EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 5.1. Kebijakan dan Strategi Pemberdayaan dan Pengembangan Kebijakan sosial adalah serangkaian tindakan, kerangka kerja, pentunjuk, rencana, peta atau strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial. Suharto, (2005). Program Pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM bagi masyarakat korban tsunami dan konflik, merupakan visi dan misi BRR dan pemerintah daerah yang diterjemahkan
ke
dalam
program
dan
tindakan
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Mengikuti konsepsi kebijakan sosial yang terkait erat dengan perencanaan sosial, maka program LKM merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan guna menanggulangi kemiskinan dengan sasaran keluarga rentan/miskin. Kegiatan LKM dilakukan secara terarah, terencana dan sistematik yang bertujuan untuk membantu meningkatkan kehidupan sosial, psikologis dan ekonomi keluarga melalui penguatan motivasi dan kemampuannya dalam mendayagunakan sumber-sumber dan potensi yang dimiliki, sehingga kemandiriannya secara cepat dapat diwujudkan. Perencanaan kegiatan pengembangan masyarakat seperti program melalui LKM termasuk perencanaan sosial yang merupakan serangkaian kegiatan yang terorganisir, yang memungkinkan individu, kelompok dan masyarakat untuk memperbaiki keadaannya sendiri, menyesuaikan diri terhadap kondisi yang ada dan berpartisipasi dalam tugas-tugas pembangunan. Dalam hal ini program pemnberdayaan melalui LKM tidak hanya menyalurkan bantuan modal usaha ke masyarakat melainkan juga mendorong pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Perencanaan dalam menyusun proposal kegiatan kelompok dilakukan oleh masyarakat dengan didampingi pendamping sosial termasuk menentukan jenis usaha, modal yang dibutuhkan, dan cara mengelola usaha ditetapkan oleh masyarakat khususnya keluarga miskin yang tergabung dalam kelompok usaha bersama. Tujuan dari ditingkatkannya pengalokasikan dana untuk program dan kegiatan pemberdayaan ekonomi rakyat pada tahun ketiga pasca gempa dan tsunami ini, dimaksudkan untuk memacu agar aktivitas ekonomi rakyat bisa bangkit dan berkembang kembali. Dengan aktifnya LKM seunuddon finance sejak tahun 2005, data awal diperoleh bahwa jumlah masyarakat atau komunitas
74 korban yang terberdaya berjumlah 350 orang/individu lebih dengan berbagai profesi. Profesi dominan adalah nelayan dan petani tambak. Penguatan ekonomi mikro bagi korban tsunami membutuhkan kinerja, strategi, ketepatan sasaran dan
profesionalisme
serta
proporsional
sumberdaya
manusia
maupun
kelembangaan/LKM. Namun sampai dengan saat ini tiga tahun pasca tsunami, komunitas korban tsunami Keude Simpang Jalan Seunuddon dalam segi ekonomi mikro relatif belum terberdaya. Walaupun upaya ini diketahui telah banyak dilakukan, baik oleh BRR Aceh-Nias, lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, lembaga swasta, lembaga perbankan, dan lembaga donor maupun lembaga atau individu. Tentu hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri terutama dalam komunitas korban dan masyarakat di Gampong keude simpang Jalan Kecamatan Seunuddon. Misalnya Ibu-ibu petani garam di Seunuddon, juga memperlihatkan etos mereka dalam menjalani kehidupan pasca tsunami. Ada atau tidak ada bantuan, mereka
tetap
bersemangat
menjalan
aktifitas
ekonominya,
demi
mempertahankan hidup keluarga dan harga diri. Mereka mampu mengorganisir kelompoknya dengan baik walau penghasilan mereka pas-pasan. Menurut Manager LKM Seunuddon Finance AH, ibu-ibu petani garam tersebut tidak pernah mengajukan permohonan kepada LKM. Namun menurutnya komunitas perempuan ini wajar untuk mendapat bantuan dari LKM. ” setahu kami, ib-ibu itu tidak pernah membuat permohonan kepada kami (LKM-red), namun hasil pengamatan kami bahwa ibu-ibu itu wajar dibantu dan berhak mendapat bantuan. Ketika kita sampaikan hal ini, tentu kita sampaikan syarat-syarat menjadi anggota LKM, ibu-ibu itu langsung sepakat..ada spirit yang kuat terpancarkan dari komunitas ini. Dalam LKM kami tercatat ada 102 orang perempuan yang mendapat modal usaha. Kedepan ibu-ibu ini akan menjadi anggota koperasi. Tentu tidak hanya komunitas ibu-ibu itu saja, juga ibu-ibu lain seperti pedagang, peternak, petani sawah..terbukti mereka dapat membantu kebutuhan ekonomi keluarganya”. Dalam konteks strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban, LKM seunuddon finance memiliki pendekatan sendiri selain aturan yang sudah diformalkan oleh BRR Aceh-Nias di Banda Aceh. Menurut managernya, keterlibatan sasaran menjadi hal utama. Mereka tidak hanya sekedar menyalurkan dana baik dalam bentuk qaldul hasan, mudharabah maupun ritel. Memang bantuan sosial berupa Qaldul Hasan sebesar Rp. 2000.000,diutamakan bagi orang-orang yang sangat miskin konban tsunami dan konflik. Pola yang diterapkan sesuai dengan makanisme yang sudah dibuat dalam buku
75 induk BRR, namun dibeberapa daerah kecamatan dan gampong ada perlakuan khusus. ”kita coba mendatangi orang-orang yang memang membutuhkan, dalam hal pendataan kita bekerja sama dengan pihak aparat gampong...karena dana qaldul hasan, menurut kami tidak ada imbalan atau infaq..mampu di kembalikan saja selama satu tahun itu sudah syukur. Beda perlakuannya dengan dana mudharabah dan ritel. Pengalaman; kalau untuk kaum lakilaki baiknya dibantu perorangan, sedangkan untuk kaum perempuan kalau bisa berkelompok...kami sudah pernah membantu secara kelompok untuk petani tambak, karena hampir semua memiliki tambak jadi sulit untuk berkelompok..kecuali dari individu-individu yang di bantu baru kemudian di jadikan kelompok bersama agar ada ikatan sesama petani tambak...juga pengalaman salah satu LSM lokal LIPMAGA, pernah membina secara kelompok artinya dana diperuntukkan bagi kelompok.., petani tambak jadi susah tambak siapa yang akan dipakai atau ketika panen semua minta bagian..belum sempat dicicil kepada LSM tersebut”. Hal senada disampaikan oleh ketua AMF center Banda Aceh, Drh.BHS, menurutnya strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami di Aceh sudah sesuai secara aturan. Namun dilapangan mungkin lain yang terjadi. “BRR Aceh-Nias bersama dengan stakholders lain telah mampu memformat strategi ini dengan baik, masalahnya tinggal dalam aplikasi lapangan. Memang yang terpenting adalah realitas lapangan. Bagaimana komunitas betul-betul menyatu dan terlibat mulai dari proses pendataan, perencanaan, implimentasi sampai evaluasi dalam program tersebut secara utuh. Kita terkendala dengan sumber daya manusia dilapangan, banyak orang yang dipakai menjadi maneger LKM, tidak memiliki waktu..mereka sibuk dengan aktivitasnya yang lain, harus diupayakan verifikasi ulang keberadaan manager, staf keuangan dan pembukuan. selain itu, verifikasi kelompok sasaran, yang terpenting juga pola koordinasi yang selama dianggap kurang baik, saya melihat tidak ada upaya berpikir jangka panjang, ketika komunitas yang dibina dapat menghasilkan produk-produk LKM kemana pasarnya? tidak mungkin hanya pada taraf lokal, maka diperlukan kerjasama semua elemen..mulai dari dinas perindag, Kadin, Dekopinda, perbankkan, koperasi/LKM dan lain-lain. Sudah saatnya Aceh memikir jangka panjang yang berkelanjutan”. Dalam hal ini tidak hanya koperasi/LKM Seunuddon Finance, berupaya mencari
strategi
pemberdayaan
dan
pengembangan
komunitas,
namun
lembaga-lembaga lokal lain juga sedang berupaya. Ketua Koperasi Pesantren Aneuk Laot sebagai induk dari LKM Seunuddon Finance, H.G, berpendapat bahwa, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh; Koperasi/ LKM perlu menjalin kerjasama dengan perbankan dan Pemda Aceh Utara serta NGOs guna memenuhi kebutuhan akan tambahan modal usaha, perluasan aksesibilitas
76 terhadap pasar agar peningkatan produksi dengan mudah dapat ditransfer ke bentuk pendapatan, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia LKM melalui berbagai pelatihan keterampilan dan bimbingan manajemen yang berkaitan dengan pengembangan uasaha ekonomi produktif, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Selain itu, modal sosial dan sistem jaring pengaman sosial dalam proses strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas menjadi penting. ”... saat ini, koperasi dan LKM kurang memiliki akses permodalan maupun pasar keluar, ketika hasil panen melimpah seperti ikan bandeng, kepiting dan lain-lain...,selain itu sumberdaya manusia pengurus koperasi dan LKM menjadi kendala, karena masyarakat menganggap masuk jadi pengurus dan anggota koperasi/LKM kurang mengungtung, bersifat jangka panjang.., menumbuhkan kesadaran dan kegunaan koperasi/LKM bagi masyarakat memang sulit.., tentu hal ini banyak dipengaruh oleh konerja koparsi/LKM masa lalu. Padahal modal sosial dan modal sumberdaya manusia cukup di gampong kami, tinggal saja memaksimalkannya”. Dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM, setiap anggota kelompok saling berelasi, berinteraksi satu sama lain secara timbal balik atas dasar kepercayaan, hak dan kewajiban. Setiap anggota kelompok ini juga mengembangkan
modal sosial melalui pengembangan
hubungan-hubungan aktif, partisipasi, dan demokrasi dalam wadah kelompok usaha bersama. Koperasi melalui LKM sebagai program pemberdayaan ekonomi mikro keluarga miskin berupaya untuk mengembangkan aspek lokalitas dan mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dan sumber-sumber terkait sehingga program dilaksanakan secara terpadu, saling mengisi dan memperkuat
dalam
mewujudkan
tujuan
bersama
untuk
meningkatkan
kesejahteraan komunitas. Dalam aspek psikologi sosial, pengembangan modal dan gerakan sosial pada pelaksanan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM dapat dijelaskan
melalui
perspektif
konvergensi
bahwa
perilaku
anggota
individu/keluarga dalam membentuk kelompok usaha bersama dapat dipahami dari dua faktor, yaitu faktor internal merupakan faktor yang muncul dari diri individu dan faktor eksternal merupakan faktor yang muncul dari luar diri individu. Kedua faktor tersebut saling berinteraksi memunculkan perilaku atau kondisi tertentu. Dalam interaksi ini akan terjadi saling percaya, saling memberi dan menerima, dan saling mempengaruhi.
77 Proses pembentukan perilaku anggota kelompok penerima program LKM dapat dilihat secara multi-center dan transaksional-center bahwa lingkungan sosial dan individu memiliki pengaruh yang sama besar dalam pembentukan perilaku. Dengan demikian kondisi yang terdapat dalam diri individu seperti karakter mental, skema, motif dan afeksi serta pengaruh dari center lainnya di luar diri seperti adanya pengaruh keluarga, kelompok, masyarakat, dan pemerintah mempengaruhi perilaku anggota kelompok usaha bersama. Dengan adanya motivasi anggota kelompok untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga maka mereka akan berperilaku kearah positif dalam pengembangan usaha. Keadaan seperti ini akan memunculkan feedback atau umpan balik dari lingkungan sosial yang menguntungkan mereka. Hal ini merupakan input untuk perilaku kearah positif berikutnya.
5.2. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Seunuddon Finance 5.2.1. Riwayat LKM Seunuddon Finance LKM Seunuddon Finance di bentuk tahun 2005 berdasarkan Badan Hukum Koperasi Pasantren Bungong Laot No.134/BH/KWK I/XII/1995/ 14 Desember 1995. Bermula ketika BRR Aceh-Nias meluncurkan program pemberdayaan dan pengembangan LKM dan Koperasi untuk kesejahteraan komunitas lokal terutama korban tsunami. Pilihan terhadap Koperasi Bungoeng laot sebagai salah satu Koperasi peserta program BRR adalah pilihan yang dilematis. Di Kecamatan Seunuddon sebagai daerah tsunami sangat sulit untuk mendapatkan lembaga keuangan yang sehat, baik lembaga perbankan sekalipun apalagi koperasi. Berpijak pada realita tersebut sangat sulit menentukan LKM-LKM peserta program BRR, yang mempunyai tingkat kesehatan keuangan yang baik, karena pada kenyataannya LKM Seunuddon Finance tidak memiliki simpanan pokok maupun simpanan wajib. Ditambah lagi tidak tersedia Sumber Daya Manusia yang dilengkapi dengan pengalaman dan kemampuan yang optimal. Pada kenyataannya unsur Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor utama dalam menjalankan suatu lembaga, khususnya lembaga keuangan. Musyawarah dan koordinasi dilakukan di kantor Dekopinda Aceh Utara bulan Maret 2005, antara Dekopinda Aceh Utara, Disperindagkop Aceh Utara, BRR Aceh-Nias Manager Koperasi dan Usaha Kecil dan PT. Bilpas Asri Kencana sebagai konsultan BRR bidang Koperasi dan Usaha Kecil. Hasil musayawarah tersebut ditetapkan dua koperasi di Kecamatan Seunuddon, salah satunya
78 adalah Koperasi Pesantren Bungong Laot. Koperasi ini sudah berdiri sejak tahun 1995, dengan ketua Tgk. H. Gani sampai dengan saat ini, Saiful Amd sebagai sekretaris dan Zulkifli sebagai bendahara. Sedangkan Badan Pengawas diketuai oleh Tgk. Ramli Sabil, anggota Tgk. H. Jamil dan H. Rusli Amat. Kemudian membentuk LKM Seunuddon Finance. LKM Seunuddon Finance menunjuk Aidi Habibie sebagai manager, Darmansyah sebagai staf keuangan dan Tgk. Usman AB sebagai staf administrasi. Kabupaten Aceh Utara memiliki jumlah koperasi yang cukup besar, mencapai 300 buah koperasi dengan berbagai bidang usaha dan melalui Lembaga BRR di Aceh Utara, ada tahun 2005 ada 13 koperasi dengan Lembaga Keuangan Mikro yang dipercaya untuk memberdayakan masyarakat korban tsunami dan konflik yaitu BD. Dewantara, BQ.Al-Amin, Kopontren Humaira, Kop. Pertanian Jambo Aye Makmu, Kopontren Miftahul Jannah, Kop. Krueng Bungka, Kopontren Bungoeng Laot, Kop. Perikanan Aneuk Laot, Kop. Perikanan Harkat Aneuk Laot, BQ.Al Fattah, Kop. Maba Saudara, Kowapi. Cut Nyak Dhien, dan Kop. Perikanan Makmu Beusare. Pada Tahun 2006 ditambah tiga Koperasi
dengan LKMnya yaitu Kop. Mastura, Kop. Neulayan Aneuk
Gampong dan Kop. Krueng Putroe. Di Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara ada dua Koperasi yaitu Kopontren Bungong Laot dan Koperasi Aneuk Laot. Salah satu yang akan dianalisis adalah Kopentren Bungong Laot dengan Lembaga Keuangan Mikro ”LKM Seunuddon Finance”, yang berkedudukan di Gampong Keude Seunuddon Kab. Aceh Utara (Dekopinda AU, 2006). (Lihat lampiran 11)
5.2.2. Penyelenggara, Sumber Dana dan Modal Bantuan Mekanisme penyelenggara program pemberdayaan komunitas korban melalui LKM, diterangkan lebih lanjut oleh Ketua AMF Center Banda Aceh. Bahwa di tingkat Propinsi penyelenggaranya adalah BRR Aceh-Nias dengan mekanisme pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: Pertama, BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi dan Manager Koperasi dan Usaha sebagai pembina dan regulator LKM berbadan hukum koperasi serta menyediakan pedoman umum pelaksanaan. Kedua, Dinas/Instansi di tingkat Propinsi dan Kabupaten memberi dukungan baik bantuan melalui APBD maupun mekanisme koordinasi. Ketiga, BRR melalui Deputi Ekonomi dan manager Koperasi dan UKM melakukan persiapan dalam bentuk orientasi dan observasi serta penyusunan Panduan
79 Teknis LKM yang dapat diterapkan di lapangan serta melakukan monitoring. Keempat, Aceh Mikro Finance Center (AMFC) sebagai wadah pemberdayaan, mengkoordinasikan LKM di seluruh Aceh yang berjumlah 137 LKM. AMF sendiri sudah memiliki 11 Cabang di Kabupaten/Kota. Kelima, BRR melalui konsultan PT. Bilpas Asri Kencana melakukan training 4 kali bagi seluruh ketua Koperasi, manager dan staf LKM dari berbagai daerah di Aceh dan Nias di Banda Aceh. Keenam, Dinas/Instansi Kabupaten/Kota bersama pengurus LKM dan AMF Kab. Aceh Utara melakukan need assesment keluarga dan jenis program yang diperlukan, serta saling koordinasi. Ketujuh, BRR bersama konsultan Bilpas menyiapkan tenaga pendamping dengan mekanisme sebagai berikut: Sosialisasi rekruitmen tenaga pendamping LKM bagi seluruh LKM yang dipercaya yaitu 137 LKM, pihak Konsultan dan BRR menghimpun seluruh nama calon pendamping untuk diseleksi kelayakan, selanjutnya pihak BRR dan Konsultan melakukan seleksi terhadap nama-nama calon pendamping yang masuk dan masing-masing LKM mendapat 1 orang pendamping yang langsung tinggal diwilayah LKM tersebut.Kedelapan, AMF Kab. Aceh Utara sebagai mediator dan mengkoordinir para pendamping dalam melaksanakan perannya. Kesembilan, LKM serta Dinas terkait membantu pendamping dalam melaksanakan peran pendampingan. Kesepuluh, pendamping melakukan peran pendampingan, yaitu pemberi informasi,
perencana,
fasilitator,
partisipator,
mobilisator,
edukator
dan
advokator. Sumber
dana
untuk
membiayai
Kegiatan
LKM
adalah
Anggaran
Pendapatan dan Belanja BRR Tahun Anggaran 2004, 2005, 2006 dan 2007. Bantuan stimulasi modal usaha ekonomi mikro yang diserahkan LKM ditujukan kepada masyarakat korban tsunami dan konflik yang memiliki embrio usaha di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon juga gamponggampong disekitarnya. Pada dasarnya dalam pembiayaan/pinjaman yang diberikan/disalurkan LKM kepada masyarakat ada beberapa jenis pembiayaan khususnya dengan menggunakan program BRR, antara lain: a. Konsep Pinjaman Qardhul Hasan (QH) Pinjaman jenis ini adalah pinjaman (maximal 2 juta) yang hanya mengembalikan pinjaman pokoknya saja dengan cara mencicil (maximal 1 tahun) tanpa harus memberikan bagi hasil keuntungan. Sifat pinjaman ini adalah pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi masyarakat korban gempa dan tsunami yang punya motivasi ingin usaha tapi tidak mempunyai asset produktif. Dari studi
80 ini ditemukan bahwa warga masyarakat yang menerima pinjaman QH ini hampir sebagian besar tidak mengembalikan pinjaman sesuai rencana (sesuai petunjuk teknis). Pada temuan yang lainnya pada masyarakat yang menerima pinjaman QH walaupun usaha mereka telah berjalan kembali dengan baik, tapi mereka masih enggan mengembalikan dana QH tersebut sesuai dengan rencana angsuran. b. Konsep Pembiayaan Mudharabah/Bagi Hasil (MH) Pembiayaan jenis ini adalah pembiayaan (maximal 5 Juta) yang diperuntukkan bagi masyarakat yang telah mempunyai usaha kembali setelah bencana gempa dan tsunami. Pola yang digunakan adalah bagi hasil dari keuntungan sesuai dengan penyertaan yang diberikan LKM kepada masyarakat, dan LKM hanya berhak mendapatkan keuntungan dari penyertaan modalnya sebesar (20 persen – 80 persen) 20 persen untuk LKM dan 80 persen untuk peminjam. Tapi bagi hasil ini tidak harus dibagikan apabila usaha yang dikelola tidak memperoleh keuntungan. Dari hasil studi ini ditemukan masih banyak LKMLKM yang memberlakukan pembiayaan ini sama halnya dengan pembiayaan Musyarakah.1 Pemberlakuan sistem bagi hasil ini pada masyarakat diperoleh temuan beberapa pandangan pro dan kontra, antara lain sebagai berikut : a) Masyarakat yang pro terhadap pola penerapan sistem bagi hasil ini mendapat respon positif dari masyarakat. Umumnya masyarakat bisa menerima sistem bagi hasil ini, karena mereka setuju dengan penerapan apabila mereka mendapat keuntungan mereka bagikan ke LKM (sesuai prosedur) dan apabila usaha mereka tidak memperoleh keuntungan maka mereka tidak harus membagikan keuntungan usaha. Biasanya warga masyarakat yang setuju dengan pola ini adalah mereka yang pencatatan usahanya jelas, lengkap, dan transparan dari pengelola usaha, dengan adanya informasi pendapatan yang jelas, maka dapat dilakukan pembagian secara adil. b) Masyarakat yang kontra dengan sistem bagi hasil ini, biasanya masyarakat tersebut tidak ingin di repotkan dengan perhitunganperhitungan usaha, dan oleh karena itu mereka tidak mengetahui pasti apakah diperoleh keuntungan atau tidak. Di samping pola QH dan MH juga ada pola Ritel, yaitu bantuan bagi hasil bagi pedagang maksimal Rp. 20.000.000,-. Pada Tahap awal LKM “Seunuddon
1
Pinjaman jenis musyarakah adalah pola bagi hasil dengan modal bercampur dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Namun pinjaman ini tidak ditelaah secara khusus dalam studi ini.
