PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Deskripsi Program Program Pengembangan Kecamatan adalah Program Nasional yang bertujuan memberantas kemiskinan dan memperbaiki tata pemerintahan di tingkat lokal, yang diawali sejak tahun 1998 melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Sumber dana adalah hibah dari donor, APBN, dan pinjaman Bank Dunia, dengan sasaran pada kecamatan miskin di 30 propinsi dari 33 propinsi di seluruh Indonesia. Alokasi anggaran berkisar antara Rp.350 juta sampai dengan Rp.1000 juta (1 milayar) untuk setiap kecamatan. Program Pengembangan Kecamatan adalah, adalah salah satu program yang berbeda dibanding dengan Program Pemerintah sebelumnya, karena sangat memperhatikan forum musyawarah di tingkat basis atau tingkat dusun dan RT. Keterkaitan antara kebutuhan dan kemampuan masyarakat dengan arah kebijakan program pembangunan dan pengembangan masyarakat di komunitas, menjadi proses yang penting dalam program PPK. PPK mengalokasikan dana untuk pembangunan sarana fisik (hardware), dan pemberdayaan masyarakat (software), dengan komposisi fisik lebih besar dibanding dengan alokasi dana pemberdayaan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga persentase alokasi dana di setiap wilayah pun berbeda-beda. Pengelolaan kegiatan ini, untuk tingkat desa disebut Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) yang umumnya ditangani oleh lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM atau LKMD), lalu untuk kecamatan disebut Unit Pelaksana Kegiatan (UPK). Mekanisme pengajuan kebutuhan adalah melalui proposal yang disepakati dalam setiap kelompok masyarakat di setiap RT, lalu dibicarakan di tingkat dusun, tingkat Desa, akhirnya menjadi usulan desa ke tingkat UPK (kecamatan). Setiap proposal yang menjadi usulan desa akan dibicarakan dalam forum musyawarah antar desa, sehingga pada akhirnya disetujui jumlah dan proporsinya. Pencairan dana dilakukan UPK melalui TPK desa untuk disalurkan pada setiap kelompok masyarakat. Mekanisme ini,
diharapkan akan menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat, serta selalu melalui proses kesepakatan pengambilan keputusan yang demokratis. Kecamatan Haharu adalah salah satu kecamatan dari sembilan kecamatan di wilayah propisni NTT yang mendapat program PPK. Salah satu desa yang mendapat pelayanan PPK adalah Desa Hambapraing sejak tahun 2004. Program yang dilaksanakan meliputi pembangunan sarana dan prasarana, dana pemberdayaan dalam bentuk usaha ekonomi produktif (UEP) dan simpan pinjam perempuan (SPP). Pelaksanaan Program PPK Sejak tahun 2004, program PPK masuk Desa Hambapraing yang diawali dengan sosialisasi program. Dana yang dikucurkan untuk tahun 2004 sebesar : Rp.129.119.000, dengan rincian : dana pemberdayaan sebesar Rp.45.000.000 dan pembangunan infrastruktur sebesar Rp.84.199.000 berupa pembangunan pos klinik desa (polindes). Dana pemberdayaan untuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP), sebesar Rp.35.000.000 bagi 59 kepala keluarga dan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) sebesar Rp.10.000.000 melalui pembentukan lima kelompok pengrajin tenun ikat sebanyak 50 kepala keluarga. Untuk tahun 2005, pencairan dana untuk kegiatan fisik berupa pembangunan sekolah dasar (SDK Wolihi) yakni Rp.84.000.000. Dana pemberdayaan tidak ada, apalagi pengembalian cicilan dari UEP adalah nihil hingga tahun 2006. UEP hanya dicicil pada tahun 2004, atau pada awal pelaksanaan program yakni sebesar Rp. 4.158.710. Cicilan yang dilakukan oleh kelompok simpan pinjam perempuan (SPP) yakni 100 persen. Oleh sebab itu, dilanjutkan lagi pada tahun 2006, melalui dua kelompok pengrajin tenun yakni Rp.10.000.000. Kedua kelompok itu masih aktif hingga sekarang. Dari hasil laporan TPK, pelaksanaan program ini, mengalami kesuksesan dan kegagalan, artinya pembangunan fisik sudah berjalan, dan menghasilkan sekolah serta pusat layanan kesehatan, sedangkan dana pemberdayaan mengalami kredit macet. Dana pemberdayaan dibagi dua macam yakni usaha ekonomi produktif (UEP) dan simpan pinjam perempuan (SPP). Usaha ekonomi produktif sudah digulirkan kepada kelompok-kelompok bentukan yang berusaha sesuai kemampuan anggotanya (59
