17
BAB II URAIAN TEORITIS
2.1.Paradigma Konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interprestasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009: 107). Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksudmaksud tertentu dalam setiap wacana. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu mengintrepretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak mengambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya, yaitu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal construct) oleh George Kelly. Ia menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya (Littlejohn, 2009: 180). Paradigma konstrukivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dama perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam 3 jenis , yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
terhadapa paradigm positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti
yang biasa dilakukan oleh kaum
positivis. Konsep mengenai
konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative. Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial (Eriyanto, 2001: 13). Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya. Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif (Weber, 2006: 56). Paradigma Konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teoriteori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn mengatakan bahwa paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 28). Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma kritis namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk melihat realitas signifikannya objek yang diteliti,dari paradigma konstruktivis dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan oleh (Hidayat dalam Wibowo, 2011: 27) sebagai berikut: 1. Ontologis: relativism, relaitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. 2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. 3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti. 4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas penelitian authenticity dan revlectivty: sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang di hayati oleh para pelaku sosial.
2.2.Kerangka Teori
2.2.1.Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Komunikasi minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, dan lainlain.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
Carl I.Hovland berpendapat bahwa ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Effendy, 2005: 10). Komunikasi hanya bisa terjadi apabila memiliki unsur-unsur komunikasi. Unsur-unsur komunikasi tersebut adalah (Cangara, 2000: 21-28) : a.
Sumber Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim, komunikator, atau source, sender, atau encoder.
b.
Pesan Pesan (message, content, atau information) yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan melalui tatap muka atau melalui media komunikasi.
c.
Media Media yang dimaksud disini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Dalam komunikasi antarpribadi pancaindra dianggap sebagai media komunikasi. Selain pancaindra manusia, telepon, surat, telegram juga digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi. Dalam komunikasi massa media komunikasi dapat dibedakan kedalam dua macam, yakni media cetak dan media media elektronik. Media cetak bisa berupa surat kabar, majalah, buku, leaflet, brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk, dan sebagainya. Sementara media elektronik dapat berupa radio, film, televisi, video recording, komputer, dan sebagainya.
d.
Penerima Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai, atau negara. Penerima biasa disebut dalam berbagai istilah seperti khalayak, sasaran, komunikan, audience atau receiver.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
e.
Pengaruh Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang.oleh karena itu, pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerima pesan.
f.
Tanggapan balik Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima.
g.
Lingkungan Lingkungan atau sesuatu ialah faktor-faktor tertentu yang dapat memengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.
2.2.1.2.Fungsi Komunikasi
William I. Gorden (Mulyana, 2005: 5-35) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu: 1.
Sebagai komunikasi sosial Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi
diri,
untuk
kelangsungan
hidup,
untuk
memperoleh
kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, desa, dan negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
a. Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai; anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas; anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian. George Herbert Mead mengistilahkan significant others (orang lain yang sangat penting) untuk orang-orang disekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966) menamai affective others, untuk orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, secara perlahanlahan kita membentuk konsep diri kita. Selain itu, terdapat apa yang disebut dengan reference group (kelompok rujukan) yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan Dokter Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam Ikatan ini sebagai ukuran perilaku anda. Anda juga merasa diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan sifat-sifat doktrin menurut persepsi anda. b. Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
berbicara panjang lebar mengkuliahi hadirin, dengan argumenargumen yang terkadang tidak relevan. c. Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memenuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Moslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu kebuthan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuantujuan sosial serta hiburan. 2.
Sebagai komunikasi ekspresif Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesanpesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Orang
dapat
menyalurkan
kemarahannya
dengan
mengumpat,
mengepalkan tangan seraya melototkan matanya, mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demontrasi. 3.
Sebagai komunikasi ritual Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka.
4.
Sebagai komunikasi instrumental Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan,
mengajar,
mendorong,
mengubah
sikap,
menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek misalnya untuk memperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan. Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan dalam arti bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya untuk memperoleh jabatan, kekuasaan, penghormatan sosial, dan kekayaan. Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini (Effendy, 2005: 8) berpendapat fungsi komunikasi adalah: 1. menyampaikan informasi, 2. mendidik, 3. menghibur, dan 4. mempengaruhi.
2.2.2. Komunikasi Massa
Komunikasi massa menurut Tan dan Wright (Ardianto & Erdinaya, 2004: 3) merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang lahir seiring dengan penggunaan alat-alat mekanik yang mampu melipat gandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam catatan sejarah publistik, komunikasi massa dimulai satu setengah abad abad setelah mesin cetak ditemukan oleh Johan Gutenberg (Wiryanto, 2004: 1). Komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass comunication, sebagai kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa sebagai kependekatan dari komunikasi media massa (Wiryanto, 2004: 2).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
Secara teori, pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience. Fokus kajian dalam komuikasi massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan, berita, atau peristiwa (Bungin, 2006: 258). Media massa adalah alat yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, majalah, film, radio, dan televisi. Karakteristik media massa ialah : (1) bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi; (2) bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima; (3) meluas serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama; (4) memakai peralatan tekhnis atau mekanis seperti majalah, televisi, dan surat kabar; (5) bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa (Cangara, 2000: 134). Josep A. Devito mendefenisikan ada dua pengertian tentang komunikasi massa yaitu, pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua ornag yang membaca atau semua ornag yang menonton televisi, agaknya ini tidak berati pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar mendefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
bila didefenisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah,film dan sebagainya) (Nurudin, 2004: 12).
2.2.2.1. Karakteristik Komunikasi Massa
Pengertian
komunikasi
massa
melalui
definisi
komunikasi
yang
dikemukakan oleh beberapa ahli sebelumnya telah dipaparkan. Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat dianggap saling melengkapi. Melalui definisi itulah dapat diketahui karakteristik komunikasi massa. Karakteristik komunikasi massa adalah sebagai berikut : a.
Komunikator terlembagakan Komunikator dalam komunikasi massa adalah gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksudkan di sini yaitu sistem. Sistem adalah sekumpulan orang, pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah,menyimpan,menuangkan
ide,
gagasan,
simbol,
lambang
menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi. Dalam sistem sebagai sebuah lembaga dalam komunikasi massa, ada keterkaitan antara unsur dalam lembaga. Tidak bekerjanya satu unsur akan menyebabkan tidak bekerjanya unrsur yang lain. Menurut Alexis S Tan (Nurudin, 2004: 18) , komunikator dalam komunikasi massa adalah organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara serempak , ke seluruh khalayak yang banyak dan terpisah. Komunikator dalam komunikasi massa biasanya adalah media massa. Media massa ini disebut organisasi sosial karena merupakan kumpulan beberapa individu yang bertanggung jawab dalam proses komunikasi massa tersebut. Komunikator dalam media massa itu lembaga disebabkan elemen utama komunikasi massa adalah media massa. Media massa hanya bisa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
muncul karena gabungan kerjasama dengan beberapa orang. Dengan demikian, komunikator dalam media massa memiliki ciri sebagai berikut ; 1. Kumpulan individu-individu 2. Dalam berkomunikasi individu-individu terbatasi perannya dengan sistem dalam media massa 3. Pesan yang disebarkan atas nama media yang bersangkutan dan bukan atas nama pribadi unsur-unsur yang terlibat 4. Apa yang dikemukakan oleh komunikator biasanya untuk mencapai keuntungan atau mendapatkan laba secara ekonomis. b.
