BAB II URAIAN TEORITIS
II. 1. Tanda Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010:27). Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34). Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur,
Universitas Sumatera Utara
2004:32).
Mengapa
suatu
objek
diberi
nama
‘komputer’
untuk
mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris. Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya. Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama. Dalam Danesi (2010:36), ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.
Universitas Sumatera Utara
Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya , keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon.
Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35). Tanda terdapat di mana-mana, kata, demikian pula gerak isyarat tubuh, lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda. Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di luarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya secara tidak sadar dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda, namun hal tersebut bisa menjadi tanda ketika ia diberi makna tertentu. II. 2. Semiotika Sebuah definisi unik dan penuh makna pernah diusulkan oleh seorang penulis dan pakar semiotika kontemporer, yakni Umberto Eco. Ia mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dpat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7). Meski terkesan bermain-main dan
Universitas Sumatera Utara
tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan (Danesi, 2010:33). Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia– seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004:13). Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks, teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan, manusia
(dan
lingkungan
sosiohistoriokulturalnya)
tidak
secara
khusus
ditonjolkan dalam analisis semiotic (Hoed, 2004:67). Salah seorang ahli semiotika, Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda”, dan bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun. Semiotka adalah
Universitas Sumatera Utara
sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra. Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Danesi, 2010:76). Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekan kan pada pada kajian tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua memberikan penekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya
pada
penerima
tanda
lebih
diperhatikan
daripada
proses
komunikasinya. Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh Roland Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bawa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objekobjek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).
Universitas Sumatera Utara
Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi. Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2004:17).
II. 3. Semiotika Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menga-nalisis budaya, dan (2) konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap eseinya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua , yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya (Sobur, 2004:68). Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Dan sinifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.
Universitas Sumatera Utara
Peta Ronald Barthes : Tabel 2. 1. Peta Roland Barthes
Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebut hal tersebut sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda ataupun makna yang dapat tampak oleh khalayak. Signifikasi tahap kedua adalah makna konotasi, yakni makna ekstra (secara mitologis) yang tampak oleh khalayak (Smith, 2009:105). Barthes menggunakannya untuk menunjukkan dan menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dari khalayak yang melihat pesan yang disampaikan. Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek fisik) yang dapat ditunjukkan dengan warna atau rangkaian gambar yang ada dalam sampul album yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah juga penanda
Universitas Sumatera Utara
konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda (1). Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004:69). Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression (E) yang berkaitan (relation –R-) dengan content (C). Ia berpendapat bahwa E-R-C adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama (E1 R1 C1) dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2 = (E1 R1 C1) R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai
denotasi;
yang
kedua
disebutnya
semiotik
konotatif.
Barthes
menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut: Tabel 2. 2. Dua Sistem Artikulasi Barthes
Universitas Sumatera Utara
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata ‘GIGI’ bermakna ‘salah satu anggota tubuh’. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi, sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotais dimunculkan melaluim ajas (metafora, hiperbola, eufemisme, ironi), dan sebagainya. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penututrnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: GIGI bermakna konotatif ‘grup band terkenal’. Konotasi ini bertujuan untuk membongkar makna yang tersembunyi. Salah satu karya besarnya yang merupakan hasil dari penerapan metode analisis struktural, konsep sintagmatik dan paradigmatik adalah sistem berbusana. Ia menganalogikan dikotomi dari Saussure: langue-parole dengan tata busana (unsur-unsur
mode
dan
aturannya)–aktualisasi
individual.
Tata
busana
menentukan mode pada masa tertentu. Di negara yang memiliki empat musim, ada tata busana untuk setiap musim. Sistem ini disebutnya sebagai denotasi, misalnya, warna gelap (hitam, abu-abu, biru, hijau tua) dan model tertutup untuk musim dingin, warna cerah dan untuk musim semi; model terbuka untuk musim
Universitas Sumatera Utara
panas. Semua konsep analisis ini nantinya akan mengarahkan kita untuk mengenal konsep mitos yang dicetuskan oleh Roland Barthes. Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle matière peut être dotée arbitrairement de signification „materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah rea-lisasi dari langue (Barthes, 2007:16). Oleh karena itu, mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di dalam lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (démontage sémiologique). Ciri-ciri mitos (Barthes, 1991:121): 1. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, form dan concept harus
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form. 2. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque. 3. Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membacadibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis. Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh
Universitas Sumatera Utara
adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan, anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan seharihari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos. II. 4. Makna Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah
yang
membingungkan
(Sobur,
2004:255).
