BAB II URAIAN TEORITIS
Menurut Nawawi (1995: 39-40), sebelum melakukan sebuah penelitian yang lebih lanjut, setiap penelitian memerlukan kejelasan. Titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah yang telah dipilih. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran dari sudut mana masalah penelitian akan diteliti. Teori digunakan oleh peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian mereka (Mulyana, 2004:16). Berikut merupakan teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini:
II.1 Analisis Wacana Kritis Analisis wacana kritis (critical discourse analysis/ CDA) merupakan bagian dari pendekatan kritis, pada awal perkembangannya yaitu ditahun 1980-an analisis kritis terhadap wacana (critical discourse analysis) sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan studi-studi budaya kedalam akar-akar tradisinya sebagai studi kritis (critical studies) karena pada saat itu, khususnya pada awal dekade 1980-an studi-studi budaya semakin berpaling dari tradisi teori-teori kritis. Analisis wacana kritis terutama bersumber dari beberapa intelektual dan. pemikir, Michel Foucult, Antonio Gramsci, Sekolah Frankfurt, dan Louis Althusser.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu yang memperkenalkan konsep mengenai wacana adalah Michel Foucult, menurutnya wacana atau discourse itu sendiri adalah : kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataaan (statement), kadangkala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. (Eriyanto, 2001). Wacana memberikan perhatian pada bahasa dan praktik, dan mengacu pada produksi pengetahuan yang tertata melalui bahasa yang memberi makna pada objek dan praktik sosial. Foucult juga mengidentifikasi berbagai kondisi historis dan aturan yang menentukan pembentukan cara yang teratur dalam membicarakan tentang objek. Foucult sangat historis dalam argumentasinya menurutnya bahasa berkembang dan membangun makna pada kondisi material dan historis spesifik. Dia mengeksplorasi berbagai kondisi historis yang pasti dan khas dimana berbagai pernyataan dipadukan dan ditata untuk membentuk dan mendefenisikan bidang pengetahuan atau objek yang khas memerlukan seperangkat konsep dan membongkar ‘rezim kebenaran’ yaitu apa yang dipandang sebagai kebenaran. (Barker, 2004). Norman Fairclough dalam Media Discourse, menjelaskan bahwa wacana merujuk kepada pemakaian bahasa baik tertulis atau ucapan, tidak hanya dari aspek kebahasaannya saja tetapi juga bagaimana bahasa itu diproduksi dan ideologi dibaliknya. Memandang bahasa seperti ini berarti menempatkan bahasa sebagai bentuk praktek sosial. Bahasa adalah suatu bentuk tindakan, Cara bertindak tertentu dalam hubungannya dengan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana terutama menyerap pemikiran sumbangan dari studi linguistik, studi untuk menganalisis bahasa. Berbeda dengan analisis
Universitas Sumatera Utara
linguistik, analisis bahasa tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi juga konteks dan proses dan konsumsi dari suatu teks. Analisis wacana kritis digunakan untuk melihat bagaimana teks berita tidak dapat dipisahkan dari relasi-relasi kuasa. Kuasa adalah aspek yang inheren dalam teks berita: untuk mendefenisikan dan mempresentasikan sesuatu, bahkan memarjinalkan sesuatu (gagasan, kelompok, atau seseorang). (Eriyanto, 2001) Analisis wacana pada paradigma kritis melihat bagaimana media dijadikan sebagai alat bagi kelompok dominan untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi harus dikaitkan dengan konteks yang berada disekitarnva ketika wacana itu dibentuk. Paradigma ini memandang bagaimana media, dan pada akhirnya berita harus dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan konstruk sosial (Eriyanto, 2001:21) Produksi makna khususnya pada analisis wacana kritis isi teks media sangat erat kaitannya dengan bagaimana sebuah media memproduksi teks berita. Proses produksi berita yang terjadi didalam ruang pemberitaan (newsroom) tidaklah dipandang sebagai ruang yang hampa, netral, dan seakan-akan hanya menyalurkan informasi yang didapat. Agus sudibyo menjelaskan newsroom bukanlah ruang yang hampa karena banyak kepentingan dan pengaruh yang dapat mengintervensi media, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dan presentasi media.