81 Finance” menyalurkan kepada 200 keluarga/individu untuk bantuan modal sosial Rp. 2.000.000,-. 140 keluarga/individu untuk bantuan bagi hasil mudharabah Rp. 5.000.000,- dan 4 keluarga/individu untuk bantuan bagi hasil Ritel Rp. 20.000.000,-. Semua stimulan ekonomi mikro ini disalurkan mulai Desember 2005. Bantuan modal usaha mikro ini ditujukan kepada masyarakat korban tsunami dan konflik yang memiliki usaha produktif seperti tambak, nelayan, petani sawah, petani garam, peternak, pedagang dan lain-lain. Pinjaman modal selama 1 tahun sesuai dengan akad perjanjian. Pola pembayaran dapat secara harian, mingguan, bulanan. Bila dilihat dari jenis usaha, untuk bantuan Qaldul Hasan Rp. 2.000.000,banyak disalurkan kepada keluarga dan individu paling miskin setalah tsunami, seperti petani garam dan sawah. Efeknya adalah pengembalian dana menjadi macet. dikarenakan banyak yang tidak memiki usaha yang jelas. Sedangkan untuk bantuan bagi hasil Mudharabah Rp. 5.000.000,- dilakukan pendataan dan verifikasi lapangan dengan baik, kebanyakan untuk usaha pertambakan, nelayan dan dagang kecil. Sedangkan Ritel hanya 4 orang digunakan untuk Dagang. Adanya bantuan ekonomi mikro secara stimulan melalui LKM pada keluarga rentan/miskin yang tergabung dalam kelompok usaha bersama
dirasakan
berdampak cukup besar terhadap kelangsungan usaha mereka sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan mempengaruhi taraf kesejahteraan keluarga miskin menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan program Pemberdayaan melalui LKM dan Koperasi. Pada daerah-daerah bencana alam, program yang diluncurkan biasanya bersifat
kerikatif (penyampaian sumbangan, yang tidak perlu dilunasi). Pada
program pemberdayaan koperasi dan LKM, bentuk santunan diwujudkan dalam jenis Dana Titipan Sosial (Qardhul Hasan). Jenis pinjaman ini ternyata pada temuan
monitoring
di
barak-barak
pengungsi,
terdapat
kecenderungan
masyarakat tidak mau mengembalikan ke LKM. Sudah tepat kiranya dana titipan sosial (Qardhul Hasan) menjadi bagian untuk dari pelayanan LKM. Saran yang dapat disampaikan, adalah: a) Jenis pinjaman Qardhul Hasan hendaknya diusulkan oleh masyarakat yang sungguh-sungguh tidak berdaya, bukan diusulkan oleh mereka yang telah memiliki unit-unit usaha kecil. b) Program pemberdayaan koperasi belum dapat terlihat wujudnya pada saat durasi pelaksanaan program kurang dari 1 tahun. Hal ini ditemukan pada koperasikoperasi program 2005.
82
5.2.3. Pendekatan dalam program LKM Program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM dilaksanakan dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan individual, yaitu kegiatan asistensi keluarga yang dilakukan dengan
memandang
individu
sebagai
bagian
penting
yang
sangat
menentukan keberhasilan Pemberdayaan. 2. Pendekatan keluarga, yaitu kegiatan pemberdayaan ekonomi mikro keluarga yang dilakukan meletakkan keluarga sebagai sentral kegiatan. 3. Pendekatan masyarakat, yaitu kumpulan usaha bersama (KUBE) keluarga dilakukan dengan meletakan masyarakat sebagai sumber penguatan kemampuan keluarga. 4. Pendekatan kelembagaan, yaitu Pemberdayaan ekonomi mikro keluarga yang dilakukan dengan meletakkan berbagai lembaga sebagai penyedia sumber penguatan kemampuan keluarga. Keempat pendekatan di atas, tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat antara lain: 1) Agama dan kepercayaan yang dianut. 2) Sosial dan budaya, berupa hubungan sosial, solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), dan keharmonisan untuk mencapai keadaan yang kondusif dalam masyarakat. 3) Politik, berupa azas-azas yang digunakan dalam pengambilan keputusan (demokratis, akuntabel, pertanggungjawaban, dan transparan). 4) Ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan bagi anggota keluarga. Dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan program LKM dilakukan beberapa sub- kegiatan sebagai berikut: a. Melakukan training bagi Ketua-ketua Koperasi yang terpilih dalam program BRR Aceh Nias. b. Melakukan training bagi manager-manager LKM yang terpilih. c. Melakukan taining bagi staf LKM (staf Administrasi, Finance dan kreditor) d. Melakukan
training
bagi
pengurus
AMFC
baik
propinsi
maupun
Kabupaten/kota. e. Melakukan sosialisasi bagi calon pemetik manfaat (masyarakat) tentang program pemberdayaan ekonomi mikro secara bergulir. f.
Bimbingan kesejahteraan sosial keluarga, dilakukan pada awal, proses dan lanjutan dalam penyelenggaraan program LKM.
83 g. Bimbingan /pemantapan teknis dalam bentuk antara lain pelatihan praktis, pelatihan keterampilan, pendampingan sosial, kemitraan/jaringan dan lainlain. Kesemua bimbingan teknis ini merupakan penunjang dari program LKM secara menyeluruh. h. Bimbingan manajemen usaha kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi mikro produktif, diadakan untuk memberikan bekal kepada sasaran agar dapat mengelola usahanya dengan baik dan bermanfaat bagi keluarga dan lingkungannya. Pelaksanaan LKM menggunakan media bimbingan sosial, stimulan usaha ekonomi mikro, dan sekaligus pembinaan kepada pihak-pihak yang berpengaruh terhadap kelompok sasaran. Seluruh kegiatan pada prinsipnya dilakukan atas dasar prakarsa atau inisiatif keluarga, sedangkan pihak penyelenggara adalah memfasilitasi inisiatif tersebut. Semua kegiatan diatas belum berjalan dengan baik.
5.2.4. Pengembangan Ekonomi Lokal Ekonomi lokal belum menunjukkan perubahan yang berarti dalam masyarakat Keude Simpang Jalan setalah mendapat modal usaha dari LKM Seunuddon Finance. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a. Strategi penyaluran modal bantuan LKM, banyak yang belum
tepat
sasaran. Pengurus LKM tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi lapangan terhadap kebutuhan atau kelayakan calon penerima bantuan. Sehingga dana yang disalurkan tidak berkelanjutan artinya terjadi kredit
macet.
Sesuai
dengan
pendapat
Syaukat
(2005),
bahwa
pengembangan ekonomi lokal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. b. Modal usaha yang diterima oleh masyarakat lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini dikarenakan pasca tsunami dan konflik masyarakat kehilangan matapencaharian. Lahan tambak, sawah belum berfungsi dengan baik. c. Kerjasama dalam masyarakat (lokal) di Keude Simpang Jalan juga belum berjalan dengan baik. Menurut Syaukat (2005) salah satu syarat untuk menumbuhkan ekonomi lokal adalah kerjasama dari seluruh masyarakat lokal tersebut. Hal ini diketahui dari hasil FGD dan wawancara dilapangan, bahwa proses perencanaan, implementasi dan monitoring dan evaluasi
84 terhadap program LKM tidak melibatkan masyarakat lokal secara aktif. Sehingga
bagi
warga
masyarakat
yang
mendapat
modal
usaha
menganggap sebagai hibah dari pemerintah sedangkan yang tidak mendapat modal dari LKM menjadi sumber konflik baru di Gampong Keude Simpang Jalan. Sumber-sumber potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Dalam perekonomian, permasalahan pokok yang harus dipecahkan adalah untuk siapa barang tersebut didistribusikan, bagaimana cara memproduksi barang, dan barang apa yang akan diproduksi. Untuk siapa barang tersebut didistribusikan sangat erat kaitannya dengan masalah pemasaran. Hal ini berarti barang tersebut akan diproduksi jika ada permintaan dari konsumen, sehingga untuk menjangkau pasar yang lebih luas tergantung dari permintaan pasar (demand creates own supply). Konsumen yang terjangkau oleh LKM sebagian besar hanya masyarakat
Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon
belum dapat menjangkau pasar yang lebih luas, apa lagi ekspor. Pasar andalan saat ini masih tertuju ke Medan. Padahal produk perikanan dan kelautan sangat potensial untuk pasar internasional.
5.2.5. Modal Sosial dan Gerakan Sosial Modal sosial meliputi partisipasi, kerjasama, gotong royong, kepercayaan (trust), saling tolong menolong, kelembagaan-kelembagaan yang berhubungan dengan sosial, ekonomi, agama, politik, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Asosiasi dan jaringan lokal seperti adanya Majelis Taklim dan kelompokkelompok pengajian yang melembagakan nilai-nilai moral dan norma-norma yang harus dipatuhi dapat memunculkan kepercayaan. Gampong Keude Simpang Jalan, seperti halnya Gampong-gampong lain di Nanggroe Aceh Darussalam memiliki modal sosial yang terus berkembang dalam masyarakat lokal. Namun pasca tsunami dan konflik, dari hasil wawancara dan FGD dilapangan didapati fakta yang berbeda. Bahwa realitas modal sosial sudah mulai bergeser atau mulai hilang dalam masyarakat. Partisipasi, kerjasama, gotongroyong, lembaga adat, saling kepercayaan dan tolong menolong, kepercayaan terdapat pemerintah dan tokoh agama, tokoh masyarakat (keuchik, imum mukim, imum meunasah, tuha peut, tuha lapan, ketua adat dll) dalam masyarakat lokal mulai luntur. Tatanan sosial mulai bergeser menuju ranah
85 indivualistik, materialistik dan ekonomi kapitalistik. Hal ini terbukti, semua hubungan interaksi dilandasi oleh kepentingan uang. Mengikuti konsepsi tentang modal sosial sebagaimana telah dijelaskan, maka Program Pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM merupakan modal sosial karena apa yang digambarkan oleh modal sosial juga terdapat pada Koperasi dan LKM, yaitu: a) Koperasi dan LKM merupakan serangkaian norma (norms) dan jaringan (network) yang dapat menggerakan keluarga rentan/miskin untuk melakukan tindakan secara bersama-sama (kolektif) yang diwujudkan dalam kelompok usaha bersama berdasarkan kekeluargaan, perasaan senasib sepenanggungan, semangat gotong royong, dan komitmen untuk berjuang bersama diantara mereka, menimbulkan solidaritas dan keterikatan yang kuat diantara kelompok. Semangat ini merupakan bentuk modal sosial yang mampu menciptakan kohesi kelompok. b) Dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM, setiap anggota kelompok saling berelasi, berinteraksi satu sama lain secara timbal balik (reciprocity) atas dasar kepercayaan (trust), hak dan kewajiban. Setiap anggota mengembangkan
kelompok ini juga
modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan
aktif, partisipasi, dan demokrasi dalam wadah kelompok usaha bersama. c) Koperasi melalui LKM sebagai program pemberdayaan ekonomi mikro keluarga
miskin
berupaya
untuk
mengembangkan
aspek
lokalitas
dan
mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dan sumber-sumber terkait sehingga program dilaksanakan secara terpadu, saling mengisi dan memperkuat
(bersinergi)
dalam
mewujudkan
tujuan
bersama
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terjadinya gerakan sosial pada program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM karena adanya deprivasi ekonomi dan sosial, seperti hilangnya peluang untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mengakses sumbersumber yang ada di masyarakat sehingga mereka berada dalam situasi kekurangan dan penderitaan. Jadi program ini sejatinya merupakan gerakan sosial karena bertolak dari gejala yang meningkat terutama dikalangan komunitas korban tsunami lapisan bawah. Dalam prosesnya dilakukan dengan memobilisasi berbagai potensi yang ada di masyarakat ke dalam peran terorganisir. Program Pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM ini pun memberikan momentum kemudahan situasional yang menunjang terjadinya suatu tindakan sosial.
86
5.3. Konflik dalam Program LKM Konflik yang terjadi di Gampong Keude Seunuddon dapat dikatakan masih merupakan konflik yang bersifat laten, tetapi bila potensi konflik ini tidak dikelola dengan baik maka dapat berkembang menjadi konflik yang nyata. Salah satu contoh isu konflik yang ada di Gampong Keude Seunuddon adalah masalah yang berkaitan dengan bantuan dari LKM. Warga masyarakat pada umumnya menganggap bahwa bantuan yang datang dari pemerintah adalah hibah. Persepsi seperti ini juga terjadi pada anggota kelompok usaha bersama LKM yang menganggap bantuan stimulan LKM sebagai hibah yaitu pemberian cumacuma dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan sehinga terjadi kemacetan pengembalian pinjaman modal usaha. Sementara pengurus kelompok usaha bersama LKM menekankan pada anggotanya bahwa bantuan tersebut harus dikembalikan agar dapat digulirkan. Pengembalian modal pinjaman dilakukan dengan cara mencicil sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Namun kenyataannya ada sebagian anggota tidak menepati kesepakatan yang telah dibuat bersama antara pengurus dan anggota dalam kelompok usaha bersama tersebut. Kemacetan dalam pengembalian pinjaman modal usaha ini memunculkan inisiatif pada pengurus dan anggota lain yang lancar untuk menagih secara langsung pada peminjam yang menunggak dan memberikan sanksi pada pemimjam yang tidak menepati kesepakatan dengan cara tidak diberikan lagi pinjaman modal usaha. Akan tetapi cara ini menimbulkan rasa tidak suka dari anggota yang macet pengembalian pinjamannya. Mereka tetap menganggap bantuan modal tersebut tidak perlu dikembalikan, karena pengalaman sebelumnya banyak bantuan modal dari pemerintah dan BRR bagi keluarga miskin tidak dikembalikan dan ternyata tidak pernah ada sanksi. Anggapan bahwa bantuan modal dari pemerintah dan BRR adalah pemberian yang tidak perlu dikembalikan sudah mengakar pada masyarakat. Selain itu, muncul juga prasangka anggota terhadap pengurus kelompok usaha bersama, bahwa pengurus telah menyelewengkan bantuan modal untuk kepentingannya sendiri. Anggapan lainnya, ketidakadilan dalam jumlah bantuan yang dipinjam bahwa pengurus dapat leluasa meminjam modal usaha dan anggota yang punya kedekatan hubungan dengan pengurus diberi kemudahan dalam meminjam modal usaha.
87
5.3.1. Pemetaan dan Penyebab Konflik di LKM Konflik yang terjadi di Gampong Keude Seunuddon bukan hanya melibatkan pengurus dan anggota melainkan ada pihak yang terkait dan berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Pihak-pihak tersebut adalah Geuchik, tokoh masyarakat, Pemetik Manfaat, masyarakat yang tidak mendapt bantuan dan anggota masyarakat yang pernah menerima bantuan dana dari pemerintah. Keterlibatan
pihak-pihak yang terkait dalam konflik secara lebih jelas terlihat
dalam Gambar 3. Gambar 3. Pihak-pihak yang terkait dengan konflik di LKM
PIHAK YANG TERKAIT DENGAN KONFLIK DI GAMPONG KEUDE SEUNUDDON A 1999 MASYARAKAT YANG TIDAK MENDAPAT MODAL DAN TOKOH MASYARAKAT
PEMETIK MANFAAT KREDIT MACET
: Konflik WARGA LAIN
PENGURUS LKM DAN KOPERASI
MUSYAWARAH
utama ANGGOTA : Hubungan yang kuat YANG RAJIN : Memberikan dukungan : Cara yang ditempuh untuk mengatasi konflik
: Konflik Utama : Hubungan yang kuat : Memberikan dukungan : Cara yang ditempuh mengatasi konflik
Dari Gambar 3 terlihat bahwa konflik utama yang terjadi di LKM Seunuddon Finance adalah
antara anggota yang menunggak pinjaman dan
pengurus LKM. Anggota yang menunggak mendapat dukungan dari warga lain yang pernah menerima bantuan dana dari pemerintah dan sampai saat ini mereka juga tidak membayar pinjaman yang diberikan. Sementara anggota yang disiplin dalam mengembalikan pinjaman sesuai dengan peraturan memberikan dorongan kepada pengurus untuk memberikan sanksi. Upaya yang pernah
88 dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan jalan musyawarah yang melibatkan Geuchik, pendamping, AMF Kab. Aceh Utara dan tokoh masyarakat yang netral. Masalah utama dalam konflik di LKM Seunuddon Finance adalah macetnya pengembalian pinjaman sebagai modal usaha. Penyebab yang sifatnya laten dari konflik ini adalah timbulnya prasangka anggota terhadap pengurus, adanya anggapan yang salah tentang bantuan pinjaman yang diberikan, adanya dorongan dari warga lain yang pernah menerima bantuan dri pemerintah dan tidak mengembalikan pinjaman yang diberikan, dan kurangnya sanksi terhadap anggota
yang
melanggar
kesepakatan.
Diagram
pohon
konflik
berikut
menjelaskan tentang masalah inti, penyebab, dan efeknya (Gambar 4). Gambar 4. Masalah inti, penyebab dan efek konflik di LKM.
Penyebab Konflik LKM
KECEMBURUAN ANGGOTA YANG TAAT
MENJELEKJELEKKAN PNGURUS
EFEK MENGHINDAR BERTEMU PENGURUS
TIDAK MENGHADIRI PERTEMUAN
TIDAK MENGEMBALIKAN PINJAMAN
MASALAH INTI Æ
KREDIT MACET DI LKM
PENYEBAB
PEMAHAMAN PEMAHAMAN YANG YANG SALAH SALAH PRASANGKA TERHADAP DORONGAN PRASANGKA TERHADAP DORONGAN WRGA WRGA LAIN LAIN 1/10/2004 17 PENGURUS KURANGNYA PENGURUS KURANGNYA SANKSI SANKSI USAHA USAHA MACET MACET
5.3.2. Kebutuhan dan Kepentingan Pihak-Pihak Berkonflik Masalah kredit macet di LKM Seunuddon Finance disebabkan perbedaan kebutuhan penunggak
dan
kepentingan
dengan
pengurus
yang
saling
LKM.
bertentangan
Analogi
bawang
antara bombay
anggota berikut
menggambarkan kebutuhan, kepentingan dan posisi dari kedua belah pihak yang berkonflik.
89
Gambar 5. Kebutuhan, kepentingan dan posisi pihak yang berkonflik di LKM.
KEP ENTINGAN DAN KEBUTUHAN PIHAK YANG BERKONFLIK
Pemetik Manfaat Penunggak
Tersedia fas ilitas pinjam an modal
Pengurus LKM Ke berlanjutan dan pe ngembangan us aha
Menambah pendapatan Menyambung hidup
Ke butuhan
Bantuan LKM perlu digulirk an
Ke pentingan Bantuan LKM adalah dari pemerintah, tidak perlu dikembalik an 1/10/ 2004
Pos is i
Bantuan LKM buk an pemberian, te tapi pinjam an yang harus dikembalik an
18
Dari Gambar 5 tampak bahwa terjadi perbedaan antara kebutuhan, kepentingan dan posisi dari kedua pihak yang berkonflik. Bagi pengurus, kebutuhan mereka adalah mengembangkan LKM agar dapat berkelanjutan. Kepentingan mereka adalah menggulirkan bantuan yang berasal dari pemerintah kepada anggota-anggotanya, sementara posisinya adalah bahwa pengurus bertanggung jawab terhadap pengembalian bantuan karena bantuan yang digulirkan bukan merupakan pemberian, tetapi berupa pinjaman. Bagi anggota, kebutuhan mereka adalah meningkatkan pendapatan sehingga dapat memenuhi kebuthan pokok. Kepentingan mereka adalah terdapat fasilitas bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan BRR melalui LKM, dan posisi (apa yang mereka katakan) adalah bahwa bantuan dari pemerintah dan BRR tidak perlu dikembalikan karena bantuan lain yang tidak dikembalikan tidak ada sanksinya.
5.3.3. Perundingan dan sasaran yang hendak dicapai Dalam rangka mengusahakan kembalinya pinjaman dari anggota yang menunggak dan menjelaskan permasalahannya, pengurus LKM melakukan koordinasi dengan Geuchik, pihak BRR dan AMF Kabupaten. Atas dasar itu, Geuchik dan AMF menghubungi anggota yang menunggak untuk melakukan pertemuan. Pertemuan diselenggarakan dengan dihadiri oleh pengurus, anggota yang menunggak pembayaran, Geuchik serta tokoh masyarakat. Kesepakatan
90 yang dicapai dari pertemuan tersebut adalah kesediaan para anggota untuk melunasi pinjamannya dengan cara mencicil dalam waktu yang diperpanjang. Setelah pertemuan, hubungan antara anggota dan pengurus tersebut mengarah kembali normal. Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian konflik melalui pertemuan belum mampu menyelesaikan konflik secara tuntas. Ada beberapa masalah yang belum terselesaikan. Masalah tersebut adalah: a) Tidak ada jaminan ketepatan waktu dalam pengangsuran pinjaman. b) Masih berkembang prasangka yang kurang baik terhadap kejujuran pengurus. c) Tidak ada sanksi bagi pelanggar kesepakatan. Penyelesaian diupayakan
melalui
konflik antara
musyawarah
diantara
anggota dan pengurus LKM kedua
belah
pihak.
Melalui
musyawarah diharapkan kedua belah pihak dapat menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan masing-masing pihak, sehingga didapatkan suatu titik temu yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Sasaran yang ingin dicapai dari musyawarah ini adalah: a) Anggota yang menunggak dapat mengembalikan pinjaman sehingga dapat digulirkan kepada anggota lain. b) Tercipta hubungan yang harmonis antara anggota dan pengurus. c) Pengelolaan keuangan LKM dilaksanakan secara transparan, sehingga tidak menimbulkan prasangka negatif anggota kepada pengurus. d) Bagi warga masyarakat yang belum mendapat bantuan modal usaha dari LKM perlu mendapat penjelasan secara jelas. Sehingga tidak muncul kecemburuan sosial. Secara rinci langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rancangan tindakan langsung terhadap konflik di LKM Seunuddon Finance di Gampong Keude Seunuddon berdasarkan praktek lapangan II adalah sebagaimana nampak pada Tabel 5. Tabel 5. Rancangan Tindakan Langsung dalam Penyelesaian Konflik Tahap Kegiatan Perencanaan - Mengadakan pertemuan - Memfasilitasi terlaksananya pertemuan
- Pihak I - Pihak II - Geuchik - Tokoh masyarakat
Pihak yang Terlibat
- Wawancara - Diskusi
Metode Kerja
Pelaksanaan Pertemuan/musyawarah untuk mencapai komitmen dan menyusun langkah
- Pihak I - Pihak II - Geuchik - Tokoh Masy. - Anggota lain
Dialog Diskusi Musyawarah Pengamatan Lapangan
Hambatan/Risiko Karena kedua belah pihak memiliki pandangan berbeda, kemungkinan sulit mengakomodir pendekatan yang cocok bagi kedua belah pihak. Kemungkinan salah satu atau kedua belah pihak melanggar kesepakatan.
91 pemeliharaan.
Monitoring dan Evaluasi - Melaksanakan pengawasan - Evaluasi
Kemungkinan adanya pihakpihak tertentu yang sengaja mempertahankan konflik
- Pihak I - Pihak II - Geuchik - Tokoh Masyarakat. - Anggota lain
- Pengamatan Lapangan - Diskusi
Kemungkinan kedua belah pihak saling menyalahkan satu sama lain.
Hasil wawancara tentang evaluasi program pemberdayaan melalui LKM Gampong Keude Simpang Jalan, diperoleh informasi bahwa setelah dikucurkan dana bantuan dari BRR Aceh-Nias melalui lembaga LKM/Koperasi selain tingkat keberdayaan, keberlanjutan program dalam masyarakat yang masih terabaikan, malah memunculkan konflik baru dalam masyarakat lokal tersebut. Konflik tersebut dipicu oleh pihak-pihak yang tidak mendapat bantuan modal dari LKM sedangkan mereka sudah mengumpulkan KTP sejak awal program yaitu bulan Juni tahun 2005. KTP yang terkumpulkan melebihi dari kapsitas dana yang ada. Selain itu, ada pihak-pihak yang dikatagorikan sebagai provokator atau pihak yang tidak senang dengan kepengurusan koperasi dan LKM. Mereka menjadi salah satu penghambat dalam keberlanjutan program. Mereka menghembuskan wacana bahwa dana bantuan LKM tidak perlu dikembalikan karena bersifat hibah dari BRR Aceh-Nias. Konflik bertambah besar ketika ada anggota Koramil, Polsek, perangkat kecamatan, perangkat Gampong, perangkat Mukim yang mendapatkan modal bantuan dari LKM sedangkan mereka menurut masyarakat tidak berhak mendapat dana tersebut. Ada juga warga masyarakat yang dikatagorikan mampu dan tidak mengalami musibah stunami dan konflik, malah mendapat bantuan sehingga masyarakat mempertanyakan ulang tujuan program tersebut. Bahkan ada informasi bahwa pengurus LKM dan koperasi pilih kasih, tidak transparan sehingga masyarakat menuduh terjadi korupsi dana LKM juga memunculkan kecemburuan sosial dalam masyarakat. Konflik juga terjadi dalam interen pengurus koperasi dan LKM. Konflik interen ini muncul sejak awal program implementasikan berkaitan dengan memilih kepengurusan LKM (manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan/debitor). Selain itu, banyak warga masyarakat yang mendapat bantuan ketika diundang tidak mau hadir, menghindari bertemu dengan pengurus LKM dan koperasi, bahkan menjelek-jelekkan pengurus LKM. Untuk mengatasi konflik
92 tersebut, dari FGD dan wawancara yang pengkaji lakukan didapatkan solusi bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mesti bermusyawarah dan juga pemahaman ulang tentang program yang sedang berjalan.
5.4. Evaluasi dan Prospek Keberlanjutan Program LKM 5.4.1.
Evaluasi Program LKM
a. Pandangan Terhadap Kinerja Umum BRR Aceh-Nias Evaluasi terhadap gagasan, ide, arah, kebijakan dan kebijakan program pemberdayaan
dan
pengembangan
koperasi
melalui
LKM
untuk
memberdayakan kehidupan ekonomi komunitas korban tsunami, dilakukan oleh pengkaji mulai praktek lapangan I,II dan III. Seluruh ide, gagasan, arah dan kebijakan tentang program, merupakan sebuah konsep yang komprehensif dalam menata kembali perekonomian rakyat Aceh pada pasca bencana gempa dan tsunami mulai tahun 2005 sampai dengan selesainya masa bakti BRR NADNias pada tahun 2009. Akhir masa tugas BRR tahun 2009, semua tugas, fungsi, seluruh asset yang tetap dan bergerak diserahkan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu aset penting dengan dana triliyunan rupiah adalah program pemberdayaan koperasi/LKM untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat khususnya korban tsunami. Program yang dikucurkan sejak tahun 2005 oleh BRR Aceh-Nias telah membawa pro dan kontra dalam dinamika masyarakat NAD. Pilihan terhadap lembaga berbadan-hukum Koperasi sebagai alat mediasi pengelolaan fasilitas dana BRR yang harus disalurkan ke komunitas korban, pada satu sisi merupakan langkah yang paling aman ditilik dari aspek legalitasformal sebuah lembaga yang akan menerima dana pemerintah. Namun pada sisi yang lain ternyata mengundang banyak tanggapan khususnya dari pihak institusi atau individu yang memiliki pandangan terhadap koperasi/LKM sebagai sebuah lembaga yang bercitra kurang positif. Evaluasi terhadap keterlibatan (partisipasi) komunitas korban menunjukkan bahwa komunitas korban karena kondisi dan situasi musibah, keterlibatan mereka terabaikan. Hal ini diungkapkan oleh Staf Pembiayaan LKM DS: ”..kami dari pengurus koperasi dan LKM hanya menyalurkan dana bantuan BRR kepada masyarakat yang berhak, dalam penentuan masyarakat yang berhak kami hanya berkoordinasi dengan aparat Gampong itupun hanya sebatas masukan umum. Wewenang besar dalam memilih ada pada koperasi/LKM. Kami tidak tahu bagaimana harus melibatkan masyarakat,
93 semua masyarakat yang tahu ada dana bantuan mendatangi kami, kami kewalahan, dengan waktu yang sedikit”. Penerapan prinsip partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam konteks pemberdayaan ekonomi mikro komunitas korban stunami di Aceh masih sangat kurang. Hal ini juga diungkapkan oleh Ketua AMF center Banda Aceh sekaligus sebagai ketua Dekopinda Aceh Utara Drh. BHS. “..kita ketahui program ini lahir dari BRR Aceh-Nias, sehingga dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi program pemberdayaan koperasi dan LKM untuk memberdayakan dan pengembangan komunitas korban tsunami keterlibatan korban tsunami relatif tidak ada. Partisipasi masyarakat hanya ketika dana masuk ke rekening LKM/koperasi artinya masyarakat mendatangi LKM untuk mendapat modal usaha. Itupun bagi masyarakat yang mendapat informasi dari mulut ke mulut. Bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi? Sosialisasipun tidak dilakukan, program terkesan terburu-buru hanya ingin menghabiskan dana secara instan, tanpa pemahaman yang jelas dalam masyarakat. Akibatnya kemanfaatan dan keberlanjutan program masih menjadi pentanyaan besar sampai saat ini”. Prospek keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami melalui koperasi/LKM yang mendapat suntikan dana dari BRR Aceh-Nias belum jelas. Besarnya dana yang dikucurkan oleh BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi untuk pemberdayaan ekonomi mikro di Aceh, belum menjadi jaminan program tersebut akan bertahan dan berlanjut dalam komunitas korban tsunami. Hasil observasi dan wawancara serta diskusi fokus group yang dilakukan pengkaji, menunjukkan indikasi tersebut. Keberlanjutan program tersebut masih menjadi pertanyaan. Artinya mesti dilakukan penelitian, pengkajian dan evaluasi ulang secara menyeluruh berkaitan dengan program penguatan ekonomi mikro tersebut. Walaupun demikian nada optimis muncul dari Deputi Ekonomi BRR Aceh Nias. Optimisme ini muncul, menurut pengkaji lebih kepada keberhasilan bidang ekonomi dalam upaya menghabiskan anggaran, tanpa dilandasi evaluasi mendalam tentang keberhasilan dan keberlanjutan program tersebut. Dalam sebuah wawancara, Deputi Ekonomi Sayed Faisal, kamis 4 Oktober 2007 dengan Koran Waspada mengatakan, bahwa dalam dua tahun terakhir, BRR giat melakukan program pemberdayaan ekonomi. Ada dua misi utama yang diemban oleh Kedeputian Ekonomi dan Usaha BRR Aceh-Nias yakni pada tahun-tahun awal fokus tugas untuk memperbaiki sektor usaha yang rusak, dimana bencana gempa dan tsunami menyebabkan sektor produktif merugi sekitar US$ 1,2 miliar. Kemudian, mulai
94 tahun ini tugas kedeputian adalah melakukan penguatan pondasi ekonomi yang berkelanjutan. Perbaikan ekonomi masyarakat ini ditunjang dengan pengembangan sentra-sentra porduksi seperti sentra kerajinan batik Aceh, sentra pengolahan ikan, pengembangan kawasan peternakan, terminal agribisnis, penguatan IOO (Investor outreach office) untuk menarik investor dalam dan luar negeri. Telah diresmikannya
Klinik
Kemasan
dan
Merk
untuk
UKM
yang
berfungsi
meningkatkan daya tarik agar tembus ke pasar pada berbagai kemasan dan merk, serta telah diresmikannya EDC (export development centre) yang menjadi pusat pengembangan ekspor baik untuk tingkat nasional maupun internasional. Selain itu juga telah melakukan kegiatan pelatihan, seperti life skill, perikanan, pertanian, peternakan untuk meningkatkan kualitas pelaku sektor riil ekonomi kecil. (Jumlah peserta pelatihan, melalui satuan kerja BRR Life Skill untuk tahun 2006 telah dilatih sebanyak 3.691 orang. Sayed Faisal menyebutkan, satuan kerja BRR Tenaga Kerja telah dilatih sebanyak 7.244 orang, masing-masing tahun 2005 sebanyak 3.947 orang dan tahun 2006 sebanyak 3.297 orang. Total jumlah peserta pelatihan sebanyak 10.935 orang). Guna mendukung program pemberdayaan ekonomi, BRR mendirikan lembaga keuangan mikro, dengan tujuan semua program dalam berkesinambungan setelah tugas BRR berakhir 2009. Angka realiasi keuangan Tahun Anggaran 2007 per 1 Oktober 2007 untuk Bidang Ekonomi dan Usaha baik di provinsi dan regional secara keseluruhan sudah mencapai rerata 30,79 persen. Kemudian angka realiasi kegiatannya sudah mencapai 36,44 persen. Serapan keuangan akan meningkat tajam pada bulan-bulan berikutnya, karena kegiatan di bidang ekonomi dan usaha pada umumnya bersifat swakelola (80 persen) dan kontraktual (20 persen). Selektivitas terhadap calon beneficiaries, penyesuaian kondisi iklim untuk bidang pertanian, dan penentuan lokasi kegiatan yang memerlukan koordinasi dengan pemerintah daerah merupakan tahapan yang harus ditempuh, yang notabene memerlukan waktu. Dalam sebuah seminar nasional di Jakarta Gedung Bidakara yang diselenggarakan oleh Bappenas dan BRR Aceh-Nias pada 30 Juli 2007, Kebetulan Pengkaji berkesempatan hadir sebagai peserta. Dalam wawancara kecil dengan Sayed Faisal juga mengungkapkan; bahwa ada 5 (lima) hal yang menjadi penyangga pondasi ekonomi Aceh, yakni pertama fokus pada ekonomi kerakyatan, kedua peningkatan investasi, ketiga perdagangan internasional,
95 keempat nilai tambah produk, dan kelima penguatan pengusaha dan institusi bisnis lokal. Ekonomi kerakyatan yang pada intinya memacu sektor produktif agar berkembang telah dilaksanakan melalui pemberian modal yang mudah dan tanpa agunan. Jika pada tahap awal perhatian utama pada kecepatan dana turun dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berusaha, maka saat ini fokus kita pada penguatan lembaga keuangan termasuk SDM-nya. Kemudian investasi terus diupayakan untuk dapat berkembang di Aceh, karena tanpa investasi, kegiatan ekonomi berkelanjutan susah dicapai. Di samping ini pembentukan EDC (Export Development Center) atau pusat pengembangan ekspor juga diarahkan sebagai lembaga penunjang pemasaran produk-produk Aceh ke luar (dalam dan luar negeri). Satu hal lagi, suatu produk akan tembus ke pasar apabila memiliki daya tarik, sehingga tahun 2007 ini juga diresmikan Klinik Kemasan dan Merk untuk UKM. BRR memprogramkan ‘exit strategy’ melalui lembaga Aceh Micro Finance, yang berperan dalam melakukan supervisi pembinaan kepada LKM-LKM. Dengan demikian pengelolaan dana di LKM-LKM tersebut akan tetap dapat di supervisi/dibina oleh AMF. BRR dan Pemerintah Aceh saling bahu membahu dalam mengimplementasikan program pemberdayaan ekonomi di Aceh. Melalui pembentukan "joint secretariat" atau Sekretariat bersama antara Pemda dan BRR yang ditunjang dengan telah dibentuknya Regionaliasi (Regional I – VI) merupakan langkah yang ditempuh BRR dalam proses pengalihan aset baik program dan operasional kepada pemerintah daerah. Di samping itu kegiatan akan lebih banyak kepada peningkatan kapasitas lembaga Pemda untuk mengelola aset dan melanjutkan program yang telah dijalankan oleh BRR. Seorang kawan pengkaji, ID seorang mahasiswa di Lhokseumawe, mengirim email pada pengkaji berkaitan dengan program LKM ini, pada 04 Oktober 2007, menurutnya; ”kita tidak perlu terlalu berprasangka negatif apa lagi secara berlebihan, coba lihat saja yang telah dikerjakan BRR mulai rehabilitasi mental masyarakat korban konflik, rekontruksi kawasan dan infrukstur daerah tsunami, pemberian modal usaha kepada masyarakat korban tsunami & dan korban konflik, kemudian BRR mengirim ratusan mahasiswa S1 dan s2 mendapat kesempatan belajar ke luar negeri, ratusan Lembaga keuangan mikro didirikan, ratusan pemuda tuna karya mendapat pelatihan dan kursus ketrampilan tepat guna. belum puasnya layanan masyarakat terhadap layanan LKM tentunya harus dipahami ada bebagai permasalahan, tidak semua orang yang datang ke LKM akan mendapat pinjaman, hanya bagi mareka yang betul-betul mau menjalankan berusaha dan berkarakter jujur yang akan mendapat prioritas, karena hal
96 ini berkaitan dengan jumlah pinjaman macet yang terjadi di LKM saat ini karena LKM rata-rata tidak membebankan agunan pinjaman bagi peminjam. sebagai contoh sekitar 40% dana modal usaha BRR melalui LKM saat ini macet”. Ada juga yang berpendapat, IS, ML dan MT mengenai pernyataan Deputi ekonomi BRR Aceh-Nias berkaitan wawancaranya dengan koran waspada tanggal 4 oktober 2007, yang terkirim ke email pengkaji. Menurutnya IS; ”merupakan sebuah pembenaran terhadap apa yg sudah dilakukan oleh BRR mengenai kinerja nya selama ini dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh- Nias. Jangankan berbicara tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat korban tsunami, tapi rekonstruksi perumahan saja belum selesai dan masih banyak para korban yang belum mendapat bantuan perumahan yang menjadi hak-hak dasar korban yang menjadi kewajiban BRR untuk melakukan pemenuhannya. Mengenai tentang pembentukan sektretat bersama antara BRR dan Pemda yang orientasinya untuk penguatan kapasitas pemda semata. Begitu juga dengan pemberdayaan ekonomi yang sudah dijalankan, begitu banyak masalah yang tersisa di daerah program baik yang bersumber dari BRR maupun yang dilakukan langsung oleh para donor”. Namun demikian, juga perlu disampaikan bagaimana pendapat pengamat tentang keberadaan BRR dengan berbagai programnya. Salah seorang tokoh Aceh yang konsisten mengamati perkembangan masyarakat Aceh adalah Teuku Kemal Fasya dalam sebuah artikelnya di kompas 12 Mei 2007, yang berjudul; Bersama BRR, Aceh Tetap Menderita, juga memberi masukan yang sangat berarti kepada BRR dengan program pemberdayaan ekonomi mikronya. Menurutnya, tanggal 30 April lalu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi AcehNias memperingati tahun kedua keberadaannya. Namun, suasana di Aceh tidak gempita di mata korban tsunami. Tiada hiasan umbul-umbul yang menyemangati keberadaan super body yang dibentuk berdasar Perpu No 2/2005 itu, kecuali sederet permasalahan yang masih menumpuk. Kado terburuk bagi puluhan ribu pengungsi yang masih tinggal di barakbarak kumuh dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan memprihatinkan. Problem lain adalah komitmen sosial para pekerja BRR yang lemah. Kebanyakan pengelola Badan Pelaksana bukan orang Aceh atau tidak berasal dari komunitas aktivis yang dikenal berhasil melakukan pekerjaan sosial dengan cepat dan tepat. Sebagian besar adalah "profesional kantoran" yang tidak menguasai lapangan dan lemah pengalaman partisipatif dalam mengatasi bencana alam dan sosial. Dibandingkan dengan lembaga sejenis di negara lain, peran BRR sama sekali tidak memiliki fokus. Pada kasus gempa di Kobe, Pemerintah Jepang
97 hanya fokus kepada program perumahan dan infrastruktur. Demikian pula pada penanganan bencana tsunami di Andaman dan Nikobar, Pemerintah India mendelegasikan wewenang kepada lembaga independen yang bertugas mengurangi derita bencana (disaster reduction) yang "hanya" bertujuan pokok pada pemulihan ekonomi, perbaikan infrastruktur air, pemberdayaan perempuan, dan peningkatan kapasitas masyarakat desa”. Menurutnya, Prinsip ingin melakukan semua telah membuat banyak proyek rehabilitasi menjadi "setengah matang" di perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Terlalu banyak perencanaan, sedikit tindakan, tetapi terlalu besar risiko anggaran yang dikeluarkan. Struktur BRR yang terus menggelembung untuk gaji, biaya operasional, dan pengadaan alat yang menghabiskan lebih dari dua pertiga dari total anggaran menjadi masalah prinsipiil. Hingga Maret 2007 keberadaan pegawai BRR telah mencapai 1.297 orang. Anggaran untuk menggaji mereka adalah Rp 14,03 miliar per bulan atau Rp 168,4 miliar per tahun. Dan jumlah ini terus menunjukkan grafik meningkat per semester. Anggaran transportasi staf sebesar Rp 2,7 miliar per bulan, membuka peluang distortif untuk kepentingan jalan-jalan gratis atau weekend ke luar kota dan atau ke luar negeri. Pemikiran
konkret
yang
harus
diambil
untuk
mengakhiri
infeksi
inkompetensi dan kelambanan kinerja BRR adalah secepat mungkin melepas mandat dan menyerahkan wewenang rehabilitasi dan rekonstruksi kepada pemerintahan yang terpilih melalui pilkada 11 Desember lalu. Wacana awal pembentukan BRR adalah menjadi lembaga yang terpercaya dalam koordinasi dan konsolidasi anggaran dari pemerintah dan dunia internasional (6,1 miliar dollar AS dari komitmen 7,5 miliar dollar AS pada awal tsunami) sekaligus menengahi problem korupsi yang terjadi di Aceh karena kepemimpinan daerah yang lemah. Berbagai nada optimis sekaligus pesimis dalam proses keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat melalui koperasi/LKM bermunculan dalam masyarakat baik di Aceh sendiri maupun luar Aceh. Namun yang pasti keberhasilan program tersebut mesti dikembalikan kepada komunitas korban sendiri. Keterlibatan sejak awal perencanaan sampai proses evaluasi; komunitas korban semestinya diikutkan. Harapan kini satu transisi telah selesai dengan hadirnya figur Irwandi Yusuf sehingga tak ada peluang untuk menunda mengembalikan tanggung jawab di tangan masyarakat Aceh sendiri. Menurut
98 pengkaji, proses phasing out/pengalihan yang dipercepat akan mengakhiri penyakit birokratisme dan gaji yang supermewah yang dirasakan pegawai BRR saat ini. Sebagai perbandingan, gaji Kepala BRR sebesar Rp 60,6 juta dan pegawai terendah sebesar Rp 10 juta per bulan tidak sebanding dengan kinerja yang telah ditunjukkan. Sebagian besar aktivis Aceh yang cukup kreatif dan passionate tidak bisa berbuat apa-apa dan menjadi ”ayam sayur” ketika masuk ke lembaga ini. Mereka tak berani melawan problem sistemik yang ada di lembaga itu. Tujuan pun beralih dari cita-cita transformasi sosial ke arah mendapatkan jaminan hidup di atas rata-rata. Phasing out dan penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah akan mengakhiri dualisme program yang selama ini terjadi sekaligus mengintensifkan peran kedinasan yang ada, termasuk "menaturalisasi" kesenjangan pendapatan dan telah menimbulkan kecemburuan sosial. Kalaupun BRR harus tetap dipertahankan, wewenangnya hanya pada perencanaan dan pengawasan dan bukan implementasi. Jika berbagai masukan lagi-lagi diabaikan, sepertinya Aceh menunggu sejarah kembali melipat nasib korban yang seharusnya diangkat tinggi-tinggi dalam penanganan bencana. Penting mengingat kata-kata Graham Hancock dalam Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business (2004), "Organisasi bantuan sosial hanya melakukan kompetisi untuk memperbesar ukuran tubuhnya sendiri dengan membuat catatan kecil yang berharga bagi korban dan sebenarnya mereka sendirilah yang paling diuntungkan dari program tersebut. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengatur komitmen dari komuniti untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: konteks saat ini untuk meningkatkan partisipasi dari komunitas, overview tentang hubungan antara kegiatan komunitas dengan lingkungan, meningkatkan issueissue utama dan pertanyaan untuk mengumpulkan khususnya proverty, komunity,
membangunan
kapasitas
dan
kelanjutannya.
Pada
dasarnya,
komunitas sendiri saja tanpa dukungan dari pemerintahan local tidak akan bisa bertahan lama. Setiap profesi dan petugas public harus menghormati mereka yang tergantung pada pelayanan yang diberikan oleh profesi atau petugas public tersebut, dan harus memberi mereka jalan untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka. Membangun hubungan yang kreatif antara pendekatan komunitas lokal dengan institusi public yang mendukungnya, sangatlah penting.
99 Partisipasi dari komunitas dalam pembangunan berkelanjutan bisa terwujud yang menurut Chanan berdasarkan hasil penelitiannya adalah jika kepuasan atas hubungan personal tinggi, dengan otoritas yang rendah, pengaruh dari individuindividu tertentu moderat, dan pengaruh dari group local tinggi. Kalau kondisi masyarakat sangat tidak percaya kepada pemerintah dan layanan-layanan public, maka partisipasi dari penduduk dalam komunitas yang mendorong pembangunan berkelanjutan sangat rendah. Pembangunan Kapasitas sebaiknya tidak terlihat sebagai pelopor dan pembangunan berkelanjutan tapi proses pengembangan melalui program kegiatan yang didukung oleh prinsip-prinsip yang pasti. Setelah mengevaluasi program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM “Seunuddon Finance” dari aspek pengembangan ekonomi lokal, pengembangan modal sosial dan gerakan sosial, serta kebijakan dan perencanaan sosial, maka disimpulkan
beberapa
hasil
evaluasi
secara
umum
terhadap
program
pengembangan masyarakat melalui LKM sebagai berikut. 1. Sumber Daya Manusia pengelola LKM masih kurang, rata-rata hanya tamatan SMU. 2. Pola koordinasi antara BRR, Pemda/Dinas terkait, AMFC dan Koperasi-LKM belum berjalan sebagaimana mestinya. 3. Belum
terciptanya
dukungan
yang
memadai
dari
pelaku-pelaku
pembangunan lokal seperti pemda, pengusaha, kelompok peduli, NGOs (Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat, ulama) sehingga kerjasama belum terwujud dalam penanggulangan keluarga miskin melalui kelompok usaha bersama. 4. Belum terciptanya jalinan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi yang disebabkan
kurangnya
informasi
dan
pengetahuan
bagaimana
cara
mengakses sumber dan pihak mana yang dapat diakses, maka dalam hal ini pendamping sosial perlu melakukan perannya secara optimal yaitu sebagai pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan advokator. 5. Bantuan modal usaha pergulirannya kurang lancar bahkan terjadi kemacetan dan tidak berkembang karena pada umumnya masyarakat menganggap bahwa setiap bantuan dari pemerintah dan BRR sebagai hibah yang tidak perlu dikembalikan.
100 Dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM pemanfaatan modal sosial sebenarnya sudah ada. Kelompok usaha bersama yang dibentuk, di dalamnya terdiri dari keluarga miskin sebagai anggota masyarakat yang saling berinteraksi dan berelasi, bila dilihat dari modal sosial hal ini menunjukkan bahwa kohesifitas dan kepercayaan sudah ada diantara mereka. Norma-norma dan nilai-nilai yang menentukan interaksi antara anggota kelompok dibentuk oleh LKM dengan persyaratan bantuan modal usaha secara bergulir diberikan kepada keluarga dan individu serta kelompok. Wujud kongkrit dari modal sosial dalam kelompok usaha bersama, seperti kelompok tambak, berupa komitmen bersama dalam berorganisasi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Semangat gotong royong, senasib sepenanggungan dan komitmen untuk berjuang bersama diantara mereka menimbulkan solidaritas dan keterikatan yang kuat diantara kelompok. Semangat ini merupakan bentuk modal sosial yang mampu menciptakan kohesi antar keluarga yang membemtuk kelompok bersama yaitu kelompok tambak, dagang, nelayan dan lain-lain.
b. Evaluasi Program LKM Secara umum dapat dievaluasi sesuai dengan temuan lapangan, yaitu: a. Dari segi sebaran lokasi keberadaan koperasi/LKM; keberadaan LKM Seunuddon Finance masih mudah dijangkau dengan roda dua atapun roda empat. Transportasi sudah tersedia, jalan sudah diaspal walaupun sudah mengalami rusak berat, jarak dengan kecamatan hanya 1 kilometer, dengan jalan negara 10 kilometer, dengan Ibu kota Kabupaten 60 kilometer. b. Dari sisi Sumber Daya Manusia untuk pengurus dan pengelola yang berbadan hukum koperasi secara umum ditemukan berdasarkan biodata yang ditemukan bahwa LKM Seunuddon Finance, yang terdiri dari manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan semua tamatan SMU. Sehingga mereka memenuhi persyaratan minimal sebagai pengelola LKM. c. Adapun evaluasi tentang kemandirian LKM ditemukan bahwa setiap LKM belum dapat mengelola dana fasilitas BRR (rata-rata per LKM 900 juta) yang pada kenyataannya dengan dana sebesar itu seharusnya LKM yang mendapat Bantuan/suntikan dana dari BRR, sudah dapat mandiri. Hal ini dikarenakan,
LKM
Seunuddon
Finance
mengalami
konflik
dengan
101 masyarakat maupun dalam tubuh lembaga LKM atau koperasi itu sendiri. Sehingga semua dana yang sudah dikucurkan sulit dikembalikan. d. Ide dan gagasan tentang pemberdayaan koperasi melalui LKM pada saat pasca gempa dan tsunami secara langsung tanpa dilandasi penguatan kelembagaan Koperasi/LKM dapat dikatakan kurang tepat. Mestinya BRR Aceh-Nias, pemerintah dan lembaga donor lain melakukan penguatan capacity building terhadap lembaga dan pengurus koperasi/LKM, setelah itu selesai, baru kemudian dana dikucurkan. e. Dari segi masyarakat, pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah (barak). Kalaupun ada pihak diluar mereka yang mempersiapkan fasilitas dana untuk usaha, prosedur/tata cara yang paling tepat adalah yang sederhana. Karena pada dasarnya kondisi dan lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat lokasi bencana tidak dapat berfungsi atau belum saatnya berfungsi secara normal. Sehingga yang terjadi adalah semua dana bantuan modal usaha dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, bukan untuk modal usaha. f.
Di tilik dari kondisi infrastruktur seperti media transportasi, sarana komunikasi, dan sarana listrik, semuanya masih belum berfungsi normal pada saat program diluncurkan. Faktor tersebut sangat berpengaruh pada tingkat pelayanan lembaga yang bergerak di pelayanan publik termasuk koperasi. Ketika kondisi ini diabaikan dan program tetap berjalan, akibatnya adalah terjadi gangguan (disfungsi) terhadap pelayanan publik. Untuk lembaga koperasi/LKM di temukan kondisi sebagai berikut: kesulitan menjangkau koperasi pada daerah bencana karena belum ditemukan sarana, sehingga fungsi pengendalian dan supervisi terlambat dilakukan. Arus listrik yang cenderung tidak stabil setiap hari, hal ini berakibat pada tidak berfungsinya atau kerusakan pada perangkat lunak dan keras yang menjadi alat kerja utama lembaga pelayanan publik seperti koperasi/LKM. Sehingga administrasi awal dari LKM Seunuddon Finance bersifat manual. Semua dicatat secara manual yang menyulitkan proses kerja dilapangan. Akibat lain yang ditentukan adalah pencatatan administrasi dan keuangan
102 dilakukan secara manual yang
cenderung memiliki kelemahan dalam
keakuratan data keuangan dalam penerapannya. g. Evaluasi terhadap tata cara: identifikasi, seleksi dan penetapan LKM peserta program BRR Aceh-Nias, adalah hal yang sangat sulit untuk mendapatkan lembaga keuangan yang sehat, baik itu lembaga perbankan sekalipun apalagi koperasi. Berpijak pada realita tersebut sangat sulit menentukan LKM peserta program BRR, yang mempunyai tingkat kesehatan keuangan yang baik, karena pada kenyataannya banyak LKM yang tidak memiliki simpanan pokok maupun simpanan wajib. Kenyataan ini dialami oleh LKM Seunuddon Finance, mereka baru terbentuk ketika program BRR Aceh-Nias diluncurkan. h. Dinilai dari jenis bantuan pola bantuan yang diterapkan sudah cukup baik, baik itu dinilai untuk kepentingan masyarakat sebagai pemetik manfaat ataupun LKM, karena jenis bantuan yang ada bervariasi disesuaikan dengan kondisi dari masyarakat/pemetik manfaat yang ada. Namun dalam prakteknya dilapangan semua jenis bantuan tersebut tidak
berjalan
dengan baik. Hal ini disebabkan, pemahaman masyarakat tentang pola bantuan sosial, mudharabah/bagi hasil dan ritel masih lemah, termasuk pengurus LKM/koperasi itu sendiri. Artinya sosialisasi tentang program tidak dilakukan secara maksimal. i.
Evaluasi di lapangan ditemukan bahwa LKM dituntut dalam waktu yang singkat harus dapat menyeleksi masyarakat untuk menjadi pemetik manfaat atau penerima bantuan dalam jumlah yang besar. Yang pada kenyataannya dalam waktu yang singkat tidak bisa dilakukan penyeleksian yang akurat terhadap pemetik manfaat yang berkualitas. Realitas dilapangan, untuk sosialisasi tentang keberadaan LKM belum
berjalan dengan baik. Padahal dengan sosialiasi ini merupakan sarana ampuh untuk menarik minat masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan program LKM. Namun sampai sejauh ini upaya sosialisasi LKM masih belum optimal dijalankan, sehingga banyak warga masyarakat yang belum memahami program LKM, seperti yang diungkapkan oleh Manager LKM Seunuddon Finance AH. “...memang keberadaan program LKM Seunuddon Finance belum semua masyarakat mendapat informasi yang lengkap. Kita saja sebagai pengurus LKM dan koperasi mendapat informasi yang berubah-rubah dari Banda Aceh (BRR-Red), awalnya kita disuruh mengumpulkan KTP masyarakat, membuat rekap nama dan nomor KTP dan administrasi lain dikirim ke Banda Aceh. Tahap awal sampai 800 orang diminta per LKM,
103 namun kemudian berubah-rubah sampai tiga kali. Saya kira di Banda Aceh saja belum siap, apalagi kita sebagai pengurus di Gampong”. Ketua AMF center Banda Aceh Drh.BHS, sebagai payung LKM berkaitan dengan keberlanjutan program dan masalah yang muncul, mengatakan bahwa; ”kita tidak mungkin mengakomodir semua permohonan masyarakat korban, LKM di masing-masing daerah mesti melakukan verifikasi terhadap layak atau tidaknya di bantu dengan dana LKM. Sekarang saja, banyak yang sudah menerima pinjaman tapi sulit dalam pengembalian..saya kira berlanjut atau tidaknya program ini salah satu tergantung pada pengembalian nasabah, sehingga dana pengembalian dapat digulirkan pada orang lain, itu baru adil namanya. Komitmen awal dan arah program saya kira sudah cukup bagus, keterlibatan masyarakat juga ada..., tapi memang dalam praktek dan realitas lapangan ya seperti itu. Kalau boleh saya menyebutkan, tidak hanya pada pihak BRR, AMF atau LKM yang yang bermasalah secara manegement tapi juga budaya kita yang belum terbiasa seperti ini, ada yang mengangap dana ini hibah jadi tidak usah dikembalikan.” Manager dan sekretaris LKM ”seunuddon Finance” AH dan DS. Sampai mengeluh untuk mengundurkan diri dari kepengurusan LKM, dengan alasan susahnya pengembalian dari masyarakat. Karena menurutnya, indikator keberhasilan LKM selain sukses dalam penyalur yang tepat sasaran juga ditentukan oleh lancarnya pengembalian dari masyarakat. Sampai saat ini LKMnya baru mampu menarik pengembalian dana dari nasabah 35 persen sedangkan 70 persen kredit macet. ”....memang tidak mudah berhadapan dengan masyarakat dalam mengutip dana pengembalian.., kadang kita berkali-kali datang ke tempat usahanya, terkadang juga ke rumahnya..., berbagai macam alasan. Padahal kita sudah capek, butuh biaya untuk pergi kesana-kemari..,tapi tidak semua ya, ada juga yang tepat waktu datang ke kantor untuk menyetor..nah..orang seperti ini biasanya bisa pinjam lagi kalau dia membutuhkan. Kami kira kejujuran dan kesadaran dalam hal ini penting. Rata-rata yang mendapat pinjaman ada usaha yang jelas seperti tambak, nalayan, petani garam, petani sawah, pedagang kecil, peternak kambing juga ada beberapa orang pedagang jual beli ikan (mugee-red) dengan honda (motor-red).. Kami juga ada pinjam, ya seperti orang lain. kami hanya di gaji 2 bulan pertama waktu awal program berjalan, sedangkan saat ini tergantung dari pengembalian dari masyarakat. Padahal kami harus menggaji staf administrasi dan pembukuan. Hal senada juga disampaikan oleh geuchik (kepala desa-red) Bapak DS keude
simpang jalan
seunuddon
yang
juga sebagai
sektretaris LKM.
Menurutnya, persoalan ini sudah muncul sejak kita mengekuti pelatihan di Banda
104 Aceh berkaitan dengan pemberdayaan koperasi dan LKM yang diselenggarakan oleh BRR Aceh-Nias. ”waktu kami diundangpun mendadak, itupun ada pak Baharuddin yang menelpon kami untuk mengikuti pelatihan. Pak Baharuddin waktu itu masih ketua Dekopinda Aceh Utara jadi beliau tahu koperasi-koperasi yang cocok untuk mengelola dana tersebut..setelah kami pelatihan, secara mendadak pula kami disuruh kumpulkan KTP masyarakat yang kira-kira berhak mendapat bantua...dengan jumlah sampai 700 orang, terus 1 minggu kemudian jumlah itu berkurang hanya 300 orang, padahal KTP sudah kami kumpulkan...efeknya ketika dana ada..semua yang merasa pernah menyerahkan KTP minta dana, jadi kami yang pusing disini. Memenag sejak awal sudah seperti itu, jadi kadang sulit menyalahkan masyarakat ketika ada yang tidak mau mengembalikan. Keluhan mereka, sebenarnya cerminan dari ratusan LKM yang ada di Aceh, mungkin akan berbada dengan LKM atau Baitul Qiradh yang sudah profesional atau lembaga keuangan yang sudah lama muncul. Sebagai contoh Baitul Qiradh Baiturrahman Madani merupakan salah satu lembaga keuangan mikro (LKM) yang memberikan bantuan kredit untuk membangun usaha kecil dan menengah. Baitul Qiradh ini mulai beroperasi pada 1995 dan menjadi salah satu program pemberdayaan usaha kecil dan menengah yang diprakarsai oleh pemerintah di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi, B.J.Habibie saat itu.
Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, Baitul
Qiradh Baiturrahman Madani melakukan kerja sama dengan BRR, mengelola dana bantuan modal usaha sebesar 1,4 miliar untuk jangka waktu 1 sampai 2 bulan. Usaha ini dilakukan untuk membantu warga yang kehilangan mata pencahariannya setelah rumah dan usahanya rusak diterjang tsunami. Dana ini merupakan dana bergulir artinya dana yang diterima akan diberikan kepada masyarakat untuk unit usaha kecil menengah (UKM) dalam bentuk pinjaman. Dana tersebut harus dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Dana yang sudah dikembalikan akan digulirkan lagi dan dipinjamkan kepada warga lain dan seterusnya demikian. Nora Paulina, Direktur Baitul Qiradh Baiturrahman Madani, yang dikutip dari Koran Serambi oleh peneliti pada tanggal 2 Maret 2007. Menerangkan; ”...penyediaan modal pada Baitul Qiradh merupakan akses yang memudahkan para pengusaha kecil ketimbang peminjaman modal ke Bank yang membutuhkan jaminan besar. Baitul Qiradh juga memiliki kebijakan perlu ada jaminan ketika warga mengajukan usulan peminjaman modal, “Jaminan ini merupakan usaha kami untuk membangun ikatan antara nasabah dan lembaga,”. Pada mulanya Baitul
105 Qiradh memberikan pinjaman tanpa jaminan dan mengandalkan asas saling percaya. Sayang, banyak dari nasabah tak mengembalikan pinjaman tersebut sehingga dana bergulir macet. “Masyarakat kita belum siap menerima kemudahan yang kita berikan,”. Berdasarkan pengalaman ini, kita mengganti kebijakan dan menetapkan perlu ada jaminan, sehingga dana tetap bisa digulirkan. Jaminan bukan merupakan hal mutlak dalam pemberian dana ini. Dalam memberikan dana, LKM juga menilai kelayakan usaha. Jaminan hanya 75% dari pinjaman. Kalau macet mereka tidak mengeksekusi langsung. bahwa selalu ada usaha musyawarah dengan nasabah bagaimana agar dana tersebut bisa dikembalikan kepada lembaga Baitul Qiradh. Pengembalian modal akan mencakup sistem bagi hasil, perhitungan margin, tabungan, dan sedekah”.
5.4.2. Prospek Keberlanjutan Program LKM Hasil evaluasi program melalui observasi dan wawancara serta diskusi fokus group (FGD) yang dilakukan pengkaji, menunjukkan bahwa prospek keberlanjutan program tersebut tidak berlansung atau tidak berhasil. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa sebab antara lain: Pertama, kurang percaya masyarakat terhadap lembaga BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi yang terjadi dalam berbagai lembaga penyedia layanan dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami termasuk koperasi/LKM serta AMF, NGO lokal, nasional maupun internasional. Kedua,
faktor sosioculture masyarakat yang
kurang memahami arti penting swadaya dalam komunitas. Ketiga, pendataan yang masih simpang siur serta diketahui masyarakat yang baru keluar dari situasi dan kondisi musibah tsunami dan konflik berkepanjangan masih menyimpan
traumatik
secara
psikologis,
sosiologis
bahkan
komunikasipun masyarakat masih merasa takut. Keempat,
secara
kredit macet
mencapai 65 persen di LKM Seunuddon Finance. Kelima, pola dana bergulir atau pola kredit masih relatif baru bagi komunitas di Keude Simpang Jalan. Keenam, komunitas terbiasa menerima dana bantuan secara percuma dari beberapa NGO dan lembaga donor lainnya, sehingga kesadaran untuk mengembalikan dana bantuan dari LKM sulit. Ketujuh, lemahnya kesadaran komunitas dalam program semacam ini. Kedelapan, dari 350 individu yang mendapat dana dari LKM Seunuddon Finance hanya beberapa orang saja yang dana bantuan tersebut digunakan sesuai dengan usahanya, lainnya hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Dalam sebuah diskusi di kantor Dekopinda Aceh Utara; KMH, SA, SF, ST, SK, ZF, AK, SR, IW dan BHS; mereka sepakat bahwa salah satu upaya membangkitkan
kembali
keberdayaaan
komunitas
adalah
dengan
106 memfasilitasinya untuk bangkit untuk itulah kegiatan ini dilakukan yang memiliki aspek pendidikan pengurus kelembagaan, komunitas, melakukan penelitian dan advokasi komunitas korban termasuk keberadaan lembaga lokal seperti koperasi/LKM. Tiga aspek ini merupakan pemberdayaan yang menyentuh tiga aspek pada mental manusia yakni kognitif, afektif dan behavioral. Dengan cara seperti ini
komunitas diharapkan bisa melakukan pembelaan secara mandiri
ketika kegiatan sudah tidak lagi berlangsung. Prinsip pembangunan yang dianggap penting dan bisa menjembatani proses pemberdayaan komunitas adalah pembangunan dimulai dari rakyat kelas bawah. Menurut mereka, paradigma baru yang menyerahkan kekuasaan cukup signifikan kepada rakyat memerlukan upaya desentralisasi kekuasaan cukup kuat dari pusat ke kawasan pinggiran artinya popular development memberikan ruang gerak lebih leluasa pada pihak pinggiran (komunitas local) untuk mendefinisikan
kebutuhan,
merencanakan
program,
dan
mengendalikan
pelaksanaan program community development kata kunci dalam hal ini adalah pemberdayaan
dan
partisipasi
dalam
pembangunan.
KMH;
pengamat
komunikasi sosial budaya juga salah seorang yang pernah menjabat manager di sebuah LKM di Lhokseumawe, mengatakan; ”...pemberdayaan komunitas korban tsunami, sampai saat ini belum memilki format yang jelas dalam implementasi dilapangan, dalam buku panduan BRR bidang ekonomi memang sudah mengarah pada perlibatan komunitas bawah dalam setiap program. Namun dilapangan masih terpolakan pendekatan lama yaitu topdown, indikatornya hanya pada pertumbuhan. Padahal yang penting adalah rasa memiliki, adanya jejaring sosial yang baik, pemamfaatan modal sosial yang ada dalam komunitas lokal, termasuk kearifan lokal, kemandirian, tidak adanya ketergantungan dengan sumber ekonomi yang bersifat kapitalistik, partisipatif komunitas menjadi kata kunci. Selain itu, bagaimana menumbuhkan budaya kerja sama yang konstruktif dalam komunitas? Pendekatan pada paradigma people centered development, mendesak dilakukan, jangan sampai dana yang begitu besar tidak membawa dampak jangka panjang dalam komunitas,individu menjadi targer utama pemberdayaan, baru kemudian pada taraf komunitas yang relatif homogen dalam usaha seperti petani tambak, komunityas nelaya, komunitas petani garam, kalau secara individu sudah mendapat akses pemberdayaan, kemudian baru diidentifikasi menjadi sebuah komunitas dengan indikator seperti diatas. Sayed Faisal Deputi Ekonomi BRR Aceh-Nias; ketika peneliti temui dan bertanya
berkaitan
dengan
strategi
pemberdayaan
dan
pengembangan
masyarakat tanggal 30 Juli 2007 dalam sebuah seminar di Jakarta menjelaskan bahwa; melalui pengutan koperasi dan LKM diharapkan komunitas korban
107 tsunami dan konflik dapat terberdaya dari keterpurukan ekonominya baik akibat tsunami maupun konflik. “ kita dari BRR sudah melakukan yang terbaik, telah membuat program yang sangat berpihak kepada komunitas korban..kita siapkan mekanismenya..kita siapkan dana yang besar, keberhasilan program ini sangat tergantung pada pengelola pada tingkat bawah yang langsung bersingungan dengan komunitas. Keterlibatan semua pihak akan menenytukan keberhasilan, bayangkan saja tahun 2007 ini sudah mencapai 1 trilyun dana diperuntukkan bagi pengembangan koperasi dan LKM. Per LKM sampai 1 milyar lebih di Jawa saja, jarang ada, ini kesempatan bagi koperasi dan LKM di Aceh untuk bangkit. Kalau tidak pandai menggunakan kesempatan ini, saya kira tidak akan datang dua kali”. Strategi pemberdayaan dan pengembangan yang diterapkan oleh LKM seunuddon Finance, belum memcerminkan program yang partisipatif dan berkelanjutan. Banyak faktor yang menyebabkan strategi tidak sesuai dengan realitas dilapangan. Seperti diungkapkan oleh ketua Koperasi Bungong Laot HG. “strategi yang kami pahami, bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi secara langsung, program yang demokratis dan transparan, namun kenyataannya sangat sulit mewujudkannya. Program ini datang dari atas yaitu BRR, koperasi dan LKM hanya menjalankan saja. Mestinya BRR melakukan perencanaan dengan melibatkan masyarakat setempat, melakukan sosialisasi dan lain-lain.”
5.5. Dampak LKM Terhadap Keberdayaan Komunitas 5.5.1. Perubahan Jenis Pekerjaan Komunitas korban yang mendapat bantuan dari program LKM, tidak mengalami perubahan secara signifikan, ditilik dari jenis perekrajaa sebelum dan sesudah stsunami. Sebelum stunami jenis pekerjaan komunitas atau masyarakat di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon dominan adalah nelayan, petani tambak, petani garam, peternak, petani sawah, pedagang kecil dan lain-lain. Setalah tsunami jenis pekerjaan tersebut tetap di geluti. Seperti petani tambak, setelah tambak dinormalisasikan oleh BRR Aceh-Nias, mereka kembali bekerja seperti sediakala. Seperti diungkap oleh salah seorang pemetik manfaat dari LKM seunuddon Finance, Ibu ZT: “sebelum tsunami kami sudah seperti ini, memang banyak yang datang nanya-nanya tapi belum ada bantuan apapun, baru tahun lalu kami dapat bantuan dari LKM “Seunuddon Finance” melalui anak kami Darman dan Aidi, ya..dengan bantuan itu kami bisa membeli beberapa peralatan dan memperbaiki gubuk pembuatan garam”.
108 Data dari LKM Seunuddon Finance, tahun 2006 menyebutkan dari 350 orang atau pemetik manfaat yang mendapat modal bantuan dari LKM, terdapat jenis pekerjaan beragam. Lebih jelasnya terdapat dalam tabel dibawah ini: Tabel.6. Jenis Pekerjaan Pemetik Manfaaf LKM Seunuddon Finance 2007
NO
JENIS PEKERJAAN
Sebelum Tsunami
Setalah Tsunami
JUMLAH
1
Nelayan
Nelayan
Tetap
176 org
2
Petani Tambak
Petani Tambak
Tetap
101 org
3
Petani Garam
Petani Garam
Tetap
16 org
4
Peternak
Peternak
Tetap
12 org
5
Pedagang Kecil
Pedagang Kecil
Tetap
15 org
6
Petani sawah
Petani sawah
Tetap
17 org
7
Lain-lain
Lain-lain
-
13 org
JUMLAH
350 org
Bagi petani tambak yang sempat ditemui, mereka rata-rata tidak ada jenis pekerjaan lain yang sesuai dengan keahliannya. Pekerjaan di tambak sudah dijalankan dari turun temurun. Seperti diungkapkan oleh Bapak SLA. “ sebelum tambak kami diperbaiki oleh BRR, kami ya nganggur, kadang bantu-bantu pekerjaa dari NGO yang lagi buat rumah. Setelah tambak kami normal, kami kembali lagi menekuni pekerjaan bertambak yang memang sudah sejak dulu. Tahap awal kemarin kami mendapat bantuan modal dari LKM, untuk membeli bibit, obat-obatan, dan pakan”. Masyarakat Gampong Kaude Simpang Jalan yang mendapat bantuan modal usaha dari LKM, ada beberapa orang yang bekerja sambilan dengan NGOs di Gampongnya sebagai tukang dan lain-lain. Hal ini wajar, karena pekerja seperti petani tambak tidak menyita waktu terlalu banyak. Berbeda dengan jenis pekerjaa sebagai nelayan. Meraka turun laut sampai beberapa hari. Diakui bahwa, walaupun jenis pekerjaan relatif sama sebelum stunami dan sesuad tsunami. Namun ada perbedaan dalam hasil yang mereka peroleh setelah tsunami. Lahan yang sudah hancur waktu tsunami, ketika diperbaiki tetap tidak bisa kembali seperti semula. Hal ini di akui oleh Ibu CM, yang berprofesi sebagai petani sawah. “ Sawah kami terkena tsunami, naik air asin/laut jadi rusak..hampir 2 tahun baru bisa dipakai lagi...namun hasil panen tidak seperti dulu”.
109 Jenis pekerjaan korban tsunami di Gampong Keude Gampong Seunuddon, tidak banyak mengami perubahan. Meraka masih tetap pada profesi pekerjaan sebelum tsunami. Dalam hal ini ketika dikonfirmasi dengan Geuchik Keude Simpang Jalan Seunuddon Bapak DS, juga membenarkan hal tersebut. “..masyarakat kami, masih setia dengan pekerjaannya sebelum tsunami, karena memang tidak ada pekerjaan lain yang dikuasainya. Memang ada beberapa orang yang diperbantukan oleh beberapa lembaga yang bekerja dalam pembuatan barak dan rumah korban tsunami, itupun ketika ada proyek..tapi pekerjaan utama tetap sebagai nelayan, petani tambak sawah, berdagang dan sebagainya”.
5.5.2. Perubahan Ekonomi Komunitas Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang nyata atau signifikan pada ekonomi komunitas. Penyebab tidak adanya perubahan ekonomi komunitas yang signifikan dapat dilihat dalam dua segi yaitu segi kelembagaan LKM/koperasi dan segi komunitas itu sendiri. Pertama, penyebabnya dari segi kelembagaan LKM/koperasi bahwa LKM tidak memiliki sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola dana bergulir secara berkelanjutan termasuk waktu yang dimiliki pengurus LKM untuk memverefikasi komunitas calon penerima modal usaha terbatas sehingga modal usaha yang dikucurkan banyak yang tidak tepat sasaran. Tidak tepatnya sasaran menyebabkan image komunitas terhadap LKM kurang baik. Selain itu, program LKM tidak dilakukan sosialisasi secara maksimal baik oleh BRR Aceh-Nias maupun LKM/koperasi itu sendiri, sehingga keterlibatan komunitas sebagai penerima manfaat tidak ada sama sekali. Lembaga LKM/koperasi masih dipandang pesimis oleh komunitas, citra koperasi/LKM yang buruk mengurangi kepercayaan komunitas. Secara ekternal dan internal lembaga koperasi/LKM masih terjadi konflik. Konflik ekternal, terjadi dalam komunitas yang mendapat bantuan dengan yang tidak mendapat bantuan modal dengan pengurus LKM. Kedua, dari segi komunitas, modal bantuan yang di dapat dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini dikarenakan tidak ada sumber pendapatan lain pasca tsunami dan konflik, juga anggapan jumlah modal usaha yang disalurkan terlalu kecil untuk modal usaha. Pengembalian modal usaha sampai dengan 2 tahun pencairan masih terjadi kredit macet mencapai 65 persen. Pemanfaatan Lahan tambak, persawahan, kehidupan nelayan, kios/dagang masih belum dapat difungsikan secara maksimal karena kekurangan modal usaha.
110 Dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha dari LKM Seunuddon Finance, juga belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Modal bantuan sosial dengan pola Qaldul Hasan yang dominan diterima dengan maksimal 1 juta sampai 2 juta dominan. Bantuan sebesar itu, habis digunakan untuk kebutuhan pokok rumah tangga bukan untuk modal usaha. Sedangkan pola mudharabah/bagi hasil yang diterima oleh 50 orang maksimal 4 juta sampai 5 juta, secara umum juga belum membawa dampak apapun terhadap kehidupan ekonomi masyarakat dikarenakan selain kebutuhan harian rumah tangga juga disebabkan masyarakat tidak ada lapangan pekerjaan lain. Modal bantuan pola mudharabah hanya cukup untuk budidaya tambak ikan bandeng atau udang kapasitas 2 hektar sekali panen. Informasi yang didapat, ketika tambak dan sawah hampir panen pertengahan tahun 2007 lalu, terjadi bencana alam yaitu terjadi pasang laut yang menenggelamkan hampir seluruh tambak dan sawah, sehingga semua benih ikan, udang dan sawah gagal panen. Hal ini juga dialami oleh petani garam. Sedangkan modal bantuan dengan pola ritel/bagi hasil 10juta sampai 20 juta hanya 5 orang. Pola modal ini hanya untuk pengurus inti Koperasi dan LKM Seunuddon Finance, yang digunakan untuk dagang dan tambak. Selain itu, kesadaran komunitas untuk usaha bersama masih sangat minim hal ini terbukti dengan rendahnya kesadaran pengembalikan dana pinjaman termasuk budaya mengharap bantuan dari NGO dengan tanpa berupaya sendiri menjadi hambatan besar dalam menciptakan perubahan ekonomi komunitas. Komunitas korban di Gampong keude simpang jalan sudah terbiasa menerima bantuan secara percuma dari beberapa NGO termasuk dari negera Arab Saudi tahun 2006 sehingga berdampak pada sulitnya menciptakan kemandirian dalam ekonomi komunitas. Pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah. Perubahan ekonomi komunitas korban, hanya terlihat saat menerima bantuan untuk keperluan usahanya. Seperti yang terjadi bagi komunitas tambak, mereka dapat menggunkana dana bantuan tersebut untuk kebutuhan tambaknya 1 kali panen, namun ketika panen tambak tidak bagus mereka kehabisan modal untuk memulai lagi. Hal serupa juga berlaku bagi nelayan, ketika mereka turun
111 laut dan mendapat hasil yang bagus, nampak terlihat perubahan ekonomi keluarganya. Mereka dapat melanjutkan sekolah anaknya, kebutuhan pokok keluarga tidak perlu berhutang diwarung-warung. Namun ketika hasil tangkapan tidak maksimal, maka mereka kehabisan modal untuk melaut lagi. Dan pilihan kemudian adalah pada rentenir. Untuk menjalankan kegiatan usaha nelayan, seorang nelayan tidak hanya cukup dengan modal sebuah pancing, jarring atau jala. Nelayan juga perlu sebuah perahu, kalau tidak ada boat yang besar. Bahkan minyak (premium) untuk menggerakkan boat menuju lautan, menangkap ikan. Sayangnya, fasilitas-fasilitas seperti ini masih menjadi masalah bagi nelayan yang ingin meningkatkan pendapatan (income) yang bisa mensejahterakan. Persoalan-persoalan tidak adanya modal, sulitnya mendapatkan modal bagi para nelayan memang sudah sangat sering didengar. Namun, masalah itu, tetap saja menjadi sebuah catatan sejarah. Ia tetap saja menjadi sebuah elegi yang merdu untuk didengar. Namun demikian, bukan berarti tidak ada komunitas korban yang tida ada perubahan ekonominya. Ada beberapa orang yang pengkaji temui, menurunya mengalami perubahan ekonomi dalam kehidupan keluarganya. Bapak BK sebagai petani tambak di Keude simpang jalan Seunuddon, menerima bantuan modal mikro bentuk pola mudharabah senilai Rp. 5.000.000,- untuk membeli bibit bandeng, obat-obatan tambak dan pakan. beliau menuturkan; “ Saya mendapat pinjaman dari LKM sebesar Rp. 5000.000,- awal tahun 2006 untuk membeli bibit bandeng, obat-obatan dan pakan selebihnya saya gunakan untuk merehab daka tambak, dan sekarang sudah dua kali panen dengan modal itu..saya cicil setiap panen. Cicilan saya sudah 50 % dari jumlah pinjaman. Yang penting tambak saya bisa difungsikan kembali.. awalnya memang susah, karena tambak saya terkana tsunami, saya mau kerja lain tidak tau mau kerja apa. Ya.. saat itu kami makan hasil kebun kelapa, sawah, tapi sekarang Alhamdulillah sudah mendingan, anak-anak sudah bisa sekolah lagi”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu HS, pemilik warung kopi, menerima bantuan modal senilai
pola mudharabah
Rp. 4000.000,- untuk kebutuhan
warungnya, mengatakan: “Program ini dapat membantu kelangsungan usaha warung saya, barangbarang yang di jual jadi lebih banyak dan lengkap jenisnya, pelangganpun jadi lebih banyak dan pendapatan saya juga bertambah, program ini bermanfaat untuk orang-orang kecil seperti saya juga yang lainnya untuk nambah modal tidak perlu pinjam ke rentener..., saya tidak dikasih uang semua sesuai dengan perjanjian, tapi dalam bentuk barang disuruh ambil di grosir yang sudah ditentukan oleh LKM, katanya biar jelas penggunaan pinjaman, saya kira itu bagus.”
112 Baik Bapak BK maupun Ibu HS telah mampu mengembalikn pinjamannya dan setelah melunasi dapat meminjam lagi kepada pengurus LKM Seunuddon Finance. Adanya pemberian bantuan stimulan modal usaha melalui program LKM ini memberikan manfaat yang cukup besar bagi anggota-anggota kelompok, karena anggota kelompok mempunyai peluang untuk mengembangkan usaha dan menjaga keberlangsungan usahanya. Namun pengurus LKM seringkali kekurangan dana untuk dipinjamkan kepada anggota, karena masih banyak anggota yang tidak lancar mengembalikan pinjaman bahkan ada beberapa anggota yang tidak dapat mengembalikan pinjaman karena usahanya macet sehingga anggota yang lain yang membutuhkan tambahan modal tidak dapat terpenuhi. Macetnya pengembalian pinjaman modal disebabkan karena pada umumnya masyarakat mengganggap bahwa setiap bantuan yang diberikan pemerintah adalah hibah tidak perlu dikembalikan. Dalam sebuah wawancara di kantor LKM Geuchik Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon, menuturkan: “..perubahan ekonomi suatu keluarga pasti ada. Yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri... tidak hanya dengan bantuan modal dari LKM ekonomi korban tsunami berubah, di Gampong ini banyak NGO dan lembaga lain yang membantu modal usaha bagi korban tsunami. Saya kira, sudah banyak korban tsunami sudah mulai hidup normal kembali. Lihat saja, tambak sudah banyak yang normal, boat-boat sudah banyak bantuan, warung-warung sudah ada yang diperbaiki, ibu-ibu pembuat garam tidak hanya mendapat bantuan dari LKM tapi juga dari GTZ dan lain sebagainya...ya, hampir tiga tahun pasca tsunami sudah ada perubahan dalam masyarakat”. Pendapat Geuchik diperkuat oleh manager LKM Seunuddon Finance, AH, menurunya, pemetik manfaat atau korban tsunami yang mendapat modal usaha dari LKM ada yang sudah hidup normal. Artinya perubahan ekonomi dalam keluarganya terlihat kalau dibandingkan pasca 1 tahun tsunami. Dimana meraka tidak memiliki usaha apapun hancur akibat tsunami. Walaupun demikian, menurutnya ada juga yang mendapatkan modal usaha tidak digunakan dengan baik, sehingga hanya bertahan beberapa hari. Setelah itu kembali seperti awal.
5.5.3. Tingkat Keberdayaan Komunitas Hasil kajian menunjukkan tingkat keberdayaan komunitas tidak jauh berbeda dengan perubahan ekonomi komunitas. Kehadiran LKM Seunuddon Finance tidak membawa dampak perubahan yang signifikan pada kehidupan dan
113 keberdayaan komunitas yang mendapat bantuan dari LKM. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, strategi penyaluran bantuan modal usaha tidak melibatkan komunitas secara langsung. Komunitas tidak tahu tentang program LKM yang sebenarnya, mereka hanya mengetahui bahwa ada bantuan modal usaha dari koperasi/LKM secara cuma-cuma sehingga semua mengajukan permohonan tanpa
berpikir
untuk
mengembalikan
modal
bantuan
tersebut.
Kedua,
pendampingan terhadap komunitas termasuk kelembagaan LKM tidak dilakukan secara maksimal, sehingga mengakibatkan tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif baik dengan komunitas maupun lembaga yang terkait. Ketiga, dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha hanya segelintir yang mampu mengembalikan modal tersebut, selebihnya modal usaha digunakan untuk kebutuhan konsumtif sesaat. Keempat, hanya terdapat 5 orang yang memdapat modal usaha dari LKM untuk penambahan modal warung kopi dan toko yang lancar pengembalian sedangkan komunitas lain dengan jenis usaha tambak, sawah, dan nelayan rata-rata tidak mampu mengembalikan, hal ini disebabkan bantuan modal usaha tidak digunakan untuk kepentingan usaha. Keenam, kelompok nelayan yang mendapat modal bantuan yang rata-rata hanya 1 juta sampai 3 juta habis digunakan untuk kebutuhan rumah tangga hanya sisa untuk kebutuhan kapal bermotor seperti untuk BBM dan kebutuhan melaut. Sedangkan komunitas tambak, sawah, petani garam yang sempat menggunakan modalnya untuk usaha tersebut akibat musibah pasang laut yang terjadi tahun 2007 telah menenggelam tambak, sawah, dan lahan garam sehingga gagal panen. Di tengah banyaknya bantuan saat ini, apakah bisa momentum ini dapat dijadikan sebagai sebuah batu pijakan (steppingstone) bagi pembangunan kembali ekonomi mikro komunitas korban? Barangkali jawabannya ya bisa. Tentu saja bisa. Apalagi bantuan yang ada, katanya sangat besar. Dengan demikian, harapan akan berdayanya para komunitas korban yang terkena terjangan tsunami menjadi sesuatu yang sangat prospektif. Dikatakan demikian, karena komunitas tersebut kini konon banyak diperhatikan oleh pihak-pihak yang telah datang membawa bala bantuan. Hanya saja, bila kita boleh sedikit pesimis, kita akan bertanya apakah semua bantuan itu akan sampai atau tepat sasaran? Sekali lagi, bahwa ini masih memerlukan kajian. Maka, kalau mau dikaji lebih dalam, bantuan-bantuan itu belum secara signifikan dapat menjawab persoalan
114 komunitas korban. Karena, banyak bantuan yang diberikan itu bukan sebagai sebuah jawaban, tetapai masih menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Hal ini bisa terjadi, karena strategi yang digunakan dalam membangun ekonomi komunitas korban, belum tepat. Oleh sebab itu, agar bantuan yang diberikan bisa lebih berarti dan bernilai ekonomis berkelanjutan, maka pola bantuan yang diberikan harus direncanakan secara matang dan partisipatif yang diikuti dengan upaya pendampingan yang intens. Memberdayakan ekonomi mikro komunitas korban, dilihat dari kondisi saat ini sangatlah diperlukan. Dikatakan demikian, karena kelompok ini adalah korban pertama yang sangat menderita. Di samping itu, pemberdayaan korban merupakan upaya strategis bagi pengembangan ekonomi di Aceh. Diharapkan dapat membuat program-program strategis yang memberdayakan secara ekonomi untuk mengembalikan komunitas korban pada posisi yang tidak lagi marginal. Dalam observasi dan wawancara dengan komunitas korban yang pernah mendapat bantuan modal usaha dari LKM Seunuddon Finance, terutama kaum nelayan, ibu-ibu petani garam, petani tambak, petani sawah dan pedagang kecil. Dapat Pengkaji sampaikan bagaimana getir dan pahit dalam merajut kehidupan kembali di atas puing-puing kehancuran. Di dekat pantai Ulee Rubeuk kecamatan seunuddon, Pengkaji ketemu dengan
seorang lelaki tua, berkulit
hitam, penuh peluh bersama anaknya yang tampak lesuh, sambil berjongkok menjemur ikan teri dan ikan kayu yang baru saja dibersihkan dan digarami. Mereka menjemur ikan itu, di tengah terik matahari yang membakar sesekali ia berdiri meluruskan pinggangnya, agar tidak penat. Sesekali pula ia menyeka keringat yang membasahi keningnya yang telah mengerut, karena termakan usia dan beratnya tantangan hidup di pinggir laut yang terletak di wilayah selat malaka itu. Pengkaji berhenti dan mengucapkan salam pada lelaki tua itu. Ia menyambut dengan balasan salam yang agak lirih, namun sangat bersahabat. Ia mendekati Pengkaji dan saling bersalaman. Percakapan pun, dimulai. Seakan ada sebuah scenario yang sengaja telah disusun untuk bertanya. Padahal, itu adalah karena sebuah kebiasaan orang-orang yang mungkin telah terbiasa berjalan dan mendampingi kelompok-kelompok marginal seperti halnya nelayan dan lain-lain. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya seperti kata pepatah, sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu, bertanya pula. Begitulah awal percakapan pengkaji dengan lelaki tua itu yang mengaku dirinya sebagai seorang nelayan. Seperti
115 orang yang sudah saling kenal, pengkaji melemparkan sebuah pertanyaan, Lagi ngapain Pak?. Lelaki itu, menjawab, ya, Bapak sedang menjemur ikan teri dan ikan kayu. Dengan penuh basa basi, pertanyaan itu ditambali dengan ungkapanungkapan lain untuk menjalin tali persahabatan dengan lelaki tua itu. Namun, sebenarnya sangatlah interogatif. Tujuannya pasti untuk mendapatkan informasi tentang pekerjaan yang sedang digeluti lelaki itu. Beberapa pertanyaan awal pengkaji coba tanyakan. Tentu saja, jawaban yang selalu muncul adalah soal modal usaha. Masalahnya bisa karena tidak ada modal atau tidak cukup modal. Bisa pula karena sulitnya memperoleh modal usaha untuk menjalankan dan mengembangkan usaha itu dan lain sebagainya. Maklum saja, selama ini, akses kredit bagi kaum marginal seperti nelayan, petani dan perempuan terutama petani garam usaha kecil terasa sangat sulit, karena berbagai alasan. Tidak punya agunan, takut tidak sanggup menyicil, atau terlalu berat membayar bunga dan sebagainya. Terungkap dari Bapak tua tersebut, bahwa belia telah mendapat modal usaha dari LKM “seunuddon Finance” sebesar Rp. 2000.000,- juta rupiah, yang dicicil setiap bulan sekali ke LKM. “Kalau pun ada kredit, seperti Kredit dana PER (pemberdayaan ekonomi rakyat) yang pernah diluncurkan oleh Pemerintah daerah di Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa tahun yang lalu itu, orangorang kecil seperti kami nelayan, tidak mudah mendapatkannya”. Kisah serupa, ketika Pengkaji berkunjung diwilayah yang sama ibu-ibu petani garam disebuah pantai di kecamatan yang sama. Petani garam yang berjumlah 20-an orang tersebut pernah mendapat
modal usaha dari LKM
serupa. Meraka ada yang mendapat bantuan Rp. 500,000, Rp. 1000.000,sampai dengan Rp. 2000.000,-. Menurut data dari LKM Seunuddon Finance, hanya 16 orang yang dapat dibantu oleh LKM selebihnya ada NGO yang konsisten melakukan pembedayaan ekonomi mikro. Salah seorang yang belakangan pengkaji kenal namanya Ibu ZT. “sebelum tsunami kami sudah seperti ini, memang banyak yang datang nanya-nanya tapi belum ada bantuan apapun, baru tahun lalu kami dapat bantuan dari LKM “Seunuddon Finance” melalui anak kami Darman dan Aidi, ya..dengan bantuan itu kami bisa membeli beberapa peralatan dan memperbaiki gubuk pembuatan garam”. Karena sudah merasa akrab, sambil duduk dipematang tambak dibawah tariknya matahari dekat pantai, ibu-ibu tersebut bercerita panjang lebar. Ada beberapa kalimat yang menarik.
116 “kami ini korban tsunami dan konflik, kami jangan dijadikan bulanbulanlah..gimana tidak, banyak yang datang kekami hanya ambil data, tanya kebutuhan dan lain-lain, tapi sampai saat ini tidak kembali lagi. Kami sudah didata oleh banyak pihak..kami sudah bosan, padahal kami dengan uang banyak di Aceh, kami ini hanya petani garam apalah kuasa, kami hanya pasrah serahkan pada Allah nasib ini, tapi kami tetap menjalankan kerja seperti ini,bantuan dari LKM walau lambat tapi tetap kami cicil setiap penjualan garam, ya maklum harga garampun murah sekali”. Ketika pengkaji menanyai apakah kehidupan ekonominya sekarang sudah ada perbaikan, dan bagaimana kalau suatu saat tidak ada lagi bantuan. Terlihat ibu-ibu tersebut saling memandang, salah satu menjawab belakangan pengkaji tahu namanya SF yang sudah berumur 45 tahun suaminya meninggal akibat tsunami, sekarang ibu SF harus menghidupkan 4 anaknya walaupun ada yang sudah berkeluarga. “kami ingin melupakan tsunami, kami ingin kembali mencari rezeki seperti sekarang ini dengan bantuan sedikit dari LKM peralatan kami sudah cukup untuk membuat garam, yang dulunya rumah (gubuk-red) garam hancur sekarang sudah bisa diperbaiki. Yang penting kami bisa makan sehari-hari cukuplah seperti saya ini rumah sudah diperbaiki oleh orang asing..ya kedepan saya hidup seperti biasalah, Allah yang menentukan...” Ada juga salah satu komunitas korban yang tidak mendapat bantuan dari LKM seunuddon Finance yaitu IM, ketika di wawancarai terungkap bahwa dalam proses penyaluran bantuan adanya indikasi pilih kasih, kurangnya verifikasi lapangan kurang sosialisasi sehingga mereka tidak tahu ada program tersebut. Bahkan ada juga yang mendapat bantuan selain dari LKM juga dari NGO lain. Bapak TF, MS dan SB dalam sebuah FGD di kedai Kopi Keude Simpang Jalan Seunuddon. Bahwa mereka semestinya layak menerima bantuan karena selain korban tsunami juga korban konflik. ”kami ini selain korban tsunami tapi juga konflik, semestinya kami bisa mendapat bantuan dari LKM, kami tidak tahu adanya bantuan dari LKM, informasi tertutup dan sosilaiasi yang kurang dilakukan oleh LKM dan Koperasi. Mestinya sebelum program di kucurkan masyarakat diajak musyawarah,jangan seperti ini, yang dekat-dekat dengan pejabat Gampong dan Kecamatan yang dapat. Mungkin nasib kami seperti ini, masih ada pilih kasih”. Nasib nelayan, petani garam, petani tambak, pedagang kecil dan usaha kecil lainnya di gampong tsunami kecamatan seunuddon semakin berat, tatkala gempa dan gelombang tsunami yang menhantam Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Bencana yang sangat dahsyat dan tragis itu, di
117 samping telah merenggut ratusan ribu nyawa, menghancurkan semua sektor kehidupan dan infra struktur. Gempa dan gelombang tsunami juga telah menghancurkan harapan para nelayan, petani, pedagang, peternak di daerah pesisir, wilayah utara dan barat dan timur Aceh. Karena para komunitas yang selamat dari bencana tsunami itu, harus berjuang hidup dalam keadaan yang memprihatinkan. Berjuang bangkit dari puing-puing kehancuran total, tanpa ada keluarga, tanpa ada harta benda, rumah dan modal usaha. Dari hasil obrservasi dan wawancara dengan tokoh masyarakat dalam hal ini Kepala Gampong (geuchik); DS, sekretaris Kepala Gampong ;AH,
tokoh
masyarakat SM, tokoh pemuda AB, ZK, UM dan DA. Tergambarkan bahwa; Ketahanan Pangan (food Scurity), pembangkitan lapangan kerja (employment creation), peningkatan pendapatan (Income generation), penanggulangan kemiskinan komunitas korban (Poverty allevation), dan pertumbuhan ekonomi mikro dan pemerataannya, perlu segera ditingkat di Kecamatan Seunuddon khususnya Gampong Keude Seunuddon. Mengingat masyarakat tidak hanya tercatat sebagai korban tsunami tahun 2004 tapi juga korban konflik. Dalam
hal
ini,
ketidakberdayaan
masyarakat
karena
antara
lain;
terbatasnya ketersediaan sarana-prasarana dasar, terbatasnya kemampuan masyarakat untuk menggunakan kesempatan-kesempatan (peluang-peluang) dalam mengakses kelembagaan lokal termasuk upaya penguatan lembaga seperti koperasi dan UKM, kurangnya akses permodalan, lemahnya pasar dan teknologi. Lemahnya kelembagaan sosial ekonomi pada tingkat kelompok dan komunitas
untuk
menunjang
perbaikan
pendapatan
dan
kehidupan
rumahtangga-rumahtangga miskin (the disadvantaged households). Kurang terpadunya program-program pengentasan (penanggulangan) komunitas korban yang dilaksanakan oleh berbagai pihak, dan program-program tersebut tidak memunculkan secara nyata partisipasi/keterlibatan komunitas korban. Bantuan modal usaha mikro ini ditujukan kepada masyarakat korban tsunami dan konflik yang memiliki usaha produktif seperti tambak, nelayan, petani sawah, petani garam, peternak, pedagang dan lain-lain. Pinjaman modal selama 1 tahun sesuai dengan akad perjanjian. Pola pembayaran dapat secara harian, mingguan, bulanan. Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 2006, bantuan ini sudah memberdayakan masyarakat 350 keluarga/individu.
118 Dana cicilan/pengembalian digulirkan kepada keluarga/individu lain yang telah diteliti dan verifikasi lapangan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah anggota yang terjaring dalam program LKM telah berkembang dan mampu menambah pemetik manfaat setiap bulannya. Bertambahnya jumlah pemetik manfaat menggambarkan bahwa partisipasi masyarakat terhadap program ini cukup besar dan hal ini menunjukkan bahwa program LKM berjalan cukup baik. Memang masih ada pemetik manfaat yang tidak mampu membayar atau mengembalikan dana tersebut walau sudah berjalan 2 tahun. Manager LKM Seunuddon Finace yang terbentuk pada tanggal 16 Februari 2006 dibawah payung hukum Koperasi Pasanteran Bungong Laot, yang juga sekretaris Gampong Simpang Jalan Seunuddon yaitu AH. Menurutnya; ”gampong kami banyak lahan usaha yang menjadi penumpang hidup masyarakat hancur karena tsunami, masyarakat kami sulit mendapat kredit dari bank konvensional, karena tidak jaminan apapun. LKM inipun baru dilegalkan tahun lalu ketika ada program dari BRR, sehingga selama ini hanya usaha simpan pinjam yang kami jalankan dengan kredit Rp. 718.000.000,-. Malah yang simpan tidak ada, hanya pinjam aja. Pengembalian Lamban, dikarenakan hampir 75% dari pemetik mamfaat mengalami kredit macet, hal ini mungkin disebabkan, kurangnya pelatihan manajemen bagi pengurus LKM dan koperasi, tidak aktifnya pengurus koperasi dalam menjalankan program, kurangnya minat masyarakat untuk maju bersama koperasi dan LKM. Namun demikian sesuai dengan yang diharapkan, sebahagian besar komunitas korban yang mendapat bantuan pinjaman sudah mulai terlihat peningkatan ekonomi keluarga mereka. Dari data yang kami terima di LKM peningkatan jelas ada, dari segi pendapatan ekonomi keluarga sudah menyakinkan namun sudah pasti tidak semua dari mereka. Pemetik manfaat dari LKM kami lebih banyak dalam bidang perikanan, nelayan, pedagang kecil, petani sawah dan petani garam. Ya.., memang tidak semua mendapat bantuan dari LKM, ken ada lembaga lain seperti NGO. Program inipun mendadak, kami harus kerja mati-matian dikecar waktu saat itu.Sedangkan sumber daya kami sangat kurang”. Hal senada di sampaikan oleh Ketua AMF Center BHS di Kantor Dekopinda Aceh Utara. Bahwa aspek yang diperlukan untuk memerangi kemiskinan bagi komunitas korban adalah Aspek political will dari Pemerintah pusat, Propinsi, Kabupaten, kecamatan termasuk Desa/Gampong, artinya dukungan iklim yang kondusif, strategi, kebijakan dan program, data, pemantauan dan evaluasi. Sedangkan aspek dukungan Iklim yang diperlukan untuk memerangi komunitas antara lain: Semua pihak merasa terpanggil untuk berpartisipasi, Ada kesadaran kolektif untuk menempatkan kemiskinan yang dialami oleh komunitas korban sebagai musuh bersama yang harus diperangi, kemudian diikuti dengan langkah-langkah kampanye sosial melalui berbagai
119 saluran informasi untuk lebih meningkatkan kepedulian, kepekaan, dan partisipasi masyarakat dan ada peraturan dan kebijakan daerah yang mendukung penanggulangan kemiskinan, misalnya yang berkaitan dengan usaha kecil, pertambakan, pedagang kecil, pedagang ikan, pedagang benih atau nener ikan dan udang, petani garam, persawahan, pedagang kaki lima, penghapusan
pungutan
terhadap
hasil-hasil
pertanian
atau
kegiatan
perekonomian rakyat. Aspek kebijakan dan program yang diperlukan; Langkah-langkah dan tindakan
operasional
dilakukan
secara
terencana,
bertahap,
dan
berkesinambungan, Disusun oleh dan berdasarkan kesepakatan segenap pihak yang berkepentingan serta disesuaikan dengan kondisi wilayah dan membuka peluang atau kesempatan bagi orang miskin, memberdayakan orang miskin, melindungi orang miskin, mendorong partisipasi semua pihak. Untuk program pendampingan pemberdayaan ekonomi mikro lokal seperti normalisasi tambak, nelayan, pedagang kecil terutama yang bersifat sustainable livelihood masih terus diperlukan termasuk pembinaan dan pemberian bantuan sosial. Selama ini lembaga non pemerintah/NGO maupun pemerintah masih relatif kurang perhatian terhadap kelangsungan hidup ekonomi komunitas korban, hal ini disebabkan banyak lembaga yang menitikberatkan pada rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan dan sarana lain. Maka untuk tahap tahun ke 2 (dua) dan ke 3 (tiga) pasca tsunami diperlukan perhatian lembaga/instansi untuk konsentrasi pada ekonomi mikro secara sustainable sehingga mata pencaharian dapat dikembalikan. BHS menambahkan, bahwa sasaran LKM adalah keluarga korban tusnmai dan konflik yang telah didata oleh pihak pemerintah Gampong bersama dengan stakeholders lain. Bantuan modal usaha baik sektor nelayan, pertambakan, pedagang kecil, petani sawah, peternak dan lain-lain, dengan kriteria: Korban tsunami dan konflik, mempunyai embrio usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan,
berkatagori
rentan,
dengan
indikator
sebagai
berikut:
keterbatasan kemampuan sosial ekonomi, sehingga berpotensi bermasalah, berada pada ambang batas marginal pemenuhan kebutuhan fisik minimal (KFM) di daerah yang bersangkutan, pekerjaan tidak tetap atau punya pekerjaan tetapi tidak memiliki keterampilan khusus, dan tidak mampu mengakses sumbersumber pelayanan kesejahteraan sosial terdekat.
120 Diakui, bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial keluarga telah banyak dilaksanakan melalui berbagai program dengan berbagai kegiatan dan sasaran oleh berbagai unit teknis di lingkungan Pemda Aceh Utara melalui Dinas PMBS (Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial) dan BRR serta NGOs pasca Tsunami
dan
konflik.
Berbagai
kegiatan
dimaksud
belum
sepenuhnya
dilaksanakan secara terpadu, sehingga kurang terlihat adanya unsur sinergisme antara program satu dengan lainnya. Akibatnya penanganan masalah sosial terhadap sasaran menjadi kurang tuntas dan berkesinambungan program sulit diwujudkan. BHS (Ketua AMF Pusat) juga mengatakan; “Dengan adanya pemberdayaan ekonomi komunitas korban pasca tsunami yang dilakukan melalui koperasi (UU Keuangan Negara) maka diperlukan atau dibentuklah AMF sebagai wadah dari seluruh koperasi /LKM penerima bantuan yang ada di seluruh NAD. Sampai saat ini masih dalam proses transisi sebagai lembaga independen yang ditunjuk untuk mengurus dan bertangggung jawab penuh terhadap program koperasi/LKM pasca masa tugas BRR. Bahwa per Agustus 2007 telah mencapai 148 koperasi/LKM yang tersebar pada 22 Kabupaten/Kota di NAD dan akan mencapai 400 unit Koperasi/LKM pada tahun 2009. Kendala yang dihadapi saat ini Koordinasi masih kurang/tumpang tindih, kurangnya pemahaman masyarakat tentang dana hibah dan kredit mikro, lemahnya pengawasan dari DIKLAT pada level pengelola. Tersebarnya LKM secara merata pada 108 Kecamatan dari 246 Kecamatan yang ada di seluruh NAD Para pemetik mamfaat dari program ini (masyarakat Aceh ) telah mencapai 112.000 orang(Revolving). Tahun 2006 Sudah tersalur/terserap 229 milyar dalam 2 tahun pasca Tsunami”. Dalam proses pemberdayaan komunitas korban LKM bersama AMF mesti sinergi dalam menjalankan tugas, kalau tidak keberdayaan korban tsunami jauh dari harapan. Ketua dan sekteraris AMF Lhokseumawe, ST dan ZFK di kantor AMF di jalan samudera Lhokseumawe. “kita yang bekerja di AMF Lhokseumawe, hanya di gaji selama 2 bulan pertama sedangkan ini sudah hampir 6 bulan tidak jelas gaji kami. Padahal kita dituntut untuk dapat mengkoordinir 8 LKM yang ada di wilayah Lhokseumawe. Kami kira program pemberdayaan dan pengembangan seperti ini cukup bagus, asalkan mekanisme dan pola koordinasi jelas. jangan sampai perannya tumpang tindih dengan lembaga lain. Perlu diketahui juga awal program ini pola perekrutan pengurus LKM juga asal ambil, sehingga sekarang kualahan dalam menata management, BRR terkesan sangat terburu-buru, mungkin untuk menghabiskan uang… Hal yang sama di ucapkan oleh SA, ketua AMF Kabupaten Aceh Utara, yang juga pegawai negeri di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Utara. Menurutnya, program pemberdayaan dan pengembangan komunitas melalui LKM dan Koperasi sangat bagus untuk membangkitkan perekonomian
121 dan pemberyaan masyarakat yang baru dilanda musibah. Namun dalam pelaksanaan dilapangan dibutuhkan pendekatan dan stategi yang tepat. LKM tidak dilepas begitu saja dalam menjalankan fungsinya tanpa pembinaan secara berkelanjutan. Sosiolog Aceh, dosen Unsyiah yang sedang melanjutkan studi S3 fakultas sosiologi Universitas Indonesia OS dalam sebuah diskusi, ketika pengkaji bertemu di Jakarta akhir oktober 2007. “Di Aceh sekarang mengalir dana cukup besar, sehingga kehabisan ide untuk menghabiskannya, mestinya kita semua berbuat apa saja yang bermanfaat ke depan untuk masyarakat Aceh, bukan hanya sekedar proyek instant atau sesaat, sekecil apapun mari kita berbuat untuk Aceh. Jangan hanya berharap pada lembaga seperti BRR dan lain-lain, mereka terkadang terbentur dengan birokrasi dan pola koordinasi yang rumit. Kalau saat ini Aceh belum bisa menggunakan dana dengan baik dan benar, saya kira tidak akan ada kesempatan serupa. Salah seorang pengamat sosial dan antropolog muda Aceh, juga sebagai Dosen Sosial politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, TKF. Ketika di tanya tentang program LKM/AMF dari BRR dan keberdayaan komunitas korban sampai saat. Beliau memberi komentar panjang lebar, namu ada beberapa inti sari yang dapat dipetik; ”bahwa keberadaan dan fungsi utama BRR hanya menjalankan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami, jadi jangan disalahgunakan fungsi tersebut. Hampir tiga tahun tsunami, sisi pemberdayaan ekonomi masih sangat kurang. Yang saya tangkap bersifat proyek sementara; artinya setelah disalurkan ya..sudah, tanpa ada evaluasi yang jelas. Padahal dananya besar sekali sampai trilyunan. Pendekatan yang digunakan bersifat top down. Proyek pemulihan ekonomi yang dinamakan Aceh Micro Finance (AMF) yang membantu ratusan lembaga keuangan mikro (LKM) hanya menjadi cara untuk mendistribusikan uang dengan studi kelayakan lemah, ditambah lagi aroma korupsi yang cukup menyengat pada proses. Boleh dicari bukti dari ratusan LKM yang dibantu, berapa gelintir yang telah mampu mengembangkan dan mengembalikan modal usaha. Jika mengacu kepada problem yang menghinggapi BRR saat ini, terlihat tidak ada prioritas yang dilakukan untuk mempercepat pemulihan dan pembangunan pascatsunami, Prinsip ingin melakukan semua telah membuat banyak proyek rehabilitasi menjadi "setengah matang" di perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Terlalu banyak perencanaan, sedikit tindakan, tetapi terlalu besar risiko anggaran yang dikeluarkan’’. Dalam sebuah fokus diskusi group di kantor Dekopinda Aceh Utara, pengamat komunikasi dan social budaya, KMH juga dosen Universitas Malikussaleh. Berbicara panjang lebar tentang realitas kehidupan komunitas korban tsunami berkaitan dengan program LKM/AMF. Menurutnya;
122 “tingkat keberdayaan komunitas korban tidak bisa hanya diukur dari segi pertumbuhan ekonomi semata, atau diukur dengan jumlah bantuan dana. Namun banyak indikator lain yang perlu dikaji, terutama faktor sociocultural, psikologis komunitas korban termasuk perubahan antropologis komunitas saat ini, mengingat ada perubahan tatanan social budaya dalam komunitas baru tersebut, apakah secara adat nilai-nilai normatif dalam komunitas sudah terwakili? rasa memiliki dan daya guna uang tersebut terabaikan. lemahnya sumber daya manusia dalam mengurus koperasi/LKM dan waktu yang terbatas dalam proses pendataan dan verifikasi penerima bantuan, juga menjadi kendala. Sisi lain, sosialiasi, komunikasi antar pihak yang terlibat masih kurang. Dana yang cukup besar. Memilih pendekatan yang tepat, dengan melakukan perencanaan bersama komunitas, membuat kebijakan juga berdasakan kebutuhan komunitas, implementasi program dan melakukan monitoring dan evaluasi serta pendokumentasiaan secara bersama. Kalau tidak, ya..seperti sekarang ini, hanya ada data kuantitatif dari BRR Aceh-Nias seperti jumlah LKM/ koperasi yang mendapat dana, jumlah penerima bantuan, jumlah dana yang kucurkan. Sedangkan evaluasi keberlanjutan dan tingkat keberdayaan komunitas korban masih merabaraba. Saya kira juga, integritas, komitmen, moralitas dan kejujuran menjadi hal penting. Banyak orang yang pandai ada datang ke Aceh, tapi sangat sedikit kita menemukan orang yang jujur dan ihklas. Saya kira, pemberdayaan dan pengembangan ini muncul sebagai solusi atas fakta ketimpangan yang selama berlansung baik itu struktur kekuasaan, dimana komunitas korban haus akan kebutuhan untuk mendapatkan kekuasaannya dalam mengatur diri mereka sendiri”. Keberdayaan komunitas korban seperti yang tergambarkan diatas, tentu saja tidak berhenti hanya sampai disitu. Tapi prinsip dalam proses komunikasi dialektika dan interaksi antar stakeholders akan terus berlangsung dalam proses pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami. Kenyataan sosial ekonomi yang terbentuk dalam komunitas secara objektif ini kemudian dihadapkan pada individu, yang pada tahap selanjutnya bersifat mempengaruhi dan memaksa pembentukan pola fikir, sikap, tindakan dan perilaku-perilaku individu. Kenyataan sosial ekonomi objektif yang dimiliki, dialami dan dirasakan bersama tersebut kemudian menjadi bagian-bagian dari individu yang sebut kenyataan sosial ekonomi subjektif yang mendasari pola fikir, sikap, dan tindakan serta perilaku individu. Mulai disini proses pembentukan kenyataan sosial ekonomi kembali dilakukan oleh individu dari awal dan oleh karenanya disebut sebagai proses dialektika. Proses inilah yang sedang berlansung di gampong Keude simpang jalan Seunuddon dalam proses rehabilitasi ekonomi mikro oleh Koperasi/LKM dan lembaga lembaga lain. Namun, bantuan ekonomi mikro ini berdampak cukup besar terhadap kelangsungan usaha mereka sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan akan mempengaruhi taraf kesejahteraan keluarga
123 miskin menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan program Pemberdayaan melalui LKM dan Koperasi. Hal ini seperti yang dituturkan oleh salah seorang pemetik manfaat Bapak MA sebagai petani tambak di Keude Seunuddon, menerima bantuan modal mikro bentuk mudharabah senilai Rp. 5.000.000,- untuk membeli bibit bandeng, obat-obatan tambak dan pakan. “ Setelah ada program LKM ini tambak saya bisa difungsikan kembali, tahun lalu (2005-red) saya mendapat pinjaman bantuan modal dari LKM Seunuddon Finance Rp. 5000.000,- dan di perjanjian saya akan bayar dua kali panen yaitu setiap 5 bulan sekali. Panen pertama saya kembalikan 2,5juta, sisanya ya.. untuk makan, anak sekolah dan kebutuhan lainnya. Panen kedua 3 bulan lalu saya bayar semua. Dan hasilnya tambak saya sampai saat ini bisa terus difungsikan”. Awalnya memang susah, karena tambak saya terkana tsunami, saya mau kerja lain tidak tau mau kerja apa. Ya.. saat itu kami makan hasil kebun kelapa, sawah, tapi sekarang Alhamdulillah sudah mendingan”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu SR yang menerima bantuan modal senilai pola mudharabah Rp. 5.000.000,- untuk kebutuhan warungnya bahan sembako, yang mengatakan: “program ini dapat membantu kelangsungan usaha warungan saya, barang-barang yang di jual jadi lebih banyak dan lengkap jenisnya, pelangganpun jadi lebih banyak dan pendapatan saya juga bertambah, program ini bermanfaat untuk orang-orang kecil seperti saya juga yang lainnya untuk nambah modal tidak perlu pinjam ke rentener.” Baik Bapak MA maupun Ibu SR telah mampu mengembalikn pinjamannya dan setelah melunasi dapat meminjam lagi kepada pengurus LKM Seunuddon Finance. Adanya pemberian bantuan stimulan modal usaha melalui program LKM ini memberikan manfaat yang cukup besar bagi anggota-anggota kelompok, karena anggota kelompok mempunyai peluang untuk mengembangkan usaha dan menjaga keberlangsungan usahanya. Namun pengurus LKM seringkali kekurangan dana untuk dipinjamkan kepada anggota, karena masih banyak anggota yang tidak lancar mengembalikan pinjaman bahkan ada beberapa anggota yang tidak dapat mengembalikan pinjaman karena usahanya macet sehingga anggota yang lain yang membutuhkan tambahan modal tidak dapat terpenuhi. Gambaran diatas, menunjukkan bahwa ada komunitas korban tsunami yang telah mampu kembali hidup normal artinya mereka relatif telah terberdaya. Namun banyak diantara mereka di Gampong Keude Seunuddon belum merasakan proses pemberdayaan dengan dana yang cukup besar di Aceh.
124
5.6. Ikhtisar Evaluasi Program Berdasarkan
hasil
evaluasi
program
diatas,
ternyataan
program
pemberdayaan ekonomi mikro oleh LKM bagi komunitas korban tsunami dan konflik belum membawa perubahan yang signifikan terhadap komunitas korban. Program ini merupakan visi dan misi BRR Aceh-Nias Deputi Ekonomi dan pemerintah daerah yang diterjemahkan ke dalam kegiatan untuk meningkatkan keberdayaan korban tsunami. Mengikuti konsepsi kebijakan sosial yang terkait erat dengan perencanaan sosial, maka program LKM merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan guna menanggulangi ketidakberdayaan komunitas korban tsunami. Program LKM dilakukan secara terarah, terencana dan sistematik
yang
bertujuan
untuk
membantu
meningkatkan
keberdayaan
kehidupan sosial, psikologis dan ekonomi keluarga melalui penguatan motivasi dan kemampuannya dalam mendayagunakan sumber-sumber dan potensi yang dimiliki, sehingga kemandiriannya bagi korban tsunami secara cepat dapat diwujudkan. LKM seunuddon finance aktif sejak tahun 2005, data awal diperoleh bahwa jumlah komunitas korban mendapat modal usaha 350 jiwa lebih dengan berbagai profesi. Profesi dominan adalah perikanan laut/nelayan dan petani tambak. Namun dua tahun pasca program dikucurkan, komunitas korban tsunami Keude Simpang Jalan Seunuddon masih belum terberdaya. Dalam konteks strategi pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban, LKM seunuddon finance memiliki pendekatan sendiri selain aturan yang sudah diformalkan oleh BRR Aceh-Nias. Menurut managernya, keterlibatan sasaran menjadi hal utama. Mereka tidak hanya sekedar menyalurkan dana. Pola yang diterapkan sesuai dengan makanisme yang sudah dibuat dalam buku induk BRR Aceh-Nias, namun dibeberapa tempat ada perlakuan khusus. Dalam pelaksanaannya, diharapkan setiap anggota kelompok saling berelasi, berinteraksi satu sama lain secara timbal balik atas dasar kepercayaan, hak dan kewajiban. Setiap anggota kelompok ini juga mengembangkan modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi, dan demokrasi dalam wadah kelompok usaha bersama. Koperasi/LKM berupaya untuk mengembangkan aspek lokalitas dan mengembangkan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dan sumber-sumber terkait sehingga program dilaksanakan
secara
terpadu,
saling
mengisi
dan
memperkuat
dalam
mewujudkan tujuan bersama untuk meningkatkan keberdayaan komunitas.
125 Namun realitas lapangan menunjukkan modal sosial tidak berkembang dengan baik. LKM Seunuddon Finance di bentuk tahun 2005 berdasarkan Badan Hukum Koperasi Pasantren Bungong Laot No.134/BH/KWK I/XII/1995/ 14 Desember 1995. Bermula ketika BRR Aceh-Nias meluncurkan program pemberdayaan dan pengembangan LKM dan Koperasi untuk keberdayaan komunitas korban tsunami. Pilihan terhadap Koperasi Bungoeng laot sebagai salah satu Koperasi peserta program BRR adalah pilihan yang dilematis. Di Kecamatan Seunuddon sebagai daerah tsunami sangat sulit untuk mendapatkan lembaga keuangan yang sehat, baik lembaga perbankan sekalipun apalagi koperasi. Berpijak pada realita tersebut sangat sulit menentukan LKM-LKM peserta program BRR Aceh-Nias, yang mempunyai tingkat kesehatan keuangan yang baik, karena pada kenyataannya LKM Seunuddon Finance tidak memiliki simpanan pokok maupun simpanan wajib. Ditambah lagi tidak tersedia Sumber Daya Manusia yang dilengkapi dengan pengalaman dan kemampuan yang optimal. Jenis pembiayaan LKM ada beberapa jenis, antara lain: Konsep Pinjaman Qardhul Hasan (QH), adalah pinjaman (maximal 2 juta) yang hanya mengembalikan pinjaman pokoknya saja dengan cara mencicil (maximal 1 tahun) tanpa harus memberikan bagi hasil keuntungan. Sifat pinjaman ini adalah pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi masyarakat korban gempa dan tsunami yang punya motivasi ingin usaha tapi tidak mempunyai asset produktif. Dari studi ini ditemukan bahwa warga masyarakat yang menerima pinjaman QH ini hampir sebagian besar tidak mengembalikan pinjaman sesuai rencana (sesuai petunjuk teknis). Pada temuan yang lainnya pada masyarakat yang menerima pinjaman QH walaupun usaha mereka telah berjalan kembali dengan baik, tapi mereka masih enggan mengembalikan dana QH tersebut sesuai dengan rencana angsuran.
Konsep
Pembiayaan
Mudharabah/Bagi
Hasil
(MH)
adalah
pembiayaan (maximal 5 Juta) yang diperuntukkan bagi masyarakat yang telah mempunyai usaha kembali setelah bencana gempa dan tsunami. Pola yang digunakan adalah bagi hasil dari keuntungan sesuai dengan penyertaan yang diberikan LKM kepada masyarakat, dan LKM hanya berhak mendapatkan keuntungan dari penyertaan modalnya sebesar (20 persen – 80 persen) 20 persen untuk LKM dan 80 persen untuk peminjam.
126 Namun bagi hasil ini tidak harus dibagikan apabila usaha yang dikelola tidak memperoleh keuntungan. Dan pola Ritel yaitu bantuan bagi hasil bagi pedagang maksimal Rp. 20.000.000,-. Hanya 4 keluarga/individu. Semua stimulan ekonomi mikro ini disalurkan mulai Desember 2005. Ekonomi lokal komunitas korban tsunami belum menunjukkan perubahan yang signifikan setalah mendapat modal usaha dari LKM Seunuddon Finance. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) strategi penyaluran modal bantuan LKM, banyak yang belum tepat sasaran. Pengurus LKM tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi lapangan terhadap kelayakan calon penerima bantuan. b) modal usaha yang diterima oleh masyarakat lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari. c) kerjasama dalam komunitas juga belum berjalan dengan baik. d) Kejujuran pengelola dan penerima bantuan masih dipertanyakan. Hasil praktek lapangan tentang evaluasi program diperoleh informasi bahwa setelah dikucurkan dana bantuan dari BRR Aceh-Nias selain tingkat keberdayaan, keberlanjutan program dalam masyarakat yang masih terabaikan. Juga memunculkan konflik baru. Konflik tersebut dipicu oleh pihak-pihak yang tidak
mendapat
bantuan
modal
dari
LKM
sedangkan
mereka
sudah
mengumpulkan KTP sejak awal program yaitu bulan Juni tahun 2005. KTP yang terkumpulkan melebihi dari kapasitas dana yang ada. Selain itu, ada pihak-pihak yang dikatagorikan sebagai provokator atau pihak yang tidak senang dengan kepengurusan koperasi dan LKM. Mereka menjadi salah satu penghambat dalam keberlanjutan program. Mereka menghembuskan wacana bahwa dana bantuan LKM tidak perlu dikembalikan karena bersifat hibah dari BRR Aceh-Nias. Konflik bertambah besar ketika perangkat Muspika yang mendapatkan modal bantuan dari LKM sedangkan mereka tidak berhak mendapat dana tersebut. Ada juga warga masyarakat yang dikatagorikan mampu dan tidak mengalami musibah stunami dan konflik mendapat bantuan. Pengurus LKM/koperasi pilih kasih, tidak transparan masyarakat menuduh ada indikasi korupsi dana LKM, dan memunculkan kecemburuan sosial. Konflik juga terjadi dalam interen pengurus koperasi
dan
LKM.
Konflik
interen
ini
muncul
sejak
awal
program
implementasikan berkaitan dengan memilih kepengurusan LKM (manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan/debitor). Selain itu, banyak warga masyarakat yang mendapat bantuan ketika diundang tidak mau hadir, menghindari bertemu dengan pengurus LKM dan
127 koperasi, bahkan menjelek-jelekkan pengurus LKM. Untuk mengatasi konflik tersebut, dari FGD dan wawancara yang pengkaji lakukan didapatkan solusi bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mesti bermusyawarah dan juga pemahaman ulang tentang program yang sedang berjalan. Evaluasi terhadap gagasan, ide, arah, kebijakan dan kebijakan program merupakan sebuah konsep yang komprehensif dalam menata kembali perekonomian rakyat Aceh pada pasca bencana gempa dan tsunami mulai tahun 2005 sampai dengan selesainya masa bakti BRR NAD-Nias pada tahun 2009. Akhir masa tugas BRR tahun 2009, semua tugas, fungsi, seluruh asset yang tetap dan bergerak diserahkan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu aset penting dengan dana triliyunan rupiah adalah program pemberdayaan dan pengembangan koperasi/LKM untuk keberdayaan komunitas korban tsunami. Program yang dikucurkan sejak tahun 2005 oleh BRR Aceh-Nias telah membawa pro dan kontra dalam dinamika masyarakat NAD. Pilihan terhadap lembaga berbadan-hukum Koperasi/LKM sebagai alat mediasi pengelolaan fasilitas dana BRR yang harus disalurkan ke komunitas korban, pada satu sisi merupakan langkah yang paling aman ditilik dari aspek legalitasformal sebuah lembaga yang akan menerima dana pemerintah. Namun pada sisi yang lain ternyata mengundang banyak tanggapan khususnya dari pihak institusi atau individu yang memiliki pandangan terhadap koperasi/LKM sebagai sebuah lembaga yang bercitra kurang positif. Evaluasi terhadap keterlibatan komunitas korban menunjukkan bahwa komunitas korban karena kondisi dan situasi musibah, keterlibatan mereka terabaikan. Penerapan prinsip keterlibatan komunitas korban dalam konteks pemberdayaan ekonomi mikro di NAD masih sangat kurang. Prospek keberlanjutan program belum jelas. Besarnya dana yang dikucurkan oleh BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi belum menjadi jaminan program tersebut akan bertahan dan berlanjut. Hasil observasi dan wawancara serta diskusi fokus group yang dilakukan pengkaji, menunjukkan indikasi tersebut. Keberlanjutan program tersebut masih menjadi pertanyaan. Artinya mesti dilakukan penelitian, pengkajian dan evaluasi ulang secara menyeluruh berkaitan dengan program penguatan ekonomi mikro tersebut. Walaupun demikian nada optimis muncul dari Deputi Ekonomi BRR Aceh Nias. Optimisme ini muncul, menurut pengkaji lebih kepada keberhasilan bidang ekonomi dalam
128 upaya menghabiskan anggaran, tanpa dilandasi evaluasi dan monitoring mendalam tentang keberhasilan dan keberlanjutan program. Beberapa hasil evaluasi secara umum terhadap program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami oleh LKM sebagai berikut: a) sumber Daya Manusia pengelola LKM masih kurang. b) pola koordinasi antara BRR, Pemda/Dinas terkait, AMFC dan Koperasi-LKM belum berjalan. c) belum terciptanya dukungan yang memadai dari pelaku-pelaku pembangunan lokal seperti pemda, pengusaha, kelompok peduli, NGOs (Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat, ulama, KPA dll) sehingga kerjasama belum terwujud dalam penanggulangan keluarga miskin melalui kelompok usaha bersama. d) belum terciptanya jalinan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi yang disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan bagaimana cara mengakses sumber dan pihak mana yang dapat diakses, maka dalam hal ini pendamping sosial perlu melakukan perannya secara optimal yaitu sebagai pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan advokator. e) bantuan modal usaha pergulirannya terjadi kemacetan karena pada umumnya masyarakat menganggap bahwa setiap bantuan dari pemerintah dan BRR sebagai hibah yang tidak perlu dikembalikan. f). kejujuran pengelola dan penerima bantuan masih rendah. g) Sosialiasi program kurang dilakukan. h) pendataan dan verifikasi lapangan kurang dilakukan. Lebih lanjut secara khusus dapat di evaluasikan sesuai dengan temuan lapangan, berikut. 1. Dari segi sebaran lokasi keberadaan koperasi/LKM; keberadaan LKM Seunuddon Finance masih mudah dijangkau dengan roda dua atapun roda empat. Transportasi sudah tersedia, jalan sudah diaspal walaupun sudah mengalami rusak berat, jarak dengan kecamatan hanya 1 kilometer, dengan jalan negara 10 kilometer, dengan Ibu kota Kabupaten 60 kilometer. 2. Pengelola berdasarkan biodata yang ditemukan bahwa LKM Seunuddon Finance, yang terdiri dari manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan semua tamatan SMU. Sehingga mereka memenuhi persyaratan minimal sebagai pengelola LKM. Namun tingkat pendidikan tidak menjamin program berjalan lancar. Banyak faktor lain seperti sosial budaya, situasi dan kondisi korban yang masih trauma. 3. Kemandirian LKM, bahwa LKM belum dapat mengelola dana fasilitas BRR (rata-rata per LKM 900 juta) yang pada kenyataannya dengan dana sebesar
129 itu seharusnya LKM yang mendapat Bantuan/suntikan dana dari BRR, sudah dapat mandiri. Hal ini dikarenakan, LKM Seunuddon Finance mengalami konflik dengan masyarakat maupun dalam tubuh lembaga LKM atau koperasi itu sendiri. Sehingga semua dana yang sudah dikucurkan sulit dikembalikan. 4. Penguatan kelembagaan Koperasi/LKM tidak dilakukan sejak awal. Mestinya BRR Aceh-Nias, pemerintah dan lembaga donor lain melakukan penguatan capacity building terhadap lembaga dan pengurus koperasi/LKM, setelah itu selesai, baru kemudian dana dikucurkan. 5. Dari segi masyarakat, pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah (barak). Karena pada dasarnya kondisi dan lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat lokasi bencana tidak dapat berfungsi atau belum saatnya berfungsi secara normal. Sehingga yang terjadi adalah semua dana bantuan modal usaha dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, bukan untuk modal usaha. 6. Di tilik dari kondisi infrastruktur seperti media transportasi, sarana komunikasi, dan sarana listrik, semuanya masih belum berfungsi normal pada saat program diluncurkan. Faktor tersebut sangat berpengaruh pada tingkat pelayanan lembaga yang bergerak di pelayanan publik termasuk koperasi. Ketika kondisi ini diabaikan dan program tetap berjalan, akibatnya adalah terjadi gangguan (disfungsi) terhadap pelayanan publik. Untuk lembaga koperasi/LKM di temukan kondisi sebagai berikut: kesulitan menjangkau koperasi pada daerah bencana karena belum ditemukan sarana, sehingga fungsi pengendalian dan supervisi terlambat dilakukan. Arus listrik yang cenderung tidak stabil setiap hari, hal ini berakibat pada tidak berfungsinya atau kerusakan pada perangkat lunak dan keras yang menjadi alat kerja utama lembaga pelayanan publik seperti koperasi/LKM. Sehingga administrasi awal dari LKM Seunuddon Finance bersifat manual. Semua dicatat secara manual yang menyulitkan proses kerja dilapangan. Akibat lain yang ditentukan adalah pencatatan administrasi dan keuangan dilakukan secara manual yang cenderung memiliki kelemahan dalam keakuratan data
130 keuangan dalam penerapannya. Akhir tahun 2006 baru tersedia perangkat lunak dan keras LKM. 7. LKM Seunuddon Finance, baru diaktifkan ketika program BRR Aceh-Nias diluncurkan. 8. Dinilai dari jenis bantuan pola bantuan yang diterapkan sudah cukup baik, baik itu dinilai untuk kepentingan masyarakat sebagai pemetik manfaat ataupun LKM, karena jenis bantuan yang ada bervariasi disesuaikan dengan kondisi dari masyarakat/pemetik manfaat yang
ada. Namun dalam
prakteknya dilapangan semua jenis bantuan tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan, pemahaman masyarakat tentang pola bantuan sosial, mudharabah/bagi hasil dan ritel masih lemah, termasuk pengurus LKM/koperasi itu sendiri. 9. LKM dituntut dalam waktu yang singkat mesti dapat menyeleksi masyarakat untuk menjadi penerima bantuan dalam jumlah yang besar. Pada kenyataannya dalam waktu yang singkat tidak bisa dilakukan penyeleksian yang akurat terhadap penerimarima bantuan yang layak. 10. Hasil evaluasi program melalui observasi dan wawancara serta diskusi fokus group (FGD) yang dilakukan pengkaji, menunjukkan bahwa prospek keberlanjutan program tersebut tidak berlansung atau tidak berhasil. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa sebab antara lain: Pertama, kurang percaya masyarakat terhadap lembaga BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi yang terjadi dalam berbagai lembaga penyedia layanan dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami termasuk koperasi/LKM serta AMF, NGO lokal, nasional maupun internasional. Kedua, faktor sosioculture masyarakat yang kurang memahami arti penting swadaya dan dana bergulir. Ketiga, pendataan yang masih simpang siur serta diketahui masyarakat yang baru keluar dari situasi dan kondisi musibah tsunami dan konflik berkepanjangan masih menyimpan traumatik secara psikologis, sosiologis. Keempat, kredit macet mencapai 65 persen di LKM Seunuddon Finance. Kelima, pola dana bergulir atau pola kredit masih relatif baru bagi komunitas di Keude Simpang Jalan. Keenam, komunitas terbiasa menerima dana bantuan secara percuma dari beberapa NGO dan lembaga donor lainnya, sehingga kesadaran untuk mengembalikan dana bantuan dari LKM kurang. Ketujuh, lemahnya kesadaran komunitas dalam program semacam ini. Kedelapan, dari 350 individu yang mendapat dana dari LKM Seunuddon Finance hanya beberapa
131 orang saja yang dana bantuan tersebut digunakan sesuai dengan usahanya, lainnya hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Komunitas korban yang mendapat bantuan dari program LKM, tidak mengalami perubahan secara signifikan, ditilik dari jenis perekrajaan sebelum dan sesudah tsunami. Seperti petani tambak, setelah tambak dinormalisasikan oleh BRR Aceh-Nias, mereka kembali bekerja seperti sediakala. Bagi petani tambak yang sempat ditemui, mereka rata-rata tidak ada jenis pekerjaan lain yang sesuai dengan keahliannya. Pekerjaan di tambak sudah dijalankan dari turun temurun. Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang nyata atau signifikan pada ekonomi komunitas. Penyebab tidak adanya perubahan ekonomi komunitas yang signifikan dapat dilihat dalam dua segi yaitu segi kelembagaan LKM/koperasi dan segi komunitas itu sendiri. Pertama, penyebabnya dari segi kelembagaan LKM/koperasi bahwa LKM tidak memiliki sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola dana bergulir secara berkelanjutan termasuk waktu yang dimiliki pengurus LKM untuk memverefikasi komunitas calon penerima modal usaha terbatas sehingga modal usaha yang dikucurkan banyak yang tidak tepat sasaran. Keterlibatan komunitas sebagai penerima manfaat tidak ada sama sekali. Lembaga LKM/koperasi masih dipandang pesimis oleh komunitas, citra koperasi/LKM yang buruk mengurangi kepercayaan komunitas. Secara ekternal dan internal lembaga koperasi/LKM masih terjadi konflik. Kedua, dari segi komunitas, modal bantuan yang di dapat dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, hal ini dikarenakan tidak ada sumber pendapatan lain pasca tsunami dan konflik, juga anggapan jumlah modal usaha yang disalurkan terlalu kecil untuk modal usaha. Pengembalian modal usaha sampai dengan 2 tahun pencairan masih terjadi kredit macet mencapai 65 persen. Pemanfaatan Lahan tambak, persawahan, kehidupan nelayan, kios/dagang masih belum dapat difungsikan secara maksimal karena kekurangan modal usaha. Perubahan ekonomi komunitas korban, hanya terlihat saat menerima bantuan untuk keperluan usahanya. Seperti yang terjadi bagi komunitas tambak, mereka dapat menggunkana dana bantuan tersebut untuk kebutuhan tambaknya 1 kali panen, namun ketika panen tambak tidak bagus mereka kehabisan modal untuk memulai lagi. Hal serupa juga berlaku bagi nelayan, ketika mereka turun laut dan mendapat hasil yang bagus, nampak terlihat perubahan ekonomi
132 keluarganya. Mereka dapat melanjutkan sekolah anaknya, kebutuhan pokok keluarga tidak perlu berhutang diwarung-warung. Namun ketika hasil tangkapan tidak maksimal, maka mereka kehabisan modal untuk melaut lagi. Dan pilihan kemudian adalah pada rentenir.
Namun, bukan berarti tidak ada komunitas
korban yang tidak ada perubahan ekonomi. Ada beberapa orang yang pengkaji temui,
menurunya
mengalami
perubahan
ekonomi
dalam
kehidupan
keluarganya. Kehadiran LKM Seunuddon Finance tidak membawa dampak perubahan yang signifikan pada kehidupan dan keberdayaan komunitas yang mendapat bantuan dari LKM. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, strategi penyaluran bantuan modal usaha tidak melibatkan komunitas secara langsung. Komunitas tidak tahu tentang program LKM yang sebenarnya, mereka hanya mengetahui bahwa ada bantuan modal usaha dari koperasi/LKM secara cuma-cuma sehingga semua mengajukan permohonan tanpa berpikir untuk mengembalikan modal bantuan tersebut. Kedua, pendampingan terhadap komunitas termasuk kelembagaan LKM tidak dilakukan secara maksimal, sehingga mengakibatkan tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif baik dengan komunitas maupun lembaga yang terkait. Ketiga, dari 350 orang yang mendapat bantuan modal usaha hanya segelintir yang mampu mengembalikan modal tersebut, selebihnya modal usaha digunakan untuk kebutuhan konsumtif sesaat. Keempat, hanya terdapat 5 orang yang memdapat modal usaha dari LKM untuk penambahan modal warung kopi dan toko yang lancar pengembalian sedangkan komunitas lain dengan jenis usaha tambak, sawah, dan nelayan rata-rata tidak mampu mengembalikan, hal ini disebabkan bantuan modal usaha tidak digunakan untuk kepentingan usaha. Keenam, kelompok nelayan yang mendapat modal bantuan yang rata-rata hanya 1 juta sampai 3 juta habis digunakan untuk kebutuhan rumah tangga hanya sisa untuk kebutuhan kapal bermotor seperti untuk BBM dan kebutuhan melaut. Sedangkan komunitas tambak, sawah, petani garam yang sempat menggunakan modalnya untuk usaha tersebut akibat musibah pasang laut yang terjadi tahun 2007 telah menenggelam tambak, sawah, dan lahan garam sehingga gagal panen. Keberdayaan komunitas korban seperti yang tergambarkan diatas, tentu saja tidak berhenti hanya sampai disitu. Tapi prinsip dalam proses komunikasi dialektika dan interaksi antar stakeholders akan terus berlangsung dalam proses pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami. Kenyataan sosial
133 ekonomi yang terbentuk dalam komunitas secara objektif ini kemudian dihadapkan pada individu, yang pada tahap selanjutnya bersifat mempengaruhi dan memaksa pembentukan pola fikir, sikap, tindakan dan perilaku-perilaku individu. Kenyataan sosial ekonomi objektif yang dimiliki, dialami dan dirasakan bersama tersebut kemudian menjadi bagian-bagian dari individu yang sebut kenyataan sosial ekonomi subjektif yang mendasari pola fikir, sikap, dan tindakan serta perilaku individu. Mulai disini proses pembentukan kenyataan sosial ekonomi kembali dilakukan oleh individu dari awal dan oleh karenanya disebut sebagai proses dialektika. Proses inilah yang sedang berlansung di gampong Keude simpang jalan Seunuddon dalam proses rehabilitasi ekonomi mikro oleh Koperasi/LKM dan lembaga lembaga lain. Gambaran diatas, menunjukkan bahwa hanya segelintir orang dalam komunitas korban tsunami yang mampu kembali hidup normal artinya mereka relatif telah terberdaya. Namun kebanyakan anggota komunitas korban tsunami di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon belum terberdaya. Minimnya tingkat keberdayaan ekonomi komunitas korban tsunami tidak signifikan dengan dana yang dikucurkan ratusan milyar rupiah.