Orang-orang
sering
menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ –pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna. Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010:22) Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258): 1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita menggunakan
kata-kata
untuk
mendekati
makna
yang
ingin
kita
Universitas Sumatera Utara
komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah. 2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu). 3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai. 4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah
Universitas Sumatera Utara
membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak. 5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui. 6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai. Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut, disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.
II. 5. Semiotika Komunikasi Visual Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur,
Universitas Sumatera Utara
termasuk desain komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Di dalam semotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi mempunyai fungsi signifakasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009:xi). Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2009:9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal. Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya desain komunikasi pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual.
Universitas Sumatera Utara
Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tama dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah
secara
ikonis,
indeksikal
atau
simbolis
dan
bagaimana
cara
mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, ketika karya desain komunikasi visual mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks karya desain komunikasi visual mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem
nonkebahasaan
untuk
mendukung
pesan
kebahasaan,
makapendektaan semiotika komunikasdi visual sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas makna kerya desain komunikasi visual layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya. Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri dari gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout. Semua itu dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio atau audio visual kepada target sasaran. Jagat desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan konsekuensi sebagai produk massa dan komsumsi massa. Terklait dengan fakta tersebut, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan
Universitas Sumatera Utara
rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas. Tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan. Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Dalam hubungannya dengan desain komunikasi visual, huruf dan tipografi adalah elemen penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian pesanverbal maupun visual. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Dalam perkembangannya, ada lebih dari seribu macam huruf romawi atau latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf-huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang dari lima jenis huruf berikut ini : 1.
Huruf (Romein) Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan
mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya. 2.
Huruf Egyptian Garis hurufnya memliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki
atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku.
Universitas Sumatera Utara
3.
Huruf Sans Serif Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait.
4.
Huruf Miscellaneous Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya.
Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental. 5.
Huruf Script Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.
Desain komunikasi visual digunakan untuk memperbarui atau memperluas jangkauan cakupan ilmu dan wilayah kerja kreatif desain grafis. Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan seni grafis murni. Area kerja kreatif desain grafis diantaranya ialah desain perwajahan buku, koran, tabloid, majalah dan jurnal. Menurut Rustan Layout dapat dijabarkan sebagai tata letak elemen-elemen desian terhadap suatu bidan dalam media tertentu utnuk mendukung konsep/pesan yang dibawanya. Membuat layout adalah salah satu proses tahapan kerja dalam desain (Rustan, 2008:0). Dimulai dari 25.000 S.M dimana para pemburu yang hidupnya berpindah-pindah di jaman Paleolitikum sampai Neolitikum melukisi dinding gua dengan objek-objek binatang, peristiwa perburuan dan bentuk-bentuk lain. Terdapat beberapa prinsip layout menurut Kusrianto (2007:227) yang baik menurut Tom Linchty dalam Design Principle for Desktop Publishing ialah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
•
Proporsi (proportion) Proporsi yang dimaksud adalah kesesuaian antara ukuran halaman dengan
isinya. Dalam dunia layout, dikenal dengan ukuran kertas atau bidang kerja yang palaing populer, yaitu dikenal dengan ukuran Letter, 8.5x11”. •
Keseimbangan (balance) Prinsip keseimbangan merupakan suatu pengaturan agar penempatan
elemen dalam suatu halaman memilki efek seimbang. Terdapat dua macam keseimbangan, yaitu keseimbangan informal atau tidak simetris. Keseimabangan formal digunakan untuk menata letak-letak elemen grafis agar terkesan rapi dan informal. Keseimbangan informal memilki tampilan yang tidak simetri. Pada dasarnya, setiap elemen yang disusun memilki kesan yang seimbang, hanya saja cara pengaturannya tidak sama. Prinsip itu sering digunakan untuk menggambarkan adanya dinamika, energi dan pesan yang bersifat tidak formal. Prinsip tersebut juga sering digunakan kalangan muda. Penerapan prinsip itu berhubungan dengan prinsip-prinsip lainnya menurut Kusrianto (2007:229), yakni kesatuan dan harmoni diantaranya : •
Kontras (rhytm) Irama atau rhytm sebenarnya bermakna sama dengan repetition yaitu pola
perulangan yang menimbulkan irama yang enak diikuti. Penggunaan pola warna maupun motif yang diulang dengan irama teretentu merupakan salah satu prinsip penyusunan layout.