Universitas Sumatera Utara
Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen d.Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan (Sudibyo, 2001:7). Lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi. 1. Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media, bagaimana aspek-aspek personal pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. 2. Rutinitas media. Rutinitas media sangat erat kaitannya mekanisme dan proses penentuan berita karena setiap media mempunyai pandangan tertentu dengan apa yang disebut berita, ciri-ciri dan juga kelayakannya. 3. Organisasi. Level organisasi berkaitan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media bukan orang tunggal didalam organisasi berita melainkan mereka merupakan bagian kecil didalam organisasi media dimana masing-masing komponen memiliki kepentingan. 4. Ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lain diluar media. Ada beberapa faktor yang yang termasuk dalam lingkungan luar media yaitu: Pertama, Sumber berita. Sumber berita bukanlah dipandang sebagai pihak yang netral dalam memberikan informasi, dia juga memiliki banyak kepentingan mempengaruhi isi media. Kedua, Sumber penghasilan media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis, pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dan masing-masing lingkungan eksternal media. Keempat, level ideologi. Ideologi disini diartikan kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
Menurut A.S Hikam, analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek bebas dan netral dalam menafsirkan makna, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Begitu juga, bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, serta strategi didalamnya. (Eriyanto, 2001: 6) Eriyanto memaparkan beberapa karakteristik analisis wacana kritis sebagai berikut: a. Tindakan; wacana dipahami sebagai bentuk interaksi, bukan ditempatkan dalam ruang tertutup dan internal. Karena itu wacana dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan dan diekspresikan secara sadar dan terkontrol. b. Konteks; yaitu latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Artinya, wacana dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus. c. Historis; yang merupakan salah satu aspek penting dalam memahami teks. Sebab ketika wacana, ditempatkan dalam konteks sosial tertentu berarti
Universitas Sumatera Utara
harus disertakan konteks lain yang menyertainya, dalam hal ini aspek historis ketika wacana dibentuk. d. Kekuasaan; di sini setiap wacana yang muncul pada dasarnya tidak terjadi secara alamiah melainkan merupakan wujud dari sebuah pertarungan kekuasaan. e. Ideologi; yang juga merupakan konsep sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Menurut menyediakan
Gunter
Kress,
laporan/catatan
analisis
mengenai
wacana produksi,
kritis
bertujuan
struktur
internal,
untuk dan
keseluruhan organisassi dari teks. Kress menambahkan bahwa analisis wacana kritis menempatkan bahasa sebagai suatu jenis praktik sosial di antara berbagai penggunaan untuk representasi dan pengertian (Dellingger :1995). Paradigma kritis dalam hal ini terhadap teks berita, melihat media sebagai kekuatan besar yang berperan dalam membentuk kesadaran palsu dan memanipulasi realitas. Media merupakan alat bagi pemilik atau penguasanya untuk mengokohkan keberadaannya, sekaligus melakukan dominasi terhadap kelompok yang lain. Prinsip-prinsip objektivitas, indepedensi merupakan hal yang tidak mungkin ada dalam paradigma kritis. Oleh karena itu, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar makna-makna tersembunyi yang terdapat pada setiap teks berita yang disampaikan oleh suatu media.
II.2 Hegemoni
Universitas Sumatera Utara
Mengenai hegemoni, Gramsci dalam (Roger, 1999: 19) menyebutkan bahwa hegemoni bukan merupakan suatu hubungan dominasi antara penguasa dan yang dikuasai dengan menggunakan kekuasaan, melainkan suatu hubungan persetujuan yang dilakukan melalui kepimpinan politik dan ideologis. Hegemoni tak dapat dilakukan dengan menggunakan coercive power, tapi dilakukan melalui wacana sistematik (bahasa) yang terarah dan berkelanjutan untuk memenangkan penerimaan dan persetujuan publik mengenai suatu ide atau gagasan tertentu secara sukarela. Dalam hal ini publik diarahkan untuk melakukan penilaian terhadap suatu realitas sosial tertentu dalam kerangka yang telah ditentukan oleh penguasa. Ketika cara hidup, cara berpikir dan pandangan masyarakat banyak telah meniru cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok penguasa yang mendominasinya, maka proses hegemoni telah terjadi. Atau dengan kata lain hegemoni telah terjadi jika ideologi dari golongan yang mendominasinya telah diterima secara sukarela oleh golongan yang didominasi. Teori mengenai hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci tersebut secara lugas telah mengambarkan pada kita semua mengenai bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok yang mendominasi berlangsung dalam suatu proses yang damai dan tanpa adanya tindakan kekerasan. Menurut Latif dan Ibrahim (1996, 16), Gramsci memperhadapkan antara istilah, hegemoni sebagai satu kebalikan dari kekasaan. Yaitu jika kekuasaan diartikan sebagai penggunaan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat dan cara produksi tertentu, maka hegemoni berarti
Universitas Sumatera Utara
perluasan dan pelestarian ‘kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa lewat kepemimpinan intelektual, moral, dan politik yang mewujud dalam bentuk-bentuk kooptasi institusional dan manipulasi sistematis atas teks dan tafsirnya. Dalam proses tersebut media dapat menjadi sarana dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain, dalam hal tersebut berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dihayati bersama. Singkatnya publik tidak merasa terbodohi atau dimanipulasi oleh media. (Eriyanto, 2001: 103). Sobur menambahkan bahwa media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. (Sobur, 2004:103).
II.3 Analisis Wacana Versi Theo Van Leeuwen Menurut Van Leeuwen, istilah wacana sering digunakan sebagai bidang yang merupakan perluasan dari tuturan atau tulisan yang berhubungan, yaitu sebuah teks. la juga menegaskan bahwa wacana adalah pengetahuan yang dibangun oleh masyarakat dari berbagai aspek realitas. Model analisis wacana versi Theo Van Leeuwen digunakan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam pemberitaan. Dan bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa atau pemaknaan, sementara kelompok lain hanya menjadi objek dari pemaknaan dan selalu digambarkan secara buruk.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa kesimpulan utama mengenai wacana menurut Van Leeuwen (Van Leeuwen: 2005): •
Wacana merupakan sumber utama representasi, pengetahuan tentang beberapa aspek dari realitas, yang dapat digunakan ketika aspek realitas tersebut harus ditampilkan. Wacana tidak dapat membatasi apa yang ingin disampaikan mengenai aspek tertentu dari realitas, sebaliknya kita juga tidak akan menampilkan apa pun tanpa wacana. Kita memerlukan wacana sebagai ‘frameworks’ untuk membuat kesan atas berbagai hal.
•
Wacana bersifat jamak (plural). Bisa jadi terdapat perbedaan wacana, perbedaan dalam menciptakan kesan atas aspek yang sama dari realitas, yang memasukkan dan mengeluarkan hal-hal yang berbeda, serta menyajikan minat yang berbeda pula.
•
Fakta untuk keberlangsungan atas wacana tertentu berasal dari teks, dari apa yang telah dikatakan dan ditulis sebelumnya. Lebih khusus lagi, fakta tersebut berasal dari kesamaan antara hal-hal dikatakan dan ditulis dalam teks yang berbeda mengenai aspek yang sama tentang realitas. Sebagaimana halnya Fairclough dan Wodak, Leeuwen juga beranggapan
bahwa wacana merupakan perwujudan atau realisasi dari praktik sosial. Menurutnya, wacana dan pengetahuan kita tentang dunia secara mutlak diperoleh dari apa yang kita kerjakan. Dengan kata lain, tindakan-tindakan kita memberikan kita alat untuk memahami dunia disekeliling kita. Leeuwen memaparkan elemen-elemen yang ‘harus’ terdapat dalam setiap praktik sosial, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
•
Tindakan; yaitu hal-hal yang dikerjakan oleh orang-orang, atau kegiatan yang menyusun praktik sosial atau urutan kronologisnya.
