan PUG15. Sejak awal merancang kajian ini, telah disetujui bersama bahwa sifat kajian adalah partisipatori. Pada prinsipnya, pendekatan partisipatori lebih memberikan waktu dan ruang untuk berdiskusi dua arah antara tim kajian dengan para responden. a. Focus Group Discussion (FGD). Dalam kajian ini, forum FGD menjadi wadah yang penting dalam mengumpulkan data informasi. Tim Kajian menjadi fasilitator dan pencatat selama FGD berlangsung, sebab Tim Kajian seringkali didaulat oleh para responden (yang juga merupakan peserta FGD) untuk menerangkan konsep gender dan mengapa harus melaksanakan PUG. Peserta Focus Group Discussion (FGD) di Kementerian/Lembaga adalah para pengelola (dari Biro Perencanaan, Kepala Unit, dan lain-lain), Focal point Gender, serta staf dari
beberapa
unit
sektor
terkait
(Depsos,
Depdagri,
Polri,
Depnakertrans, Dephukham, Depkes, DKP, Depnakertrans, BKKBN, dan BKN). 15
Bersifat opsional, karena hingga saat ini gender responsive budgeting masih dalam tahap pengembangan. Oleh sebab itu, hanya beberapa Kementerian/Lembaga yang melengkapi pertanyaan ketersediaan dana dalam kuesioner, dan kebanyakan tidak dapat melengkapi. Bahkan antara Kementerian/Lembaga yang melengkapi kuesioner dana, besar kemungkinan mempunyai persepsi yang berbeda mengenai anggaran untuk gender (gender budget) ini. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan mengenai gender budget ini diabaikan.
30
b. Briefing dan konsultasi, tidak banyak dilaksanakan. Rencana awal adalah melakukan briefing dan konsultasi dengan para pimpinan, pengelola (unit) dan anggota staf (seperti dari Biro Perencanaan, Sekretaris/Ditjen yang berkaitan dengan kegiatan PUG, focal point gender, Pokja Gender, dan lain-lain), untuk mendapatkan gambaran tentang
budaya
Kementerian/Lembaga,
termasuk
persepsi
serta
perlakuan lembaga terhadap isu gender pada umumnya, dan isu gender dalam perencanaan program pada khususnya. Akan tetapi karena kesibukan rutin dan ad hoc dari para pengelola yang cukup tinggi, yang berdampak kepada keterbatasan waktu mereka yang tersedia, briefing dan konsultasi itu tidak selalu dapat dilaksanakan. Terkadang briefing dan konsultasi dapat terlaksana, tetapi pejabat yang diharapkan ternyata digantikan oleh orang yang mewakili. Untuk mengatasi keadaan ini, tim kajian meminta waktu bertemu dengan pimpinan yang terkait (Sekjen, Kepala Biro Perencana, atau pimpinan unit), sebelum diadakan FGD. Cara ini berhasil dilaksanakan di Depkes, Dephukham, dan BKN. c. Wawancara. Sejumlah wawancara dilakukan dengan pejabat senior yang
mengelola
beberapa
program
dalam
Kementerian/Lembaga
terkait (Depdiknas, Depkes, dan Dephukham). Selain menghimpun data, dalam kesempatan itu sekaligus juga dilakukan advokasi tentang PUG, karena banyak pernyataan-pernyataan dari para responden yang menggambarkan ketidak-pahaman dan kesalah-pahaman sekaligus ketidak-tahuan tentang gender, khususnya tentang gender dalam perencanaan dan keberadaan payung hukum yang mengharuskan Kementerian/Lembaga pemerintah melaksanakan PUG dalam bidang pembangunannya.
Dari
hasil
advokasi
yang
singkat,
beberapa
pengelola senior Kementerian/Lembaga (seperti Dephukham dan BKN) memandang perlu untuk mengumpulkan staf agar hadir dalam pertemuan meskipun sebenarnya tidak ada dalam agenda untuk berdiskusi
dengan
Tim
Kementerian/Lembaga
Kajian. lain
Sementara
(seperti
itu,
Deptan,
di
beberapa
Dephukham,
Depnakertrans, BKN, dan DKP) bahkan mengundang Tim Kajian untuk memfasilitasi pertemuan tentang Gender Analysis Pathway (GAP).
31
d. Telaah dokumen. Kajian juga dilakukan dengan menelaah secara sistematis dokumen perencanaan yang relevan, khususnya dokumen Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga yang memuat kebijakan, strategi, target/sasaran, termasuk program dan kegiatan pembangunan,
framework
dan
piranti
analisis
dari
beberapa
Kementerian/Lembaga terpilih. e. Meta analisis terhadap hasil kajian perencanaan program yang responsif gender (2005). f. Kuesioner
sebagai
kajian
cepat
untuk
menjajagi
dukungan,
kelembagaan dan mekanisme PUG serta sumber daya manusia yang tersedia dan mampu melaksanakan analisis gender di Kementerian/ Lembaga yang dikaji. g. Debriefing dan konsultasi dengan para pengelola (unit) dan anggota staf (seperti Biro Perencanaan, Sekretaris (Ditjen) yang berkaitan dengan
kegiatan
PUG,
focal
point
gender,
Pokja
Gender),
membicarakan temuan kajian, seraya mendapatkan masukan untuk pengembangan solusi dan rekomendasi, tidak jadi dilaksanakan, sebagai gantinya disatukan dengan kegiatan lokakarya mengenai analisis gender. h. Lokakarya. Metode ini khusus untuk tujuan kedua, yaitu melakukan analisis gender bagi perencana dari beberapa Kementerian/Lembaga yang
dikaji.
Materi
yang
dipakai
adalah
program-program
pembangunan RPJMN 2004-2009 yang dipilih untuk dianalisis. Hasil dari lokakarya adalah beberapa program/kegiatan pembangunan yang responsif gender untuk Kementerian/Lembaga yang ikut serta dalam lokakarya; keterampilan bagi peserta dalam melakukan analisis gender dan perencanaan program yang responsif gender; serta terbangunnya rasa kepemilikan dan kebersamaan antar unit kerja.
32
1.5. Pengukuran Terdapat 3 (tiga) fokus pengumpulan data dan informasi yang digunakan yaitu: a. Bagi Kementerian/Lembaga serta Provinsi/Kabupaten/Kota yang baru, kajian dilakukan dengan mengukur pada ketersediaan 5 (lima)
aspek
yang
dianggap
suatu
keadaan
ideal
untuk
melaksanakan PUG, ditambah satu aspek lagi yaitu ketersediaan gender budget. Akan tetapi data dan informasi mengenai gender budget ini tidak terkumpul dengan baik, karena masih belum jelasnya konsep tentang gender budget ini dan cara menghitungnya baik bagi para responden maupun peneliti kajian sendiri. 1) Dukungan
Politik
dari
pimpinan
Kementerian/Lembaga.
Komponen yang dipakai untuk mengukur adalah ketersediaan kebijakan, peraturan, instruksi, surat perintah, Surat Keputusan (SK
internal)
sebagai
payung
hukum
berkaitan
dengan
pelaksanaan PUG dan sebagai cerminan dari kesungguhan/ komitmen pimpinan. 2) Program/Kegiatan. memfasilitasi
Dukungan
pelaksanaan
PUG,
politik/kebijakan kemampuan
SDM
untuk dalam
melakukan analis gender serta melaksanakan PUG, ketersediaan dan dipakainya data terpilah, seharusnya tercemin dalam program/kegiatan
yang
Kementerian/Lembaga.
direncanakan Komponen
oleh
yang
masing-masing
digunakan
untuk
mengukur: a) jumlah dan proporsi program/kegiatan yang responsif gender; dan b) jumlah dan proporsi program/kegiatan yang mengacu pada kebutuhan praktis perempuan. 3) Kelembagaan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan PUG
di
Kementerian/Lembaga,
sehingga
PUG
berpotensi
berkelanjutan dan melembaga. Komponen yang dipakai untuk mengukur: a) keberadaan struktur unit kerja yang menangani PUG
(nomenklatur,
letak
unit,
dan
jenjang
eselon);
b)
keberadaan unit kerja fungsional seperti focal point, kelompok
33
kerja, Forum PUG, Dewan Pakar, dan seterusnya; c) mekanisme kelembagaan, apakah terintegrasi ke dalam perencanaan sektor atau masih bersifat ad hoc; d) penambahan atau pengurangan kegiatan-kegiatan PUG seperti sosialisasi, advokasi, pelatihan analisis gender, dan proses PUG di suatu Kementerian/Lembaga atau SKPD; dan e) Jenis piranti analisis gender yang dikuasai dan digunakan. 4) Sistem Informasi. Ketersediaan data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin serta dana dan sarana (data sistem). Komponen yang dipakai untuk mengukur: a) ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin; b) ketersediaan sistem yang menangani data; dan/atau updating data; c) demand (internal) terhadap data terpilah; dan d) kegiatan capacity building seperti sosialisasi, advokasi, dan pelatihan. 5) Sumber daya manusia (SDM) yang memahami konsep gender, dapat melakukan analisis gender, dan mampu mengawal PUG di dalam instansinya. Komponen yang dipakai untuk mengukur: a) jumlah staf yang sudah mendapat sosialisasi/advokasi dan atau pelatihan tentang gender/analisis gender/PUG; dan b) jumlah orang/unit yang sudah mengimplementasikannya ke dalam proses perencanaan program/kegiatan. b. Bagi Kementerian/Lembaga/Provinsi/Kabupaten/Kota yang pernah dievaluasi sebelumnya, maka fokus kajian kali ini adalah dengan melihat dinamika dari 5 (lima) aspek tersebut di atas, serta aplikasinya.
Komponen
yang
dikaji
antara
lain:
a)
jumlah
peraturan, Surat Keputusan (SK), instruksi yang berkaitan dengan PUG (jumlah, tingkat, dan aplikasinya); b) program/kegiatan pembangunan yang responsif gender dalam Kementerian/Lembaga (jumlah dan aplikasinya); c) struktur yang menangani PUG (adakah ada
perubahan
dalam
nomenklatur,
tingkat
eselon),
dan
dibandingkan dengan hasil kajian (Bappenas dan KPP, 2005); d) lembaga fungsional yang menangani PUG (adakah perubahan ke arah yang lebih baik jika dibandingkan dengan kajian 2005
34
tersebut, dan sebutkan lembaga-lembaga fungsional tersebut); e) ketersediaan, penyediaan, dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin; dan f) capacity building di setiap Kementerian/ Lembaga. c. Bagi Kementerian/Lembaga yang pernah dilakukan kajian, maupun yang baru dilakukan kajian, fokus juga diberikan pada 4 (empat) temuan penting hasil kajian Bappenas bekerjasama dengan KPP berkaitan dengan pelaksanaan PUG (tahun 2005), yaitu: a) apakah PUG sudah melembaga?; b) apakah pemahaman/pelaksanaan mengenai PUG sudah lebih baik?; c) apakah data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin sudah mulai masuk ke dalam sistem dan sudah mulai dimanfaatkan?; dan d) kemampuan dan komitmen SDM
untuk
melaksanakan
analisis
gender
dan
PUG
sudah
bertambah baik dan bertambah banyak. Keempat masalah tersebut di atas dilihat dari dimensi: a) apa isu gender yang muncul dalam pelaksanaan PUG di dalam instansi dan/atau antarsektor terkait?; b) apa tantangannya?; dan c) apa rekomendasinya. d. Metode
yang
dipakai
adalah
kombinasi
metode
kuantitatif
(kuesioner, desk review) dan kualitatif (interview mendalam dan FGD dengan nara sumber yang dianggap sebagai pengambil kebijakan,
mengetahui/terlibat
dengan
perencanaan
program/
kegiatan maupun pelaksanaan PUG). Diskusi partisipatif juga dilakukan
dengan
stakeholders
terkait
untuk
mengidentifikasi
masalah, tantangan, dan masukan/rekomendasi. Sifat analisis adalah deskriptif.
1.6. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah: a. Tersusunnya gambaran pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/ Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih; dan b. Tersusunnya beberapa program/kegiatan (RPJMN 2004-2009) yang sudah responsif gender.
35
1.7. Limitasi Dalam
pelaksanaan
kajian,
beberapa
kendala
yang
dapat
mempengaruhi kelengkapan data dan informasi, antara lain adalah: a. Limitasi responden dalam hal pemahaman gender dan pelaksanaan PUG. Dalam sejumlah FGD yang dilakukan, nampak bahwa masih banyak
kerancuan
dalam
memahami
konsep
gender,
seperti
ungkapan atau pernyataan yang sering terlontar yang menyamakan gender dengan (kodrat) perempuan atau mengartikan PUG sama dengan
cara
untuk
emansipasi,
dan
seterusnya.
Beberapa
responden dengan jelas dapat menyebutkan definisi gender dan PUG,
akan
tetapi
diakuinya
tidak
mengetahui
bagaimana
implementasinya. Dengan terbukanya komunikasi dua arah dalam forum FGD, maka para responden maupun tim kajian masingmasing dapat saling memberi pembelajaran berkaitan dengan gender
dan
pelaksanaan
Lembaga/Daerah
yang
PUG
dalam
bersangkutan.
konteks Bahkan
Kementerian/ informasi
dan
tambahan pengetahuan didapat baik bagi tim kajian maupun para peserta FGD, di luar jangkauan dari panduan yang tertulis. Bersama-sama
dengan
mengidentifikasikan
isu
peserta gender
FGD, sampai
tim
kajian
dengan
berhasil
merumuskan
rekomendasi. Di tingkat daerah, FGD dilaksanakan dengan lebih lengkap. Peserta untuk FGD di tingkat daerah adalah Pokja/Tim Teknis Gender serta wakil Bappeda dan SKPD. Pertemuan di beberapa daerah juga dihadiri anggota DPRD dari Komisi E. Seperti halnya pengalaman di tingkat nasional, beberapa peserta yang diharapkan hadir, justru tidak dapat hadir, dan digantikan oleh staf lain, yang seringkali kurang memiliki pemahaman tentang gender dan bahkan bukan berasal dari unit yang menangani PUG. b. Kurangnya waktu yang tersedia dari para responden (pejabat/staf) Kementerian/Lembaga untuk berdiskusi dan wawancara mengenai pelaksanaan PUG.
Sebelum melakukan FGD dan wawancara,
Bappenas
surat
menulis
secara
36
resmi
kepada
Kementerian/
Lembaga yang bersangkutan mengenai rencana kedatangan Tim Kajian. Waktu yang tepat untuk bertemu adalah salah satu kendalanya. Meskipun sudah disetujui waktu pertemuan baik untuk wawancara maupun FGD, seringkali tidak terjadi sesuai agenda. Kendala yang juga banyak ditemui adalah banyaknya urusanurusan penting yang mendadak harus dilakukan segera oleh responden16.
kandidat
Hal
ini
tergambar
pada
beberapa
Kementerian/Lembaga yang ditemui Tim Kajian. Di beberapa Kementerian/Lembaga, pertemuan tidak dapat dilakukan dalam bentuk FGD karena hanya dihadiri oleh satu pengelola/Focal point. Di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung wawancara hanya dihadiri
oleh
Kementerian
satu
orang
Negara
staf/bukan
Pendayagunaan
responden Aparatur
kunci;
Negara,
di
LAN,
Kemeneg. Ristek dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Tim Kajian hanya ditemui oleh 2 (dua) orang, sedangkan di Departemen Pendidikan Nasional FGD dengan Tim Kajian hanya dihadiri oleh 3 (tiga) orang, sehingga FGD tersebut harus dibatalkan dan sebagai gantinya dilakukan wawancara.17 c. Pejabat/staf/responden yang ditemui tidak selalu penanggungjawab pelaksanaan
PUG
atau
orang
mengetahui
proses
PUG
di
instansinya. Hal ini terjadi di hampir semua Kementerian/Lembaga yang dikaji. Bahkan ketika waktu pertemuan telah disetujui, tidak ada
kepastian
apakah
responden
kunci
dapat
menghadiri
pertemuan. Terkadang, responden/peserta kunci diganti oleh staf yang tidak mengetahui permasalahan gender. Namun, tidak jarang justru staf pengganti dapat memberikan informasi yang relevan. Dari
segi
perspektif
partisipatif,
Tim
Kajian
tetap
dapat
memanfaatkan ‘ketidaktahuannya’ itu sebagai data dan informasi yang
berguna.
Alasan
lain
adalah
pergantian
pejabat/staf
(termasuk yang menangani proses PUG) cukup sering terjadi, dan
16
17
Seorang peserta FGD dari satu instansi menyatakan secara eksplisit bahwa PUG masih belum menjadi prioritas di instansinya. Pernyataan ini merupakan gambaran umum yang juga dirasakan oleh tim peneliti. FGD yang lengkap terjadi di Kementerian/Lembaga (Departemen Hukum dan Hak Azazi Manusia, Departemen Dalam Negeri, BKN, dan Departemen Kesehatan). Di tingkat daerah, FGD terjadi di Kabupaten Bogor; di Kabupaten Tanah Datar.
37
tampaknya informasi/sosialisasi dari pengelola lama ke pengelola baru, kurang berjalan berkesinambungan. d. Dengan keterbatasan waktu untuk wawancara dan FGD, Tim Kajian kurang cukup dapat mendalami dan memahami dinamika budaya internal
Kementerian/Lembaga
yang
bersangkutan,
khususnya
yang berkaitan dengan penanganan dan pelaksanaan PUG.
1.8. Kesimpulan Dari hasil kajian-kajian evaluasi pelaksanaan PUG di tingkat pusat dan daerah di tahun 2002 dan 2005, dapat disimpulkan bahwa Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pelaksanaan PUG belum dijalankan di sebagian besar Kementerian/Lembaga. Pelaksanaan PUG belum melembaga dan belum menjadi arus-utama di Kementerian/Lembaga dan di SKPD provinsi dan kabupaten/kota yang dikaji. Umumnya Kementerian/Lembaga masih menjalankan PUG seperti suatu proyek di salah satu unit atau bagian unit. Berbagai kendala dihadapi dalam upaya pengumpulan data dan informasi, terutama dalam hal keterbatasan waktu, pemahaman, dan kehadiran responden (pejabat/staf) untuk FGD dan wawancara.
38
BAB 2. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN/LEMBAGA: Tinjauan dari Perspektif gender
Gender
masuk
ke
dalam
khasanah
pembangunan
-khususnya
perencanaan pembangunan- relatif baru, yaitu sebagai tindak-lanjut dari kesepakatan global seperti tertuang dalam Bejing Platform for Action (1995) yang mengimbau negara-negara yang hadir dalam Pertemuan Perempuan
Sedunia
ke-IV
di
Bejing,
untuk
melaksanakan
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam usaha pembangunannya. Di Indonesia, kesepakatan itu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 2000 yang mengharuskan seluruh Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah melaksanakan PUG di setiap proses pembangunan. Inpres tersebut diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan
No.
B.55/Menteri
PP/Dep.II/VI/2002
tentang
kebutuhan
membentuk focal point disetiap sektor pemerintahan di tingkat nasional dan
daerah;
Surat
Edaran
Menteri
Pemberdayaan
Perempuan
No.
B.110/Menteri PP/Dep.II/IX/ 2003 tentang kebutuhan membentuk POKJA Gender. Dokumen perencanaan yang juga memuat tentang PUG adalah Perpres No. 7 Tahun 2004 tentang RPJMN 2004-2009 dan Perpres No. 39 Tahun 2005 tentang RKP tahun 2006 dan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang RKP tahun 2007, yang menetapkan gender sebagai salah satu dari 4 prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan oleh seluruh kegiatan pembangunan. Ketiga prinsip lain yang diutamakan adalah: pembangunan berkelanjutan, penurunan kemiskinan, tatalaksana pemerintahan yang baik. Artinya keempatnya harus menjadi isu lintas bidang, lintas unit kerja, dan lintas program yang menangani usaha pembangunan di masing-masing perencanaan
bidang/sektor.
tersebut
Observasi
mengindikasikan
awal
bahwa
terhadap ketiga
dokumen
prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, penurunan kemiskinan, dan tatalaksana pemerintahan yang baik telah menjadi arus utama, kecuali gender.
39
Gender terutama belum benar-benar mengarus-utama di dalam dokumen rencana tahunan pemerintah, RKP, sebab hanya isu gender muncul di sejumlah kecil program dan kegiatan. Berkaitan dengan isu gender dalam pembangunan ini, maka hasil yang ingin dicapai adalah kesetaraan gender, yaitu kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam menikmati hasil-hasil pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, sosial-ekonomi, hukum, politik, dan seterusnya. Usaha ke arah itu dilakukan melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan, yaitu suatu strategi yang memberi kepastian, bahwa isu yang berkaitan dengan gender teridentifikasi dan tertangani di dalam keseluruhan
proses
pembangunan,
mulai
dari
perencanaan
dan
pelaksanaan termasuk pemantauan dan evaluasinya. Bappenas
bekerjasama
dengan
Kementerian
Negara
Pemberdayaan
Perempuan (KPP) mengembangkan suatu piranti analisis gender khusus untuk mendukung proses perencanaan dan memudahkan perencana untuk menemukan isu gender serta memformulasikan rencana tindak dalam program pembangunan. Piranti analisis tersebut adalah Gender Analysis Pathway (GAP) dan Policy Outlook Plan of Action (POP), yang telah disosialisasikan dan digunakan secara luas di tingkat nasional maupun daerah. Lebih dari satu dekade berlalu setelah komitmen melaksanakan PUG itu dibangun dan dilaksanakan. Telah banyak kemajuan yang dicapai, tetapi banyak juga terdapat kelemahan dan hambatan yang perlu dicermati dan diperbaiki. Bab II ini menyajikan suatu tinjauan evaluatif mengenai bagaimana masing-masing Kementerian/Lembaga yang dikaji merespon dan melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Kementerian/Lembaga yang dikaji dalam melaksanakan PUG, sejumlah unsur-unsur keberhasilan maupun kendala telah diidentifikasikan dan dapat menjadi masukan untuk mendapatkan pola-pola umum yang dapat dipakai untuk melaksanakan PUG ke depan dalam hal perencanaan pembangunan. Bab II difokuskan pada hasil kajian pelaksanaan PUG di tingkat Kementerian/Lembaga;
40
sedangkan
gambaran
pelaksanaan
PUG
di
tingkat
provinsi
dan
kabupaten/kota akan diuraikan di Bab III. Dengan mengacu pada kerangka acuan yang dipakai dalam kajian ini18, secara umum dapat dikatakan bahwa dari segi proses telah ada kemajuan yang dicapai Kementerian/Lembaga dalam usaha melaksanakan PUG. Kemajuan itu antara lain: 1) mayoritas Kementerian/Lembaga sekarang
sudah
memiliki
payung
hukum
yang
berkaitan
dengan
pelaksanaan PUG; 2) sebagian besar sudah memiliki wadah (struktural maupun fungsional) yang mengurusi PUG; 3) usaha melakukan sosialisasi meningkatkan kesadaran gender dan membangun kemampuan, seperti pelatihan analisis gender, meskipun hasilnya belum optimal; 4) di beberapa Kementerian/Lembaga sudah mempunyai program, kegiatan yang sudah di buat responsif gender; dan 5) semakin banyak sumber daya manusia (SDM) Kementerian/Lembaga yang sudah mengenal PUG, dan yang sudah terpapar terhadap analisis gender, bahkan juga sudah terampil
melakukan
analisis
dan
mengintegrasikannya
ke
dalam
kebijakan/program/kegiatan pembangunannya. Namun
demikian,
kekurangan
dan
dari
segi
capaian
kelemahannya.
Tim
pelaksanaan Kajian
masih banyak
mengidentifikasikan
kekurangan dan kelemahan itu berkaitan erat dengan: 1) payung hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG masih belum tersosialisasi dengan baik di dalam lembaga baik secara horizontal maupun vertikal; 2) kebijakan dan program/kegiatan yang telah dibuat responsif gender masih berupa dokumen, dan belum/tidak dilaksanakan; 3) wadah (struktural) yang mengurus pelaksanaan PUG pada umumnya ditempatkan pada posisi yang kurang/tidak instrumental, sehingga kurang efektif dan optimal; 4) belum ada usaha nyata dalam menanggulangi kelangkaan data terpilah menurut jenis kelamin dan; dan 5) pengembangan kemampuan SDM untuk melaksanakan PUG belum merata. Gambaran detail dari cerita sukses maupun kelemahan dan hambatan diuraikan di sub-bab 2 di bawah ini.
18
Lihat Bagian 1 hal 2
41
Pelaksanaan PUG di beberapa Kementerian/Lembaga terpilih Sejumlah informasi telah terkumpul dari hasil kajian ini. Demi konsistensi dengan kajian serupa yang dilakukan pada tahun 200519 dan aggregasi temuan-temuan, serta untuk keperluan diskusi dan melihat dinamikanya, maka data dan informasi dikelompokkan ke dalam lima aspek yang dikaji. Aspek-aspek
tersebut
adalah:
1)
Dukungan
(politik)
pimpinan
Kementerian/Lembaga; 2) Tersedianya wadah, baik struktural maupun fungsional
yang
memungkinkan
PUG
(berpotensi)
terlembaga;
3)
Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 4) Sumberdaya manusia (SDM) yang memahami dan mampu melaksanakan PUG serta ’mengawalnya’; 5) Trend/jumlah Program/Kegiatan yang responsif gender. Kelima aspek tersebut dipilih karena merupakan prasyarat ideal untuk melaksanakan PUG, khususnya untuk suatu proses perencanaan pembangunan yang responsif gender20.
2.1. Dukungan Politik Dukungan
politik
dimaksudkan
di
sini
sebagai
cermin
dari
kesungguhan/komitmen yang diberikan pimpinan Kementerian/ Lembaga, sekaligus merupakan payung hukum untuk melaksanakan PUG di institusi masing-masing. Dukungan politik ditingkat Kementerian/ Lembaga itu dari segi proses diukur dari jumlah produk hukum seperti Surat Keputusan, Instruksi, Surat Perintah, Surat Edaran, dan seterusnya yang dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan yang berkaitan dengan pelaksanaan
PUG
dilembaganya
masing-masing.
Dari
segi
capaian
pelaksanaan PUG diukur dari tersosialisasinya keberadaan payung hukum itu di internal lembaga, terutama diantara jajaran pimpinan lembaga (horizontal) dan
di antara penanggung jawab program dan staf
professional yang merancang dan melaksanakan perencanaan (vertikal). Dilihat
dari
produk
Kementerian/Lembaga
hukum yang
yang
dikaji,
16
dihasilkan,
dari
Kementerian/Lembaga
ke-18 telah
memiliki payung hukum. Dewan Kelautan dan Perikanan (DKP) dan 19
20
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan (2005). Aspek ke -6 yaitu gender budget, tidak jadi dikaji, karena masih belum ada kesepakatan dalam memahami dan mendefinisikannya.
42
Lembaga Administrasi Negara (LAN) belum mengeluarkan produk hukum untuk mewadahi PUG secara internal.21 Bentuk, maksud, serta waktu dikeluarkannya payung hukum itu beragam. Ada beberapa Kementerian/Lembaga seperti Depdiknas, Deptan, Depkes, Kemenneg KUKM, BKKBN, Dephukham, Depdagri, dan Depsos telah mengeluarkan produk hukum itu dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Menteri/Instruksi
Menteri
dan
atau
yang
sederajat;
sebagian
lagi
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang lainnya, seperti Sekjen, atau pejabat setingkat Eselon I. Dari
pengalaman
beberapa
Kementerian/Lembaga,
teridentifikasi
beberapa pola bagaimana suatu payung hukum dikeluarkan, yaitu: a.
Kebutuhan praktis/keterlibatan dalam proyek. Keterlibatan beberapa
Kementerian/Lembaga dalam (pilot) proyek yang mengharuskan sensitif gender. Contohnya proyek Development Planning Assistance (DPA) yang difasilitasi Bappenas/KPP/dan CIDA WSP II (2001-2002) dimana salah satunya adalah capacity building melalui pelatihan analisis gender. Untuk keperluan
tersebut,
Kementerian/Lembaga
di
unit
kerja
yang
bersangkutan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk membentuk Pokja Gender, karena melibatkan personel dari beberapa unit kerja. Departemen Sosial cq Badan Litbangsos misalnya, mengeluarkan SK Kepala
Badan
Litbangsos
No.
01/PPS/KSM/SK/I/2002
berkenaan
dibentuknya Tim Teknis Pokja PUG. Surat Keputusan Kepala Badan Litbangsos ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkan SK Mensos RI No. 07/PEGHUK/2002 tentang dibentuknya Pokja PUG Bidang Kesos kemudian direvisi dan ditingkatkan menjadi SK Mensos RI No. 93/HUK/2005 tentang Keanggotaan Pokja PUG Bidang Kesos. Di Kemeneg. LH, embrio Pokja PUG bahkan sudah terbentuk di Bapedal pada tahun 1994, dengan nama Kelompok Diskusi, yaitu suatu wadah fungsional
yang
terbentuk
karena
adanya
proyek
Environmental
Management Development in Indonesia (EMDI). Kelompok Diskusi ini aktif membicarakan tentang perempuan dan lingkungan hidup. Kelompok kerja 21
Kemeneg. PAN menyatakan telah memiliki, tetapi tidak jelas nomor dan isinya, bahkan responden tidak dapat menjelaskan siapa yang menyimpan dokumennya.
43
ini berakhir dengan selesainya proyek EMDI. Tahun 1997 di Bapedal dibentuk Kelompok Kerja Gender dan Lingkungan (KKGL) berkaitan dengan proyek kerjasama dengan Kanada yaitu Collaborative Environment Project in Indonesia (CEPI) yang memiliki komponen gender di dalamnya. Anggota KKGL tidak hanya dari internal Bapedal, tetapi juga dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Pusat Pengkajian Studi Lingkungan Universitas Indonesia, dan individu yang tertarik dengan masalah gender di lingkungan hidup. Kegiatan KKGL ini berakhir dengan selesainya proyek. Beberapa anggota KKGL bergabung lagi dalam Pokja ketika tahun 2001 Bapedal (kemudian digabung menjadi satu dengan Kemeneg. LH) menjadi pilot proyek Development Planning Assistance (DPA) untuk melakukan pelatihan analisis gender yang difasilitasi oleh Bappenas, KPP dan Women Support Proyect II (CIDA)22. Pokja Gender dibentuk dengan diterbitkannya SK Menteri Lingkungan Hidup No. 103 Tahun 2003. Akan tetapi dengan berakhirnya proyek DPA, kegiatan Pokja di Kemeneg. LH itupun berakhir. Dengan
bergabungnya
Bapedal
serta
adanya
reorganisasi
dan
restrukturisasi di dalam Kemeneg. LH pada tahun 2002, maka Surat Keputusan Pokja Gender tersebut menjadi tidak jelas dan bentuk dari dukungan
politik
terkait
lainnya
tidak
berlanjut.
Bahkan
beberapa
personel yang tercantum nama-namanya baik sebagai Tim Pengarah dan Tim Pokja, tidak mengetahui kelanjutan dari SK tersebut. Saat ini, dukungan politik untuk melaksanakan PUG di Kemeneg. LH sangat rendah. Hal ini menguatkan hasil evaluasi pelaksanaan PUG pada tahun 2005 yang mengindikasikan bahwa proses PUG di Kemeneg. LH mengalami stagnasi. Salah satu sebabnya adalah karena isu gender tidak dianggap relevan dengan isu lingkungan.23 Dari hasil evaluasi tersebut diidentifikasi bahwa anggapan irrelevansi di Kemeneg LH lebih karena para pengambil keputusan kurang tersentuh dengan sosialisasi dan advokasi yang berkaitan dengan gender.
22
Ada 9 Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam pilot proyek Bappenas/KPP/ WSP 2 CIDA (20012002), yaitu Depnakertrans, Depdiknas, Depkes, Depsos, Deptan, Dephukham, Kemeneg. KUKM, Kemeneg. LH, dan BKKBN.
23
Isu gender disebut berkali-kali dalam Rio Deklarasi
44
Salah seorang anggota Pokja, yang pernah menjadi gender focal point, dan sekarang duduk di eselon II, membawa isu gender ke dalam beberapa programnya. Beberapa staf yang pernah menjadi anggota Pokja dan staf dari bagian Perencanaan, sangat peduli dengan isu gender dalam programnya dan program lingkungan hidup pada umumnya. Akan tetapi tidak dapat berbuat banyak, karena kurang/tidak ada dukungan dari pimpinan dan pengambil keputusan. Departemen Pertanian (Deptan) termasuk Kementerian/Lembaga yang sejak lama memberi dukungan dan perhatian pada masalah perempuan dalam program-programnya. Pokja Gender yang disebut Pokja Gender in Extension terbentuk pada Badan Pengembangan SDM pada tahun 2000 sehubungan
dengan
keterlibatannya
dalam
proyek
Decentralized
Agricultural and Forestry Extension (DAFEP). Pada tahun 2003, Deptan mengeluarkan
SK
Menteri
No.
247/Kpts/KP.150/4/2003
tentang
Pembentukan Tim Koordinasi PUG Departemen Pertanian. Tim koordinasi beranggotakan
pejabat-pejabat
dengan
kedudukan
yang
sangat
instrumental. Contoh, Ketua Tim Koordinasi dijabat Sekretaris Jendral, dan Wakil Ketua adalah Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, serta Sekretaris adalah Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan. Para anggota adalah Kepala Bagian dan Sub-Bagian Perencanaan dan/atau salah satu staf dari eselon I. Pada tahun 2005, Deptan juga menerbitkan Peraturan
Menteri
Pertanian
No.
394/Kpts/RC.120/11/2005
tentang
Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pertanian Tahun 2005-2009 yang memasukkan aspek gender sebagai salah satu pertimbangan penting yang harus diperhatikan. Adapun Departemen Kesehatan (Depkes), pada tahun 2004 mengeluarkan Surat
Edaran
Menteri
Kesehatan
No.
615/Menkes/VI/2004
tentang
Pelaksanaan PUG-BK; meskipun sebelumnya secara de facto Tim Pokja sudah terbentuk dan bekerja, sehubungan dengan keterlibatannya dengan berbagai proyek yang yang menuntut agar kegiatan-kegiatan terkait responsif gender, seperti Development Assistance Project di tahun 2001. Sejalan dengan pelaksanaan PUG yang semakin berkembang di bidang kesehatan, pada tahun 2007 Depkes mengeluarkan SK Menteri Kesehatan
45
No. 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang Tim PUG-BK. Melalui Surat Edaran yang baru tersebut, para pengambil keputusan tingkat Eselon I dilibatkan secara lebih aktif dengan menduduki posisi Tim Pengarah (ex-oficio). Lebih jauh, para pejabat tingkat Eselon II ditunjuk sebagai gender focal point di unit kerja masing-masing dan bertangung-jawab terhadap pelaksanaan PUG di unit kerjanya.24 Perkembangan
yang
menggembirakan
juga
terjadi
di
Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas). Depdiknas banyak terlibat dengan proyek-proyek bantuan maupun kerjasama yang menargetkan programprogram
dan
kegiatan-kegiatan
terkait
responsif
gender.
Beberapa
contohnya adalah program Education For All (EFA) sebagai tindak lanjut dari kesepakatan Dakar, dan program-program kerjasama UNESCO dan UNICEF. Pokja Gender terbentuk
pada tahun 2002, berkaitan dengan
keterlibatan Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dalam pilot proyek Development Assistance Project (DAP). Sebagai kelanjutan dari pilot proyek maka dikeluarkan SK Pokja Dirjen PLS SK Pokja PUG Depdiknas No. KEP-89/E/MS/2002. SK tersebut menetapkan Tim Pengarah terdiri dari semua Eselon I, Tim Teknis terdiri dari semua eselon II, Tim Pakar, terdiri dari pakar gender internal dan eksternal, serta Tim Sekretariat yang terdiri dari Kabag Perencanaan semua unit, di samping Tim Pelaksana. Surat keputusan Dirjen ini diperbaharui setiap tahun. Pada tahun 2007
SK Dirjen PLS tersebut ditingkatkan menjadi SK Menteri
Pendidikan RI No. 060/P/2007 tentang pembentukan Kelompok Kerja PUG Bidang Pendidikan.25 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) secara lembaga sudah terpapar dengan isu gender sejak lama. Di pertengahan tahun 90-an, Depdagri dipilih sebagai pilot proyek Perencanaan dari bawah dan dari Atas yang berperspektif gender, dengan sponsor UNIFEM. Untuk keperluan itu diterbitkan SK tentang Pembentukan Pokja Gender. Tahun 2003, sesuai dengan tupoksi Depdagri, dikeluarkan Kepmendagri No. 132 tahun 2003
24
25
Saat Tim Kajian mendatangi Depkes, draft kedua Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Kesehatan sedang dipersiapkan. Saat Tim Kajian datang untuk wawancara, Depdiknas sedang menyusun Peraturan Menteri Diknas mengenai Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan (draft 2) yang rencananya akan terbitkan pada akhir tahun 2007, atau paling tidak di awal tahun 2008.
46
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah dan kemudian disusul dengan SK Mendagri No. 411/1245/SJ tahun 2006 tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dalam PUG di Daerah. b. Tindak lanjut dari Inpres No. 9 Tahun 2000. Pola
yang
paling
banyak
terjadi
di
Kementerian/Lembaga
adalah
keluarnya SK yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG sebagai tindak lanjut dari Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan No. B.110/Men PP/Dep.II/IX/2003 tentang Pembentukan Pokja
Gender di setiap Kementerian/Lembaga. Beberapa
Kementerian/Lembaga
lebih
lambat
merespon
dibandingkan
dengan
Kementerian/Lembaga lainnya. Hingga saat ini, selain DKP dan LAN, semua Kementerian/Lembaga yang dikaji telah membentuk Pokja Gender. Pada
tahun
2001,
Kemeneg.
KUKM
membentuk
Kelompok
Kerja
Pemberdayaan Perempuan melalui SK Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan PKM No. 2/KEP/K.BD/1/2001. Kemudian, diterbitkan pula SK Menteri Negara KPKM No. 58/KEP/SES.MENEG/ VII/2001 tentang Pembentukan Tim PUG dan Pemberdayaan Perempuan Sektor KPKM. Pada tahun 2002, kedua SK tersebut diganti dengan SK Menteri Negara KUKM No. 29/Kep/M.KUKM/IV/2002 tentang Pembentukan Tim PUG Sektor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (TimPUG-PP-KUKM). Anggota tim umumnya pejabat tingkat Eselon II yang merupakan perwakilan dari setiap kedeputian dan Sekretariat Menteri . Menindaklanjuti Inpres No. 9 Tahun 2000, Kejaksaan Agung menerbitkan Keputusan Jaksa Agung No. 680/A/JA/2001 mengenai pembentukan Focal point dan Pokja Gender di lingkungan Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan menjadi Focal point dan melibatkan hampir seluruh jajaran di lingkungan Kejaksaaan Agung. Pada tahun 2004 Keputusan tersebut diperbaharui menjadi Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-008/C/Cr.3/01/2004. Keputusan ini yang menjadi dasar dari Kep-X05/C/05/2005 tentang Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
47
Departemen
Hukum
dan
HAM
(Dephukham)
pada
tahun
2002
menerbitkan SK Pemimpin Proyek PUG Bidang Hukum Sekretariat Jendral No. A1/PUGKM/1/01A tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Tim ini beranggotakan para Kepala Biro sebagai Ketua Tim KKG dan sekretaris unit utama dengan ketua dari unit terkait yakni unit Perlindungan HAM, unit Peraturan Perundangan dan BPHN. Tim KKG dibantu oleh 4 Pokja yang bertangung-jawab terhadap isu tertentu seperti peningkatan kesadaran gender, KIE, Forum Konsultasi serta Monitoring dan Evaluasi. Beberapa rekomendasi yang responsif gender dihasilkan dari kerjasama antara tim KKG, Tim Pokja, dan para narasumber, antara lain tentang melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan nasional agar responsif gender; isi, format, dan penyajian laporan dengan memakai data terpilah menurut jenis kelamin; materi kegiatan penyuluhan hukum yang sensitif gender, khususnya tentang UU kewarganegaraan dan UU Imigrasi; menunjuk pejabat sebagai Focal point; serta membentuk Pokja PUG dan Pusat Studi Wanita dan Gender (PSWG) dalam struktur Kampus Pengayoman. Tidak semua rekomendasi itu dijalankan karena adanya beberapa kendala, antara lain kegiatan PUG masih merupakan kegiatan di luar sistem Dephukham; Kegiatan
PUG
di
Dephukham
seperti
halnya
di
sebagian
besar
Kementerian/Lembaga lain masih bersifat ad Hoc. Penekanan kegiatan masih pada sosialisasi dan seminar tentang peningkatan kesadaran gender dalam bidang hukum. Focal point Gender yang baru merupakan pejabat dari Eselon II dan bertekad untuk melakukan terobosan-terobosan kekegiatan yang kongkrit dan terukur. Masalah yang sama dihadapi oleh Dephukham adalah dukungan politik dari pimpinan lembaga masih terbatas pada terbitnya Surat Keputusan dan sejenisnya. Dokumendokumen itu belum tersosialisasi dan belum tercermin ke dalam programprogram dan kegiatan-kegiatan Dephukham. c.
Bagian dari struktur dan tatakerja lembaga. Di BKKBN, gender
merupakan bagian dari struktur dan tatakerja lembaga, seperti tertuang dalam SK Meneg PP/Ka BKKBN tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BKKBN. Kemudian dikeluarkan SK Kepala BKKBN No. 22/KT005/G3/2003 tentang Pokja Gender di Lingkungan Kantor Pusat BKKBN.
48
Sesuai dengan tupoksinya, BKKBN mempunyai satu kedeputian bidang Peranserta Laki-laki. Namun demikian tidak dengan sendirinya BKKBN menerapkan startegi PUG untuk keseluruhan programnya. Surat Keputusan dan sejenisnya memang diperlukan sebagai payung legal dari
kesepakatan
untuk
melaksanakan
PUG.
Namun
tidak
selalu
keberadaan Surat Keputusan dan sejenisnya itu berlanjut ataupun melembaga
dan
menjadi
dukungan
politik
kongkrit.
Di
beberapa
Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Lingkungan Hidup cq Bapedal, Pokja gender sudah terbentuk relatif lama yaitu dengan keterlibatannya dalam
berbagai
proyek
yang
mengharuskan
kegiatan
terkait
lebih
responsif gender. Akan tetapi Pokja-Pokja yang dibentuk bersifat ad Hoc sejalan dengan project yang tidak lestari keberadaanya. Keberadaan berbagai Surat Keputusan ternyata tidak juga menginspirasi keluarnya SK baru yang lebih tinggi dan instrumental. Sebaliknya, seperti yang diperlihatkan di Deptan, Depdiknas, dan Depsos, SK yang semula dikeluarkan karena keikutsertaan suatu unit kerja dalam proyek, telah berlanjut dan ditingkatkan menjadi Surat Keputusan Menteri untuk pelaksanaan PUG Departemen/Lembaga secara keseluruhan. Sementara itu, ada beberapa Kementerian/Lembaga yang tidak/belum memiliki Surat Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG, tetapi program kegiatannya sudah gender sensitif, contohnya di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Lembaga Admistrasi Negara (LAN). Meskipun kedua lembaga ini belum mempunyai SK mengenai Pokja gender atau pelaksanaanya, akan tetapi beberapa program kegiatannya sudah ada yang responsif gender. DKP misalnya, memiliki program kegiatan
untuk
meningkatkan
kegiatan
ekonomi
perempuan
di
perkampungan nelayan, sehingga kegiatan ekonomi di perkampungan nelayan tidak hanya didukung oleh para nelayan laki-laki. LAN, sebagai lembaga yang memberikan pelatihan jenjang pegawai negeri, sangat instrumental bagi sosialisasi PUG. Akan tetapi, sampai saat ini LAN belum mengeluarkan payung hukum untuk mendukung pelaksanaan PUG di LAN. Isu gender dimungkinkan masuk ke dalam materi pelatihan, misalnya
49
melalui thematic issues dan dosen tamu, tetapi cara ini jelas tidak membuat gender melembaga di LAN. Dibuatnya suatu SK (Kelompok Kerja Gender, Tim Koordinasi, dan lain sebagainya) belum berarti PUG dapat berjalan. Karena berlainan dengan pola pertama (keterlibatan dalam proyek), biasanya pola yang terakhir ini masih sangat terbatas kegiatannya. Hampir semua kegiatan hanya melanjutkan program-program yang ada, yaitu program-program dengan target spesifik perempuan (Wanita dan Pembangunan). Beberapa isu penting berkaitan dengan Dukungan dan Kemauan Politik: a) Meskipun telah tersedia berbagai payung hukum sebagai dukungan politik terhadap pelaksanaan PUG, dan untuk membentuk Pokja, sayangnya payung Hukum itu kurang tersosialisasi secara baik – terutama
diantara
para
Kementerian/Lembaga.
pimpinan Bahkan
dan
pembuat
keberadaan
keputusan
Surat
di
Keputusan
berkaitan dengan pelaksanaan PUG yang dikeluarkan internal lembaga (SK Menteri dan sejenisnya), tidak selalu cukup tersosialisasi di antara unit kerja. Oleh karena itu keberadaannya seringkali hanya diketahui oleh orang-orang yang tercantum namanya dalam SK tersebut. b) Dukungan politik ini sangat erat berkaitan dengan pemahaman, terutama pemahaman dari para pimpinan dan pengambil kebijakan. Terindikasi bahwa para pimpinan/pengambil kebijakan sebenarnya belum
banyak
terpapar
dan
belum
memahami
PUG
serta
manfaatnya26.
Sebab itu meskipun kita telah mengadopsi berbagai
konvensi
tentang
PBB
menjadikannya
anti-diskriminasi
Undang-undang
(UU
No.
(CEDAW), 7
Tahun
bahkan
telah
1984),
serta
menyetujui PUG sebagai hasil kesepakatan global (Beijing Platform) bahkan telah menguatkanya ke dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005, akan tetapi karena pemahaman mengenai gender/PUG yang masih kurang bahkan seringkali ‘keliru’, maka kemauan serta dukungan politik itupun belum terbangun.
26
Banyak keluhan yang dilontarkan akan minimnya partisipasi para pimpinan dan pengambil keputusan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi PUG.
50
c) Hambatan lain, seperti yang sering diutarakan selama melakukan wawancara maupun FGD adalah menyangkut persoalan dana. Dengan dikeluarkanya suatu SK ada konsekuensi pendanaan; padahal pos untuk itu seringkali bersifat ad hoc karena memang tidak direncanakan sebelumnya. d) Dari
best
practise
Pendidikan
seperti
Nasional
dan
yang
diperlihatkan
Departemen
oleh
Departemen
Kesehatan,
Departemen
Pertanian, memperlihatkan bahwa dukungan politik, payung legal dan piranti lain (seperti Pedoman Pelaksanaan) bisa terbangun, jika ada prakarsa internal yang dilakukan oleh (sekelompok) orang yang ‘committed’, ajeg (konsisten) dan difasilitasi oleh orang-orang yang kompeten. e) Ada beberapa peluang untuk menghasilkan dukungan politik. Data empirik memperlihatkan bahwa dukungan politik bisa tumbuh dari prakarsa (salah satu) unit kerja dengan program kegiatan yang responsif
gender
sampai
usaha
advokasi
pada
para
pimpinan/pengambil kebijakan. f) Degradasi dukungan politik bisa terjadi ketika keberadaan Surat Keputusan
tidak
efektif
dipergunakan.
Contoh,
yang
terjadi
di
Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. g) Tenggang waktu dikeluarkannya Surat Keputusan yang lebih permanen itu beragam, yang terbanyak adalah antara tahun 2006-2007, yaitu setelah kurang lebih 6 – 7 tahun dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 2000 tersebut atau sekitar 5 tahun sejak dikeluarkannya SK Men UPW berkaitan dengan pembentukan Kelompok Kerja Gender di masingmasing sektor. 2.2. Program yang responsif gender Dari evaluasi 2005 diketahui bahwa dari
38 program (Propernas) yang
sudah responsif gender hasil intervensi Bappenas dan KPP dengan difasilitasi
oleh
WSP
II
Canada,
hampir
tidak
ada
yang
sudah
dilaksanakan, kecuali beberapa cuplikan dari bagian kegiatan hasil dari
51
pelatihan analisis gender yang pernah dilakukan. Beberapa responden memberi alasan yaitu karena ada peralihan dari Propernas ke RPJMN 2004-2009, menyesuaikan
sehingga dengan
masing-masing
misi
dan
fokus
Kementerian/Lembaga
RPJMN
2004-2009.
Lainnya
memberi alasan keterlambatan mengajukan. Kemungkinan lain adalah ke 38 program yang sudah dibuat gender responsif oleh individu-individu yang ikut pelatihan gender analisis, tidak dengan sendirinya ‘dimiliki’ atau menjadi dokumen resmi dari lembaga atau unit yang diwakilinya. Selain minimnya desiminasi internal dari hasil pelatihan itu, sebab lain adalah karena kedudukan serta peran dari individu didalam lembaga/unit yang diwakilinya tidak cukup kuat
dalam meyakinkan atasan/rekan kerjanya
mengenai program/kegiatan yang telah dibuatnya gender responsif. Yang sering tidak disadari adalah membuat rancangan program itu adalah suatu proses yang melibatkan banyak orang dan pentahapan yang tidak selalu kondusif untuk menerima ‘sesuatu yang baru’ seperti memasukan perspektif gender dalam (perencanaan) program. Beberapa responden mengatakan bahwa meskipun beberapa program dan kegiatannya sudah gender responsif seperti tertulis dalam dokumen akan tetapi “seperti pengakuan banyak responden” tidak selalu melalui suatu analis gender. Responden lain juga mengatakan bahwa meskipun sudah selesai ikut latihan
analisis
gender,
dirinya
masih
belum
jelas
bagaimana
‘mendaratkan’ PUG ke dalam program/kegiatan nyata. Rata-rata mereka yang pernah mengikuti sosialisasi gender ataupun pelatihan analis gender menyebutkan bahwa secara teori/wacana konsep gender, konsep PUG, apa dan mengapa PUG, sudah mereka dipahami. Akan tetapi bagaimana operasionalisasinya masih belum jelas. Di hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki program/kegiatan yang responsif gender, paling sedikit kegiatan sosialisasi dan capacity building. Bahkan beberapa unit di Kementerian Pendidikan, Kesehatan, dan Pertanian misalnya program kegiatan unggulannya sudah dijadikan responsif gender.
52
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah Beberapa butir penting yang berkaitan dengan Program yang responsif gender: a. Kementerian/Lembaga sudah semakin terbuka menerima perspektif gender kedalam program dan kegiatanya. Tetapi masalah teknis dalam
pelaksanaannya
masih
menjadi
kendala.
Kendala
itu
termasuk kendala kemampuan untuk melakukan maupun kendala hirarki birokratis dalam mengambil keputusan b. Pejabat Eselon III dan IV yang sudah dilatih gender analisis untuk perencanaan program merupakan ujung tombak dalam membawa PUG ke program dan kegiatanya di unitnya masing-masing. Kendala yang masih dihadapi adalah meyakinkan pimpinannya dan kolega kerjanya yang pada umumnya masih bias/ buta gender. c. Proses perencanaan program dan kegiatan melibatkan banyak individu termasuk di luar unitnya yang seringkali berada di luar wewenangnya. 2.3. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional Tidak semua Departemen/Lembaga yang dikaji memiliki wadah atau kelembagaan yang mengurusi gender, baik kelembagaan struktural maupun fungsional. Sebagai contoh DKP dan LAN tidak/belum mempunyai kedua kelembagaan tersebut. Bahkan di antara Kementerian/Lembaga yang secara eksplisit sudah memiliki kelembagaan akan tetapi bentuk, struktur,
serta
fungsinya
beragam.
Tiga
pola
teridentifikasi:
a).
Kelembagaan fungsional; b) Kelembagaan dengan wadah struktural kombinasi dengan wadah fungsional; c) Belum mempunyai keduanya, baik wadah struktural maupun fungsional. a)
Kelembagaan
fungsional.
Di
beberapa
Kementerian/Lembaga
pelaksanaan PUG justru dimulai dengan kelembagaan fungsional. Di Kemeneg. LH kelembagaannya non-struktur. Wadah fungsional berada di Gender Focal point yang dijabat oleh Eselon I.
Wadah lain, yaitu Pokja
Gender yang pernah terbentuk, tetapi sekarang tidak jelas keberadaanya.
53
Ketika masih berada di Bapedal, berkaitan dengan proyek lingkungan yang peduli dengan isu gender (EMD, CEPI) telah dibentuk Pokja Gender yang kuat, melibatkan bukan saja personel yang terlibat dengan proyek, tetapi juga mitra kerja dari Kemeneg. PP, akademisi dan masyarakat madani lainya. Kegiatan Pokja Gender ketika itu lebih menekankan pada membagi pemahaman para anggota akan isu gender di ranah lingkungan hidup. Secara berkala Kelompok Kerja tersebut melakukan diskusi/telaah literatur dan ‘berbagi pengalaman dari lapangan’, termasuk mengundang narasumber dari luar. Namun, kelompok kerja ini berakhir dengan berakhirnya proyek. Kelompok kerja di Kemeneg. LH dibentuk kembali dan dijadikan formal dengan dikeluarkanya SK Menteri Lingkungan Hidup No. 103 Tahun 2003 tentang pembentukan Tim Pokja, yatu ketika Kemeneg. LH menjadi pilot proyek DAP (Bappenas, Kemeneg. PP dan CIDA Women Support Project II). Dari hasil kajian evaluasi yang diselenggarakan Bappenas/Kemeneg. PP (2005), menunjukkan bahwa setelah Bapedal dan Departemen Lingkungan Hidup bergabung menjadi Kemeneg. LH pada tahun 2004, Pokja
tersebut
sudah
tidak
aktif
lagi.
Hal
ini
berkaitan
dengan
penggabungan tersebut, yang diikuti dengan restrukturisasi. Banyak anggota Pokja sudah berpindah tempat/struktur. Sebagian menganggap ditempatnya yang baru tidak ada kaitannya dengan isu gender27. Lagi pula ditempatnya
yang
baru,
pimpinan/pengambil
keputusan
tidak
mendukung, sebagian besar karena pimpinan sendiri kurang pemahaman tentang isu gender. Sebagian kecil dari anggota Pokja masih membawa isu gender ke tempat yang baru28. Sisi cerah dari pengabungan ini adalah telah ditunjuk focal point gender setingkat Eselon I. Kajian yang dilakukan 2007 ini, masih memperlihatkan hal yang sama. Di Kemeneg LH, PUG hampir tidak berjalan, kecuali Unit Peran serta Masyarakat yang masih memasukkan isu gender ke dalam kegiatan programnya. Pengarusutamaan Gender di Departemen Pendidikan Nasional
ditangani
oleh kelembagaan fungsional yaitu dalam bentuk Pokja Gender; 27
28
dahulu
Kemungkinan besar, pelatihan yang selama ini diikuti, tidak cukup dipahami di tingkat implementasi. Patut dicatat disini beberapa staf masih terus memperhatikan dan meneruskan minatnya pada isu gender ditempatnya yang baru.
54
dibawah Direktorat Pendidikan Luas Sekolah (SK Pokja DirJen PLS SK Pokja
PUG
dikeluarkanya
Depdiknas SK
Menteri
No.
KEP-89/E/MS/2002),
Pendidikan
RI
No.
peningkatan dari SK Dirjen PLS tersebut diatas,
tetapi
060/P/2007,
dengan sebagai
Pokja Gender Nasional
berada dibawah Sekretaris Jendral dan lembaga Focal point diketuai oleh Direktur Jendral PNFI.
Komposisi keanggotaan Pokja Gender
Nasional
selain melibatkan pejabat dan staf internal juga bergabung pakar gender dari luar, termasuk dari Lembaga Sosial Masyarakat.
Pada unit-unit
utama dibentuk sub-Pokja yang bertugas merumuskan program/kegiatan program yang responsif gender dan melaksanakannya.
Jika keduanya
berjalan efektif, diharapkan maksud dari gender sebagai lintas isu dan lintas unit dapat tercapai.
Persoalan yang dihadapi di Departemen
Pendidikan Nasional, seperti juga di Kementerian/Lembaga lainya adalah ‘terisolasinya’
program/kegiatan
di
masing-masing
unit.
Dengan
dijadikanya gender sebagai isu lintas unit/program dan peran ketua Pokja gender dan Focal point dipegang oleh para pejabat tinggi, maka diharapkan permasalahan ini dapat diatasi. Namun demikian, mengingat kesibukan rutin dan ad Hoc kedua pejabat yang bertanggung-jawab terhadap PUG di Departemen Pendidikan Nasional, maka peran sekretariat yang handal menjadi penting. Mereka yang tergabung dalam sekretariat bukan sekedar petugas administrasi, tetapi seharusnya juga mengerti substansi dari peran Pokja dan focal point. Keadaan yang sama juga terjadi di Departemen Kesehatan. Telah diterbitkan SK Menkes No. 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang dibentuknya Tim PUG-BK. Dalam Surat Edaran yang baru tersebut melibatkan para pengambil keputusan (eselon I) yang duduk sebagai tim pengarah (exoficio); serta Eselon II ditunjuk sebagai gender focal point di unit kerja masing-masing yang bertangung-jawab terhadap pelaksanaan PUG di unit kerjanya. Bergabung dengan PUG-BK adalah pakar gender dari luar yang juga menjadi fasilitator nasional. Dengan ditingkatkannya Tim PUG-BK menjadi
Tim
menempatkan
Nasional, PUG
maka
sebagai
kerancuan
bagian
dari
persepsi
kegiatan
yang
Direktorat
selalu Bina
Kesehatan Ibu (dahulu KESGA) dapat dihilangkan. Seperti halnya dengan Direktorat PLS di Departemen Pendidikan, Direktorat Bina Kesehatan Ibu
55
sebagai penggagas pertama, keduanya dianggap ‘pemilik’ dari kegiatan yang berkaitan dengan PUG. Masuk dalam pola pertama ini adalah Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaaan, dan Kepolisian. b) Kombinasi wadah struktural dengan wadah fungsional. Di Departemen Sosial, secara struktural yang mengurusi PUG berada di Eselon III bercampur dengan mengurusi perempuan, dan bidang lainya.
Oleh
karena Balitbangsos terlibat sebagai pilot project DSA (Bappenas/KPP/ WSP
II
CIDA)
maka
gender
dan
PUG
selalu
dilekatkan
dengan
Balitbangsos. Karena kedudukanya dalam struktur berada di Eselon III, sehingga
ruang
geraknya
untuk
melakukan
PUG
di
lingkungan
Departemen menjadi terbatas. Nomenklatur yang bergabung dengan bidang lain juga rentan untuk ‘terhapus’, apabila misi untuk melaksanakan PUG belum jelas dan belum tersosialisasi dengan baik. Kelompok Gender telah dibentuk yang disebut Pokja Gender Sektor Kesejahteraan diperbaharui
Sosial
melalui
SK
MENSOS
No.7
Tahun
2002
dan
menjadi No. 93/HUK/2005. Selain itu juga dibentuk Tim
Teknis, berdasarkan atas SK Kepala Balitbangsos No. 01/PPJ/KSM/2002. Bersamaan dengan itu juga ditunjuk gender Focal point (tanpa SK). Kegiatan-kegiatan dalam struktur yang umumnya berkaitan dengan kegiatan
rutin
sesuai
dengan
tupoksinya
berjalan
seperti
biasa.
Sedangkan kegiatan Kelompok Gender sebagai wadah fungsional sangat tergantung pada kegiatan-kegiatan berorientasi proyek. (c) Belum ada wadah struktural maupun fungsional. DKP dan LAN masuk ke dalam pola ketiga, yaitu belum mempunyai keduanya, baik struktural maupun
fungsional.
Meskipun
demikian,
kedua
lembaga
tersebut
mempunyai program kegiatan yang gender responsif. Beberapa isu penting berkaitan dengan Kelembagaan: (a) Kedudukan yang rendah secara struktural. Masalah yang dihadapi kegiatan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yaitu ketika
yang
mengurusi PUG berada di Eselon yang rendah. Secara struktural, di
56
beberapa
Kementerian/Lembaga
yang
mengurusi
kegiatan
PUG
ditempatkan pada struktur Eselon III (Depsos) atau Eselon IV. Biasanya digabung bersama-sama dengan urusan bidang lain, seperti agama, olahraga, dan seterusnya. Karena kedudukannya yang rendah secara struktural, sehingga tidak cukup kuat untuk melakukan pengawalan maupun
melakukan
terobosan-terobosan
kedalam
sistem.
Hal
ini
disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam memandang PUG. Umumnya PUG dianggap sebagai suatu program yang berkaitan dengan program yang sudah ada sejak lama yaitu program Wanita dalam Pembangunan. Hanya beberapa Kementerian (Depkes, Depdiknas, dan Deptan) yang sudah mulai memperlakukan gender sebagai cross cutting issues dengan usaha melibatkan semua unit kerja vertikal dan horizontal. Di Depdiknas misalnya, ada satu bidang (tingkat Eselon III) yang mengurusi program-program Perempuan (Bidang Pendidikan Perempuan), sedangkan yang mengurus PUG tempatnya akan berada di Sekretaris Jenderal. Dan dengan dikeluarkannya SK Pokja PUG Depdiknas No. KEP89/E/MS/2007, PUG akan menjadi cross-cutting kegiatan di masingmasing Unit Utama. Sementara ini Direktorat Pendidikan Luar Sekolah (sebagai cikal bakal PUG di Depatemen Pendidikan Nasional), masih tetap berperan sebagai leading unit, sementara lembaga Sekjen belum efektif. Depkes telah mengeluarkan SK Menkes No. 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang Tim PUG Bidang Kesehatan, yang menempatkan Direktorat (Eselon II) sebagai gender focal point yang bertangung-jawab atas pelaksanaan PUG di-masing-masing unitnya dan Eselon I sebagai Tim Pengarah. (b) Wadah fungsional yang belum berfungsi optimal. Wadah fungsional seperti gender focal point, Dewan Pakar, gender fasilitator karena kedudukannya diluar struktur, bekerja lebih lentur sebab itu seharusnya lebih banyak berperan baik dalam mensosialisasikan gender dan PUG, maupun melaksanakannya.
Tetapi tidak semua Kementerian/Lembaga
memiliki wadah-wadah fungsional ini. Wadah fungsional yang paling banyak dipunyai oleh Kementerian/Lembaga yang dikaji adalah gender focal point, meskipun tidak semuanya berfungsi optimal.
57
(c) Peran serta keterlibatan Focal point. Semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki individu-individu/ focal point yang
biasanya sudah
terpapar dengan isu gender (melalui seminar, sosialisasi, pelatihan, dst). Sebab itu mereka berpeluang ikut memberi nuansa gender dalam kegiatannya,
meskipun
tidak
selalu
demikian
dalam
kenyataanya.
Kebanyakan individu-individu yang sama terpapar dengan isu gender melalui berbagai seminar dan pelatihan, akan tetapi tidak mempunyai cukup kekuasaan untuk mengintervensi birokrasi, karena umumnya mereka berasal dari Eselon III atau Eselon IV. Peran gender focal point yang berasal dari Eselon II dan Eselon I jauh lebih
instrumental.
terhadap
pimpinan
Focal
Point
Gender
lembaga/pengambil
dapat
melakukan
keputusan
untuk
advokasi memberi
dukungan politis maupun untuk mengeluarkan SK atauSurat Edaran dan sejenisnya dalam rangka mendukung pelaksanaan PUG. Secara horizontal focal point yang berasal dari Eselon II dan Eselon I sejatinya akan lebih mudah melakukan advokasi pada rekan sejawat, jika dibandingkan dengan focal point yang dijabat oleh Eselon III atau IV. Karena jabatan strukturalnya yang operasional, focal point yang berasal dari Eselon II lebih mudah membentuk kelompok kerja baik di unit kerjanya, maupun dengan unit kerja lainnya. Sebagai contoh di Depkes, sebenarnya jauh sebelum dikeluarkannya SE Menteri
Menkes
878/Menkes/SK/XI/2006
tentang
Tim
PUG
Bidang
Kesehatan, PUG sudah ditangani oleh Direktorat Kesehatan Keluarga (Kesga). Pada mulanya kegiatan PUG dilakukan di Direktorat Kesga dengan
keterlibatan
penuh
Direktur
Kesga
(Eselon
II)
yang
juga
merupakan focal point gender. Kegiatan sosialisasi PUG dan pelatihan analisis gender telah banyak dilakukan dan dihadiri bukan saja oleh staf Kesga tetapi juga dari unit-unit lain. Peran serta keterlibatan penuh gender focal point serta individu-individu yang sudah terpapar dengan isu gender, sangat menonjol dalam proses pelembagaan PUG di Depkes. Direktorat Kesga menjadi leading unit dalam urusan yang berkaitan dengan
gender.
Lebih-lebih
lagi
ketika
Departmen
Kesehatan
cq
Direktorat Kesga menjadi salah satu pilot proyek kegiatan capacity
58
building yang dilakukan oleh Bappenas/KPP/WSP II CIDA. Keikutsertan dalam kegiatan tersebut telah membuka kesempatan untuk memperkuat sumber daya manusia yang handal serta melakukan kegiatan-kegiatan lebih sistematis dan terfokus (pelatihan analisis gender, membuat kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender). Direktorat ini telah melakukan banyak kegiatan-kegiatan sosialisasi dan juga melakukan capacity building secara ekstensif bukan saja di kalangan sendiri, tetapi juga dengan melibatkan unit-unit lain di Depatemen Kesehatan, baik di pusat maupun didaerah (provinsi, kabupaten/kota). Sebab
itu
suatu
payung
legal
diperlukan,
seperti
terlihat
dengan
diterbitkanya Surat Edaran Menkes No. 615/Menkes/VI/2004 tentang Pelaksanaan PUG-BK). Peran serta keterlibatan gender focal point dalam mengeluarkan payung hukum juga terjadi di Dephukham. Focal point yang berasal dari unit Data penuh inisiatif melakukan sosialisasi Gender di unit-unit lingkungan Departemen maupun di lembaga-lembaga yang terkait misalnya dengan mengikutsertakan peserta dari lembaga Kepolisian, lembaga Kejaksaan, Badan Penelitian Hukum Nasional (BPHN). Hasilnya antara lain adalah dikeluarkannya SK Menhukham Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim KKG Bidang Hukum. Meskipun harus diakui, kegiatannya belum crosscutting unit, tetapi lebih pada kegiatan sosialisasi Gender dan PUG. Ketika focal point tersebut diganti karena mutasi, PUG belum melembaga. Kegiatan masih diteruskan oleh focal point penggantinya. Kasus di Depdiknas tidak jauh berbeda. Pada mulanya gender focal point dijabat oleh Direktur Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan gender lekat dengan Direktorat PLS. Sebab itu, ada kesan bahwa PUG itu di Depdiknas adalah domain PLS.29 Sementara itu, sejak tahun 2007, gender focal point untuk Departemen Pendidikan Nasional dijabat oleh Ditjen PNFI, dengan wakilnya dijabat oleh Direktur PLS. Gender focal point akan ditempatkan di Sekjen, sehingga akan lebih mudah menjangkau unit-unit lain. Semua Eselon III bidang perencanaan duduk sebagai Tim Teknis. 29
Hal yang sama juga terjadi dengan Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Departemen Kesehatan
59
Tiga kasus di atas memperlihatkan bagaimana gender focal point berperan dalam meningkatkan kelembagaan gender ke tingkat Kementerian/ Lembaga.
2.4. Peran Pokja Gender Hampir
semua
membentuk
Kementerian/Lembaga
Pokja
gender/PUG.
telah
Meskipun
memiliki
ada
SK
perbedaan
untuk diantara
Kementerian/Lembaga yang dikaji. Pada 22 Mei Tahun 2007, payung legal yang mencakup PUG untuk seluruh Kementerian/Lembaga dikeluarkan berupa SK Menteri tentang PUGBidang Kesehatan. Hampir semua pejabat Eselon I dan II dilibatkan. Panitia Pengarah melibatkan pejabat Eselon I sedangkan pejabat Eselon II (Direktur), menjadi focal point untuk unitnya masing-masing. Dengan melibatkan para direktur sebagai focal point untuk unitnya masingmasing, maka diharapkan pelaksanaan PUG di lingkungan Departemen Kesehatan akan lebih efektif. Di Depdiknas pada mulanya inisiatif melaksanakan Pokja PUG datang dari Direktorat PLS. Tentang pembentukan Pokja Gender dan pembentukan Dewan Pakar Gender, yang melibatkan personel internal serta Pakar Gender dari luar Departemen, termasuk dari Lembaga Sosial Masyarakat, dan kalangan akademisi. Surat Keputusan tersebut diperbaharui setiap tahun dan yang terakhir keluar SK Pokja PUG Depdiknas No. KEP89/E/MS/2007,
yang
antara
lain
mengukuhkan
Dirjen
Pendidikan
Nonformal dan Informal (PNFI) sebagai gender focal point serta direktur Pendidikan Masyarakat sebagai wakilnya. Sejak keluarnya SK Menteri tentang pelaksanaan PUG, maka lebih banyak unit kerja di luar Pendidikan Masyarakat
yang
menindaklanjuti
SK
Menteri
tersebut,
dengan
membentuk kelompok kerja maupun melakukan sosialisasi PUG di unitnya masing-masing. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan pelembagaan PUG: 1. Penunjukkan Eselon II sebagai focal point merupakan terobosan penting mengingat peran dan kedudukannya yang instrumental dan
60
operasional. Di beberapa Kementerian/Kelembagaan, seperti Depkes dan Depdiknas, untuk kelembagaan fungsional selain focal point dan kelompok kerja gender, keberadaan Dewan Pakar juga dikembangkan, dengan melibatkan
pakar gender di kalangan internal dan eksternal
institusi. 2. Ada kecenderungan ketidakjelasan tentang tugas dan kewajiban sebagai focal point; sehingga keberadaan kelembagaan focal point tidak selalu berkerja efektif. Sejatinya harus ada semacam Kerangka Acuan (Terms of Reference) untuk focal point yang relevan dengan keperluan Kementerian/Lembaga masing-masing. Selain itu harus juga dipikirkan semacam insentif untuk memangku jabatan itu. Insentif itu tidak selalu dalam materi saja, tetapi bisa dalam bentuk kewenangan, misalnya duduk dalam tim review program. 3. Focal point seringkali berada dipos ‘tidak penting’ dan ‘bukan penentu’, sehingga ia tidak berdaya untuk menghadapi suatu sistem dengan birokrasi dan hirarki yang kental. 4. Ada kesalahan persepsi tentang pelaksanaan PUG. Pemahaman bahwa PUG
adalah
program/kegiatan
yang
akan
‘mengurangi’
PAGU
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. Oleh sebab itu, pada mulanya
keberadaan
Tim
Pokja
Gender
yang
efektif
biasanya
bersamaan dengan adanya kegiatan suatu proyek. Ketika kegiatan proyek itu selesai, tim Pokja menjadi tidak efektif lagi. Namun beberapa kasus seperti yang terjadi di Depkes dan Depdiknas, tim Pokja yang bermula dari keikutsertaan dalam proyek, tetap berlanjut bahkan melembaga. Dalam hal ini, ada kaitannya dengan peran focal point yang punya komitmen tinggi. 5. Kegiatan PUG di Kementerian/Lembaga biasanya diidentikkan dengan unit kerja yang pertama-tama menangani PUG atau di unit dimana Focal point berada, sehingga ada rasa tidak ‘dimiliki’ sebagai kegiatan Kementerian/Lembaga secara keseluruhan. Sebab itu, untuk waktu yang cukup lama kegiatan PUG di Depdiknas diasosiasikan menjadi
61
kegiatan Direktorat PLS; di Depsos menjadi kegiatannya Balitdiksos; dan di Depkes ada di Direktorat Kesehatan Ibu dan Anak. 2.5. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin Permasalahan ketersediaan data terpilah merupakan masalah klasik yang belum
terselesaikan
Depdiknas
dan
di
Depkes
semua
Kementerian/Lembaga
merupakan
dua
Kementerian
yang
dikaji.
yang
sudah
mempunyai data terpilah di tingkat dasar, yaitu di level sekolah dan Puskesmas. Akan tetapi seperti yang sering diutarakan dalam FGD maupun wawancara dengan responden, data yang sudah terpilah itu diagregat
lagi
di
tingkat
kecamatan.
Alasan
umum
yang
banyak
disebutkan yaitu karena formulir dari provinsi/nasional memang tidak terpilah menurut jenis kelamin. Di hampir seluruh Kementerian/Lembaga yang dikaji mempunyai persepsi bahwa data terpilah itu akan didapat dari Badan Pusat Statistik. Beberapa faktor teridentifikasi sebagai penyebab tidak berkembangnya data terpilah ini:
a. Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan data terpilah, paling tidak yang
tertuang
dalam
suatu
kebijakan/surat
keputusan.
Namun
demikian, ada beberapa inisiatif dari unit/program, seperti Unit Partisipasi Masyarakat di Kemeneg. LH, Depsos, dan Polri sudah memulai mengumpulkan dan menggunakan data terpilah.
b. Tidak tersosialisasi dengan baik alasan mengapa harus mengumpulkan data yang terpilah menurut jenis kelamin. Lagi pula seperti alasan yang
banyak
didengar
yaitu
tidak
ada/kurangnya
permintaan
(demand) dari pengguna akan data terpilah ini;
c. Formulir untuk data seperti yang diterima dari instansi diatasnya juga tidak meminta untuk memilah data menurut jenis kelamin;
d. Kecenderungan umum data yang dikumpulkan dari program/kegiatan tidak tersimpan ke dalam sistem data;
62
e. Alasan yang banyak dikemukakan adalah: mengganti formulir yang ada agar dibagi menurut jenis kelamin dianggap mahal, bukan wewenangnya untuk mengganti, dan karena seharusnya datang dari instansi di pusat. Suatu usaha bersama dengan prakarsa dari Bappenas, Kemeneg. PP serta BPS
untuk
mensosialisasikan
sekaligus
melakukan
pelatihan
untuk
Kementerian/Lembaga (bagian Pusdatin, perencana, pemegang program, dan peneliti) dalam hal bagaimana mengumpulkan data terpilah baik menurut jenis kelamin dan juga menurut kandungan isu gender (gender statistik) dikumpulkan dan dianalisis. Oleh karena jenjang birokrasi masih sangat
kuat,
maka
seharusnya
dikeluarkan
Surat
Keputusan
atau
Peraturan Menteri untuk kegiatan ini. Sudah
ada
inisiatif
dari
beberapa
Kementrian/Lembaga
ke
arah
melembagakan data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin (Depdiknas, Depkes, Depsos, beberapa program di Kemeneg. LH). Beberapa butir penting yang berkaitan dengan ketersediaan data terpilah 1. Isu yang menonjol sebenarnya adalah tidak/kurangnya kemauan politik pimpinan/yang berwenang berkaitan dengan pendataan; tidak ada keharusan melakukan pendataan yang terpilah menurut jenis kelamin dan menyimpannya kedalam data sistem serta keharusan untuk memakai data terpilah dalam melakukan analisis untuk
perencanaan.
responden,
bahwa
Seperti mereka
yang
dikemukan
oleh
para
operator
yang
akan
ibaratnya
mengerjakan apa yang diminta oleh para pimpinan. 2. Langkanya data terpilah dihampir semua Kementerian/Lembaga yang
dikunjungi
merupakan
sesuatu
yang
serius,
jika
Pengarusutamaan Gender akan dilaksanakan di Kementerian/ Lembaga
yang bersangkutan. Apalagi mengingat kelangkaan
data terpilah ini sudah ditengerai sejak lama, sementara sudah ada program/kegiatan yang diklaim telah responsif gender.
63
3. Selama ini memang keperluan untuk melakukan analisis (dengan data terpilah) dalam perencanaan masih belum melembaga. Hal ini
terbukti
dari
formulir
standar
dari
masing-masing
Kementerian/Lembaga yang tidak di disaggregat. 2.6. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) Sumberdaya Manusia yang mau dan mampu melaksanakan dan mengawal pelaksanaan PUG masih amat sedikit. Berbagai kegiatan capacity building sudah relatif lama dilakukan di semua Kementerian/Lembaga. Capacity building dilakukan internal unit maupun bersama-sama dengan unit lain dengan mengundang pakar, dari kementrian Pemberdayaan Perempuan maupun dari sumber internal dan eksternal. Capacity building dalam bentuk sosialisasi gender merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam 7 tahun terakhir ini, akan tetapi hasilnya belum cukup memadai. Dalam kegiatan sosialisasi maupun pelatihan PUG yang lebih terpapar adalah para personel dari Eselon III dan IV. Dari hasil FGD mapun wawancara yang dilakukan di 18 Kementerian/Lembaga memberi indikasi kurangnya minat dari pengambil kebijakan dan pimpinan untuk mengikuti sosialisasi gender dan PUG. Sebab itu wawasan mereka tentang gender dan PUG masih sering rancu yang pada giliranya berdampak terhadap kebijakan yang diambil. Rotasi staf (yang sudah paham dan mampu melakukan gender analisis) yang sering diadakan berdampak terhadap ketersediaan SDM yang handal. Sebenarnya kepindahan mereka justru dapat memanfaatkan keterampilannya dalam hal yang berkaitan dengan gender dan PUG. Akan tetapi ditempatnya yang baru mereka juga menghadapi tantangan baru, yaitu suasana yang tidak kondusif untuk memanfaatkan keterampilannya dalam melakukan analisis gender dan PUG. Keluhan sosialisasi
lain dan
yang
banyak
pelatihan
disampaikan
gender.
adalah
Sosialisasi
dan
mengenai pelatihan
metode gender
seringkali disampaikan dengan cara yang tidak memudahkan orang mengerti dan memahami konsep gender. Materi yang di sampaikan
64
terkadang tidak jelas atau terlalu umum. Selain itu, cara penyampaian dan contoh yang digunakan dianggap membingungkan peserta. Konsep gender dan konsep-konsep yang berkaitan dengan gender, dianggap terlalu teoritis dan tidak menjawab keinginan-tahuan mereka bagaimana kongkritnya melaksanakan PUG jika dikaitkan dengan program/kegiatan sesuai
dengan
tupoksi
Kementerian/Lembaga.
Cara
penyampaian
dianggap tidak menarik dan kurang relevan, karena tidak banyak melakukan latihan-latihan dengan program/kegiatan nyata. Waktu yang disediakan juga kurang untuk mendalami dan diskusi. Keluhan lain adalah fasilitator seringkali dianggap kurang menguasi materi. Dari pihak fasilitator sendiri merasa bahwa sebaiknya pelatihan SDM yang diberikan sesuai dengan tugas dan minatnya. Misalnya mereka yang terlibat dengan perencanaan dapat lebih mudah mengikuti pelatihan analisis gender; sebaliknya sosialisasi kesadaran gender akan lebih bermanfaat untuk para petugas Humas misalnya. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan SDM yang Handal melakukan dan mengawal PUG, sebagai berikut:
a. Mengingat ‘kekurangan SDM yang handal gender’ di unitnya karena sering rotasi staf, dan masih banyaknya personel yang belum mengetahui/memahami konsep gender dan aplikasinya, maka kegiatan sosialisasi dan capacity building pada umumnya untuk tiap-tiap Kementerian/Lembaga tetap masih diperlukan, bersamaan dengan ditingkatkannya pelaksanaan PUG di dalam program dan kegiatannya;
b. Pelatihan yang diberikan (materi dan metode penyampaian) harus disesuaikan dengan keperluan dan latar belakang peserta);
c. Dipikirkan juga untuk melakukan advokasi gender dan PUG bagi para pimpinan internal lembaga agar mereka lebih responsif, aspiratif dan akomodatif terhadap isu gender. 2.7. Kesimpulan Meskipun demikian, sudah ada beberapa kemajuan dalam pelaksanaan PUG, seperti di Depdiknas yang telah berusaha menangani isu gender secara lintas program/lintas unit, serta menempatkan PUG di Sekretaris
65
Jenderal dan membentuk Pokja Gender di tingkat Departemen yang diketuai oleh seorang Direktur Jenderal. Sebuah Peraturan Menteri yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG di Depdiknas dalam dekat akan segera diluncurkan. Selanjutnya, Depkes telah mengeluarkan SK Menteri No. 878/Menkes/SK/XI/2006 yang menunjuk seluruh Eselon I menjadi Tim Pengarah PUG, dan Eselon II menjadi focal point gender di unitnya masing-masing, serta dibentuk fasilitator nasional, termasuk fasilitator dari luar untuk memfasilitasi pelaksanaan PUG bidang pendidikan Sama halnya dengan Depkes yang telah menempatkan isu gender sebagai lintas program/lintas unit, dan menjadikan Eselon II menjadi focal point gender di unitnya. Demikian pula halnya Deptan yang keterlibatan dengan isu perempuan dan gender di pertanian mempunyai sejarah yang panjang. Deptan telah berhasil menjadikan gender sebagai lintas isu/lintas unit.
66
Bab 3. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/ KOTA : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER
Kesimpulan umum dari hasil evaluasi pelaksanaan PUG di beberapa provinsi/kabupaten/kota terpilih yang dilakukan tahun 200530 adalah daerah
tidak
menggunakan
peluang
yang
terbuka dengan
adanya
Otonomi Daerah31 untuk melakukan terobosan-terobosan dalam usaha pembangunan, khususnya pembangunan manusia melalui strategi PUG. Ditengerai bahwa di hampir semua daerah yang dikaji tidak menempatkan kebijakan perencanaan pembangunan manusia, khususnya pembangunan yang menuju kesetaraan gender (kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam segi kualitas hidup) menjadi hal yang penting dan menjadi prioritas di era Otonomi Daerah ini. Dalam eforia Otonomi Daerah yang mengusung semangat
peningkatan
pendapatan
dan
restrukturasi
kelembagaan
pemerintah, serta pemahaman yang masih rancu tentang PUG, harus diakui bahwa urusan melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, yaitu mengintegrasikan isu gender ke dalam kebijakan pembangunan daerah kian termarjinalkan. Bertambah sulit keadaannya ketika daerah harus memilih, dengan “keterbatasan berbagai sumberdaya dan keterbatasan pemahaman tentang perlunya pembangunan manusia”, maka pilihan biasanya
akan
jatuh
pada
program
yang
mudah
kelihatan
keberhasilannya, dibandingkan dengan investasi pada pembangunan manusia yang memerlukan waktu yang lebih panjang untuk melihat hasilnya. Kajian 2005 mentengerai dua isu kritis yaitu:
30
31
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), 2005-2006, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan. Dengan diberlakukanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004
67
1. (peningkatan)
pemahaman
sumber
daya
manusia
(SDM)
dan
(peningkatan) kapasitas lembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG. 2. pengawalan kesepakatan Pemerintah Daerah dalam hal urgensi dan pentingnya (melaksanakan) strategi PUG untuk meningkatkan kualitas manusia. Kajian 2007 memperlihatkan bahwa kedua isu kritis tersebut masih relevan. Namun demikian, dari hasil kajian 2007 juga memperlihatkan adanya kemajuan dalam beberapa indikator proses, dibandingkan dengan hasil
evaluasi
tahun
2005
yang
lalu.
Bahkan
di
beberapa
provinsi/kabupaten/kota terpilih memperlihatkan adanya kemajuan yang cukup berarti dilihat dari capaian implementasi. Memang masih banyak tantangan menghadang, yang berkaitan dengan masalah konsistensi dan keberlanjutan hasil capaian. Masalah utama masih tetap menyangkut persoalan rendahnya pemahaman gender/PUG dan persoalan bagaimana mengaplikasikannya ke dalam program nyata. Tentu saja ini bukan tantangan yang mudah untuk diatasi. Terlebih lagi pelaksanaan PUG masih relatif baru dan lebih ‘liat’ karena menyangkut perubahan mindset. Bab III menguraikan hasil kajian pelaksanaan PUG di tingkat daerah32 dengan fokus pada dua hal; pertama mengacu pada 5 tolak ukur yang dipakai dalam kajian ini di tataran proses dan yang kedua pada tataran praksis seraya mencermati kedua isu kritis tersebut di atas.
PUG dalam Kebijakan/Program Pembangunan Daerah
3.1. Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi: tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis Isu gender dalam pembangunan, datang ke daerah tepat waktu dan tepat asas, tetapi berpotensi luput menggunakan kesempatan. Tepat waktu, karena instruksi mengharuskan semua sektor pembangunan di tingkat
32
Di luar 3 provinsi yang dikaji tahun 2005, dipilih tujuh provinsi untuk kajian 2007 ini, yaitu Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara); dan 7 kabupaten/kota terpilih ditetapkan oleh provinsi yang bersangkutan, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bogor, Kabupaten Semarang, Kabupaten Lombar, Kota Banjarmasin, Kota Manado.
68
nasional maupun daerah untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam keseluruhan proses perencanaan (Inpres No. 9 Tahun 2000) datang bersamaan dengan adanya pergeseran dari pendekatan yang sentralistik ke pendekatan yang desentralistik yang dibawa oleh Otonomi Daerah. Dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah di Indonesia, maka sejumlah kekuasaan dan tanggung-jawab berada di tangan pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten/kota. Kesempatan besar itu sekaligus merupakan tantangan luar biasa bagi daerah. Karena daerah diharapkan dapat
memanfaatkan
terobosan,
kesempatan
melalui
ini
untuk
program/kegiatan
melakukan
pembangunan
terobosan“termasuk
pelaksanaan PUG” yang lebih cocok dengan keadaan dan aspirasi daerah. Tepat
asas,
berasaskan
karena
dengan
tatalaksana
maraknya
pemerintahan
semangat
yang
baik,
reformasi
yang
demokratis
dan
berkeadilan, pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat menjadi peluang, sebagai ‘entry point’ yang instrumental untuk melaksanakan strategi
PUG
yaitu
mengakomodasi
suatu
suara
dan
strategi aspirasi
pembangunan perempuan
yang dan
demokratis,
laki-laki
serta
berkeadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) dalam berpartisipasi dan menikmati (hasil) pembangunan dan pada gilirannya mencapai kesetaraan seperti terukur dalam berbagai kualitas hidupnya termasuk hubungan sosial di antara keduanya (kesetaraan gender). Namun harapan besar yang disandarkan pada otonomi daerah ini banyak yang luput dimanfaatkan oleh daerah. Meskipun PUG di daerah sebagai kebijakan pembangunan daerah sudah dilengkapi dengan sejumlah payung hukum, yaitu: 1. KepMendagri
No.
132
Tahun
2003
tentang
Pedoman
Umum
Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah; 2. Surat Edaran Mendagri No. 411 Tahun 2006 tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dan PUG di Daerah; 3. Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Indikator Kinerja (meskipun tidak spesifik, tetapi relevan bagi pelaksanaan PUG) .
69
Masing-masing daerah pun telah menindaklanjutinya dengan kesepakatan politik dalam berbagai bentuk. Semua provinsi, kabupaten/kota yang dikaji
sudah
memiliki
wadah
struktural
dan
fungsional
mengelola/
mengawal pelaksanaan PUG. Akan tetapi pada tatanan praksis, “kecuali di beberapa
provinsi/kabupaten/kota”,
implementasinya
tidak
berjalan
seperti yang diharapkan. 3.2. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyarat Di beberapa daerah, walaupun telah memiliki sebagian besar dari 5 prasyarat PUG, namun pelaksanaan PUG tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, terdapat daerah tanpa kelengkapan prasyaratan ideal telah melaksanakan PUG meskipun baru pada program/kegiatan terbatas. Proses pelaksanaan PUG di daerah umumnya dapat dibagi ke dalam 3 pola umum33. Pola pertama adalah daerah masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal seraya tetap melanjutkan program/kegiatan Perempuan dalam Pembangunan (WID). Pola kedua adalah masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal tetapi sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan dengan mengaplikasikan strategi PUG, walaupun masih bersifat ad hoc. Pola ketiga adalah prasyaratan ideal masih belum terpenuhi, sudah melaksanakan PUG dengan fokus pada isuisu tertentu. Akan tetapi kegiatan masih terisolasi sebagai kegiatan Pokja atau unit kerja yang berinisiatif. PUG belum dipakai sebagai strategi untuk mengintegrasikan
isu
gender
ke
dalam
perencanan
program
pembangunan dan juga belum dilihat sebagai isu lintas bidang/unit kerja (cross-cutting issue). Pola pertama, merupakan pola yang paling umum ditemukan di daerah. Pelaksanaan
PUG
di
daerah
umumnya
masih
pada
tahap
proses
kelengkapan prasyaratan, belum sampai pada aplikasi pelaksanaan PUG. Semua 33
daerah
yang
dikaji,
baik
di
tingkat
provinsi
maupun
Ketiga pola tersebut bersifat arbitrar, yaitu bertolak dari opini umum. Dalam kajian ini bentuk kategorisasi tersebut. dipakai untuk kepentingan diskusi. Karena dalam kenyataan tidak terjadi kategorisasi yang eksklusif, selalu saja ada proses serta unsur masing-masing pola bercampur satu dengan lainya.
70
kabupaten/kota,
telah
memiliki
SK
Gubenur/Bupati/Walikota
yang
berkaitan dengan pembentukan tim (koordinasi) Pokja Gender.34 Namun tidak selalu semua stakeholders terkait ”bahkan di kalangan internal lembaga/unit
kerja
baik
vertikal
maupun
horizontal”
mengetahui
keberadaan payung hukum tersebut. Umumnya, hanya orang-orang yang terlibat langsung atau namanya tercantum dalam surat keputusan tersebut yang mengetahui keberadaannya. Sosialisasi
mengenai
SK
tersebut
hampir
tidak
pernah
dilakukan.
Seringkali hanya disampaikan ala kadarnya dalam kegiatan capacity building
yang
berkaitan
dengan
peningkatan
penyadaran
gender,
pelatihan analisis gender, dan sebagainya. Umumnya kegiatan capacity building itu dilakukan, difasilitasi dan disiapkan materinya oleh Pemerintah Pusat (baik dari oleh Kemeneg. PP, maupun oleh Kementerian/Lembaga Teknis). Sebagai bagian dari materi yang diberikan dalam sosialisasi, disebutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang keharusan melaksanakan PUG di semua sektor, di semua lapisan pemerintahan, akan tetapi seringkali luput menyentuh keberadaan payung hukum lokal. Harus diakui – seperti juga keluhan dari (peserta) daerah – bahwa mereka yang membawakan
sosialisasi itu kebanyakan lebih bertindak
sebagai operator dengan orientasi lokal yang terbatas. Sebagai akibatnya, kehadiran Surat Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota seringkali tidak menjadi acuan. Kebijakan yang eksplisit responsif terhadap isu gender tertera dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. Tetapi ada juga yang disebutkan di dalam dokumen Renstrada seperti di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah (2003-2008). Namun, kebijakan itu tidak selalu tercermin dalam program/kegiatan pembangunannya. Program/kegiatan yang diakui (claimed) sebagai hasil melaksanakan PUG; sebenarnya masih merupakan
kelanjutan
Pembangunan
dari
(Kabupaten
program/kegiatan Kampar;
Kabupaten
Perempuan Semarang;
dalam Kota
Banjarmasin). Pemahaman PUG sendiri diartikan sebagai program dengan 34
Di beberapa Daerah disebut TP4 (Tim Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan, dikeluarkan dengan SK Gubernur.
71
fokus pada perempuan, sehingga timbul persepsi umum bahwa PUG adalah program khusus untuk perempuan. Program/kegiatan lainnya yang berkaitan dengan gender di daerah adalah capacity building, dalam bentuk sosialisasi gender dan atau pelatihan melakukan
analisis
gender.
Kementerian/Lembaga
teknis
Kegiatan terkait
dari
tersebut pusat.
difasilitasi Seperti
oleh
misalnya,
Depdiknas melakukan capacity building dengan memfasilitasi pelatihan piranti GAP, sosialisasi bahan ajar yang responsif gender, penyusunan position paper dengan dana block grant.35 Beberapa departemen teknis seperti Depkes dan Dephukham juga mempunyai kegiatan sosialisasi dan penguatan kelembagaan serta pelatihan bagi dinas masing-masing di daerah. Demikian juga halnya dengan Kemeneg. PP masing-masing kedeputian mempunyai program dana stimulan dalam bentuk kegiatan sosialisasi dan pelatihan analisis gender untuk daerah. Block grant atau dana stimulan itu berasal dari APBN. Bentuknya sebagai proyek dari sektor teknis yang terkait, maka waktu sosialisasi dan/atau pelatihan diberikan relatif pendek dan terputus-putus, menyesuaikan dengan dana pembangunan yang turun setiap tahun. Sebab itu tidak jarang daerah menjadi obyek sosialisasi gender dari berbagai instansi, bahkan dari berbagai kedeputian dari instansi yang sama-- dalam waktu yang hampir bersamaan. Pemantauan dan evaluasi dari block grant dan dana
stimulan
hampir
tidak
pernah
dilakukan,
kecuali
dari
segi
administrasi. Dengan demikian dari sudut kuantitas sosialisasi dan pelatihan analisis gender di daerah sudah sering dilakukan, akan tetapi pemahaman tentang gender dan PUG serta aplikasinya masih belum memadai. Hal ini tercermin dari keluhan peserta, antara lain diekspresikan oleh peserta pelatihan dari Kabupaten Kampar: ‘Sosialisasi sudah sering dilakukan, tetapi pemahaman tentang gender dan PUG masih belum mantap’. ‘Sudah disosialisasikan dalam 3 tahun terakhir ini, tapi belum diimplementasikan’ (Peserta dari Provinsi Sulawesi Utara). 35
Depdiknas telah memberikan sosialisasi dan pelatihan analisis gender di hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
72
Dari
segi
kualitas,
beberapa
permasalahan
teridentifikasi
berkaitan
dengan waktu yang disediakan, pelatihan, materi yang diberikan, dan metode
penyampaian.
Dari
segi
waktu,
misalnya
antara
kegiatan
sosialisasi dan kegiatan pelatihan seringkali diberi jatah waktu yang tidak jauh berbeda. Padahal untuk kegiatan pelatihan, memerlukan waktu yang jauh lebih panjang dari kegiatan sosialisasi. Akibatnya, kegiatan pelatihan analisis gender sebenarnya tidak lain adalah sosialisasi piranti analisis gender. Materi
sosialisasi
dan
pelatihan
sering
daerah/lembaga/SKPD
yang
berkaitan/tidak selalu
cocok dengan
diberikan
bersangkutan
di
sehingga
kebutuhan
luar
tidak
daerah
konteks dianggap
(Kabupaten
Semarang). Sebagai akibatnya, pemahaman yang didapat hanya sampai tingkat wacana. Beberapa ekspresi yang diberikan oleh beberapa orang yang pernah mengikuti pelatihan dari berbagai daerah memberikan gambaran kenyataan yang ada: ‘terlalu teoritis’; ‘perlu contoh-contoh kongkrit yang cocok dengan program/kegiatan yang ditangani’; ‘perlu diikuti dengan praktek-praktek’. Masalah lain adalah yang berkaitan dengan metode penyampaian yang seringkali dilakukan tanpa memperhitungkan target sasaran. Keluhan dari para pimpinan dan pengambil keputusan adalah bahwa penyampaian sosialisasi itu seringkali dianggap ‘tidak cocok’, baik dari segi cara maupun waktu.
Cara-cara
penyampaian
dalam
bentuk
role
play
misalnya,
dianggap ‘kekanak-kanakan’ dianggap tidak sesuai dengan wibawa yang mereka sandang; demikian juga dengan waktu yang terlalu lama dianggap tidak sesuai dengan kegiatan-kegiatan mereka. Bentuk advokasi dengan penyampaian data dan informasi yang relevan dianggap cara yang efektif bagi mereka. Sebaliknya, dari hasil wawancara dengan eks-peserta sosialisasi dan pelatihan (termasuk dari Eselon III dan IV), cara-cara advokasi yang lebih disukai adalah komunikasi dua arah, sedangkan untuk pelatihan lebih disukai bila ada praktek dan metode role play. Keluhan
lain
adalah
mengenai
fasilitator
yang
dianggap
‘kurang
menguasai’ materi, cara penyampaian, dan ‘medan yang akan digarap’. Tentu yang dimaksud disini adalah fasilitator yang bertindak lebih sebagai
73
operator hanya berbekal paparan, tanpa pemahaman yang cukup tentang gender
dan
PUG,
pengalaman
serta
fasilitator,
pelatihan,
‘budaya’
kantor
diidentifikasi
pertanyaan-pertanyaan
setempat.
bahwa tentang
dalam gender
Dari
beberapa
sosialisasi
dan
sangat
luas
menyangkut agama, sosial-budaya, ekonomi, politik serta konsep-konsep di luar konsep gender yang bisa menyulut perdebatan sengit sampai penolakan-penolakan. Oleh sebab itu, fasilitator gender tidak cukup bila hanya dilengkapi dengan materi generik tentang gender, tetapi juga harus dilengkapi
dengan
pemahaman
yang
luas
tentang
apa,
mengapa,
bagaimana dan disampaikan secara bijak dan bermakna oleh para fasilitator. Kegiatan pelatihan diikuti oleh peserta dengan latar belakang yang beragam; meskipun sebenarnya pelatihan analisis gender dirancang untuk mereka yang terlibat dengan perencanaan dan/atau mereka yang terlibat dalam analisis. Sebagai akibatnya, bagi peserta pelatihan yang tidak berlatar belakang perencanaan pembangunan menghadapi kesulitan, baik dari segi substansi maupun minat yang dibangun. Selain itu, pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari pelatihan tidak akan diaplikasikan. Sebaliknya ada peserta dari bagian perencanaan yang sudah berkali-kali mengikuti
pelatihan,
pekerjaanya.
tetapi
Alasannya
tidak
adalah
pernah
‘belum
mengaplikasikan
cukup
percaya
diri
dalam untuk
melakukan’; ‘tidak ada keharusan untuk melakukan’; dan ‘sudah banyak sosialisasi tapi apa yang perlu dilakukan’ (Peserta dari Kabupaten Lombok Barat). Selain itu banyak peserta sosialisasi dan pelatihan analisis gender bukan orang yang mengambil keputusan’. Dari segi kelembagaan, secara struktural di pemerintahan daerah maupun di
SKPD,
dimasukkan
sebagai
program/kegiatan
yang
mengurusi
(pemberdayaan) perempuan dari suatu unit kerja di tingkat sub-bidang di Eselon IV (Kabupaten Bogor, Kabupaten Kampar, Kabupaten Semarang, Kota Manado, Kabupaten Lombok Barat) atau di Eselon III (di Provinsi Riau, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarmasin, Provinsi Nusa Tenggara Barat). Pemberdayaan
74
Perempuan dimasukkan ke dalam seksi atau bidang bersama-sama dengan
program
lain
misalnya
yang
mengurusi
agama,
olahraga,
kesejahteraan sosial, keluarga berencana, pemakaman, dan sebagainya. Karena persepsi umum, PUG disamakan dengan program/kegiatan khusus yang menyangkut perempuan. Sebagai contoh di Kabupaten Kampar, Bidang BPMP yang membawahi sub-bidang Pemberdayaan Perempuan dan sub-bidang lainnya, menyerahkan penanganan program-program yang berkaitan dengan isu gender termasuk PUG kepada sub-bidang Pemberdayaan Perempuan. Karena eselonnya yang relatif rendah (berada di Eselon III dan Eselon IV) dalam struktur pemerintahan, maka banyak menemui hambatan birokrasi untuk dapat melakukan advokasi atau mengarusutamakan gender pada program/kegiatan atau unit-unit lain di internal lembaga. Penempatan ini berhubungan dengan persepsi yang keliru, yaitu memahami PUG sebagai suatu program khusus untuk perempuan dan bukan menempatkannya sebagai strategi yang lintas isu maupun lintas unit kerja. Secara fungsional di semua daerah yang dikaji sudah terbentuk pokja gender di lingkungan unit kerja dimana pokja itu ditempatkan, dengan Surat Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi, Surat Keputusan Bupati/Walikota untuk tingkat kabupaten/kota, menyusul dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan No. B. 110/Menteri PP/Dep.II/IX/2003, tentang dibentuknya Pokja Gender serta KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah. Selain Pokja Gender, di semua daerah yang dikaji juga mempunyai kelembagaan fungsional lain seperti focal point gender. Di beberapa daerah juga dilengkapi dengan Forum Komunikasi PUG. Ketersediaan dan penggunaan data dan informasi dalam perencanaan pembangunan
masih
merupakan
masalah.
Belum
semua
SKPD
mempunyai data terpilah menurut jenis kelamin. Akan tetapi di beberapa SKPD di Provinsi Sumatera Barat seperti Kesehatan, Pendidikan dan Sosial, sudah mempunyai data terpilah menurut jenis kelamin. Belum sepenuhnya dipahami pentingnya mengumpulkan data terpilah serta kegunaannya untuk melakukan analisis gender, sehingga usaha ke arah
75
itu belum banyak dilakukan. Beberapa daerah (Kabupaten Sragen dan Kota Banjarmasin) menyebutkan ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin pada Kabupaten/Provinsi dalam Angka yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) atau pada hasil penerbitan Pusat Studi Wanita (PSW). Tetapi data tepilah menurut jenis kelamin hasil dari program maupun yang dikumpulkan untuk perencanaan program di masing-masing SKPD dan perencanaan daerah pada umumnya hampir tidak pernah dilakukan. Justru PKK yang telah mempunyai data terpilah untuk (beberapa) program/kegiatannya. Depdiknas untuk tingkat sekolah dan Depkes untuk tingkat Puskesmas rutin mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin sesuai dengan formulir yang disediakan. Akan tetapi karena tidak ada yang memberikan penjelasan untuk apa dan mengapa data terpilah itu dilakukan, maka seringkali data yang sudah terpilah tersebut digabung lagi di tingkat kecamatan dan ditingkat yang lebih atas. Permasalahan kurang tersedianya data terpilah menurut jenis kelamin adalah karena selama ini belum ada keharusan untuk mengumpulkan data secara terpilah. Persoalan yang lebih besar barangkali juga terletak pada belum terlembaganya langkah analisis, terlebih lagi analisis gender dalam proses perencanaan program/kegiatan pembangunan di daerah. Bila analisis gender diintegrasikan dalam perencanaan program/kegiatan pembangunan di daerah, maka tentu data-data yang diperlukan akan dipersiapkan dengan lebih baik, termasuk data yang terpilah menurut jenis kelamin. Dengan tidak melembaganya analisis gender dalam proses perencanaan pembangunan, maka hampir tidak ada data dasar (baseline data) yang diperlukan untuk menyusun suatu program. Alasan yang juga sering dikemukakan adalah formulir dari pusat juga tidak mengharuskan data dipilah menurut jenis kelamin. SDM yang memahami isu gender dan PUG masih sangat terbatas baik dari segi jumlah maupun substansi. Meskipun kegiatan capacity building seperti sosialisasi peningkatan kesadaran gender dan pelatihan analisis
76
gender dilakukan hampir setiap tahun, akan tetapi tidak ada catatan berapa sebenarnya jumlah SDM yang pernah ikut pelatihan. Diakuinya bahwa pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari pelatihan itu masih dalam tahap wacana, belum mampu dituangkan ke dalam
program/kegiatan
pembangunan
nyata
yang
sesuai
dengan
tupoksinya. Seperti yang diterangkan di atas, dari hasil uji materi, waktu dan cara yang diberikan dalam sosialisasi dan pelatihan, memperlihatkan:
a. Dari segi substansi, materi yang diberikan sangat terbatas dan sifatnya umum, teoritis, dan tidak relevan dengan konteks daerah/ tupoksi. Dengan kata lain, sosialisasi dan pelatihan kurang memakai materi yang relevan atau memakai materi dari para peserta sendiri, sehingga peserta kurang dapat mengenali permasalahannya. Selain itu, materi yang diberikan tidak memberikan jawaban yang memuaskan terhadap masalah-masalah yang masih kontroversial ini. Maka dapat dimengerti jika peserta dalam sosialisasi – bahkan yang sudah ikut berkali-kali – merasa belum paham dan terlebih lagi mampu melaksanakan PUG dalam program/kegiatan nyata.
b. Dari sudut waktu yang diberikan biasanya sangat pendek karena kegiatan ini merupakan kegiatan proyek yang terbatas waktunya. Misalnya
untuk
pelatihan
analisis
gender
–
yang
seharusnya
memerlukan waktu yang lebih banyak – hanya disediakan waktu yang sama
dengan
melakukan
sosialisasi;
sifatnya
ad
hoc,
tidak
berkesinambungan. Muncul kesan bahwa sosialisasi dan pelatihan yang diberikan selama ini merupakan kegiatan proyek ‘asal telah dilakukan, tidak jelas bagaimana hasilnya’.
c. Dari
sudut
metode
penyampaian,
fasilitator
memakai
bentuk
komunikasi searah. Tidak memberi waktu yang cukup untuk diskusi isu di luar materi yang diberikan, meskipun masih relevan. Pola kedua tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Keduanya masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan. Masalah-masalah yang ditengerai pada pola pertama, juga merupakan masalah di pola kedua.
77
Perbedaannya adalah pada pola kedua sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan PUG meskipun seringkali masih bersifat ad hoc. Di beberapa Pemerintah Daerah dan juga SKPD, tanpa menanti terpenuhinya 5 prasyaratan tersebut, telah melakukan pengarusutamaan gender di beberapa
program/kegiatan
pembangunannya.
Kementerian/Lembaga
terkait serta lembaga donor memegang peran penting dalam proses ini yaitu melalui program block grant (Kementerian/Lembaga) maupun melalui lembaga donor dalam bentuk proyek ujicoba. Depdiknas misalnya memberikan block grant untuk beberapa kegiatan program pembangunan pendidikan yang responsif terhadap isu gender pada satuan kerjanya di daerah36. Program/kegiatan yang responsif gender juga dibawa oleh lembaga donor/agensi internasional seperti misalnya dalam bentuk proyek ujicoba ataupun bantuan teknis lainya, melalui Pemda atau SKPD terpilih. Sebagai contoh Kabupaten Bogor dari ADB; Kabupaten Wonosobo dari UNFPA; Provinsi Sulawesi Selatan dari CIDA; kabupaten-kabupaten Gowa, Lebak, dan Jayapura dari UNDP. Selain itu, Kemeneg. PP sudah 3 tahun terakhir ini memberikan dana stimulan ke daerah. Pada mulanya dana stimulan dimaksudkan untuk mendorong daerah mengaplikasikan Inpres No. 9 tahun 2000. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, masing-masing kedeputian Kemeneg PP juga mempunyai dana stimulan yang dipakai sesuai dengan masing-masing misi kedeputian. Dengan dijadikannya Kabupaten Bogor sebagai Kota Tanggap Gender melalui bantuan dari ADB, maka berbagai kegiatan dan pelatihan dilakukan yang sifatnya melibatkan banyak stakeholders. Dukungan politik diwujudkan dalam bentuk SK Bupati No. 460 Tahun 2006 tentang dibentuknya
Tim
Koordinasi
Pemberdayaan
Perempuan,
setelah
sebelumnya dibentuk Pokja. Tim Koordinasi Pemberdayaan Perempuan melibatkan banyak stakeholders. Selain itu, pada tahun 2007 Kabupaten Bogor telah melibatkan 27 SKPD dan 10 program dalam pantauan Bappeda dan Pemberdayaan Perempuan dan 53 focal point gender. Sosialisasi dan pelatihan gender diberikan untuk SKPD. Misalnya telah dilakukan sosialisasi gender dan PUG, pelatihan bagi calon fasilitator; 36
Berkaitan dengan PUG, Depdiknas memberi prioritas pada beberapa isu kritis, yaitu: kebijakan, bahan ajar, dan capacity building.
78
pelatihan GAP untuk Eselon IV, penyusunan statistik gender (2006). Pada tahun 2007, kegiatan itu ditambah lagi dengan pengembangan materi KIE gender, pelatihan untuk Kasi Kecamatan, sosialisasi KDRT, pembuatan RPK dan pusat pelayanan terpadu, mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam musrenbang yang responsif terhadap isu-isu gender. Bentuk penguatan kelembagaan di pola kedua meskipun masih banyak dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan (analisis gender), namun juga sudah mulai dengan mengaplikasikannya. Selain beberapa program yang dibawa melalui proyek ujicoba, Departemen juga memberikan block grant dengan program dan kegiatannya. Depdiknas misalnya memberikan block grant bagi hampir semua provinsi, kabupaten/kota. Melalui kerjasama dengan PSW setempat telah melakukan telaah dari perspektif gender tentang kebijakan pendidikan di daerah yang bersangkutan. Selain itu SKPD setempat (termasuk provinsi-provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara) telah menyusun position paper yang berkaitan dengan isu gender di bidang pendidikan di daerahnya masing-masing. Berdasarkan position paper yang mereka siapkan, Depdiknas memfasilitasi pertemuan bagi daerah untuk membuat rencana kerja yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG bidang pendidikan di daerah masing-masing. Di beberapa SKPD seperti Provinsi Jawa Tengah, telah mengeluarkan panduan untuk bahan ajar yang responsif terhadap isu gender. Beberapa SKPD seperti Dinas Pertanian di Kabupaten Bogor telah melakukan pengarusutamaan isu gender ke dalam 3 program dengan 7 kegiatan. Selain
melalui
proyek
ujicoba,
kesadaran
akan
isu
gender
dan
peningkatan keterampilan SDM melakukan analisis gender sudah menjadi kepedulian beberapa Kementerian/Lembaga, seperti terlihat dari block grant yang disediakan. Meskipun secara umum block grant diperlakukan sebagai proyek “seperti telah diuraikan di atas” akan tetapi beberapa SKPD
di beberapa daerah telah memanfaatkan dengan baik. Misalnya
Provinsi Jawa Tengah yang telah memanfaatkannya dana block grant dari Depdiknas dengan menghasilkan panduan bahan ajar yang responsif gender,
pengembangan
model
Sekolah/Pendidikan
79
Peka
Gender.
Kehadiran pilot project dan/atau block grant dimanfaatkan oleh daerah (Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bogor) untuk melakukan advokasi pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan anggaran
yang
memadai.
Masalahnya
adalah
tanpa
dana
block
grant/stimulan, belum dapat dipastikan apakah daerah kabupaten/kota masih akan meneruskan kegiatan ini atau terhenti. Apakah hasil pelatihan ditindak lanjuti? Beberapa Pemerintah Daerah (Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sumatera Barat) sudah mengalokasi anggaran dari APBD untuk kegiatan PUG maupun sebagai dana pendamping jika daerahnya menjadi pilot project. Seperti halnya di tingkat nasional, perencanaan pembangunan di tingkat provinsi
dan
kabupaten/kota
juga
merupakan
kerja
kolektif
yang
melibatkan berbagai stakeholders baik internal lembaga maupun eksternal dan juga melibatkan banyak proses. Sehingga program/kegiatan SKPD yang sudah gender masih harus terus dikawal dan dipertahankan sampai mendapatkan anggarannya. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa meskipun program/kegiatan yang responsif gender hasil dari pelatihan maupun pilot proyek sudah terdokumentasi, tidak dengan sendirinya dapat di implementasi, karena sebab-sebab yang disebutkan di atas. Pada pola kedua secara struktural tidak berbeda dengan pola pertama. Beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat, menempatkannya di tingkat Eselon II, sehingga kehadirannya lebih bermakna dalam melakukan PUG baik secara internal maupun eksternal. Demikian halnya dengan wadah fungsional; kehadiran proyek
ujicoba
yang
melibatkan
banyak
stakeholders,
membangun
jejaring yang kuat dan berfungsi. Selain Pokja Gender, terbangun bentuk jejaring lain seperti Kaukus Legislatif, Forum Pengkajian Pemberdayaan Perempuan
dan
Anak,
Forum
Koalisi
Komunikasi
Pemberdayaan
Perempuan (Provinsi Sumatera Barat). Contoh lain terlihat di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Yogyakarta, yang memiliki sub-sub kelompok kerja yang menangani masalah terfokus,
80
dalam bentuk gugus tugas atau sub-bidang37. Kelembagaan fungsional ini lebih berjalan dan berfungsi dalam menangani isu gender, membangun jejaring dan membangun kepemilikan di antara stakeholders, ketika wadah
struktural
Pemberdayaan
Perempuan
memainkan
perannya
sebagai koordinator dan fasilitator. Di samping payung politik, pada pola kedua umumnya masih ada Surat Keputusan/Surat Instruksi dari pimpinan yang dikeluarkan berkenaan dengan adanya proyek ujicoba/kegiatan dekonsentrasi. Surat Keputusan/ Surat Instruksi tersebut menunjuk nama-nama yang terlibat dengan kegiatan baik secara langsung maupun ex officio. Namun, SK/Surat Instruksi tersebut hampir tidak tersosialisasi. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang terlibat atau orang yang disebut namanya dalam SK/Surat Instruksi yang mengetahui dan mendapatkan salinannya. Karena keterlibatannya dalam proyek ujicoba dan/atau kegiatan block grant, serta dana stimulan, maka daerah tersebut mempunyai program/ kegiatan yang secara eksplisit memang dirancang agar responsif terhadap isu-isu
gender.
Misalnya,
Kabupaten
Bogor
mempunyai
program
penyusunan statistik gender, pembuatan RPK dengan Rumah Sakit dan Pemda. Keterlibatan dengan proyek juga memungkinkan SDM lebih terlibat langsung dan lebih intens terpapar dengan analisis gender dan PUG. Akan tetapi dalam hitungan jumlah, tidak terlalu banyak (sebagian besar bahkan tidak terdokumentasi). Pada umumnya proyek ujicoba maupun kegiatan block grant serta dana stimulan bekerja secara ‘eksklusif’, di unit yang bertanggung jawab terhadap proyek ujicoba, kegiatan blokc grant atau dana stimulan. Di luar kegiatan-kegiatan tersebut, SDM lainnya, -termasuk para pimpinan/pengambil kebijakan-- tidak banyak terlibat. Kekurangan SDM diatasi dengan mengoptimalkan keterlibatan pakarpakar gender dari luar, PSW, serta dari LSM.
37
Kedua provinsi yang terakhir tidak termasuk daerah yang dikaji pada tahun 2007, tetapi Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang dikaji pada tahun 2005. Tim Kajian juga terlibat dengan beberapa kegiatan evaluasi, antara lain untuk Anugrah Parahita, yaitu anugrah yang diberikan bagi daerah yang melaksanakan PUG dengan baik, dimana beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti Provinsi Sumatera Utara dan DI Yogyakarta, menjadi subyek telaah dan kajian.
81
Persoalan lain yang berkaitan dengan SDM adalah perpindahan staf yang terlalu sering terjadi. SDM yang sudah dilatih misalnya bisa menduduki tempat atau menjadi staf di unit yang dianggap di luar domain gender. Apalagi ketika staf yang bersangkutan berpindah ke unit lain, seringkali staf tersebut tidak mengaplikasikan keterampilan analisis gender yang telah dipelajarinya di tempat yang baru. Anggaran pada pola kedua ini selain dari dana APBD untuk kegiatan rutin pemberdayaan perempuan sesuai dengan tupoksi bidang atau seksi, juga tersedia dana untuk kegiatan piloting ataupun dari APBN melalui block grant. Salah satu unsur dari kedua kegiatan yang disebutkan belakangan adalah untuk penyelenggaraan capacity building (sosialisasi, advokasi dan pelatihan); meskipun masih terbatas dalam lingkungan unit kerja dimana proyek ujicoba atau kegiatan block grant itu ditempatkan/terlibat. Ketersediaan dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin masih merupakan masalah. Bahkan dengan adanya kegiatan pilot proyek yang sensitif terhadap isu gender, tidak dengan sendirinya ketersediaan, penggunaan dan pelembagaan data terpilah menurut jenis kelamin ini menjadi prioritas. Pola ketiga diwakili oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Kedua provinsi ini termasuk yang telah maju dalam usaha melaksanakan PUG.38 Dengan atau tanpa bantuan block grant, dana stimulan dan sejenisnya, Biro Pemberdayaan Perempuan sudah menjadi ‘motor’ untuk pelaksanaan PUG. Fenomena yang menarik untuk disebutkan adalah bahwa kemajuan yang dicapai itu pada umumnya tidak lepas dari tokoh (‘the singer) yang menakhodai kegiatan ini, yang pada umumnya paham terhadap apa yang mau dilakukan, penuh inisiatif, percaya pada ampuhnya jejaring dengan melibatkan stakeholders yang terkait. Selain itu, semua daerah yang termasuk dalam pola ketiga, menempatkan pengelola PUG ada dalam struktur birokrasi yang cukup tinggi yaitu Eselon II.
38
Keduanya mendapatkan Parahita Eka Praya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kemeneg. PP berkaitan dengan pelaksanaan PUG di daerah masing-masing.
82
Namun harus diakui bahwa sebenarnya secara internal di lingkungan Pemda sendiri, di luar Biro Pemberdayaan Perempuan, pelaksanaan PUG tidak terjadi. Program/kegiatan yang berkaitan dengan PUG dianggap menjadi ranahnya Biro Pemberdayaan Perempuan. Sebenarnya, Biro Pemberdayaan Perempuan dapat lebih berkiprah secara internal dengan melakukan sosialisasi/advokasi maupun pelatihan bagi bagian/biro lain di lingkungan Pemda. Wadahnya dalam struktur yang berada di Eselon II sangat instrumental untuk melakukan advokasi maupun melakukan pelatihan untuk mengintegrasikan gender sebagai isu lintas biro, bidang atau bahkan sektor. Karena wadahnya dalam struktur cukup tinggi, pola ketiga, pada umumnya menyiapkan anggaran yang secara eksplisit diperuntukkan bagi pemberdayaan
perempuan
dan
pelaksanaan
PUG.
Bahkan
jumlah
anggaran dari APBD, semakin tahun semakin meningkat (di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah). Di tingkat kabupaten, Kabupaten Sidoarjo masuk dalam kategori pola ketiga ini. Program dan kegiatan di pola ketiga ini lebih eksplisit menangani isu gender. Sesuai dengan tupoksinya, Biro Pemberdayaan Perempuan Pemda Provinsi Sumatera Utara misalnya, memfasilitasi dan memanfaatkan jejaring dari segi implementasinya. Sebagai contoh, memfasilitasi LSM untuk membuka Rumah Singgah Korban Kekerasan/Trafficking di Medan; memfasilitasi rumah lansia mandiri di Binjai. Tim Koordinasi Pokja Gender di Pola ketiga juga sudah lebih melembaga dan berfungsi. Pertemuan rutin serta komunikasi antar anggota Pokja cukup intensif. Tim Koordinasi melibatkan sektor-sektor terkait dan masyarakat madani yang dibagi ke dalam beberapa pokja dan bekerja dengan fokus pada masing-masing isu yang telah disepakati untuk ditangani dengan perspektif gender. Prioritas isu ditentukan atas dasar analisis sesuai dengan masalah-masalah lokal yang ditangani bersama. Provinsi Sumatera Utara misalnya mengambil prioritas dengan fokus KDRT, Trafficking dan pekerja anak; Provinsi Jawa Tengah mengambil
83
fokus pada wajib belajar39. Dengan memberi fokus pada masalah nyata (yang mengandung isu gender yang pekat) hasil dari kesepakatan dari para stakeholders terkait, serta kerja dan hasil yang nyata dari jejaring gender, maka pro dan kontra tentang isu gender menjadi tidak relevan. Karena isu gender ditangani, diintegrasikan ke dalam program/kegiatan, tanpa harus selalu menyebut-nyebut kata gender. Pada tahapan pola ketiga, perubahan-perubahan dalam hal persepsi mengenai gender dan PUG juga diperlihatkan dalam banyak hal. Di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah dan juga di Kabupaten Sidoarjo misalnya, kalangan eksekutif maupun legislatif sudah mulai memberi perhatian pada isu gender pada umumnya dan PUG pada khususnya. Para responden dari kalangan eksekutif di Provinsi Sumatera Utara misalnya mengutarakan bahwa banyak pertanyaan-pertanyaan dari beberapa anggota DPRD di Komisi E mengenai program/kegiatan yang berkaitan dengan PUG di SKPD masing-masing. Oleh karenanya, kalangan eksekutif juga harus mempersiapkan jawaban dan alasan-alasannya, yang pada gilirannya ‘memaksa’ untuk memahami dan menangani isu gender ini dengan baik. Meskipun pemahaman yang keliru tentang gender di kalangan eksekutif dan yudikatif masih ada, akan tetapi bentuk tidak setuju yang konfrontatif sudah melemah. Sebaliknya, contoh konkrit dukungan terhadap PUG diperlihatkan oleh pimpinan dan anggota DPRD Komisi E Provinsi Sumatera Utara; demikian pula halnya dengan komisi yang menangani anggaran. Hal ini terlihat dari jumlah anggaran untuk melaksanakan PUG selalu bertambah dari tahun ke tahun; juga terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Biro Pemberdayaan Perempuan dan Pemda Provinsi Sumatera Utara serta Provinsi Jawa Tengah dapat menjadi contoh best practise bagaimana Biro Pemberdayaan Perempuan menempatkan kedudukannya sesuai dengan tupoksinya, yaitu sebagai fasilitator, koordinator dan motivator/advokasi. Peran itu bukan saja diakui oleh anggota Pokja, tetapi juga oleh masyarakat umum. Seperti dalam kasus trafficking dan KDRT, Biro Pemberdayaan Perempuan sering menerima pengaduan/laporan langsung 39
Di beberapa tempat yang tidak masuk daerah kajian, seperti DI Yogyakarta, Kabupaten Tanah Datar, juga memberikan prioritas pada beberapa fokus yang akan menjadi target PUG.
84
dari anggota masyarakat melalui on line yang dibuka untuk keperluan tersebut. Akan tetapi dalam penanganannya diserahkan pada masingmasing gugus tugas yang bertanggung-jawab untuk menangani. Dalam menangani kasus KDRT maupun trafficking, melibatkan lintas unit, lintas instansi, Perguruan Tinggi (PSW) dan masyarakat madani, sehingga tanpa mereka menyadari sebenarnya mereka telah melakukan PUG dalam bentuk nyata. Peran dan fungsi Pemda cq Biro Pemberdayaan Perempuan sebagai koordinator dan fasilitator serta melakukan advokasi semakin diakui.
Seperti
yang
diungkapkan
oleh
Kepala
Biro
Pemberdayaan
Perempuan Pemda Provinsi Sumatera Utara, ‘surat dari Biro PP sudah cukup untuk menggerakkan instansi lain yang terkait utuk bergerak’. SDM Biro Pemberdayaan Perempuan yang paham dan dapat melakukan PUG masih sedikit. Kebanyakan yang sudah paham dengan isu gender maupun analisis gender adalah Eselon III dan 4, yaitu mereka yang sering mengunjungi seminar, terpapar dengan pelatihan (analisis) gender, atau terlibat aktif dalam kegiatan proyek ujicoba atau block grant. Akan tetapi karena pergantian staf/pejabat cukup sering, maka kemampuan yang diperoleh belum melembaga. Masih banyak pimpinan/pejabat/perencana/ staf yang kurang memahami PUG. Bahkan masih banyak pejabat/staf di luar Biro Pemberdayaan Perempuan yang tidak pernah mengetahui adanya
Inpres
No.
9
Tahun
2000.
Atau
payung
hukum
tentang
pelaksanaan PUG yang dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota. Seperti juga dengan kedua pola lainnya, ketersediaan serta penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin belum menjadi prioritas di pola ketiga. Patut diduga bahwa masalah mendasar tidak terlembaganya data terpilah ini ada kaitannya dengan tidak melembaganya penggunaan data –apalagi data terpilah— untuk tujuan analisis maupun perencanaan. Beberapa Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di Provinsi Sumatera Utara dengan difasilitasi oleh Biro Pemberdayaan Perempuan sudah memulainya dengan mengharuskan data dan informasi yang terkumpul terpilah menurut jenis kelamin. Menindaklanjuti
evaluasi
2005
yang
lebih
menitikberatkan
pada
ketersediaan prasyarat untuk melaksanakan PUG, maka kajian kali ini
85
lebih berfokus pada implementasi ke 5 prasyarat tersebut. Tim Kajian membagi pelaksanaan PUG ke dalam 3 pola. Akan tetapi pembagian pola itu tidak dimaksudkan untuk membuat klasifikasi yang kaku, namun lebih dimaksudkan untuk keperluan diskusi. Karena dalam kenyataannya, unsur-unsur serta kasus-kasus yang ada tidak eksklusif kepunyaan atau terjadi di pola tertentu. Bisa saja unsur yang ada di pola satu juga terdapat di pola dua atau di pola tiga; demikian pula sebaliknya. Fenomena lain adalah kelengkapan prasyarat untuk melakukan PUG, tidak berjalan
liner
dengan
pelaksanaan
PUG.
Dari
uraian
di
atas
memperlihatkan bahwa meskipun prasyarat untuk melaksanakan PUG belum sepenuhnya terpenuhi, tetapi di beberapa daerah sudah melakukan implementasi PUG; sebaliknya meskipun prasyarat belum terpenuhi semuanya, PUG sudah dilaksanakan dengan cakupan yang terbatas. 3.3. Tantangan pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Secara umum pelaksanaan PUG di tatanan perencanaan pembangunan belum terlaksana baik. Akan tetapi beberapa daerah telah menunjukkan kesungguhannya.
Desentralisasi
yang
efektif
diimplementasikan
per
tanggal 1 Januari 2001 telah secara nyata berpengaruh terhadap pelaksanaan PUG di daerah. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dengan hampir tanpa limitasi
dan
kondisi,
bukan
tanpa
konsekuensi.
Sementara
itu,
pemahaman mengenai gender dan PUG masih rancu. Kemudian, detail prosedur standar operasional untuk melaksanakan PUG juga belum tersedia, meskipun sebenarnya sudah dikeluarkan KepMendagri No. 132 Tahun
2003
tentang
Pedoman
Umum
Pelaksanaan
PUG
dalam
Pembangunan Daerah. Hasilnya adalah tanggapan daerah beragam dalam interpretasi dan menyikapi pelaksanaan PUG ini. Pada umumnya, pemahaman mengenai gender dan PUG direduksi sebagai suatu program, khususnya program yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Sebab itu, dalam struktur administrasi ditempatkan bercampur bersama-sama dengan program-program lain pada satu unit kerja (Eselon IV atau III). Karena karena pemahaman yang kurang tersebut, maka umumnya gender dan
86
PUG tidak ditempatkan sebagai prioritas dalam rancangan pembangunan. Hal ini bertolak belakang dengan RPJMN 2004-2008 yang menekankan PUG sebagai suatu strategi pembangunan yang harus diarusutamakan ke dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Namun ada beberapa daerah yang lebih tanggap dan menempatkan isu gender dalam proses perencanaan secara bermakna dan menempatkan wadah yang mengurusi PUG pada struktur yang lebih instrumental yaitu di Eselon II. Dalam proses melaksanakan PUG di era desentralisasi yang kedua-duanya relatif baru di Indonesia ini sulit untuk mendokumentasikan semua isu dan pengalaman yang mempunyai dampak yang luas dan berjangka panjang. Lagipula, masih terlalu dini untuk menilai apakah pelaksanaan PUG di daerah
sudah
berjalan
sebagaimana
diharapkan,
mengingat
umur
keduanya (PUG dan desentralisasi) belum cukup 8 tahun. Beberapa butir penting yang (berpotensi) berdampak terhadap jalannya pelaksanaan PUG di daerah. Akan tetapi ada beberapa lessons learned yang harus dicermati: •
pemahaman
yang
masih
sering
keliru
tentang
pelaksanaan
desentralisasi dan PUG, sangat berpotensi mereduksi PUG menjadi program atau bahkan menjadi kegiatan. •
Karena
kegiatan
menganalisis
sosialisasi
gender
gender
diperlakukan
dan
seperti
pelatihan proyek
keterampilan
dengan
waktu
pelatihan yang kurang memadai, maka hasilnya adalah rendahnya pemahaman
mengenai
gender
dan
isu
gender
dan
kurangnya
keterampilan melakukan analisis gender dengan baik dan benar. •
Dukungan politik untuk melaksanakan PUG (SK Gubernur, Bupati, Walikota) tidak cukup tersosialisasi.
•
Ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin masih menjadi masalah. Meskipun kenyataan ini sudah ditengerai selama beberapa tahun belakangan ini baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, akan tetapi hampir tidak ada usaha untuk menanggulanginya. Demikian pula halnya dengan pemutahiran data. Konsekuensinya adalah kebijakan dan perencanaan program pembangunan dibuat tidak
87
berdasarkan menurut
data,
jenis
khususnya data
kelamin.
mengumpulkan
data
dan
Diusulkan
(terpilah
informasi
untuk
yang terpilah
memulainya
menurut
jenis
dengan
kelamin)
dari
kegiatan/program yang sedang ditangani. Bersamaan dengan itu diberi keterampilan
bagaimana
mengumpulkan
dan
mengunakan
data
terpilah bertolak dari kegiatan program yang ditangani. •
persoalannya keterampilan
bukan
semata-mata
untuk
melakukan
karena
masih
analisis
rendahnya
gender
dan
mengintegrasikannya ke dalam perencanaan pembangunan, akan tetapi isu kritis di sini adalah keharusan melakukan analisis sebenarnya masih belum melembaga. •
proses perencanaan program pembangunan sampai mendapatkan anggaran dan implementasinya, adalah proses yang panjang dan melibatkan
banyak
pihak,
perencana’
(musrenbang,
yang SKPD,
seringkali anggota
di
DPRD
luar
‘jangkauan
termasuk
yang
menentukan anggaran untuk menyebut beberapa diantaranya). Isu kritis di sini adalah bahwa yang tepapar dengan isu gender dan yang memiliki keterampilan melaksanakan PUG melalui sosialisasi dan pelatihan (dengan segala kekurangan yang telah disebutkan di atas), bukan selalu orang yang terlibat dalam proses perencanaan itu, bisa jadi juga bukan orang yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan; bukan
juga
orang
yang
bisa
mengawal
keseluruhan
proses
perencanaan program pembangunan. Sehingga apa yang sering terjadi adalah
meskipun
beberapa
perencanaan
progam/kegiatan
sudah
mengintegrasikan isu gender, bahkan sudah terdokumentasi, tidak dengan sendirinya dapat diimplementasikan. Sosialisasi dan advokasi serta pengawalan harus terus dilakukan secara tepat (sasaran dan waktu). •
Di beberapa provinsi, kabupaten/kota yang dikaji, fokus PUG masih terlalu luas dan bersifat umum. Dengan segala kekurangan yang dihadapi daerah untuk melaksanakan PUG, masa isu kritis di sini adalah pelaksanaan PUG yang berpotensi gagal. Beberapa daerah menyikapi keadaan ini dengan lebih bijak, yaitu berfokus pada isu strategis yang menjadi kepedulian bersama. Misalnya di Provinsi
88
Sumatera Utara berfokus pada beberapa isu yaitu Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
(KDRT),
hak
asasi
anak,
serta
trafficking.
Melaksanakan PUG (di beberapa) program yang konkrit dan yang dapat diukur keberhasilannya dalam waktu dekat dan yang dapat menjadi show case. Misalnya ketersediaan data terpilah; program yang menjadi prioritas daerah/lembaga. •
Meskipun Pokja Gender sudah ada di seluruh daerah yang dikaji, tetapi tidak semuanya berfungsi. Misalnya di beberapa daerah tidak ada agenda kerja, tidak ada pertemuan (rutin) setelah Pokja terbentuk. Namun di sebagian daerah seperti Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah, Pokja sudah berfungsi dengan baik, sesuai dengan tujuan membuat Pokja. Di Provinsi Sumatera Utara misalnya, Pokja dibagi ke dalam beberapa gugus-tugas sesuai dengan isu yang ditangani. Dengan demikian, Pokja bekerja dengan fokus yang lebih jelas
dan
terukur
dalam
menangani
permasalahan.
Bentuk
kelembagaan fungsional seharusnya melibatkan stakeholders internal maupun eksternal sehingga menciptakan jejaring kerja yang luas dan beragam. Secara de Jure, prasyarat untuk melaksanakan PUG sudah ada, tetapi pada tatanan praksis, PUG berjalan lambat dan belum/tidak dilaksanakan secara tepat. Beberapa faktor penyebab adalah: a. Dukungan Politik masih di tingkat wacana, masih ada kesulitan untuk menterjemahkannya ke dalam perencanaan pembangunan; b. Dukungan politik baru pada level eksekutif; dukungan legislatif belum terlihat
Æ
dukungan
mereka
pembangunan/perencanaan
diperlukan
anggaran.
dalam
Perencanaan
perencanaan pembangunan
adalah proses politik; melibatkan proses yang panjang dan banyak stakeholders (eksekutif, legislatif, masyarakat madani) yang belum tentu responsif terhadap isu gender dalam pembangunan. c. Pemahaman PUG belum tuntas, perubahan lain terjadi Æ dengan diaplikasikannya otonomi daerah (UU No. 22 tahun 1999; UU. 23
89
tahun 1999) Æ berimplikasi pada status kelembagaan yang menangani PUG, yaitu reduksi kewenangan. d. Pemahaman gender dan PUG yang masih rancu: •
menyamakan
dengan
(keperluan)
perempuan
Æ
sudah
ada
program (PKK, P2WKSS); sudah ada yang menangani Biro/Unit/ seksi PP •
memandang gender dan PUG terlalu teoritis dan sulit dipahami, Æ menjadi beban
•
tidak relevan dan terkait dengan
keperluan sektor/programÆ
karena tidak disosialisasi secara tepat dan benar e. Dampaknya Isu Gender dalam perencanaan pembangunan: •
tidak diterima secara utuh
•
tidak konsisten dilaksanakan
•
tidak diperlakukan sebagai isu lintas bidang/unit kerja/program
•
pemahaman
tereduksi
sebagai
program
atau
proyek
khusus
perempuan, menjadi ranah biro/unit/program yang menangani perempuan •
tidak prioritas
90
BAB 4. ANALISA GENDER DALAM PERENCANAAN PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN: KEMENTERIAN/LEMBAGA TERPILIH
Tujuan kedua dari kajian adalah menghasilkan beberapa perencanaan program/kegiatan pembangunan terpilih yang responsif gender dari beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji. Beberapa Kementerian/ Lembaga yang dikaji tersebut sebenarnya sudah mempunyai beberapa program yang responsif gender sebagai hasil dari kegiatan capacity building yang pernah diadakan oleh Bappenas dan Kemeneg. PP di tahun 2001-2002 di 9 Kementerian/Lembaga terpilih. Sebagai hasilnya, dalam REPETA (2001-2004) yang kemudian diganti menjadi PROPENAS (20012004), tercatat 38 program pembangunan – yang merupakan tanggung jawab dari 9 Kementerian/Lembaga tersebut – yang sudah responsif terhadap isu gender.40 Akan
tetapi
PROPENAS
dengan
adanya
(2001-2004)
peralihan
menjadi
RPJMN
rencana
pembangunan
(2004-2009),
maka
dari ke-38
program pembangunan dalam REPETA 2004 yang sudah dibuat responsif gender itu mengalami perubahan dalam penyusunan RPJMN 2004-2009. Sebagai akibatnya, hampir tidak ada program RPJMN 2004-2009 yang tertuang dalam RKP yang secara eksplisit responsif terhadap isu gender. Padahal disebutkan secara jelas dalam RPJMN 2004-2009 bahwa gender merupakan salah satu dari empat isu yang harus di arus-utamakan dalam perencanaan program pembangunan41. Bertolak dari kenyataan ini, BAPPENAS dan Kemeneg. PP memandang perlu untuk melanjutkan PUG dalam perencanaan program pembangunan seperti yang diamanatkan oleh Inpres No. 9 Tahun 2000 dan RPJMN 2004-2009.
Untuk
keperluan
tersebut
Bappenas
dan
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan kembali memfasilitasinya pada 18 Kementerian
40 41
Lihat Bab 1 Lihat RPJMN 2004-2009 Bab 12 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
91
terpilih42. Mengingat luasnya cakupan yang harus dilakukan, telah disepakati untuk memulainya dengan beberapa program
prioritas atau
beberapa tema yang dipilih sendiri oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. Dalam melakukan analisis gender terhadap program/ kegiatan tersebut akan menggunakan alat analisis Gender Analysis Pathway (GAP). 4.1.
Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kegiatan bersama menganalisa gender ini adalah: (1) Kementerian/Lembaga terpilih memiliki beberapa (rancangan) program pembangunan yang responsif gender; (2) adanya transfer of knowledge, karena kegiatan bersama menganalisa gender ini sekaligus dimaksudkan sebagai bagian dari capacity building melalui learning by doing, melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam program-program
kegiatan mereka sendiri; (3)
membangun
kepemilikan melalui keterlibatan langsung, sehingga pengalaman dan keterampilan yang didapat dari kegiatan bersama ini membangun rasa kepemilikan (sense of ownership); dan (4) membangun jejaring, sebab bekerja bersama dengan stakeholder lainnya akan membangun jejaring kuat yang diperlukan dalam melaksanakan PUG.
4.2.
Proses Analisis
Kegiatan
analisis
gender
dirancang
dalam
bentuk
suatu
lokakarya
pelatihan analisis gender berdurasi 3 hari. Dari 18 Kementerian/Lembaga peserta lokakarya, 9 diantaranya (Kemeneg. KUKM, Kemeneg. LH, Dephukham, Depdiknas, Depkes, Deptan, Depnakertrans, dan Depsos) adalah “alumni” dari dari kegiatan piloting PUG Bappenas-KPP 2001-2002. Peserta
dari
masing-masing
Kementerian/Lembaga
yang
diundang
sebanyak 2 orang dan diharapkan berasal dari atau mereka yang berkaitan dengan perencanaan program. Masing-masing membawa dan bekerja
dengan
program/kegiatan
Kementerian/Lembaganya.
42
Beberapa
atau
tema
yang
Kementerian/Lembaga
dipilih peserta
Ke-18 Kementerian/Lembaga tersebut adalah: Kemeneg. PAN, Kemeneg. Ristek, Kemeneg. LH, Kemeneg. KUKM, Dephukham, Depdagri, Depdiknas, Depkes, Deptan, DKP, Depnakertrans, Depsos, BKKBN, LAN, BKN, MA, POLRI, dan Kejagung.
92
lokakarya membawa program/kegiatan yang akan dianalisa, yaitu: 1) Depkes (Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Sumber Daya Kesehatan melalui Inisiatif Desa Siaga ); 2) Depdiknas (Program Pendidikan Non Formal melalui Inisiatif Pemberantasan Buta Aksara); 3) Depsos (Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya melalui Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Usaha Kesejahteraan Sosial); 4) Deptan (Program
Peningkatan
Pengembangan
Usaha
Kesejahteraan Agribisnis
Petani
Perdesaan);
5)
melalui Kemeneg.
Inisiatif KUKM
(Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro melalui Inisiatif PERKASA); 6) Depnakertrans (Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja melalui perlindungan TKW); 7) LAN (Program Sumber Daya Manusia Aparatur melalui Kegiatan Peningkatan kemampuan manajerial dan kepemerintahan). Dengan demikian diharapkan setelah selesai pelatihan, mereka sudah memiliki rancangan program kegiatan yang responsif terhadap isu-isu gender. Atau sedikitnya, mempunyai konsep yang akan ditindaklanjuti. Peserta lokakarya dari ke-16 sektor yang datang mengikuti pelatihan, dibagi dan bekerja ke dalam 3 kelompok43. Dalam kenyataanya, peserta yang datang ke lokakarya dimaksud adalah mereka yang mewakili atau tidak selalu berasal dengan latar belakang perencanaan. Beberapa Kementerian/Lembaga hanya mengirim satu orang peserta. Hanya beberapa Kementerian/Lembaga membawa hasil analisis yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Akan tetapi sebagian besar peserta tidak membawa data dan atau program/kegiatan yang akan dianalisis. Secara keseluruhan, lokakarya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Adapun sebabnya, antara lain adalah keterbatasan dalam hal: Waktu Kesulitan pertama adalah mencari waktu yang tepat bagi fasilitator dan peserta dari 18 Kementerian/Lembaga. Kesibukan-kesibukan rutin dan yang bersifat ad hoc di internal lembaga masing-masing, membuat waktu mereka terbatas untuk menghadiri pelatihan; hari pelatihan yang telah 43
Ada dua Kementerian, yaitu wakil dari Depdagri dan Kemeneg. PAN tidak mengirimkan wakilnya.
93
ditetapkan itupun tidak dapat dipenuhi oleh sebagian peserta. Sehingga diputuskan masing-masing kelompok hanya akan mengikuti lokakarya dalam 1 hari saja, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lokakarya untuk 3 kelompok itu diadakan tanggal 2,3 dan 5 Oktober 2007. Penyajian dari para peserta tidak dapat dilakukan semuanya, sehingga sebagian luput dari komentar para fasilitator. Beberapa Kementerian/Lembaga terutama yang sudah terpapar dengan pelatihan analisis gender sudah mempersiapkan program yang sudah dianalisis sebelumnya, sehingga waktu dilokakarya dipakai untuk diskusi dengan fasilitator. Bagi yang tidak selesai, pekerjaan itu dibawa kembali ke instansi masing-masing untuk dibahas secara internal. Hasilnya kemudian diserahkan kepada fasilitator untuk mendapat komentar dan perbaikan. Akan tetapi, tidak semua pekerjaan kembali lagi ke fasilitator. Beberapa matriks hasil program/kegiatan yang sudah responsif gender terlampir (lihat lampiran). Peserta Ada 2 Kementerian/Lembaga (Kemeneg. PAN dan Depdagri) yang tidak mengirimkan wakilnya dalam lokakarya. Dengan demikian, hanya ada wakil dari 16 Kementerian/Lembaga yang berpartisipasi dalam lokakarya. Meskipun telah diminta dalam undangan untuk mengirimkan wakilnya dari Biro Perencanaan, akan tetapi peserta yang datang dan berpartisipasi tidak
selalu
orang
yang
tepat.
Pemahamaan
analisisnya juga masih terbatas, sehingga mengenai
konsep-konsep
dasar
gender
tentang
gender
dan
harus dilakukan penjelasan dan
PUG,
mengapa
perlu
dilakukan analisis gender. Waktu lokakarya terpaksa dibagi sebagian untuk sosialisasi gender, dan sisanya untuk analisis gender. Dengan demikian, telah mengurangi waktu untuk melakukan analisis gender yang memang sudah terbatas itu.
Akibatnya hasil analisis gender menjadi
kurang optimal. Fasilitator Fasilitator yang tersedia untuk lokakarya selama 3 (tiga) hari hanya 2-3 orang untuk memfasilitasi para peserta dari 16 Kementerian/Lembaga. Sebagian besar Kementerian/Lembaga mengirimkan wakil lebih dari 1 orang, sehingga perbandingan antara peserta dan fasilitator kurang
94
seimbang dan kurang memadai. Keterbatasan ini turut mengurangi effectiveness
lokakarya,
sebab
para
peserta
harus
antri
dalam
mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan fasilitator. Selain itu, diskusi yang lebih mendalam dengan fasilitator terutama dalam aspek analisis
faktor-faktor
kesenjangan
gender
menjadi
sangat
terbatas
waktunya.
Materi Masing-masing peserta lokakarya diharapkan untuk membawa program/ kegiatan
ataupun
kebijakan
yang
dipilih
berikut
data-data
yang
diperlukan. Akan tetapi seperti disebutkan diatas tidak semua peserta membawa program/ kegiatannya. Fasilitator menyiapkan materi yang berkaitan dengan PUG dan menyajikannya berserta piranti analisis gender GAP. Fasilitator menerangkan lebih lanjut tentang piranti analisis gender GAP ketika mendampingi dan membantu peserta selama mereka bekerja dalam kelompok. Hasil analisis berupa matriks yang sebagian besar masih memerlukan perbaikan-perbaikan.
4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih Dari
hasil
lokakarya
sehari
melakukan
analisis
gender
pada
program/kegiatan yang diikuti oleh wakil dari 15 Kementerian/Lembaga, memperlihatkan ada beberapa Kementerian/Lembaga lebih siap dalam melakukan analisis gender. Tampaknya ada hubungan yang positif antara kesiapan melakukan analisis gender dengan faktor keterpaparan (expose) sumber daya manusia/kementerian/Lembaga yang bersangkutan dengan analisis gender. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Kementerian/Lembaga antara lain seperti Depkes, Depdiknas, Depsos, Deptan, Kemeneg. KUKM, Depnakertrans, LAN. Kementerian/Lembaga yang disebutkan tadi -kecuali LAN- adalah ‘alumni” dari kegiatan piloting PUG yang diprakarsai oleh Bappenas dan KPP dengan difasilitasi CIDA melalui Women Support Project
II
(2001-2002).
Kementerian/Lembaga
‘alumni’
Namun piloting
95
demikian, PUG
tidak
tersebut
semua
melanjutkan
keterampilan
yang
sudah
didapat
sebelumnya.
Kemeneg.
LH
dan
Dephukham, misalnya, yang juga merupakan alumni model pilot PUG Bappenas-KPP tidak memperlihatkan keterampilan analisis itu dalam lokakarya. Seperti disebutkan pada BAB 2, banyak faktor kendala yang dihadapi Kementerian/Lembaga dalam mengupayakan pelaksanaan PUG. Tetapi faktor utama yang ingin digaris-bawahi disini adalah dukungan nyata dan ajeg dari pimpinan termasuk pimpinan unit kerja. Dari Kementerian/ Lembaga yang dinilai siap dan cukup berhasil dalam melaksanakan PUG analisis gender, semuanya memiliki tokoh pimpinan (gender champion) yang secara ajeg mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan PUG. Paling tidak menjadi ‘motor’ di unitnya masing-masing. Hal ini biasanya juga ditandai
dengan
berfungsinya
dua
mekanisme
penting
dalam
melaksanakan PUG yaitu Pokja Gender dan sumber daya manusia yang terampil melakukan analisis gender.
4.4. Best Practice Sebagai best practice dalam melaksanakan PUG, bagian ini akan membagi pengalaman dari 3 Kementerian/Lembaga, yaitu Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Pertanian. a. Departemen Kesehatan. Menindaklanjuti Inpres No. 9 tahun 2000 Menteri Kesehatan menerbitkan SK Menkes RI No. HK.00.SJ.SK.I.1712 tanggal 13 September 2002 tentang Tim Pengarusutamaan Gender Depkes dengan Ketua (Pengarah) Dirjen Binkesmas dan Focal point (Pelaksana) Direktur Bina Kesehatan Keluarga (Ketua) dan Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran (Wakil Ketua). Setelah PUG dilaksanakan selama empat tahun diterbitkan SK Menkes yang baru untuk mengakomodasi perkembangan yang ada, yaitu bahwa PUG telah dan akan dikembangkan ke seluruh unit utama di Depkes. Kalau pada awal pelaksanaan PUG terkesan terpusat di Direktorat Jenderal Binkesmas, maka pada tahun 2006 PUG dilaksanakan oleh semua unit utama. Di dalam SK No. 878/Menkes/SK/XI/2006 ditetapkan adanya 11 Focal point di 11 Unit Utama, dengan Kepala Biro Perencanaan
96
dan Anggaran sebagai Koordinator Perencanaan PUG dan Direktur Bina Kesehatan Ibu sebagai Koordinator Pengembangan PUG. Dengan demikian semua pejabat Eselon I mempunyai seorang Focal point (salah seorang pejabat Eselon II) untuk mengembangkan dan memantau pelaksanaan program-program responsif gender di lingkungannya, yang jumlahnya makin banyak. Dalam mengembangkan strategi pengarusutamaan gender sesuai Inpres No. 9 tahun 2000, sejak awal Depkes telah menetapkan piranti GAP guna menganalisa program-program pembangunan kesehatan untuk dijadikan responsif gender. Dengan bantuan narasumber gender dari luar Depkes dilakukan sosialisasi, advokasi dan pelatihan gender (termasuk GAP) kepada para perencana dan penanggung jawab program di lingkungan Depkes secara terencana dan berkelanjutan dari tahun ke tahun. Pada Repeta 2003, 6 program/sub-program prioritas telah berhasil dijadikan responsif gender, yaitu
Making Pregnancy Safer (MPS), Tuberkulosis,
Malaria, HIV/AIDS, Gizi, dan Kesehatan Lingkungan. Pada Repeta 2004, program/sub-program yang digenderkan berjumlah 17 buah, dan pada Repeta 2006 menjadi 34 program/sub-program. Secara bertahap Depkes juga mengadakan sosialisasi dan advokasi gender dan PUG kepada para perencana dan penanggung jawab program di Provinsi. Untuk membantu kelancaran dan sustainabilitas pelaksanaan PUG di Pusat maupun di Provinsi, telah dibentuk Kelompok Fasilitator PUG-BK (PUG Bidang Kesehatan) tingkat Nasional, tingkat Pusat dan Provinsi (33 orang). Dalam pengembangan PUG ini Depkes juga difasilitasi oleh Bappenas dan KPP, serta dukungan teknis dari lembaga donor. Beberapa dokumen yang telah dihasilkan antara lain: 1) Panduan PUG-BK (2002), Analisis Gender dalam Pembangunan Kesehatan dan Berbagi Pengalaman (2002 – Depkes kerjasama Bappenas dan CIDA), 3) Panduan Pelayanan Kesehatan Responsif Gender bagi Petugas Kesehatan (2005 – Depkes kerjasama AusAID), 4) Modul Pelatihan PUG-BK, Depkes kerjasama WHO-SEAR). Selanjutnya, untuk ke depan telah direncanakan beberapa kegiatan yaitu: 1) Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam program Depkes di
97
RPJMN yang akan datang; 2) Menyusun/memantapkan data terpilah menurut jenis kelamin dari data Susenas; 3) Menyusun rencana aksi nasional (RAN) PUG-BK 2007-2009, 4) Menyusun rencana kerjasama dengan lembaga donor guna mendukung rencana aksi PUG-BK, 5) Meningkatkan kampanye PUG-BK, dan 6) Memperkuat pemantauan dan evaluasi PUG-BK. b. Departemen Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) termasuk dalam piloting PUG yang difasilitasi oleh Bappenas, KPP dan Women Support Project II – CIDA (2001-2002). Departemen ini juga menjadi bagian dari program global UNESCO, Education for All (2000) dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan PUG. Depdiknas menyadari kurangnya kapasitas lembaga tersebut, mulai dari pemegang keputusan, peneliti, perencana, pengelola, hingga pelaksana program dan stakeholder lainnya, maka untuk melaksanakan PUG di bidang pendidikan sejak 2003 difokuskan pada peningkatan capacity building dengan materi yang relevan dan nyata. Kegiatan capacity building ini mencakup: 1) pengembangan
kebijakan
pengembangan
dan
peraturan,
program
yang
kelembagaan,
responsif
dan
gender;
mekanisme
2)
yang
mendukung pelaksanaan PUG bidang pendidikan; 3) pengembangan kualitas SDM untuk meningkatkan komitmen dan dukungan terhadap pelaksanaan PUG di bidang pendidikan dan meningkatkan keterampilan melakukan analisis gender. Untuk operasionalisasinya dibentuk Tim Pokja Gender yang terdiri dari berbagai unsur, selain internal juga melibatkan Dinas terkait (Biro Pusat Statistik)
Pusat
Studi
Wanita,
LSM
yang
menangani
gender
dan
pendidikan, serta pakar gender. Tim Pokja diketuai oleh Direktur Pendidikan Luar Sekolah dan dibantu oleh Tim Sekretariat. Pada mulanya (2003),
kegiatan
PUG
bidang
Pendidikan
bertempat
di
Direktorat
Pendidikan Luar Sekolah (PLS), sehingga menimbulkan kesan PUG merupakan kegiatan Direktorat PLS. Akan tetapi dengan dikeluarkannya SK
Menteri
Pendidikan
RI
No.
060/P/2007
tentang
Pembentukan
Kelompok Kerja PUG Bidang Pendidikan maka diperjelas bahwa PUG bidang pendidikan dilaksanakan di semua unit utama. Di dalam SK tersebut, Sekjen ditetapkan sebagai Ketua Pokja dan Direktur Jendral PLS
98
sebagai Focal point Gender dan Direktur Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) sebagai wakilnya. Dengan perkembangan yang baru ini hampir seluruh unit utama telah melakukan sosialisasi Gender dan PUG bidang pendidikan. Suatu kerangka kerja untuk PUG bidang Pendidikan telah disusun, lengkap dengan focus kegiatan (capacity building, Studi Kebijakan, Kemitraan dengan LSM, Penguatan Stakeholders, Pengembangan data terpilah dan Website serta KIE); metode penyampaian sesuai dengan sasaran target. Untuk Penguatan capacity building melalui lokakarya, Round Table Discussion; Focus Group Discussion; Studi Kebijakan dilakukan
bermitra
dengan
PSW;
Pengembangan
Model
Pendidikan
alternative bermitra dengan LSM; Penguatan Stakeholders bermitra dengan
Penerbit/Penulis/Satuan
pendidikan/stakeholders,
termasuk
pengembangan bahan ajar serta metode ajar-mengajar yang peka terhadap masalah gender; pengembangan database yang memasukkan data terpilah menurut jenis kelamin dan website, serta pengembangan KIE untuk mempromosikan gender dalam bidang pendidikan. Hasil dari ke-5 kegiatan tersebut saling melengkapi dan mendukung pelaksanaan PUG bidang pendidikan. Kegiatan capacity building ini juga dilakukan di daerah secara bertahap, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tiga tahun terakhir ini Depdiknas memberikan block grant kepada daerah dengan mengacu pada kerangka kerja PUG bidang Pendidikan telah disusun dengan keperluan/keadaan daerah. Dengan difasilitasi oleh Tim Pokja Nasional, daerah diminta untuk menyusun position paper mengidentifikasi isu gender di bidang pendidikan di daerah masing-masing. Berdasarkan position paper tersebut rencana kerja PUG bidang Pendidikan di daerah masing-masing disusun. Secara berkala diadakan pertemuan antara daerah dengan Tim Pokja Nasional, untuk mendiskusikan kegiatan PUG bidang pendidikan yang didanai oleh APBN. Beberapa penyandang dana internasional, seperti AusAID juga tertarik untuk mengembangkan pilot model pendidikan berperspektif gender di daerah. Beberapa provinsi seperti Jawa Tengah bahkan telah memulai dengan mengembangkan sekolah yang berperspektif gender.
99
Patut disebutkan di sini bahwa perkembangan PUG bidang pendidikan di beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Timur, sudah berjalan dengan baik, dengan dukungan dan komitmen dari pemerintah daerah, seperti terlihat ketersediaan dana pendamping dari APBD untuk kegiatan PUG, didukung oleh SDM yang terampil dan tim Pokja gender yang fungsional.
4.5.
Beberapa Isu Kritis
Tujuan
utama
dari
lokakarya
pelatihan
analisis
gender
bagi
Kementerian/Lembaga adalah menghasilkan (beberapa) program/kegiatan yang
responsif
gender.
Hasil
lokakarya
memperlihatkan
beberapa
program sudah tanggap terhadap isu gender, meskipun masih harus disempurnakan. Sebagian besar masih memerlukan perbaikan-perbaikan. Agar hasil dari lokakarya itu bermanfaat dan operasional, beberapa isu kritis ditengarai: •
Diseminasi
dan
’pengawalan’
program/kegiatan
yang
sudah
digenderkan harus dilakukan. Analisis gender adalah salah satu langkah pelaksanaan PUG dalam siklus perencanaan program. Jadi program/kegiatan yang sudah dianalisis dan dianggap baik, masih memerlukan langkah-langkah untuk dapat menjadi operasional, antara lain melalui: o
Diseminasi di internal lembaga, dengan biro perencanaan, para pengambil keputusan, pemegang program, unit-unit lain yang terkait untuk mendukung dan menerima program/kegiatan yang sudah responsif gender tersebut. Karena sering ada kesalahanpemahaman seolah-olah program/kegiatan yang sudah dibuat gender responsif itu sebagai program/kegiatan yang baru.
o
Pengawalan dalam proses-proses selanjutnya. Di tingkat nasional, yaitu ketika dibicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, komisi yang menangani program dan menangani anggaran. Di tingkat daerah, pengawalan diperlukan ketika pertemuan Bappeda dengan SKPD, karena saat itulah kemungkinan program/kegiatan itu
100
‘hilang’ atau tidak menjadi prioritas. Sebab itu advokasi juga diperlukan dengan para anggota Dewan yang relevant. •
Perlu mengetahui dan memahami bagaimana proses dan mekanisme perencanaan program dibuat. Pengarusutamaan gender itu masuk dan terintegrasi pada tiap tahapan perencanaan itu dibuat. Analisis gender pada program/kegiatan adalah salah satu tahapan. Sering dipahami rancu, seolah-olah dengan selesainya suatu program/kegiatan menjadi gender responsif, PUG telah dilaksanakan.
•
Melibatkan banyak aktor. Tahapan-tahapan sebelum dan sesudah melakukan analisis gender, melibatkan banyak aktor yang belum tentu sudah gender sensitif. Hal ini yang sering luput dari perhatian. Sebab itu membangun kepemilikan (ownership) dari program/kegiatan yang sudah responsif gender itu menjadi penting.
101
BAB 5.
5.1.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Instruksi presiden No. 9 tahun 2000 mengenai keharusan semua sektor pembangunan untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG), merupakan tonggak penting dalam sejarah terhadap segala usaha untuk mencapai kesetaraan gender yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial. Hampir satu dekade telah berlalu sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut telah cukup banyak hasil yang dicapai, akan tetapi masih lebih banyak lagi yang harus dilakukan. Salah satu keberhasilan pelaksanaan PUG dalam pembangunan bahwa Kementerian/Lembaga, Provinsi serta Kabupaten/Kota yang dikaji telah memiliki empat atau lima unsur ideal (dukungan politik, kelembagaan PUG, program yang responsif gender, data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, dan sumber daya manusia dengan keterampilan melaksanakan PUG) yang diperlukan untuk melaksanakan PUG. Selain itu, sosialisasi gender relatif sering dilakukan, bahkan
beberapa
Kementerian/Lembaga
sudah
menyelenggarakan
pelatihan analisis gender. Ironisnya, hasil kajian ini –dan juga merujuk dari hasil dua kajian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Bappenas dan KPP tahun 2005 dan 2007– mengindikasikan bahwa baik di tingkat nasional (Kementerian/Lembaga) maupun
di
tingkat
Provinsi/Kabupaten/
Kota,
ditemukan
beberapa
masalah utama yang menghambat/ memperlambat PUG. Walaupun sosialisasi gender relatif sering dilakukan, bahkan sejumlah Kementerian/Lembaga gender,
namun
yang
sudah
pemahaman
melaksanakan sebagian
besar
pelatihan para
analisis pejabat
Kementerian/Lembaga mengenai konsep gender dan PUG masih kurang,
102
bahkan rancu. Seringkali kerancuan itu berkaitan dengan rendahnya pemahaman tentang beberapa konsep dasar,
seperti
‘gender’
dan
kesetaraan gender’, dimana gender diartikan sama dengan perempuan; kerancuan dalam penggunaan istilah-istilah keadilan gender, kesetaraan gender, responsif gender, perspektif gender, dan seterusnya.
5.2.
Rekomendasi
Meskipun sering sosialisasi dan pelatihan-pelatihan gender oleh masingmasing Kementerian/Lembaga yang dikaji, bahkan hingga tingkat daerah, namun pengetahuan mengenai konsep gender masih pada tataran wacana. Hal ini diakui sendiri oleh hampir seluruh responden, bahwa pengetahuan mereka masih sebatas teori. Hasil kajian mengidentifikasi bahwa pengetahuan yang mereka dapatkan seringkali masih berupa penggalan-penggalan dari suatu proses PUG yang seringkali tidak terkait dalam konteks. Hal ini berkaitan dengan
materi pelatihan, metode
penyampaian, kejelasan maksud dan tujuan, serta kompetensi fasilitator saat diselenggarakannya sosialisasi dan pelatihan. Oleh sebab itu, alangkah baiknya bila secara berkala dilakukan evaluasi dampak dan metode sosialisasi pelatihan gender. Lebih dari itu, evaluasi PUG kiranya perlu dilakukan dalam kurun 2-3 tahun sekali guna menjaga kesinambungan keberhasilan, proses dan pelaksanaan PUG di masing-masing Kementerian/Lembaga maupun dalam lingkup Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan hasil evaluasi pelaksanaan PUG yang telah dilakukan, nampak nyata bahwa payung hukum pelaksanaan PUG hanya dengan Instruksi Presiden belum cukup efektif untuk mendorong Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan PUG dan menjadikan analisis gender
sebagai
bagian
penting
dalam
proses
perencanaannya.
Diperlukan upaya penguatan dasar hukum PUG baik di tingkat nasional maupuan daerah dengan regulasi yang lebih memadai.
Inpres No. 9 tahun 2000 tidak menjelaskan dengan jelas bagaimana Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah sebaiknya melaksanakan
103
PUG, dan sejauh mana pelaksanaannya dapat dikatakan berhasil. Sebagai akibatnya, masing-masing Kementerian/Lembaga melakukan PUG tanpa ada sasaran capaian yang jelas, dan hasilnya adalah tingkat keberhasilan yang rendah. Untuk meningkatkan efektivitas PUG, diperlukan suatu perencanaan bertahap yang menjelaskan dengan cukup rinci kegiatan-kegiatan dan sasaran capaian yang diharapkan dalam kurun waktu tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Masalah berikut yang banyak temui adalah kelangkaan data terpilah menurut jenis kelamin, hal ini menghambat efektivitas pelaksanaan PUG. Data terpilah menurut jenis kelamin dilembagakan di semua Kementerian/Lembaga dan Pemda/SKPD. (lihat tabel di bawah)
Kendala
lain
adalah
keberagaman
pemahaman
mengenai
teknis
pelaksanaan PUG. Saat ini sudah cukup banyak manual, panduan teknis, dan checklist berkaitan dengan cara/pelaksanaan PUG. Hampir semua responden percaya bahwa learning by doing merupakan cara yang efektif dapat melaksanakan PUG. Akan tetapi keberagaman piranti tersebut justru membingungkan, atau kemudian digunakan tidak secara tepat. Untuk itu sebaiknya KPP –didukung oleh Bappenas dan pakar gender– dapat menerbitkan telaah berbagai piranti yang ada, dan melengkapinya dengan penjelasan. Misalnya, mengenai sejarah pembuatan
piranti,
tujuan
dan
kegunaannya,
apakah
penggunaannya lebih tepat untuk analisa dalam perencanaan atau pelaksanaan, atau pemantauan dan evaluasi, pengumpulan data, dan seterusnya. Dengan demikian, pengguna lebih mengerti dan dapat menggunakan piranti yang tepat sesuai kebutuhan.
Melaksanakan PUG tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis, namun juga diperlukan pemahaman yang cukup berkaitan dengan apa implikasi praktis melaksanakan PUG. Persepsi umum bahwa dengan melakukan analisis gender sama dengan telah melaksanakan PUG; sementara itu langkah-langkah selanjutnya sebagai konsekwensi dan implikasi adanya
104
program/kegiatan yang sudah responsif/ berperspektif gender, sering luput dari perhatian. Untuk itu pengawalan dari KPP, Bappenas, Biro PP serta Bappeda, dan juga dibantu oleh Pokja Gender diperlukan saat penyusunan RKP dan saat pengalokasian anggaran, hingga pelaksanaan program yang responsif gender dapat terwujud.
Pemahaman PUG sebagai strategi sudah cukup dimengerti secara meluas. Namun kerancuan masih sering terjadi dalam membedakan antara strategi dan tujuan. Melaksanakan PUG adalah strategi, meningkatkan kesetaraan gender adalah tujuan dari PUG. Hal penting lainnya yang masih rancu dipahami, adalah perbedaan antara memberi perhatian pada: (1) melakukan analisis gender terhadap kebijakan/ program atau kegiatan agar menjadi berperspektif gender/responsif gender, dan (2) menyusun rencana
aksi,
berdasarkan
hasil
analisis
gender
tersebut
untuk
mendukung tercapainya tujuan kesetaraan gender. Dalam piranti GAP (Gender Analysis Pathways) dan POP (Policy Outlook and Plan of Actions) hal ini terlihat jelas. Analisis gender merupakan kegiatan pertama dalam GAP, sedangkan kegiatan kedua merencanakan sesuatu (kebijakan, program,
kegiatan
yang
responsive
atau
berperespektif
gender)
berdasarkan hasil analisis gender, masuk dalam POP. Keduanya memang dibutuhkan untuk melaksanakan PUG. Kerancuan yang sering terjadi adalah anggapan telah melaksanakan PUG setelah melakukan analisis gender (GAP) dan mengidentifikasi aksinya
(POP).
Kedua
kegiatan
ini
merupakan
langkah
rencana
awal
dari
serangkaian langkah-langkah lain yang diperlukan agar PUG berjalan efektif. Langkah-langkah itu di luar yang bersifat teknis, tetapi sudah lebih berdimensi politis. Dimensi politis untuk meningkatkan kesetaraan gender inilah yang selalu luput diberi perhatian, yaitu langkah-langkah selanjutnya yang berkaitan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) eksternal seperti mitra di DPR/DPRD, Kementerian/Lembaga/unit kerja yang relevan, media, dan lainnya. Dalam membangun komitmen politis, sangat penting bagi
105
pemerintah dalam hal ini KPP dan Bappenas untuk membangun kemitraan yang lebih intens dengan para pemangku kepentingan, terutama dengan media massa yang selama ini sering terlupakan. Penyusunan materi dan desain metode KIE yang menyediakan informasi akurat, relevan, terkini sekitar PUG sangat baik secara nasional maupun lokal. Oleh karena itu, direkomendasikan adanya fasilitasi bagi pakar Gender, ahli komunikasi dan ahli yang relevan lainnya untuk menyusun materi dan mendesain metode KIE yang paling efektif untuk setiap target audience. Semangat yang tinggi untuk melaksanakan PUG, kurang diikuti dengan strategi
yang
tepat.
Kekurang-pahaman
bagaimana
proses
suatu
kebijakan, program atau kegiatan itu dibangun merupakan kendala dalam pelaksanaan PUG. Seringkali yang ikut dalam sosialisasi dan pelatihan analisis
gender,
misalnya
bukan
staf
atau
pejabat
program
atau
perencanaan, sehingga keterampilan yang didapat tidak teraplikasi. Kendala
lainnya,
adalah
dalam
memahami
tahapan
perencanaan
pembangunan yang panjang yaitu dari mulai menerjemahkan berbagai permasalahan ke dalam isu prioritas, (di daerah dari mulai musrenbang) hingga
menjadi
suatu
program
atau
kegiatan,
dan
kemudian
pengalokasian anggarannya. Di semua tahapan tersebut, isu gender sangat mungkin tereliminasi. Seringkali para stakeholders yang terlibat, belum atau kurang mengerti dan sensitif terhadap isu gender (belum pernah terpapar isu gender dalam pembangunan). Sehingga, saat keputusan diambil, orang yang paham tentang isu gender dalam pembangunan, dan akhirnya tidak mendapat/menjadi prioritas. Akibatnya, setiap tahun pencapaian kesetaraan gender tidak bisa optimal, bahkan menjadi sangat rendah. Oleh sebab itu dalam sosialisasi PUG dan pelatihan analisis gender, diperlukan narasumber dari bagian perencana (Bappenas dan Bappeda), selain narasumber gender. Selain
itu,
perlu
digarisbawahi
bahwa
target
audience
sosialisasi/pelatihan adalah yang dapat menindaklanjuti hasil sosialisasi/pelatihan.
106
Konsep
PUG,
yaitu
melalui
pengintegrasiaan
pengalaman,
aspirasi,
kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan seterusnya, sebenarnya tidak cukup kuat untuk menyebabkan terjadinya suatu transformasi power structure. Strategi PUG harus dibentangkan keluar dari hal-hal teknis semata, bahkan juga pada dimensi politik. Kata politik disini dipakai dalam arti yang lebih luas yaitu isu gender bukan hanya kepedulian dan ranah perencanaan/birokrasi, tetapi kepedulian dan sikap semua pihak. Usaha sistematis ke arah itu memang belum dilakukan. Pelembagaan dan pelaksanaan PUG perlu dukungan dan keterlibatan luas bukan hanya dari jajaran birokrasi pemerintah tetapi juga dari LSM, dunia usaha, dan masyarakat sipil umumnya. Rekomendasi untuk perencanaan pembangunan 5 (lima) tahun mendatang dalam rangka PUG: -
Data terpilah menurut jenis kelamin menjadi mandatori di semua bidang pembangunan
-
Keluaran
dan
sasaran
dari
setiap
program
pembangunan
mencerminkan perspektif gender Rekomendasi PUG di Bappenas: -
Memasukkan
analisis
gender
dengan
piranti
GAP
dalam
kurikulum peningkatan kapasitas SDM perencana. -
Advokasi dan sosialisasi gender di lingkungan Bappenas
Berikut adalah beberapa rekomendasi yang lebih spesifik: 1) Rekomendasi berkaitan dengan dukungan politik Rekomendasi
Ditujukan kepada
1. Advokasi para pimpinan
Menteri Negara PP, Bappenas,
Kementerian/Lembaga dan pimpinan Pemda setempat tentang isu gender dalam pembangunan dan dasar hukum keharusan melaksanakan PUG 2. Advokasi kepada para pimpinan dan pengambil kebijakan mengenai pemahaman
107
pakar gender; Pimpinan dari Kemeneg. PP dan Pakar gender Kemeneg. PP dan dewan
Rekomendasi
Ditujukan kepada
tentang konsep dasar gender dan PUG serta
pakar/fasilitator gender/pokja
manfaatnya
gender, gender focal point Kementerian/ Lembaga/Pemda
Advokasi mengenai gender dalam dalam pembangunan pada anggota Dewan
Kemeneg. PP, Kementerian/ Lembaga dan Pemda
Perwakilan dari Komisi yang menjadi mitra kerja (termasuk Renja yang mengurus Anggaran) Fasilitasi pembuatan materi advokasi (generik) untuk bahan advokasi
Kemeneg. PP dibantu Pakar Gender
2) Rekomendasi berkaitan dengan pelembagaan PUG Rekomendasi
Ditujukan kepada
1. Fasilitasi penunjukan dan penempatan focal point pada posisi yang cukup tinggi agar dapat
Pimpinan Kementerian/ Lembaga, Pemda
bekerja dan berkoordinasi lebih efektif 3. Fasilitasi pembuatan TOR bagi focal point tentang tugas dan kewajibannya secara jelas, termasuk pemberian insentif sebagai tanda
Pokja Gender Kementerian/ Lembaga dan Biro PP Pemda yang bersangkutan
aprisiasi 4. Fasilitasi (dalam bentuk dukungan dana, sarana, keterampilan) pokja Gender di Kementerian/ Lembaga/Pemda, bisa dimulai di
Pimpinan Kementerian/ Lembaga dan Kemeneg. PP, Pemda/Biro PP
satu unit kerja yang sudah memulainya kalau perlu dengan bantuan fasilitator yang kompeten dari luar Kementerian/ Lembaga /Pemda 2. Fasilitasi pembentukan dewan pakar
Pimpinan Kementerian/
gender/PUG disamping adanya Pokja PUG
Lembaga, Pokja Gender; Pemda/KPP, PSW
Fasilitasi pembuatan mekanisme serta
Kemeneg. PP, Bappenas, Pokja
indikator gender audit
Gender, Pakar gender
108
Rekomendasi
Ditujukan kepada
Fasilitasi pemberian penghargaan gender
Kemeneg. PP, Bappenas, Pakar
champion ditingkat Kementerian/ Lembaga
Gender
dan SKPD
3) Rekomendasi berkaitan dengan program responsif gender Rekomendasi
Ditujukan kepada
1. Sosialisasi semua dasar hukum tentang
Pimpinan Kementerian/
keharusan melaksanakan PUG yang
Lembaga dan focal point
dikeluarkan oleh Global/Nasional/Daerah/ Unit kerja
Pimpinan Pemda dan Pokja Gender
2. Pelatihan analisis gender dalam bentuk learning by doing bagi para perencana dan pelaksana program Kementerian/Lembaga
K Kemeneg. PP/ Pakar Gender; K Kemeneg. PP/Biro PP dan Pakar Gender
dan para Perencana Pemda dan SKPD setempat 3. Analisis gender sudah dimulai sejak
Biro Perencanaan, Bappenas, K
pembuatan Renstra sampai dengan kegiatan
Kemeneg. PP, Pakar Gender
program
Bappeda, Biro PP, Pakar Gender
4) Rekomendasi berkaitan dengan data dan informasi Rekomendasi
Ditujukan kepada
1. Dikeluarkan Surat Keputusan bersama
Menteri Negara PP, Ketua
Menteri KPP, Ketua Bappenas, Menteri Dalam
Bappenas, Menteri Dalam
Negeri tentang keharusan melembagakan
Negeri
pengumpulan, penyimpanan dan pemakaian data menurut jenis kelamin bagi semua program dan kegiatan Kementerian/Lembaga dan SKPD
109
Rekomendasi
Ditujukan kepada
2. Fasilitasi pengembangan
Kemeneg. PP, Bappenas/
formulir standar dengan data terpilah menurut jenis kelamin untuk Kementerian/Lembaga dan Pemda
Bappeda, Pakar Gender, Unit Data Kementerian/Lembaga/Pemda
5) Rekomendasi berkaitan dengan SDM PUG Rekomendasi
Ditujukan kepada
1. Kegiatan sosialisasi dan capacity building (termasuk pelatihan analisis gender, telaah kebijakan, isu gender
Kemeneg. PP/ Biro PP, Pokja Gender, Pakar/Fasilitator Gender
terkini(global/nasional/daerah), kemitraan, proses siklus perencanaan) ;dilaksanakan secara berkelanjutan dan relevant dengan kebutuhan; Ditujukan untuk: -
semua personel baru (internal KPP, di Kementerian/Lembaga serta Pemda/SKPD);
-
‘penyegaran kembali’ bagi yang sudah mendapatkan;
-
fasilitator (nasional)
2. Capacity building juga dimaksudkan untuk menghasilkan sejumlah fasilitator
Kemeneg. PP/Biro PP, Pokja Gender, Pakar Gender
gender di internal lembaga 3. Fasilitasi pembentukan ’pool’ pakar / fasilitator gender dengan masing-masing kualifikasi
110
Kemeneg. PP, Bappenas, Pakar Gender