Pesan bersifat umum Komunikasi massa bersifat terbuka artinya komunikasi massa ditujukan untuk semua orang. Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta,peristiwa atau opini. Pesan komunikasi yang dikemas dalam bentuk apa pun sekaligus menarik, bagi sebagian besar komunikan. Dengan demikian, kriteria pesan yang penting dan menarik itu mempunyai ukuran tersendiri, yakni bagi sebagian besar komunikan.
c.
Komunikannya anonim dan heterogen Dalam komunikasi massa, komunikan tidak mengenal komunikan (anonim) , karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor : usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi.
d.
Media massa menimbukan keserempakan Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. Keserempakan media massa tersebut ialah keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
e.
Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang digunakan.
f.
Komunikasi massa bersifat satu arah Komunikasi massa adalah komunikasi menggunakan media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa bersifat searah.
g.
Simulasi Alat indra “terbatas” Dalam komunikasi massa, simulasi alat indra berganyung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, kita menggunakan indera penglihatan dan pendengaran.
h.
Umpan balik tertunda Komponen umpan balik atau yang lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apapun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. Dalam komunikasi massa, umpan balik yang diterima media massa ataupun komunikan bersifat tertunda dikarenakan komunikasi yang dilakukan tidak secara langsung.
2.2.2.2. Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Dominick (Ardianto & Erdinaya, 2004: 15) terdiri dari surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai), dan entertainment (hiburan).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
Surveillance (pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: (1)warning or beware surveillance (pengawasan peringatan); (2) instrumental surveillance (pengawasan instrumental). Fungsi pengawasan terjadi ketika media massa menyampaikan informasi atau pesan akan ancaman yang akan terjadi dan menimpa khalayaknya. Sementara fungsi pengawasan instrumental terjadi ketika media massa menyampaikan pesan atau informasi yang berguna pada khalayak dalam kehidupan sehari-hari.
Interpretation (penafsiran) Fungsi penafsiran hampir sama dengan fungsi pengawasan, namun pada fungsi ini media massa tidak hanya menyampaikan pesan atau informasi saja, tetapi juga memberikan penafsiran kepada pesan atau informasi yang disampaikan pada khalayak tersebut. Pesan atau informasi yang disampaikan diorganisir oleh media massa sebagai komunikator.
Linkage (pertalian) Media massa juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan khalayak. Mengingat komunikasi pada media massa sangat heterogen dan anonim, maka media massa dapat menyampaikan pesan atau informasi yang berdasarkan pada kepentingan dan minat yang sama terhadap sesuatu agar komunikan yang heterogen dan anonim tersebut merasa memiliki kepentingan dan minat yang sama pula.
Transmission of value (penyebaran nilai) Fungsi penyebaran nilai dikenal juga dengan istilah sosialisasi. Media massa disini berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai pada khalayak. Media massa berperan sebagai sarana yang membentuk dan mengatur kehidupan sosial masyarakat.
Entertainment (hiburan) Fungsi hiburan merupakan fungsi yang paling banyak dicari oleh khalayak dalam menggunakan media massa. Tidak dapat dibantah lagi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
jika pada saat ini hampir setiap media massa berlomba dalam memberikan hiburan pada khalayaknya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tanyangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali. Sedangkan menurut Karlinah (Ardianto & Erdinaya, 2004: 23), mengemukakan fungsi komunikasi massa secara khusus adalah :
Fungsi Meyakinkan (to persuade) Fungsi persuasi dalam media massa dapat datang dalam bentuk mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang; mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang; menggerakkan
seseorang
untuk
melakukan
sesuatu;
dan
memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu.
Fungsi Menganugrahkan Status Penganugrahan status (status conferal) terjadi apabila berita yang disebarluaskan melaporkan kegiatan individu-individu tertentu sehingga prestise (gengsi) mereka meningkat. Dengan memfokuskan kekuatan media massa pada orang-orang tertentu, masyarakat menganugrahkan kepada orang-orang tersebut suatu status publik yang tinggi.
Fungsi Membius (Narcotization) Fungsi ini merupakan interprestasi dari teori Peluru dimana dikatakan bahwa khalayak adalah pihak yang pasif dan menyetujui saja terhadap segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa. Dengan demikian pada saat menerima pesan atau informasi, khalayat terbius dalam keadaan seolah-olah berada dalam pengaruh narkotika.
Fungsi Menciptakan Rasa Kebersatuan Media massa memiliki fungsi membuat khalayaknya merasa menjadi suatu anggota suatu kelompok yang luas. Misalnya orang yang sedang sendiri di rumah mendengarkan siaran radio. Ketika sedang mendengarkan radio, ia merasa seolah-olah telah menjadi bagian dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
acara tersebut dan tidak merasa sendirian lagi, walaupun pada kenyataanya seseorang itu sendirian.
Fungsi Privatisasi Privatisasi adalah kecenderungan bagi seseorang untuk menarik diri dari kelompok sosial dan mengucilkan diri kedalam dunianya sendiri. Beberapa ahli berpendapat bahwa berlimpahnya informasi yang dijejalkan kepada kita telah membuat kita merasa kekurangan. Laporan yang gencar tentang perang, inflasi, kejahatan dan pengangguran membuat sebagian orang merasa begitu putus asa sehingga mereka menarik diri ke dalam dunia mereka sendiri.
2.2.3. Film
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika yang sempurna. Meski pun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri. Hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Hong Lee (Sobur, 2004: 126) menyebutkan bahwa film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19. Dari permulaan sejarahnya, film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial, dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Film merupakan bidang kajian yang relevan bagi analisis semiotika. Film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Tujuan khalayak menonton film adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkadang fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif.
2.2.3.1. Sejarah Film
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905). Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
Film kita tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway ini. Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik. Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah: (1) Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap hasil film; (2) Film mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya. Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar. Hal lainnya adalah soal konglomerasi dalam industri ini, dimana konglomerat
besar
industri
film
dunia
mempunyai
kontrol
terhadap
pendistribusian film ke bioskop, video, stasiun Televisi kabel dan stasiun televisi sampai luar negeri. Hal tersebut berimplikasi yang membuat pemain baru tidak bisa masuk. Hampir sama dengan industri musik dan rekaman, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual juga menghantui industri perfilman. Meski dalam setiap film produksi AS terhadap peringatan dari FBI, namun pembajakan film tetap saja tidak bisa diremehkan begitu saja.