•
Sikap, yaitu cara bagaimana suatu tindakan dipertunjukkan, misalnya: dengan ramah, secara tepat guna, penuh energi, dsb.
•
Aktor (pelaku), orang atau kadang-kadang hewan yang terlibat dalam praktik (sosial), dan peran-peran berbeda dimana mereka terlibat, apakah peran aktif maupun pasif.
•
Presentasi; cara bagaimana para aktor atau pelaku ‘dikemas’ atau ‘didandani’. Setiap praktik sosial memiliki aturan presentasi, meskipun mereka berbeda dalam jenis dan derajat kekerasannya.
•
Sumber; yaitu peralatan dan material yang diperlukan dalam membuat praktik sosial.
•
Waktu; praktik sosial yang tidak dapat dihindari adalah waktu yang pasti, dan bertahan untuk sejumlah waktu yang pasti pula.
•
Ruang; elemen nyata yang paling akhir dari sosial praktik adalah ‘ruang’ dimana tindakan mengambil tempat, termasuk cara bagaimana mereka harus disusun untuk membuat praktik tersebut menjadi mungkin. Dalam realitasnya, elemen-elemen diatas harus terdapat dalam sebuah
praktik sosial. Tetapi, teks-teks khusus mungkin hanya memasukkan beberapa elemen saja. Pengetahuan bersifat selektif, apa yang diseleksi tergantung pada maksud dan keinginan institusi yang membantu perkembangan pengetahuan tersebut. Kemudian bagaimana suatu realitas diubah ke dalam sebuah wacana? Leeuwen mengajukan 4 tipe dasar transformasi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Ekslusi: wacana dapat mengeluarkan unsur-unsur praktik sosial, misalnya beberapa jenis pelaku (aktor). Hal ini dapat menimbulkan efek distorsi. Misalnya dalam wacana tentang perang, yang mengeluarkan atau tidak menyebutkan para, korbannya. 2. Penyusunan kembali: wacana dapat menyusun elemen-elemen dari praktik sosial. Misalnya, ketika wacana mengadakan atau memaksakan urutan khusus dalam suatu tindakan, padahal dalam realitasnya tindakan tersebut tidak diperlukan. 3. Penambahan: wacana dapat menambahkan elemen-elemen kedalam representatif. 4. Subtitusi (penggantian): substitusi merujuk kepada fakta bahwa wacana, dapat mengantikan konsep bagi elemen nyata dari praktik sosial. Dalam prosesnya, konkret dapat diubah menjadi abstrak dan hal-hal khusus diubah kedalam hal-hal umum. Dalam analisisnya, Van Leeuwen memusatkan perhatian pada dua. hal, yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi, melihat apakah dalam suatu teks ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal tersebut. Inklusi, melihat bagaimana masingmasing pihak atau kelompok dimunculkan dalam pemberitaan atau bagaimana cara penggambarannya. •
Eksklusion, yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan.
a. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor/ pelaku dengan pemakaian kalimat pasif.
Universitas Sumatera Utara
b. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata kerja (verbal) menjadi kata benda (nominal) yaitu dengan memeberi imbuhan pe-an. c. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor. •
Inklusion, yaitu bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan lewat pemberitaan.
a. Diferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana aktor sosial bila ditampilkan dalam teks secara mandiri – Suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus. b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial di tampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak. c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa adanya - yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dan seseorang. d. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor ditampilkan apa adanya dengan memberi anak kalimat sebagal penjelas. e. Determinasi-Indeterminasi, yaitu apakah aktor disebutkan secara jelas atau aktor disebutkan secara anonim. f. Asimilasi-Individualisasi, yaitu adanya kategori aktor sosial yang spesifik, disebut dalam berita-komunitas atau kelompok sosial dimana seseorang itu berada.
Universitas Sumatera Utara
g. Asosiasi-Disasosiasi, yaitu apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor di tampilkan dengan menghubungkan kelompok lain yang lebih besar.