kepala keluarga), seperti usaha warungan, usaha bisnis ikan, jual beli ternak kecil atau jual beli hasil bumi antar desa, dan sebagainya. Dana SPP adalah khusus beranggotakan perempuan yang bekerja dengan usaha yang sama yakni tenun ikat. Proses pemberian pinjaman dilakukan melalui kelompok usaha yang terbentuk berdasarkan kehendak anggota, sehingga jumlah anggota yang ada sangat bervariasi. Selain itu, anggota harus mempunyai simpanan pokok, minimal Rp.300.000 sebagai investasi kelompok. Pinjaman dicicil setiap bulan selama setahun, dengan bunga 3,3 persen tahun 2004 dan pada tahun 2006, turun menjadi 2 persen. Sanksi keterlambatan atau kemacetan akan dilakukan melalui sita barang, yang sudah disetujui oleh anggota kelompok sebagai norma kelompok. Untuk administrasi, TPK diberikan upah 3 persen dari pengembalian pinjaman bergulir. Dari pelaksanaan PPK, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan dana untuk pemberdayaan lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan dana untuk fisik. Oleh sebab itu, kemampuan masyarakat menentukan keberhasilan pengelolaan dana tersebut. Pada umumnya pengembalian dana untuk SPP secara nasional menunjukkan keberhasilan dibandingkan dengan dana untuk UEP (Laporan PPK Nasional,2006). Kegiatan PPK berakhir pada tahun 2006, dan kini dilanjutkan dengan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Pengembangan Ekonomi Masyarakat Dana pemberdayan ekonomi masyarakat yang sudah dialokasikan bagi Desa Hambapraing untuk dua tahun (2004 dan 2006) sebesar, Rp. 55.000.000, yang digulirkan melalui kelompok usaha masyarakat. Pemanfaat dana bergulir, untuk usaha ekonomi produktif adalah : 59 kepala keluarga dan untuk simpan pinjam perempuan adalah 60 kepala keluarga. Hal ini telah membantu masyarakat dalam hal permodalan, sehingga diharapkan melalui pinjaman bergulir ini dapat mendukung perkembangan usaha tiap anggota masyarakat. Selain itu, melalui cara ini masyarakat dapat belajar dan mengenal cara pengelolaan dana bergulir serta pemanfaatan pinjaman yang tepat. Oleh sebab itu PPK, menjadi salah satu cara yang dapat memberi pengaruh bagi perkembangan usaha ekonomis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini di akui oleh pemanfaat dana SPP,
‘sejak awal menerima bantuan walaupun jumlahnya kecil, tetapi kami dapat mengetahui bagaimana mencicil dengan bunga yang rendah, serta berharap dapat bantuan yang lebih besar’ Ada salah satu penerima bantuan UEP juga yang membuka usaha warungan dan masih berlanjut hingga sekarang, salah seorang menyatakan, ‘tadinya saya kira usaha warungan itu tidak bisa memberi keuntungan ternyata cukup memberi penghasilan dan pengalaman untuk mengelola keuangan’. Dari cicilan yang sangat minim pengembaliannya, ketika ditanyakan, diantaranya mengatakan, ‘kami rasa ada banyak yang belum mencicil sama sekali sehingga untuk apa kami susah payah mencicil juga. Jika adil, harus semuanya ditagih juga biar sama-sama menerima dan mengembalikan’ Hal-hal semacam itu, adalah pandangan warga yang masih menganggap dana program adalah hibah sehingga dibutuhkan ketegasan norma dan aturan yang disepakati. Hal ini masih sulit diterapkan, apalagi jika saatnya penagihan tidak jarang juga ada warga yang menunjukkan ketidakberdayaannya. Kendala ini menjadi halangan untuk bertindak tegas, tetapi disisi lain tetap ada keyakinan bahwa yang penting modal yang diterima masyarakat, sudah diusahakan dan pasti akan mempengaruhi cara pikir masyarakat walaupun belum optimal. Pemanfaatan Modal Sosial Program pengembangan kecamatan (PPK) telah berproses di desa Hambapraing dan menyentuh unsur partisipasi dan pengorganisasian dalam masyarakat. Kegiatan fisik yang dilakukan sudah menumbuhkan aspirasi warga yakni kesepakatan bersama untuk membangun sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan masyarakat yakni pos klinik kesehatan dan sekolah dasar. Hal ini diputuskan secara partisipatif di tingkat RT, Dusun, hingga Desa. Proses ini menumbuhkan kepercayaan warga sekaligus memberi tempat bagi mereka untuk berpendapat tentang pelaksanaan pembangunan. Selain itu, dalam pelaksanaan proyek ditangani oleh warga secara swadaya pula, seperti tenaga, dan bahan baku dari komunitas. Untuk dana pemberdayaan, masih terjadi kegagalan dalam hal
pengembalian modal bergulir, yang diakibatkan oleh banyak hal diantaranya, adanya anggapan hibah dari masyarakat, adanya usaha baru yang tidak sesuai dengan kecakapan warga, serta penggunaan dana yang tidak efisien. Di sisi lain, terdapat sebagian kecil warga yang berhasil dalam pengguliran, jadi setidaknya sudah terjadi proses yang diharapkan dapat melibatkan masyarakat sesuai mekanisme dan tujuan program. Kegagalan menunjukkan bahwa, fungsi kelompok yang dibangun baru terbatas sebagai penerima bantuan, dimana usahanya masih berjalan secara individual. Kendala ini banyak mengakibatkan gagalnya kelompok yang dibentuk, walau sudah disesuaikan dengan keinginan anggotanya tetapi kesadaran dan perasaan berkelompok dalam berusaha masih rendah di tingkat individu. Pada sisi yang lain, wilayah ini mempunyai modal sosial yang masih kental seperti solidaritas dan kebersamaan dalam hal hubungan dan relasi sosial, sehingga pola baru yang diperkenalkan membutuhkan pendekatan dan penyesuaian dengan kebiasaan masyarakat. Hal lain yang berpengaruh, juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Program Penguatan dan Pengembangan Desa Menuju Desa Mandiri (P3DM) Deskripsi Program a. Latar Belakang Lahirnya Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM) dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dianggap sangat besar peranannya dalam mengakibatkan perkembangan desa dan proses pemberdayaan masyarakat menjadi tidak atau belum optimal. Tidak optimalnya perkembangan dan pemberdayaan diakibatkan oleh beberapa faktor yakni, banyaknya bantuan yang masuk ke desa belum mampu memberi dampak yang signifikan dalam menumbuhkembangkan prakarsa swadaya dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan. Faktor lainnya, koordinasi program sektor yang masuk desa dalam berbagai model pendampingan belum menunjukkan keterkaitan satu
dengan lainnya secara langsung atau yang biasa disebut sebagai masalah ego sektoral. Selain itu, diyakini beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi adalah : pola pikir masyarakat desa yang bergantung pada bantuan, pola hidup masyarakat yang konsumtif, biaya sosial budaya yang tinggi, cara bertani dan beternak yang belum berorientasi pasar (subsisten), faktor keamanan, masalah kekeringan, serta faktor lain yang bersifat lokal. Dari masalah yang dikemukakan di atas, diduga juga akibat dari belum memadainya kemampuan aparat desa dan kelembagaan lokal di desa untuk memikul tanggung jawab yang ada sesuai tuntutan perkembangan masyarakat itu sendiri dalam proses pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari proses : penyadaran, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengelolaan dan pemanfaatan serta pelestarian. Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka pola pendekatan P3DM diarahkan untuk peningkatan kapasitas pemerintah desa, kelembagaan di desa, peningkatan kapasitas kelompok masyarakat (pokmas) dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat serta peranan sektor untuk menjadikan P3DM sebagai pintu masuk utama program masuk desa secara terpadu, kontinyu, dan konsisten. b. T u j u a n Program P3DM memiliki tujuan umum yakni meningkatkan kemandirian berdasarkan perkembangan masyarakat melalui Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa, Lembaga Desa dan Kapasitas Masyarakat. Kapasitas yang dimaksud tidak hanya kemampuan secara kualitas tetapi secara kuantitas (daya dukung dalam memikul tanggung jawab dalam jumlah). Tujuan khusus yang ingin dicapai yakni; a) meningkatkan kualitas pemerintahan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. b) meningkatkan kualitas kelembagaan di desa, sebagai wadah partisipasi masyarakat guna menopang otonomi desa dan pola pembangunan partisipatif. c) meningkatkan peran serta masyarakat terutama kelompok miskin dan kelompok perempuan dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan, melalui forum musyawarah kelompok. d) melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan pola pendekatan P3DM dalam
mendayagunakan potensi dan sumber daya lokal. e) Menyediakan prasarana dan sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan masyarakat, serta f) melembagakan pengelolaan keuangan mikro dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dari tujuan tersebut diatas maka diharapkan sasaran yang dicapai adalah, meningkatnya kemampuan aparat desa dalam pelaksanaan pelayanan prima kepada masyarakat, meningkatnya kualitas penyelenggaraan administrasi desa, meningkatnya kualitas kelembagaan desa, meningkatnya partisipasi masyarakat, meningkatnya kualitas kelompok masyarakat dalam pengelolaan aset dan dana bergulir. Prinsip yang dianut oleh program ini tentu menjadi landasan dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, melalui delapan prinsip yakni, keberpihakan pada orang miskin, transparansi, partisipasi, kompetisi sehat, desentralisasi, akuntabilitas, keberlanjutan dan keterpaduan program. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan secara intensif selama tiga tahun berturut untuk setiap desa dan akan dilakukan evaluasi pada setiap akhir tahun guna menilai tingkat perkembangan desa berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya dapat dikategorikan pada tiga status yaitu: desa berkembang, desa maju, desa mandiri. Desa Hambapraing atau desa amatan tergolong dalam desa target desa tahap pertama yakni 2005 sampai 2007, sehingga sudah berjalan dua tahun dan dapat dijadikan bahan evaluasi. c. Pendanaan Sumber dana P3DM terdiri atas empat jenis yaitu: Swadaya murni, APBD Kabupaten Sumba Timur, Dana sektor dan Bantuan lain yang tidak mengikat. Alokasi dana berasal dari APBD sebesar Rp. 60.000.000 untuk setiap desa, dengan proporsi : a. Dana untuk penguatan kapasitas kelembagaan desa sebesar Rp. 27.000.000,- atau 45 persen, digunakan untuk penguatan kapasitas kelembagaan desa seperti : Bantuan Operasional pemerintah desa, berupa : operasional RT/RW, biaya administrasi,
pelaporan,
rapat,
perjalanan
dinas.
Bantuan
operasional
kelembagaan desa, seperi biaya administrasi, pelaporan, musyawarah, dan perjalanan bagi BPD, LPM, dan TP. PKK. b. Dana bantuan langsung masyarakat untuk Pemberdayaan Masyarakat sebesar Rp. 33.000.000,- atau 55 persen digunakan sesuai ketentuan pokok yakni : membiayai kegiatan-kegiatan usaha ekonomi produktif (UEP), usaha simpan pinjam (USP) khusus kelompok perempuan, kegiatan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, pendidikan, kesehatan, serta peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat atau anggota pokmas. Mekanisme yang dilalui yakni, dalam bentuk usulan kegiatan dari masyarakat, yakni untuk kegiatan penguatan kelembagaan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Usulan kegiatan untuk penguatan kelembagaan disusun dalam rencana kegiatan (RK) yang disahkan kepala desa lalu diusulkan kepada BPM melalui Camat. Usulan kegiatan untuk pemberdayaan, teknisnya adalah masing-masing pokmas menyampaikan usulan yang dibahas dan diverifikasi di tingkat dusun. Usulan pokmas yang ditetapkan dijadikan rencana kegiatan dusun (RK Dusun), selanjutnya RK Dusun dibahas dan diverifikasi dalam musyawarah tingkat desa dengan kompetisi sehat, selanjutnya yang ditetapkan mengalami proses yang sama di tingkat kecamatan dan pada akhirnya disampaikan ke Bupati melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat. Untuk
mekanisme
pengguliran,
dana
berupa
uang
atau
barang/bahan/bibit/ternak dan hasil usaha, diatur dalam keputusan musyawarah kelompok dan ditetapkan dalam berita acara yang disahkan oleh kepala dusun atas dasar sepengetahuan kepala desa. Sedangkan khusus tanaman umur panjang, tidak dapat digulirkan tetapi memiliki sanksi agar penerima harus memeliharanya dan apabila hilang atau mati harus diganti. Pelaksanaan P3DM Program P3DM adalah awal pelaksanaan salah satu bagian dari program strategis daerah yang bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan. Sejak dicanangkan pada tahun 2005, untuk tahap pertama, ditetapkan 30 desa model menuju desa mandiri, dimana salah satunya adalah Desa Hambapraing. Dana P3DM
terdiri atas dua jenis yakni dana penguatan dan pengembangan kelembagaan (45 persen) dan dana pemberdayaan masyarakat (55 persen). Selama dua tahun berturutturut difungsikan sesuai standar yang ditetapkan yaitu, dana pemberdayaan dikelola oleh LPM (lembaga pemberdayaan masyarakat) dan di gulirkan melalui usaha simpan pinjam perempuan, dan usaha ekonomi produktif, serta bantuan langsung (tidak bergulir). Dana penguatan dan pengembangan kelembagaan, untuk pembangunan fisik seperti infrastruktur kantor desa, dan operasionalisasi kegiatan kelembagaan baik pemerintah dan lembaga desa. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan dalam program P3DM, maka perlu dievaluasi berdasarkan unsur ekonomi dan modal sosial yang sudah berproses, serta manfaat dan keberhasilan yang diperoleh masyarakat. Disamping itu, dapat dianalisa hambatan dan kendala yang dihadapi sehingga diperoleh masukan untuk perkembangan program selanjutnya. Secara khusus yang menjadi fokus penelaahan adalah dana pemberdayaan dalam pengalokasiannya. Pengembangan Ekonomi Masyarakat Program P3DM pada dasarnya sudah memberi ruang pemberdayaan lebih besar dibanding dengan penguatan kelembagaan dilihat dari proporsi dana yang di alokasikan. Secara singkat diuraikan, dana pemberdayaan dalam program P3DM dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : Pada Tahun 2005 : Bantuan ternak kambing bagi semua kepala keluarga miskin, berjumlah sepasang jantan dan betina untuk setiap kepala keluarga, Bantuan bibit kacang dan jagung bagi semua kepala keluarga, dan Bantuan langsung modal simpan pinjam bagi pengrajin tenun ikat. Tahun 2006 : Bantuan ternak sapi bagi 13 kepala keluarga yang sebagian besar kepala keluarga miskin, dan ada juga yang bukan kepala keluarga miskin. Tahun 2007 : Bantuan ternak kuda bagi 13 kepala keluarga yang berpotensi dapat menggulirkan kembali ternak kuda. Konsep ini telah diterapkan melalui pelaksanaan aktivitas usaha yang berbasis kelompok berupa bantuan ternak, bantuan uang untuk usaha kerajinan, serta bantuan bibit (seperti bibit kacang dan bibit jagung). Dalam pelaksanaannya, terdapat masalah
atau kendala yang terjadi pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Bantuan ternak kambing, selama setahun berjalan sejak pengguliran pertama, mengalami kegagalan dimana kambing mati karena penyakit dan musim panas yang berkepanjangan. Kasus pencurian ternak kambing juga berpengaruh pada rendahnya motivasi penduduk untuk pemeliharaan selanjutnya. Selain itu, terdapat sejumlah kasus, dimana guliran pertama langsung digunakan oleh beberapa keluarga miskin untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sehingga tidak berkelanjutan penggulirannya. Usaha ternak sapi digulirkan sejak tahun 2006 dan kuda pada tahun 2007. Jenis ternak ini, membutuhkan waktu maksimal dua tahun untuk berkembang dan siap untuk di pasarkan. Menurut peternak, biaya pemeliharaan meliputi obat-obatan dan pakan, serta biaya untuk proses penggembalaan dan keamanan. Usaha ini diduga potensial karena selain biaya pemeliharaan tidak terlalu memberatkan, juga karena budaya beternak adalah warisan nenek moyang yang terus dikembangkan, untuk menopang kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan sosial. Yang patut menjadi perhatian adalah cara memilih bibit kuda dan sapi yang berkualitas, agar tidak terjadi kegagalan seperti pada kasus ternak kambing. Bantuan bibit kacang dan jagung adalah bantuan langsung yang dibagikan kepada semua kepala keluarga ketika terjadi kegagalan tanam, akibat musim yang tidak menentu, padahal kacang dan jagung adalah tanaman musiman yang pernah cocok di wilayah tersebut. Pembagian bibit dilakukan untuk menanam tahap kedua setelah gagal tanam, bahkan terjadi sampai tiga kali, akhirnya para petani tidak menanam selama setahun. Kondisi ini merupakan konsekuensi alam, dan ada kemungkinan bahwa daerah tersebut adalah wilayah yang kurang potensial lagi untuk tanaman musiman. Untuk bantuan guliran simpan pinjam bagi usaha tenun ikat sudah berjalan sejak program sebelumnya yakni PPK pada tahun 2004, lalu dilanjutkan dalam program P3DM. Usaha tenun ikat, dalam penggulirannya juga mengalami kemacetan, tetapi dibalik itu, terdapat dua kelompok yang terus aktif. Kelompok ini terus melakukan usahanya secara berkelanjutan, dan sudah mempunyai pelanggan di kota untuk menjual kainnya, walaupun dalam jumlah yang masih kecil. Kendala umum
dalam usaha ini adalah, pasaran kain tenun ikat yang menurun, kurangnya informasi pasar, kurangnya pembeli dan sebagainya sehingga kain yang diproduksi tidak laku terjual, akhirnya menjadi aset atau disimpan saja. Peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya ekonomi terbukti lewat bantuan modal usaha dan simpan pinjam serta benda atau barang yang dapat digulirkan lagi. Akses masyarakat secara fisik tentu harus dibarengi dengan akses masyarakat secara non fisik seperti peningkatan kemampuan masyarakat. Konkritnya dalam usaha tenun ikat, para pengrajin membutuhkan informasi dan ketrampilan yang lebih kompetitif untuk menghadapi selera pasar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu intervensi secara komplit dalam kelompok, untuk menciptakan pasar bagi produksi yang dihasilkan oleh masyarakat. Selain itu, daya saing dalam menarik selera konsumen membutuhkan sistem pemasaran yang lebih modern, di barengi dengan kualitas produksi yang mampu bersaing pula. Salah satu caranya adalah, pendampingan lebih intensif pada kelompok pengrajin, baik dalam produksi maupun dalam pemasaran dengan melibatkan sektor yang lain misalnya, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dekranasda, atau Dinas Pariwisata bahkan pihak privat atau pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Pola yang sudah pernah ada, seperti kegiatan bantuan modal, misalnya dapat dilanjutkan dengan aksi promosi, pemasaran, yang dapat melibatkan peran stakeholder secara sinergis. Dari beberapa situasi yang dihadapi oleh kelompok dan masyarakat selama program tersebut berlangsung, maka terdapat beberapa hal penting yang harus dipersiapkan dan dibenahi demi perbaikan kegiatan pemberdayaan yang sedang berjalan di masyarakat, yaitu : a. Bantuan ternak yang gagal, dibutuhkan kualitas bibit yang tepat, biaya pemeliharaan, dan sosialisasi tentang aturan main bagi pelanggaran penggunaan bantuan ternak secara adil dan mendidik. b. Bantuan bibit tanaman musiman menunjukkan bahwa bidang pertanian sudah kurang potensial atau bukan bukan satu-satunya sumber pendapatan masyarakat, tetapi beralih di bidang peternakan dan ketrampilan kerajinan.
c. Usaha simpan pinjam dan bantuan usaha ekonomi produktif, masih berjalan secara apa adanya tanpa intervensi lanjutan. Pengguliran dana tersebut juga menjadi macet karena dianggap hibah dan belum ada perputaran modal yang menguntungkan. Kemampuan sumberdaya yang dimiliki masih rendah, oleh sebab itu, dibutuhkan upaya penggalian ide kreatif untuk mengembangkan usaha produktif. d. Untuk kelompok yang sudah dibentuk, perlu di lakukan pendampingan yang intensif agar mengetahui mekanisme penanggulangan kendala yang dihadapi, baik ditingkat individu dan kelompok. e. Memfasilitasi kerjasama kelompok secara internal dan eksternal untuk bermitra atau bekerjasama membuka peluang pasar bagi produk yang dihasilkan baik dengan sektor pemerintah, sektor swasta, maupun sektor partisipatori (LSM). Peran-peran dari setiap stakeholder akan membantu mencapai hubungan yang saling mendukung tercapainya tujuan. Pengembangan Modal Sosial Didalam masyarakat Hambapraing terdapat struktur dan kultur yang mendarah daging dalam masyarakat. Secara struktur terdapat pemimpin formal dan informal, klen atau marga, organisasi masyarakat, dan lembaga lokal sedangkan secara kultural, terdapat kesamaan nilai budaya yang masih bertalian antara satu kelompok (klen) dengan klen yang lainnya. Ciri homogenitas dalam masyarakat masih cukup besar (95 persen penduduk asli dan lima persen penduduk pendatang) sehingga kultur yang ada masih serupa. Modal sosial yang dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat melalui program P3DM terdiri atas empat dimensi, a. Integrasi, melalui kelompok yang terbentuk atas keinginan dan musyawarah, secara horisontal pada dasarnya sudah terjalin hubungan dan ikatan kekeluargaan atau pertalian darah. Faktor keluarga ini sangat mendasar, lalu diikuti oleh faktor lain seperti kedekatan tempat tinggal, keyakinan (belief system) dan agama. Secara umum, masyarakat menganut agama kristen protestan dan katolik, sebagian besar lainnya adalah kepercayaan lokal (Marapu).
b. Pertalian, yakni pembentukan kelompok masyarakat (pokmas) berusaha untuk tidak menghilangkan kebersamaan yang sudah terjalin sebelumnya. Kebersamaan dalam kelompok melalui identifikasi kebutuhan masing-masing dan berusaha bersama untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui usaha yang sama. Usaha yang pernah lancar yakni usaha ibu-ibu dalam kerajinan tenun ikat. Pertalian ini dapat menyatukan bakat dan ketrampilan yang dimiliki oleh para anggotanya, serta dapat saling bertukar pengetahuan. c. Integritas Organisasional, hadirnya program P3DM dengan ciri dan model pendekatan dari pihak pemerintah secara birokrasi mempengaruhi jajaran pemerintah di bawah. Unsur kelembagaan lokal yang ada mendapat tugas dan fungsi memberi kontribusi bagi pengembangan masyarakat, sehingga program ini menuntun keberfungsian semua lembaga dalam desa untuk berperan secara baik. Dari sini diketahui bahwa, hubungan antar organisasi dan lembaga didalam desa adalah hubungan yang harus diatur sedemikian rupa agar mampu menjadi wadah untuk meningkatkan keberfungsian peran dan kewajiban dari setiap lembaga lokal tingkat desa. Hal ini penting dikaji secara mendalam dalam suatu rancangan relasi yang dapat diatur baik antar lembaga pemerintah desa, lembaga desa, maupun pokmas dan elemen masyarakat secara umum. d. Sinergi, sesuai dengan tujuan dasar dari program P3DM yaitu menjadikan program ini sebagai pintu masuk program yang masuk ke desa, melalui kerjasama sektor baik pemerintah maupun swasta. Hal ini adalah bentuk ideal dari sinergi yang diharapkan. Mensinergikan kegiatan yang datang dari luar, sehingga masyarakat dapat menjalankannya secara bertahap dan secara sadar dapat diikuti secara partisipatif. Salah satu contohnya, dibentuk kelompok tani yang pada dasarnya adalah kelompok masyarakat (pokmas), disini telah muncul kesadaran dari pihak pengembang untuk tidak membuat program secara parsial tetapi melakukan relasi dengan unit teknis lainnya minimal pada tahap koordinasi, sehingga masyarakat tidak terpilah-pilah dalam melakukan kegiatan. Selama dua tahun pelaksanaan program, secara perlahan ego sektoral di hilangkan walau terkadang dalam pelaksanaannya masih sulit. Akhirnya masyarakat menjadi
sasaran program yang bervariasi, tetapi tidak signifikan pada pencapaian tujuan, atau dengan kata lain kurang berhasil. Evaluasi Program Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM), pada dasarnya adalah bentuk lain yang diadaptasi dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dimana prinsip-prinsip dan pendekatan yang digunakan tidak terlalu berbeda. Yang membedakan adalah unsur pengelolaannya yang lebih birokratif, sedangkan Program Pengembangan Kecamatan di kelola oleh pihak independen. Dari kacamata Pemerintah Daerah (Hasil wawancara dengan BPM), program pemberdayaaan tidak bisa diserahkan secara penuh kepada pihak independen, karena model pengembangan masyarakat, tanpa campur tangan pemerintah akan berjalan secara parsial sehingga butuh keterlibatan dari berbagai pihak dalam komunitas termasuk pemerintah lokal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, kekuatan pengaruh kepala desa dalam pelaksanaan program di desa, menjadi unsur yang penting diperhatikan (Evaluasi PPK, 2005). Selain itu, yang membedakan terletak pada pendanaan, teknis atau syarat pembentukan kelompok, dan tingkat bunga pinjaman. Kedua program ini sangat berkaitan dan mempunyai semangat yang sama dalam mewujudkan pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur dasar, dan perubahan pelayanan pemerintahan, yang pada akhirnya melahirkan kemandirian. Kedua program ini sama-sama berusaha mengkolaborasi pendekatan yang sentralistik dan desentralistik yang berlandaskan prinsip partisipasi. Konsep yang telah berjalan selama dua hingga tiga tahun ini, mulai menampakkan keberhasilan tanpa ditampik ada kelemahan yang masih meliputinya. Keberhasilan yang dicapai yakni, dalam bentuk sarana prasarana yakni pembangunan sekolah dasar, pos klinik desa, rehabilitasi kantor desa. Dalam hal kelembagaan, yakni operasionalisasi aparatur desa, lembaga desa, sehingga aktivitas terpusat di kantor, dimana sebelumnya sering dilakukan dirumah Kepala Desa. Aktivitas LPM, PKK dan Posyandu lebih rutin ditopang dana penguatan
kelembagaan yang ada. Dalam hal pemberdayaan masyarakat, telah terbentuk kelompok-kelompok usaha yang mewadahi dana pemberdayaan dan sudah berproses, meskipun untuk usaha ekonomi produktif mengalami kegagalan, tetapi salah satu bentuk simpan pinjam yang cukup berhasil yakni pemberdayaan perempuan melalui SPP (simpan pinjam perempuan). Hal ini perlu ditopang keberlanjutannya, sehingga langkah awal yang sudah dibangun dapat pertahankan melalui pengembangan lanjutan sesuai dengan potensi dan karakteristik komunitas. Berdasarkan proses yang sudah berlangsung selama dua tahun, maka diperoleh beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya : a. Sisi ekonomi, pelaksanaan bantuan melalui kelompok maupun perorangan menunjukkan hasil yang belum berhasil karena banyak terjadi kelemahan sehingga dibutuhkan pembenahan dan pengembangan yang berkelanjutan. Yang sudah dilakukan baru terbatas pada bantuan modal, tetapi perubahan pola pikir dan penyelesaian masalah belum dilakukan. Lemahnya, potensi pertanian maka diharapkan ada pendekatan untuk membangun orientasi masyarakat dalam mengeksplorasi sumber daya selain pertanian seperti peternakan dan kerajinan tenun ikat, atau ketrampilan lainnya. Langkah yang sudah dilakukan seperti bantuan lanjutan berupa ternak dan usaha simpan pinjam menjadi cikal bakal untuk meningkatkan produktivitas usaha-usaha non pertanian di desa tersebut. Untuk melanjutkannya, maka dibutuhkan pendampingan pada kelompok binaan yang sudah ada, sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan untuk mengembangkan potensi kelompoknya sesuai sumber daya yang dimilikinya. Kelompok usaha yang potensial seperti ternak dan tenun ikat, membutuhkan pengembangan program yang lebih menyeluruh sehingga dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat lokal. Hal itu dapat dilakukan secara menyeluruh dan sinergis melalui kerjasama semua pihak yang terkait untuk pengembangan potensi ekonomi lokal. b. Sisi kelembagaan. Hal ini berhubungan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan dalam komunitas secara formal, dan dituangkan dalam aturan main
yang saling mengikat untuk mencapai tujuan bersama, contohnya peraturan desa untuk mendukung pencapaian tujuan kelompok usaha yang ada. Salah satu contoh, untuk menciptakan kamtibmas, dibutuhkan kesepakatan dalam membuat dan menegakkan peraturan desa yang dapat mengkondisikan keamanan di komunitas, untuk menunjang usaha warga. Hal lain misalnya, cara meningkatkan kualitas kelompok masyarakat dalam pengelolaan dana bergulir, sehingga anggapan ‘hibah’ bisa dihilangkan secara perlahan. c. Sisi modal sosial, beberapa hal yang utama adalah, proses pengambilan keputusan, pengetahuan dan ketrampilan komunitas, serta kepercayaan sosial. Pengetahuan dan ketrampilan komunitas dalam hal, kerajinan tenun ikat, penggembalaan ternak merupakan usaha ekonomi produktif yang perlu pendampingan lanjutan. Proses pengambilan keputusan, berarti anggota komunitas berhak menyampaikan aspirasi, sesuai kebutuhan dan kemampuannya, contohnya dalam penentuan jenis usaha dan penentuan pengurus kelompok. Kepercayaan masyarakat terhadap program yang dilaksanakan sudah ada, tetapi membutuhkan sosialisasi secara terus menerus sehingga masyarakat mendapat pemahaman karena kemampuan sumber daya yang masih rendah. Ketika kelompok elit atau bukan elit melakukan penyelewengan seperti kredit atau guliran macet, dapat mempengaruhi warga lain, sehingga perlu penerapan sanksi atau aturan yang jelas sesuai kesepakatan. Penentuan penerima bantuan diatur oleh
pengurus
LPM
(Lembaga
Pemberdayaan
Masyarakat).
Hal
ini
membutuhkan kejelian dalam menentukan penerima karena jumlah bantuan yang terbatas. Kemampuan pengurus LPM, terletak pada informasi yang dipahami oleh pengurus dalam menjalankan tanggungjawabnya. Intinya semua proses dilakukan secara mufakat di dalam forum, sehingga warga yang sudah mendapat bantuan maupun belum, akan mendapat pengertian yang sejalan. Ketika terjadi kemacetan pengguliran, maka yang menjadi sanksi adalah ‘pandangan negatif’ dari warga yang belum mendapat giliran (secara etis), hal ini juga merupakan kontrol sosial. Perlu melihat faktor pendukung nilai kerjasama (kearifan lokal), yang dimiliki
masyarakat, khususnya pengrajin, sebagai unsur yang dapat menyatukan semangat berusaha dan semangat berkelompok. Kesimpulan Program Pengembangan Masyarakat Kedua program tersebut sama-sama menekankan pentingnya kerjasama dan berkelompok dalam menjalankan kegiatan. Kerjasama, merupakan salah satu modal sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga menjadi energi yang dapat mendukung partisipasi. Oleh sebab itu, pendekatan kelompok dapat ditindaklanjuti sebagai salah satu cara mengembangkan usaha ekonomi produktif melalui penyesuaian dengan kebiasaan dan kearifan lokal. Berdasarkan kedua program yang dievaluasi, salah satu yang ditindaklanjuti dalam kajian ini adalah, cara memanfaatkan potensi kerajinan tenun ikat yang didanai oleh program yang sudah berlangsung. Alasannya adalah, ketrampilan tenun ikat merupakan salah satu jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pekerjaan ini tidak hanya musiman tetapi dapat dilakukan sepanjang tahun, atau tidak tergantung musim, serta ketersediaan bahan baku di sekitar komunitas. Oleh sebab itu, kerajinan tenun ikat sebagai salah satu usaha ekonomi produktif yang perlu dikembangkan di desa Hambapraing. Perlu mengkaji masalah yang dihadapi, dan faktor yang mempengaruhi kelompok yang sudah ada dapat menujang keberhasilan program yang dirancang secara partisipatif sesuai potensi yang ada. Perkembangan usaha kerajinan tenun ikat akan berfungsi untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan menopang perekonomian masyarakat.