2.2.3.2. Sejarah Film di Indonesia
Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor. Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film. Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di Indonesia. Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi. Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan. Di tahun „80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun „70-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya. Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun „80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, filmfilm lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskopbioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung
dibuat
hanya
untuk
mengejar
keuntungan
saja,
tanpa
mempertimbangkan mutu film tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun „80-an, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela. Meski dalam kondisi “sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional. Pertengahan „90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor. Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja. Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah. Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.
2.2.3.3.Karakteristik Film
Karakteristik film yang spesifik, yaitu layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologis. -
Layar yang luas. Kelebihan media film dibandingkan dengan televisi adalah layar yang digunakan untuk pemutaran film lebih berukuran besar atau luas. Dengan layar film yang luas, telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film.
-
Pengambilan gambar. Dengan kelebihan film, yaitu layar yang besar, maka teknik pengambilan gambarnya pun dapat dilakukan atau dapat memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot. Pengambilan gambar yang seperti ini dapat memunculkan kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya.
-
Konsentrasi penuh. Karena kita menonton film di bioskop, tempat yang memiliki ruangan yang kedap suara, maka pada saat kita menonton film, kita akan fokus pada alur cerita yang ada di dalam film tersebut. Tanpa adanya gangguan dari luar.
-
Identifikasi psikologis. Konsentrasi penuh saat kita menonton di bioskop, tanpa kita sadari dapat membuat kita benar-benar menghayati apa yang ada di dalam film tersebut. Penghayatan yang dalam itu membuat kita secara tidak sadar menyamakan diri kita sebagai salah seorang pemeran dalam film tersebut.
2.2.3.4.Unsur-Unsur Film
Unsur film berkaitan erat dengan karakteristik utama, yaitu audiovisual. Unsur audiovisual dikategorikan ke dalam dua bidang, yaitu sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
1.
Unsur naratif; yaitu materi atau bahan olahan, dalam film cerita unsur naratif adalah pencitraannya.
2.
Unsur sinematik; yaitu cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu digarap. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terkait sehingga
menghasilkan sebuah karya yang menyatu dan dapat dinikmati oleh penonton. Unsur sinematik terdiri atas beberapa aspek berikut: - Mise en scene - Sinematografi - Editing - Suara Mise en scene berasal dari bahasa Perancis, tanah leluhurnya bapak perfilman dunia Louis dan Auguste Lumiere, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di depan kamera. Ada 4 elemen penting dari mise en scene: - Setting. - Tata cahaya. - Kostum dan make up. - Akting dan pergerakan pemain.
2.2.3.5. Jenis-jenis Film
Untuk mengetahui jenis-jenis film adalah penting agar dapat memanfaatkan film tersebut. Film dapat dikelompokkan sebagai berikut (Ardianto & Erdinaya , 2004: 138) : a.
Film Cerita Film cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu cerita. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya, maupun dari segi gambar yang artistik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
b.
Film Berita Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa, yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value).
c.
Film Dokumenter Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan
(Creative treatment of
actuality)”. Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. d.
Film Kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Sebagian besar film kartun, sepanjang diputar akan membuat kita tertawa karena kelucuan-kelucuan dari para tokoh pemainnya. Namun ada juga film kartun yang membuat iba penontonnya karena penderitaan tokohnya. Sekalipun tujuan utamanya menghibur, dapat pula film kartun mengandung unsur pendidikan, minimal akan terekam bahwa kalau ada tokoh jahat dan tokoh baik, maka pada akhirnya tokoh baiklah yang selalu.
2.2.3.6. Genre Film
Selain jenisnya, film juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi film. Klasifikasi film ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, misalnya berdasarkan proses produksinya, yakni film hitam-putih dan film berwarna, film animasi, film bisu dan lain sebagainya. Klasifikasi yang paling banyak dikenal orang adalah klasifikasi berdasarkan genre film. Istilah genre berasal dari bahasa Prancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Di dalam film, genre diartikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas) seperti setting, isi, dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Sedangkan fungsi utama dari genre
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
adalah membantu kita memilah-milah atau mengklasifikan film-film yang ada sehingga lebih mudah untuk mengenalinya. Genre pun dibagi menjadi dua bagian yaitu induk primer dan genre induk sekunder. Genre induk primer sebagai genre-genre pokok, antara lain: 1. Aksi 2. Drama 3. Epik Sejarah 4. Fantasi 5. Fiksi Ilmiah 6. Horor 7. Komedi 8. Kriminal dan Gangster 9. Musikal 10. Petualangan 11. Perang 12. Western
2.2.4.Representasi
Representasi berasal dari bahasa Inggris, representation, yang berarti perwakilan, gambaran atau penggambaran. Secara sederhana, representasi dapat diartikan sebagai gambaran mengenai suatu hal yang terdapat dalam kehidupan yang digambarkan melalui suatu media. Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Menurut Marcel Danesi, representasi adalah proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik (Wibowo, 2011: 122). John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi ( Wibowo, 2011: 123 ) :
Pertama, tahap realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
Kedua, tahap representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain.
Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi konvensi yang diterima secara ideologis.
Bagaimana
kode-kode
representasi
dihubungkan
dan
diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakn suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru , juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu. Marcel Danesi (Danesi, 2004: 20) mendefinisikan representasi sebagai proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat diidefinisikan sebagai penggunaan „tanda-tanda‟ (gambar, suara, dan sebagainya)
untuk
menampilkan
ulang
sesuatu
yang
diserap,
diindra,
dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan). Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks yang memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis, terbentuklah disini suatu terminologi yang khas ( Danesi, 2004: 20). Representasi menurut Chris Barker adalah konstruksi sosial yang mengharuskan
kita
mengeksprorasi
pembentukan
makna
tekstual
dan
menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi dan makna budaya memiliki materialitas tertentu. Mereka melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu (Vera, 2011: 97). Yasraf Amir Pilliang menjelaskan, representasi pada dasarnya adalah sesuatu yang hadir, namun menunjukkan sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan. Representasi tidak menunjuk kepada dirinya sendiri, namun kepada orang lain (Vera, 2011: 97).
2.2.5. Semiotika “Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna” (Fiske, 2004: 282). Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan. Pada dasarnya para semiotisian melihat kehidupan sosial dan budaya sebagai pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek (Christomy, 2004: 78). Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya-dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandaai adanya api, sirine mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
Komunikasi dan tanda tidak bisa dipisahkan. Theodorson dan Theodorson memberikan suatu definisi yang menekankan pada penggunaan tanda atau simbolsimbol dalam komunikasi. Menurut mereka komunikasi adalah “Transisi dari informasi, ide, perilaku, atau emosi dari satu individu atau kelompok kepada lainnya terutama melalui simbol (wibowo, 2011: 133). Istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merunjuk kepada “doktrin formal tentang tanda-tanda” (Sobur, 2004: 13). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri. Tiga bidang studi utama dalam semiotika adalah : 1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah kontruksi manusia dan hanya bias dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2. Sistem atau kode yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentrasmisikannya. 3. Kebudayaan dan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri (Vera, 2014: 9). Dalam semiotika, untuk memahami tanda dan makna dalam suatu teks terdapat dua pendekatan (Sobur, 2004: 31-35), yaitu: 1. Pendekatan semiotika struktural. Dalam pendekatan ini dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sandes Pierce (1839-1914). Pendekatan ini mengandalkan kepada keabadian,kestabilan, dan kemantapan tanda, kode dan makna-makna, serta lebih menekankan pada proses signification, yaitu mengfungsikan tanda sebagai refleksi dari kode-kode sosial yang telah mapan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
2. Pendekatan Semiotika Post Struktural Dalam pendekatan ini dikembangkan oleh Jaques Derrida (1967). Pendekatan post struktural ini dapat mengakomodasikan dinamika, ketidakpastian, gejolak, dan kegelisahan-kegelisahan yang mencirikan budaya ketidakberaturan serta lebih ditekankan pada proses penciptaan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas. Dengan begitu semiotika post struktural lebih mengarah kepada penciptaan suatu rantai pertandaaan yang baru dengan menanggalkan maknamakna konvensional dan kemudian secara bebas mencari makna-makna baru. Dalam pendekatan semiotika struktural terdapat dua model makna yang sangat berpenagruh. Dua model makna tersebut dikembangkan oleh Charles Sandes Pierce dan Ferdinand de Saussure, kedua model yang dikembangkan oleh mereka berpengaruh terhadap model-model berikutnya. Model makna dari Pierce yang melihat tanda, acuannya, dan penggunaannya sebagai sebuah titik dalam segitiga, serta masing-masing dari setiap elemen saling terkait satu sama lain, dan dapat dipahami hanya dalam artian pihak lain. Berbeda dengan Pierce, Saussure mengungkapkan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas realitas, hanya melalui konsep orang yang menggunakannya. Saussure juga lebih memperhatikan cara tanda-tanda terkait dengan objeknya Pierce, sehingga model dasar dari Saussure berbeda penekanannya dengan Pierce, dan baginya, tanda adalah sebuah objek fisik dengan makna dan sebuah tanda akan memiliki makna ketika terkait dengan tanda-tanda lainnya. Saussure juga mengatakan bahwa tanda terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified), hubungan antara penanda dan petanda ini yang disebut pertandaan (signification). Dalam kategori tanda, Saussure hanya menaruh perhatian pada simbol, karena simbol merupakan kata-kata. Memberi makna pada tanda yang tersebar dalam teks terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu jenis makna tanda, jenis pemaknaan dan cara menganalisis tanda. 1.
Jenis makna tanda Makna tanda dibedakan menjadi dua tingkatan yaitu tingkat denotasi dan tingkat konotasi. Makna denotasi merupakan makna tanda yang eksplisit,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
makna yang sesuai dengan yang ada di kamus, tetap dalam tempatnya dan miskin informasi. Sedangkan makna konotasi adalah makna tanda yang implisit, tidak langsung dan tidak pasti yang berarti terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Makna konotasi adalah makna yang sesuai konteks dan dapat berubah sesuai konteks, dan kaya informasi (Vera, 2011: 39). 2.
Jenis pemaknaan: sintagmatis dan paradigmatis Perbedaan pemaknaan yang sintagmatis dan paradigmatis. Sintagmatis -
Paradigmatis
Makna tanda terkait dengan
-
tanda lainnya. -
memiliki
makna
tersendiri.
Makna teks terkait dengan
-
teks lainnya. -
Tanda
Menemukan makna tandatanda dalam sebuah teks.
Rangkaian teks tentang satu
-
masalah.
Satu
teks
tentang
satu
masalah.
Pada analisis sintagmatis, teks diperiksa dan diuji sebagai rangkaian dari kejadian-kejadian yang membentuk narasi. Sedangkan analisi paradigmatik pada sebuah teks melibatkan penyelidikan pola-pola pasangan oposisi (berlawanan) yang tersembunyi dan menghasilkan makna. 3.
Menganalisi tanda: sinkronik dan diakronik Perbedaan analisis sinkronik dan diakronik Sinkronik -
Paradigmatik.
-
Dalam
satu
Diakronik
waktu
(a
-
Sintagmatik.
-
Dalam
historis). -
Relasi-relasi dalam sistem
rangkaian
waktu
(historical). -
(teks).
Relasi-relasi dalam waktu (antar teks).
-
Baku/statis.
-
Evolusioner.
-
Analisis fokus.
-
Perkembangan fokus.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011: 4). 1.
Semantik Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referensinya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things) dan dunia tanda dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29). Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani „sema‟ (kata benda) yang berarti „tanda‟ atau „lambang‟. Kata kerjanya adalah„semaino‟ yang berarti „menandai‟atau „melambangkan‟. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik. Jadi, ilmu semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-
tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Ilmu tentang makna atau arti semantik mengacu pada makna dari sebuah tanda. Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain. Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama. 2.
Sintaktik Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan di antara tanda. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda adalah selalu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut kode (code). Kode dikelola dalam berbagai aturan. Dengan demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan (Morissan, 2009: 30). Tanda-tanda tersebut disusun kedalam sistem dengan tanda lainnya. Menurut pandangan semiotika tanda selalu dipahami dalam hubungannya dengan tanda lainnya. Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antar tanda. Dalam suatu sistem yang sama, sintaksis
semiotis
tidak dapat
membatasi
diri
dengan hanya
mempelajari hubungan antar tanda, tetapi harus melihat hubunganhubungan lain yang pada prinsipnya bekerja sama. Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata, mimik, jarak,dll). Pragmatik yaitu bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain, pragmatik adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi. Pragmatik mengacu pada pengaruh atau perilaku yang dimunculkan oleh sebuah tanda atau sekelompok tanda-tanda. Dari perspektif semiotika, kita harus memiliki pengertian sama, tidak saja terhadap setiap kata dan tata bahasa yang digunakan, tetapi juga masyarakat dan kebudayaan yang melatarbelakanginya, agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Sistem hubungan diantara tanda harus memungkinkan komunikator untuk mengacu pada sesuatu yang sama. Kita harus memiliki kesatuan rasa (sense of coherance) terhadap pesan. Jika tidak, maka tidak akan ada pengertian komunikasi. Kita juga harus memastikan bahwa apabila kita menggunakan aturan tata bahasa, maka mereka yang menerima pesan kita juga harus memiliki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
pemahaman yang sama terhadap tata bahasa yang kita gunakan (Morissan, 2009: 30).
2.2.5.1.Elemen-elemen Dasar Semiotika
Penggunaan metode semiotika dalam penelitian desain harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen-elemen dasar semiotika. Elemen
dasar
semiotika
adalah
tanda(penanda/petanda),
aksis
tanda(sintagma/sistem), tingkatan tanda(denotasi/konotasi) (Piliang, 2003: 257262). 1.
Komponen Tanda Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang, yaitu bidang penanda(signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda(signified) untuk menjelaskan konsep atau makna.
2.
Aksis Tanda Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat hanya dilihat secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tandatanda lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat,buku,kitab) melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian (rule of combination), yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
3.
Tingkatan Tanda Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
hubungan antara penanda dan pertanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis dua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis. Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu maknamakna yang berkaitan dengan mitos.
2.2.6.Television Code
Dalam semiotika terdapat dua perhatian utama, yakni hubungan antara tanda dan maknanya, dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan menjadi suatu kode. Menurut John Fiske, semiotika adalah studi tentang pertanda dan makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi makna (Vera, 2014: 34). John Fiske berpendapat bahwa terdapat tiga bidang studi utama dalam semiotika, yaitu seperti berikut (Vera, 2014: 34) : 1.
Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
2.
Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentrasmisikannya.
3.
Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra
manusia; tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri; dan tergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda. Dalam semiotika
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
terdapat perhatian utama, yakni hubungan antara tanda dengan maknanya dan bagaiman suatu tanda dikombinasikan menjadi suatu kode. Sebuah realita tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga diolah melalui penginderaan sesuai referensi yang telah dimiliki oleh audience, sehingga sebuah kode akan dipersepsi secara berbeda oleh orang yang berbeda juga. Menurut Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara televisi tersebut saling berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. Menurut teori ini pula, sebuah realitas tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga diolah melalui penginderaan serat referensi yang telah dimiliki oleh pemirsa televisi, sehingga sebuah kode akan dipersepsi secara berbeda oleh orang yang berbeda juga. Pada perkembangannya, model dari John Fiske tidak hanya dipergunakan dalam menganalisis acara televisi, tetapi dapat juga digunakan untuk menganalisis teks media yang lain, seperti film, iklan, dan lain-lain. Dalam kode-kode televisi yang diungkapkan dalam teori John Fiske, bahwa peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah dienkode oleh kode-kode sosial yang terbagi dalam tiga level sebagai berikut (Vera, 2011: 35) : 1. Level pertama adalah realitas (Reality) Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behavior (kelakuan), speech (dialog), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara). 2. Level kedua adalah Representasi (Representation) Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), dan sound (suara). 3. Level ketiga adalah Ideologi (Ideology) Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah individualisme (individualism), patriarki (patriarchy), ras (race), kelas (class), materialisme (materialism), kapitalisme (capitalism). John Fiske menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa menjadi “peristiwa televisi” apabila telah dienkode oleh kode-kode sosial, yang dikonstruksi dalam tiga tahapan berikut. Pada tahap pertama adalah realitas (reality) yakni peristiwa yang ditandakan(encode) sebagai realitas – tampilan, pakaian, lingkungan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
perilaku, percakapan, gestur, ekspresi, suara, dan sebagainya. Dalam bahasa tulis berupa, misalnya, dokumen, transkrip,wawancara, dan sebagainya. Pada tahap kedua disebut representasi (representation). Realitas yang terenkode dalam encoded electronically harus ditampakkan pada technical codes, seperti kamera, lighting, editing, musik, suara. Dalam bahasa tulis ada kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar atau televisi ada kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemenelemen ini kemudian ditransmisikan ke dalam kode representasional yang dapat mengaktualisasikan, antara lain karakter, narasi, action, dialog, setting, dan sebagainya. Tahap ketiga adalah ideologi (ideology). Semua elemen diorganisasikan dan dikategorikan dalam kode-kode ideologis, seperti patriakhi, individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Ketika kita melakukan representasi atas suatu realita menurut Fiske tidak dapat dihindari adanya kemungkinan memasukkan indeologi dalam konstruksi realitas (Vera, 2011: 36). 2.2.6.1. Kode-kode Sosial dalam Film “Miracle In Cell No.7”
Unit analisis yang digunakan oleh peneliti meliputi level realitas, level representasi, dan level ideologi. Kode-kode tersebut adalah: 1. Level realitas dengan kode: a. Kostum (Dress) Setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang dikenakan oleh seseorang akan menyampaikan penanda sosial (social sign) tentang si pemakai. Pakaian merupakan „bahasa diam‟ (silent language) yang berkomunikasi melalui pemaikaian simbol-simbol verbal. Pakaian merupakan indikator yang tepat dalam menyatakan kepribadian dan gaya hidup seseorang yang mengenakan pakaian tertentu. Dalam hal lainnya, pakaian adalah cara yang digunakan individu untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan menyatakan beberapa bentuk keunikan (Barnard, 2011: 85). Setiap orang, memiliki selera dan maksud tertentu ketika ia memilih suatu pakaian tertentu untuk digunakan. Pakaian yang kita kenakan juga dapat menjelaskan banyak hal. Setiap fase
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
dalam kehidupan kita kita pun ditandai dengan busana tertentu. Pilihan seseorang atas pakaian yang ia kenakan mencerminkan kepribadiannya. Pakaian juga digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemakainya. Faktor-faktor yang mampu mempengaruhi cara kita berdandan antara lain, nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan, dan tujuan pencitraan. b. Penampilan (appearance) Tidak dapat kita pungkiri, bahwa pertama kali menilai atau melihat seseorang adalah melalui penampilan fisiknya. Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya. Begitu pentingnya sebuah penampilan, maka ada yang mengatakan bahwa penampilan adalah segalanya (Chaney, 2008: 15). Beberapa kelompok masyarakat beranggapan bahwa penampilan bagi dirinya merupakan suatu yang mutlak. Bahwa sebagian orang berpendapat bahwa penampilan merupakan kebutuhan yang mutlak untuk dipenuhi. Ketika melihat penampilan seseorang, maka kita akan mempersepsi kehidupan orang tersebut. Maka dari itu, penampilan menjadi kode sosial yang peneliti pilih untuk menggali makna pesan yang ingin disampaikan dari representasi maskulinitas sosok ayah dalam film “Miracle In Cell No.7”. c. Perilaku (behavior) Perilaku atau behavior merupakan sebuah tindakan seseorang. Dalam kode sosial ini, peneliti ingin melihat perilaku dalam kehidupan maskulinitas yang terdapat dalam film ini. d. Ekspresi (expression) Banyak orang beranggapan bahwa perilaku nonverbal yang paling banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah, khusunya pandangan mata, meskipun mulut tidak berbicara (Mulyana, 2005: 372). Menurut Albert Mehrabian dan Mulyana berpendapat andil wajah bagi pengaruh pesan adalah 55% sementara vocal 30%, dan verbal hanya 7%. Kontak mata yang merupakan bagian terbesar dari ekspresi memiliki dua fungsi, fungsi pengatur yaitu untuk memberi tahu orang lain apakah kita akan melakukan hubungan dengan orang itu atau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
menghindarinya. Fungsi yang kedua adalah fungsi ekspresif, yaitu memberi tahu orang lain bagaimana perasaan kita terhadapnya (Mulyana, 2005: 373). Ekspresi wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi wajah yang tampaknya dipahami secara universal: kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, kemarahan, kejijikan, dan minat. e. Latar (setting) ”Dalam sebuah film, latar atau setting merupakan tempat dan waktu berlangsungnya cerita” (Sumarno, 1996: 66). Orang yang bertanggung-jawab terhadap setting atau latar disebut penata artistik. Seting harus memberi informasi lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan penonton. Peneliti melihat setting mampu menunjukkan representasi kehidupan para maskulinitas dalam film “Miracle In Cell No.7”. f. Dialog (dialogue) Merupakan percakapan-percakapan antar pemeran dalam sebuah film. Dalam dialog peneliti dapat melihat makna yang ingin disampaikan film “Miracle In Cell No.7”.
2. Level Representasi dengan kode: a. Kerja Kamera (camera movement) Film memiliki dua elemen, yaitu audio dan visual. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika kamera sebagai alat untuk menyajikan elemen visual kepada penonton memiliki peranan yang penting dalam penyampaian pesan. Teknik pengambilan gambar memiliki tujuan serta mengandung makna pesan yang ingin disampaikan. Komposisi gambar yang baik akan mampu membuat gambar menyampaikan pesan dengan sendirinya. Komposisi itu antara lain framing (pembingkaian gambar), Illusion of Depth (kedalaman dalam dimensi gambar), subject or object (subjek atau objek gambar), dan colour (warna). Sementara itu, ada beberapa teknik pengambilan gambar berdasarkan besarkecil subyek, antara lain:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
• Extreme Long Shot (ELS) Shot ini diambil apabila ingin mengambil gambar yang sangat jauh, panjang, luas dan berdimensi lebar. ELS biasanya digunakan untuk opening scene untuk membawa penonton mengenal lokasi cerita. • Very Long Shot (VLS) VLS merupakan tata bahasa gambar yang panjang, jauh dan luas tetapi lebih kecil daripada ELS. Teknik ini digunakan biasanya untuk pengambilan gambar adegan kolosal atau banyak objek misalnya adegan perang di pegunungan, adegan kota metropolitan, dan lain sebagainya. • Long Shot (LS) Ukuran shot ini adalah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Long shot juga bisa disebut dengan landscape format yang mengantarkan mata penonton kepada keluasan suatu suasana dan objek. • Medium Long Shot (MLS) Ukuran untuk shot ini adalah dari ujung kepala hingga setengah kaki. Tujuan shot ini adalah untuk memperkaya keindahan gambar yang disajikan ke mata penonton. Angle ini dapat dibuat sekreatif mungkin untuk menghasilkan tampilan yang atraktif. • Medium Shot (MS) Ukuran dari shot ini adalah dari tangan hingga ke atas kepala. Tujuan dari shot ini adalah agar penonton dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari pemain. • Middle Close Up (MCU) Sedangkan untuk shot ini yaitu dari ujung kepala hingga perut. Dengan angle ini penonton masih tetap dapat melihat latar-belakang yang ada. Tetapi melalui shot ini, penonton diajak untuk mengenal lebih dalam profil, bahasa tubuh, dan emosi pemeran tokoh tertentu. • Close Up (CU) Komposisi gambar ini adalah komposisi yang paling popular dan memiliki banyak fungsi. Close Up merekam gambar penuh dari leher hingga ujung kepala. Melalui angle ini, sebuah gambar dapat berbicara dengan sendiri kepada penonton. Emosi dan juga reaksi dari mimik wajah tergambar jelas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
• Big Close Up (BCU) Komposisi gambar ini lebih dalam dibandingkan CU. Kedalaman pandangan mata, kebencian raut wajah, kehinaan emosi hingga keharuan yang tiada bertepi adalah ungkapan-ungkapan yang terwujud dari komposisi ini. Komposisi ini memang sulit untuk menghasilkan gambar yang fokus, tetapi disitulah nilai artistik dari komposisi gambar Big Close Up. b.Pencahayaaan (lighting) Cahaya adalah unsur tata artistik yang paling penting dalam pertunjukan teater atau produksi film. Tanpa cahaya maka penonton tidak dapat menyaksikan apa apa karena gelap tak bisa dilihat. Shooting adalah melukis dengan cahaya. Unsur cahaya berarti sangat penting dalam pembuatan film maupun acara televisi. Cahaya tidak selalu berurusan dengan lampu. Ada sumber cahaya lain selain dari sumber lampu. Secara sederhana ada dua jenis sumber pecahayaan, yakni pencahayaan alami dan pencahayaan buatan. c.Musik (music) Menurut Marselli Sumarno, dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Apresiasi Film, ada 8 fungsi musik, yaitu: Membantu merangkaikan adegan sehingga menimbulkan kesan adanya kesatuan. Menutupi kelemahan atau kecacatan sebuah film. Kelemahan tersebut biasanya terdapat pada acting yang lemah atau dialog yang dangkal sehingga dapat diubah lebih dramatik jika diiringi musik yang tepat. Menunjukkan suasana batin tokoh-tokoh utama film. Menunjukkan suasana waktu dan tempat. Misalnya, penggunaan gitar akustik, gamelan Jawa, gitar Hawaii dan lain sebagainya akan dengan mudah membuat penonton mempersepsi lokasi tertentu. Mengiringi kemunculan susunan kerabat kerja (credit title). Mengiringi adegan dengan ritme cepat. Misalnya adegan kejar-kejaran antara penjahat dengan polisi. Ketika ditambah dengan ritme musik cepat, maka adegan akan tampak lebih seru. Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan dramatik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
Menegaskan karakter lewat musik. Misalnya tokoh utama wanita diberi iringan musik yang lembut. 3. Level ideologi dengan kode: a. New man as nurturer merupakan gelombang awal reaksi laki-laki terhadap maskulinitas. Laki-laki pun menjalani sifat alamiahnya seperti laki-laki sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian. Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya, untuk mengurus anak. Keinginan laki-laki untuk menyokong gerakan laki-laki juga melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah, berpendidikan baik, dan intelek (Beynon, dalam Nasir, 2007: 3). b. Maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Dalam hal ini peniliti memilih kode-kode diatas, karena terkait dengan permasalahan dan ruang lingkupnya, dan didasarkan kepada desain penelitian kualitatif yang fleksibel dan sementara, karena terus menerus disesuaikan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hal ini untuk mengetahui representasi maskulinitas dalam film “Miracle In Cel No.7”.
2.2.7.Maskulinitas
Terminologi maskulin sama halnya jika berbicara mengenai feminin. Maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahiran begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Maskulinitas secara umum dekat dengan keberadaan laki-laki. Namun maskulinitas sendiri pada dasarnya merupakan nilai yang berkembang dalam suatu budaya dan menjadi indeks atas sifat tertentu. Dari segi bahasa maskulinitas berasal dari bahasa Inggris masculine yang berarti laki-laki.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Thomas Carlyle berpendapat maskulinitas dikaitkan dengan kemandirian, kekuatan, dan suatu orientasi tindakan. Carlyle ini mengedepankan maskulinitas sebagai suatu nilai yang memiliki dimensi-dimensi yang banyak dijadikan ukuran kenjantanan dan tentu saja dalam banyak budaya ini sangat identik dengan tampilan laki-laki pada umumnya (Wibowo, 2011: 130). Pada dasarnya maskulinitas merupakan suatu skala budaya yang menentukan kecenderungan sikap yang erat dengan stereotipe umum yang dekat dengan kehidupan laki-laki namun sifatnya relatif pada tiap budaya. Maskulinitas merupakan suatu konsep yang hadir sebagai konstruksi sosial. Davies mengatakan maskulinitas dan femininitas bukan milik pribadi tapi merupakan properti struktural dari masyarakat kita, dua konsep tersebut dikondisikan dan timbul dari interaksi sosial (wibowo, 2011 : 131). Pendapat Davies pada intinya bahwa konsep maskulinitas dibentuk atau dengan sengaja dikonstruksikan, yaitu melalui berbagai bentuk interaksi yang melibatkan berbagai nilai yang berkembang di masyarakat. Aturan-aturan gender menurut Nickie Charles dipelajari melalui proses sosialisasi ketimbang dibedakan secara biologis. Menurutnya: “aturan gender dikonstruksikan dalam suatu istilah yang berbeda sama sekali dalam suatu dikotomi kategori. Dimana laki-laki dibedakan secara ekslusif dengan keberadaan wanita. Pria digambarkan dengan rasionalitas, aktif, kompetitif, dan agresif sedangkan laki-laki digambarkan “seharusnya” irrasional, emosional, pasif, kooperatif, dan damai (wibowo, 2011: 131). Masyarakat pada dasarnya melakukan konstruksi realitas terhadap maskulinitas sebagai satu konsep yang terkait erat dengan keberadaan dikotomi gender tersebut. Dalam kehidupan sosial, dengan tradisi maskulin yang semacam ini, lakilaki dianggap gagal jika dirinya tidak maskulin. Kebanyakan laki-laki ditekan untuk menjadi maskulin. Berpenampilan lemah, emosional, atau berlaku inefisien secara seksual merupakan suatu ancaman utama terhadap percaya diri laki-laki. Konsep
maskulinitas
dalam
perkembangan
jaman
mengalami
perkembangan. Hal itu seperti dikemukakan Beynon (Nasir, 2007: 2) yang melakukan kajian tentang maskulin dalam bukunya Masculinities and Culture. Dalam buku ini, Beynon menggambarkan sosok maskulin dalam setiap dekade.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
Beynon membagi bentuk maskulin dengan ide tren perkembangan zaman, sebagai berikut: a.
Maskulin sebelum tahun 1980-an Sosok maskulin yang muncul adalah pada figur-figur laki-laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas laki-laki. Citra laki-laki semacam ini memang kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki-laki bekerja di pabrik sebagai buruh berlengan baja. Laki-laki terlihat sangat bapak, sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta pembuat keputusan utama. Konsep maskulinitas semacam ini dinamakan konsep maskulin yang tradisional dalam pandangan barat. Menurut tulisan Levine yang diambil dari Ensiklopedia Wikipedia yang juga mengutip tulisan dari dua orang ilmuwan sosial Deborah David dan Robert Brannon (Nasir, 2007: 2), terdapat empat aturan yang memperkokoh sifat maskulinitas, yaitu: 1) No Sissy Stuff: sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau feminin dilarang, seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berasosiasi dengan laki-laki. 2) Be a Big Wheel: Maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasan, dan pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran, dan status yang sangat lelaki. 3) Be a Sturdy Oak: kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak menunjukkan kelemahannya. 4) Give em Hell: Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya. Dalam ketradisionalitasan yang dikembangkan oleh kebudayaan Jawa juga kurang lebih sama, salah satunya mirip dengan poin kedua bahwa laki- laki must be a big wheel. Seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukilo
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
(burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian) (Osella & Osella, 2000: 120) b.
Maskulin tahun 1980-an Sosok maskulin kemudian berkembang pada tahun 1980-an dengan cara yang berbeda. Maskulin bukanlah laki-laki yang berbau woodspice lagi, maskulin adalah sosok laki-laki sebagai new man. Beynon (Nasir, 2007: 3) menunjukkan dua buah konsep maskulinitas pada dekade 80-an itu dengan anggapan-anggapan bahwa new man as nurturer dan new man as narcissist. New man as nurturer merupakan gelombang awal reaksi lakilaki terhadap maskulinitas. Laki-laki pun menjalani sifat alamiahnya seperti laki-laki sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian. Lakilaki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya, untuk mengurus anak. Keinginan laki-laki untuk menyokong gerakan laki-laki juga melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah, berpendidikan baik, dan intelek (Beynon, dalam Nasir, 2007: 3). Anggapan kedua adalah bahwa new man as narcissist, hal ini berkaitan dengan komersialisme terhadap maskulinitas dan konsumerisme semenjak akhir Perang Dunia II. New man as narcissist adalah anak-anak dari generasi zaman hippies (tahun 60-an) yang tertarik pada pakaian dan musik pop. Banyak produk-produk komersil untuk lakilaki yang bermunculan, bahkan laki-laki sebagai objek seksual menjadi bisnis
yang
amat
luar
biasa.
Di
sini,
laki-laki
menunjukkan
maskulinitasnya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan perlente. Laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial yang membuatnya tampak sukses. Properti, mobil, pakaian atau artefak personal merupakan wujud dominan dalam gaya hidup ini. Kaum maskulin yuppies ini dapat dilihat dari penampilannya berpakaian, juga Porsche mereka. Kaum yuppies menganggap laki-laki pekerja industri yang loyal dan berdedikasi sebagai sosok yang ketinggalan zaman dalam pengoprasian modal (Beynon, dalam Nasir, 2007: 3).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
c.
Maskulin tahun 1990-an Di era tahun 1990-an kemudian muncul juga sosok yang disebut maskulin dalam dekade tahun 1990-an. Laki-laki kembali bersifat tidak peduli lagi terhadap remeh-temeh seperti kaum maskulin yuppies di tahun 80-an, The new lad ini berasal musik pop dan football yang mengarah kepada sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. Laki-laki kemudian menyatakan dirinya dalam label konsumerisme dalam bentuk yang lebih macho, seperti membangun kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para laki-laki (Beynon, dalam Nasir, 2007: 4). Pada dekade 1990-an ini kaum laki-laki masih mementingkan leisure time mereka sebagai masa untuk bersenang-senang, menikmati hidup bebas seperti apa adanya. Lakilaki bersama teman-temannya, bersenang-senang, menyumpah, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat lelucon-lelucon yang dianggap merendahkan laki-laki. Hubungan-hubungan laki-laki dengan laki-laki pun terbatas dalam hubungan yang bersifat kesenangan semata. Kebebasannya menjauhkan dari hubungan yang bersifat domestik yang membutuhkan loyalitas dan dedikasi.
d.
Maskulin tahun 2000-an Di luar perkembangan maskulin yang dikemukakan oleh John Beynon, juga patut dicermati maskulin pada tahun 2000-an, mengingat tahun 2000an sudah nyaris mendekati satu dekade. Hal yang terjadi dengan laki-laki sekarang ini adalah munculnya sesuatu yang khas dan semakin lama gejala kelelakian
semakin
penuh
dengan
terminologi-terminologi
baru.
Homoseksual yang sudah berkembang semenjak dekade 80-an, sekarang bahkan terminologi laki-laki sudah mengenal istilah metroseksual (Beynon, dalam Nasir, 2007: 5). Rohlinger dalam penelitiannya mengkategorisasikan tipe pria dalam periklanan ke dalam sembilan kategori: the hero, the outdoorsman, the urban man, the family man/nurturer, the breadwinner, the man at work, the erotic male, the consumer and the quiescent man. The hero dianggap sebagai bintang/selebriti dalam olahraga, bisnis, politik atau layanan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
militer. The outdoorsman terlihat menaklukkan alam atau hewan, nampak lingkungan liar. The family man/nurture berpatisipasi aktif dengan anakanak sebagai ayah, anggota keluarga atau pelatih. Sebaliknya, The breadwinner digambarkan tidak berpartisispasi dengan aktivitas keluarga tetapi sebagai pemimpin yang memerintah keluarga. The man at work terikat dalam pekerjaan/profesinya atau di area perkantoran. The consumer adalah pria yang membutuhkan produk. Ada hubungan yang jelas antara model dengan konsumsi produk yang diiklankan. The urban man menikmati kemewahan dan penawaran dari kota besar. Digambarkan di sekitar bar, restaurant, bioskop. The quiescent man terikat dalam aktivitas rekreasional dalam wisata. The erotic male digambarkan dengan penonjolan tubuh dan fisik pria dalam display iklan (Kusumaningrum, 2012: 8). Ayah dalam keluarga menjadi penanggung kehidupan keluarga. Ia dituntut untuk melindungi dan menghidupi keluarga secara umum. Peran ayah saat ini digambarkan dengan ayah sebagai penyokong keuangan dari keluarga (wibowo, 2011: 132). Masyarakat patriaki menganggap laki-laki sebagai pusat nilai-nilai dalam artian segala bentuk kehidupan dalam ruang-ruang tertentu diatur berdasarkan kerangka ataupun pandangan fikir laki-laki. Demikian apa yang terdapat dalam masyarakat patriaki. Patriaki pada masyarakat modern merupakan suatu konstruksi. Patriaki ini dilembagakan, dikonstrusi lewat institusi yang ada dalam kehidupan sehari-hari sehingga seakanakan patriaki tampil sebagai realitas objektif. Dimana ia diinstitusikan melalui perangkat-perangkat representasi dalam institusi kehidupan. Konstruksi patriaki juga mengkonstuksi pandangan maskulin dan feminin suatu masyarakat. Sehingga peran ayah yang dinilai maskulin itupun merupakan suatu bentuk konstruksi. Ini adalah konstruksi klasik dari pandangan tentang ayah dalam keluarga di masyarakat pada umumnya yang masih berpandangan patriarkis. Anak perempuan membutuhkan ayahnya. Ada ikatan istimewa antara seorang ayah dengan putrinya yang sangat berbeda dibandingkan dengan ikatan lainnya. Ayah adalah sosok pria terpenting dalam kehidupan seorang anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
perempuan. Seorang anak perempuan belajar tentang seorang pria seharusnya menjadi seperti apa, apa yang dapat seorang perempuan harapkan dari seorang pria, bagaimana seorang perempuan hendaknya diperlakukan oleh seorang pria, dan bagaimana seorang pria hendaknya melihat dirinya sebagai seorang perempuan. Sebagai seorang anak perempuan, dirinya dapat belajar bahwa dia adalah “putri kesayangan ayah” melalui sinar di mata ayah, cara ayah menggendong dan memeluknya, cara ayah memperhatikannya, cara ayah menciumnya dan cara ayah memberitahu betapa cantiknya dia dan betapa dia berkembang menjadi seorang gadis muda yang cantik. Seorang anak perempuan mempelajari berbagai kekuatan yang ayahnya miliki dan dia mengembangkan perasaan aman ketika berada dekat ayahnya, dan tahu bahwa ayahnya akan melindunginya.
2.2.8.Konstruksi Realitas
Realitas kekuatan media mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah di rubah citranya, kemudian media memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat Isi media merupakan suatu bentuk konstruksi realitas sosial. Media melakukan konstruksi terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisantulisan, gambar-gambar, suara, atau simbil-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan ataupun ideologi media itu. Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi media. Dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupaskan konstruksi realitas (wibowo, 2011: 128). Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksikan. Menurut Ritzer (Bungin, 2008 : 11) menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemua itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan pranata sosial. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul The Sosial Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama subyektif. Berger dan Luckmann ( Bungin, 2008: 14) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan‟ dan „pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitasrealitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik. Dalam kehidupan sehari-hari, Berger dan Luckmann mengatakan manusia menggunakan
dasar-dasar
pengetahuan
sehari-hari;
obyektivitasi
(pengobyektivan) dari proses (dan makna-makna) subyektif dengan mana dunia akal sehat intersubyektif itu dibentuk (Bungin, 2008: 23). Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Tiga proses ini terjadi diantara individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi yang sifatnya menyentuh perasaan banyak orang yaitu persoalan-persoalan sensitivitas, sensualitas maupun kengerian. Sensitivitas menyakut persoalan-persoalan sensitif di masyarakat. Sensualitas, yaitu yang berhubungan dengan seks, aurat, syahwat, maupun aktivitas yang berhubungan dengan objek-objek itu, sampai dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
masalah-masalah pornomedia. Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan informasi. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno dalam Bungin, 2008: 13) Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bertens dalam Bungin, 2008: 13). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya „Cogoto, ergo sum‟ atau „saya berfikir karena itu saya ada‟ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008: 13). Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Berger dan Luckman (Bungin, 2008: 14) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman (Bungin, 2008: 15) mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi;
tahap konfirmasi (Bungin,
2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak
secara tepat
berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
2.3.Kerangka Pemikiran
Film Miracle in cell no.7
Representasi Maskulinitas
Semiotika
Semiotika Televisi
Kode-kode Televisi John Fiske
Level Realitas
Level Representasi
Level Ideologi
Representasi Maskulinitas Sosok Ayah dalam Film Miracle in cell no.7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA