BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MERGER BANK DAN TENAGA KERJA 2.1 TINJAUAN UMUM TENTANG MERGER BANK 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Merger Bank Merger berasal dari kata kerja “merge” dalam bahasa Inggris yang berarti menggabungkan atau memfungsikan. Menurut Muhammad Djumhana, merger merupakan suatu peleburan suatu perusahaan ke dalam perusahaan lain di mana terjadi satu perusahaan tetap mempertahankan identitasnya semula dengan melakukan pengambilalihan kekayaan, tanggung jawab, dan kuasa atas perusahaan yang meleburkan diri tersebut.1 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi, pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa, “Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank, dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu.” Merger dilakukan oleh perusahaan-perusahaan untuk mencapai sasaran strategis dan sasaran finansial tertentu. Merger melibatkan penggabungan dua perusahaan atau lebih yang sering kali berbeda dari segi karakter dan nilainya. Sukses dari suatu merger akan sangat tergantung dari seberapa baik kedua perusahaan diintegrasikan.2 Merger juga dapat dikatakan sebagai penggabungan dari dua
1
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. 5, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 303. 2
Adrian Sutedi, loc.cit.
perusahaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan dan tanpa melikuidasi perusahaan-perusahaan lainnya.3 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, merger yang dikenal dengan penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Sedangkan Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menentukan bahwa, “Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi. Merger di bidang perbankan dapat dilakukan atas permintaan Bank Indonesia, inisiatif bank yang bersangkutan, atau inisiatif badan khusus dalam rangka penyehatan perbankan.
3
Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, h. 112.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai unsur-unsur dalam merger, yaitu:4 1) Penggabungan adalah perbuatan hukum. 2) Penggabungan dua pihak yakni satu atau lebih perseroan menggabungkan diri (target company/absorbed company) dan perseroan yang menerima penggabungan (absorbing company). 3) Aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan. 4) Status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Secara konseptual, penggabungan atau mergernya suatu bank dapat diilustrasikan sebagai berikut.
BANK A + BANK B + BANK C = BANK A Dari ilustrasi tersebut tergambar bahwa apabila perusahan (bank) melakukan proses penggabungan, maka hanya ada satu nama dari perusahaan tersebut yang tetap bertahan, yaitu BANK A. Sedangkan status badan hukum BANK B dan BANK C
4
Handri Raharjo, 2013, Hukum Perusahaan: Step by Step Prosedur Pendirian Perusahaan, Pustaka Yustitia, Yogyakarta, h. 117.
berkahir karena hukum. Demikian pula dengan aktiva dan pasiva dari kedua bank tersebut yang beralih karena hukum kepada BANK A. Pada hakikatnya penggabungan (merger) dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan dari berbagai persoalan-persoalan intern yang mengganggu kinerja atau berjalannya suatu perusahaan, namun di satu sisi seiring majunya suatu perkembangan di dunia bisnis, merger dimanfaatkan pula untuk memperluas jaringan usaha dan mengembangkan perusahaan, agar nantinya dapat menambah daya saing dengan perusahaan-perusahaan lain. Selain itu, merger ataupun akuisisi dapat memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan, diantaranya untuk peningkatan kemampuan dalam pemasaran, riset, managerial skill, transfer teknologi, dan efisiensi berupa penurunan biaya produksi. Dilihat dari jenis kegiatan perusahaan yang terkait dalam penggabungan perusahaan, terdapat beberapa tipe penggabungan perusahaan, yaitu:5 1) Merger horizontal Merupakan kombinasi satu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang kegiatan operasinya masih berada dalam lini bisnis yang sama. Dalam merger horizontal yang menggabungkan diri itu menghasilkan produk yang sejenis. Misalnya, merger Bank A dengan Bank B.
5
Ibid., h. 118.
2) Merger vertikal Merger yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di dalam bidang atau jenis usaha yang sejenis tetapi berbeda dalam tingkat operasinya, misalnya operasi yang menunjukkan adanya hubungan sebagai produsen dan pemasok. Intinya perusahaan yang akan bergabung menghasilkan produk yang bertalitemali atau berada dalam rangkaian proses produksi. Contoh, merger antara perusahaan perakitan mobil dengan perusahaan suku cadang mobil. 3) Merger konglomerat Merger yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang saling tidak memiliki hubungan baik secara vertical maupun horizontal. Contoh, perusahaan
yang
bergertak
di
bidang
produksi
obat-obatan
yang
menggabungkan diri ke dalam perusahaan yang bergerak di bidang produksi peralatan rumah tangga. Secara umum, tujuan dari dilakukannya merger bagi sebuah perusahaan adalah sebagai berikut.6 1. Memperbesar jumlah modal; 2. Menyelamatkan kelangsungan produksi;
6
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, cet. IV, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 379.
3. Mengamankan jalur distribusi; 4. Memperbesar sinergi perusahaan. Dengan kata lain, penggabungan perusahaan itu adalah untuk memperluas usaha secara optimal, memperkokoh keadaan pasar baik untuk pembelian maupun penjualan dan memperoleh kedudukan keuangan yang lebih kuat. Merger memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan
antara lain peningkatan
kemampuan dalam pemasaran, riset, skill manajerial, transfer teknologi, dan efisiensi berupa penurunan biaya produksi. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah perusahan melakukan merger akan tampak pada kinerja perusahaan dan penampilan finansialnya. Pasca merger, kondisi keuangan perusahaan mengalami perubahan yang tercermin dalam laporan keuangan perusahaan yang melakukan merger. Adapun alasan-alasan umum perusahaan melakukan merger adalah sebagai berikut.7 a. Pertumbuhan atau diversifikasi Perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang cepat, baik ukuran, pasar saham, maupun diversifikasi usaha dapat melakukan merger maupun akuisisi. Perusahaan tidak memiliki resiko adanya produk baru. Selain itu, jika melakukan ekspansi dengan merger dan akuisisi, maka perusahaan dapat mengurangi perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan. b. Sinergi 7
Denny Bagus, 2009, “Merger dan Akuisis: Pengertian, jenis, Alasan, Kelebihan dan Kekurangan Merger dan Akuisisi”, URL: http://jurnal-sdm.blogspot.com/.../merger-dan-akuisisipengertian-jenis.html, diakses tanggal 21 Oktober 2014.
Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomi (economies of scale). Tingkat skala ekonomi terjadi karena perpaduan biaya overhead meningkatkan pendapatan yang lebih besar daripada jumlah pendapatan perusahaan ketika tidak merger. Sinergi tampak jelas ketika perusahaan yang melakukan merger berada dalam bisnis yang sama karena fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan. c. Meningkatkan dana Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi internal, tetapi dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi eksternal. Perusahaan tersebut menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya pinjam perusahaan dan penurunan kewajiban keuangan. Hal ini memungkinkan meningkatnya dana dengan biaya rendah. d. Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya efisiensi pada manajemennya atau kurangnya teknologi. Perusahaan yang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayar untuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang ahli. e. Pertimbangan pajak Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depan atau sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memiliki kerugian pajak dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yang menghasilkan laba untuk memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus ini perusahaan yang mengakuisisi akan menaikkan kombinasi pendapatan setelah pajak dengan mengurangkan pendapatan sebelum pajak dari perusahaan yang diakuisisi. Bagaimanapun merger tidak hanya dikarenakan keuntungan dari pajak, tetapi berdasarkan dari tujuan memaksimisasi kesejahteraan pemilik. f. Meningkatkan likuiditas pemilik Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas yang lebih besar. Jika perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luas dan saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. g. Melindungi diri dari pengambilalihan
Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi incaran pengambilalihan yang tidak bersahabat. Target firm mengakuisisi perusahaan lain, dan membiayai pengambilalihannya dengan hutang, karena beban hutang ini, kewajiban perusahaan menjadi terlalu tinggi untuk ditanggung oleh bidding firm yang berminat. Dasar hukum merger bank dapat ditemui diketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang disebutkan dalam pasal-pasal diantaranya yakni Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 133. Merger juga diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Serta dapat juga ditemui di dalam Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR Tanggal 14 Mei 1999 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum. 2.1.2 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Merger Bank Ada berbagai macam pihak yang berkepentingan pada perusahaan yang melakukan merger, yang memiliki kepentingan atas berhasilnya suatu merger. Mereka yang berkepentingan adalah para pemegang saham, para karyawan, konsumen, masyarakat setempat, dan perekonomian secara luas. Para pihak ini adalah pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan bank, baik sebagai anggota dewan komisaris, karyawan, maupun pihak-pihak yang memberikan jasanya kepada bank.8
8
Muhammad Djumhana, op.cit, h. 308.
Adapun pihak-pihak yang terlibat di dalam kegiatan merger bank, yaitu: 9 1. Dewan Komisaris dan Direksi Bank Dewan Komisaris bertugas menjalankan pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap suatu bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Direksi Bank berwenang menjalankan kegiatan perusahaan. 2. Pejabat dan Karyawan Bank Pejabat dan karyawan bank merupakan pegawai dari bank itu sendiri yang bertanggung jawab menjalankan tugas operasional bank serta memiliki akses terhadap segala informasi yang berkaitan dengan kondisi bank. 3. Konsultan Hukum Konsultan hukum berada di luar kepengurusan bank yang bersangkutan. Peran konsultan hukum ini hanya menyangkut bidang hukum yang berkaitan dengan kegiatan perbankan. 4. Akuntan Publik Akuntan publik sangat diperlukan utamanya yang menyangkut kegiatan pengauditan, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan neraca serta perhitungan laba dan rugi yang diterima oelh suatu perusahaan. 10
9
Muhammad Djumhana, op.cit, h. 142.
5. Para Pemegang Saham Sesuai dengan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas, bahwa di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), para pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari Direksi dan/atau Dewan komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan perseroan. 2.1.3 Syarat-syarat Merger Bank Merger di dalam bank dapat dilakukan atas inisiatif dari bank yang bersangkutan, permintaan bank Indonesia, atau inisiatif badan khusus dalam rangka penyehatan perbankan. Hal ini tercantum di dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank. Untuk dapat memperoleh izin agar merger tersebut terlaksana, wajib memenuhi ketentuan seperti yang ditentukan pada Peraturan Pemerintah tersebut pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 8 yang dinyatakan sebagai berikut. Pada ketentuan Pasal 3 dinyatakan bahwa, Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dapat dilakukan atas: 1. inisiatif bank yang bersangkutan; atau 2. permintaan Bank Indonesia; atau 3. inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.
10
Ibid.
Pada ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa: (1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank yang dilakukan atas inisiatif Bank yang bersangkutan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia. (2) Kewajiban untuk terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku pula untuk Merger dan Konsolidasi yang dilakukan atas inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan. Pada Pasal 5 dinyatakan bahwa Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dilakukan dengan memperhatikan: a) kepentingan Bank, kreditor, pemegang saham minoritas dan karyawan Bank; dan b) kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha Bank. Pada ketentuan Pasal 6 dinyatakan bahwa: (1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar. (2) Pemegang saham minoritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimiliki dibeli oleh Bank dengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 55 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. (3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak menghentikan proses pelaksanaan Merger, Konsolidasi dan Akuisisi. Pada ketentuan Pasal 7 dinyatakan bahwa: (1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Rapat Umum pemegang Saham bagi Bank yang berbentuk Perseroan Terbatas atau rapat sejenis bagi Bank yang berbentuk hukum lainnya. (2) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh sekurangkurangnya 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah suara pemegang saham yang hadir.
(3) Bagi Bank yang berbentuk Perseroan Terbuka, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai, maka syarat kehadiran dan pengambilan keputusan keputusan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Pasar Modal. Pada ketentuan Pasal 8 dinyatakan bahwa untuk dapat memperoleh izin Merger atau Konsolidasi, wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut. (1) Telah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang SAham bagi Bank yang berbentuk Perseroan Terbatas atau rapat sejenis bagi Bank yang berbentuk hukum lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Pada saat terjadinya Merger atau Konsolidasi, jumlah aktiva Bank hasil Merger atau Konsolidasi tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah aktiva seluruh Bank di Indonesia; (3) Permodalan Bank hasil Merger atau Konsolidasi harus memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang ditunjuk tidak tercantum dalam daftar orang yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan. Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas terdapat pula pasal-pasal yang mengatur tentang syarat-syarat Merger. Ditentukan dalam Pasal 126 ayat (1), bahwa: “Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
Pengambilalihan,
atau
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan; b. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan c. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.” Oleh karena Penjelasan Pasal 126 ayat (1) mengatakan Penggabungan tidak dapat dilaksanakan apabila merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu, dapat
ditafsirkan dan dikonstruksi, kepentingan pihak-pihak tertentu tersebut merupakan syarat yang tidak boleh dilanggar pada perbuatan hukum Penggabungan. 11 Selain syarat pada Pasal 126 ayat (1) tersebut, Pasal 123 ayat (4) menyebutkan juga bahwa, “Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini (UUPT), perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Menurut penjelasan pasal ini, Perseroan tertentu tersebut adalah Perseroan yang mempunyai “bidang usaha khusus”, antara lain lembaga keuangan bank dan yang nonbank. Sedangkan yang dimaksud dengan istansi terkait, antara lain Bank Indonesia (BI) untuk Penggabungan Perseroan Perbankan.12
2.2 TINJAUAN TENTANG TENAGA KERJA 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Tenaga Kerja Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), tenaga kerja adalah 11
Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, h.
12
Ibid.
486.
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat dapat meliputi setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain atau setiap orang yang bekerja sendiri dengan tidak menerima upah atau imbalan. Tenaga kerja meliputi pegawai negeri, pekerja formal, pekerja informal, dan orang yang belum bekerja atau pengangguran. Dengan kata lain, pengertian tenaga kerja adalah lebih luas daripada pekerja atau buruh.13 Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan masyarakat Pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus di jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya. Tenaga kerja merupakan penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja. Tenaga kerja dibagi dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang terlibat atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang dan jasa.
13
Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.
Angkatan kerja terdiri dari golongan bekerja serta golongan menganggur dan mencari pekerjaan.14 Bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok ini sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu, kelompok ini sering juga dinamakan sebagai angkatan kerja potensial (potensial labor force).15 Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala sesuatu harus didasarkan pada hukum tertulis. Sumber hukum ketenagakerjaan saat ini terdiri dari peraturan perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan. Namun payung hukum utama bagi urusan ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga menjadi payung hukum utama.
14
Oktaviana Dwi Saputri, 2011, Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Di Kota Salatiga, Skripsi, h. 11. 15
Ibid.
Berdasarkan pondasi tersebut, maka terbentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi dasar hukum utama dalam bidang ketenagakerjaan. Selain UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum lain yang juga menjadi tonggak pengaturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber hukum formil maupun sumber hukum materiil, seperti kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin-doktrin.16 2.2.2 Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja Hubungan kerja adalah istilah pengganti untuk istilah hubungan perburuhan yang merupakan suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan. Subjek hukum yang melakukan hubungan kerja adalah pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja/buruh.17 Sedangkan menurut Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Ketentuan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, pekerja mengikatkan dirinya pada pihak lain,
16
http://lauretta15lawsource.blogspot.com/2013/06/definisi-dasar-hukumketenagakerjaan.html diakses pada tanggal 30 Oktober 2014 17
Asri Wijayanti, op.cit., h. 36.
pengusaha untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau gaji. Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja, dan perjanjian kerja merupakan peristiwa hukum, sehingga konsekuensi suatu hubungan kerja menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak yakni pihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh. 18 Perjanjian kerja yang akan ditetapkan pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan perjanjian yang telah dibuat oleh pengusaha dengan serikat pekerja yang ada pada perusahaannya. Demikian pula perjanjian kerja itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha. 19 a. Pengertian Perjanjian Kerja Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut. “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.” Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.” 18
Ibid, h. 46.
19
Zainal Asikin, op.cit, h. 65.
Perjanjian kerja menurut KUHPerdata tersebut tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Maksudnya ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan. Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial-ekonomi memberikan perintah kepada pekerja yang memiliki posisi lebih rendah secara sosial-ekonomi. Wewenang inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.20 Pengertian perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum, karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri.21 Selain pengertian normatif seperti di atas, menurut Imam Soepomo perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dan pihak kedua yakni majikan/pengusaha mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. 22
20
Lalu Husni, 2009, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta, h.
21
Ibid., h. 65.
22
Imam Soepomo, 1983, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, h. 53.
64.
b. Syarat sahnya Perjanjian Kerja Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Kausa yang halal. Juga di dalam Pasal 1338 KUHPerdata berkaitan dengan perjanjian, yakni menentukan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. c. Unsur-unsur Perjanjian Kerja Dari pengertian tersebut, perjanjian kerja memiliki beberapa unsur, yaitu: 23
23
Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 44.
a) Adanya pekerjaan (Pasal 1603a KUH Perdata dan Pasal 341 KUH Dagang). Suatu perjanjian kerja memiliki suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja. Pekerjaan tersebut heruslah berpedoman pada perjanjian kerja yang dibuat. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, sehingga jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.24 b) Adanya perintah orang lain (Pasal 1603b KUH Perdata). Dalam melakukan pekerjaan, pekerja harus tunduk pada perintah orang lain, yaitu pihak pengusaha/pemberi kerja. c) Adanya upah (Pasal 1603p KUH Perdata). Pekerja melakukan pekerjaan bertujuan untuk mendapatkan upah dari pengusaha/pemberi kerja, yang telah diatur di dalam perjanjian kerja. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.25 d) Terbatas waktu tertentu. 24
Lalu Husni, op.cit, h. 66.
25
Ibid.
Dalam melakukan hubungan kerja tersebut, harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundangundangan. Dalam arti lain bahwa tidak ada hubungan kerja yang berlangsung secara terus-menerus. d. Jenis-jenis Perjanjian Kerja Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur beberapa jenis perjanjian kerja, yaitu sebagai berikut.26 1. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu Dalam Pasal 57, perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin, serta harus memenuhi syarat-syarat, antara lain (Pasal 56): a. Mempunyai jangka waktu tertentu; b. Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu tertentu. Pasal 59 ayat (1) menentukan bahwa, “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
26
Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang hubungan Kerja, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 63.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.” Ketentuan penjelasan dari pasal ini menetapkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus didaftarkan di instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas urusan ketenagakerjaan. Ketentuan ayat (2) dari Pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaan secara tegas menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Hal ini kiranya sudah dapat disimpulkan dari ketentuan ayat terdahulu pasal ini. 27 Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (ayat (4)). Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan (ayat (5)). Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian 27
Agusmidah et. al., 2012, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, h. 18.
kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun (ayat (6)). 2. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tentu Menurut Abdul Khakim, perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu ini merupakan suatu perubahan dari perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang disebabkan sebagai salah satu akibat ketidakcermatan dalam menyusun suatu perjanjian kerja.28 Perubahan ini diatur dalam Pasal 57 ayat (2) yang menentukan bahwa, “Perjanjian kerja untuk waktu tertentuyang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu.” Begitu juga dalam Pasal 59 ayat (7) yang menentukan bahwa, “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian waktu tidak tertentu.” Pasal 1603g KUHPerdata menyatakan bahwa, “Jika lamanya hubungan kerja tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau reglement, maupun dalam peraturan perundang-undangan ataupun pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu.” Dengan demikian perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu adalah suatu jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang
28
Abdul Khakim, op.cit, h. 71.
tidak memiliki jangka waktu berlakunya, baik dalam perjanjian, undangundang ataupun dalam kebiasaan.29 Dalam pengertian tersebut, bagi pekerja/buruh perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu dapat berlaku terus, sampai:30 1) Memasuki usia pensiun; 2) Diputus hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan; 3) Meninggal dunia; 4) Melakukan tindak pidana. Mengingat di dalam hubungan kerja ini tidak terbatas waktunya, maka sewaktu-waktu para pihak dapat memutuskan hubungan kerja. Hal ini bisa terjadi apabila pengusaha tidak cocok atau pekerja/buruh melakukan suatu kesalahan, atau melanggar aturan yang berlaku. Pekerja/buruh pun dapat mengundurkan diri apabila terjadi hal yang tidak diinginkan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ada suatu kebebasan kedua belah pihak untuk melanjutkan atau tidak hubungan kerja.31
29
Zaeni Asyhadie, op.cit, h. 65.
30
Zaeni Asyhadie, loc.cit.
31
Soedarjadi, 2008, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia: Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja, Dan Calon Pekerja, Pustaka Yustitia, Yogyakarta, h. 62.
e. Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Kerja Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian disebut prestasi, yang di mana suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajibankewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak yang dianggap sebagai kebalikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.32 Hal tersebut berarti bahwa sesuatu yang menjadi hak dari pekerja/buruh akan menjadi kewajiban dari pengusaha atau pemberi kerja, begitu juga sebaliknya bahwa sesuatu yang menjadi hak dari pengusaha merupakan kewajiban dari pekerja. 1. Kewajiban Pekerja Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b, dan 1603c, yang pada intinya adalah sebagai berikut.33 1) Pekerja wajib melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan merupakan tugas utama yang harus dilakukan sendiri oleh pekerja, apalagi pekerjaan itu adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu yang akan menimbulkan ketidakmungkinan untuk diganti oleh orang
32
Zaeni Asyhadie, op.cit, h. 68.
33
Lalu Husni, op.cit, h. 71.
lain.34 Pekerjaan yang dilakukan pekerja bersifat pribadi, sehingga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (PHK demi hukum). 2) Pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk pengusaha. Aturan atau petunjuk pengusaha sangat wajib untuk ditaati oleh pekerja demi kelancaran tata tertib atau jalannya perusahaan. Aturan atau petunjuk tersebut
ditujukan
kepada
pekerja
selama
pekerja
tersebut
melaksanakan pekerjaannya. Aturan tersebut biasanya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga jelas ruang lingkupnya. 3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda. Jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik secara sengaja ataupun tidak, maka pekerja wajib membayar ganti kerugian dan denda. Jika kerugian yang diderita perusahaan tidak dapat atau sulit diganti dengan uang, pengadilan akan menetapkan sejumlah uang menurut keadilan sebagai ganti rugi. Pasal 1601w KUHPerdata menentukan, “Jika salah satu pihak dengan sengaja atau dengan kesalahannya berbuat berlawanan dengan salah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita pihak lawan tidak dapat dinilai dengan uang, pengadilan akan menetapkan sejumlah uang sebagai ganti rugi.” 34
Zaeni Asyhadie, op.cit, h. 70.
2. Kewajiban Pengusaha/Pemberi Kerja 1) Kewajiban membayar upah. Dalam hubungan kerja, kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya yang telah melakukan pekerjaan. 2) Kewajiban memberikan surat keterangan. Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602a KUHPerdata yang menentukan bahwa pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan.35 Surat keterangan ini dibutuhkan oleh pekerja jika nantinya ia berhenti bekerja sebagai tanda pengalamannya bekerja di perusahaan. Surat tersebut sangat penting bagi pekerja sebagai bekal mencari pekerjaan baru. 3) Kewajiban lainnya, seperti memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Hal tersebut sangat penting bagi pekerja untuk mengatasi kejenuhannya menjalani pekerjaan. Sesuai dengan yang telah ditentukan oleh UUK Pasal 79 ayat (2), cuti tahunan dapat diberikan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja, dan pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah terus-menerus bekerja selama 6 tahun. 2.2.3 Hubungan Industrial 35
Lalu Husni, Op.cit., h. 74.
Istilah hubungan industrial merupakan kelanjutan dari istilah Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang terjemahan dari istilah hubungan perburuhan. Istilah perburuhan ini memberi kesan yang sempit seakan-akan hanya menyangkut hubungan antara pengusaha dan pekerja. Padahal hubungan industrial adalah hubungan yang menyangkut aspek yang sangat luas, yakni aspek social budaya, psikologi, ekonomi, politik hukum dan hankamnas, sehingga hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja, namun melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas.36 Hubungan Industrial Pancasila adalah suatu system yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pengusaha, pekerja dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang tumbuh dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. 37 Fungsi dari para pelaku dalam hubungan industrial dapat dibagi 3 (tiga) fungsi, yaitu:38 1. Fungsi pemerintah yaitu menetapkan kebijakan, memberi pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
36
Asri Wijayanti, op.cit, h. 56.
37
Faisal Salam, 2009, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Mandar Maju, Bandung, h. 56. 38
Ibid, h. 57.
peraturan undang-undang ketenagakerjaan (Pasal 102 ayat (1) UU Ketenagakerjaan). 2. Fungsi pekerja dan serikat pekerja yaitu menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya, memajukan perusahaan, memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya (Pasal 102 ayat (2) UU Ketenagakerjaan). 3. Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya yaitu menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokratis dan berkeadilan (Pasal 102 ayat (3) UU Ketenagakerjaan). Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Guna mewujudkan falsafah hubungan industrial dalam hubungan kerja seharihari mutlak perlu suasana yang kondusif dalam lingkungan kerja. Terciptanya suasana tersebut dapat terwujud bila didukung sarana-sarana, antara lain:39 a. Serikat pekerja/serikat buruh Organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak, dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dan keluarganya. b. Organisasi pengusaha Organisasi yang dibentuk pengusaha yang secara khusus menangani bidang hubungan industrial dan ketenagakerjaan dalam pelaksanaan hubungan industrial untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu sarana utama terwujudnya kesejahteraan social dan ekonomi dalam dunia usaha. c. Lembaga Kerjasama Bipartit Suatu lembaga yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/buruh yang sudah yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung 39
Abdul Khakim, op.cit, h. 91.
jawab dibidang ketenagakerjaan, di mana lembaga ini merupakan forum komunikasi dan konsultasi untuk memecahkan masalah bersama yang berkaitan dengan hubungan industrial.40 d. Lembaga Kerjasama Tripartit Suatu lembaga konsultasi dan forum komunikasi sebagai wadah untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan industrial yang
anggotanya
terdiri
dari
unsur
organisasi
pengusaha,
serikat
pekerja/buruh, dan pemerintah.41 e. Peraturan Perusahaan Pasal 1 angka 20 UU Ketenagakerjaan memberi pengertian Peraturan Perusahaan sebagai peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. f. Perjanjian Kerja Bersama Awalnya disebut dengan istilah Perjanjian Perburuhan, kemudian menjadi Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dan terakhir menjadi Perjanjian Kerja Bersama yang merupakan perjanjian hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
40
Faisal Salam, op.cit, h. 59.
41
Ibid.
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Ketenagakerjaan. g. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan h. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dalam hal ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial yang sudah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Pengadilan ini merupakan salah satu pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. 2.2.4 Pemutusan Hubungan Kerja Alasan-alasan Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. PHK terjadi bisa atas kehendak pengusaha karena pekerja telah
melakukan
kesalahan
ataupun
karena
perusahaan
mengalami
suatu
permasalahan, namun bisa juga terjadi atas kehendak pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu. Dalam Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam hal PHK yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja maupun pengusaha) karena pihak-pihak yang bersangkutan telah mengetahui saat
berakhirnya
hubungan
kerja
tersebut,
sehingga
masing-masing
telah
mempersiapkan diri dalam menghadapi hal tersebut. Lain halnya dengan PHK yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini membawa dampak nantinya terhadap kedua belah pihak, khususnya terhadap pihak pekerja yang notabene memiliki kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha. PHK biasanya dianggap memiliki makna konotasi yang negatif, karena dinilai terjadi karena pihak pekerjalah yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Jika dilihat lagi, PHK dapat terjadi oleh beberapa macam alasan yang telah diatur di dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu: 1) Pekerja/buruh Melakukan Kesalahan Berat Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa, “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut. a. melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan baranag dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk mekukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Alasan PHK berupa kesalahan berat pada Pasal 158 ayat (1) tersebut harus didukung dengan bukti (ayat (2)) misalnya: a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 2) Pekerja/buruh Diduga Melakukan Tindak Pidana Diatur dalam Pasal 160 ayat (1) yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha.” 3) Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja Ditentukan dalam Pasal 161 ayat (1) bahwa pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama kedua dan ketiga secara berturut-turut. 4) Pemutusan Hubungan Kerja karena terjadi Perubahan Status, Penggabungan, Peleburan atau Perubahan Kepemilikan Perusahaan
Pasal 163 ayat (1) menyebutkan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.” Pasal 163 ayat (2) menyebutkan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya. 5) Pemutusan Hubungan Kerja karena Likuidasi Ditentukan dalam Pasal 164 ayat (1) bahwa, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubugang kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur).” 6) Perusahaan mengalami Pailit Diatur di dalam Pasal 165, bahwa “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan mengalami pailit.” 7) Pekerja/buruh Mangkir Selama 5 (lima) hari berturut-turut Diatur dalam Pasal 168 ayat (1) bahwa, “Pekerja/buruh yang menagkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah terpanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”