II.4 Berita Berita (news) berasal dari kata Bahasa Latin, yaitu NOVUS (nova) yang berarti "Baru" (new). Dari pengertian itu jelaslah bahwa berita selalu merupakan kejadian yang memiliki sifat baru. Artinya baru diketahui oleh penerima berita. Prof Mitchel V. Charnley mendefenisikan berita sebagai laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal-hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar orang. Sementara Henshall dan Ingram mengartikan berita adalah susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bentuk yang, tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau televisi dan keesokan harinya di berbagai surat kabar (Hadiyanto, 2001: 80). 1. Jenis Berita Luwi Ishwara mengemukakan ada dua jenis berita yaitu Pertama, berita yang terpusat pada peristiwa (event-centered news) yang khas menyajikan peristiwa hangat yang baru terjadi, dan umumnya tidak diinterpretasikan, dengan konteks yang minimal, tidak dihubungkan dengan situasi dan peristiwa yang lain. Di sini, gagasan utamanya adalah bahwa sebuah topik belum layak untuk menjadi sebuah berita sampai “terjadi” sesuatu. Kedua, berita yang berdasarkan pada proses (process-centered news) yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam masyarakat yang dihubungkan dalam konteks yang luas dan melampaui waktu.
Universitas Sumatera Utara
Berita semacam ini muncul di halaman opini berupa editorial, artikel, dan surat pembaca, sedangkan di halaman lain berupa komentar, laporan khusus, atau tulisan feature. 2. Nilai berita Suatu peristiwa dikatakan mempunyai nilai berita jika mengandung: a. Keluarbiasaan (unusualness). Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Nilai berita peristiwa, luar biasa, paling tidak dapat dilihat dari lima aspek; lokasi, waktu, jumlah korban, daya kejut peristiwa, dan dampak yang ditimbulkan peristiwa tersebut. b. Kebaruan (newness). Berita adalah semua apa, yang terbaru. Semua hal yang baru, apa pun namanya, pasti memiliki nilai berita. c. Akibat (impact). Berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Dampak suatu pemberitaan bergantung pada beberapa hal: seberapa banyak khalayak terpengaruh, pemberitaan itu langsung mengena kepada khalayak atau tidak, dan segera tidaknya efek berita itu menyentuh khalayak media surat kabar, radio, atau televisi yang melaporkannya. d. Aktual (timeliness). Berita adalah apa yang terjadi hari ini, apa yang masih belum diketahui tentang apa yang akan terjadi hari ini, atau adanya opini berupa pandangan dan penilaian yang berbeda, dengan opini sebelumnya sehingga opini itu mengandung informasi penting dan berarti. e. Kedekatan (proximity). Kedekatan mengandung dua arti. Pertama, kedekatan geografis menunjuk kepada suatu peristiwa atau berita yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Kedua, kedekatan psikologis yang lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterkaitan pikiran, perasaan, atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek peristiwa atau berita. f. Informasi (information). Hanya informasi yang memiliki nilai berita, atau, memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media. g. Konflik (conflict). Konflik atau pertentangan merupakan sumber berita yang tak pernah kering dan tak kan pernah habis. h. Orang penting (prominence). Berita adalah tentang orang-orang penting, orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Teori jurnalistik menegaskan, nama menciptakan berita. i.
Ketertarikan manusiawi (human interest). Cerita human interest, lebih banyak mengaduk-aduk perasaan daripada mengundang pemikiran. Apa saja yang dinilai mengundang minat insani, menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan naluri ingin tabu dapat digolongkan ke dalam cerita human interest
j.
Kejutan (suprising). Nilai berita kejutan, ditentukan oleh subjek pelaku, situasi saat itu, peristiwa sebelumnya, bidang perhatian, pengetahuan, serta pengalaman orang-orang atau masyarakat di sekitarnya.
k. Seks (sex). Seks ini umum dipertimbangkan oleh para editor sebagai nilai berita. Hal ini akan terasa benar bila dihubungkan dengan orangorang terkenal. Misalnya heboh kisah cinta Raja Edward VIII (1894-
Universitas Sumatera Utara
1972) dari Inggris, yang rela melepaskan takhta kerajaannya demi seorang janda.
II.5. Ideologi Istilah. 'idelogi' pertama kali digunakan oleh filsuf Prancis Destut de Tracy pada tahun 1796 untuk menjelaskan ilmu baru yang dia rancang mengenai analisa sistematik tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya, kombinasinya, dan akibat yang ditimbulkannya (Thompson, 2004:51). Destut de Tracy, pemikir Prancis yang pertama kali menggunakan istilah ideologi di dalam bukunya elements d'ideologie pada tahun 1827. ideologi versi de Tracy ini berkarakter positivistic yang bertujuan untuk menemukan “kebenaran” di luar otoritas agama (Adams, 2004:viii). Sejak masa itu, idologi menurut defenisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, filsuf, ahli semiotika, para teoritikus yang dapat dikatakan mewakili semua bidang dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial. Kaum intelektual Eropa khususnya, telah memberikan konsep itu suatu sisi kritis yang tajam. Para teoritikus sosial Inggris misalnya hidup dalam sebuah masyarakat yang amat terpecah belah dalam kelas, yang terkenal akan raja dan ratunya, pangeran dan putrinya, bangsawan dan nyonyanya - sering mendefenisikan ideologi menurut bagaimana informasi dipergunakan oleh suatu kelompok sosial ekonomi ("kelas berkuasa" dalam ist ilah Marxis) untuk mendominasi kelompok lainnya (Lull, 1998:2-3). Marx sendiri t idak menggunakan ist ilah 'ideologi' dalam ko nteks pemunculan konsepsi laten ini. Tapi dia membicarakan sebagai 'ilusi' dan 'ide
Universitas Sumatera Utara
yang menipu', sebagai 'arwah dan hantu' yang membuntuti masyarakat dan mengajak mereka untuk membuat takhayul dan prasangka. Dengan demikian kita membicarakan konsepsi Marx tentang ideologi ini hanya berdasarkan pengakuan bahwa kita memahami istilah 'ideologi' untuk mengacu rangkaian fenomena sosial yang oleh Marx tidak digambarkan dengan jelas (Thompson, 2004:68). Menurut Althusser, ideologi atau level suprastruktur adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Althusser mengatakan ada dua dimensi hakiki negara : Represif (Represif State Aparatus / RSA) dan Ideologi (Ideological State Aparatus / ISA). Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas. Yang satu masuk degan jalan memaksa, sedangkan yang lain dengan jalan mempengaruhi. Meskipun berbeda, kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama, yakni melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Dalam konsep ini, media ditempatkan oleh Althusser sebagai ISA. Media memberikan dasar pembenaran atas tindakan fisik yang dilakukan RSA (Eriyanto, 001:98-99). Seperti ditulis Hari Cahyadi (dalam Eriyanto, 2001:99-100), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, ideologi juga menciptakan subjek. Usaha inilah yang dinamakan interpelasi. Dalam interpelasi ini, individu konkret direkrut menjadi subjek ideologi. sebagai seorang Marxis strukturatis, Althusser berpandangan bahwa kehidupan manusia sebagai subjek, identik dengan subjek sebagai struktur, dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan dan identik untuk kepentingan kelompok penciptanya, individu-individu disini dikatakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
subjek bagi struktur tidak lain adalah pelayanan kepentingan-kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut. Kendati sering kali merasakan diri sebagai subjek bebas, kebebasan atau kesadaran hanyalah hasil interpelasi dan diciptakan oleh struktur atau perangkatperangkat (RSA maupun ISA). Berkenaan dengan pemikiran ini, ideologi atau perangkat negara tidak lain hanyalah suatu alat untuk menciptakan manusia sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan intervensi bagi perjuangan kelas. Menurut Soerjanto Poespowardojo (dalam Thompson, 2004:70), ada 6 fungsi ideologi yakni: 1. Sturktur Kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian alam sekitarnya. 2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia. 3. Norma-norma yang menjadi pedoman bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak. 4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya. 5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan. 6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan normanorma yang terkandung di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara