BAB V EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 5.1 Gambaran Umum Program Pengembangan Masyarakat Program pengembangan masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial. Secara khusus, program ini berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, gender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan (Suharto, 2005:38). Program pembangunan daerah pada tahun 2007 yang ditujukan pada kawasan sentra rajutan Binongjati dikenal dengan istilah program revitalisasi kawasan sentra, yang mencakup aspek regulasi, infrastruktur kawasan, dan pelaku usaha. Ketiga aspek tersebut pada tahun 2007 terakomodir dalam enam program utama (Kantor Litbang, 2007), yaitu : 1. Program Penataan Infrastruktur, yang terdiri dari : a. Pemeliharaan Penerangan Jalan Umum (PJU) di 26 titik, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 50.000.000, SKPD
penanggungjawab proyek adalah
Dinas Pertamanan dan
Pemakaman. b. Pengerukan saluran dengan melakukan pengerukan saluran tepi lancar, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran sebesar Rp 12.500.000, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Bina Marga. 2. Program Bantuan Permodalan, yang terdiri dari : a. Fasilitasi peningkatan sinergitas di bidang investasi untuk pengusaha UKM di lima kawasan dengan hasil yang diharapkan adalah terlaksananya forum investasi pengusaha UKM dengan BUMN, BUMD, Perbankan, dan pengusaha besar. Dilaksanakan tiga kali pada triwulan II –
IV
tahun
2007,
dengan
anggaran
Rp
125.000.000,
SKPD
47 penanggungjawab kegiatan adalah KPMD (Kantor Penanaman Modal Daerah). b. Pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Masyarakat (Pengembangan Produk Unggulan Daerah/PPUD), dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun
2007,
dengan
anggaran
sebesar
Rp
14.000.000,
SKPD
penanggungjawab kegiatan adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM). 3. Program Pengembangan SDM Pelaku Usaha a. Pelatihan peningkatan desain industri rajut, untuk meningkatkan penguasaan teknik produksi dan kemampuan desain IKM sentra rajut, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 59.150.000,
SKPD
penanggungjawab
kegiatan
adalah
Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Barat. b. Penyuluhan perkoperasian untuk 50 orang pelaku usaha, yang bertujuan untuk penguatan kelembagaan koperasi, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran sebesar Rp 3.000.000, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. c. Intermediasi pendanaan dengan tujuan meningkatkan akses permodalan untuk lima kawasan sentra industri dan perdagangan, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 25.916.000, SKPD penanggungjawab kegiatan adalah Dinas Koperasi. d. Bimbingan pengelolaan bagi KSP/USP Koperasi, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 7.500.000, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. 4. Program Promosi dan Pemasaran, yang terdiri dari : a. Fasilitasi pengusaha UKM dalam rangka promosi potensi investasi unggulan Kota Bandung bagi lima kawasan sentra industri dan perdagangan, hasil dari kegiatan adalah tersedianya fasilitas stand pameran untuk pameran investasi (inacraft), dilaksanakan pada triwulan I tahun 2007, dengan anggaran Rp 18.900.000, SKPD penanggungjawab kegiatan adalah KPMD.
48 b. Fasiltasi pengusaha UKM dalam rangka promosi potensi investasi unggulan
Kota Bandung bagi lima kawasan sentra industri dan
perdagangan, dengan melakukan pameran investasi (inacraft) sebanyak dua kali, dilaksanakan pada triwulan II – IV
tahun 2007, dengan
anggaran Rp 26.100.000, SKPD penanggungjawab kegiatan adalah KPMD. c. Promosi produk unggulan 10 koperasi, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 140.820.350, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. d. Promosi produk unggulan 50 UKM, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 145.000.000, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. e. Membuat leaflet mengenai kawasan Binongjati, sebagai media promosi cetak, dilaksanakan pada triwulan I tahun 2007, menghabiskan anggaran Rp 6.000.000, SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. f. Melakukan promosi atau pameran inacraft, yang dilaksanakan pada triwulan I tahun 2007, dengan menghabiskan anggaran Rp 62.000.000, dengan SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. g. Melakukan promosi atau pameran BLA, yang dilaksanakan pada triwulan I tahun 2007, dengan menghabiskan anggaran Rp 20.000.000, dengan SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. h. Melakukan lima kegiatan promosi atau pameran, yang dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 287.062.000, dengan SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. i. Melakukan misi dagang ke mancanegara, yang dilaksanakan pada triwulan II - IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 492.000.000, dengan SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. 5. Program Bantuan Peralatan/Teknologi Produksi, terdiri dari : a. Penyediaan sarana dan prasarana, berupa gedung UPT, mesin dan papan sentra, dilaksanakan pada triwulan I tahun 2007. Dengan anggaran
49 sebesar Rp 49.550.000, SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. b. Pencanangan lima sentra industri dan perdagangan, yang dilaksanakan pada triwulan I tahun 2007, menghabiskan anggaran Rp 83.000.000, SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. c. Penyediaan sarana dan prasarana, berupa gedung UPT, mesin dan papan sentra, dilaksanakan pada triwulan II - IV tahun 2007, dengan anggaran sebesar Rp 55.400.000, SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. d. Melakukan diversifikasi produk, peningkatan mutu produk dan teknologi rajutan, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 123.000.000, SKPD penanggungjawab adalah Disperindag Kota Bandung. e. Membuat kajian mengenai potensi unggulan di tiga kawasan, yaitu Binongjati, Cigondewah dan PHH Mustafa (Suci), dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 84.300.000, SKPD penanggungjawab adalah KPMD. f. Peningkatan mitra kerja melalui evaluasi penelitian, yang dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 50.500.000, SKPD penanggungjawab adalah Kantor Litbang. 6. Program Kegiatan Lainnya, terdiri dari : a. Rakor lintas pelaku terhadap 30 sentra BDS, KSP, USP, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 18.050.000, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. b. Bimtek manajemen koperasi, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 49.916.200, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. c. Temu usaha koperasi untuk 50 koperasi, dilaksanakan pada triwulan II – IV
tahun
2007,
dengan
anggaran
penanggungjawab adalah Dinas Koperasi.
Rp
49.916.200,
SKPD
50 d. Bimtek desain produk dan packadging untuk 50 UKM, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 44.000.000, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. e. Bimtek permodalan untuk 50 UKM, dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran Rp 44.000.000, SKPD penanggungjawab adalah Dinas Koperasi. Program yang ditujukan bagi pengusaha rajutan Binongjati tersebut di atas tidak semuanya merupakan program pengembangan masyarakat, hal ini dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam program. Seperti halnya program penataan infrastruktur berupa perbaikan titik Penerangan Jalan Umum (PJU) dan perbaikan saluran air semuanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, tanpa ada keterlibatan warga masyarakat Kelurahan Binong di dalamnya. Dalam aplikasi program pengembangan masyarakat di lapangan (terhadap warga komunitas), perlu dikaji lebih lanjut melalui evaluasi program bagaimana program tersebut memberikan dampak terhadap terhadap pengembangan ekonomi lokal, dan pengembangan modal sosial. Secara umum, program Pemerintah Kota Bandung pada kawasan sentra rajutan Binongjati masih belum mencapai hasil maksimal. Program revitalisasi kawasan baru terbatas pada aspek regulasi, sedangkan penataan infrastruktur dan aspek pelaku usaha belum mendapat perhatian maksimal. Salah seorang informan, yang juga selaku Ketua KIRBI (koperasi) dan juga pengusaha rajutan Bapak Wondo mengatakan, ”Pemerintah Kota Bandung memang telah mencanangkan revitalisasi lima kawasan. Otomatis,kami menginginkan adanya perubahan yakni infrastruktur. Kami menginginkan adanya alternatif jalan tembus ke arah Jalan Kiaracondong.”
Namun, sampai dengan laporan ini disusun belum melihat adanya perubahan dari pencanangan kawasan lima sentra yang telah ditetapkan. Menurut Wondo, pihaknya hanya menerima fasilitas lampu jalan (penerangan jalan umum/PJU), beberapa mesin rajut, dan pelatihan-pelatihan. Dia menilai, pemberian itu adalah hal yang tidak tepat, karena tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. ”Seharusnya, setiap program dari pemerintah harus ada business plan yang jelas dan tertata dari pemerintah kota. Tentang dari mana mulainya, bagaimana prosesnya, dan output apa yang akan didapat
51 oleh sentra itu sendiri. Dengan demikian, tidak menimbulkan apriori dari masyarakat, dalam hal ini pengusaha rajut. Yang saya khawatirkan, masyarakat di sini, tidak menyambut secara antusias halhal yang akan diambil oleh pemerintah.”
Menurut Ibu Heni, Kepala Seksi Industri Tekstil, Produk Tekstil, dan Mesin Elektronik Dinas KUKM dan Perindustrian Perdagangan Kota Bandung, realisasi pembukaan akses jalan ke Jalan Kiaracondong akan dilakukan pada tahun 2009, dengan pendanaan dari APBD tahun 2009. “Jadi semuanya kan terbatas, dana pemerintah juga terbatas. Ada skala prioritas, untuk Binongjati di tahun 2009 akan difokuskan pada pembukaan akses jalan masuk dari Kiaracondong. Kalau 2008 ini kami fokuskan untuk kawasan Suci”
Program yang akan menjadi fokus evaluasi adalah
Program Pembentukan
Kelompok Usaha Ekonomi Masyarakat (Pengembangan Produk Unggulan Daerah/PPUD) yang berkaitan dengan bantuan modal dan Program Pelatihan Peningkatan Desain Industri Rajut yang berkaitan dengan pelatihan keterampilan.
5.2 Pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Masyarakat (PPUD) 5.2.1 Deskripsi Program Program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat
yang
terintegrasi dalam program Pengembangan Produk Unggulan Daerah (PPUD) merupakan salah satu program Pemerintah Kota Bandung yang mulai dilaksanakan pada triwulan II tahun 2007.
SKPD yang bertanggungjawab
pelaksanaan kegiatan ini adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM), dimana pada tahun 2008 sesuai dengan SOTK baru berubah menjadi Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat. Menurut keterangan informan Cecep, program ini dilaksanakan oleh BPM didasarkan pada adanya program Pemerintah Kota Bandung yang telah menetapkan lima kawasan sentra yang masing-masing kawasan memiliki karakteristik produk dan BPM selaku SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
selaku
pemberdaya
masyarakat,
mempunyai
tugas
pula
untuk
memberdayakan masyarakat pada lima kawasan sentra ini. Adapun aspek pemberdayaan masyarakat yang dilakuan pada lima kawasan sentra mencakup :
52 1. Peningkatan pengetahuan, melalui pelatihan, seminar, dan kursus 2. Penguatan lembaga, dan 3. Bantuan modal. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat harus menerapkan ketiga aspek tersebut agar program dapat berkelanjutan, masih menurut informan Cecep. “Tanpa penerapan ketiga aspek pemberdayaan, saya yakin program yang dijalankan tidak akan ajeg”
Program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat pada tahun 2007 dilaksanakan pada tiga kawasan, yaitu kawasan sentra Cibaduyut, Suci, dan Binongjati. Sebelumnya, pada tahun 2006 dilaksanakan program yang sama pada kawasan sentra Cigondewah. Ketiga aspek pemberdayaan diberikan kepada kawasan sentra sifatnya hibah (khususnya bantuan modal) dari Pemerintah Kota Bandung. Sumber anggaran program ini adalah APBD Kota Bandung tahun 2007. Total anggaran yang dihabiskan untuk program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat di kawasan sentra rajutan Binongjati adalah Rp 14.000.000 (Kantor Litbang, 2007). Grand design program ini dari Pemerintah Kota Bandung, yaitu kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat (2007), sedangkan desain program untuk masing-masing kawasan adalah dari masyarakat melalui kecamatan, kelurahan dan LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat). Kecamatan mengusulkan hasil olahan program dari kelurahan beserta lembaga yang pantas menerima program tersebut. Adapun LPM melakukan seleksi pengusaha yang pantas menerima program. Syarat yang ditetapkan oleh BPM bagi pengusaha yang berhak menerima program adalah pelaku usaha yang peduli lingkungan. Dalam hal ini minimal pengusaha tersebut harus mampu mempekerjakan satu orang tenaga kerja dari lingkungan sekitarnya, terutama dari masyarakat miskin. Mekanisme pelaksanaan program pada masing-masing kawasan sentra dilakukan secara berbeda. Perbedaan mekanisme ini mempunyai tujuan untuk melihat efektivitas pengguliran program pada masing-masing kawasan. Program pemberdayaan pada kawasan sentra Cibaduyut (sentra sepatu) dilakukan langsung kepada para pengusaha. Jadi, pemberian pelatihan, penguatan lembaga dan bantuan modal langsung diberikan kepada para pengusaha (pengrajin sepatu).
53 Pada kawasan sentra Suci, program diberikan langsung kepada pengusaha melalui koordinasi kecamatan. Pada kawasan sentra rajutan Binongjati program diberikan melalui LPM. Pelatihan, penguatan lembaga dan bantuan modal hibah diberikan kepada LPM. Kemudian LPM “menggetok-tularkan” kepada para pengusaha di kawasan sentra rajutan Binongjati. Bantuan modal dari Pemerintah Kota Bandung sifatnya hibah kepada LPM, sedangkan dari LPM dipinjamkan secara bergulir (revolving) kepada pelaku usaha mikro dengan membebankan bunga sebesar satu persen setiap bulannya. Program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat di kawasan sentra rajutan Binongjati mulai efektif dilakukan pada bulan Desember 2007. Tidak seperti halnya judul program, yaitu pembentukan kelompok usaha, pada kenyataannya, aplikasi di masyarakat adalah pemberian bantuan modal kepada pelaku usaha rajutan. Penerima program adalah individu, bukan kelompok. Jumlah pelaku usaha yang menerima bantuan modal adalah lima pelaku usaha yang terdiri dari empat orang pelaku usaha laki-laki dan satu orang pelaku usaha perempuan. 5.2.2 Pengembangan Ekonomi Lokal Pengembangan ekonomi lokal merupakan hal yang penting dalam proses industrialisasi dewasa ini. Konsep ekonomi lokal itu sendiri adalah program yang terpadu untuk mentransformasikan sumber-sumber daya kewilayahan
dalam
perspektif lokal menjadi industri barang dan jasa yang digunakan untuk mewujudkan tujuan dasar pembangunan yaitu meningkatkan kualitas hidup rakyat (Iwan 2004, diacu dalam LMFE UNPAD, 2007). Pengembangan ekonomi lokal menitikberatkan pada pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan komunitas atau wilayah. Walaupun berbasis lokal, dalam prosesnya tidak menutup kemungkinan adanya interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat luar wilayahnya. Konsep pembangunan ekonomi lokal adalah kerjasama seluruh komponen masyarakat lokal pada suatu daerah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang akan meningkatkan
54 kesejahteraan ekonomi dan kualitas hidup seluruh masyarakat di dalam komunitas (Syaukat dan Sutara, 2007). Program
pembentukan
kelompok
usaha
ekonomi
masyarakat
(Pengembangan Potensi Unggulan Daerah/PPUD) merupakan salah satu program pengembangan masyarakat dalam rangka pengembangan ekonomi lokal. Program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat (PPUD) ini merupakan salah satu program yang fokus pada upaya pengentasan kemiskinan melalui pro-poor growth. Hal ini terlihat dari fokus penerima program adalah pelaku usaha rajutan kecil, bahkan termasuk kategori mikro, dimana pelaku usaha tersebut sangat membutuhkan bantuan pinjaman modal dalam rangka melakukan kegiatan usaha sebagai upaya keluar dari lingkaran kemiskinan. Adanya prasyarat dimana penerima program harus peduli dengan lingkungannya, dalam arti harus mampu mempekerjakan satu tenaga kerja dari masyarakat miskin di sekitarnya secara konseptual merupakan salah satu bentuk pengentasan kemiskinan melalui propoor growth. Program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat sedikit banyak memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi lokal, yaitu peningkatan ekonomi kawasan sentra rajutan Binongjati. Sebagaimana diketahui bahwa dampak dari peningkatan ekonomi lokal diantaranya adalah meningkatkan produktivitas masyarakat serta meningkatkan lapangan kerja. Melihat kedua dampak positif ini kiranya program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat sudah dapat memenuhinya. Adanya bantuan pinjaman modal dari program ini maka para pelaku usaha kecil tersebut dapat meningkatkan produktivitas usahanya. Rata-rata modal yang diperlukan untuk menghasilkan selusin produk adalah sebesar Rp 200.000. Dengan rata-rata pinjaman modal sebesar Rp 2.000.000 maka para penerima program dapat melakukan kegiatan usaha selama sepuluh hari produksi dengan produksi selusin per hari atau dengan kata lain dapat menghasilkan sepuluh lusin produk. Rata-rata produksi per hari sebelum mendapatkan bantuan modal adalah tiga lusin per hari, setelah mendapatkan bantuan pinjaman modal jumlah produksi dapat meningkat menjadi empat sampai lima lusin per hari. Responden Yuli, salah seorang penerima program mengungkapkan :
55 “Alhamdulillah Bu, pinjaman dari LPM bisa memperpanjang proses produksi rajut. Produksi juga bisa ditingkatkan, asalnya tiga lusin sehari, sekarang bisa nambah.”
Adanya bantuan dari PPUD ini juga memberikan dampak pada penciptaan lapangan kerja. Dengan persyaratan awal sebelum menerima program dari kantor BPM, dimana pengusaha harus mampu mempekerjakan masyarakat sekitarnya minimal satu orang tenaga kerja. Kondisi ini terpenuhi pada sentra rajutan Binongjati, dimana satu mesin saja mampu menciptakan lapangan kerja bagi dua hingga tiga orang. Informan Agus, mengungkapkan : “Dengan satu mesin saja, pengusaha dapat mempekerjakan dua hingga tiga orang pekerja. Maka prasyarat itu di Binongjati sudah terpenuhi, bahkan lebih dari batas minimal.”
Bunga pinjaman sebesar satu persen per bulan relatif masih rendah sehingga tidak terlalu memberatkan penerima bantuan dalam pengembalian pinjaman, terkecuali jika kondisi rajutan sedang sepi atau tidak ada order. Kondisi ini membuat program secara keseluruhan berjalan lancar, dengan tingkat pengembalian relatif cukup tinggi, diharapkan perguliran dana bantuan kepada pengusaha kecil lainnya dapat terealisasi pada tahun mendatang. 5.2.3 Pengembangan Modal Sosial Modal sosial merupakan sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesalingpercayaan, dan kesalingmenguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama (Hasbullah, 2006). Bank Dunia (1999), diacu dalam Hasbullah (2006) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Colletta dan Cullen (2000), diacu dalam Kolopaking dan Tonny (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world-view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal-balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi
56 modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan. Woolcock (1998) seperti dikutip Colleta dan Cullen (2000) dan Kolapaking dan Tonny (2007) menyatakan bahwa modal sosial memiliki empat dimensi. Pertama adalah integrasi, yaitu ikatan yang kuat antara anggota keluarga dan keluarga dengan tetangga sekitarnya misalnya ikatan-ikatan kekerabatan, etnik dan agama. Kedua adalah pertalian (linkadge)
yaitu ikatan dengan
komunitas lain di luar komunitas asal, misalnya jejaring dan asosiasi-asosiasi yang bersifat kewargaan yang menembus perbedaan kekerabatan, etnis dan agama. Ketiga adalah integritas organisasional, yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat adalah sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Fokus perhatian sinergi ini adalah apakah negara memberikan ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. Pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan yang dirancang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan (taraf hidup)
warga komunitas sudah
seyogyanya mampu mengembangkan modal sosial yang ada pada komunitas tersebut. Hal ini dimaksudkan agar program yang dikembangkan dapat lebih terjaga keberlanjutannya, mengingat besarnya peranan modal sosial dalam memfungsikan kehidupan masyarakat. Program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat
(PPUD)
pada komunitas sentra rajutan Binongjati terlihat sudah memanfaatkan gerakan sosial dan modal sosial yang ada di masyarakat. Hal ini terlihat adanya unsur trust dari pemberi program terhadap penerima program. Pertama, adanya unsur kepercayaan (trust) dari Pemerintah Kota Bandung (kantor BPM) terhadap LPM Kelurahan Binong, bentuk kepercayaan diwujudkan dengan digulirkannya bantuan modal bagi pengusaha rajutan di kawasan sentra rajutan Binongjati melalui LPM. Asumsinya, LPM akan mampu menggetoktularkan setiap aspek pemberdayaan yang telah diberikan oleh BPM. Kepercayaan BPM terhadap LPM ini merupakan dasar dalam program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat, dimana adanya kepercayaan bahwa LPM sebagai lembaga
57 pemberdayaan masyarakat akan mampu memberdayakan masyarakat di wilayahnya. Kedua, adanya trust dari LPM kepada penerima program (penerima bantuan). Kepercayaan dari LPM terhadap penerima bantuan adalah percaya bahwa penerima bantuan akan mampu meningkatkan pendapatannya dan mampu mengembalikan pinjamannya. Hal ini menjadi dasar dari program pengguliran bantuan pinjaman modal dari LPM kepada kelima pengusaha penerima bantuan. Kepercayaan ini pula mengikat pola hubungan yang terjadi antara kantor BPM Kota Bandung dengan LPM Kelurahan Binong, serta mengikat pola hubungan antara LPM Kelurahan Binong dengan pengusaha penerima program. Dimensi modal sosial intergrasi, dalam program pembentukan kelompok usaha ekonomi masyarakat
(PPUD) terlihat dari sasaran penerima program.
Penerima program adalah pengusaha mikro rajutan yang memiliki ikatan kuat antar anggota keluarga dengan lingkungan sekitarnya, yang terdiri dari ikatanikatan kekerabatan, etnis dan agama. Umumnya pelaku usaha rajutan di Binongjati menekuni bidang tersebut karena usaha tersebut sudah sejak lama dirintis oleh orang tua. Dalam pengelolaan usahanya pun dikelola sendiri dengan dibantu oleh anggota keluarga dan maupun tenaga kerja dari luar. Ikatan kekerabatan yang kuat antara pelaku usaha dengan tenaga kerjanya maupun dengan lingkungan sekitar merupakan salah satu aspek yang cukup kuat dalam meningkatkan kemampuan berusaha dan menjaga keberlanjutan usaha. Dimensi pertalian (linkadge), ditunjukkan dengan adanya jejaring antara pengusaha dengan komunitasnya maupun dengan komunitas luar. Adanya bantuan pinjaman modal dari LPM, dengan sendirinya akan membentuk suatu pertalian antara pengusaha dengan LPM, dalam hal penyediaan modal produksi. Adanya bantuan modal ini pun mampu meningkatkan kapasitas produksi para penerima program, tentu saja dalam melakukan kegiatan produksi ini ada jejaringjejaring yang dibentuk oleh pengusaha, seperti jejaring dengan pemasok bahan baku, pedagang benang, agen pemasaran, koperasi, maupun komunitas lainnya dalam rangka meningkatkan produktivitasnya. Dimensi integritas organisasional, belum terlihat maksimal dalam perguliran program ini. Dimensi ini menuntut adanya keefektifan dan kemampuan institusi
negara
(pemerintah)
untuk
menjalankan
fungsinya,
termasuk
58 menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Dalam program ini seharusnya program digulirkan bagi kelompok usaha ekonomi masyarakat, namun dalam aplikasinya program digulirkan bagi pelaku usaha secara individu, bukan kelompok. Secara konsep program pemberdayaan masyarakat seperti yang telah diutarakan oleh informan Cecep mencakup aspek peningkatan pengetahuan, penguatan lembaga, dan bantuan modal. Namum dalam aplikasinya, LPM selaku kepanjangan tangan dari kantor BPM dalam program ini hanya melaksanakan satu aspek pemberdayaan saja, yaitu bantuan modal. Aspek peningkatan pengetahuan tidak dijalankan, dengan tidak adanya pelatihan-pelatihan yang mendukung peningkatan kapasitas pengetahuan dari pengusaha penerima program. Aspek penguatan lembaga pun tidak dilakukan, dimana seharusnya dilakukan pembentukan kelompok usaha dan kelompok ini lah yang dikuatkan lembaganya. Dengan diberikannya bantuan modal bagi pengusaha secara individu, penguatan lembaga relatif lebih sulit untuk dilakukan. Namun jika sasaran program adalah LPM, maka kiranya aspek penguatan lembaga ini sudah tercapai. Dimensi modal sosial selanjutnya adalah sinergi. Dimensi ini mengandung makna seberapa besar pemerintah memberikan ruang bagi masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam program. Program ini memang diwujudkan dengan adanya partisipasi dari masyarakat yang diwakili oleh kecamatan, kelurahan dan LPM, namun dalam aplikasinya belum terlihat partisipasi aktif masyarakat mulai dari perencanaan program. Program sudah ditentukan oleh Pemerintah Kota Bandung, mulai dari jenis kegiatan, pelaksana, maupun anggarannya, sehingga tidak ada keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program, yaitu menentukan jenis kegiatan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Pada program ini terlihat bahwa ruang yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung bagi komunitas pengusaha rajutan baru terbatas pada partisipasi
dalam menerima dan
melaksanakan program. Berdasarkan dimensi modal sosial di atas, maka program PPUD harus lebih memperhatikan pada dimensi modal sosial secara menyeluruh. Program seyogyanya memanfaatkan seluruh dimensi modal sosial yang ada di masyarakat serta memanfaatkan gerakan sosial yang ada di masyarakat agar program dapat terjaga keberkelanjutannya.
59 5.3 Program Pelatihan Peningkatan Desain Industri Rajut 5.3.1 Deskripsi Program Program pelatihaan peningkatan desain industri rajut dilaksanakan pada triwulan II sampai dengan triwulan IV tahun 2007. Program ini dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat yang berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung (sekarang, sesuai SOTK baru menjadi Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian Perdagangan). Program ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan penguasaan teknik produksi dan kemampuan desain IKM sentra rajut. Program ini dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, khususnya bidang industri formal. Program ini diawali dengan perencanaan yang melibatkan warga komunitas sentra rajutan Binongjati. Pada saat perencanaan program, warga komunitas ikut serta dalam rapat perencanaan di kantor Bappeda Kota Bandung. Terkait pengembangan kawasan, warga komunitas diminta menjelaskan permasalahan utama yang dihadapinya serta kebutuhan utama dari warga komunitas. Aspek peningkatan usaha diantaranya adalah melalui adanya penguasaan teknik produksi dan kemampuan desain. Hal ini dapat tercapai melalui peningkatan penguasaan teknologi produksi yang digunakan dan desain produk yang dihasilkan. Berdasarkan permasalahan dan kebutuhan ini maka pada rapat perencanaan tersebut diusulkan adanya program pelatihan penguasaan teknik produksi dan desain rajutan. Penguasaan teknik produksi dilakukan melalui pelatihan diversifikasi produk bagi montir (tenaga ahli) dalam mengoperasikan mesin rajutan dari satu posisi menjadi dua posisi. Program desain rajutan dilakukan melalui pelatihan pemanfaatan majun (benang sisa) menjadi produk rajutan melalui handmade bagi ibu-ibu PKK Kelurahan Binong. Terkait dengan peningkatan keterampilan dan desain produk, program pelatihan pembuatan handmade dari benang sisa dilakukan terhadap 30 orang kader PKK di Kelurahan Binong. Heni mengatakan program ini dalam rangka meningkatkan nilai jual dari produk rajutan yang dihasilkan. “Dalam rangka diversifikasi produk dan peningkatan kualitas produk kami bekerjasama dengan Disperindag Provinsi melakukan pelatihan
60 mengolah majun atau benang sisa menjadi produk kerajinan tangan, seperti assesoris yang nantinya dapat dijual ke pengusaha sebagai tambahan desain agar produk rajutnya lebih bervariasi dan bernilai jual tinggi.”
Setelah kurun waktu hampir satu tahun dari pelatihan, tidak banyak ibuibu kader PKK tersebut yang melanjutkan kegiatannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti kurangnya permintaan dari produk kerajinan tangan yang mereka hasilkan dari pihak pengusaha, dan kurangnya kesadaran dari mereka bahwa program ini bisa meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga. Rianti, selaku instruktur pelatihan tersebut dan salah seorang perempuan pengusaha mengatakan bahwa dari 30 kader yang dilatihnya hanya tersisa empat orang saja yang masih menekuni kegiatan ini. “Sekarang tinggal empat orang yang masih membuat kerajinan dari majun, mereka masih rajin setor ke saya hasil handmadenya. Padahal kalo mau kan produk rajut yang pake handmade kualitasnya lebih bagus, harganya pun lebih tinggi. Produk kita jadi bernilai jual tinggi. Tapi ya belum semua sadar hal ini.”
Dilihat dari sisi tujuan, program ini bekaitan dengan peningkatan kualitas produk dan peningkatan daya saing, suatu hal positif bagi peningkatan kemampuan pengusaha sebagai strategi bertahan dalam era globalisasi. Namun dari sisi tingkat pencapaian tujuan dan sasaran program dinilai rendah, karena program pelatihan tidak disertai dengan sosialisasi bagi pengusaha lainnya tentang kegiatan ini. Jika sosialisasi dilakukan dengan baik, kemungkinan tingkat keberlanjutan program akan lebih tinggi karena ibu-ibu yang memproduksi kerajinan tangan akan memiliki sumber bahan baku dan pasar bagi produknya. Selain itu, sosialisasi tentang peningkatan kualitas produk melalui diversifikasi produk dengan handmade kiranya perlu dilakukan terhadap
pengusaha rajut
sendiri.
5.3.2 Pengembangan Ekonomi Lokal Salah satu fokus pengembangan ekonomi lokal adalah peningkatan daya saing. Daya saing merupakan salah satu isu penting dalam menghadapi era globalisasi. Kemampuan suatu produk dan kawasan dalam mempertahankan keberlanjutan usahanya sangat ditentukan oleh daya saing produk dan kawasan tersebut.
61 Pengembangan komunitas-komunitas menjadi suatu kawasan yang sinergis dilakukan untuk meningkatkan daya saingnya. Oleh karena itu mengikuti pandangan Porter (1990) dalam Kolopaking dan Tonny (2007), faktor-faktor pemicu inovasi dan pertumbuhan suatu kawasan perlu diperhatikan, seperti kondisi sumberdaya, kondisi produk yang diminta pasar, kondisi persaingan dan kondisi
penunjang. Dalam konteks mengembangkan daya saing (competitive
advantage) kawasan komunitas penting menyadari dua hal. Pertama, daya saing berbeda dengan keunggulan komparatif (comparative advantage) sebuah kawasan yang tidak sepenuhnya tergantung pada masing-masing kepastian lokasi dan usaha-usaha internal. Kedua, ada dua tipe daya saing yang perlu dikenali, yaitu daya saing statis dan daya saing dinamis. Program pelatihaan peningkatan desain industri rajut merupakan salah satu program
Pemerintah Kota Bandung dalam rangka meningkatkan daya saing
produk rajutan dan daya saing kawasan sentra rajutan Binongjati. Daya saing produk dapat terlaksana melalui produk yang memiliki kualitas bersaing dengan produk lainnya. Dilihat dari sisi produk, produk rajutan Binongjati memang belum sepenuhnya mampu menunjukkan daya saingnya jika dibandingkan dengan produk impor. Hanya produk dari beberapa pengusaha saja yang memiliki daya saing tinggi dengan produk impor. Adanya program pelatihaan peningkatan desain industri rajut bagi ibu-ibu PKK di Kelurahan Binongjati dirasakan belum memberikan dampak nyata bagi peningkatan produktivitas dan daya saing produk dari sebagian besar pengusaha. Sebagian besar pengusaha masih mengandalkan desain produk sesuai pesanan konsumen, tidak terlalu banyak inovasi yang dilakukan. Salamah (42 tahun), seorang perempuan pengusaha
memahami
perlunya peningkatan desain, namun menurutnya semua tergantung pasar. ”Memang sih perlu peningkatan desain, keterampilan biar usaha tambah maju, tapi ya tergantung pasar juga, kalau konsumen gak suka model kita ya repot”
Dengan demikian perlu adanya sinergitas antara pemberi program dan penerima program agar program memberikan dampak nyata bagi pengembangan ekonomi lokal. Di samping itu, juga perlu pembentukan jejaring kemitraan dalam hal pemasasran produk. Kedepannya, dalam rangka meningkatkan daya saing produk maupun daya saing kawasan, terutama dalam menghadapi produk-produk
62 impor yang sudah mulai menjamur di Kota Bandung, program ini dapat diupayakan pelaksanaannya di masa mendatang dengan penambahan sasaran program, misalnya saja pengusaha perempun. Tentu saja, harus ada perencanaan yang matang, adanya partisipasi aktif dari perempuan pengusaha, adanya komitmen kuat dari Pemerintah Kota Bandung terkait pelaksanaan program. Komitmen kuat, kiranya merupakan salah satu modal utama dalam keberhasilan revitalisasi kawasan sentra industri dan perdagangan di Kota Bandung, khususnya kawasan sentra rajutan Binongjati.
5.2.3 Pengembangan Modal Sosial Secara konseptual program pelatihaan peningkatan desain industri rajut mempunyai tujuan untuk meningkatkan kehidupan komunitas sentra rajutan Binongjati melalui peningkatan daya saing produk dan daya saing kawasan. Namun dalam aplikasinya program ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum karena terbatasnya peserta yang mengikuti program, dan kurangnya sosialisasi program sehingga kurang terjaga keberanjutannya. Program cenderung kurang berhasil karena kurangnya sosialisasi dari pihak pemberi program, baik kepada penerima program itu sendiri maupun kepada pengusaha yang lainnya. Setelah sosialisasi dilakukan, kiranya perlu dibentuk adanya jejaring kemitraan di antara penerima program dengan pengusaha di Binongjati. Kemitraan terbentuk dalam hal penyediaan bahan baku majun (benang sisa) maupun pemasaran hasil produk kerajinan tangan. Untuk pemberdayaan ke depannya, program ini bisa saja dilakukan terhadap perempuan pengusaha
dalam rangka meningkatkan daya saing
produknya. Pembuatan kerajinan tangan dari benang sisa ini bisa dilakukan oleh pengusaha di sela-sela waktu luangnya mengawasi kegiatan produksi dan mengurus rumah tangga. Berdasarkan temuan lapangan, beberapa perempuan pengusaha menyatakan bahwa program Pemerintah Kota Bandung dalam rangka pembinaan usaha kecil menengah terhadap mereka, yang dirasakan dampaknya secara langsung oleh mereka adalah program pelatihan peningkatan keterampilan. Seperti yang diutarakan oleh responden Rokayah (44 tahun),
63 ”Bantuan dari pemerintah teteh rasa belum menyentuh ke pengusaha ya, yang terasa itu pelatihan-pelatihan soalnya kan langsung buat pengusaha. Kalau bantuan modal atau mesin biasanya kan ke koperasi, nah itu cuma beberapa orang saja yang menikmati.”
Melihat kondisi seperti ini maka kiranya program pengembangan masyarakat yang digulirkan pemerintah dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat ke depannya perlu memperhatikan : 1 Adanya partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program. 2 Program yang digulirkan bagi komunitas merupakan kebutuhan dari komunitas sesuai dengan permasalahan yang dihadapi komunitas. 3 Peningkatan perekonomian kawasan melalui peningkatan daya saing produk dan daya saing kawasan, dilakukan dengan memperhatikan potensi dan kendala yang dihadapi kawasan. 4 Pemerintah
mempunyai
komitmen
dalam
melakukan
pengembangan
masyarakat. Tingkat pencapaian keberhasilan program pengembangan masyarakat akan tercapai apabila program yang dikembangkan memiliki azas pengembangan masyarakat, yaitu kemandirian, kejujuran, kesetaraan, dan keberlanjutan. Program pengembangan masyarakat akan berhasil dan berlanjut apabila ada partisipasi aktif dari masyarakat serta ada komitmen yang kuat dari pemerintah terhadap program. Tanpa adanya partisipasi aktif warga komunitas dan komitmen dari pemerintah terhadap program maka program pengembangan masyarakat tidak akan terjaga keberlanjutannya.
5.4 Keterkaitan Program dengan Isu Gender Program PPUD belum memperhatikan isu-isu gender yang ada di komunitas,
sedangkan
program
pelatihan
desain
industri
rajut
sudah
memperhatikan isu-isu gender. Isu gender yang mulai diperhatikan pada program pelatihan desain rajut adalah dengan mengkhususkan pelatihan bagi perempuan. Adanya keterbatasan akses apabila pelatihan tidak dikhususkan bagi perempuan (undangan tidak tegas mengkhususkan bagi perempuan) telah dijawab oleh
64 program ini dengan mengkhususkan pelatihan bagi perempuan. Dengan demikian program pelatihan desain rajut sudah responsif gender. Kedua program yang digulirkan belum mampu memenuhi kebutuhan strategis gender. Program hanya mampu memenuhi kebutuhan praktis gender. Hal ini terlihat dari program yang melibatkan perempuan hanya sebagai penerima manfaat dan peserta program. Program telah mampu memperbaiki kondisi usaha perempuan dengan adanya bantuan modal (PPUD) dan meningkatkan keterampilan perempuan (pelatihan desain), namun belum merubah peranan dan hubungan sosial budaya yang ada.