Universitas Sumatera Utara
•
Kesatuan (Unity) Prinsip kesatuan atau unity (pakar lain menyebutkan proximity =
kedekatan adalah hubungan antara elemen-elemen desain yang semula berdiri sendiri yang disatukan menjadi sesuatu yang baru dan memilki fungsi baru yang utuh. Menurut Rustan (2008:31) elemen-elemen teks pada layout umumnya terdiri dari : 1.
Judul/Head/Heading/Headline Suatu artikel biasanya diawali oleh sebuah atau beberapa kata singkat yang
diberi judul. Judul diberi ukuran besar untuk menarik perhatian pembaca dan membedakannya dari elemen layout lainnya. 2.
Deck/Blurb/Stanfirst Deck adalah gambaran singkat tentang topik yang dibicarakan di bodytext.
Letaknya bervariasi, tetapi biasanya antara judul dan bodytext. Biasa juga disebut dengan subline. Fungsi deck berbeda dengan judul, yaitu sebagai pengantar sebelum orang membaca bodytext. Ada atau tidaknya deck dan penataan letaknya dipengaruhi oleh luas area halaman yang tersedia dan panjang pendeknya artikel. 3.
Byline/Credit line/Writer’s Credit Berisi nama penulis, kadang disertai dengan jabatan atau keterangan
singkat lainnya. Byline letaknya sebelum bodytext, ada juga yang meletakkan di akhir naskah.
Universitas Sumatera Utara
4.
Bodytext/Bodycopy/Copy/Copytext Isi/naskah/artikel merupakan elemen layout yang palaing banyak
memberikan informasi terhadap topik bacaan tersebut. Keberhasilan suatu bodytext ditentukan oleh beberapa hal, antara lain: dukungan judul dan deck yang menarik sehingga memancing pembaca meneruskan keingintahuannya akan informasi yang lengkap dan gaya penulisannya yang menarik dari naskah itu sendiri. 5.
Caption Keterangan singkat yang menyertai elemen visual dan inzet. Caption
biasanya dicetak dalam ukuran kecil dan dibedakan gaya atau jenis hurufnya dengan bodytext dan lemen text lainnya. 6.
Callouts Pada dasarnya sama seperti caption, kebanyakan callouts menyertai
elemen visual yang memiliki lebih dari satu keterangan, misalnya pada diagram. Balloon adalah salah satu bentuk callouts. 7.
Kickers/Eyebrows Kickers adalah salah satu atau beberapa kata pendek yang terletak di atasa
judul, fungsinya untuk memudahkan pembaca menemukan topik yang diinginkan dan mengingatkan lokasinya saat membaca artikel tersebut. 8.
Initial Caps Huruf awal yang berukuran besar dari kata pertama pada paragraf. Karena
lebih bersifat estetis, tidak jarang hanya terdapat satu initial caps dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
naskah. Initial caps dapat juga berfungsi sebagai penyeimbang komposisi suatu layout. Selain elemen teks, sebuah karya desain visual juga memiliki elemenelemen visual yang berfungsi untuk menambah daya tarik dalam sebuah karya desain visual. Yang termasuk dalam elemen visual adalah semua elemen bukan teks yang kelihatan dalam suatu layout (Rustan, 2008:53). Adapun elemen-elemen visual tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Foto Foto sering digunakan dalam karya-karya desain visual dikarenakan foto
memiliki sebuah kekuatan yang tak dimiliki oleh elemen lainnya, yakni kredibilitasnya atau kemampuannya untuk member kesan sebagai ‘dapat dipercaya’. 2.
Artworks Untuk menyajikan informasi yang lebih akurat, kadang pada situasi
tertentu ilustrasi menjadi pilihan yang lebih dapat diandalkan dibandingkan bila memakai teknik fotografi. Artworks adalah segala jenis karya seni bukan fotografi baik itu berupa ilustrasi, kartun, sketsa, dan lain-lain yang dibuat secara manual maupun dengan komputer. 3.
Infographics Fakta-fakta dan data-data statistik hasil dari survei dan penelitian yang
disajikan dalam bentuk grafik (chart), tabel, diagram, bagan, peta, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
4.
Garis (Rules) Garis merupakan elemen visual yang dapat menciptakan kesan estetis pada
suatu karya desain. Di dalam suatu layout, garis mempunyai sifat yang fungsional antara lain mebagi suatu area, penyeimbang berat dan sebagai elemen pengikat sistem desain supaya terjaga kesatuannya. 5.
Kotak/Bingkai (Box/Border/Frame) Umumnya berisi artikel yang bersifat tambahan/suplemen dari artikel
utama dalam sebuah karya desain visual. Sering terletak di pinggir halaman dan disebut dengan sidebar. Elemen-elemen visual juga terkadang diberi kotak agar terkesan rapi. 6.
Inzet (Inline Graphics) Elemen visual berukuran kecil yang diletakkan di dalam elemen visual
yang lebih besar. Fungsinya member informasi pendukung. Benyak terdapat pada informational graphic. Inzet kadang juga diserta dengan caption maupun callouts. 7.
Point/Bullets Suatu daftar/list yang mempunyai beberapa baris berurutan ke bawah,
biasanya di depan tiap barisnya diberi penanda angka atau poin. Dingbats juga sering digunakan sebagai poin. Dingbats adlah simbol, tanda baca, dan ornamentornamen.
II. 6. Budaya Populer Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
Universitas Sumatera Utara
dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985:180). Sedangkan menurut Williams, budaya merupakan proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika (Storey, 2001:1). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang yang secara fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi sosial yang rutin. Komunikasi sebagai sebuah media bagi pelestarian budaya telah menjadi semacam alat untuk memastikan hal tersebut terjadi melalui sebuah pewarisan sosial. Namun, komunikasi juga menjadi media bagi pewarisan budaya tandingan (counter culture) yang diam-diam mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari budaya tinggi yang telah lebih dulu ada dalam masyarakat dan perlahan menggeser budaya tinggi. Budaya tinggi yang perlahan tergeser akan digantikan oleh sebuah budaya baru yang disebut budaya populer. Budaya populer dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang disukai secara meluas dan sangat diminati oleh orang banyak (Storey, 2001:6). Atau juga dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang dilakukan atau telah dilakukan oleh orang banyak (Hall, 2011:76). Budaya populer bersifat dinamis, membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya populer bertindak untuk melawan kemapanan, memberikan alternatif kepada masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsurunsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa yang bersifat ‘maya’. Sebuah grup musik terkenal adalah salah satu bentuk budaya populer. Mereka memiliki penggemar yang tersebar di
Universitas Sumatera Utara
berbagai daerah dan bahkan negara, dan penggemar tersebut dapat dipersatukan pada saat band tersebut melakukan konser atau tur mancanegara. Maka pada saat itu mereka tergabung dalam sebuah komunitas yang bersifat ‘maya’ seperti yang tersebut di atas. Selanjutnya, kita dapat melihat perubahan yang terjadi dalam masyarakat, terutama dalam pemanfaatan waktu senggang. ketika industrialisasi mulai menyeruak dalam kehidupan modern dan mesin serta robot menggantikan aktivitas fisik manusia, saat itulah tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi dalam proses produksi. Selain berakibat pada jumlah pengangguran yang bertambah, waktu di luar jam kerja juga semakin bertambah panjang. Nah, pada titik inilah perpanjangan waktu luang tersebut banyak diisi dengan aktivitas baru yang entah itu bersifat produktif, konsumtif, atau bahkan kontraproduktif. Namun perpanjangan waktu luang tersebut telah dimanfaatkan oleh industri hiburan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat kini telah diserbu oleh berbagai pernak-pernik kebudayaan pop–tidak hanya di kota, tetapi juga di kampung-kampung, dan dusun-dusun terpencil. Invasi industri hiburan semakin dikukuhkan lewat media massa yang menembus batas, bahkan ruang keluarga dan dapat dikatakan bahwa televisi adalah agennya. Boleh dikatakan bahwa globalisasi yang merambah dunia media telah menghancurkan batas-batas geografis masyarakat kontemporer.
Universitas Sumatera Utara